Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN NYERI

A. Konsep Kebutuhan Nyeri


1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, yang menyakitkan
tubuh serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan–bahan yang dapat
menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk,
2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan
tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.Nyeri
dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat
diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental
atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal
dan tidak hanya membayangkannya saja.Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari
stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional.(Potter & Perry, 2005).
2. Fisiologi Nyeri
Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga
pengalaman emosional dan psikologis yang menyebabkan nyeri, terdapat rangkaian
peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi
dan persepsi. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi
aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu
transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer
yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang
meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang
otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex.
Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol
transmisi nyeri. Suatu senyawa tertentu telah diternukan di sistem saraf pusat yang
secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Senyawa ini diaktifkan
jika terjadi relaksasi atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto. G, 2003).
Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga
menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. Bahkan struktur
otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena
nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif yang dialami seseorang
sehingga sangat sulit untuk memahaminya (Dewanto.G, 2003). Nyeri diawali sebagai
pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin,
prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah
yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal
spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan
kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti
panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan
ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri
dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat
kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka
(Potter & Perry, 2005).
Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh
meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan
parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah,
peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot,
dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri
dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan,
kelelahan, dan pucat.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang
spesifik dan sering dapat diperkirakan. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh
berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status
emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber nyeri dan dasar pengetahuan pasien.
Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode
nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat
ditingkatkan dengan obatobatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek
spiritual (Le Mone & Burke,2008).
5. Jenis-Jenis Nyeri Spesifik
a. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang menetap setelah cedera jaringan telah
sembuh dan ditandai dengan penurunan ambang batas sensorik dan nosiseptif
(alodinia dan hiperalgesia). Cedera saraf perifer akibat trauma, pembedahan, atau
penyakit (contohnya diabetes) sering kali menimbulkan komplikasi berupa nyeri
neuropatik. Pasien kanker memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita nyeri
neuropatik yang disebabkan oleh radioterapi atau berbagai macam agen
kemoterapi. Meskipun nyeri akut dan inflamasi biasanya dianggap sebagai suatu
mekanisme adaptif dari sistem nyeri untuk memberikan peringatan dan
perlindungan, nyeri neuropatik sebenarnya mencerminkan fungsi maladaptif
(patofisiologis) dari sistem nyeri yang telah rusak.
Pada kebanyakan pasien, nyeri neuropatik akan menetap sepanjang hidupnya
dan akan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup dari segi fisik,
emosional, dan juga sosial. Saat ini, keefektifan terapi nyeri neuropatik masih
bersifat terbatas, dimana hanya sebagai terapi simtomatik untuk nyeri neuropatik.
Opioid, gabapentin, amitriptilin, dan preparat kanabis telah dicoba dan keefektifan
terapi ini terbukti masih tebatas. Proses patofisiologis dari nyeri neuropatik
memiliki ciri khas berupa respon neuroinflamasi yang muncul setelah terjadinya
aktivasi dari sistem kekebalan tubuh nonspesifik (innate immune system). Toll-like
