Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Demam Berdarah Dengue banyak
ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan
Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara.
Secara global 2,5 miliar orang di daerah tropis dan subtropics negara beresiko
demam berdarah. Diperkirakan bahwa 50 juta infeksi dengue terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya. Kawasan Asia Tenggara terdiri dari 11 negara dengan jumlah
penduduk 1,3 miliar. Wilayah Asia Tenggara telah menjadi hiperendemis dengan
pelaporan kasus DHF sejak tahun 2000. Jumlah kasus maksimum (355.525) dan
kematian (1.982) yang tercatat selama tahun 2010. Sejak itu, kecenderungan
menurun dilaporkan. Mungkin itu adalah tren siklik dan/atau non-induksi virulen
serotipe/genotipe.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di
kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3 %). Dan sejak saat itu,
penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41
tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi
32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari
tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga
peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912
kasus pada tahun 2009.

1
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dapat menyerang anak usia sekolah
maupun orang dewasa, ditandai dengan gejala awal yaitu: demam mendadak serta
timbulnya tanda dan gejala klinis yang tidak khas. Manifestasi Klinis menurut WHO
ditandai oleh empat manifestasi klinis yaitu: demam tinggi, perdarahan terutama
perdarahan kulit hepatomegali dan kegagalan peredaran darah. Sesudah nyamuk
menggigit penderita dan memasukkan virus denguekedalam kulit, terdapat masa
laten yang berlangsung 4-5 hari diikuti oleh demam, sakit kepala dan malaise.
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa
inkubasi anatara 13–15 hari, tetapi rata-rata 5–8 hari.
Manajemen pasien dengan infeksi dengue tergantung pada fase penyakit,
yaitu fase demam, kritis / fase kebocoran dan fase konvalesen. Untuk menurunkan
demam tinggi, pasien diberi parasetamol saja. Pasien diberi diet oral seperti diet
lunak, susu, jus buah, solusi rehidrasi oral (ORS). Sedangkan untuk fase kritis,
diperlukan larutan garam isotonik misalnya 5% dekstrosa dalam larutan garam
normal (NS), 5% Ringer Asetat, 5% Ringer Laktat. 5% dekstrosa di NS adalah lebih
bagus karena kasus yang parah yang perlu diopname adalah mereka dengan nafsu
makan yang buruk, mual / muntah dan sakit perut. Hentikan cairan IV bila ada tanda-
tanda pemulihan: ruam konvalesen , gatal, peningkatan nafsu makan >30 jam setelah
syok dan >60 jam setelah kebocoran plasma.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama pasien : An. MA
Umur : 14 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar (SMP)
Nama ayah : Tn. A
Umur : 48 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Nama ibu : Ny. E
Umur : 42 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Gayam RT 05, RW 07
Pemeriksaan : 11 November 2017

3.2 ANAMNESA
 KU : Panas
 RPS :
 Pasien datang ke IGD RSM Siti Khodijah Kediri diantar ibunya karena panas
sejak 5 hari SMRS, panas dirasakan naik turun, menggigil (-), batuk (-), pilek
(+) sejak 5 hari, sudah diberi obat paracetamol dan dexanta tetapi tetap panas.
Pasien juga mengeluh sakit perut, mual, muntah sebanyak 3 x. Pasien juga
mengeluh kepala dan badannya terasa sakit, mimisan (-), gusi berdarah (-)
bintik-bintik merah (-). Nafsu makan menurun sejak 3 hari, minum masih
mau. BAB dan BAK dalam batas normal.
 RPD :
- Tidak pernah seperti ini
- Riwayat alergi (-)

3
 RPK :
- Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini
 R. PSIKOSOSIAL:
- Tinggal di rumah bersama orangtua dan adiknya
- Keadaan rumah dan sanitasinya baik
- Lingkungan sekitar rumah bersih
- Tidak ada genangan air di sekitar rumah
- Kamar mandi dibersihkan seminggu sekali
- Di lingkungan rumah dan sekolah tidak ada yang sakit seperti ini
 R. KEHAMILAN :
- Ibu rutin kontrol ke bidan
R. KELAHIRAN : Aterm / Spt.B / 3400 g/ bidan
 R. IMUNISASI : Lengkap
 R. TUMBANG : Seperti anak sebayanya
 R. GIZI : Makan nasi lauk pauk 3x sehari, sayur pilih-pilih
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Cukup
 Kesadaran : Compos Mentis
 Status Gizi : Normal (IMT 20,0)
o BB : 50 kg
o TB : 158 cm
 Vital Sign :
o Nadi : 80 x/menit
o RR : 20 x/menit
o Suhu aksila : 38,7°C
o TD : 100/70 mmHg
 K/L
o Anemis (-), iketrus (-), cyanosis (-), dispnea (-)
o Faring hiperemi (-)
o Pembesaran KGB (-)
 Thoraks : Normochest, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi ics (-)

4
o Pulmo : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
o Cor : S1 S2 tunggal, mumur (-), gallop (-)
 Abdomen :
o Inspeksi : Flat
o Palpasi : Soepel, distensi (-), Hepar/Lien ttb, turgor cukup, NT
(+) epigastrium
o Perkusi : Tympani
o Auskultasi : Bising usus (+) N
 Extremitas :
o CRT < 2 detik
o Akral hangat : +/+
+/+
o Oedem : -/-
-/-
 Status neurologis
Kaku kuduk : Meningeal sign (-)
Reflek fisiologis :
BPR : +2/+2
TPR : +2/+2
KPR : +2/+2
APR : +2/+2
Reflek patologis :
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Hoffman : -/-
Trommer : -/-
Klonus : -
Sensoris : Normal
Motoris : 5 5
5 5
Pemeriksaan lain : Rumpel Leed test (-)

5
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 DL (11/11/2017)
o Hb : 14,2 g/dl
o Leukosit : 3.000/cmm
o Trombosit : 133.000/cmm
o Eritrosit : 4,2 juta sel/mm
o Hct : 38%
 Widal (-)

3.5 RESUME
- An. MA, 14 tahun datang ke IGD RSM Siti Khodijah Kediri diantar ibunya
karena panas sejak 5 hari SMRS, panas dirasakan naik turun, menggigil (-),
batuk (-), pilek (+) sejak 5 hari, sudah diberi obat paracetamol dan dexanta
tetapi tetap panas. Pasien juga mengeluh sakit perut, mual, muntah sebanyak
3 x. Pasien juga mengeluh kepala dan badannya terasa sakit, mimisan (-), gusi
berdarah (-) bintik-bintik merah (-). Nafsu makan menurun sejak 3 hari,
minum masih mau. BAB dan BAK dalam batas normal.Vital Sign pasien
Nadi: 80 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 38,7°C, TD : 100/70 mmHg.
Status Gizi pasien normal dengan IMT 20,0. Pemeriksaan Fisik didapatkan
ada nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan lab didapatkan trombositopeni
dan leukopenia

3.6 DAFTAR MASALAH


 Febris sejak 5 hari
 Nausea dan Vomiting
 Batuk, Pilek
 Dyspepsia
 Cephalgi
 Myalgia
 Anoreksia
 Trombositopeni

6
 Leukopeni

3.7 DIAGNOSIS
 Dengue Fever
3.8 PLANNING DIAGNOSA
- DL serial
- IgM anti dengue

3.9 PLANNING TERAPI


- MRS
- Infus RL 2100 cc /24 jam 28 tpm
- Injeksi Parasetamol 3 x 500 mg (kalau panas)
- Injeksi Ondansentron 3 x 8 mg
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Konsul Dokter Spesialis Anak

3.10 MONITORING
 Keadaan umum pasien
 Keluhan dan tanda warning sign
 Vital Sign (TD, nadi, RR, Suhu)

3.11 EDUKASI
 Menjelaskan tentang penyakit pasien dan tanda kegawatan pada penyakit
pasien
 Menjelaskan tentang Pemeriksaan Penunjang yang akan dilakukan pada
pasien
 Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan pada pasien
 Menjelaskan tentang terapi yang akan diberikan untuk penyakit ini adalah
berupa cairan yang adekuat, obat-obatan hanya untuk mengobati gejala-
gelala yang di keluhkan pasien serta menjelaskan tentang ES obat
 Menjelaskan tentang komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi jika
penyakit tidak segera ditangani

7
 Memberikan penjelasan mengenai prognosis penyakit pasien

3.12 PROGNOSIS
Dubia ad bonam

8
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan cirri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD)
dapat mengalami perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk
DBD. 1

3.2 Sejarah Infeksi Dengue Dan Virus Dengue


DD klinis dilaporkan pertama kali oleh Banyamin Reesh pada bulan Agustus
-Oktober 1780 (break bone fever) di Philadelphia.4,6Pada tahun 1954, DBD pertama
kali dilaporkan di Filipina yang kemudian menyebar ke negara-negara kawasan Asia
Tenggara. Padatahun 1980 an penyakit ini merambah negara-negara di Benua
Amerika yang beriklim tropis dan subtropis.6
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan kasus DD oleh Bylon di Batavia
tahun1779.4 Kasus DBD pertama kali terdiagnosis di Surabaya pada tahun 1968.
Penyakit ini terutama menyerang analk usia di bawah 15 tahun. Dalam kurun waktu
40 tahun, penyakit ini telah menyebar keseluruh propinsi di Indonesia.6 Istilah
haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina tahun 1953
, kasusnya dilaporkan oleh Quintos dkk pada tahun 1954.4,7
Hingga tahun 1956 baru dikenal virus dengue tipe 1 dan 2.4 Virus DEN-1
pertama kali diisolasi Sabin dan Schlesinger di Honolulu tahun 1943. Pada tahun
yang sama, Kimura dan Hotta berhasil mengisolasi dan mempublikasikan virus
DEN-1 selama terjadi epidemi di Nagasaki.5 Virus DEN-2 berhasil diisolasi oleh
sejumlah ahli di New Guinea pada tahun 1944. Virus DEN-3 dan 4 diidentifikasi
4
oleh Hammon dkk tahun 1960 dan dua tahun kemudian berhasil mengidentifikasi
virus DEN- 5 dan 6.

9
3.3 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal.8 Hingga saat ini dikenal empat
serotype yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. 1-9
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes
aegypty merupakan vector epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya
seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vector sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.8

Gambar 3.1 Profil nyamuk Aedes dibandingkan nyamuk anopheles dan culex

3.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai
peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini
membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.3 Beberapa teori
dan hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

10
1. Teori virulensi virus 6. Teori endotoksin
2. Teori imunopatologi 7. Teori limfosit
3. Teori antigen antibodi 8. Teori trombosit endotel
4. Teori infection enchancing antibody 9. Teori apoptosis. 9
5. Teori mediator

Sejak tahun 1950 an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul
teori infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi
komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody
kemudian muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9

Gambar 3.2 Teori secondary heterologous infection yang pertama kali


dipublikasikan oleh Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi
DD/DBD

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori


enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting
untuk dipahami. 10
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe
berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil

11
laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji
HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala
klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat
adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi
DBD. 10
3.4.1 Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuclear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epidemiologi dan studi in vitro, teori
ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut
untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesis ini juga mendukung bahwa
pasien yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heteroolog
memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus
DEN akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar kehati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (system
komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi factor koagulasi.10
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing
antibody).10
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan
akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi

12
non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi,
internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang.
Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit
cenderung lebih berat.10

Gambar 3.3 Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup


respon imun meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999)
menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder
dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman
teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus
membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc
monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui
antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin

13
(IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation
pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi
sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin
(TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

Gambar 3.4 Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS10

Tabel 3.1 Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD10
3.5 Manifestasi Klinis

14
Gambar 3.5 Kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011.
Sumber: World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:
WHO; 2011dengan modifikasi.

A. Undifferentiated Fever (sindrom infeksi virus)


Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular,
timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai.
B. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial
flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan
depresi umum.
Pemeriksaan fisik
 Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari
 Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan
dada
 Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/ rubeolliform 3

15
 Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah
yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal
 Manifestasi perdarahan
 Uji bendung positif dan/atau petekie
 Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang
terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
C. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan
masa penyembuhan(convalescence, recovery)
 Fase demam
Anamnesis : Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan
nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
 Manifestasi perdarahan
 Uji bendung positif (≥10 petekie/inch) merupakan manifestasi perdarahan
yang paling banyak pada fase demam awal.
 Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
 Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
 Epistaksis, perdarahan gusi
 Perdarahan saluran cerna
 Hematuria (jarang)
 Menorrhagia
 Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costaekanan dan kelainan fungsi
hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasmayangmengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

16
 Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan :
 Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
 Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD)
dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
 Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
 Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,
nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi
≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary
refill timememanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat
badan/jam), sampai anuria.
 Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ,dan perdarahan hebat, apabila syok tidak
dapat segera diatasi.
 Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat
ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash
seperti pada DD.
D. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal,
otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta,
komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

3.6 Diagnosis
A. Diagnosis Demam Dengue

17
B. Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium
(WHO, 2011) :
Kriteria klinis
 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari
 Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria laboratorium
 Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar
/menurut standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan :
a. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit 20%.
b. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
c. Dijumpai tanda perembesan plasma
d. Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
e. Hipoalbuminemia
Perhatian :

18
 Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
 Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis
Tabel 3.2 Derajat DBD Berdasarkan Klasifikasi WHO 2011

3.7 Pemeriksaan Penunjang


3.7.1 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi
antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi
dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD. Trombositopeni dan
hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit,
sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan
nilai hematokrit.

19
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya
terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan
ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII,
faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai
setengah kasus DBD.4
3.7.2 Pencitraan pencitraan
3.7.2.1 Pemeriksaan rontgen dada
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan
pengalaman menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.13

Gambar 3.6 Indeks efusi pleura akibatinfeksi virus dengue

3.7.2.2 Pencitraan Ultrasonografis


Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang
penting tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan
USG sangat membantu dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula
dipakai sebagai alat diagnostic bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang
lebih berat misalnya dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan
penebalan pancreas dimana tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda
bermaknapada DBD I-II dibanding DBD III-IV. 13

20
3.7.3 Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Uji hambatan hemaglitinasi
- Uji Netralisasi
- Uji fiksasi komplemen
- Uji Hemadsorpsi Immunosorben
- Uji Elisa Anti Dengue Ig M
- Tes Dengue Blot. 7
Pemeriksaan rapid sero diagnostic test
- Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
- Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-
14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
- Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Uji sero diagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat
pula menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif
palsu pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig G
atau Ig G saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M lalu
meningkat dan mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang pada hari
sakit ke 30-60. Peningkatan Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai
puncak pada hari ke 15 kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup. Tetapi
pada infeksi sekunder akan memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya naik dengan
cepat sedangkan Ig M menyusul kemudian. Apabila tidak terdeteksi pada hari
demam ke 2-3 pada klinis mencurigakan maka pemeriksaan harus diulang 4-6 hari
lagi.

21
Gambar 3.6 Respon imun terhadap infeksi dengue

Gambar 3.7 Perjalanan penyakit infeksi virus dengue

3.8 Komplikasi
3.8.1 Komplikasi Demam Dengue
 Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia
hebat, dan trauma.
3.8.2 Komplikasi Demam Berdarah Dengue
 Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
 Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal
ginjal akut.
 Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma
 Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik &
perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multipel)

22
 Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai

3.9 Diagnosis banding


Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam
dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk
membedakan dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria,
demam tifoid, perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia,
atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi
lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan. Penyakit
infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak mengalami
demam disertai syok.

3.10 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID).13

23
Gambar 3.8 Jalur triase kasus tersangka infeksi dengue (WHO 2011)
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:
WHO; 2011 dengan modifikasi.

Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi
dengue, seperti berikiut.
 Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke
fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
 Muntah yg menetap, tidak mau minum
 Nyeri perut hebat
 Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
 Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang
hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
 Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
 Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
 Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam

Indikasi pemberian cairan intravena


 Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
 Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

24
 Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Prinsip umum terapi cairan pada DBD


 Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
 Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak
ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
 Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume
dan cairan intravaskular yang adekuat.
 Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Tabel 3.3 Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan

Tabel 3.4 Kecepatan cairan intravena

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis. Transfusi


suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS

25
yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah (dekstrostik)

Penatalaksanaan Demam Dengue


Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40 C,
sebaiknya diberikan parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat
lebih atau muntah. 8

Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue


Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih
berat sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa
kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan
tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya
8
kehilangan cairan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.2
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam
ketiga hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari
saat demam turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit,
trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil
diatasi hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15%
memerlukan transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk
resusitasi awal syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer
memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk
mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD

26
stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer
akibat adanya asidosis berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk
rumatan bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan
jumlah cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena
tidak ada perembesan plasma.2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan
hydroxy ethyl starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih
besar sehingga dapat bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada
cairan kristaloid dan memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular
lebih baik.2
Tabel 3.5 Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid


(20ml/kgBB/30menit) dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada
perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera
diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang
memadai tetapi syok belum dapat diatasi.2

Tabel 3.6 Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

27
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat
traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis
sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya
juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan
bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi
trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP)
yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi
trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan
packed red cell (PRC).2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila
terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih
sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin
rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. 2

28
Gambar 3.9 Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik pergerakan cairan pada
kapiler yang harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya syok pada DBD13

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 3.1 Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

29
Bagan 3.2 Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

30
Bagan 3.3 Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

31
Bagan 3.4 Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

3.11 Monitoring
Monitoring perjalanan penyakit DD/DBD Parameter yang harus dimonitor
mencakup :

32
1) Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
2) Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4
jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
3) Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering
pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
4) Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
5) Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam (berdasarkan berat badan ideal)
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau
asidosis).7

3.12 Pencegahan
1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2) Foging Focus dan FogingMasal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan

33
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog

Gambar 14.Kegiatan foging


3) Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4) Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5) Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15

34
BAB 4

PEMBAHASAN

An. MA, 14 tahun datang ke IGD RSM Siti Khodijah Kediri diantar ibunya karena
panas sejak 5 hari SMRS, panas dirasakan naik turun, menggigil (-), batuk (-), pilek
(+) sejak 5 hari, sudah diberi obat paracetamol dan dexanta tetapi tetap panas. Pasien
juga mengeluh sakit perut, mual, muntah sebanyak 3 x. Pasien juga mengeluh kepala
dan badannya terasa sakit, mimisan (-), gusi berdarah (-) bintik-bintik merah (-).
Nafsu makan menurun sejak 3 hari, minum masih mau. BAB dan BAK dalam batas
normal.Vital Sign pasien Nadi: 80 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 38,7°C, TD
: 100/70 mmHg. Status Gizi pasien normal dengan IMT 20,0. Pemeriksaan Fisik
didapatkan ada nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan lab didapatkan
trombositopeni dan leukopenia

Pada demam dengue didapatkan gejala berupa :

Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pada pasien didapat

Pemeriksaan fisik

 Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari


 Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan
dada
 Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/ rubeolliform 3
 Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah
yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal
 Manifestasi perdarahan
 Uji bendung positif dan/atau petekie
 Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang
terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
Kriteria diagnosis untuk meneggakan diagnosis dengue fever :

35
Pada kasus ini didapatkan demam mendadak sejak 5 hari, nyeri kepala, mialgia,
leukopenia dan trombositopenia maka diagnosis demam dengue dapat ditegakkan

Terapi pada kasus ini berupa :

- MRS
- Infus RL 2100 cc /24 jam
- Injeksi Parasetamol 3 x 500 mg
- Injeksi Ondansentron 3 x 8 mg
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Konsul Dokter Spesialis Anak
Pemilihan terapi berdasarakan referensi penatalaksaan demam dengue yaitu :
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40 C,
sebaiknya diberikan parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat
lebih atau muntah.

Untuk pemberian cairan berdasarkan :

36
37
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue


Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,
penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health.
KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati
N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6
September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press
1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody
dependent enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana
Med Trop 2002; 54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-
13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive
Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h.32-43

38
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31
Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.
Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/
modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal
27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD.
Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

39

Anda mungkin juga menyukai