Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Self Efficacy

1. Definisi Self-efficacy

Terdapat beberapa definisi terkait self-efficacy, menurut Bandura (1997) self-


efficacy adalah kemampuan seseorang untuk merencanakan dan melaksanakan
serangkaian tindakan untuk mencapai suatu tujuan. Baron dan Byrne (2005)
memaparkan bahwa self-efficacy sebagai evaluasi diri terhadap kemampuan dan
kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan
menghadapi hambatan yang terjadi.
Santrock (2007) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan bahwa
seseorang dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil positif. Sedangkan menurut
Stipex & Maddux (dalam Santrock, 2007) self-efficacy adalah keyakinan bahwa
seseorang bisa dan ketidak berdayaan adalah keyakinan bahwa seseorang tidak bisa.
Yusud dan Nurihsan (2008) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan
keyakinan diri (sikap percaya diri) terhadap kemampuan sendiri untuk menampilkan
tingkah laku yang akan mengarahkannya kepada hasil yang diharapkan. Mukhid (2009)
menjelaskan bahwa self-efficacy adalah pendapat bagi seseorang tentang
kemampuannya untuk merencanakan atau melaksanankan tindakan untuk mencapai
tujuan tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy
adalah keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan dan
merencanakan suatu tugas untuk mencapai tujuan.

7
2. Dimensi Self-efficacy

Bandura (1997) membagi self-efficacy menjadi tiga dimensi yang perlu


diperhatikan apabila hendak mengukur keyakinan diri seseorang, berikut dimensi
menurut Bandura:
a. Dimensi tingkat (Level / Magnitude)
Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas individu, yang mana individu
merasa mampu untuk melakukannya. Penilaian self-efficacy pada setiap individu
akan berbeda-beda, baik pada saat menghadapi tugas yang mudah atau tugas yang
sulit. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan
sederhana, atau juga pada tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang
tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas
yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
b. Dimensi kekuatan (Strength)
Dimensi ini menunjukkan pada seberapa yakin individu dalam menggunakan
kemampuannya pada pengerjaan tugas. Hal ini berkaitan dengan perilaku yang
dibutuhkan dalam mencapai penyelesaian tugas yang muncul pada saat dibutuhkan.
Dengan self-efficacy, kekuatan untuk usaha yang lebih besar mampu didapatkan.
Individu yang memiliki keyakinan kurang kuat dengan kemampuannya maka
dengan mudah menyerah jika menghadapi hambatan. Tapi sebaliknya, individu
yang memiliki keyakinan yang kuat dengan kemampuannya akan terus berusaha
dalam menghadapi hambatan.
c. Dimensi generalisasi (Generality)
Generality menjelaskan tentang keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas
tertentu dengan tuntas dan baik. Tiap individu memeliki keyakinan yang berbeda-
beda sesuai dengan tugas yang berbeda. Ruang lingkup tugas-tugas yang dilakukan
bisa berbeda dan tergantung dari persamaan derajat aktivitas, kemampuan yang
diekpresikan dalam hal tingkah laku, pemikiran dan emosi, kualitas dari situasi yang

8
ditampilkan dan sifat individu dalam tingkah laku secara langsung ketika
menyelesaikan tugas.

3. Sumber-sumber terbentuknya Self-efficacy

Self-efficacy individu diperoleh, dikembangkan atau diturunkan melalui empat


sumber. Berikut empat sumber terbentuknya self-efficacy menurut Bandura (1997) :
a. Mastery experience
Sumber self-efficacy ini adalah yang paling penting, karena didasarkan pada
pengalaman yang secara langsung dialami oleh individu. Apabila individu
memperoleh keberhasilan akan sesuatu yang dikerjakannya, hal itu akan
membangun keyakinan yang kuat akan kepercayaan diri. Sebaliknya, jika
mengalami kegagalan hal ini dapat melemahkan individu, khususnya jika kegagalan
terjadi sebelum keyakinan pada diri terbentuk.
b. Vicarious experience
Sumber self-efficacy dapat dipengaruhi oleh pengamatan individu terhadap
pengalaman orang lain. Individu menggunakan modellung sebagai suatu cara belajar
dengan mengamati tingkah laku atau mengamati pengalaman orang lain. Melihat
keberhasilan orang lain dalam melakukan aktivitas atau tugas tertentu maka akan
meningkatkan self-efficacy individu, terutama jika individu merasa memiliki
kemampuan yang sebanding dengan orang tersebut dan usaha yang tekun serta ulet.
Individu berkeyakinan kalau orang lain bisa maka dirinya juga bisa.
c. Verbal persuasion
Persuasi verbal (verbal persuasion) berhubungan dengan dorongan atau hambatan
yang diterima oleh seseorang dari lingkungan sosial yang berupa pemaparan
mengenai penilaian secara verbal dan tindakan dari orang, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. Persuasi verbal ini mengarahkan individu agar lebih giat dan
berusaha dengan keras untuk memperoleh tujuan yang diinginkan dan mencapai
kesuksesan. Sumber yang dipercaya pengaruhnya dalam meningkatkan self-efficacy,

9
semakin dipercaya sumber persuasi verbal makan akan semakin berpengaruh pada
self-efficacy begitu pun sebalikna.
d. Somatic and emotional state
Sumber terakhir yang memengaruhi self-efficacy adalah kondisi fisik dan emosi
(somatic and emotional state). Individu mengandalkan kondisi fisik dan emosi untuk
menilai kemampuan pada dirinya. Reaksi stress dan ketegangan yang dianggap
sebagai tanda bahwa mereka memiliki performa yang buruk akan menurunkan self-
efficacy dalam aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina, individu akan
menilai kelelahan dan rasa sakit sebagai tanda kelemahan. Dalam hal ini, penting
bagi individu untuk mengetahui dan mengartikan kondisi fisik dan emosi. Individu
yang yakin kondisi emosi dan fisik akan mempunyai self-efficacy yang lebih besar,
sebaliknya bagi individu yang ragu dengan keadaan diri sendiri maka akan
melemahkan self-efficacy nya sendiri.

4. Faktor-faktor yang memengaruhi Self-efficacy

Bandura (1997) mengemukakan bahwa perbedaan tingkat self-efficacy


diperngaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Sifat yang dihadapi, semakin kompleks dan sulit suatu tugas bagi individu maka
semakin besar keraguan terhadap kemampuannya, sebaliknya jika individu
dihadapkan pada tugas yang sederhana dan mudah maka ia sangat yakin pada
kemampuannya untuk berhasil.
b. Insentif eksternal, yaitu adanya insentif berupa hadiah (reward) dari orang lain
untuk merefleksikan keberhasilan individu dalam menguasai atau melaksanakan
suatu tugas akan meningkatkan efikasi dirinya. Reward yang tepat akan
meningkatkan motivasi individu dalam menyelesaikan suatu tugas. Contohnya
mahasiswa mampu merevisi skripsi tanpa harus mengalami kesalahan yang sama
seperti sebelumnya, lalu dosen pembimbing memberi apresisasi kepadanya. Tentu

10
saja hal ini akan membuat mahasiswa semakin bersemangat dalam menyelesaikan
skripsinya.
c. Status individu dalam lingkungan, individu yang memiliki status sosial lebih tinggi
akan memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi dibandingkan individu yang
berstatus sosial lebih rendah. Status sosial tinggi membuat indivdu memperoleh
penghargaan lebih dari orang lain sehingga dapat berpengaruh pula terhadap self-
efficacy individu. Contohnya mahasiswa yang aktif berogarnisasi akan lebih
memiliki self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang jarang atau
tidak pernah mengikuti organisasi kampus.
d. Informasi tentang kemampuan diri, self-efficacy akan meningkat jika individu
mendapatkan informasi yang positif tentang dirinya, sebaliknya self-efficacy akan
menurun jika individu mendapatkan informasi negatif mengenai kemampuannya.
Contohnya ketika dosen pembimbing menyakinkan mahasiswa bahwa ia mampu
dalam menyelesaikan tugas nya makan hal ini akan meningkatkan semangat dan
keyakinan bahwa mahasiswa tersebut bisa menyelesaikannya.

B. Dukungan Sosial Teman Sebaya

1. Definisi Dukungan Sosial Teman Sebaya


a. Dukungan Sosial
Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial terdiri dari
informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang
didapat karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek
perilaku bagi pihak penerima. Rook (dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan
sosial sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan
kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu dari
konsekuensi stress. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa
tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan
sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari

11
kelompok. Senada dengan pendapat diatas Sarafino (dalam Smet, 1994)
menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan akan
kepedulian atau membantu orang menerima dari orang atau kelompok lain.
Selanjutnya, dukungan sosial menurut Cohen dan Syme (dalam Apollo &
Cahyadi, 2012) adalah sumber-sumber yang disediakan orang lain terhadap individu
yang dapat memengaruhi kesejahteraan individu yang bersangkutan. Lebih lanjut
dukungan sosial menurut House dan Khan (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) adalah
tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi,
bantuan instrumen, dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya. Menurut Cohen dan Hoberman (dalam Isnawati & Suhariadi,
2013) dukungan sosial mengacu pada berbagai sumber daya yang disediakan oleh
hubungan antar pribadi seseorang.
Ganster (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) dukungan sosial adalah
tersedianya hubungan yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi
individu yang menerimanya. Definisi ini sejalan dengan pendapat Cohen dan Wills
(dalam Mojaverian & Kim, 2013) mendefiniskan dukungan sosial sebagai persepsi
atau pengalaman saling menyayangi, menghargai dan dihargai, serta bagian dari
jaringan sosial yang saling menolong dan merupakan kewajiban. Sedangkan
menurut Cobb (dalam Iglesia, Stover & Liporace, 2014) yang menyatakan bahwa
dukungan sosial merupakan persepsi dimana seseorang seharusnya disayangi dan
diapresiasi, selain itu juga tentang rasa saling memiliki dalam suatu kelompok yang
dapat diandalkan ketika dibutuhkan.
Marni dan Yuniawati (2015) mengemukakan bahwa dukungan sosial yaitu
berupa dukungan pada seseorang dalam menghadapi masalah seperti nasihat, kasih
sayang, perhatian, petunjuk dan dapat juga berupa barang atau jasa yang diberikan
oleh keluarga maupun teman.
Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan
bahwa dukungan sosial adalah persepsi individu ketika merasa dicintai dan dihargai,
merasa diperdulikan dan diperhatikan oleh orang lain.

12
b. Teman Sebaya
Teman sebaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai
kawan, sahabat atau orang yang sama-sama bekerja dan berbuat. Santosa (2004)
berpendapat teman sebaya adalah kelompok anak sebaya yang sukses ketika
anggotanya dapat berinteraksi. Hal-hal yang dialami oleh anak-anak tersebut adalah hal
yang menyenangkan saja. Dengan bersama teman sebaya individu bisa melakukan hal-
hal yang disukai.
Menurut Hurlock (dalam Fatimah, 2006) teman sebaya merupakan lingkungan
sosial pertama tempat remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang
bukan anggota keluarganya. Bersama teman sebaya remaja belajar untuk saling
menghargai, bertoleransi, dan bertanggung jawab.
Definisi lain mengenai teman sebaya menurut Tirtarahardja & Sulo (2008)
adalah suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang bersamaan usianya, antara
lain kelompok bermain pada masa kanak-kanak, kelompok monoseksual yang
beranggotakan anak-anak sejenis kelamin, atau gang yaitu kelompok anak-anak nakal.
Selaras dengan definisi dari Santrock (2009) yang mendefinisikan teman sebaya sebagai
sekumpulan individu dengan usia atau tingkat kedewasaannya kurang lebih sama.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya dapat
didefinisikan sebagai kelompok teman atau sahabat dengan kematang usia kurang lebih
sama yang bermain dan belajar untuk hidup bersama dengan saling menghargai,
bertoleransi dan bertanggung jawab.

c. Dukungan Sosial Teman Sebaya


Dukungan sosial teman sebaya merupakan suatu persepsi individu ketika
individu tersebut merasa diperdulikan dan diperhatikan oleh kelompok teman atau
sahabat yang usianya kurang lebih sama.

13
2. Sumber-sumber Dukungan Sosial
Goetlieb (1983) menyatakan ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu
hubungan professional yakni bersumber dari orang-orang yang ahli dibidangnya, seperti
konselor, psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara. Dan kedua, hubungan non-
profesional, yakni bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga.
Ada juga menurut Rook dan Dootey (1985) yang dikutip oleh Kuntjoro (2002),
ada 2 sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural.
a. Dukungan sosial artifisial
Dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam
kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui
berbagai sumbangan sosial.
b. Dukungan sosial natural
Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam
kehidupanya secara spontan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya,
misalnya anggota keluarga (anak, isteri, suami dan kerabat), teman dekat atau relasi.
Dukungan sosial ini bersifat non- formal.

3. Faktor-faktor terbentuknya Dukungan Sosial


Mayers (dalam Hobfoll, 1986) mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga faktor
penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif,
diantaranya:
a. Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi
emosi dan motivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan
kesejahteraan orang lain.
b. Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk
menjalankan kewajiban dalam kehidupan.
c. Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta,
pelayanan, informasi keseimbangan dan pertukaran akan menghasilkan kondisi

14
hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara
timbal balik ini membuat individu lebih oercaya bahwa orang lain akan
menyediakan.

4. Dimensi Dukungan Sosial


Menurut Smet (1994) dukungan sosial terbagi menjadi empat dimensi, yaitu
diantaranya sebagai berikut:
a. Dukungan emosional
yaitu mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang
bersangkutan (contoh: umpan baik dan penegasan).
b. Dukungan penghargaan
yaitu terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan
maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan
positif dengan orang lain, contohnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih
buruk keadaannya (menambah harga diri).
c. Dukungan instrumental
yaitu mencakup bantuan langsung, seperti orang-orang memberi pinajam uang
kepada orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stress.
d. Dukungan informatif
yaitu mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.

C. Mahasiswa Rantau

1. Definisi Mahasiswa Rantau


a. Mahasiswa
Menurut Bertens (2005) mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan
tinggi. Lebih jelasnya, mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses
menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada

15
salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institute dan universitas (Hartaji, 2012).
Menurut Susantoro (dalam Siregar, 2006) menyatakan bahwa sosok
mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuwannya yang
dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan objektif, sistematis dan irasional.
Budiman (2006) mendefinisikan mahasiswa sebagai orang yang belajar di sekolah
tingkat tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat serjana.
Mahasiswa secara harfiah adalah orang yang berlajar di perguruan tinggi, mereka
yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai
mahasiswa (Takwin, 2011).
Definisi lain mengenai mahasiswa dari Cemenius (dalam Sarwono, 2011)
mahasiswa termasuk ke dalam empat tahap dalam sistem pendidikan, dan dalam
rentang usia 18-24 tahun. Sehingga, dapat dipastikan bahwa mahasiswa adalah
seseorang yang mulai memasuki masa remaja akhir dan telah memasuki masa
dewasa dini.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa adalah orang yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi
untuk mempersiapkan diri bagi suatu keahlian tingkat sarjana.

b. Rantau
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) merantau adalah pergi ke
wilayah lain untuk mencari penghidupan, ilmu dsb. Lebih jelasnya menurut Dimas
(2001) Merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal di mana ia tumbuh dan
besar, ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman.
Sedangkan perantau adalah orang yang melakukan sebuah perpindahan dari
daerahnya ke daerah lain agar bisa mewujudkan impiannya dan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik yang tidak didapatkannya di daerah sendiri.
Menurut Mochtar (1979) merantau sedikitnya mengandung enam unsur
pokok, yaitu: Meninggalkan kampong halaman, Dengan kemauan sendiri, Jangka

16
waktu lama atau tidak, Tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, dan mencari
pengalaman, Biasanya dengan maksud kembali pulang dan Merantau ialah lembaga
sosial yang membudaya.
Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
rantau adalah perginya seseorang ke wilayah lain dengan tujuan mencari kehidupan,
menuntut ilmu dan mencari pengalaman.
c. Mahasiswa Rantau
Jadi pengertian mahasiswa rantau ialah orang yang sedang menjalani
pendidikan di perguruan tinggi untuk mempersiapkan diri bagi suatu keahlian
tingkat sarjana, dengan pergi ke wilayah lain dengan tujuan mencari kehidupan,
menuntut ilmu dan mencari pengalaman.

2. Tugas dan Peranan Mahasiswa


Menurut Siallagan (2011) tugas mahasiswa tidak hanya belajar di kelas, baca
buku, buat makalah, presentasi, diskusi, hadir ke seminar, dan kegiatan lainnya yang
bercorak kekampusan. Ada tugas lain sebagai mahasiswa yang lebih berat dan
menyentuh terhadap makna mahasiswa itu sendiri, yaitu sebagai agen perubah dan
pengontrol sosial masyarakat dan dituntut untuk menujukkan perannanya dalam
kehidupan nyata.
Dan tiga peranan mahasiswa menurut Siallagan (2011) yaitu :
a. Mahasiswa sebagai orang yang intelek, jenius, dan jeli harus bisa menjalankan
hidupnya secara proposional, sebagai seorang mahasiswa, anak, serta harapan
masyarakat.
b. Mahasiswa sebagai seorang yang hidup di kampus yang dikenal bebas berekspresi,
beraksi, berdiskusi, berspekulasi, dan berorasi, harus bisa menunjukkan tingkah lau
yang bermoral dalam setiap tindak tanduknya tanpa terkontaminasi dan terpengaruh
oleh kondisi dan lingkungan.

17
c. Mahasiswa sebagai seorang yang membawa perubahan harus selalu bersinergi,
berpikir kritis dan bertindak konkret yang terbingkai dengan kerelaan dan
keikhlasan untuk menjadi pelopor, penyampai aspirasi dan pelayan masyarakat.

D. Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Self-Efficacy Dalam


Menyelesaikan Skripsi Pada Mahasiswa Rantau

Banyak remaja Indonesia yang baru lulus sekolah menengah atas memilih untuk
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan banyak
perguruan tinggi unggulan berada di Pulan Jawa. 15 universitas terbaik di Indonesia, 13
diantaranya berada di Pulau Jawa (Dian, 2022). Ini menunjukkan bahwa universitas
perguruan tinggi berkualitas masih didominasi oleh perguruan tinggi di Pulau Jawa
dikarenakan tidak meratanya pendidikan di setiap wilayah Indonesia menyebabkan
tingginya jumlah mahasiswa yang merantau (Rufaida & Kustanti, 2017). Mahasiswa
merantau akan dihadapkan dengan berbagai perubahan dan perbedaan di berbagai aspek
kehidupan yang membutuhkan banyak penyesuaian (Chandra, 2004). Dalam penyesuaian
tentu tidak mudah, akan ada banyak kendala dan tekanan, yang bisa menjadi sumber stress
bagi mahasiswa rantau dan ditambah dengan tuntutan akademik yang cukup berat terutama
ketika memasuki masa pengerjaan skripsi (Sari & Aviani, 2020). Dalam proses
penyelesaian skripsi banyak ditemukan hambatan, secara umum dapat dilihat secara garis
besar dari jumlah perbandingan mahasiswa yang lulus dengan mahasiswa yang terdaftar
program skripsi (Gunawinata, Nanik, & Lasmono, 2006). Penyebab dari hal ini salah
satunya adalah karena terjadi penundaan dalam penyelesaian tugas akhir (Fibrianti, 2009).
Untuk mengatasi tuntutan yang dihadapi, mahasiswa rantau dalam mengerjakaran skripsi
dibutuhkan self-efficacy. Shankland (dalam Rachmah, 2013) menemukan bahwa mahasiswa
dengan self-efficacy yang tinggi mampu mengatasi berbagai tuntutan sebagai mahasiswa.
Mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi memiliki fleksibilitas dalam mencari
solusi terkait masalah perkuliahan yang dihadapi, menetapkan aspirasi yang lebih tinggi
pada pencapaian akademiknya, dan memiliki perfoma yang lebih baik disbanding

18
mahasiswa dengan self-efficacy rendah (Chemers, Hu & Garcia, 2001). Penelitian
Victoriana (2012) menunjukkan bahwa mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi
memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengendalikan situasi yang menekan sehingga ia
dapat mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya. Self-efficacy pada mahasiswa akan
memengaruhi dalam menentukan tujuan, reaksi emosional, usah, penyesuaian diri, dan
ketahanan sehingga lebih tenang ketika menghadapi kesulitan dalam bidang akademik.
Sebaliknya mahasiswa dengan self-efficacy yang rendah cenderung menilai masalah lebih
sulit daripada yang sebenarnya, lebih rentan terhadap stress, depresi dan memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang kurang baik (Arlinkasari & Akmal, 2017).
Dalam mengerjakan skripsi tidak hanya membutuhkan self-efficacy yang tinggi,
tetapi juga adanya dukungan sosial dari teman sebaya. Mahasiswa rantau yang tinggal jauh
dari orang tua lebih memungkinkan untuk mendapatkan dukunga sosial dari teman
sebayanya (Sari & Aviani, 2020). Banyak kasus yang terjadi di Indonesia lantaran stress
dalam mengerjakan skripsi, salah satunya mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi di Kota
Kediri berinisial MAM diduga depresi karena skripsi yang tak kunjung kelar (Nugroho,
2022). Kasus serupa juga terjadi dua tahun lalu, ditemukan mahasiswa rantau tingkat akhir
yang berkuliah di Universitas Mulawarman mengakhiri hidupnya karena depresi dengan
skripsi (Lestari, 2020). Dari kedua kasus tersebut, bahwa skripsi cenderung memicu
munculnya tekanan psikologis. Oleh karena itu, dukungan sosial menjadi penting untuk
diberikan kepada mahasiswa rantau yang sedang menyelesaikan skripsi, agar terhindar dari
stress. Hal ini sejalan dengan Smert (1994) yang mengatakan bahwa salah satu cara untuk
mereda stress dengan adanyan hubungan dukungan sosial.
Hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan self-efficacy sangat berkaitan,
ketika mahasiswa mendapatkan dukungan sosial maka self-efficacy nya akan meningkat,
yang tercermin dari sikap bersemangat dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri serta
mengupayakan berbagai usaha untuk mencapai target yakni menyelesaikan skripsi.
dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mendapatkan dukungan sosial maka self-
efficacy akan menurun, sehingga rasa semangat yang rendah dan merasa tidak bisa
mennyelesaikan targetnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan (Hanapi &

19
Agung, 2018) yaitu semakin besar dukungan sosial yang diterima mahasiswa, maka
semakin tinggi self-efficacy dalam menyelesaikan skripsi. Penelitian lainnya yang
mendukung hubungan dukungan sosial dan self-efficacy dilakukan oleh Sari dan Sumiati
(2016) bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dan self-efficacy dimana guru
yang memberi dukungan sosial dengan berupa dukungan informasi kepada siswa yang
berupa nasehat, saran, dan informasi. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sinaga dan Kustanti (2017) bahwa dukungan sosial teman sebaya memengaruhi self-
efficacy. Penelitian senada juga dilakukan oleh Karademas (2006) yang menemukan bahwa
seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi merasa nyaman dalam hubungan sosialnya dan
memiliki keyakinan bahwa ia memiliki keterampilan yang diperlukan. Dukungan sosial
yang tinggi, dapat meningkatkan keyakinan dan usaha yang dilakukan oleh siswa,
sedangkan dukungan sosial yang rendah dapat menurunkan keyakinan siswa (Riskia &
Dewi, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran orang lain memengaruhi seberapa
besar self-efficacy seseorang.

E. Hipotesis

Berdasarkan beberapa teori dan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara dukungan
sosial teman sebaya dan self-efficacy dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa rantau.

20

Anda mungkin juga menyukai