receptor 2 dan 4 (TLR2 dan TLR4) yang ditemukan pada mikroglia tampaknya
memicu aktivasi glial, yang memulai jalur proinflamasi dan transduksi sinyal yang
akhirnya memicu produksi dari sitokin proinflamasi. Alodinia yang sudah terjadi
dapat dikembalikan dengan antagonis reseptor TLR4 yang diberikan secara
intratekal, yang mencegah aktivasi dari faktor transkripsi NF-ĸB (nuclear factor
kappalight- chain-enhancer of activated B cells) dan mencegah overproduksi TNF-
α (tumor necrosis factor-alpha) di dalam medula spinalis setelah terjadinya cedera
saraf skiatik. Central cannabinoid receptor 2 (CB2) tampaknya memiliki peran
protektif dan administrasi agonis reseptor CB2 dapat menumpulkan respon
neuroinflamasi dan dengan ini dapat mencegah terjadinya neuropati perifer dengan
menghalangi jalur-jalur sinyal tertentu.
Gambaran patologis umum dari kerusakan saraf meliputi terjadinya
mielinisasi/demielinisasi segmental yang abnormal serta aksonopati, dimulai dari
terjadinya defisit transpor metabolik dan aksoplasmik hingga terjadinya transeksi
akson yang nyata (aksotomi). Setelah cedera saraf terjadi, stump proksimal dari
akson akan menutup dan membentuk suatu pembengkakan terminal atau "end
bulb", dan sejumlah prosesus halus (tunas seperti "kecambah") akan mulai tumbuh
dari end bulb dalam kurun waktu 1 atau 2 hari. Tunas yang mulai tumbuh ini
biasanya memanjang didalam tabung endoneurial mereka dan akan
mengembalikan sensasi normal pada target perifer yang sesuai. Namun, saat
pertumbuhan akson terhambat, seperti yang terjadi pada amputasi anggota gerak
tubuh/ekstremitas, end bulb beserta tunasnya akan membentuk suatu massa kusut
di ujung saraf, yang disebut dengan suatu neuroma ujung saraf (nerve-end
neuroma). Biasanya, ektopik firing yang dihasilkan oleh end bulb dan tunasnya di
dalam neuroma, dan oleh badan sel pada DRG, secara signifikan berkontribusi
terhadap hipersensitivitas nosiseptif dan mekanosensitifitas ektopik yang timbul
setelah terjadinya cedera saraf.
b. Nyeri Viseral
Walaupun nyeri somatik dapat dengan mudah dilokalisir dan ditandai oleh
sensasi yang jelas, namun nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, biasanya
mengacu pada area-area somatik (contohnya, otot dan kulit), dan biasanya
diasosiasikan dengan reaksi emosional dan otonom yang lebih kuat. Nyeri viseral
sering dihasilkan oleh stimuli yang berbeda dari stimuli untuk aktivasi nociceptors
somatik. Karakteristik ini mungkin disebabkan oleh adanya inervasi saraf ganda
dan struktur yang unik dari ujung reseptif viseral. Di antara semua jaringan di
dalam tubuh, visera bersifat unik karena masing-masing organ menerima
persarafan dari dua jenis kelompok saraf, yaitu nervus vagal dan nervus spinalis
atau pelvic nerve dan nervus spinalis, dan inervasi aferen viseral juga lebih jarang
dibandingkan dengan inervasi somatik. Serabut aferen viseral di medula spinalis
memiliki badan sel yang terletak di dorsal root ganglia (DRG) dan berakhir di
dalam kornu dorsalis spinalis. Terminasi sentral dari aferen viseral di nervus
spinalis terjadi pada lamina I, II, V, dan X dan penyampaian informasi sensorik
viseral adalah melalui traktus spinotalamikus yang kontralateral atau kolumna
dorsalis yang ipsilateral ke area otak di supraspinal.
Neuron-neuron spinalis ini juga menerima input konvergen dari struktur viseral
dan struktur somatik lainnya, sehingga memberikan dasar struktural untuk referred
pain; sebagai contoh, nyeri pada rahang kiri dan lengan kiri yang menyertai
iskemia miokard biasanya dimediasi oleh konvergensi dari area sensori viseral dan
juga somatik. Struktur saraf lainnya yang menyampaikan informasi nyeri dari
organ-organ di rongga toraks dan abdomen adalah nervus vagus, yang memiliki
badan sel di ganglion nodusum dan terminal sentral didalam nukleus traktus
solitarius. Inervasi aferen vagus memainkan peran penting dalam munculnya reaksi
otonom dan emosional yang menonjol pada penyakit-penyakit viseral yang
diasosiasikan dengan rasa nyeri. Mayoritas serabut aferen viseral adalah berupa
serabut Aδ yang bermielin tipis atau serabut C yang tidak termielinisasi dengan
ujung-ujung saraf bebas yang tidak terselubung (unencapsulated), dan sejumlah
kecil serabut Aβ yang diasosiasikan dengan badan Pacini di mesenterium.
Mechanosensitive endings dengan diferensiasi terbaik terdapat pada
intraganglionic laminar endings (IGLEs) dan susunan intramuskular yang terkait
dengan serat-serat aferen vagal yang menginervasi gaster. Sebagian besar neuron
sensori viseral ini mengandung substansia P dan/atau CGRP, dan mereka juga
mengekspresikan reseptor faktor pertumbuhan saraf yaitu TrkA. Biomarker-
biomarker tesebut akan meningkat secara signifikan dan nociceptor juga akan
tesensitisasi saat peradangan viseral terjadi. Tidak seperti stimuli noksius yang
menginduksi nyeri somatik, banyak juga stimuli yang merusak (seperti
pemotongan, pembakaran, penjepitan) tidak akan menimbulkan rasa sakit saat
dilakukan pada struktur viseral.
Aktivasi nociceptor viseral umumnya disebabkan oleh iskemia, peregangan
ligamen, spasme otot polos, atau distensi dari struktur-struktur berongga seperti
kantong empedu, duktus biliaris komunis, atau ureter. Rangsangan-rangsangan
tersebut terjadi akibat proses patologis viseral, dan rasa nyeri yang ditimbulkan
dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk bertahan hidup dengan dilakukannya
imobilitas.
c. Sindroma Nyeri Regional yang Kompleks
Klasifikasi Nyeri Kronis dari International Association for the Study of Pain
(IASP) mendefinisikan sindroma nyeri regional yang kompleks (complex regional
pain syndrome – CRPS) sebagai "berbagai kondisi menyakitkan setelah terjadinya
cedera, yang muncul secara regional dengan gejala abnormal didominasi oleh regio
distal, baik tingkat dan durasinya telah melebihi perjalanan klinis yang seharusnya,
dimana sering mengakibatkan penurunan fungsi motorik yang signifikan, dan
menunjukkan perkembangan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Sindroma nyeri
kronis ini memiliki karakteristik klinis yang berbeda seperti nyeri spontan,
alodinia, hiperalgesia, edema, kelainan otonom, gangguan gerakan aktif dan pasif,
dan perubahan trofik pada kulit dan jaringan subkutan. Terdapat dua jenis CRPS,
tipe I (distrofi reflek simpatis) dan tipe II (kausalgia), yang dibedakan dengan
adanya suatu cedera saraf mayor yang dapat diidentifikasi dalam CRPS II dan tidak
adanya cedera saraf mayor pada CRPS I. CRPS I lebih sering terjadi daripada
CRPS II, dan populasi penderita lebih sering adalah wanita dibandingkan dengan
laki-laki (2:1 hingga 4:1). Insiden kejadian CRPS I adalah sebesar 1% hingga 2%
pada fraktur, 12% pada lesi otak, dan 5% pada infark miokard, dan kejadian CRPS
II pada cedera saraf perifer bervariasi dari 2% hingga 14% pada kasus-kasus yang
berbeda, dengan nilai rata-rata sebesar 4%.
Kriteria klinis IASP berikut diterapkan untuk mendiagnosis CRPS. CRPS tipe
I: (a) tipe I adalah sindroma yang muncul setelah mengalami kejadian yang
berbahaya/noksius; (b) terjadi nyeri spontan atau alodinia/hiperalgesia, yang tidak
hanya terbatas pada satu area saraf perifer saja, dan sifatnya tidak proporsional
dengan peristiwa penyebab nyeri tersebut; (c) ditemukannya edema atau bekas
edema, abnormalitas pada aliran darah kulit, atau aktivitas sudomotor yang
abnormal di area nyeri sejak terjadinya peristiwa penyebab nyeri; dan (d) diagnosis
ini dieksklusi apabila kondisi/penyebab dari rasa nyeri dan disfungsi jaringan telah
ditemukan. CRPS tipe II: (a) tipe II adalah sindrom yang muncul setelah tejadinya
cedera saraf; terjadi nyeri spontan atau alodinia/hiperalgesia dan tidak hanya
terbatas pada area saraf yang cedera saja; (b) ditemukannya edema atau bekas
edema, abnormalitas pada aliran darah kulit, atau aktivitas sudomotor yang
abnormal di area nyeri sejak terjadinya peristiwa penyebab nyeri; dan (c) diagnosis
ini dieksklusi apabila kondisi/penyebab dari rasa nyeri dan disfungsi jaringan telah
ditemukan. Mekanisme yang mendasari patogenesis CRPS masih belum jelas,
walaupun sudah diakui bahwa CRPS adalah penyakit neurologis yang melibatkan
sistem otonom, sensorik, dan motorik serta area kortikal yang terlibat dalam
pemrosesan informasi kognitif dan afektif, dan komponen inflamasi nampaknya
berperan penting dalam fase akut penyakit ini. Regimen pengobatan yang efektif
untuk CRPS sampai saat ini masih sangat sedikit.
d. Nyeri pada Neonatus dan Bayi
Banyaknya bukti yang ada saat ini telah dapat mengesampingkan pemikiran
usang bahwa anak kecil tidak merasakan sakit karena PNS dan SSP mereka masih
imatur. Respon terhadap rangsangan somatik dimulai pada hari ke 15 (E15, dimana
usia kehamilan adalah 21,5 hari) pada janin tikus, dan janin manusia
mengembangkan persepsi nyeri pada usia kehamilan 23 minggu. Maturitas
perilaku terhadap nyeri saat postnatal berkembang dengan cepat pasca kelahiran.
Biasanya, bayi baru lahir dan anak-anak memiliki ambang batas nyeri yang jauh
lebih rendah daripada orang dewasa dan respon mereka terhadap nyeri juga sangat
berlebihan. Beberapa studi klinis mengungkapkan tentang efek jangka panjang dari
pengalaman nyeri saat neonatal, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia
kehamilan saat lahir, lamanya dirawat di unit perawatan intensif, intensitas
stimulus dan gaya mengasuh anak. Balita dan remaja ternyata menunjukkan
hipersensitivitas jangka panjang terhadap rangsangan nyeri setelah mengalami
pengalaman yang menyakitkan saat masih neonatus. Temuan ini menekankan
tentang pentingnya penanganan nyeri yang optimal pada neonatus dan bayi.
e. Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang
paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri.Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut Smeltzer & Bare
(2002) adalah sebagai berikut:
1) Skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik


3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0: Tidak nyeri
1-3: Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasidengan baik.
4-6: Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9: Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10: Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai
yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat
dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak
yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurut dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling
tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri.
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai
nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2005).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (PotterPotter & Perry, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca
dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif
bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga
mengevaluasiperubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau
saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan
atau peningkatan (Potter & Perry, 2005).
B. Rencana Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Kebutuhan Nyeri
1. Pengkajian Keperawatan
a. Status kesehatan
b. Status kesehatan saat ini
- Alasan masuk rumah sakit
- Faktor pencetus
- Faktor memperberat nyeri ; ketakutan, kelelahan.
- Keluhan utama
- Timbulnya keluhan
- Pemahamanaan penatalaksanaan masalah kesehatan
- Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
- Diagnosa medik
c. Status kesehatan masa lalu
- Penyakit yang pernah dialami
- Pernah dirawat
- Operasi
- Riwayat alergi
- Status imunisasi
- Kebiasaan obat – obatan
2. Pengakajian riwayat nyeri
Sifat nyeri ; ( P, Q, R, S, T )
P : provocating ( pemacu ) dan paliative yaitu faktor yang meningkatkan atau
mengurangi nyeri

Q : Quality dan Quantity

 Supervisial : tajam, menusuk, membakar


 Dalam : tajam, tumpul, nyeri terus
 Visceral : tajam, tumpul, nyeri terus, kejang
R : region atau radiation ( area atau daerah ) : penjalaran

S : severty atau keganasan : intensitas nyeri

T : time ( waktu serangan, lamanya, kekerapan muncul.

- Lokasi
- Intensitas
- Kualitas dan karakteristik
- Waktu terjadinya dan interval
- Respon nyeri
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang USG, hasil tes darah urine : HGB 9.1 02/dl, Albumin 2,85,
SGOT 12, SGPT 6, Ureum 190, Ceratinin 4,39.
4. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan : Nyeri akut b/d agens cedera fisik (prosedur bedah)
a. Definsi : pengalaman sensorik dan emosional dan tidak menyenangkan dengan
kerusakan jaringan actual atau potensial, ataun digambarkan sebagai suatu
kerusakan (Internastional Association for the study of pain) ; awitan yang tiba-
tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan ke berat, terjad konstan atau
berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau di prediksi dan berlangsung
lebih dari (>3) bulan.
b. Batasan karakteristik
 Ekspresi wajah nyeri (tampak kacau)
 Hambatan kemampuan meneruskan aktivitas sebelumnya
 Laporan tentang perilaku nyeri (Herdman & Kamitsuru, 2015)
5. Perencanaan
Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
Setelah dilakukan tindakan keparawatan selama 2x24 jam maka nyeri akut dapat
Kontrol dengan kriteria:
a. Mengenali kapan nyeri terjadi dari jarang menunjukkan (2) menjadi sering
menunjukkan (4)
b. Menggunakan tindakan pencengahan
c. Menggunakan analgesic yang rekomendasikan
d. Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri (Moorhead, Jhonson, Maas, &
Swanson, 2016)
6. Intervensi
Manajemen nyeri
a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
pencetus.
b. Gunakan strategi komanikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri
c. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan dirasakan dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur
d. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
e. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri
f. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri
(Bulechek, Butcher, Docthterman, & Wagner, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Docthterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi keenam. Singapore: ELSEVIER.
Dewanto. G. (2003). Patofisiologi Nyeri. Majalah Kedokteran Atmajaya.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Diagnosis Keperawatan
Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Kozier dkk.( 2009 ). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis edisi 5. Jakarta : EGC.
Le Mone dan Burke. (2008). Education Consultant for the Oregon State Board of Nursing.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M. l., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Edisi Kelima. Singapore: ELSEVIER.
Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta: EGC.
Tamsuri. (2007). Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai

  • STEMI
    STEMI
    Dokumen18 halaman
    STEMI
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Askep Ca Laring
    Askep Ca Laring
    Dokumen22 halaman
    Askep Ca Laring
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Sop Tehnik Relaksasi Napas Dalam
    Sop Tehnik Relaksasi Napas Dalam
    Dokumen3 halaman
    Sop Tehnik Relaksasi Napas Dalam
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Vericela
    LP Vericela
    Dokumen17 halaman
    LP Vericela
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Tugas Katim
    Manajemen Tugas Katim
    Dokumen3 halaman
    Manajemen Tugas Katim
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Trauma Panggul
    Trauma Panggul
    Dokumen9 halaman
    Trauma Panggul
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Inc
    LP Inc
    Dokumen31 halaman
    LP Inc
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Ca Buli
    LP Ca Buli
    Dokumen16 halaman
    LP Ca Buli
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN PENDAHULUAN Efusi Pleura Ic Benar
    LAPORAN PENDAHULUAN Efusi Pleura Ic Benar
    Dokumen22 halaman
    LAPORAN PENDAHULUAN Efusi Pleura Ic Benar
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Fungsi Urinaria
    Fungsi Urinaria
    Dokumen2 halaman
    Fungsi Urinaria
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Febris
    LP Febris
    Dokumen5 halaman
    LP Febris
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nyeri
    LP Nyeri
    Dokumen21 halaman
    LP Nyeri
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • STEMI
    STEMI
    Dokumen19 halaman
    STEMI
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nyeri
    LP Nyeri
    Dokumen21 halaman
    LP Nyeri
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nyeri
    LP Nyeri
    Dokumen21 halaman
    LP Nyeri
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Kebutuhan Nyeri Fatma
    LP Kebutuhan Nyeri Fatma
    Dokumen12 halaman
    LP Kebutuhan Nyeri Fatma
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Sejarah Panti Werdha
    Sejarah Panti Werdha
    Dokumen2 halaman
    Sejarah Panti Werdha
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Pathway
    Pathway
    Dokumen1 halaman
    Pathway
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Sop Mengukur Tanda
    Sop Mengukur Tanda
    Dokumen4 halaman
    Sop Mengukur Tanda
    uchy
    Belum ada peringkat
  • Astk Ekg
    Astk Ekg
    Dokumen3 halaman
    Astk Ekg
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nyeri
    LP Nyeri
    Dokumen21 halaman
    LP Nyeri
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nyeri
    LP Nyeri
    Dokumen21 halaman
    LP Nyeri
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • BERKAS
    BERKAS
    Dokumen6 halaman
    BERKAS
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • KDP SOP Attachment-1
    KDP SOP Attachment-1
    Dokumen11 halaman
    KDP SOP Attachment-1
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Latihan
    LP Latihan
    Dokumen12 halaman
    LP Latihan
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • LP Nutrisi
    LP Nutrisi
    Dokumen26 halaman
    LP Nutrisi
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Kolegium Keperwatan
    Kolegium Keperwatan
    Dokumen3 halaman
    Kolegium Keperwatan
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • BERKAS
    BERKAS
    Dokumen6 halaman
    BERKAS
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat
  • Askep CKR
    Askep CKR
    Dokumen22 halaman
    Askep CKR
    Anonymous mDv5QDcp
    Belum ada peringkat