Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keyakinan Diri

1. Pengertian Keyakinan Diri

Keyakinan diri merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.

Konsep keyakinan diri pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Keyakinan diri

mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan

mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura,

1986,) Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura

tersebut. Pervin menyatakan bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang

dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang

khusus (Smet, 1994).

Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa

keyakinan diri adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk

membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin

tidak dapat diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.

2. Dimensi Keyakinan Diri

Bandura (1997) mengemukakan bahwa keyakinan diri individu dapat dilihat

dari tiga dimensi, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


a. Tingkat (level)

Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat

kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang tinggi pada tugas yang

mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan

kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi

cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan

kemampuannya.

b. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau tugas

pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada

aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu

dengan keyakinan diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang

sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki keyakinan

diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam

menyelesaikan suatu tugas.

c. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau

kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri menunjukkan bahwa

tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan

yang diharapkan individu. Keyakinan diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha

yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri mencakup

dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).

Universitas Sumatera Utara


3. Sumber-Sumber Keyakinan Diri

Bandura (1986) menjelaskan bahwa keyakinan diri individu didasarkan pada

empat hal, yaitu:

a. Pengalaman akan kesuksesan

Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya

terhadap keyakinan diri individu karena didasarkan pada pengalaman otentik.

Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan diri individu meningkat,

sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya keyakinan diri,

khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan diri individu belum benar-

benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan keyakinan diri

individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau

pengaruh dari keadaan luar.

b. Pengalaman individu lain

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan

kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Keyakinan diri juga dipengaruhi

oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu

lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan keyakinan diri individu tersebut pada

bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan

mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu

tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan

individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan

banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri

dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan

Universitas Sumatera Utara


yang memungkinkan keyakinan diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman

individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang

lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

c. Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu

memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang

diinginkan.

d. Keadaan fisiologis

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas

sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis

yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak

diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari

keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi

isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, keyakinan diri bersumber pada pengalaman

akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan

fisiologis individu.

4. Proses-proses keyakinan diri

Bandura (1997) menguraikan proses psikologis keyakinan diri dalam

mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara

dibawah ini :

Universitas Sumatera Utara


a. Proses kognitif

Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan

sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk

mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh

penilaian individu akan kemampuan kognitifnya.

Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian

sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek

kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam

berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan

mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang

diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk

mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan

proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.

b. Proses motivasi

Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk

mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan

menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan

tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif

yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori

atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan.

Keyakinan diri mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang

memiliki keyakinan diri akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam

mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan

Universitas Sumatera Utara


individu dengan keyakinan diri yang rendah menilai kegagalannya disebabkan

oleh kurangnya kemampuan.

Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan

akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut.

Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan

tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut

mengandung keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan

konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari

konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu

harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome

expectation.

c. Proses afeksi

Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam

menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol

kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar

untuk mencapai tujuan.

Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul

pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu

terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami

ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin

dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang

mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki

akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.

Universitas Sumatera Utara


d. Proses seleksi

Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi

tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang

diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku

membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika

menghadapi masalah atau situasi sulit. Keyakinan diri dapat membentuk hidup

individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu

melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini

mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan

sosial atas pilihan yang ditentukan.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses keyakinan diri meliputi

proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi, dan proses seleksi.

B. Penyesuaian Diri

1. Pengertian penyesuaian diri

Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang

sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan

berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh

individu. Menurut Runyon (1984), konsep penyesuaian diri sebagai keadaan

mengimplikasikan bahwa individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well

adjusted dan maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik

terkadang tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau

orang lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan

Universitas Sumatera Utara


kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan tidak

mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu yang

berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu karena situasi

senantiasa berubah.

Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang

terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu

berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang

terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses,

penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana

kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah.

Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu

proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu

berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya

kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara

diri sendiri dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun

lingkungan menjadi agen perubahan.

Definisi penyesuaian diri menurut Atwater (1979) menambahkan penjelasan

Schneiders tentang perubahan sebagai hasil penyesuaian diri. Atwater

mengemukakan bahwa penyesuaian diri terdiri dari perubahan-perubahan yang

terjadi pada diri individu dan lingkungan di sekeliling individu yang dibutuhkan

untuk mencapai kepuasan dalam hubungan dengan orang lain dan dengan

lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri

adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu,

yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena

terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan

keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan.

2. Karakteristik penyesuaian diri

Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang normal

meliputi tujuh karakteristik sebagai berikut :

a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive

emotionality)

Penyesuaian diri yang baik dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang

relatif berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi yang merusak.

Individu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang

baik akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik.

b. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (absence of psychological

mechanisms)

Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih

mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang

memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai

tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal

jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk

mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan

Universitas Sumatera Utara


penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa

tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.

c. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sence of personal

frustation)

Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak

mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi ataupun masalah yang

dihadapi.

d. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self

direction)

Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai

dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan

dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara

rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya.

e. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)

Proses penyesuaian diri yang baik selalu dapat ditandai dengan sejumlah

pertumbuhan atau perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang

individu menyelesaikan situasi atau ancaman bagi dirinya.

f. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience)

Adanya kesediaan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman

merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang baik.

Universitas Sumatera Utara


g. Sikap-sikap yang realistik dan objektif (realistic and objective attitude)

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap

realitas yang dihadapi. Sikap yang realistik dan objektif didasarkan pada

proses belajar.

Penyesuaian diri yang ada pada individu terbagi dalam dua bentuk. Menurut

Hartono & Sunarto (2002) terdapat penyesuaian diri yang baik dan yang buruk.

a. Penyesuaian diri yang baik

Hartono & Sunarto (2002) mengatakan bahwa dalam melakukan penyesuaian

diri yang baik, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:

1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung.

Dalam situasi ini individu secara langsung mengahadapi masalahnya dengan

segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan

masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang siswa yang terlambat

dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara

langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.

2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.

Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat

menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang

merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan

dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku,

konsultasi, diskusi dan sebagainya.

3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.

Universitas Sumatera Utara


Dalam cara ini, individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti

kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf

pemikiran ini kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara

eksplorasi.

4) Penyesuaian dengan subsitusi (mencari pengganti).

Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat

memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal

nonton film di bioskop, maka ia pindah nonton TV.

5) Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri.

Dalam hal ini, individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan

khusus dalam dirinya dan kemudian dikembangkan sehingga dapat

membantu penyesuaian diri. Misalnya, seorang siswa yang mempunyai

kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya

dalam menulis (mengarang). Dari usaha mengarang ia dapat membantu

mengatasi kesulitan dalam keuangan.

6) Penyesuaian dengan belajar.

Dengan belajar, individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan

keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya, seorang

guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang

berbagai pengetahuan.

7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.

Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan

memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula.

Universitas Sumatera Utara


Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus

dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang

disebut dengan inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu

mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.

8) Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat.

Dalam situasi ini, tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang

diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah

dipertimbangkan dari berbagai segi, yaitu segi untung dan ruginya.

b. Penyesuaian diri yang buruk

Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif dapat

mengakibatkan individu melakukan penyesuaian diri yang negatif. Ada tiga

bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu:

1) Reaksi bertahan

Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak

menghadapi kegagalan. Ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa

dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:

a) Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk

membenarkan tindakannya.

b) Represi, yaitu berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan

kurang enak ke dalam alam tak sadar. Ia berusaha melupakan

pengalamannya yang kurang menyenangkan.

Universitas Sumatera Utara


c) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak

lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang

pemuda yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci

dirinya.

d) Anggur kecut (sour grapes), yaitu dengan memutarbalikkan

kenyataan. Misalnya, seorang siswa yang gagal mengetik mengatakan

bahwa mesin tiknya rusak, padahal ia sendiri tidak bisa mengetik.

2) Reaksi menyerang

Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah

laku yang bersifat menyeranag untuk menutupi kegagalannnya. Ia tidak

mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah

laku:

a) Selalu membenarkan diri sendiri

b) Mau berkuasa dalam setiap situasi

c) Mau memiliki segalanya

d) Bersikap senang mengganggu orang lain

e) Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan

f) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka

g) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak

h) Keras kepala dalam perbuatannya

i) Bersikap balas dendam

j) Memperkosa hak orang lain

k) Tindakan yang serampangan

Universitas Sumatera Utara


l) Marah secara sadis

3) Reaksi melarikan diri

Dalam reaksi ini, orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan

melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya. Reaksinya

tampak dalam tingkah laku seperti berfantasi (memunculkan keinginan

yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan seolah-olah sudah tercapai),

banyak tidur, minum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja,

narkotika dan regresi (kembali pada tingkah laku yang semodel dengan

tingkat perkembangan yang /lebih awal, misalnya orang dewasa yang

bersikap dan berwatak seperti anak kecil), dan lain-lain.

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua

karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu penyesuaian diri yang baik

dan penyesuaian diri yang buruk.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian

diri adalah :

a. Keadaan fisik (physical conditions)

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian

diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi

terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis

akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan

penyesuaian diri.

Universitas Sumatera Utara


b. Perkembangan dan kematangan (development and maturation)

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap

perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan

tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena

proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang.

Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi

mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

c. Kondisi psikologis (psychological determinants)

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian

diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan

cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian

diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan

respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya.

Banyak variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah

pengalaman, pendidikan, konsep diri dan lain-lain.

d. Keadaan lingkungan (environmental conditions)

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan

pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-

anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses

penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak

tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami

gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan

yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.

Universitas Sumatera Utara


e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan (cultural and religion)

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang

dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain.

Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti,

tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan

perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada

suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah

laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk

individu yang sulit menyesuaikan diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan

kematangan, kondisi psikologis, keadaan lingkungan, serta religiusitas dan

kebudayaan.

C. Sekolah Berasrama SMA Budi Murni Deli Tua

1. Sekolah Berasrama

Ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni

munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah) dan

penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school.

Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid

mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian

dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam

Universitas Sumatera Utara


hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para

guru pembimbing (Maknun, 2006).

Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi

secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk

menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta mengespresikan rasa seni

dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi

dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan tersebut berlangsung dari

pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Mereka menghadapi makhluk hidup

yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama. dinamika dan romantika

yang sama juga (Maknun, 2006).

Kehadiran dan keberadaannya sekolah berasrama adalah suatu konsekuensi

logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang

religiusitas masyarakat. Lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah

terutama di kota-kota besar. Sebagian penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana

masyarakat homogen. Kebiasaan lama bertempat tinggal dengan kelurga besar

satu marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan

plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena

berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu, sebagian

besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial

seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan

intelektual dan moralitas anak (Maknun, 2006).

Dari banyak sekolah-sekolah berasrama di Indonesia, terdapat tiga corak yaitu

bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang

Universitas Sumatera Utara


bercorak agama terbagi dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat

sampai yang agak liberal. Hal ini merupakan representasi dari corak

keberagamaan di Indonesia yang umumnya mengambil tiga bentuk tersebut.

Kemudian yang bercorak militer karena ingin memindahkan pola pendidikan

kedisiplinan di militer kedalam pendidikan di sekolah berasrama. Sedangkan

corak nasionalis-religius mengambil posisi pada pendidikan semi militer yang

dipadu dengan nuansa agama dalam pembinaannya di sekolah (Maknun, 2006).

a. Kelebihan sekolah berasrama

Menurut Maknun (2006) ada beberapa kelebihan sekolah berasrama jika

dibandingkan dengan sekolah reguler yaitu:

1) Program Pendidikan Paripurna

Umumnya sekolah-sekolah reguler terkonsentrasi pada kegiatan-

kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak

tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam

pengelolaan program pendidikan pada sekolah reguler. Sebaliknya,

sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang

komprehensif-holistik dari program pendidikan keagamaan, academic

development, life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun

wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran

teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun

belajar hidup.

Universitas Sumatera Utara


2) Fasilitas lengkap

Sekolah berasrama mempunyai fasilitas lengkap, mulai dari fasilitas

sekolah yaitu kelas belajar yang baik, laboratorium, klinik, sarana olah

raga semua cabang olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau.

Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar, telepon, TV, tempat

handuk, karpet di seluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar

mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, detektor

kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas,

pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari

meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan, dan pecah belah yang

lengkap, lemari es, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak

memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.

3) Guru yang berkualitas

Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas

guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional.

Kecerdasan intelektual, sosial, spiritual, dan kemampuan paedagogis-

metodologis harus dimiliki oleh setiap guru di sekolah berasrama.

Kemudian ditambah lagi kemampuan bahasa asing seperti Inggris, Arab,

Mandarin, dan lain-lain. Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama belum

mampu mengintegrasikan guru sekolah dengan guru asrama. Masih terdapat

dua kutub yang sangat ekstrim antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan

pengasuhan. Pendidikan dilakukan oleh guru sekolah dan pengasuhan

dilakukan oleh guru asrama.

Universitas Sumatera Utara


4) Lingkungan yang kondusif

Dalam sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek

sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau

bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang

dewasa yang ada di sekolah berasrama adalah guru. Siswa tidak bisa lagi

diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek

kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihat siswa di dalam

kelas, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya.

5) Siswa yang heterogen

Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar

belakang yang tingkat heterogenitasnya tinggi. Siswa berasal dari

berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat

kecerdasan, kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini

sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa

berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik

bagi anak untuk melatih wisdom dan menghargai pluralitas.

6) Jaminan keamanan

Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan

siswa-siswinya. Oleh karena itu, banyak sekolah asrama yang mengadopsi

pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata

tertib dibuat secara lengkap dengan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya.

Daftar “dosa” diurutkan sedemikian rupa dari dosa kecil, menengah,

sampai berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasrama, mulai dari

Universitas Sumatera Utara


jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak narkoba,

terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan

perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.

7) Jaminan kualitas

Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-holistik,

fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas dan lingkungan yang

kondusif dan terkontrol, dapat memberikan jaminan kualitas jika

dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama,

pintar tidak pintarnya anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung

pada sekolah karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat

dipastikan tidak ada variabel yang lain mengintervensi perkembangan dan

progresifitas pendidikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang

masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-

lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual,

sehingga setiap siswa dapat meningkatnya bakat dan potensi individunya.

b. Kekurangan sekolah berasrama

Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama masih banyak mempunyai

kekurangan-kekurangan yang belum dapat diatasi sehingga banyak sekolah

berasrama layu sebelum berkembang. Hal ini terjadi pada sekolah-sekolah

berasrama yang masih merintis (Maknun, 2006). Faktor-faktornya adalah

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


1) Ideologi sekolah berasrama yang tidak jelas

Term ideology digunakan untuk menjelaskan tipologi atau corak sekolah

berasrama, apakah religius, nasionalis, atau nasional-religius. Sekolah

berasrama yang mengambil corak religius sangatlah beragam, mulai dari

yang fundamentalis, moderat sampai liberal. Masalahnya dalam

implementasi ideologinya tidak dilakukan secara jelas. Terlalu banyak

improvisasi yang bias dan keluar dari pakem atau frame ideologi tersebut.

Hal itu juga serupa dengan nasionalis, tidak mengadop pola-pola

pendidikan kedisiplinan militer secara jelas. Akibatnya terdapat kekerasan

dalam sekolah berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam

praktik sekolah berasrama masih belum jelas formatnya.

2) Dikotomi guru sekolah vs guru asrama (pengasuhan)

Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok

untuk sekolah berasrama. Penghasil guru (Lembaga Pendidikan Tenaga

Kependidikan/ LPTK, IKIP dan mantan IKIP) tidak memproduksi guru-

guru sekolah berasrama. Akibatnya masing-masing sekolah mendidik guru

asramanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga

tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) hanya untuk mengampu mata

pelajarannya, sementara guru pengasuhan hanya bicara soal pengasuhan.

Padahal idealnya, dua kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah

berasrama. Hal ini penting agar tidak terjadinya saling menyalahkan dalam

proses pendidikan antara guru sekolah dan guru asrama.

Universitas Sumatera Utara


3) Kurikulum pengasuhan yang tidak baku

Salah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah

kurikulum pengasuhannya. Jika bicara kurikulum akademiknya dapat

dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada

kurikulum produk Departemen Pendidikan Nasional dengan ditambah

pengayaan atau suplemen kurikulum internasional dan muatan lokal.

Tetapi jika bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang

sangat militer (sangat disiplin) sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-

duanya mempunyai efek negatif, pola militer melahirkan siswa yang

berwatak kemiliter-militeran dan pola yang terlalu lunak menghasilkan

siswa watak licik yang bisa menghantar sang siswa mempermainkan

peraturan

4) Sekolah dan asrama terletak dalam satu lokasi

Pada umumnya, sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi

dan dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini telah banyak berkontribusi

dalam menciptakan kejenuhan anak selama berada di sekolah asrama.

Idealnya siswa harus mengalami semacam proses berangkat ke sekolah.

Dengan begitu, mereka mengenyam suasana meninggalkan tempat

menginap, berinteraksi dengan sesama siswa di jalan, serta melihat

aktivitas masyarakat di sepanjang jalan.

Universitas Sumatera Utara


2. SMA Budi Murni Deli Tua

SMA Budi Murni Deli Tua merupakan salah satu model sekolah berasrama

yang bercorak nasionalis-religius. Sekolah SMA Budi Murni Deli Tua ini

merupakan unit pendidikan dari Yayasan Ordo Saudara Dina Konventual (OFM

Conv.). Misi sekolah SMA Budi Murni Deli Tua adalah untuk mendampingi

siswa melalui pendidikan sekolah berasrama. Sesuai dengan misi SMA Budi

Murni Deli Tua sebagai sekolah berasrama, pendidikannya meliputi dua bidang

yaitu bidang asrama dan bidang sekolah yang terpadu.

SMA Budi Murni Deli Tua menyediakan asrama putri. Penyelenggaraan asrama

didampingi oleh pamong asrama. Pamong asrama bukanlah orang awam, melainkan

biarawati yang disebut Suster. Suasana asrama membentuk warga asrama untuk

mengembangkan diri dan potensinya secara optimal dalam bidang pengetahuan,

keterampilan, sikap, dan nilai-nilai hidup yang diperlukan untuk siap

melanjutkan ke perguruan tinggi maupun hidup di tengah masyarakat.

Pendidikan bidang sekolah di SMA Budi Murni Deli Tua diselenggarakan

melalui pelaksanaan kurikulum baku dan kurikulum pengembangan. Kurikulum

baku adalah kurikulum yang dibakukan pemerintah sebagai kurikulum standar

minimal secara nasional. Kurikulum pengembangan adalah kegiatan-kegiatan

terobosan pengembangan kurikulum untuk memperkaya pendidikan, pelatihan

dan pembimbingan peserta didik, yaitu berupa kelompok kegiatan intelektualitas,

religiusitas, dan sosialitas. Pengajar SMA Budi Murni Deli Tua disebut sebagai

guru, yang berfungsi sebagai pendamping, fasilitator, mediator, instruktor,

Universitas Sumatera Utara


motivator bagi peserta didik. Sementara peserta didik merupakan subjek

pendidikan yang dituntut lebih aktif dan mandiri dalam kegiatan belajar mengajar.

Proses pendidikan di SMA Budi Murni Deli Tua memadukan unsur-unsur

pendidikan formal, non formal, dan informal. Menurut Undang-undang No. 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan formal dapat

diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pendidikan nonformal

merupakan pendidikan yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik

dengan penekanan pada keluasan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta

pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sedangkan kegiatan pendidikan

informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar

secara mandiri. Unsur-unsur pendidikan formal, non formal, dan informal dalam

proses pendidikan di SMA Budi Murni Deli Tua ini mencakup segi-segi

intelektualitas, religiusitas, dan sosialitas.

D. Hubungan Keyakinan Diri dengan Penyesuaian Diri Siswa SMA Budi

Murni Deli Tua yang Tinggal di Asrama

Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk

meningkatkan kualitas anak didik. Nama lain dari istilah boarding school adalah

sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang

di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan

agama atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Selama 24 jam anak didik berada

di bawah pengawasan para guru pembimbing (Maknun, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Sekolah berasrama merupakan model sekolah yang memiliki tuntutan yang

lebih tinggi jika dibanding sekolah reguler (Vembriarto, 1993). Tuntutan-tuntutan

tersebut dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif bagi kehidupan

siswa. Dampak positif dari sekolah berasrama tersebut antara lain membangun

wawasan pendidikan keagamaan yang tidak hanya sampai pada tataran teoritis

tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu maupun belajar hidup,

membangun wawasan nasional siswa sehingga terbiasa berinteraksi dengan teman

sebaya yang berasal dari berbagai latar belakang dan dapat melatih anak untuk

menghargai pluralitas, memberikan jaminan keamanan dengan tata tertib yang

dibuat secara jelas serta sanksi-sanksi bagi pelanggarnya sehingga keamaanan

anak terjaga seperti terhindar dari pergaulan bebas, dan lain-lain (Maknun, 2006).

Selain dampak positif, ternyata tuntutan dari sekolah berasrama juga dapat

berpengaruh negatif bagi siswa, seperti pola pengasuhan yang tidak baku dan

sangat beragam dari yang sangat militer (disiplin) sampai ada yang terlalu lunak

dimana keduanya mempunyai efek negatif yaitu pola militer yang melahirkan

siswa yang berwatak keras dan pola yang terlalu lunak menimbulkan watak licik

yang dapat menghantarkan siswa suka mempermainkan peraturan, kondisi dan

aktivitas yang dijalani siswa dapat menciptakan kejenuhan, dan lain-lain

(Maknun, 2006). Banyak individu yang menderita, stres dan tidak mampu mencapai

kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya menghadapi tuntutan

sekolah berasrama (Mu’tadin, 2005).

Sekolah berasrama menghadapkan siswa pada berbagai tuntutan sekolah dan

asrama seperti tuntutan akan kemandirian, tuntutan akan tanggung jawab, dan

Universitas Sumatera Utara


tuntutan akademik. Tuntutan akan kemandirian terlihat dari ketentuan yang

mengharuskan siswa untuk mampu mengurus sendiri kebutuhan pribadinya,

seperti mencuci, menyetrika, dan melakukan tugas piket asrama. Tuntutan akan

tanggung jawab adalah tuntutan terhadap siswa untuk mematuhi peraturan

sekolah, peraturan asrama, mengikuti kegiatan sekolah dan asrama, serta

menjalankan setiap tugas sekolah dan asrama secara bertanggung jawab sesuai

dengan perannya. Tuntutan akademik yaitu tuntutan terhadap siswa untuk

memiliki prestasi yang baik sesuai standar nilai yang ditetapkan sekolah. Siswa

yang gagal memenuhi tuntutan tersebut akan dikenai sanksi sesuai aturan. Sanksi

yang terberat adalah pemutusan hubungan dengan sekolah dan asrama.

Tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah dan asrama dapat menimbulkan stress

(Widiastono, 2001). Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai

kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya menghadapi tuntutan-

tuntutan di sekolah berasrama (Mu’tadin, 2005). Oleh karena itu, untuk

meminimalisir dampak negatif tersebut, diperlukan penyesuaian diri pada siswa

sebagai mekanisme yang efektif untuk mengatasi stres dan menghindarkan

terjadinya krisis psikologis (Calhoun,1990). Menurut Runyon (1984), ketika

individu mempunyai penyesuaian diri yang baik maka individu akan mampu

mengatasi stres dan mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup.

Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan

tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi

konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga

tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan

Universitas Sumatera Utara


tuntutan lingkungan (Schneiders, 1964). Menyesuaikan diri berarti mengubah

dengan cara yang tepat untuk memenuhi tuntutan tertentu (Mu’tadin, 2002).

Penyesuaian diri berlangsung secara terus menerus antara memuaskan kebutuhan

diri sendiri dengan tuntutan lingkungan. Ketika individu mempunyai penyesuaian

diri yang baik maka individu akan mampu mengatasi stres dan mengatasi

masalah-masalah yang timbul dalam hidup (Runyon, 1984).

Penyesuaian diri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Schneiders (1964)

menyebutkan bahwa kondisi psikologis merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri. Kondisi psikologis meliputi keadaan mental

individu yang sehat, dimana individu yang memiliki mental yang sehat memiliki

kemampuan untuk melakukan pengaturan terhadap dirinya sendiri dalam

membentuk perilakunya secara efektif (Schneiders, 1964). Dalam mengatur suatu

perilaku yang akan dibentuk atau tidak, individu tidak hanya mempertimbangkan

informasi tentang keuntungan dan kerugian dari perilaku, tetapi juga

mempertimbangkan sampai sejauh mana individu memiliki kemampuan mengatur

perilaku tersebut (Bandura, 1986). Oleh karena itu, untuk memiliki kemampuan

dalam mengatur perilaku ini diperlukan keyakinan diri.

Keyakinan diri adalah perasaan individu akan kemampuannya dalam

mengerjakan suatu tugas sehingga individu mampu mengorganisasi dan

mengimplementasi tindakan yang dibutuhkan untuk menampilkan suatu

kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Keyakinan diri individu akan menunjukkan

kemampuan dirinya untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi

Universitas Sumatera Utara


khusus yang mungkin tidak dapat diramalkan dan dapat menimbulkan stress

(Bandura, 1986).

Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam

dimensinya. Dimensi keyakinan diri individu ketika melakukan suatu tugas

berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas, keluasan individu terhadap tugas, dan

kemantapan individu akan hasil tugas yang diharapkan. Dengan demikian,

keyakinan diri menjadi dasar diri individu untuk melakukan usaha dalam

menyesuaikan kemampuan individu terhadap berbagai tugas, bahkan ketika

menemui hambatan sekalipun (Bandura, 1997).

Siswa yang tinggal di sekolah berasrama dihadapkan pada berbagai tuntutan,

baik tuntutan kemandirian, tanggung jawab maupun akademik. Kehidupan siswa

di sekolah berasrama dapat dirasakan sebagai masa ketegangan karena siswa

harus menyesuaikan kemampuan diri siswa dengan berbagai tuntutan tersebut.

Kemampuan siswa dalam mengatur perilakunya terhadap tuntutan-tuntutan

tersebut didasarkan atas keyakinan diri yang dimilikinya. Dengan keyakinan diri

tersebut, maka dapat menentukan kemampuan penyesuaian diri siswa dalam

memenuhi berbagai tuntutan yang ada, dan pada akhirnya akan mempengaruhi

keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan di sekolah asrama (Wijaya,

2007).

Universitas Sumatera Utara


E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini

adalah ada hubungan yang positif antara keyakinan diri dengan penyesuaian diri

siswa kelas X yang tinggal di asrama, yaitu semakin tinggi keyakinan diri siswa

maka penyesuaian diri yang dimiliki siswa semakin baik, dan sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai