Anda di halaman 1dari 9

71

Keterkaitan Pola Pangan Harapan (Pph) dengan Kejadian Stunting Pada Balita

Rr Dewi Ngaisyah
Program Studi S-1 Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta

Abstrak

Dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita, pola konsumsi makanan berperan penting sehingga pola
konsumsi makanan yang baik perlu diperhatikan. Data Dinkes Kab. Sleman tahun 2014 angka
kejadian stunting di Provinsi DIY sebesar 14,32%, Kab. Sleman sebesar 12,87%, dari 12,87%
tersebar di 3 Kecamatan yang memiliki prevalensi tinggi yaitu Kecamatan Minggir 1,67%,
Kecamatan Ngemplak 1,44%, dan Kecamatan Moyudan 1,43%. Tujuandari penelitian ini adalah
Mengetahui hubungan pola pangan harapan dengan kejadian stunting pada balita di Kecamatan
Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Jenis penelitian adalah observasional menggunakan desain cross
sectional. Penelitian ini menggunakan sampel berjumalah 39 balita. Instrumen yang digunakan
adalah form skor PPH dan form recall 24 jam untuk melihat keragaman, kejadian stunting diperoleh
dengan menggunakan indeks TB/U dari pengukuran antropometri TB. Hasil penelitian ini adalah
Terdapat 21 sampel dalam kategori beragam, dari 21 sampel tersebut terdapat 20 sampel normal dan
1 sampel stunting, sampel tidak beragam sebanyak 18 sampel, dari 18 sampel 8 sampel normal dan
10 sampel stunting. Dari analisis chi-square diperoleh nilai X2 = 12.349 dan nilai p = 0,000.
Sehingga dapat disimpulan bahwa ada hubungan antara Pola Pangan Harapan dengan kejadian
stunting pada balita di Kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta.

Kata Kunci: Pola Pangan Harapan, Stunting.

Abstract
Fulfillment on nutritional needs, food consumption patterns play an important role so must be
concern on that. Data from departement of health Sleman in 2014 the prevalence of stunting in the
province amounted to 14.32%, Kab. Sleman amounted to 12.87%, from 12.87% spread across 3 sub-
district which has a high prevalence of 1.67%, Ngemplak 1.44%, and Moyudan 1.43%. To determine
relationship between Desirable Dietary Pattern with stunting incident on toddlers at Ngemplak,
Sleman, Yogyakarata. The study was observational using cross sectional design. This study was used
the sample of 39 toddlers. Desirable Dietary Pattern (DDP) Score form and recall 24 hours form was
used as an instrument to see the diversity, the incidence of stunting is obtained by using an index
TB/U. The samples were in diverse category as much as 21 samples, contained 20 samples were a
normal on nutritional status and 1 sample was stunting, the samples were in less diverse category as
much as 18 samples, 8 samples were a normal on nutritional status and 10 samples were a stunting.
Chi-square analysis values obtained X2 = 12 349 with p-value = 0.000. There is a relationship
between Desirable Dietary Pattern with stunting incident on toddlers at Ngemplak, Sleman,
Yogyakarata

Keywords: Desirable Dietary Pattern, Stunting

Korespondensi: Rr Dewi Ngaisyah , Program Studi S-1 Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati
Yogyakarta, JL. Laksda Adisucipto KM 6.3 Depok Sleman Jogyakarta mobile 0274-488781, Email:
dewi.fikes@yahoo.co.id

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.13, No. 1, Januari 2017


72

Pendahuluan 2012 ketahanan pangan Indonesia berada pada


Berbagai kajian di bidang gizi dan peringkat 72 dari 109 negara maka pada tahun
kesehatan menunjukkan bahwa untuk dapat 2014 turun menjadi peringkat 70 (Bappenas,
hidup sehat dan produktif, manusia 2014).
memerlukan sekitar 45 zat gizi yang harus Masalah gizi muncul karena dalam
diperoleh dari makanan yang dikonsumsi, dan mengkonsumsi makanan yang hanya dianggap
tidak ada satu jenis panganpun yang mampu enak dan mengenyangkan saja. Sementara gizi
memenuhi seluruh kebutuhan gizi bagi seimbang harus terpenuhi dari beragam
manusia. Dengan mengkonsumsi makanan makanan yang dikonsumsi, karena tidak ada
yang beranekaragam setiap hari, kekurangan makanan yang mempunyai kandungan gizi
zat gizi pada jenis makanan yang satu akan sempurna, sehingga perlu adanya
dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi penganekaragaman makanan yang dikonsumsi
jenis makanan lain, sehingga diperoleh (Murdiati, 2013).
masukan zat gizi yang seimbang. Selama ini Balita sedang melakukan proses
penilaian konsumsi pangan individu dilakukan pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga
dengan menghitung kecukupan gizi setiap zat memerlukan zat-zat makanan yang relatif
gizi. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) lebih banyak dengan kualitas yang lebih
merupakan instrumen sederhana untuk menilai tinggi. Jadi konsusmsi balita sudah seharusnya
situasi konsumsi pangan penduduk baik mendapatkan prioritas dalam distribusi
jumlah maupun komposisi pangan menurut makanan keluarga. Makanan yang baik adalah
jenis pangan yang dinyatakan dalam skor makanan yang tidak hanya memenuhi standar
PPH. Skor ini merupakan indikator mutu gizi kuantitas melainkan juga memenuhi standar
dan keragaman konsumsi pangan kualitas makanan. Makanan yang banyak
(Kementerian Pertanian, 2010). namun dengan komposisi gizi yang tidak
Data Statistik Ketahanan Pangan 2014 memadai belum merupakan menu yang baik
menggambarkan bahwa pola konsumsi untuk balita begitu juga makanan yang sudah
masyarakat Indonesia masih belum beragam memenuhi semua kebutuhan gizi namun dalan
karena masih didominasi dari kelompok jumlah yang kurang juga bukan menu makan
pangan bersumber dari padi-padian yaitu 58%, yang baik untuk balita (Hadi, 2005). Balita
konsumsi umbi-umbian hanya 1,9% yang mengalami hambatan dalam
sedangkan proporsi idealnya adalah 6%. pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan
Peningkatan impor pangan Indonesia pada makanan yang memadai dan penyakit infeksi
periode 2010-2013, kecuali bawang merah, yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan
jagung, kedelai dan gandum, rata-rata metabolik serta mengurangi nafsu makan,
mengalami kenaikan impor lebih dari 100% sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada
bahkan hingga 400%. Sedangkan Impor beras anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk
meningkat menjadi 482%, daging sapi 349%, mengatasi gangguan pertumbuhan yang
cabai 141% dan gula 114%. Jika pada tahun akhirnya berpeluang terjadinya stunting.

Ngaisyah, Keterkaitan Pola Pangan Harapan (Pph) dengan Kejadian Stunting Pada Balita
73

Stunting adalah keadaan dimana tubuh yang Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
sangat pendek hingga melampaui defisit -2 Maret 2016. Sampel pada penelitian ini
standar deviasi (SD) dibawah median panjang berjumlah 39 balita. Balita belum bisa
atau tinggi yang menjadi referensi dilakukan wawancara atau recall 24 jam,
internasional. Ada beberapa faktor yang sehingga wawancara dilakukan pada ibu balita
mempengaruhi stunting pada balita yakni yang merupakan responden penelitian.
faktor langsung yaitu asupan makanan dan Variabel Independen dalam penelitian
penyakit infeksi serta faktor tidak langsung ini adalah pola pangan harapan dan Variabel
yakni pengetahuan tentang gizi, pendidiakan Dependennya adalah kejadian stunting. Cara
orang tua, pendapatan orang tua, distribusi pengumpulan data pada penelitian ini untuk
makanan, dan besar keluarga. Oleh karena itu, melihat keragaman konsumsi makanan yaitu
masalah stunting merupakan cerminan dari menggunakan form skor PPH, dimana untuk
keadaan sosial ekonomi masyarakat (Gibney, mendapatkan energi aktual dari bahan
2009). makanan menggunakan form recall 24 jam,
Data Riskesdas tahun 2013 yaitu teknik pengumpulan data dengan
menunjukkan prevalensi nasional balita mengingat kembali asupan makan 24 jam
pendek (stunted) dan anak balita sangat yang lalu yang diisi oleh peneliti dan asisten
pendek (severe stunted) adalah 37,2% (18,0% peneliti dengan mewawancarai ibu atau
sangat pendek dan 19,2% pendek) (Riskesdas, pengasuh balita. Peneliti dan asisten peneliti
2013). Berdasarkan Data Dinkes Kab. Sleman menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan
tahun 2014 dimana angka kejadian stunting di penelitian . Dalam penelitian ini asisten
Provinsi DIY sebesar 14,32% dan Kab. peneliti berjumlah 3 orang yang sebelumnya
Sleman pada tahun 2014 angka kejadian sudah dilakukan apersepsi .
stunting sebesar 12,87%, dari 12,87% tersebut Form recall 24 jam sebagai alat untuk
tersebar di 3 Kecamatan yang memiliki mengambil data asupan makan balita dengan
prevalensi tinggi yaitu Kec. Minggir 1,67%, cara wawancara, recall 24 jam ini dilakukan
Kec. Ngemplak 1,44%, dan Kec. Moyudan sebanyak 3 kali dengan pengambilan datanya
1,43% (Dinkes Kab. Sleman, 2014). selang 1 hari, setelah itu dari ketiga hasil
Berdasarkan uraian tersebut, menjadi recall 24 jam tadi dikategorikan terlebih
alasan pentingnya penelitian tentang dahulu yang tergolong jenis pangan padi-
keterkaiatan pola pangan harapan dengan padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak
kejadian stunting di Kecamatan Ngemplak, dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-
Sleman, Yogyakarta. kacangan, gula, sayur dan buah. Setelah itu,
dihitung kandungan energinya dengan
Metode menggunakan nutrisurvey kemudian dirata-
Jenis penelitian ini adalah penelitian ratakan. Nilai rata-rata energi perkategori jenis
observasional, desain yang digunakan adalah
pangan kemudian dimasukkan ke dalam tabel
cross sectional. Penelitian dilaksanankan di skor PPH dan dihitung berdasarkan skor PPH.
Kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.13, No. 1, Januari 2017


74

Data tinggi badan balita, peneliti rendah. Sedangkan menurut Hardinsyah


melakukan pengukuran tinggi badan dengan (2007) bahwa semakin tinggi pendidikan
menggunakan alat ukur microtoise dengan seseorang, maka akses terhadap media massa
tingkat ketelitian 0,1 dibantu oleh asisten (koran, majalah, media elektronik) juga
peneliti dan umur diperoleh dengan mencatat semakin tinggi , hal ini berarti aksesnya
tanggal lahir balita. Analisis bivariate dalam terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi
penelitian ini menggunakan chi square test juga semakin tinggi.
dengan α 0,05.
Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan
Pekerjaan
Hasil
Variabe n %
Karakteristik respoden dalam penelitian Pekerjaan
ini adalah ibu balita dengan distribusi sebagai Bekerja 13 33.3
Tidak Bekerja 26 66.7
berikut:
Total 39 100

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan


Tingkat Pendidikan Berdasarkan tabel 2 menunjukkan
Variabe n % bahwa sebagian besar responden kategori
Tingkat Pendidikan tidak bekerja yaitu sebanyak 26 responden
Dasar 10 25.6
Menengah 17 43.6 (66.7%). Hal ini berarti sebagian besar
Tinggi 12 30.8 responden memiliki waktu yang banyak
Total 39 100
dengan balitanya sehingga bisa
memperhatikan dan mengasuh anaknya,
Berdasarkan tabel 1.menunjukkan sebaliknya pada ibu balita yang mengatakan
bahwa sebagian besar responden memiliki bekerja (Wiraswasta, Buruh Tani, dan
tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak Pramuniaga) tidak memiliki waktu yang
17 responden (43.6%). Semakin tinggi tingkat banyak dengan balitanya, khususnya di pagi
pendidikan seseorang, maka semakin tinggi hari sehingga balitanya dititipkan kepada
pula pengetahuannya serta informasi yang nenek ataupun pada pengasuhnya. Hal ini
diperoleh akan semakin banyak khususnya sesuai dengan teori Hardinsyah (2007) orang
tentang gizi dan makanan. Menurut tua yang bekerja terutama ibu akan
Soetjiningsih (2005) bahwa pendidikan orang mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk
tua merupakan salah satu faktor penting dalam memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada
tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan umumnya di daerah perdesaan anak yang
dalam keluarga khususnya seorang ibu dapat orang tuanya bekerja akan diasuh oleh
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kakaknya atau sanak saudaranya, sehingga
status gizi anak dalam keluarga. Semakin pengawasan terhadap makanan dan kesehatan
tinggi pendidikan orang tua maka anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja.
pengetahuannya gizi menjadi lebih baik Sedangkan menurut Soekirman (2005) jika ibu
dibandingkan dengan yang berpendidikan bekerja maka perhatian kepada anaknya

Ngaisyah, Keterkaitan Pola Pangan Harapan (Pph) dengan Kejadian Stunting Pada Balita
75

terutama untuk pola makannya sehari-hari


tidak dapat terpenuhi dengan baik sehingga Tabel 4 Distribusi Sampel berdasarkan
Pola Pangan Harapan
akan mempengaruhi status gizi anak balita.
Variabe n %
Keragaman Makanan
Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Tidak Beragam 18 46.2
Beragam 21 53.8
Tingkat Pendapatan 39 100
Total
Variabe n %
Tingkat Pendapatan
< Rp. 1 juta 8 20.5 Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa
Rp. 1 juta-Rp. 2 juta 27 69.2
> Rp. 2 juta 4 10.3 sebagian besar sampel berdasarkan pola
Total 39 100 pangan harapan dalam kategori beragam yaitu
sebanyak 21 sampel (53.8%). Upaya
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan pemenuhan konsumsi makanan berkaitan erat
bahwa sebagian besar responden memiliki dengan daya beli suatu bahan makanan.
tingkat pendapatan perbulan berkisar antara Menurut Friedman (2004) bahwa keluarga
Rp.1.000.000-Rp.2.000.000 yaitu sebanyak 27 dengan pendapatan terbatas besar
responden (69.2%). Jika dibandingkan dengan kemungkinan keanekaragaman bahan
nilai UMR Kabupaten Sleman tahun 2016 makanan bisa kurang terjamin.
sebesar Rp.1.338.000. Hal ini menandakan Selain itu, sebagian besar ibu balita
bahwa penghasilan responden masih dalam memiliki tingkat pendidikan yang menengah
kisaran nilai UMR. Pada penelitian ini tingkat (SMA/sederajat) dan tinggi (Perguruan
pendapatan berpengaruh terhadap kecukupan Tinggi) serta sedikit tidaknya mereka sudah
dan mutu makanan untuk balita sehingga mengetahui akan pentingnya gizi buat
apabila tingkat pendapatannya tinggi maka balitanya. Menurut Soetjiningsih (2005)
mutu makanan juga akan baik dan berdampak pendidikan orang tua merupakan salah satu
pada statu gizi balita. Hal ini sesuai dengan faktor yang penting dalam tumbuh kembang
teori Hardinsyah (2007) pendapatan keluarga anak. Tingkat pendidikan dalam keluarga
mempengaruhi ketersediaan makanan bergizi khususnya ibu dapat menjadi faktor yang
untuk keluarga. Ketahanan pangan yang tidak mempengaruhi status gizi anak dalam
memadai pada keluarga dapat mengakibatkan keluarga.
gizi kurang. Oleh karena itu, setiap keluarga
diharapkan mampu untuk memenuhi Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan
kebutuhan pangan dan ketersediaan makanan Kejadian Stunting
bergizi untuk seluruh anggota keluarganya. Variabe n %
Menurut Soekirman (2005) apabila Kejadian Stunting
pendapatan meningkat pola konsumsi pangan Stunting 11 28.2
akan semakin beragam, serta umunya akan Normal 28 71.8
terjadi peningkatan konsumsi pangan yang Total 39 100
lebih bernilai gizi tinggi.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.13, No. 1, Januari 2017


76

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa Berdasarkan penelitian Zahraini (2012) bahwa


sebagian besar sampel berdasarkan kejadian jumlah balita stunting yang mengkonsumsi
stunting dalam kategori normal yaitu sebanyak makanan beragam lebih kecil dibandingkan
28 sampel (71.8 %). Menurut Depkes (2007) dengan jumlah balita stunting yang belum
akibat tidak mengkonsumsi anekaragam mengkonsumsi makanan beragam yaitu
makanan akan mengakibatkan gangguan (52.4%).
pertumbuhan dan perkembangan pada balita.

Tabel 6. Keterkaitan Pola Pangan Harapan dengan Kejadian Stunting

Keragaman Makanan Kejadian Stunting Total X2 P-Value


Stunting Normal
n % n %
Tidak Beragam 10 55.6 8 44.4 18 12.349 0.000
Beragam 1 4.8 20 95.2 21
Total 11 28.2 28 71.8 39
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa yang cukup dan seimbang akan mampu
terdapat 21 sampel dalam kategori memenuhi kebutuhan zat gizi. Mengkonsumsi
konsumsinya beragam, dan status gizinya makanan yang beranekaragam sangat baik
normal, hanya ada 1 sampel kategori stunting. untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan
Dari hasil analisis berdasarkan uji chi-square oleh tubuh. Penelitian ini sesuai dengan
diperoleh hasil tingkat keberagaman konsumsi penelitian Kirana (2014) jumlah balita stunting
makanan dengan kejadian stunting pada balita yang konsumsinya beragam lebih kecil dari
di kecamatan Ngemlak, Sleman, Yogyakarta pada balita stunting yang konsumsinya tidak
mempunyai nilai p-value = 0.000. Ini beragam sebesar 52.3%. Didukung oleh
menunjukkan bahwa ada hubungan antara penelitian Nadimin (2010) bahwa terdapat
tingkat keberagaman konsumsi makanan balita yang diberikan makanan beraneka
dengan kejadian stunting pada balita. ragam memiliki status gizi normal (76.7%).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap ibu Beranekaragam makanan akan melengkapi
balita, sebagian besar responden yang kekurangan zat gizi dari satu jenis makanan
memiliki balita dalam kategori status gizi dan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari
normal dan asupan makanannya sudah makanan yang lain.
beragam yaitu ibu balita yang tidak bekerja Pada kelompok konsumsi tidak
dan sebagian besar balita yang sudah beragam dengan status gizi normal terdapat 8
mengkonsumsi makanan dengan total balita dan konsomsi tidak beragam dengan
energinya ≥ 1015,37 kkal. Hal ini stunting lenih banyak yakni terdapat 10 balita.
menunjukkan bahwa balita yang sudah Hal ini menunjukkan bahwa asupan makanan
mengkonsumsi makanan yang beragam akan sangat berperan penting dalam menentukan
memiliki status gizi yang lebih baik. Senada status gizi seseorang. Hal ini sesuai dengan
dengan Murdiati (2013) bahwa pangan yang teori Supariasa (2005) bahwa secara langsung
dikonsumsi secara beragam dalam jumlah asupan makanan yang dikonsumsi anak dapat

Ngaisyah, Keterkaitan Pola Pangan Harapan (Pph) dengan Kejadian Stunting Pada Balita
77

mempengaruhi status gizi anak. Menurut 4. Almatsier, S. (2005). Prinsip Dasar Ilmu
Depkes (2007) akibat tidak mengkonsumsi Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
anekaragam makanan akan mengakibatkan 5. Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu
gangguan pertumbuhan dan perkembangan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
pada balita. Berdasarkan penelitian Zahraini 6. Ari, I. (2012). Gizi Tera0pan. Bandung:
(2012) bahwa jumlah balita stunting yang Rosda.
mengkonsumsi makanan beragam lebih kecil 7. Azwar, S. (2012). Metode Penelitian.
dibandingkan dengan jumlah balita stunting Yogyakarta: Pustaka Belajar.
yang belum mengkonsumsi makanan beragam 8. Bappenas. (2014). Data Impor Pangan
yaitu (52.4%). Berdasarkan penelitian Indonesia.
Hermina (2011) bahwa konsumsi makanan 9. Dahlan, M.S. (2013). Statistik Untuk
anak yang pendek mempunyai skor PPH lebih Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
rendah dari skor PPH anak dengan status gizi Salemba Medika.
normal yaitu 96,6%. 10. Depkes. (2007). Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta.
Kesimpulan 11. Dinkes Kab. Sleman. (2014). Data
Ada hubungan antara pola pangan Prevalensi Kejadian Stunting Pada Balita.
harapan dengan kejadian stunting dengan nilai 12. Friedman, M. (2004). Keperawatan
p = 0.000. Ibu Balita disarankan meningkatkan Keluarga. Jakarta: EGC.
pengetahuan supaya praktik dalam 13. Hadi, H. (2005). Beban Ganda Masalah
memberikan makan kepada balitanya menjadi Gizi dan Implikasinya Terhadap
menjadi baik, yakni beragam supaya bisa Kebijakan Pembangunan Kesehatan
memenuhi gizi seimbang. Balita mendapatkan Nasional. Yogyakarta: FKUGM.
prioritas penyajian konsumsi makaan dalam 14. Handari, R.T., & Humaeroh, S. (2005).
keluarga sehingga terhindar dari masalah Perbedaan Status Gizi Siswa Sekolah
kurang gizi kronis (stunting). Dasar di Sekolah Berdasarkan Status
Sosial Ekonomi di Jakarta Selatan Tahun
Daftar Pustaka 2004. Jakarta: Universitas Muhammadiyah
Jakarta.
1. Aditianti. (2010). Faktor 15. Hardiansyah. (2007). Inovasi Gizi dan
Determinan Stunting pada Anak Usia 24- Pengembangan Modal Sosial Bagi
59 Bulan di Indonesia. Tesis. Institut Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan
Pertanian Bogor. Pengentasan Kemiskinan. Bogor: IPB.
2. Adriani, M. (2012). Pengantar Gizi 16. Hariyadi, D., & Ekayanti, I. (2011).
Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada. Analisis Pengaruh Perilaku Keluarga
3. Agung, A. (2005). Prinsip Dasar Ilmu Sadar Gizi Terhadap Stunting Di Propinsi
Gizi. Jakarta: EGC. Kalimantan Barat. Jurnal Teknologi dan

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.13, No. 1, Januari 2017


78

Kejuruan, VOL. 34, NO. 1, PEBRUARI 28. Notoatmodjo, S. (2013). Promosi


2011:71-80. Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
17. Hermina & Prihatini, S. (2011). Gambaran Jakarta: Rineka Cipta.
Keragaman Makanan dan Sumbangannya 29. Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2013). Faktor
Terhadap Konsumsi Energi Protein Pada Risikos Tunting Pada Balita (24-59 Bulan)
Anak Balita Pendek (stunting) di Di Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan,
Indonesia. Puslitbang Gizi dan Makanan. November 2013, 8(3): 175-180.
18. Hidayat, A. (2007). Metode Penelitian 30. Oktaviani, I., A. (2012). Hubungan
Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Pengetahuan dan Perilaku Ibu Buruh
Jakarta: Salemba Medika. Pabrik Tentang Keluarga Sadar Gizi
19. Kementerian Pertanian. (2010). Analisis (Kadarzi) Dengan Status Gizi Anak Balita
Pola Pangan Harapan (PPH). Di Kelurahan Pagersari Ungaran
20. Kemenkes RI. (2010). Standar Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Diponegoro Semarang.
Jakarta: Direktur Bina Gizi. 31. Paskalia, E. (2013). Hubungan Perilaku
21. Kirana, G. (2014). Hubungan Perilaku Ibu Dalam Pemenuhan Nutrisi dengan
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Dengan Status Gizi Balita. Skripsi. Universitas
Kejadian Stunting Pada Balita Di Airlangga Surabaya.
Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. 32. Pekik, D. (2007). Panduan Gizi Lengkap
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta:
Surakarta. Andi Offset.
22. Michael, G. (2009). Gizi Kesehatan 33. Riyayawati, R. (2013). Analisis Hubungan
Masyarakat. Jakarta: EGC. Penerapan Keluarga Sadar Gizi
23. Murdiati, A. (2013). Panduan Penyiapan (KADARZI) Dengan Status Gizi Balita.
Pangan Sehat Untuk Semua. Jakarta: Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Kencana Prenada Media. 34. Riskesdas. (2013). Prevalensi Nasional
24. Nadimin. (2010). Hubungan Keluarga Balita Stunted dan Balita Severe Stunted.
Sadar Gizi Dengan Status Gizi Balita Di 35. Santoso, S., & Ranti, A.L. (2008).
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.
Skripsi. Poltekkes Makassar. 36. Soekirman. (2005). Ilmu Gizi dan
25. Noor, N.N. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jendral
Rineka Cipta. Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
26. Notoatmodjo, S. (2005). Metodelogi Nasional.
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka 37. Soetjiningsih. (2005). Tumbuh Kembang
Cipta. Anak. Jakarta: EGC.
27. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku 38. Suhardjo. (2006). Pangan, Gizi, dan
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ngaisyah, Keterkaitan Pola Pangan Harapan (Pph) dengan Kejadian Stunting Pada Balita
79

39. Sujarweni, W. (2012). SPSS Untuk


Paramedis. Yogyakarta: Gava Media.
40. Supariasa, I.D.N. (2007). Penilaian Status
Gizi. Jakarta: EGC.
41. Suryana, A. (2014). Menuju Ketahanan
Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025:
Tantangan Dan Penanganannya. Jurnal
Penelitian Agro Ekonomi, Volume 32 No.
2, Desember 2014: 123-135.
42. Susila & Suyanto. (2014). Metode
Penilaian Epidemiologi Bidang
Kedokteran dan Kesehatan. Yogyakarta:
Bursa Ilmu.
43. Utami, R.P., Kartini, A., & Suhartono.
(2013). Faktor Lingkungan dan Perilaku
yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Siswa SD di Wilayah
Pertanian (Penelitian di Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes). Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 12
No. 2 / Oktober 2013.
44. Wawan, A., & Dewi, M. (2010). Teori dan
Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha
Medika.
45. Welasasi, B.D., & Wirjatmadi, B. (2012).
Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting.
Journal of Public Health, Vol. 8, No. 3
Maret 2012: 99–104.
46. Zahraini, Y. (2012). Analisis Biaya
Minuman Makanan Bergizi dan
Pemberian Makan Terhadap Status Gizi
(12-23 bulan) di Wilayah Pantura,
Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah,
Tahun 2012. Tesis

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.13, No. 1, Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai