Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein
yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of science to low”, maka
secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau
pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan.1
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi
untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan
analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak
kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.
Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan
yang sesuai dengan hukum dan perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana
(KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan.
Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk
keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan
yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti
kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik,
biotransformasi.1
Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum khususnya
dalam melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian
menerjemahkan hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi
ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Lebih jelasnya
toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam
tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun
dan metabolitnya dari cairan biologis dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis
dalam suatu argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus.1
Dalam kurikulum pendidikan Kedokteran, pengetahuan Toksikologi secara utuh
disampaikan oleh bagian Kedokteran Forensik, artinya yang disampaikan kepada mahasiswa
tidak saja mengenai kelainan atau perubahan post mortem pada kasus keracunan, tetapi juga
mencakup bentuk dan sifat kimiawi zat-zat racun, gejala keracunan, pemeriksaan
laboratorium dan tindakan pengobatan yang dikenal sebagai Toksikologi Klinis.2
PENGGOLONGAN

A. Keracunan Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak dikenal cara
membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung CO. Gas CO adalah
gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan
dari udara sehingga mudah menyebar.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO

Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak
dan di temukannya gejala keracunan CO.-Pada korban yang mati tidak lama setelah
keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry pink colour) yang
tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga
dapat ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada
orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga
dalam darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan
dengan pemeriksaan sederhana.

Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna biasa,
tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam mayatnya
tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan pada
keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak
ditemukan tanda khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia
visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat
bertahan hidup lebih dari ½ jam.

Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban keracunan CO
yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi dan darah tidak
mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid seperti biasa
demikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah
kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.

Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di temukan
petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap keadaan
hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada
otak memberi gambaran:

- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin


- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung
trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut ring hemorrage
- Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang mengandung
trombi
- Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat hipoksia
dan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris
ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus papilaris
berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas berjalan dari tempat insersio
tendinosa ke dalam otak.

Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak badan,
baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh
hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena
gangguan peredaran darah. Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

B. Keracunan Sianida

Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam takaran kecil
sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat seperti bunuh diri
yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi
pada kasus bunuh diri dan pembunuhan.

Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada penyemprotan


(fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang kapal.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida3

Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat tercium bau
amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium dengan cara menekan dada
mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat dapat
ditentukan karena indra pencium kita cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau
khas tersebut. Harus dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena
kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genatik sex-linked trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat berwarna terang,
karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena terdapat
Cyanmet-Hb.

Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka
rongga dada, perutdan otak serta lambung(bila racun melalui mulut) darah, otot dan
penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tandatanda
asfiksia pada organ tubuh.

Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa
lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan
pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung
yang dapat terjadi antemortal atau posmortal.

C. Keracunan Arsen (As)

Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh orang lain, dan
tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen dimasa sekarang ini.
Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi karena kecelakaan dalam industri
dan pertanian akibat memakan/meminum makanan/minuman yang terkontaminasi dengan
arsen. Kematian akibat keracunan arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala
keracunan akutnya menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat
didiagnosa sebagai suatu penyakit.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik As

Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda- tanda dehidrasi. Pada
pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung, mukosa berwarna merah,
kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten appearance). Iritasi lambung dapat
menyebabkan produksi musin yang menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel As
berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna putih.

Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik jantung


menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan organ lain parenkimnya
berwarna putih.-Korban mati akibat keracunan arsin. Bila korban cepat meninggal setelah
menghirup arsin, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya
lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal
berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat
keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat
pigmentasi coklat (melanosis arsenik).

D. Keracunan Alkohol

Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan keracunan.
Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk
menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan
lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan
hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar
hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol

Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk awal.
Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui
pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari darah vena.

Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejala-gejala
yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih
encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan,
kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadangkadang tidak ada kelainan.

Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat
dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak
keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.-Pada kasus
keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial,
hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran
lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung.
Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan
oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium.

KRITERIA DIAGNOSIS

1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara
injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria
diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan
memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya,
karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga korban.

2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga.
Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat dan pada
prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-data klinis tentang
kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang
mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.

3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat
yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu
adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia,
kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si
korban menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.

4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau


mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk
menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan
kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang
telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan
menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan
pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh /
jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut,
visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab
kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada
dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun.
Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena
racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam
lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang
terpenting dan tidak boleh dilupakan.

PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGI

Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak akan di
jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk menegakan
diagnose atau menentukan sebab kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan
toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setian kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Setelah mayat si korban dibedah oleh dokter
kemudian diambil dan dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban
untuk dijadikan barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan
sampel pada keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disishkan untuk
cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.

