Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA

PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Irvinia Rahmadyah1; Rozalina2; Mitra Handini3

Intisari

Latar belakang. Pengalaman akademik yang berat pada mahasiswa


kedokteran dapat menyababkan mahasiswa mengalami gangguan psikologi
seperti kecemasan yang dapat berpengaruh pada kesehatan fisik, salah
satunya sindrom dispepsia. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan kecemasan dengan sindrom dispepsia pada
mahasiswa program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura. Metode. Penelitian analitik dengan desain penelitian potong
lintang menggunakan kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) dan kuesioner
kriteria sindrom dispepsia Roma III. Penelitian dilakukan di Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Sebanyak 150 mahasiswa
menjadi sampel dalam penelitian ini. Hasil penelitian diuji dengan uji statistik
Tau Kendall dengan bantuan program SPSS 20.0. Hasil. Sebanyak 44,7%
mahasiswa mengalami kecemasan normal, kecemasan ringan sebanyak
32,7%, kecemasan sedang sebanyak 18%, kecemasan berat sebanyak 4,7%
dan kejadian sindrom dispepsia dialami oleh 63,3% mahasiswa. Berdasarkan
analisis statistik diperoleh nilai signifikansi (p) yang didapatkan dengan uji
Tau-Kendall adalah 0,000 dan nilai korelasi (r) adalah 0,480. Kesimpulan.
Terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan kejadian
sindrom dispepsia pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

Kata kunci: kecemasan, sindrom dispepsia, BAI, kuesioner kriteria sindrom


dispepsia Roma III

1) Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas


Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
2) Bagian Psikiatri, Rumah Sakit Khusus Sungai Bangkong Pontianak,
Kalimantan Barat.
3) Departemen Fisiologi, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.

ii
ASSOCIATION BETWEEN ANXIETY AND DYSPEPSIA SYNDROME
AMONG MEDICAL STUDENTS, TANJUNGPURA UNIVERSITY

Irvinia Rahmadyah1; Rozalina2; Mitra Handini3

Abstract

Background. Academic experience can induce anxiety among medical


students, that can cause various physical problems, such as dyspepsia
syndrome. Objective. The aim of this study was to evaluate association
between anxiety and dyspepsia syndrome among medical students,
Tanjungpura University. Method. This study was a cross-sectional study. As
much as 150 students were included in this study. Data was collected using
Beck Anxiety Inventory (BAI) and questionnaire for dyspepsia syndrome
based on Rome III criteria. The study was conducted at medical faculty of
Tanjungpura University. Data was analyzed by Tau-Kendall test with SPSS
20.0. Results. As much as 44,7% students had normal grade anxiety, 32,7%
students had low grade anxiety, 18% students had medium grade anxiety and
4,7% students had severe anxiety and dyspepsia syndrome was found in
63,3% students. Tau-Kendall test showed significant correlation between
anxiety and dyspepsia syndrome (p= 0,000; r= 0,480). Conclusion. There
was association between anxiety and dyspepsia syndrome among medical
students, Tanjungpura University.

Key words: anxiety, dyspepsia syndrome, BAI, questionnaire criteria of


dyspepsia syndrome based on Rome III criteria.

1) Medical Study Program, Faculty of Medicine, University of Tanjungpura


Pontianak, West Borneo
2) Department of Psychiatry, Sungai Bangkong, Mental Hospital, Pontianak,
West Borneo
3) Department of Physiology, Tanjungpura University, Pontianak, West
Borneo

iii
PENDAHULUAN
Menempuh pendidikan untuk menjadi seorang dokter bagi
beberapa mahasiswa fakultas kedokteran dapat menjadi sebuah
perjalanan yang berat dan penuh perjuangan, sebab dalam perjalanan
menyelesaikan pendidikan, mahasiswa kedokteran memiliki banyak
kewajiban seperti kewajiban akademik maupun kewajiban profesi yang
mengharuskan mahasiswa sempurna agar kelak dapat memberikan
pelayanan umum yang baik. Bagi beberapa mahasiswa, kewajiban
tersebut dapat menjadi sebuah perjuangan yang berat yang dapat
berdampak negatif bagi kesehatan fisik maupun mental seorang
mahasiswa tersebut. Seringkali pengalaman akademik selama
menempuh pendidikan kedokteran yang penuh dengan perjuangan
tersebut membuat mahasiswa rentan mengalami gangguan psikiatri
seperti gangguan cemas.1
Kecemasan adalah suatu kondisi kejiwaan yang dapat ditandai
dengan perasaan takut yang difus, tidak menyenangkan dan samar-
samar yang dapat pula diikuti dengan gejala otonom lain seperti sekit
kepala, berkeringat, jantung berdebar, sesak dada, diare, dan gelisah. 2
Dampak dari stres yang dialami oleh seseorang tersebut dapat membuat
seseorang mengalami cemas, dimana cemas yang dialami oleh
seseorang ini memiliki derajat atau tingkatan dari tingkatan normal
sampai suatu gangguan psikiatri yang berat. 3 Cemas yang dialami oleh
seseorang dapat merupakan respon yang fisiologis dari otak, karena
cemas merupakan respon yang dimiliki oleh setiap orang untuk
menghindari diri dari ancaman dan stimulus yang dianggap
membahayakan atau mengancam dirinya.4
Penelitian tentang kejadian kecemasan yang dialami oleh
mahasiswa kedokteran telah banyak dilakukan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa gangguan psikiatri berupa cemas memberikan
frekuensi yang cukup tinggi pada mahasiswa kedokteran. Pada tahun

iv
2006, penelitian di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan sebanyak
43% mahasiswa kedokteran yang mengalami kecemasan. 5 Penelitian di
Lithuania pada tahun 2008 memberikan hasil serupa seperti penelitian di
Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2006, yaitu sebesar 43%
mahasiswa kedokteran mengalami kecemasan.6 Sebesar 65,5%
mahasiswa kedokteran yang diteliti di Makedonia pada tahun 2008
menunjukkan mengalami kecemasan.7 Mahasiswa kedokteran semester
V di Indonesia yang diteliti di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
pada tahun 2010 menunjukkan sebanyak 45% yang mengalami
kecemasan.8
Salah satu masalah kesehatan fisik yang dapat timbul sebagai
efek dari kecemasan yang dialami adalah masalah pada fungsi
pencernaan seseorang, seperti misalnya seseorang tersebut dapat
mengalami sindrom dispepsia. Prevalensi kejadian sindrom dispepsia
yang ditemukan di dunia menunjukkan hasil yang beragam. Prevalensi
dispepsia di Amerika Serikat sebesar 23-25,8%, di India 30,4%, New
Zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41%, sedangkan di
Indonesia, dispepsia menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang
dengan pasien rawat inap terbanyak, seperti penelitian yang dilakukan di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa pasien yang berobat
ke rumah sakit dengan keluhan sindrom dispepsia mencapai jumlah 40%
kasus setiap tahunnya.9 Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa
Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara diketahui jika dari
sampel sebanyak 94 mahasiswa, yang mengalami stress ringan yang
mengalami dan menderita sindrom dispepsia fungsional sebanyak 4
orang sedangkan mahasiswa yang mengalami stress berat sebanyak 7
orang mengalami sindrom dispepsia fungsional dan dikatakan pula jika
mahasiswa yang mengalami stress berat akan berisiko mengalami
dispepsia fungsional sebesar 6.48 kali.10

v
Diketahui jika seseorang dengan gangguan cemas menunjukkan
peningkatan produksi asetilkolin sehingga terjadi hipersimpatotonik
sistem gastrointestinal atau sistem pencernaan yang mengakibatkan
peningkatan gerak peristaltik lambung dan dapat pula menyebabkan
peningkatan sekresi asam lambung. Asam lambung yang meningkat
disertai dengan meningkatnya gerak peristaltik usus dapat pula
berpengaruh pada keutuhan mukosa lambung seseorang tersebut.
Apabila produksi asam lambung meningkat maka asam lambung dapat
melukai dinding mukosa lambung yang dapat menimbulkan rasa nyeri ulu
hati pada seseorang tersebut.11
Sindrom dispepsia merupakan kumpulan gejala rasa nyeri atau
rasa tidak nyaman yang sering dirasakan di daerah bagian atas perut
seseorang. Rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada bagian perut ini
bersifat kronik dan seringkali mengalami kekambuhan. 12
Kejadian sindrom dispepsia ini merupakan salah satu masalah
kesehatan yang cukup mengganggu dikarenakan rasa nyeri atau rasa
tidak nyaman yang dialami oleh pasien seringkali bersifat kronik dan
dapat kambuh kembali. Meskipun terkadang gejala yang timbul pada
setiap orang berbeda dan dapat diobati sendiri, namun tidak sedikit pula
pasien yang datang berobat kepada dokter dengan keluhan sindrom
dispepsia tersebut.13

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
menggunakan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak selama bulan Juni-
November 2015. Populasi terjangkau penelitian ini adalah mahasiswa
program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura Pontianak angkatan 2013 dan 2014 yang terdaftar aktif.
Sebanyak 161 mahasiswa diharapkan dapat mengikuti penelitian ini.

vi
Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari pengisian
kuesioner kecemasan yaitu kuesioner BAI dan kuesioner kriteria sindrom
dispepsia Roma III. Data yang diperoleh akan dianalisis untuk mencari
hubungan antara kecemasan dengan kejadian sindrom dispepsia. Uji
analisis statistik yang digunakan adalah uji korelasi Tau-Kendall. Analisis
data akan dilakukan menggunakan program Statistical Package for
Social Science (SPSS) 20.0.

HASIL
Sebanyak 150 mahasiswa setuju mengikuti penelitian ini.
Berdasarkan tingkat kecemasan yang dialami oleh mahasiswa, diketahui
bahwa mahasiswa paling banyak mengalami tingkat kecemasan normal,
yaitu sebanyak 67 mahasiswa (44,7%), sedangkan mahasiswa yang
mengalami tingkat kecemasan ringan adalah sebanyak 49 mahasiswa
(32,7%). Mahasiswa yang mengalami kecemasan sedang adalah
sebanyak 27 mahasiswa (18%) dan tingkat kecemasan yang paling
sedikit dialami oleh mahasiswa adalah kecemasan berat yaitu sebanyak
7 mahasiswa (4,7%).
Kejadian sindrom dispepsia dialami oleh sebagian besar
mahasiswa. Sebanyak 95 mahasiswa (63,3%) diketahui mengalami
sindrom dispepsia, sedangkan sisanya sebanyak 55 mahasiswa (36,7%)
diketahui tidak mengalami sindrom dispepsia.
Analisis bivariat dilakukan untuk menjelaskan hubungan dari
variabel bebas dan variabel terikat pada penelitian. Analisis bivariat
dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Tau Kendall.

vii
Tabel 1. Hubungan Kecemasan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia
Tingkat Kecemasan
Sindrom Total
Normal Ringan Sedang Berat
Dispepsia
p=0,000
n % n % n % n % n
Positif 24 25,2 39 41,1 26 27,4 6 6,3 95 r= 0,480

Negatif 43 78,1 10 18,1 1 1,9 1 1,9 55

Total 150

Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa taraf signifikasi (p)


pada penelitian ini adalah 0,000 yang berarti terdapat hubungan antara
tingkat kecemasan dengan kejadian sindrom dispepsia. Diketahui pula
dari hasil perhitungan statistik, bahwa nilai korelasi (r) hubungan
kecemasan dengan kejadian sindrom dispepsia adalah sebesar 0,480
yang menunjukkan bahwa pada penelitian ini terdapat hubungan yang
kuat antara tingkat kecemasan dengan kejadian sindrom dispepsia.

PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian, didapatkan data bahwa tingkat
kecemasan yang paling banyak dialami oleh mahasiswa program studi
pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura adalah
kecemasan normal, yaitu sebanyak 67 mahasiswa (44,7%). Banyaknya
mahasiswa yang mengalami kecemasan normal dapat menunjukkan
bahwa mahasiswa program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura memiliki teknik masing-masing untuk
mengurangi atau mengatasi kecemasan yang dialami sehingga
kecemasan itu tidak meningkat atau menetap sehingga tidak
mengganggu aktivitas keseharian mahasiswa. Banyaknya tuntutan atau
tekanan terhadap mahasiswa program studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura tidak membuat mahasiswa
melakukan mekanisme koping dan mekanisme defensif yang negatif
sehingga nilai tingkat kecemasan yang dimiliki oleh mahasiswa tetap

viii
berada pada tingkat kecemasan yang normal. Jika seseorang tersebut
mengalami kecemasan normal ataupun kecemasan ringan, namun
melakukan mekanisme koping dan mekanisme defensif yang negatif,
maka tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa tersebut dapat
meningkatkan tingkat kecemasan yang dialaminya. 16 Hasil penelitian lain
yang dilakukan oleh Badrya (2014)16 menunjukkan hasil jika sebanyak
78,9% mahasiswa tidak mengalami kecemasan dan hanya sebesar 1,1%
mahasiswa yang mengalami kecemasan yang sangat berat. Pada
penelitian lainnya, diketahui jika dibandingkan kecemasan yang dialami
oleh mahasiswa kedokteran dan mahasiswa farmasi, maka mahasiswa
kedokteran memiliki tingkat cemas dan depresi yang lebih besar, yaitu
sebesar 43,9% yang mengalami cemas dan sebesar 57.9% mahasiswa
kedokteran yang mengalami depresi.17 Rendahnya tingkat kecemasan
yang dialami oleh mahasiswa dalam penelitian ini dapat disebabkan
mekanisme koping dan mekanisme defensif yang positif.
Dari data hasil penelitian yang telah dilakukan, sebanyak 95
mahasiswa (63,3%) mengalami kejadian sindrom dispepsia. Banyaknya
mahasiswa yang mengalami kejadian sindrom dispepsia adalah dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pola makan, gaya hidup,
psikologis, dan lain-lain. Pada penelitian ini, faktor psikologis adalah
faktor yang dinilai dapat mempengaruhi keluhan sindrom dispepsia pada
mahasiswa. Penelitian lain menunjukkan jika sebanyak 55% mahasiswa
mengalami keluhan sindrom dispepsia yang dikaitkan dengan faktor
tempat tinggal.18 Adanya infkesi bakteri H.pylori juga dapat
mempengaruhi timbulnya keluhan sindrom dispepsia ini. 19
Ketidakteraturan makan adalah faktor lain yang menyebabkan seseorang
dapat mengalami keluhan sindrom dispepsia.18 Faktor-faktor yang
menjadi penyebab timbulnya keluhan dispepsia tersebut mempengaruhi
kesehatan pencernaan pada berbagai aspek, seperti pergerakan usus
atau motilitas usus, keutuhan mukosa usus atau saluran cerna lainnya,

ix
meningkatnya produksi asam lambung, maupun berpengaruh terhadap
neurotransmitter yang terdapat diotak sehingga timbul keluhan-keluhan
sindrom dispepsia tersebut.
Hasil analisis korelasi terhadap hubungan kecemasan dan
sindrom dispepsia pada penelitian ini memberikan hasil bahwa terdapat
hubungan antara kecemasan yang dialami oleh mahasiswa program
studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Pontianak dengan kejadian sindrom dispepsia, karena nilai taraf
signifikan (p) pada penelitian ini adalah 0,000. Diketahui pula pada
penelitian ini hubungan yang terdapat antara kecemasan dengan
kejadian sindrom dispepsia adalah hubungan yang kuat karena nilai
korelasi (r) penelitian ini adalah 0,480. Penelitian lain juga menunjukkan
terdapat hubungan antara kecemasan dengan kejadian sindrom
20
dispepsia adalah penelitian yang dilakukan oleh Rulianti. Penelitian lain
yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Mak (2012)15 dimana penelitian ini juga menunjukkan hasil jika
terdapat hubungan yang kuat antara dispepsia dengan Major depressive
episode dan generalised anxiety disorder.15
Mekanisme brain-gut-axis dengan adanya stimulasi atau stressor
psikis dapat mempengaruhi keseimbangan sistem saraf otonom, fungsi
hormonal, dan sistem imun.20 Adanya gangguan pada sekresi cairan
asam lambung dipengaruhi dari jalur endokrin melalui mekanisme
Hipothalamus Pituitary Adrenal axis (HPA axis) yang dimulai dari
korteks adrenal yang diawali dari adanya rangsangan dari korteks
serebri yang kemudian dilanjutkan ke hipofisis anterior sehingga ACTh
dikeluarkan dan terjadi peningkatan kadar kortisol serum. Pada
seseorang yang mengalami dispepsia dengan keluhan psikosomatis
diketahui mengalami peningkatan kadar kortisol serum pada pagi hari
yang secara statistik bermakna.20 Meningkatnya kadar kortisol serum
menyebabkan peningkatan produksi asam lambung yang menghambat

x
yang akan menghambat aktivitas Prostaglandin E yang dapat
berpengaruh pada terhambatnya enzim adenil siklase pada sel parietal
yang terdapat di lambung yang memiliki fungsi sebagai sel protektif
terhadap mukosa lambung.20 Keluhan sindrom dispepsia terjadi karena
adanya pengaruh dari peningkatan asam lambung sedangkan terjadi
penurunan faktor defensif yang berupa hambatan pada Prostaglandin E.
Gangguan langsung pada sistem saraf pusat juga terjadi pada
seseorang yang mengalami kecemasan. Persarafan yang akan
dipengaruhi adalah pada nervus vagus dimana terjadi rangsangan pada
produksi asetilkolin oleh serat kolinergik, gastrin, dan histamin, sehingga
muncul keluhan sindrom dispepsia karena adanya peningkatan sekresi
asam lambung yang berpengaruh pada keutuhan mukosa lambung,
adanya peningkatan maupun penurunan pergerakan atau motilitas
lambung yang dapat berpengaruh terhadap waktu pengosongan
lambung, sehingga dapat menyebabkan timbulnya keluhan sindrom
dispepsia.21 Respon motilitas yang cepat diduga terjadi pada orang yang
mengalami keluhan sindrom dispepsia setelah adanya rangsangan
kemoreseptor usus, sehingga hal ini juga diduga dapat menyebabkan
keluhan mual dan adanya penurunan motilitas duodenum.22
Sistem saraf otonom juga dipengaruhi jika seseorang mengalami
kecemasan. Sistem saraf otonom yaitu pada saraf simpatis melalui serat
adrenergik kemudian mensekresi norepinefrin akan menggeser sistem
kekebalam mukosa lambung menuju respons Th2, yaitu akan terjadi
peningkatan sel mast dan pelepasan nitrit oksida. 21
Sel mast merupakan mediator kimia pada terjadinya reaksi alergi.
Peningkatan degranulasi sel mast sebagai reaksi imunitas tubuh akan
berpengaruh pada berbagai sistem organ pada tubuh, salah satunya
adalah pencernaan. Adanya peningkatan pelepasan granula sel mast
akan berakibat pada peningkatan sekresi cairan lambung dan
peningkatan peristaltik pencernaan, sehingga akan mengakibatkan

xi
adanya keluhan seperti diare, mual, muntah yang merupakan salah satu
keluhan pada sindrom dispepsia.23
Nitrit oksida (NO) merupakan salah satu mekanisme pertahanan
yang dibentuk oleh endotel kapiler melalui aktivitas endothelium derived
vascular relaxation factor. NO berfungsi sebagai sitoprotekor dengan
menstimulasi mukus gaster, meningkatkan aliran darah mukosa, dan
mempertahankan fungsi ketahanan sel epitel sehingga mencegah
munculnya keluhan sindrom dispepsia seperti nyeri. 24

KESIMPULAN
Terdapat hubungan kecemasan dengan kejadian sindrom
dispepsia pada mahasiswa program studi pendidikan dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak

DAFTAR PUSTAKA
1. Gentile JP and Roman B. Medical student mental health services:
psychiatrist treating medical students. Psychiatry 2009; 6(5):38-45.
2. Sadock BJ and Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: behavioral science/clinical psychiatry, 10th edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
3. Ebert MH, Loosen PT, and Nurcomble B. Current diagnosis &
treatment in psychiatry. New York: Mc. Graw Hill, 2007.
4. Beesdo K, Knappe S, and Pine DS. Anxiety and anxiety disorders in
adolescents: developmental issues and implication for DSM-V.
Psychiatr Clin North Am 2009; 32(3): 483-524
5. Dyrbye LN, Thomas MR, and Shanafelt TD . Systematic review of
depression, anxiety, and other indicators of psychological distress
among United States and Canadian medical students. Acad Med
2006; 81:354-373.

xii
6. Bunevicius A, Katkute A, and Bunevicius R. Symptoms of anxiety and
depression in medical students and in humanities students:
relationship with big-five personality dimension and vulnerability to
stress. Int J Soc Psychiatry 2008; 54: 494-501.
7. Ahmed I, Banu H, Al-Fageer R, et al. Cognitive emotions: depression
and anxiety in medical student and staff. Journal Crit Care 2009; 24:
e1-e18.
8. Ismiyati GN. Derajat kecemasaan mahasiswa semester V Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran UNAIR dalam melaksanakan tugas modul
penelitian. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010.
9. Murni AW. Hubungan depresi dengan Infeksi Helicobacter Pylori serta
perbedaan gambaran Histo-patologi mukosa lambung pada penderita
dispepsia fungsional. Jakarta: Universitas Indonesia, 2010:13-16
10. Andre Y. Hubungan pola makan dengan kejadian depresi pada
penderita dispepsia fungsional. Jurnal FK Unand 2013; 2(2): 73-5
11. Khotimah N. Sindroma dispepsia mahasiswa Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2012.
12. Mastawa I. Manfaat amitriptilin dalam pengobatan dispepsia fungsional
pada remaja. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013.
13. Susilawati. Hubungan pola makan dengan kejadian sindroma
dispepsia fungsional pada remaja di Madrasah Aliyah Negeri Model
Manado. Skripsi. Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2013
14. Hutapea MN. Hubungan tingkat stres dengan kejadian dispepsia
fungsional pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2014
15. ADP Mak, Wu JC, Chan Y, et al. Dyspepsia is strongly associated
major depression and generalized anxiety disorders. Aliment
Pharmacol Therapy 2012; 36(8):800-810.

xiii
16. Lely B. Perbedaan antara tingkat kecemasan mahasiswa kedokteran
laki-laki dan perempuan angkatan 2011 FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam menghadapi ujian OSCE. Skripsi. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014.
17. Motaz BI, Moataz H.A. Prefalence of anxiety and depression among
medical and pharmaceutical students in Alexandria University.
Alexandria Journal of Medicine 2015; 51:167-173.
18. Dwigint S. The relation of diet pattern and dyspepsia syndrom in
college students. J Majority 2015; 4(1): 73-80.
19. Ihsan EA, Mezal TJ, Jassim HA, et al. Seroprevalence oh Helicobacter
pylori Among Healthy Medical Students in Al-Basrah Province. DJMBR
2014; 1(2): 12-7.
20. Rulianti MN. Hubungan depresi dan sindrom dispepsia pada pasien
penderita keganasan yang menjalani kemoterapi di RSUP DR. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 2013; 2(3): 137-140.
21. Nur HSK, Arinton IG, Hilma P. Korelasi skor dispepsia dan skor
kecemasan pada pasien dispepsia rawat jalan klinik penyakit dalam di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health
2011; 5(3).
22. Ly HG, Weltens N, Tack J, et al. Acute Anxiety and Anxiety Disorders
Are Associated With Impaired Gastric Accommodation in Patients With
Functional Dyspepsia. Clin gastroenterol hepatol 2015; 13(9): 1584-
91.e3.
23. Simmons FER, Ardusso LRF, Bilò MB, et al. World allergy organization
guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. WAO
Journal 2011; 4:13-37.
24. Gossal F, Paringkoan B, Wenas NT. Patofisiologi dan penanganan
gastropati obat antiinflamasi nonsteroid. J Indon Med Assoc. 2012;
62:444-9.

xiv

Anda mungkin juga menyukai