Secara umum sampel yang harus diambil adalah :


1. Lambung dengan isinya.

2. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus setiap
jarak sekitar 60cm.

3. Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer (v.jugularis, a.
femoralis dan sebagainya) masing-masing 50ml dan dibagi 2 yang satu diberi bahan
pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi bahan pengawet.
4. Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang diambil sebanyak
500gram.

5. Ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan logam berat khususnya, dan
bila urin tidak tersedia.

6. Otak diambil 500 gram, khusus untuk keracunan khloroform dan keracunan sianida, hal
tersebut dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan
untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembusukan.

7. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun akan dieksresikan
melalui urin, khususnya untuk tes penyaring pada keracunan narkotika, alcohol, dan stimulan.

8. Empedu sama halnya dengan urin diambil oleh karena tempat ekskesi berbagai racun
terutama narkotika.

9. Pada kasus khusus dapat diambil :

a. Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 sentimeter.

b. Jaringan otot, yaitu, dari tempat yang terhindar dari kontaminasi, misalnya muskulus psoas
sebanyak 200 gram.

c. Lemak di bawah kulit dinding perut sebanyak 200 gram.

d. Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.

e. Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram, dan.

f. Cairan otak sebanyak-banyaknya.

Jumlah bahan pengawet untuk sampel padat minimal 2x volume sampel tersebut, bahan
pengawet yang dianjurkan :
a. Alcohol absolute.

b. Larutan garam jenuh (untuk Indonesia paling ideal).

Kedua bahan di atas untuk sampel padat atau organ.


a. Natrium fluoride 1%

b. Natrium fluoride + Natrium sitrat (75mg + 50mg, untuk setiap 10ml sampel)
Kedua bahan diatas untuk sampel cair adalah Natrium Benzoat dan phenyl mercury nitrate
khusus urin.
Cairan tubuh sebaiknya diperiksa dengan jarum suntik yang bersih/baru.
1. Darah seharusnya selalu diperiksa pada gelas kaca, jka pada gelas plastic darah yang
bersifat aak asam dapat melumerkan polimer plastic dari plastic itu sendiri, karena dapat
membuat keliru pada analisa gas kromatografi.
2. Pada pemeriksaan spesimen darah, selalu diberi label pada tabung sampel darah:
a. Pembuluh darah femoral.
b. Jantung

Pada kasus mayat yang tidak diotopsi :


1. Darah diambil dari vena femoral. Jika vena ini tidak berisi, dapat diambil dari subclavia.
2. Pengambilan darah dengan cara jarum ditdarusuk pada trans-thoracic secara acak, secara
umum tidak bisa diterima, karena bila tidak berhatihati darah bisa terkontaminasi dengan
cairan dari esophagus, kantung pericardial, perut/cavitas pleura.
3. Urine diambil dengan menggunakan jarum panjang yang dimasukan pada bagian bawah
dinding perut terus sampai pada tulang pubis.
Pada mayat yang diotopsi :
1. Darah diambil dari vena femoral.
2. Jika darah tidak dapat diambil dari vena femoral, dapat diambil dari: Vena subklavia,
Aorta, Arteri pulmonalis, Vena cava superior dan Jantung.
3. Darah seharusnya diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.
4. Pada kejadian yang jarang terjadi biasanya berhubungan dengan trauma massif, darah tidak
dapat diambil dari pembuluh darah tetapi terdapat darah bebas pada rongga badan.
a. Darah diambil dan diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.

b. Jika dilakkukan tes untuk obat tersebut tidak dibawah efek obat pada saat kematian.

c. Jika tes positif harus diperhitungkan kemungkinan kontaminsai.

d. Pada beberapa kasus bahan lain seperti vitreus/ otot dapat dianalisa untuk mengevaluasi
akurasi dari hasil tes dalam kavitas darah.

Prinsip pengambilan sample pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya


setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Pengambilan
sample untuk pemeriksaan toksikologi adalah sebagai berikut :
1. Lambung dengan isinya.
2. Seluruh usus dengan isinya
3. Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer (v. jugularis. A.
femoralis dsb).
4. Hati.
5. Ginjal, diambil keduanya.
6. Otak.
7. Urin.
8. Empedu bersama-sama dengan kantung empedu.
9. Limpa.
10. Paru-paru
11. Lemak badan.

Bahan pengawet yang dipergunakan adalah :


1. Alcohol absolute.
2. Larutan garam jenuh.
3. Natrium fluoride 1%.
4. Natrium fuorida + natrium sitrat.
5. Natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate.
Alcohol dan larutan garan jenuh untuk sampel padat atau organ, sedangkan NaF 1% dan
campuran NaF dengan Na sitrat untuk sample cair, sedangkan natrium benzoate dan mercuric
nitrat khusus untuk pengawetan urin.
1. Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi.

Untuk wadah pemeriksaan toksikologi idealnya diperllukan minimal 9 wadah, karena


masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan secara tersendiri, tidak boleh dicampur, yaitu
:
a. 2 buah toples masing-masing 2 liter untuk hati dan usus.

b. 3 buah toples masing-masing 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal.

c. 4 buah botol masing-masing 25 ml untuk darah (2 buah) urine dan empedu.

Wadah harus dibersihkan terlebih dahulu dengan mencuci dengan asam Kromat hangat lalu
dibilas dengan Aquades dan dikkeringkan. Pemeriksaan toksikologi yang dapat dilakukan
selain penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat juga dilakukan pemeriksaan.

a. Kristalografi.
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi lambung dimasukan ke
dalam gelas beker, dipanasakan dalam pemanas air sampai kering, kerimudian dilarutkan
dalam aceton dan disaring dengan kertas saring. Filtrate yang didapat, diteteskan di bawah
mikroskop. Bila bentuk Kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon
terklorisasi.

b. Kromatografi lapisan tipis (TLC)


Kaca berukuran 20cmx20cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau dengan alumunium
oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110° C selama 1 jam. Filtrate yang akan diperiksa (hasil
ekstraksi dari darah atau jaringan korban) diteteskan dengan mikropipet pada kaca, disertai
dengan tetesan lain yang telah diketahui golongan dan jenis serta konsentrasinya sebagai
pembanding. Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut, biasanya n-Hexan. Celupan tidak
boleh mengenai tetesan tersebut diatas. Dengan daya kapilaritas maka pelarut akan ditarik
keatas sambil melarutkan filitrat-filitrat tadi. Setelah itu kaca TLC dikeringkan lalu disemprot
dengan reagensia Paladum klorida 0,5% dalam HCL pekat, kemudian dengan Difenilamin
0,5% dalam alcohol. Interprestasi : warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon
terklorinasi sedangkan bila berwarna hijau dengan dasar dadu berarti golongan
organofosfat.Untuk menentukan jenis dalam golongannya dapat dilakukan dengan
menentukan Rf masing-masing bercak. Angka yang didapat dicocokan dengan standar, maka
jenisnya dapat ditentukan dengan membandingkan besar bercak dan intensitas warnanya
dengan pembandingan, dapat diketahui konsentrasinya secara semikuantatif.

2. Cara pengiriman
Apabila pemeriksaan toksikologi dilakukan di institusi lain, maka pengiriman bahan
pemeriksaan harus memenuhi kriteria :
a. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan.

b. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk control.

c. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label yang memuat keterangan mengenai
tempat pengambilan bahan, nama korban, bahan pengawet dan isinya.

d. Disertakan hasil pemeriksaan otopsi secara singkat jika mungkin disertakan anamnesis dan
gejala klinis.

e. Surat permintaan pemeriksaan dari penyidik harus disertakan dan memuat identitas korban
dengan lengkap dan dugaa racun apa yang menyebabkan intoksikasi.
f. Hasil otopsi dikemas dalam kotak dan harus dijaga agar botol tertutup rapat sehingga tidak
ada kemungkinan tumpah atau pecah pada saat pengiriman. Kotak diikat dengan tali yang
setiap persilangannya diikat mati serta diberi lak pengaman.

g. Penyegelan dilakukan oleh Polisi yang mana juga harus dabuat berita acara penyegelan dan
berita acara ini harus disertakan dalam pengiriman. Demikian pula berita acara penyegelan
barang bukti lain seperti barang bukti atau obat. Dalam berita acara tersebut harus terdapat
contoh kertas pembungkus, segel, atau materi yang digunakan.

h. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alcohol tidak dapat dipakai untuk
desinfektan local saat pengambilan darah, hal ini untuk menghilangkan kesulitan dalam
penarikan kesimpulan bila kasus menyangkut alcohol. Sebagai gantinya dapat digunakan
sublimate 1% atau mercuri klorida 1%.
Setelah semua proses pemeriksaan diatas dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman maka
hasil pemeriksaan tersebut dituangkan ke dalam sebuah surat yaitu surat visum et repertum.
Setelah dibuat berdasarkan aturan yang berlaku maka surat tersebut sudah dapat digunakan
sebagai alat bukti didalam proses peradilan .

1. Wirasuta MAG. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis.


Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55
2. Amir A. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Hal. 24-25

Anda mungkin juga menyukai