Anda di halaman 1dari 82

1

UNIVERSITAS INDONESIA

DETEKSI TOKSISITAS PAJANAN TOLUENA TERHADAP


KENAIKAN NILAI MALONDIALDEHID DAN KENAIKAN
JUMLAH VAKUOLA LIPID MIOKARDIUM
TIKUS WISTAR JANTAN

TUGAS AKHIR

HELENASARI TAMBUNAN
NPM : 1006769045

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
APRIL 2014

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2

UNIVERSITAS INDONESIA

DETEKSI TOKSISITAS PAJANAN TOLUENA TERHADAP


KENAIKAN NILAI MALONDIALDEHID DAN KENAIKAN
JUMLAH VAKUOLA LIPID MIOKARDIUM
TIKUS WISTAR JANTAN

TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Okupasi dalam Program Profesi Dokter Spesialis-1
Kedokteran Okupasi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

HELENASARI TAMBUNAN
NPM : 1006769045

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
APRIL 2014

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


3

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


4

ii

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
dan rahmat-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir ini.
Penulisan tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
Program Pendidikan Spesialis-1 Kedokteran Kerja pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Dalam kesempatan ini tak lupa Saya mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. DR. dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp.Ok, sebagai pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran, membimbing saya dalam
penyusunan tugas akhir ini.
2. Dr. Sutjahjo Endardjo, MSc, Sp.PA (K), yang telah menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran, membimbing saya dalam penyusunan dalam
pembacaan preparat histopatologi anatomi.
3. DR. dr. Astrid Widayati Hardjono, MPH, Sp.Ok dan dr. Indah Suci W,
MS, MSc – CMFM, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak
masukan untuk penyempurnaan tugas akhir ini.
4. DR. dr. Astrid Widayati Hardjono, MPH, Sp.Ok, sebagai Kepala Program
Studi Spesialis Kedokteran Kerja FKUI.
5. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, Sp.Ok, PhD yang telah memberikan ide
dan bimbingan kepada saya dalam penyusunan tugas akhir ini.
6. Dra. Puspita Eka Wuyung, MS dan stafnya Bapak Slamet yang telah
membimbing dalam pelaksanaan dan pembuatan preparat patologi anatomi
dalam penelitian ini.
7. DR. M. Riki Manurung ST, MT beserta jajarannya dari Balai Kesehatan
dan Keselamatan Kerja yang telah menyediakan waktu, tenaga serta
pikiran untuk membimbing saya dalam teknik perancangan, pengukuran
pajanan serta lingkungan chamber yang digunakan dalam penelitian ini.

iii

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


6

8. Departemen Patologi Anatomi FKUI yang telah memberikan izin untuk


menggunakan Laboratorium Eksperimental Hewan sebagai tempat
berlangsungnya penelitian ini
9. Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler atas kerjasamanya untuk
pemeriksaan Malondialdehid miokardium.
10. Karyawan dan karyawati Departemen IKK FKUI dan Patologi Anatomi
FKUI.
11. Teman-teman PPDS Okupasi yang telah bersama-sama melaksanakan
penelitian ini dan selama menjalani pendidikan bersama-sama dalam suka
maupun duka serta yang telah memberikan motivasi, bantuan moril dan
materil.
12. Orangtua Saya Ibu Dj. Harahap dan Bapak dr. D Tambunan Sp.KK (alm)
yang telah membesarkan, mendidik, dan mendoakan Saya.
13. Suami Saya SE Siregar, SE serta anak-anakku Claire dan Catherine
tercinta atas dukungan moril maupun materil kepada Saya.

Saya menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu Saya
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar dalam penelitian
selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata Saya mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan baik dalam
perkataan maupun perbuatan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang telah
Saya lakukan selama penyusunan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan.

Jakarta, April 2014

Helenasari Tambunan

iv

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


7

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


8

ABSTRAK

Nama : Helenasari Tambunan


Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Kedokteran Okupasi
Judul : Deteksi Toksisitas Pajanan Toluena Terhadap Kenaikan Nilai
Malondialdehid dan Kenaikan Jumlah Vakuola Lipid
Miokardium Tikus Wistar Jantan

Latar Belakang: Toluena yang bersifat lipofilik dapat menyebabkan gangguan


irama, fibrosis jaringan interstitial serta pembentukan vakuola lipid. Pajanan
toluena perinhalasi dapat menyebabkan stress oksidatif pada miokardium melalui
pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan memicu stress oksidatif
dengan pembentukan lipid peroksidase sehingga membentuk malondialdehyde
(MDA) yang dapat terdeteksi pada miokardium. Tujuan: mengetahui tingkat
pajanan toluena pada dosis rendah di bawah ambang batas yang menyebabkan
kenaikan nilai MDA miokardium dan kenaikan jumlah vakuola lipid. Metoda:
Penelitian menggunakan 30 ekor tikus Wistar jantan usia 3 bulan dengan berat
badan 150 – 200 gram, dibagi secara acak sederhana menjadi satu kelompok
kontrol dan empat kelompok intervensi yang diberikan pajanan toluena 1,6 ml, 3,2
ml, 6,4 ml, 12,8 ml masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Pajanan diberikan per
inhalasi dengan cara menyemprotkan toluena cair ke dalam akuarium, disertai
penambahan dosis tiap jam sesuai dengan perhitungan aliran udara dan volume
akuarium. Pajanan dilakukan selama 4 jam per hari dalam14 hari berturut-turut.
Pada akhir penelitian dianalisa kenaikan nilai MDA miokardium dan jumlah
vakuola lipid. Secara mikroskopik vakuola lipid yang mengalami pergeseran inti
ke tepi, dihitung dalam 10 lapang pandang. Analisis data: Uji Oneway
ANOVAdigunakan untuk mencari kebermaknaan tingkat pajanan toluena dengan
nilai MDA miokardium serta tingkat pajanan toluena dengan jumlah vakuola
lipid. Hasil: Rata-rata tingkat pajanan ada hubungan bermakna secara statistik
terhadap nilai MDA miokardium yaitu antara kelompok pajanan 12.8 ml dengan
kontrol (p=0.024), kel. 12.8 ml dengan kel. pajanan 6.4 ml (p=0.002) dan kel.
12.8 ml dengan kel. 3.2 ml (p=0.002). Sedangkan rata-rata tingkat pajanan tiap
kelompok tidak ada hubungan bermakna terhadap rata-rata jumlah vakuola lipid
(p=0.248), Kesimpulan: Tingkat pajanan toluena dibawah nilai ambang batas
menyebabkan kenaikan kadar MDA miokardium pada kelompok pajanan 1,6 ml
(12,5 ppm) sampai dengan 6,4 ml (50 ppm). Tidak terdapat kenaikan jumlah
vakuola lipid pada tikus Wistar jantan
Kata Kunci : Toluena, Malondialdehid, Miokardium, Gambaran Histopatologi
Miokardium,

vi

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


9

ABSTRACT

Name : Helenasari Tambunan


Study Program : Doctor of Education Program Specialist–1 Occupational
Medicine
Title : Toxicity Detection of Exposure to Toluene Towards
Increase in Value of Malondialdehyde and Increase in
Number of Lipid Vacuoles on Male Wistar Rat Myocardium

Background: Lipophilic nature of toluene can cause rhythm disturbances,


interstitial fibrosis problems and disturbances in forming lipid vacuoles. Toluene
exposure through inhalation can cause oxidative stress in the myocardium to form
Reactive Oxygen Species (ROS) which will trigger oxidative stress with the
formation of lipid peroxide and forming Malondialdehyde (MDA) which can be
detected in the myocardium. Objective: To determine the level of exposure to
toluene at low doses below the threshold that causes the increase in value of
myocardial MDA and increase in the number of lipid vacuoles. Method: The
study used 30 male Wistar rats aged 3 months weighing 150-200 grams, were
divided randomly into a control group and four intervention groups which were
given exposure to toluene at 1.6 ml, 3.2 ml, 6.4 ml, 12.8 ml, each consisting of 6
rats. Exposure is done through inhalation by spraying liquid toluene into the tank,
along with addition doses per hour according to the calculation of the air flow and
the volume of the aquarium. Exposure is done for 4 hours every day in 14
consecutive days. At the end of the study, the increase in myocardial MDA value
and number of lipid vacuoles is analyzed. On a microscopic level, lipid vacuoles
which experience shiftednucleus to the edge are counted in 10 visual fields. Data
Analysis: Oneway ANOVA is used to find the significance level of toluene
exposure with myocardial MDA values and exposure levels of toluene by the
number of lipid vacuoles. Results: The average level of exposure is statistically
significant to the myocardium MDA value, which is between 12.8 ml exposure
group with the control (p = 0.024), 12.8 ml exposure group with 6.4 ml exposure
group (p = 0.002), and 12.8 ml exposure group with 3.2 ml exposure group (p =
0.002). While the average level of exposure for each group has no significant
relation to the average number of lipid vacuoles (p = 0.248), Conclusion: The
level of toluene exposure below the threshold value causes an increase in
myocardial MDA levels in the exposure group of 1.6 ml (12.5 ppm) to 6.4 ml (50
ppm), but the group of 12.8 ml (100 ppm), a decrease in the value of MDA
transpires. There was no increase in the number of lipid vacuoles in male Wistar
rats. Keywords: Toluene, Malondialdehyde, Myocardium, Histopathology
Myocardium feature.

vii
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
DAFTAR SINGKATAN xiii

1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Pertanyaan Penelitian 5
1.4 Hipotesis Penelitian 5
1.5 Tujuan Penelitian 5
1.6 Manfaat Penelitian 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Toluena 6
2.2 Pemajanan Toluena Dalam Tubuh Manusia 8
2.3 Absorbsi Toluena di Tubuh Manusia 9
2.4 Distribusi Toluena di Tubuh Manusia 10
2.5 Metabolisme Inhalasi Toluena di Tubuh Manusia 10
2.6 Patofisiologi Kerusakan Sel 12
2.7 Mitokhondria Dan Reactive Oxygen Species (ROS) 16
2.8 Jantung 19
2.9 Degenerasi 20
2.10 Toksisitas Toluena dengan Organ Jantung Manusia 24
2.11 Faktor yang Mempengaruhi Daya Racun Toluena 24
2.12 Kerangka Teori 26
2.13 Kerangka Konsep 27

3. METODE PENELITIAN 28
3.1 Desain Penelitian 28
3.2 Waktu dan Tempat Studi 29
3.3 Populasi dan Sampel 29

viii
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
11

3.4 Etik Penelitian pada Hewan Coba (Tikus) 31


3.5 Penjaminan Mutu 31
3.6 Pemajanan Hewan Coba pada Uap Toluena 32
3.7 Eutanasia pada Hewan Coba (Tikus) 35
3.8 Pengumpulan Data 36
3.9 Definisi Operasional 39
3.10 Identifikasi Variable Penelitian 40
3.11 Analisis Statistik 40
3.12 Alur Penelitian 42

4. HASIL PENELITIAN 43
4.1 Karakteristik Hewan Coba 43
4.2 Gambaran Histopatologi Miokardium 44
4.3 Pengaruh Tingkat Pajanan Terhadap Nilai MDA Miokardium 45
dan Vakuola Lipid Miokardium Tikus Wistar Jantan

5. PEMBAHASAN 47
5.1 Keterbatasan Teknik pada Penelitian 47
5.2 Berat Badan Tikus Wistar Jantan, Suhu dan 48
Kelembaban Akuarium
5.3 Pengaruh Tingkat Pajanan Toluena dengan nilai MDA 48
Miokardium
5.4 Pengaruh Tingkat Pajanan Terhadap Jumlah Vakuola Lipid 50

6. KESIMPULAN DAN SARAN 52


6.1 Kesimpulan 52
6.2 Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 54

LAMPIRAN

ix

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


12

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat Fisika dan Kimia Toluena 7


Tabel 3.1 Perhitungan Konversi Toluena 28
Tabel 3.2 Perhitungan Penambahan Kadar Toluena selama Pajanan 33
Tabel 3.3 Kelompok Pajanan Toluena dan Jumlah Tikus 34
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Hewan Coba 43
Tabel 4.2 Gambaran Karakteristik Suhu dan Kelembaban Akuarium 44
Tabel 4.3 Pengaruh Tingkat Pajanan Terhadap Nilai MDA Miokardium 45
dan Vakuola Lipid pada Masing-masing Kelompok
Tabel 4.4 Perbedaan Nilai Kemaknaan Perubahan MDA Miokardium 46
antara Kelompok (Uji LSD)

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


13

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kimia Toluena 6


Gambar 2.2 Metabolisme Toluena 12
Gambar 2.3 Anatomi Jantung 19
Gambar 2.4 Histologi Normal Otot Jantung 20
Gambar 2.5 Degenerasi dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, 22
perbesaran 400x
Gambar 2.6 Degenerasi hyalin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, 22
perbesaran 400x
Gambar 2.7 Degenerasi hyalin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, 23
perbesaran 400x
Gambar 2.8 Degenerasi Miksomatik dengan pengecatan Hematoksilin 23
Eosin, perbesaran 400x
Gambar 2.9 Kerangka Teori 26
Gambar 2.10 Kerangka Konsep 27
Gambar 3.1 Alur Penelitian 42
Gambar 4.1 Histopatologi Miokardium 44

xi

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


14

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

Lampiran 2. Teknik Percobaan

Lampiran 3. Data Suhu dan Kelembaban

Lampiran 4 Data MDA Miokardium

Lampiran 5 Gambaran Histopatologi

Lampiran 6 Pembacaan Jumlah Vakuola Lipid

Lampiran 7 Struktur Organisasi

xii

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


15

DAFTAR SINGKATAN

ACGIH : American Conference Governmental Industrial Hygiene

ALDH-1 : Aldehyde Dehidrogenase-1

ALDH-2 : Aldehyde Dehidrogenase-2

ATP : Adenosine Triphospate

CYP : Cytochrome P450

DNA : Deoxy Nucleotide Acid

MDA : Malondialdehid

EPA : Environmental Protection Agency

FasL : Fas Ligand

FK UI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

HE : Hematoxilin Eosin

Hiperkes : Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja

4-HNE : 4-Hydroxynonenal

IL-1 : Inter Leukin-1

LC : Lethal Concentration

Litbangkes : Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

MENAKER: Menteri Tenaga Kerja

μl : Mikroliter

NAB : Nilai Ambang Batas

NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health

Nmol : Nanomol

OSHA : Occupational Safety and Health Administration

xiii

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


16

PEL : Permissible Exposure Limits

ppm : part per million

ROS : Reactive Oxigen Spesies

SE : Surat Edaran

SNI : Standar National Indonesia

TBARS : Thiobarbituric acid-recative substance

TLV : Threshold Limit Value

TNF : Tumor Necrosis Factor

TWA : Time Weighted Average

xiv

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


17

BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Saat ini jumlah penggunaan toluena di dunia mencapai 0,5 x 107 sampai 1 x 107
ton. Di Eropa kebutuhan penggunaan toluena di bidang industri sebanyak 2,38
juta ton (2007), di Amerika Utara kebutuhannya sebanyak satu juta ton (2009),
[1]
sedangkan di Asia kebutuhan toluena sebanyak 23 juta ton (2006) . Produksi
Toluena pada tahun 1994 di USA diperkirakan lebih dari tiga juta ton. Data
penggunaan toluena dalam industri di Indonesia sampai saat ini belum ada. Di
bidang industri, toluena digunakan secara luas baik sebagai bahan dasar ataupun
sebagai pelarut. Bahan-bahan yang menggunakan toluena antara lain : pelarut cat,
thinner, tinta, lem, produk-produk farmasi, bahan tambahan produk kosmetik,
industry pestisida, crude petroleum, industry plastik, dan serat sintetik. Di rumah
tangga sendiri, toluena banyak didapatkan pada desinfektan dan lem[1].

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa toluena mempunyai efek toksik yang


luas terhadap sistem organ di tubuh manusia, yang antara lain berupa kematian
dan gangguan efek sistemik (organ pernafasan, jantung, mata, liver, ginjal,
musculoskeletal, sistem hemato-imunologi, endokrin, kulit, neurologi, reproduksi,
dan penurunan berat badan)[1,2,3].

Menurut Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) 2011,
pekerja yang terpajan toluena setiap tahunnya berkisar empat sampai lima juta
pekerja. American Conference Governmental Industrial Hygiene (ACGIH) telah
menetapkan Threshold Limit Value (TLV) 50 ppm pada tahun 2009. Pemerintah
Indonesia menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) toluena adalah 50 part
permillion (ppm) berdasarkan Standar Nasional Indonesia(SNI )19-0232-2005[4,5].
Toluena dapat menyerang jantung manusia. Pada pekerja yang terpajan toluena,
pada organ jantungnya dapat terjadi gangguan irama, fibrosis jaringan interstitial
serta pembentukan vakuola lipid. Hal ini dapat menimbulkan kematian[6].

1
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
18
2

Dari penelitian yang dilakukan Streicher dan kawan-kawan tahun 1981, terhadap
25 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit setelah menghirup cat. di dapatkan 5
diantaranya mengalami cardiac arrhythmias, multifocal premature ventricular
contraction atau supraventricular tachycardia akibat toluena dosis tinggi[7].

Menurut Bass pada tahun 1970, hipokalemia merupakan faktor yang dapat
menimbulkan kematian mendadak akibat menghirup toluena (sudden sniffing
death). Reinhardt dan kawan-kawan pada tahun 1973 memperlihatkan bahwa
pada beberapa solvent termasuk toluena, miokardium sensitif terhadap adrenalin
dan menjadi faktor yang signifikan terhadap kerusakan miokardium. Kerusakan
miokardium menurut Sikora dan Gala (1967), dapat terjadi pada keracunan berat
toluena, sedangkan Tomaszewdki (1978) memperlihatkan adanya junctional
cardiac rhytm[8].

Gangguan otot, efek kardiovaskular, kerusakan renal tubular, dan kematian yang
tiba-tiba juga dilaporkan terjadi pada penggunaan toluena jangka panjang[9].
Beberapa pelarut mempunyai kemampuan memicu pelepasan katekolamin, seperti
noradrenalin. Stimulus yang tiba-tiba setelah menghisap pelarut menyebabkan
fibrilasi ventrikel yang dengan cepat menyebabkan kematian tiba-tiba, karena
terjadi serangan jantung yang terjadi setelah anemia[10].

Kardiotoksisitas seperti cardiac dysrhthmias pada pajanan toksik yang di


observasi pada manusia akibat pajanan toluena, kadang-kadang pada penelitian
terhadap tikus dengan dosis kronik memperlihatkan fibrilasi atrial dan ventricular
ectopy[8].

Dari penelitian Bruckner dan Peterson (1981) tidak ditemukan gambaran


abnormal histologi yang dapat diobservasi dari jantung tikus yang terpajan toluena
4000 ppm selama 3 jam/hari dalam 8 minggu atau pada tikus yang terpajan lebih
dari 12.000 ppm dalam 70 menit/hari selama 8 minggu[2].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


19
3

Pada tingkat biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah


struktur lipid membran sel dan meningkatkan kadar lipid peroksidase. Salah satu
penanda dari adanya peningkatan lipid peroksidase tersebut adalah kenaikan kadar
Malondialdehyde (MDA) dalam darah dan kadar MDA jantung yang akan
digunakan dalam penelitian ini. Malondialdehyde (MDA) akan membentuk
Reactive Oxygen Species (ROS) yang mengakibatkan terjadinya stress oksidatif
pada berbagai jaringan tubuh sehingga menimbulkan kerusakan jaringan, baik
yang bersifat reversible maupun irreversibel.[17,18,23,25] Apabila pajanan toluena
berlangsung lebih lama, maka pada sel jantung (miokardium) dapat mengalami
proses nekrosis dan apoptosis yang berujung pada kematian sel.

Untuk mendeteksi terjadinya perubahan awal degenerasi lipid berupa vakuola


lipid, pada penelitian ini peneliti menggunakan mikroskop cahaya dan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE).

Pada hewan percobaan tikus belum ditemukan efek seperti pada manusia. Oleh
karena itu dalam penelitian ini ingin melihat adanya perubahan awal histopatologi
pada tikus wistar jantan.
Seperti pada penelitian toksisitas umumnya, penelitian ini menggunakan hewan
coba tikus wistar untuk melakukan evaluasi toksisitas toluena pada organ jantung.
Penelitian ini menggunakan dosis yang lebih rendah dari nilai ambang batas pada
manusia yang ditetapkan saat ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada
tingkat biomolekuler dan histopatologi. Dengan demikian, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi data toksisitas toluena bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
1.2. Perumusan Masalah
Rekomendasi NAB toluena di Indonesia adalah 50 ppm, namun penetapan
tersebut belum didasarkan pada penelitian yang ada. Penelitian ini melihat
gambaran histopatologi vakuola lipid sehingga tidak bisa dilakukan pada manusia
(pertimbangan etis), maka dilakukan studi eksperimen pada tikus wistar jantan.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


4
20

Dari studi kasus terhadap dua orang laki-laki kulit putih yang terpajan toluena saat
menggunakan lem di kolam renang, diidentifikasi terjadi cardiac arrhythmias.
Variabel individu sangat mempengaruhi munculnya respon. Pada pajanan toluena
kurang dari 1890 ppm, laki-laki pertama terpajan selama 2 jam menyebabkan
takikardia, sedangkan laki-laki kedua terpajan selama 3 jam menyebabkan
bradikardia[2].

Sedangkan pada tahap histopatologi dengan pewarnaan HE dibawah mikroskop


cahaya dapat terlihat proses perubahan awal pada otot jantung. Dari studi literatur
yang ada antara toluena dengan sel miokardium hanya didapatkan pajanan yang
bersifat lama[6].

Menurut Cosmopoint International Institute of Technology (CIIT, 1980) pada


tikus yang terpajan toluena 300 ppm selama 24 bulan (6 jam perhari) ataupun
tikus dan mice yang diberi pajanan toluena sampai lebih dari 1200 ppm selama 24
bulan (6.5 jam perhari) tidak ditemukan adanya gambaran lesi pada jantung. Pada
pajanan toluena 2500 ppm selama 14-15 minggu (6.5 jam perhari) terdapat
kenaikan berat jantung tikus ( National Toxic Programme, 1990)[2].
Dari studi literatur yang ada, tidak terlihat adanya pembahasan khusus mengenai
deteksi dini pajanan toluena dengan dosis yang lebih rendah dan kaitannya dengan
nilai MDA miokardium dan perubahan histopatologis berupa peningkatan vakuola
lipid miokardium. Sehingga pada penelitian ini untuk melihat apakah sudah
terjadi perubahan vakuola lipid serta apakah kenaikan nilai MDA miokardium
dapat dijadikan sebagai penanda adanya stress oksidatif pada miokardium maka
digunakan pajanan toluena yang lebih rendah yaitu 0 ppm, 12,5 ppm, 25 ppm, 50
ppm dan 100 ppm dengan waktu yang lebih singkat yaitu 14 hari. Uji adanya
peningkatan kadar MDA (Malondialdehyde) dan perubahan awal histopatologi
pada miokardium akibat pajanan toluena akan dilakukan pada tikus dikarenakan
tikus mempunyai kemiripan dengan manusia dalam absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi toluena[11].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


21
5

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Apakah nilai MDA miokardium tikus wistar jantan dapat dijadikan
sebagai penanda adanya stress oksidatif pada kerusakan miokardium
tikus wistar jantan?
2. Apakah terdapat perubahan awal berupa vakuola lipid pada
miokardium tikus wistar jantan pada pemeriksaan histopatologi akibat
pajanan toluena dengan dosis terendah?

1.4. Hipotesa Penelitian


1. Tingkat pajanan toluena terendah di bawah nilai ambang batas dapat
berpengaruh terhadap nilai MDA miokardium tikus wistar jantan .
2. Tingkat pajanan toluena terendah di bawah nilai ambang batas dapat
berpengaruh terhadap jumlah vakuola lipid miokardium tikus wistar
jantan.
1.5. Tujuan Penelitian
1.5.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek tingkat pajanan toluena terhadap nilai
MDA miokardium serta perubahan awal histopatologi miokardium tikus wistar
jantan.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat pajanan toluena yang dapat menyebabkan kenaikan
nilai MDA miokardium tikus wistar jantan.
2. Mengetahui tingkat pajanan toluena yang dapat menyebabkan kenaikan
jumlah vakuola lipid pada miokardium tikus wistar jantan.

1.6. Manfaat Penelitian


Ilmu pengetahuan: Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan sebagai tahap dasar dose respons relationship sehingga dapat
dilakukan penelitian-penelitian terkait dan berkelanjutan.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


22

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Toluena
Toluena merupakan hydrokarbon aromatic dengan unsur kimia dimana formasi
satu atom hidrogen dari benzena digantikan oleh grup metil[2].

Gambar 2.1. Struktur Kimia Toluena[2]

Rumus kimia : C7H8


Massa molekul relative : 92,13
Nomenklatur CAS : phenylmethane
Nomor register CAS : 108-88-3
Nomor register RTECS : XS 5250000
Sinonim umum : methylbenzene
Nama dagang umum : methacide, methylbenzol, toluol

Toluena merupakan cairan tidak berwarna, bening, pada suhu ambient berbau
seperti benzena. Bau yang berasal dari toluena di udara berkisar 9,4 mg/m3. Pada
orang dengan pajanan selama 15 menit perinhalasi mengalami kelelahan organ
penghidu, iritasi ringan mata, „merasakan sesuatu‟, „kepala terasa ringan‟, dan
sakit kepala, namun masih mampu bekerja selama 8 jam, pada 700 mg/m.[2,3]

Toluena merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, dan meledak.
Sifat fisika dan kimia toluena, disajikan pada tabel 2.1 dibawah ini [2] :

66

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


23
7

Tabel 2.1. Sifat Fisika dan Kimia Toluena[2]


Karakteristik Nilai
Titik lebur -95 0
Titik didih (760 mm Hg) 110,6 0 C
Densitas (g/ml, 20 0C) 0,8669
0
Gravitas spesifik ( 20 C ) 0,8623
Tekanan uap ( 25 0C ) 28,7 mm Hg
Densitas uap ( udara = 1 ) 3,20
Log koefisien partisi (octanol/air) 2,69
Tegangan permukaan ( 20 0C ) 28,53 dynes/cm
Viskositas cairan ( 20 0C ) 0,6 cp
0
Indeks refraksi ( 20 C ) 1.4969
Persen saturasi udara (760 mm, 26 0C ) 3,94
Densitas campuran saturasi udara-uap 1,09
(760 mm, udara = 1, 26 0C )
Titik limit terbakar (persen dalam volume 1,17 – 7,10
udara)
Titik nyala 4,4 0C
Suhu pembakaran kendaraan 552 0C
Kelarutan dalam:
Air ( 25 0C ) 535 mg/liter
Air laut ( 25 0C ) 380 mg/liter
0
Saturasi udara ( 25 C ) 112 g/m3

Faktor konversi untuk toluena di udara pada tekanan 1 atm, dan suhu 25 0C
adalah: 1 ppm (v/v) = 3,75 mg/m3 = 0,0407 mmmol/m3, dimana 1 mg/m3 = 0,266
ppm (Katz, 1969)[2].
Kelompok individu yang terpajan toluena tingkat tinggi adalah dari faktor
pekerjaan. Kadar yang diijinkan pada pajanan akibat kerja adalah 750 mg/m3 atau
200 ppm, dengan Time-Weighted Average (TWA) untuk delapan jam per hari dan

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


24
8

40 jam per minggu. Short Term Exposure Limit (STEL) 500 ppm untuk pajanan
selama 15 menit. Maximum Allowable Concentration (MAC) 50 – 100 mg/m3[4].

Nilai Ambang Batas (NAB) rata-rata selama jam kerja, yaitu kadar bahan-bahan
kimia rata-rata di lingkungan kerja selama delapan jam perhari atau 40 jam
perminggu dimana hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang-ulang,
sehari-hari dalam melakukan pekerjaannya, tanpa mengakibatkan gangguan
kesehatan maupun penyakit akibat kerja (SE-01/MENAKER/1997)[12].

NAB Toluena menurut (The National Institute of Occupational Safety and Health)
NIOSH 100 ppm, Occupational Safety and Health Administration (OSHA) 200
ppm, American Conference of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH) 50
ppm (2009) sedangkan di Indonesia NAB Toluena adalah 50 ppm berdasarkan
SNI 19-0232-2005[13]. Penetapan oleh SNI tidak didasarkan pada penelitian, yang
rentan untuk tidak ditaati pada pelaksanaanya.
Toluena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Rute masuk toluena ke tubuh
manusia dapat melalui jalur pernafasan, mulut, dan kulit. Dari banyak penelitian-
penelitian tentang Toluena sebelumnya sudah terbukti bahwa toluena dapat
menyebabkan kematian dan menimbulkan efek kesehatan yang luas di tubuh
manusia, yang antara lain berupa kematian dan gangguan efek sistemik (organ
pernafasan, jantung, mata, liver, ginjal, musculoskeletal, sistem hemato-
imunologi, endokrin, kulit, neurologi, reproduksi, dan penurunan berat badan)[2].
2.2. Pemajanan Toluena Dalam Tubuh Manusia
2.2.1. Rute Pajanan Toluena
1. Inhalasi : Rute utama pajanan toluena adalah melalui inhalasi, seperti
uap di udara ambient, asap rokok, penyalahgunaan pelarut dan bahan
cairan rumah tangga. Sumber utama toluena yang dilepas di udara
adalah sisa pembakaran bahan bakar minyak. Efek toksik toluena per
inhalasi adalah iritasi hidung, tenggorokan, dan saluran napas.
Komplikasi pernafasan yang sering muncul adalah bronkhospasme dan

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


259

udem pulmoner. Selain itu susunan saraf pusat juga merupakan target
utama dari pajanan toluena perinhalasi, dengan gejala antara lain
ataksia. Efek neurologis pada tikus dapat terjadi hilangnya
pendengaran, penurunan berat otak, perubahan konsentrasi
neurotransmitter, gangguan pola tidur dan perubahan tingkah laku[2].
2. Ingesti : Toluena dapat ditemukan pada air minum, air sumur, dan air
bebas. Namun bagaimanapun juga pajanan toluena melalui air minum
kecil, kecuali pada situasi air minum yang tercemar. Ingesti toluena
dapat menyebabkan toksistas akut yang berat, seperti pada pajanan per
inhalasi. Efek lokal yang mungkin timbul adalah iritasi orofaring dan
lambung dengan gejala muntah dan hematemesis. Pada tikus pajanan
secara ingesti akan menimbulkan hipoaktif, piloereksi, prostrasi,
ataksia, tremor, bradipneu, salvasi dan lakrimasi[2].
3. Kontak kulit : Toluena terlarut dalam lemak, sehingga dapat
menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit melalui defatting action
(penghilangan lemak kulit) akan timbul luka bakar akibat bahan kimia
setelah pajanan toluena jangka panjang. Uap toluena juga dapat
menyebabkan iritasi mata pada konsentrasi di atas 750 mg/m3 dan
lakrimasi pada pajanan 1500 mg/m3. Iritasi konjungtiva berat dan
kerusakan kornea pernah dijumpai pada pekerja yang terkena percikan
toluena. Tidak berbeda yang terjadi pada tikus bila terpajan toluena
dapat terjadi iritasi kulit dari ringan sampai berat serta kerusakan
konjungtiva[2].
2.3 Absorbsi Toluena di Tubuh Manusia
Toluena paling utama diabsorbsi melalui saluran pernafasan, kemudian saluran
pencernaan, dan sedikit yang terabsorbsi lewat kulit. Di Tubuh manusia, toluena
akan terdeteksi dalam pembuluh darah arteri dalam waktu 10 detik setelah
permulaan inhalasi. Absorbsi melalui kulit jumlahnya kurang lebih adalah 1% dari
jumlah yang diabsorbsi melalui paru-paru, ketika sedang terpajan uap toluena.
Apabila bentuk toluena yang terpajan di kulit berbentuk cair, maka proses

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


26
10
0

absorbsinya lewat kulit akan lebih besar lagi. Karena sifat toluena yang mudah
dan segera sekali menguap, maka masuk melalui jalur kulit akan lebih susah.
Aktivitas fisik yang hebat akan meningkatkan jumlah toluena yang diabsorbsi[12].

2.4 Distribusi Toluena di Tubuh Manusia


Distribusi toluena yang terjadi setetelah proses absorbsi, akan menyebar ke
seluruh tubuh. Toluena tersebut di dalam tubuh akan terakumulasi di jaringan
adiposa, jaringan yang memiliki kadar lemak yang tinggi, dan jaringan yang
memiliki vaskularisasi yang tinggi[12]. Kadar toluena sudah pernah ditemukan
pada jaringan otak dan liver pada seorang pekerja pabrik lem yang meninggal
(pada waktu diotopsi)[12]. Pada penelitian-penelitian menggunakan tikus,
ditemukan bahwa segera setelah terpajan toluena secara inhalasi, maka akan
ditemukan kadar toluena yang tinggi di lemak tubuh, sumsum tulang, saraf spinal,
spinal cord, dan substantia putih di otak. Kadar toluena yang rendah juga
ditemukan di darah, ginjal, dan liver. Pada seseorang yang meninggal setelah 30
menit ingestion toluena, maka livernya akan mempunyai konsentrasi yang paling
tinggi, diikuti oleh pankreas, otak, jantung, darah, lemak tubuh, dan cairan
serebrospinal. Karena waktu retensi dari toluena kurang dari 24 jam, maka
bioakumulasi dari toluena adalah tidak mungkin terjadi[12].
2.5 Metabolisme Inhalasi Toluena di Tubuh Manusia
Jalur metabolisme dan hasil metabolisme anatara manusia dan tikus pada
prinsipnya adalah sama, hanya dibedakan dari waktunya pada tiap-tiap proses
metabolisme di dalam tubuh[1].
Toluena cepat diabsorpsi melalui inhalasi, pada manusia terdeteksi melalui
pembuluh darah arteri selama 10 detik setelah pajanan inhalasi. Bersifat lipofilik
dan terakumulasi di jaringan adiposa dan jaringan yang vaskularisasinya
banyak, konsentrasi tertinggi ditemukan di hati, otak, ginjal, dan darah. Waktu
paruh dalam darah sekitar empat sampai lima jam (berkisar 3-6 jam) dengan
waktu paruh terminal 72 jam. Waktu paruh di jaringan adiposa berkisar antara
0,5–2,7 hari, meningkat seiring dengan kenaikan jumlah lemak dalam tubuh[2].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1127

Sedangkan pada tikus dengan lama pajanan 2 jam, pada dosis 1000, 1780, dan
3000 ppm diperoleh rata-rata waktu paruh Toluena adalah 33,7 menit, kadar
puncak dalam darah rata-rata akan dijumpai setelah 2 jam pajanan, dan waktu
eliminasi rata-rata 74,4 menit.[2,18] Percobaan lain pada tikus dengan lama pajanan
6 jam perhari selama 5 hari berturut-turut dalam jangka waktu 4 minggu, dengan
dosis Toluena 0 ppm, 300 ppm, dan 500 ppm, diperoleh rata-rata waktu paruh 2,5
jam dan rata-rata waktu ekskresi 0 – 21 jam. Pada tikus, waktu paruh toluena
dapat memanjang seiring dengan lamanya pajanan[2,19].
Apabila toluena terhirup pada manusia dan juga tikus, 25% - 40% dari toluena
akan dikeluarkan kembali melalui ekspirasi. Kira-kira 60%-75% toluena akan
dimetabolisme di hati menjadi Benzyl Alcohol. Rute primer pertama metabolisme
toluena adalah dengan merubah toluena menjadi Benzyl Alcohol melalui reaksi
hidroksilasi. Reaksi ini dilakukan oleh anggota-anggota dari sitokrom P450 (CYP)
yang ada di liver[12]. Ada lima anggota dari CYP tersebut dalam hal ini, yaitu :
CYP1A1, CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8, CYP2E1[14,15].

Kemudian, Benzyl Alcohol itu akan dimetabolisme menjadi Benzaldehyde oleh


CYP dan Enzim Alkohol Dehidrogenase (melalui reaksi oksidasi)[12]. Dalam hal
ini, CYP lebih berperan banyak dibandingkan Enzim Alkohol Dehidrogenase.
Sebagian kecil Benzyldyhyde akan diubah menjadi Benzylmercapturic Acid[13].
Dan sebagian besar lainnya, diubah menjadi Benzoic Acid, oleh Aldehyde
Dehidrogenase-2 (ALDH-2) dan Aldehyde Dehidrogenase-1 (ALDH-1)[11,14].
Benzoic Acid sendiri nanti akan dimetabolisme menjadi hippuric acid yang
merupakan hasil metabolik toluena primer yang dikeluarkan dalam urin. Ekskresi
dari hippuric acid ini biasanya selesai dalam waktu 24 jam setelah terpajan oleh
toluena. [12,15,19]. Benzylmercapturic acid dalam akhir-akhir tahun belakangan ini,
dipakai menjadi penanda biologis pajanan[16,17] karena Benzylmercapturic acid
tidak terdeteksi pada subjek yang tidak terpajan oleh toluena, lebih sensitif dari
Hippuric acid pada konsentrasi yang rendah sampai dengan 15 ppm, tidak
dipengaruhi oleh makanan atau minuman[18].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1228

Rute lain adalah dengan menggunakan “Ring hidroksilasi”, dengan hasil akhir
adalah t Cresol (terdiri dari dua, yaitu : p-Cresol dan o-Cresol). Jalur metabolisme
ini merupakan jalur minor dari metabolisme toluena di tubuh manusia.
Kebanyakan dari Zat Cresol akan dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah di
dalam urin, walaupun ada beberapa dari p-Cresol dan o-Cresol yang
diekskresikan dalam bentuk konjugasinya. Pada banyak penelitian yang sudah
dilakukan di tikus, membuktikan bahwa p-Cresol pada saat diekskresikan, banyak
dikonjugasikan dengan Glucuronide untuk menghasilkan p-cresylglucuronide,
karena itu, ini tidak boleh diaplikasikan kepada manusia dalam mengukur kadar
toluena di darah. O-cresol sendiri diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah
di urin. Oleh karena itu, o-Cresol banyak dipakai sebagai alat ukur[20].

25 % - 40 % dikeluarkan kembali tanpa perubahan melalui paru-paru

Toulene inhalation 100 % 60%- 75%Benzyl Alcohol  Benzaldyhide  Benzoic Acid

Benzylmercapturic Hippuric Acid


Acid (Detected in (Detected in Urin)
Urin)

0.1%-1% Cresol 1% P-cresol

0,1% O-cresol
(Detected in Urin)
Gambar 2.2. Metabolisme Toluena[19]
2.6. Patofisiologi Kerusakan Sel
Apabila tubuh mengalami pajanan zat kimia, maka perubahan sel yang terdeteksi
pertama kali, adalah perubahan secara biomolekuler, lalu baru diikuti oleh
perubahan histopatologi. Pada tahap awal, sel yang terkena pajanan zat toluena
akan mengalami injury atau luka. Injury ini dapat membuat sel kembali menjadi
reversible (kembali menjadi normal) atau irreversible, yang nantinya berlanjut ke
arah kematian sel (baik nekrosis atau apoptosis)[23].
Pada tahap biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur
lipid membran sel, sehingga mengganggu integritas dan fluiditas membran
tersebut. Perubahan morfologik ini berhubungan dengan penurunan Adenosin Tri

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1329

Phosphat (ATP), gangguan sintesis protein, kerusakan sitoskeletal, dan kerusakan


Deoksiribo Nucleic Acid (DNA) mengakibatkan terjadinya peningkatan Reactive
Oxygen Species (ROS). ROS sendiri dapat menyebabkan oksidasi dari protein,
DNA dan asam lemak yang dapat meningkatkan lipid peroksidase, sehingga
mengganggu plasma membran. Penanda biologis dari adanya peningkatan lipid
peroksidase adalah: 4-HNE (4-Hydoxynonenal), 8-iso-Prostaglandin F2A, MDA
(Malondialdehid), dan Thiobarbitucic Acid Reactions (TBARS)[23,24,25,26,27].

Pada pemeriksaan histopatologi anatomi cedera pada sel (cell injury), yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya adalah pembengkakan sel, perubahan
lemak khususnya pada sel parenkim (misalnya: liver) yang dimanifestasikan
dengan munculnya vakuola lipid di sitoplasma. Hal ini terlihat pada hampir semua
sel yang berhubungan dengan metabolisme lemak, seperti hepatosit dan sel
miokard[23]. Sedangkan pada pembuluh darah sendiri, akan terjadi peningkatan
protein plasma dan jumlah leukosit, terutama neutrofil pada keadaan akut[28].
Apabila proses cedera sel berlangsung terus menerus, dapat mengakibatkan sel-sel
tersebut mengalami nekrosis dan apoptosis[23].
Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup oleh karena
kegagalan integritas membran sel. Pada sel yang mengalami injury yang berat
(dalam hal ini, terkena pajanan toluena di luar kemampuan sel), maka zat toluena
tersebut akan merusak membran sel. Membran sel yang rusak menyebabkan ion
Ca2+ dari extraselular akan masuk ke dalam intraselular (sitoplasma), sehingga
kadar ion Ca2+ intraselular (sitoplasma) meningkat. Hal ini menyebabkan
permeabilitas membran mitokondria dan retikulum endoplasma halus meningkat,
yang berakibat akan terjadi kebocoran ion Ca2+ dari kedua organel sel tersebut ke
dalam sitoplasma. Dengan demikian kadar ion Ca2+ di sitoplasma sel akan
semakin meningkat[23,28].
Peningkatan kadar ion Ca2+ di sitoplasma akan menyebabkan pengaktifan enzim-
enzim intraselular, seperti phospholipase, protease, endonuklease, dan ATPase.
Enzim phospolipase dan protease yang aktif akan menyebabkan kerusakan pada

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1430

membran sel, karena enzim-enzim ini memetabolisme struktur phopolipid dan


protein yang terdapat di membran sel. Sedangkan enzim endonuklease akan
menyebabkan kerusakan inti sel. Enzim ATPase akan menyebabkan penurunan
pembentukan ATP. Penurunan ATP selain disebabkan oleh enzim ATPase, juga
disebabkan oleh kegagalan mitokondria dalam melakukan proses fosforilasi
oksidatif, yang akhirnya membuat sel tersebut akan mati (nekrosis). Enzim yang
mencerna sel-sel yang nekrosis, berasal dari lisosom sel itu sendiri dan lisosom
leukosit yang kemudian akan mengaktifkan reaksi inflamasi[23,28].
Pada reaksi inflamasi terjadi perubahan diameter pembuluh darah yang bertujuan
untuk meningkatkan aliran darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah
yang membuat protein plasma dan leukosit (netrofil) dapat meninggalkan
pembuluh darah menuju tempat di mana sel tersebut mengalami injury atau luka.
Netrofil yang keluar dari pembuluh darah dinamakan sebagai makrofag.
Makrofag-makrofag tersebut kemudian akan menghasilkan Mediator Cytokine
yang terdiri dari TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-1 (Inter Leukin 1). TNF
dan IL-1 ini kemudian akan menstimulasi pengeluaran mediator-mediator lain
yang ada di pembuluh darah dan membuat reaksi inflamasi semakin
berlanjut[23,28].
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, di mana sel yang terprogam
tersebut akan mengaktifkan enzim-enzim untuk mendegradasi DNA inti, protein
inti, dan protein sitoplasmik. Pada sel yang mengalami apoptosis, akan terpecah
menjadi fragmen-fragmen yang disebut sebagai badan apoptotik (apoptotic
bodies). Membran plasma pada sel yang mengalami apoptosis akan tetap intak
dan akan menjadi target fagositosis oleh makrofag. Pada proses apoptosis, tidak
akan memicu terjadinya reaksi inflamasi[23,28].

Perubahan morfologi dan biokimia yang terjadi pada apoptosis adalah:


penyusutan sel, pemadatan kromatin, terbentuknya kuncup sitoplasmik,
(cytoplasmic blebs) dan badan apoptosis (apoptotic bodies), dan proses fagositosis
oleh makrofag. Pada tingkat biokimia, apoptosis akan mengaktifkan enzim

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1531

kaspase. Enzim kaspase terdiri dari 2 keluarga enzim secara umum, yaitu enzim
sistein protease dan enzim aspase. Secara umum, keluarga enzim kaspase, terbagi
menjadi 2 group, yaitu kaspase inisiator (Initiator) yang terdiri dari kaspase 8 dan
kaspase 9 dan kaspase pelaksana (Executioner) yang terdiri dari kaspase 3 dan
kaspase 6. Kaspase pada keadaan inaktif berbentuk proenzim atau zymogen di
mana harus mengalami pembelahan enzimatik untuk menjadi aktif. Adanya
bentuk aktif dari kaspase merupakan marker bahwa sel tersebut mengalami
apoptosis[23,28].
Mekanisme apoptosis terdiri dari 2 yaitu melalui jalur intrinsik (disebut juga jalur
mitokondria) dan jalur ekstrinsik (melalui inisiasi reseptor kematian (Death
Receptor)). Pada jalur intrinsik, akan terjadi pengaktifan protein Bim, Bid, dan
Bad (ketiga protein ini disebut sebagai Protein BH3). Protein BH3 sendiri
merupakan antagonis dari Bcl-2 dan Bcl-x (yang merupakan anti apoptotik).
Protein BH3 kemudian akan mengaktifkan efektor proapoptotik, yaitu Bax dan
Bak, yang akan membentuk oligomer dan masuk ke dalam membran mitokondria
dan membuat channel (saluran). Pembuatan channel (saluran) di membran
mitokondria akan membuat membran mitokondria menjadi bocor. Membran
mitokondria yang bocor ini akan mengakibatkan pelepasan protein proapoptotik
(dari mitokondria) dan sitokrom C ke dalam sitoplasma. Protein proapoptotik dan
sitokrom C yang ada di dalam sitoplasma akan mengaktifkan kaspase inisiator,
yang kemudian akan mengaktifkan kaspase pelaksana. Kaspase pelaksana akan
mengaktifkan enzim endonuklease, yang nantinya akan mendegradasi DNA inti
dan protein inti, dan merusak sitoskeleton. Akibatnya sel tersebut akan terpecah
menjadi fragmen-fragmen (yang disebut sebagai badan apoptotik) yang nantinya
akan dimakan oleh makrofag[23,28].
Pada jalur ekstrinsik, dihiasi oleh pengikatan reseptor kematian (Death Receptor)
di membran plasma pada berbagai sel. Reseptor kematian (Death Receptor)
merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF yang mengandung bagian
sitoplasma yang terlibat pada interaksi protein. Reseptor TNF ini sangat penting
karena perannya dalam mengirim apoptotic signals. Beberapa reseptor TNF yang

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


1632

tidak berperan dalam hal ini akan berperan dalam mengaktifkan reaksi inflamasi.
Reseptor kematian yang paling terkenal adalah reseptor TNF 1 (TNFR 1) dan
protein yang berhubungan yang disebut Fas (CD 95). Mekanisme apoptosis pada
jalur ekstrinsik ini diinduksi oleh penempelan FasL (Fas Ligand) (yang dihasilkan
oleh sel T) dengan reseptor kematian Fas dan TNF. Interaksi antara reseptor dan
Ligand tersebut akan mengaktifkan adapter protein. Adapter protein kemudian
akan mengaktifkan kaspase inisiator, yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase
pelaksana yang membuat proses apoptosis berjalan. Proses apoptosis yang terjadi
pada jalur ekstrinsik (setelah pengaktifan kaspase pelaksana) akan menghasilkan
hasil yang sama dengan proses apoptosis yang terjadi pada jalur intrinsik[23,28].
Setelah inisiasi kaspase membelah menjadi bentuk aktif maka kematian enzimatik
terprogram dimulai secara cepat dan bertahap melalui aktivasi kaspase pelaksana.
Kaspase pelaksana terdiri dari kaspase-3 dan kaspase-6 dan sekali teraktivasi
maka kaspase ini akan memotong inhibitor sitoplasmik DNase dan membuat
enzim DNase aktif, sehingga akan terjadi pemotongan DNA. Kaspase akan
mengakibatkan degradasi struktur komponen matriks nuclear dan mengakibatkan
fragmentasi nuleus. Fase ini disebut eksekusi dan merupakan fase akhir
apoptosis[23,28].

Formasi badan apoptosis yang dibungkus oleh antibody alami dan protein akan
memecah sel menjadi fragmen-fragmen yang sangat kecil dan menyebabkan
perubahan membran sehingga akhirnya mengaktifkan proses fagositosis[23,28].

2.7. Mitokhondria dan reactive oxygen species (ROS)


Mekanisme stress oksidatif yang ditimbulkan oleh pajanan toluene pada manusia
dan pada tikus mempunyai kesamaan[2]. Mekanisme stress oksidatif yang
diakibatkan pajanan toluena tidak terlepas dari proses degradasi dan metabolisme
toluene itu sendiri. Pada degradasi toluena akan dihasilkan Benzyl alcohol yang
dapat menginduksi stress oksidatif akibat adanya ketidakmampuan pertahanan
antioksidan dan adanya produksi ROS (reactive oxygen species) oleh rantai

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


33
17

transport elektron mitochondrial. Formasi reactive oxygen species seperti H2O2


dan superoxide anion (O2-) akan membentuk radikal hydroxyl yang sangat
reaktif[17,18]. Benzyl alcohol menginduksi sitokrom P450 (CYP) 2E1-dependent
microsomal monooxygenase mengaktifkan fagosit. CYP2E1 mempunyai
kecepatan aktivasi lipid peroksidase dan NADPH oksigenase yang tinggi
sehingga akan memicu terbentuknya H2O2 dan O2-. Selanjutnya radikal bebas
hydroxyethyl (HER) akan terbentuk selama metabolisme ethanol oleh
CYP2E1[17,18]. Beberapa system enzim seperti sitokrom P450 (CYP) 2E1-
dependent microsomal monooxygenase, rantai respirasi mitkhondrial dan enzim
sitosol xantin oksidase dan aldehid oksidase akan ditemukan terkait dengan
adanya H2O2 dan O2- pada sel parenkim selama intoksikasi golongan alkohol.
Sementara itu aktivasi enzim golongan antioksidan seperti superoksid dismutase,
katalase, glutation peroksidase dan non-enzimatik antioksidan seperti glutation
dan vitamin C menurun[17,18].
Pada tahap biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur
lipid ganda membran sel sebagai pembungkus mitokhondria yang berperan
penting dalam kehidupan sel, Mitokhondria terutama penghasil utama energi sel
(ATP) melalui respirasi mitokhondria atau reaksi fosforilasi okdidatif (OXPHOS,
Oksidatif Fosforilation) berfungsi mendapar CA2+ Sitosol, dan mengisolasi
faktor-faktor proapoptotik. Respirasi mitokhondria terjadi melalui serangkaian
reaksi oksidasi reduksi dengan bahan bakar ekuivalen pereduksi yang berasal dari
degradasi oksidatif senyawa karbon. Kompleks respirasi yang terdiri dari lima
kompleks protein, memindahkan elektron dari satu kompleks ke kompleks lain
dengan bantuan dua kofaktor khusus, koenzym Q (CoQ, ubikuinon) dan sitokrom
C (Cyt C), untuk kemudian menghasilkan ATP dan sumber utama ROS.
Meskipun produk akhir rantai respirasi adalah air, yang dihasilkan melalui reduksi
4 elektron terhadap molekul oksigen oleh sitokrom oksidasi (kompleks 4)
sejumlah kecil O2 dapat mengalami proses reduksi 1 elektron yang menghasilakn
ROS, terutama superokside Anion Radikal O2, Hidrogen Peroksida dan HO.
Produksi ROS terutama terjadi pada kompleks 3 akibat perputaran proton antar

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


34
18

ubikuinon, sitokrom B dan C1, dan protein besi sulfur. Komplek satu juga
berperan dalam proses ini. ROS dianggap sebagai metabolik toksik dan
dekomposisi oleh enzim antioksidan khusus. Antioksidan alami ini terutama
adalah superoxide dismutase di mitokhondria yang mengandung Mn, MnSOD,
dan sitosol yang mengandung Cu dan Zn, Cu/ZnSOD, glutation peroksidase
(GSH-Px) dan phospolipid hydroperoxide glutahathione peroxidase. Meskipun
demikian sebagian senyawa yang tidak terbuang melewati proses katalitik ini
dapat merusak mitokhondria dan sel secara keseluruhan. Peningkatan produksi
ROS dapat berakibat antara lain reperfusi pada iskemia, kerja zat xenobiotik,
peradangan, penuaan, radiasi ultraviolet atau ionisasi, gangguan pada system
antoksidan alami, dapat menyebabkan penumpukan ROS dan kemudian stress
oksidatif. ROS terutama merusak dalam bentuk peroksidasi lipid dan oksidasi
protein serta DNA. Mitokhondria yang merupakan penghasil utama ROS juga
merupakan target kerja utama ROS[17,18].

Perubahan morfologi ini berhubungan dengan penurunan ATP, gangguan sintesis


protein, kerusakan sitoskeletal dan kerusakan DNA mengakibatkan terjadinya
peningkatan ROS[17,18].
ROS sendiri dapat menyebabkan oksidasi dari protein, DNA, dan asam lemak
yang dapat meningkatkan lipid peroksidase, sehingga mengganggu plasma
membran. Penanda biologis dari adanya peningkatan lipid peroksidase adalah: 4-
HNE (4-Hydoxynonenal), 8-iso-Prostaglandi F2A, MDA (Malondialdehid), dan
TBARS[23,24,25,26,27].
Pada pemeriksaan histopatologi anatomi cedera pada sel (cell injury), yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya adalah pembengkakan sel, perubahan
lemak pada sel jantung, yang dimanifestasikan dengan munculnya vakuola lipid di
sitoplasma. Hal ini terlihat pada hampir semua sel yang berhubungan dengan
metabolisme lemak seperti hepatosit dan sel miokard [27].
Sedangkan pada pembuluh darah sendiri akan terjadi peningkatan protein plasma
dan jumlah leukosit, terutama neutrofil pada keadaan akut[28]. Apabila proses

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


35
19

cedera sel berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan sel-sel tersebut


mengalami nekrosis dan apoptosis [27].

2.8 Jantung
Anatomi fisiologi jantung antara manusia dan tikus memiliki kemiripan[1]. Jantung
sendiri terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah yang
merupakan lapisan otot (miokardium), dan lapisan yang terdalam adalah lapisan
endotel (endokardium)[29].

Gambar 2.3. Anatomi Jantung [31].

a. Epikardium
Lapisan ini merupakan bagian viseral dari kantong perikardium yang
membungkus jantung sebagai suatu membran serosa yang tipis. Membran ini
terdiri atas selapis sel-sel mesotel dan lapisan jaringan ikat. Epikardium terikat
pada miokardium dengn suatu lapisan jaringan ikat longgar vaskuler yaitu lapisan
subepikardium[29].
b. Miokardium
Lapisan miokardium mirip lapisan tunika media pembuluh darah.Lapisan ini
tersusun oleh berkas-berkas otot jantung yang saling melilit. Otot-otot jantung
tersusun dalam lembaran-lembaran yang membungkus ventrikel dan atrium
dengan membentuk spiral. Miokardium ventrikel hanya memiliki sedikit serat
elastis, sedangkan di atrium terdapat banyak jala-jala serat elastis di antara serat
otot. Jaringan ikat interstitial miokardium berisi serat retikulum[29].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2036

c. Endokardium
Endokardium membatasi permukaan dalam atrium dan ventrikel. Lapisan ini
paling tebal di atrium sehingga permukaan dalam atrium lebih pucat dari pada
ventrikel. Endokardium ini melanjutkan diri ke tunika intima pembuluh darah
yang keluar dan masuk ke jantung.Lapisan ini terdiri atas lapisan sel-sel endotel
yang gepeng berbentuk poligonal, terletak di atas lamina basalis yang tipis serta
kontinyu. Selanjutnya lapisan jaringan ikat subendotel yang relatif tebal tersusun
oleh sejumlah serat kolagen dan serabut elastis dan berkas sel otot polos. Pada
subendokardium, di bawah lapisan subendotel, terdiri dari jaringan ikat longgar
yang mengikat endokardium pada miokardium yang terletak di bawahnya.
Lapisan ini juga mengandung pembuluh darah, saraf, dan cabang-cabang sistem
penghantar ke jantung, bercampur dengan jaringan lemak[29].

Gambar 2.4. Histologi normal otot jantung, pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran 400x [47].

2.9 Degenerasi
2.9.1. Definisi
Degenerasi adalah suatu perubahan fungsi biokimiawi, perubahan struktural,
ataupun kombinasi dari keduanya yang diakibatkan cedera serta bersifat
reversibel. Bila sel terus menerus terkena cedera bisa terjadi nekrosis atau
kematian sel yang bersifat irreversibel[48].

2.9.2. Faktor yang berpengaruh terhadap degenerasi


Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap degenerasi, antara lain[48]:

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


37
21

1. Semakin bertambahnya usia, fungsi imunitas menurun sehingga mudah


terserang penyakit.
2. Kurangnya oksigen dapat mengakibatkan transpor ion berkurang sehingga
metabolisme sel terganggu.
3. Nutrisi yang kurang mengakibatkan metabolisme terganggu.

2.9.3. Mekanisme Degenerasi Sel


Gengguan produksi energi glukosa sebagai sumber energi bagi sel seperti
hipoglikemia dimana energy glukosa dalam darah rendah akan menrunkan
produksi ATP. Bila produksi ATP menurun maka fungsi pompa Na+ pada
membran akan terganggu sehingga air dan Na+ masuk ke sel[48]. Organel dalam
sel pun membengkak terjadilah degenerasi keruh. Gangguan fungsi membran sel
lisis oleh enzim, yaitu enzim yang mempunyai aktivitas seperti lipase akan
menghancurkan membran sel. Membran sel pun kehilangan fungsi, air masuk
abnormal ke dalam sel dan terjadilah degenerasi keruh seta hidrofik[48].

2.9.4. Jenis Degenerasi


a. Degenerasi Lemak
Merupakan timbunan lemak abnormal dalam sel yang berada diantara jaringan
ikat. Terjadi pada hepar, jantung, ginjal, dan pulpa. Etiologi : bisa karena anoksia,
malnutrisi, dan DM. Patogenesis: kekurangan O2 akan menganggu oksidasi yang
menyebabkan sel sakit sehingga metabolisme sel tidak bisa disalurkan dan timbul
timbunan lemak. Gambaran histopatologi: terdapat zegelring sel (inti terdesak ke
tepi), tahap awal terdapat vakuola-vakuola kecil[48].
b. Degenerasi Keruh
Patogenesis: degenerasi pada retikulum endoplasma dan mitokhondria,
mengganggu oksidasi sel. Bila terjadi gangguan oksidasi sel maka akan
mengganggu meabolisme. Hasil metabolisme H2O tidak dapat dieliminir sehingga
terjadi akumulasi air. Gambaran histopatologi: sel epitel membengkak, batas sel
tidak jelas, sitoplasma bergranuler[48].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2238

c. Degenerasi Hidrofik
Terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk
dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola kecil sampai besar. Etiologi: anoksia,
defisiensi kalsium, shock berat, diabetes melitus. Patogenesis: degenerasi pada
retikulun endoplasma dan mitokondria, menggangu oksidasi sel. Bila terjadi
gangguan oksidasi sel, maka akan mengganggu metabolisme. Hasil metabolisme
H2O tidak bisa dieliminir, sehingga terjadi akumulasi air. Gambaran
histopatologi: terdapat vakuola dan stroma jadi renggang[48].

Gambar 2.5 Gambar Degenerasi dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran 400x: 1.
Degenerasi lemak, 2. Degenerasi keruh, 3. Degenerasi hidrofik [48]
d. Degenersi Hyalin
Degenerasi yang menyangkut metabolisme berbagai macam bahan protein hyalin,
terjadi perubahan sel menjadi eosinofilik dan homogen serta inti fibroblast
memipih. Etiologi: penebalan jaringan ikat, ada jaringan elastik dinding pembuluh
darah, defisiensi vitamin A, virus hepatitis. Patogenesis: perubahan hyalin pada
sel atau rongga sel. Apabila terjadi pada otot sadar kemudian akan terjadi
degenerasi zenker. Gambaran histopatologi: hyalin merupakan masa yang
stukturnya tidak menentu, berwarna merah muda, homogeny dan transparan serta
batsnya tidak jelas[48].

Gambar 2.6 Gambar degenerasi hyalin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x[48]

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2339

e. Degenerasi Mukoid
Degenerasi lendir pada sel epitel. Mukopolisakarida tersebar dalam tubuh pada
sekresi sel epitel dan sebagai substansi dasar jaringan ikat dan kartilago. Dapat
ditemukan pada epitel mukosa saluran cerna yang mengalami gastritis kronik.
Etiologi: akumulasi konjugat berlebihan digunakan pada produksi sejumlah besar
musinosa oleh sel. Patogenesis: musin atau lendir disekresi oleh epitel, kemudian
mendesak inti sel ke tepi sehingga sel menyerupai cincin atau disebut dengan
signet ring cel. Gambaran histopatologi: terdapat signet ring cel (inti terdesak ke
tepi)[48].

Gambar 2.7 Gambar degenerasi mukoid dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x[48]

f. Degenerasi Miksomatik
Degenerasi lender yang terjadi pada jaringan ikat. Patogenesis: penimbunan
diantara sel fibrous jaringan ikat kemudian terbentuk stellate cel. Gambaran
histopatologi: bahan metabolit ditimbun interseluler atau antar sel atau di luar sel.
Terdapat stellate cel (sel yang intinya berbentuk bintang)[48].

Gambar 2.8 Gambar degenerasi miksomatik dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x [48]
g. Degenerasi Zenker
Merupakan akumulasi asam laktat yang menganggu metabolisme sel sehingga
serat-serat otot menjadi hilang dan diganti dengan jaringan homogen mirip wax.
Etiologi: difetri, typhus, tetanus, kholera, pneumonia, dan terlalu lama pada

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2440

daerah yang sangat dingin. Patogenesis: asam laktat meningkat sehingga


metabolisme meningkat terjadi degenerasi zenker[48].

h. Degenerasi Amiloid
Merupakan akumulasi dari amiloid. Dapat terkena pada jaringan otot, jantung dan
lidah. Etiologi: defisiensi kalium, shock berat, diare yang berat, anoksia.[48]

2.10. Toksisitas Toluena dengan organ jantung manusia


Inhalasi toluena pada organ jantung dapat menimbulkan dysrhitmias jantung.
Dysrhitmias jantung dianggap sebagai penyebab kematian utama akibat
penyalahgunaan toluena. Toluena dapat menurunkan ambang batas kerentanan
miokardial terhadap efek dysrhythmogenic dari katekolamin[16]. Toluena
merupakan bahan kimia pelarut yang bersifat volatil (solvent volatile). Dari
penelitian Inoue dan kawan-kawan kematian tiba-tiba pada penyalahgunaan
toluena sering diawali dengan aktivitas fisik berat dan dipercaya akibat dari
dysrhythmias cardiac nonperfusing[16]. Selain itu karena toluena merupakan
senyawa organik yang bersifat larut dalam lipid, maka pada tahun 1995, Frank
menemukan bahwa beberapa senyawa organik yang larut lipid, dapat menekan
kontraktilitas jantung[30], sehingga dapat menyebabkan depresi miokardium.
Sedangkan pada tikus wistar, toluena menurunkan irama ventrikular ektopik
dalam 30 menit menginduksi aritmia. Pengukuran kadar toluena di jantung
dengan menggunakan gas kromatografi selama dan setelah inhalasi menunjukkan
konsentrasi yang tetap dengan evaluasi aritmia, yang sebanding dengan sepertiga
kadar puncak yang diobservasi pada akhir inhalasi[39].

2.11. Faktor yang mempengaruhi daya racun Toluena:


1. Dosis pajanan
Apabila individu terpajan dalam dosis melebihi TWA maka toksisitas
toluena terhadap individu akan semakin besar[2].

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2541

2. Lama pajanan
Semakin lama pajanan maka efek toksik toluena akan semakin besar.
Efek yang timbul pada pajanan akut akan berbeda dengan pajanan
kronik. Kronisitas pajanan menentukan tingkat kerusakan organ[2]..
3. Rute pajanan
Seperti diketahui bahwa toluena dapat masuk ke dalam tubuh melalui 3
mekanisme, yaitu, inhalasi, ingesti dan kontak langsung oleh kulit.
Rute pajanan yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah
melalui inhalasi karena uap toluena yang terhirup melalui udara
ambient akan secara cepat diabsorbsi oleh tubuh sehingga intoksikasi
akan lebih mudah terjadi. Sedangkan rute kedua adalah secara ingesti,
biasanya didapat dari makanan atau air yang tercemar oleh toluena,
mekanisme ini kurang toksik bila dibandingkan dengan inhalasi karena
absorbsi melalui jalur ingesti lebih lambat bila dibandingkan dengan
jalur inhalasi. Sementara untuk pajanan melalui kontak langsung kulit
akan merusak stratum korneum kulit dan akan terjadi absorbsi, namun
jalur sampai saat ini belum ada temuan efek sistemik yang ditimbulkan
melalui jalur ini[2]..

4. Kondisi individu
Faktor individu juga sangat memengaruhi toksisitas suatu zat, pada
individu yang rentan atau dengan penyakit berat maupun gangguan
metabolisme, maka daya toksik suatu zat kimia akan menimbulkan
efek yang lebih besar dibandingkan dengan individu sehat[2].

2.12. Kerangka Teori.

1. Perubahan yang pertama kali terjadi pada tingkat biomolekuler akibat


pajanan toluena terhadap sel miokardium adalah perubahan pada struktur
membran dan peningkatan lipid peroksidase, dengan penanda biologisnya
adalah kenaikan nilai MDA miokardium dan MDA darah.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


26 42

2. Pajanan toluena pada tingkat histopatologi dapat menimbulkan perubahan


awal degenerasi lipid yaitu pembentukan vakuola lipid pada miokardium.
Hal ini dapat terlihat dalam skema 2.1 berikut:

Toluena

Ekspirasi Inhalasi
(ekskresi) Paru-paru

Darah (MDA darah)

Jantung (miokardium)

Struktur lipid membran sel rusak

Integritas dan fluiditas membran terganggu

Penurunan ATP
Penurunan Sintesisa Kerusakan sitoskeletal Kerusakan
protein DNA

Peningkatan ROS

Peningkatan Lipid peroksidase kenaikan nilai MDA miokardium

Kenaikan jumlah
Vakuola lipid

Nekrosis

Keterangan: MDA : Malondialdehyd e DNA : Deoxyribose Nucleic Acid


ATP : Adenosin Triphosphate ROS : Reactive Oxygen Species

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2743

2.13. Kerangka Konsep


Skema 2.2 adalah kerangka konsep dimana inhalasi toluena akan mengganggu
membran lipid sel sehingga terjadi peroksidase lipid yang menyebabkan kenaikan
nilai malondialdehid (yang diperiksa pada penelitian ini) selanjutnya pajanan
inhalasi toluena ini akan menyebabkan munculnya vakuola lipid pada miokardium
(yang diperiksa pada penelitian ini).

Inhalasi
Toluena

0 ml 1,6 ml 3,2 ml 6,4 ml 12,8 ml

Miokardium tikus wistar jantan

Suhu
Kenaikkan nilai MDA jumlah Vakuola Usia
miokardium lipid Kekurangan
oksigen,
Nutrisi
Genetik
Stress psikis

: yang dianalisa

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


44

BAB 3
METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian bersama mengenai efek toluena
terhadap kerusakan berbagai organ yang berbeda (susunan saraf pusat, mata,
jantung, paru, ginjal, reproduksi dan darah), yang berjudul Studi Toksisitas
Pajanan Toluena Pada Berbagai Organ Tikus Wistar Jantan, oleh Program
Pendidikan Dokter Spesialis Okupasi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3.1. Desain Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan true experimental study. Pendekatan ini diambil
agar peneliti dapat melihat pengaruh kausalitas antara variabel bebas yaitu
pajanan toluena dan variabel terikat yaitu nilai malondialdehid miokardium dan
gambaran histopatologi jaringan berupa vakuola lipid. Dengan membandingkan
satu kelompok kontrol dan empat kelompok tikus dengan jumlah pajanan yang
berbeda (12,5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm). Penelitian terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap uji pre-eliminary dan tahap perlakuan.

Pada pelaksanaan penelitian, pemberian dosis pajanan diberikan dalam skala


mililiter (ml) dengan cara melakukan konversi perhitungan dari satuan part per
million (ppm) berdasarkan rumus matematis dengan memperhatikan volume
akuarium. Perhitungan matematis untuk konversi satuan dosis dapat dilihat pada
tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1. Perhitungan konversi toluena


Kadar Toluena Dosis Toluena
Perhitungan Konversi
ppm ml
100 100 / 1.000.000 x 128 liter 12,8
50 50 / 1.000.000 x 128 liter 6,4
25 25 / 1.000.000 x 128 liter 3,2
12,5 12,5 / 1.000.000 x 128 liter 1,6

28

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


2945

3.2. Waktu dan Tempat Studi


Tempat Pemeliharaan : Laboratorium Patologi Anatomi FKUI
Pemeriksaan konsentrasi MDA : Laboratorium Biokimia FKUI yang
dilakukan oleh staf Biokimia
Penelitian Histopatologi : Laboratorium Patologi Anatomi FKUI yang
dilakukan oleh staf Patologi Anatomi dan
Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K.
Sajuthi dkk.
Waktu Pengumpulan data : Bulan Agustus 2011 sampai Desember 2012.

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Jenis Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah hewan coba tikus dari ras Rattus Norwegicus
galur Wistar.

Sampel penelitian adalah tikus Wistar jenis kelamin jantan, umur 3 bulan, dengan
berat badan antar 150–200 gram, sehat. Setelah dilakukan penimbangan berat
tikus untuk usia 3 bulan berkisar antara 200-250 gram, sehat. Sehingga sampel
yang diambil adalah tikus Wistar dengan berat badan 200-250 gram.

3.3.2. Estimasi besar sampel


Pada penelitian ini, digunakan perhitungan besar sampel dengan rumus Federer[49]
Untuk penelitian experimental menggunakan hewan coba, sebagai berikut :
(t-1) (r-1) > 15, dengan
t = jumlah kelompok perlakuan (5)
r = Jumlah sampel per kelompok perlakuan, sehingga
(5-1) (r-1) > 15
4r – 4 > 15
4r > 19
r > 4.75

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


46
30

Menurut perhitungan dengan rumus Federer, maka jumlah tikus yang diperlukan
dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus. Sebagai antisipasi kemungkinan drop
out (yang disebabkan kematian tikus sewaktu percobaan) maka ditambah
sebanyak 20%, sehingga digunakan 30 ekor tikus dimana masing-masing
kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, untuk mendapatkan data penelitian yang lebih
akurat.

Kriteria Inklusi :
a. Tikus wistar jantan
b. Umur 3 bulan
c. Berat badan 200-250 gram
d. Tidak ada kelainan anatomis (tidak ada cacat)

Kriteria Eksklusi :
a. Tikus mati dalam pemeliharaan
b. Berat badan menurun (kurang dari 200 gram)
c. Tikus tidak bergerak aktif atau sakit

3.3.3. Pemilihan Sampel


Pemilihan sampel tikus ke dalam masing-masing kelompok (akuarium), dilakukan
secara acak sederhana (simple random sampling), Kemudian dipilih secara acak
yang akan masuk ke dalam masing-masing kelompok. Untuk menghindari adanya
bias dari faktor variasi umur dan berat badan. Masing-masing akuarium berisi 6
ekor tikus.

Terdiri atas lima kelompok sampel terdiri dari satu kelompok kontrol yang hanya
diberikan udara bebas selama penelitian dan empat kelompok yang diberi pajanan.
Kelompok intervensi terdiri dari kelompok yang diberikan pajanan toluena
masing-masing 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml dan 12,8 ml dengan durasi 4 jam per hari
selama 14 hari.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


47
31

3.4. Etik Penelitian pada hewan coba (Tikus)


Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis hanya
dapat dipertanggungjawabkan, jika:
1. Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai
tujuannya
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek
atau prosedur alternatif
4. Manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan
penderitaan yang dialami hewan percobaan
5. Sebelum dilakukan penelitian, prosedur penelitian harus lulus izin
kepada Komite Etik Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

3.5 Penjaminan Mutu


Ketiga puluh ekor tikus sebelum dilakukan percobaan, ditempatkan di dalam 10
kandang rajut kawat terpisah berukuran 50 x 30 x 18 cm3 (masing-masing
kandang berisi 3 ekor tikus), sehingga terdapat aliran udara bersih serta bebas, dan
tikus dapat bergerak leluasa[50]. Hal-hal tersebut bertujuan agar hewan coba dapat
mengurangi stress.
Penyesuaian terhadap lingkungan yang baru dilakukan selama dua minggu
sebelum penelitian dilaksanakan. Hewan coba juga mendapat perlakuan yang
sama dalam hal perawatan serta pakan, dan dengan siklus dark-light 12 jam.
Selama pemeliharaan di laboratorium, hewan tersebut juga akan diperhatikan
makanannya, kebersihan lingkungannya. Pakan dalam bentuk pellet dan air
diberikan ad libitum (yang dibeli dari bagian Patologi Anatomi FKUI) dengan
komposisi beras putih, kacang tanah, kacang kedelai, udang rebon, tepung tulang,
sagu, dedak, susu krim, dan suplemen vitamin serta zat besi.
Hewan coba diperoleh dari Balitbang Kementerian Kesehatan dan dipelihara di
bawah kondisi lingkungan yang dijaga agar terkontrol dengan suhu ruang berkisar

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


48
32

27 – 30,5oC dengan kelembaban relatif 60-90 %.[50] serta pencahayaan diatur


sesuai dengan ruangannya. Pada tahap penyesuaian tersebut dilakukan
pengamatan keadaan umum dengan melihat aktivitas atau geraknya untuk menilai
tikus tersebut sehat atau tidak. Kriteria sehat seperti tidak ada tanda-tanda infeksi,
luka, atau cacat secara visual. Apabila ada yang terlihat sakit maka harus segera
dipisahkan dari kelompoknya dan tidak digunakan dalam penelitian.

Seluruh proses yang meliputi pemeliharaan, pemajanan, perawatan setelah


pemajanan hingga dislokasi servikal dilakukan dengan bantuan teknisi
laboratorium hewan coba berpengalaman yang telah mendapat pelatihan. Hewan
coba di euthanasia dengan cara dislokasi servikal tanpa menggunakan alat, tanpa
bahan kimia tambahan. Proses dislokasi dilakukan dengan cepat dan tepat, dan
euthanasia dipastikan berhasil[50]. Setelah euthanasia dan enukleasi, sisa bahan
biologik akan dimasukkan dalam incenerator.
Penjaminan mutu dilakukan dengan tujuan untuk menghindari bias yang
ditimbulkan dari faktor kondisi lingkungan maupun akibat kesalahan prosedur
baik dalam pemeliharaan, perlakuan, pembuatan preparat, maupun pembacaan
hasil. Penjaminan mutu telah dilakukan sesuai dengan prosedur kerja seperti telah
tersebut diatas.
3.6. Pemajanan Hewan coba pada uap toluena
3.6.1. Persiapan atmosfer toluena
Persiapan atmosfer toluena dilakukan sesuai dengan protokol kerja Badan Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Uap toluena dibuat dengan cara
menyemprotkan toluena dengan spuit ke talang kaca di pinggir atas dalam
akuarium sesuai dengan pajanan yang diinginkan yaitu sebanyak 1.6 ml, 3,2 ml,
6,4 ml dan 12,8 ml. Udara di alirkan ke dalam akuarium melalui bubbler. Pada
tengah akuarium diletakkan kipas angin agar uap toluena tersebar merata.
Kondisi atmosfer dipertahankan konstan, dengan konsentrasi oksigen sekitar
20%-21%, kelembaban 30%-70%, suhu lingkungan 18oC-34oC. Kadar toluena
selama pajanan dipertahankan dengan penambahan dosis toluena setiap jam sesuai

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


49
33

dengan perhitungan uap toluena yang keluar melalui lubang yang terbuka dengan
perhitungan seperti disajikan pada tabel 3.2 di bawah ini.
Tabel 3.2 Perhitungan penambahan kadar toluena selama pajanan

3.6.2. Bahan Biologik


Tikus jantan strain Wistar sebanyak 30 ekor berusia 3 bulan
3.6.3. Alat-Alat Yang Digunakan
1. Inhalation Chamber (akuarium) dengan ukuran 80 x 40 x 40 cm3 yang
terbuat dari kaca
2. Gas Sampler
3. Toluena cair (AN 301225, Ajax Chem)
4. Oksigen murni
5. Mikrotom
6. Mikroskop Cahaya
7. Mikroskop elektron transmisi
8. Ultramikrotom

3.6.4. Sumber Asal Bahan


 Tikus-tikus jenis Wistar dibeli dari Balitbang Kementerian Kesehatan
 Cairan toluena, dibeli dari Toko Kimia Harum Sari.
 Gas Chromatography, dari Balai Hiperkes (Higiene Perusahaan Kesehatan
Kerja) DKI Jakarta.
 Kandang tikus berupa kaca berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm, kaca
penutupnya dengan ketebalan 3 mm serta pompa dibeli dari PT. Sarana.
 Pemeriksaan Histopatologi, pewarnaan HE (Hemotoksin Eosin) dan
mikroskop dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi FKUI.
 Pemeriksaan konsentrasi MDA dilakukan di Laboratorium Biokimia FKUI.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


50
34

3.6.5. Pemajanan Hewan Coba


Perlakuan Hewan coba sesuai dengan : “Guidelines for the care and use of
laboratory animal : Eight Edition.; 2011”. [50]
Pembuatan akuarium dilakukan oleh tehnisi akuarium berpengalaman sesuai
dengan guideline hewan coba yaitu luas akuarium yang diperlukan untuk satu
ekor tikus dengan berat 200 - 250 gram adalah sebesar 387 cm2 dengan tinggi
kandang 17,8 cm (dibulatkan menjadi 18 cm), sehingga ukuran akuarium untuk
enam ekor tikus adalah 6 x 387 cm2 = 2322 cm2 dibulatkan menjadi 2400
cm2.[28,29,30] Ukuran akuarium yang digunakan adalah 80 x 40 x 40 cm3 =
128000 cm3 = 128 liter, dengan tujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih
luas bagi hewan coba. Pada salah satu sisi akuarium yaitu 10 cm dari tepi atas
akuarium dibuat talang dengan ukuran 80 x 10 cm sebagai tempat untuk
menyemprotkan toluena cair.
Hewan coba dibagi ke dalam 5 kelompok besar, seperti pada tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3. Kelompok Pajanan Toluena dan jumlah tikus
Kelompok Pajanan Toluena Jumlah Hewan coba
(akuarium) (pajanan 4 jam /hari selama 2 minggu) (tikus)
I Kontrol (tidak dipajan Toluena) 6
II 1.6 ml 6
III 3.2 ml 6
IV 6.4 ml 6
V 12.8 ml 6

Tehnik pajanan dilakukan setelah peneliti melakukan konsultasi dengan pihak


Laboratorium K3 dan HIPERKES Jakarta. Uap toluena dibuat dengan cara
menyemprotkan toluena murni melalui spuit injeksi 5 cc merk Terumo, pada
talang kaca yang terletak di bagian atas akuarium masing-masing sebanyak 1,6
ml, 3,2 ml, 6,4 ml, dan 12,8 ml disertai dengan mengalirkan udara melalui
bubbler ke dalam akuarium serta dibantu oleh satu buah kipas angin kecil yang
diletakkan di bagian atas akuarium. Konsentrasi ini diperoleh dengan mengatur
besarnya aliran udara yang melewati bubbler tersebut yang disesuaikan dengan
jumlah udara yang keluar dari akuarium yaitu 5 µl/detik, yang diperoleh melalui
pengukuran. Lubang untuk aliran udara yang keluar dari akuarium terletak di
bagian atas akuarium dikarenakan berat jenis uap toluena adalah 3,18 kali lebih

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


51
36

besar daripada berat jenis udara sehingga uap toluena akan berada di dasar
akuarium[2].

Kadar toluena selama pajanan dipertahankan dengan cara melakukan penambahan


dosis toluena setiap jam, dengan cara menyemprotkan melalui spuit injeksi 5 cc
merk Terumo ke dalam talang akuarium. Jumlah toluena cair yang ditambahkan
berbeda-beda sesuai dengan dosis pajanan semula, volume akuarium dan
kecepatan aliran udara selama pajanan adalah tetap.
Kondisi lingkungan di dalam akuarium dipertahankan pada suhu 27 – 30,5oC dan
kelembaban 60-90 % dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi fisik hewan
coba dan mempermudah dispersi toluena. Alat yang digunakan untuk pengukuran
suhu dan kelembaban lingkungan adalah termohigrometer jarum. Pencahayaan
sesuai dengan pencahayaan di ruang laboratorium hewan coba.

3.7. Eutanasia pada hewan coba (Tikus)


Organ jantung tikus-tikus ini dievaluasi secara histopatologi dan menggunakan
enzim MDA (Malondialdehid) untuk dicari hubungannya dengan kenaikan
pajanan toluena. Tikus yang mati secara alami segera diperiksa di laboratorium
baik secara histopatologi ataupun nilai MDA nya.
Terminasi dilakukan segera pada hari ke 14 setelah dieutanasia secara dislokasi
servikal yaitu dengan cara menarik ekornya. Selanjutnya dilakukan pembedahan
guna pengambilan organ tersebut dan dilakukan fiksasi dengan larutan HE untuk
pemeriksaan histopatologi jaringan.
Dalam melakukan Eutanasia, diperhatikan :
1. Kematian tikus-tikus dengan sedikit mungkin menghilangkan kepanikan,
nyeri dan stress pada tikus-tikus tersebut.
2. Waktu yang sesingkat mungkin untuk membunuh
3. Memperhatikan Occupational Safety bagi seluruh petugas laboratorium.
4. Meminimalisir efek psikologis, emosi dan efek fisiologis dari hewan coba.
5. Meminimalisir dampak yang terjadi terhadap lingkungan sekitar/ekologi.
6. Menggunakan peralatan yang sesederhana mungkin dan tidak mahal.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


52
36

7. Lokasi euthanasia yang terpisah dari animal room tetapi dalam jarak yang
terkontrol dari animal room dan laboratorium.

3.8. Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer hasil pengamatan
gambaran perubahan awal histolopatologi berupa vakuola lipid pada miokardium
tikus wistar jantan yang diberi pajanan toluena kemudian dibandingkan dengan
kelompok kontrol serta data nilai MDA miokardium.

3.8.1 Pengukuran nilai MDA


MDA merupakan suatu produk akhir peroksidasi lipid, yang biasanya digunakan
sebagai biomarker biologis peroksidasi lipid dan menggambarkan derajat stres
oksidatif dengan uji asam thiobarbiturat[34]. Conjugated atau polymerazed MDA
dapat terhidrolisa dalam medium asam dan labil dalam pemanasan. Metode
TBARS menggunakan teknik spektrofotometrik dengan melihat perubahan warna,
tetapi mempunyai hasil yang tidak spesifik, oleh karena juga terukur aldehid yang
lain. Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan[34,36,37,39].
Pada bulan Desember 2012 telah dilakukan pemeriksaan nilai MDA
(Malondialdehyde) di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia oleh peneliti bersama dengan staf Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian dilakukan pembacaan hasil oleh staf
ahli laboratorium Biokimia Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Pada
sampel nomor 3 pada kelompok pajanan 1.6 ml (II.3) tidak diperiksa karena
sampel jaringan rusak.
3.8.1.1 Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS) metode Wills
(1987)
Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu
molekul MDA bereaksi dengan dua molekul TBA (Thiobarbituric acid) terpecah
menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. TBA
akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


53
37

spektrofotometrik dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.


Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin[34,36,38,39].
Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan, lebih dari 4 μmol/l
dengan mengukur TBAR dengan metode kolorimetri, kadar normal hingga 2,5
μmol/l dengan metode fluorometri, dan kadar 0,60 - 1μmol/l dengan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan metode ini yang saat ini
menjadi pilihan sebagai petanda biologis stres oksidatif. Dengan metode
spektrofotometri dapat ditentukan kadar MDA yang menunjukkan secara spesifik
kadar total dan dan memberikan hasil yang serupa dengan kadar yang didapat
menggunakan HPLC, dengan koofisien variasi 1,2 – 3,4 %. Kadar MDA dengan
metode spektotrofotometri 1,04 ± 0,43 μmol/l. Penelitian di Berkeley dan Oakland
California tahun (1999) pada 298 orang sehat umur antara 19 – 78 tahun
didapatkan perbedaan bermakna pada perokok, tetapi tidak didapatkan perbedaan
bermakna dengan perbedaan umur, ras dan body mass index (BMI) [34,35,36,37,39].

3.8.1.2 Prosedur Pemeriksaan


Dua ratus μL homogenat jantung ditambah 1800 μL akuades, kemudian
ditambahkan 1000 μL asam trikloro asetat (Tri Chloroacetic acid = TCA), 20%
dan 2000 μL asam tio barbiturat (Thio Barbituric Acid = TBA) 0,67%. Larutan
dicampur homogen kemudian dipanaskan pada air panas (95oC) selama 10 menit,
selanjutnya didinginkan. Setelah dingin sentrifugasi pada 3000 rpm selama 10
menit. Supernatan diambil secara hati-hati dengan menggunakan pipet,
selanjutnya diukur serapannya dengan Visible spektroscopic (VIS) pada panjang
gelombang 530 nm. Hal yang sama dilakukan pula pada blangko[34,35,37,38,39].
Sebelum pengukuran kadar MDA sample, terlebih dahulu dilakukan pembuatan
kurva standar MDA dengan konsentrasi: 0 nmol; 0,0125 nmol; 0,025 nmol; 0,05
nmol; 0,1 nmol; 0,4 nmol; 1,6 nmol dan 3,2 nmol dalam 2000 μL akuades yang
direaksikan dengan 1000 asam trikloro asetat, TCA 20% dan 2000 μL asam
tiobarbiturat, TBA 0,67%. Kurva standar MDA selalu dibuat baru untuk setiap
kali pengukuran kadar MDA sampel. Selanjutnya kadar sampel dilakukan

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


54
38

berdasarkan persamaan regresi dari kurva standar MDA tersebut. Setiap


pemeriksaan dilakukan duplo[36,337,38,39].
3.8.2. Persiapan Jaringan Untuk Pewarnaan HE
Segera setelah tikus dieutanasia selanjutnya dilakukan pembedahan guna
pengambilan organ jantung tersebut, dicuci dengan larutan sodium chloride
isotonis. Jantung tersebut dibelah dan difiksasi dengan larutan formalin 10%
selama 12 jam. Proses selanjutnya adalah pembuatan preparat histopatologik.
Pertama dilakukan pembungkusan ringan dengan kertas saring lalu dimasukkan
kedalam air mengalir untuk menghilangkan formalin kemudian jaringan
dimasukkan kedalam Automatic Tissue Processor[9].
Proses berikutnya adalah dehidrasi dengan menggunakan etanol 70%-100% yang
dilakukan selama 6-24 jam. Kemudian dilakukan penjernihan dengan pelarut
Xylol selam l-6 jam. Lalu di rendam dalam parafin cair pada suhu 500C-600C
selama 0,5-6 jam (proses Infiltrasi). Kemudian Jaringan dikeluarkan dari
Automatic Tissue Processor untuk selanjutnya diblok dengan parafin (proses
Embedding). Setelah itu dilakukan pengirisan dengan alat mikrotom putar dengan
tebal irisan 4-5 mikron, irisan tersebut kemudian dimasukkan kedalam sebuah bak
air hangat dan dipindahkan keatas kaca obyek yang terlebih dahulu diolesi
campuran putih telur dan glyserin ( l : l ), lalu dikeringkan dalam oven[9].

Dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Proses pewarnaan dengan hematoksilin-


eosin metode Mayers adalah sebagai berikut: bagian jaringan yang akan diwarnai
dimasukkan dalam air, pewarnaan dengan hematoksilin selama tiga sampai lima
belas menit, tergantung intensitas warna yang ditimbulkan, cuci dengan air
mengalir, masukkan kedalam alkohol absolut bak I selama satu menit kemudian
bak 2 selama satu menit sampai bak 5, cuci dengan air selama 10 menit (lakukan
dengan cepat), pewarnaan dengan eosin selama beberapa detik sampai satu menit,
tergantung pada intensitas warna yang ditimbulkan, cuci dengan air yang mengalir
selama 10-20 menit, masukkan dalam alkohol 70%, selanjutnya masukkan ke
dalam alkohol 95% bak l sampai bak 5 masing-masing selama dua menit,

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


55
39

kemudian dalam alkohol absolut, cuci dengan xylol sebanyak tiga kali, keringkan
(biarkan xylol menguap)[9].

Proses terakhir adalah mounting (pengawetan) yaitu dengan memberi entellan.


Kemudian preparat siap untuk diamati. Pemeriksaan satu preparat dilakukan
sebanyak 10 lapang pandang dengan perbesaran mikroskop 400x.
Pembacaan hasil preparat histopatologik dilakukan oleh staf ahli Laboratorium
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Inadonesia dan
dokter hewan ahli patologi hewan dari Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K.
Sajuthi dkk. Pembacaan perubahan histopatologi di fokuskan pada semua sel-sel
miokardium yang mengalami perubahan degenerasi lemak dengan vakuola
kosong yang mendominasi sitoplasma sel dan mendesak inti ke perifer sel.
Evaluasi dilakukan pada setiap preparat organ jantung pada ventrikel kiri dari
setiap ekor hewan percobaan. Satu preparat dilakukan evaluasi sebanyak 10
lapang pandang dengan perbesaran mikroskop 400x. Setiap lapang pandang pada
preparat jantung dari satu ekor hewan percobaan di foto dengan mikroskop cahaya
yang dilengkapi dengan alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W. Hasil pengamatan
dianalisis atau dihitung dengan bantuan software MBF_Image J dihitung masing-
masing sel yang memiliki perubahan degenerasi lemak pada organ jantung.

3.9. Definisi Operasional


1. Tingkat pajanan toluena:
Besar pajanan gas toluena dalam satuan milliliter yang diberikan kepada
sekelompok tikus secara inhalasi melalui akuarium selama 14 hari dengan
besar pajanan 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml dan 12,8 ml.

2. Kenaikan nilai MDA miokardium :


Besarnya rerata nilai MDA jaringan miokardium tikus wistar jantan yang
setelah pajanan selesai pada kelompok perlakuan yang meningkat
bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan menggunakan

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


4056

alat gas chromatography spectrofotometry pada panjang gelombang 530


nanometer.
3. Jumlah vakuola lipid miokardium
Merupakan rata jumlah timbunan lipid abnormal dalam sel yang terjadi
pada miokardium jantung tikus wistar, ditandai dengan adanya zegelring
sel (inti terdesak ke tepi), tahap awal terdapat vakuola-vakuola kecil.
Diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali dan
dihitung sebanyak l0 lapangan pandang dengan pewarnaan HE ditandai
dengan adanya gambaran vakuola lipid yang dilakukan setelah masa
pajanan toluena selesai dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada
penelitian ini tidak dilakukan pengelompokan jumlah vakuola lipid.

3.10. Identifikasi variable penelitian


a. Variabel independen: tingkat pajanan toluena. Beberapa faktor dalam
teori yang digunakan tidak menjadi faktor yang diteliti. Faktor
lingkungan tidak diteliti karena karakteristik lingkungan tempat
pemeliharaan tikus dianggap sama.
b. Variabel dependen: kenaikan nilai MDA miokardium, serta kenaikan
jumlah vakuola lipid pada miokardium.

3.11. Analisis Statistik


Setelah data dikumpulkan, maka data diolah dan kemudian dianalisa lalu
dilakukan verifikasi dan di edit dimasukkan dalam komputer, dianalisa untuk
membuktikan hipotesis.
Karakteristik sampel penelitian dapat dilihat dengan melakukan analisis deskriptif
terhadap berat badan sampel penelitian, rata-rata suhu lingkungan dan rata-rata
kelembaban lingkungan.

Dengan demikian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk melihat


distribusi (sebaran data) berasal dari populasi yang normal, jika data berdistribusi

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


41
57

normal dianggap bahwa nilai sampel dapat mewakili nilai populasi yang diambil
secara acak sederhana. Uji normalitas juga merupakan salah satu syarat untuk
menentukan jenis uji selanjutnya, jika data berdistribusi normal maka digunakan
uji parametrik Anova, sedangkan bila data tidak berdistribusi normal maka
dilakukan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Pada penelitian ini uji normalitas
dengan melihat nilai p> 0.05 pada uji Saphiro Wilk atau Kolmogorov Smirnov
menunjukan data yang berdistribusi normal.

Uji homogenitas adalah untuk melihat apakah sampel yang diambil dari dua
kelompok atau lebih berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama.
Dengan demikian perbedaan yang terjadi benar berasal dari perbedaan antara
kelompok bukan akibat dari perbedaan dalam kelompok. Pada penelitian ini
dengan melihat nilai Uji Levene.

Jika sebaran data normal maka dilanjtkan dengan uji Anova one-way yang
dilanjutkan dengan analisis post hoc LSD antara kelompok kelompok 0 ml, 1,6
ml, 3,2 ml, 6,4 ml, dan 12,8 ml (α = 0.05). Jika sebaran data tidak normal
dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis antara kelompok tersebut (α = 0.05) dengan
uji Post Hoc Mean Whitney. Uji Post Hoc pada penelitian ini digunakan untuk
melihat tingkat pajanan toluena terendah di bawah nilai ambang batas yang
mempengaruhi perubahan nilai MDA miokardium dan vakuola lipid tikus wistar
jantan..

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


58
42

3.12. Alur Penelitian

30 ekor tikus Wistar jantan


(Sesuai Rumus Federer)

Dibagi rata ke dalam 5 kelompok.


(acak sederhana)
Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus

Kelompok 1 : Kelompok 2 : Kelompok 3 : Kelompok 4 : Kelompok 5 :


Sebagai Kontrol Terpajan Terpajan Terpajan Terpajan
Toluena 1,6 ml Toluena 3,2 ml Toluena 6,4 ml Toluena 12,8
4jam/hari 4jam/hari 4jam/hari ml 4jam/hari
selama 14 hari selama 14 hari selama 14 hari selama 14 hari

Ke-30 ekor tikus di-eutanasia pada hari ke-14

Segera dilakukan pemeriksaan :


1. Nilai MDA miokardium
2. Pemeriksaan HE untuk melihat perubahan awal
histopatologi miokardium berupa vakuola lipid.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


59

BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian eksperimental ini terdiri dari lima kelompok. Dalam satu kelompok
terdiri dari enam hewan coba. Pada saat pengamatan terjadi kematian satu ekor
hewan coba pada kelompok dua (1,6 ml). Sehingga pada akhir pengamatan
didapatkan 29 data hewan coba. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji
normalitas data, uji homogenitas data dan uji komparabilitas.
4.1. Karakteristik Hewan Coba
Data berat badan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk, sedangkan data suhu dan kelembaban pada
masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji
Kolmogorof Smirnof untuk melihat sebaran data antar kelompok penelitian. Data
berat badan, suhu dan kelembaban masing-masing kelompok diuji
homogenitasnya dengan uji Levene seperti terlihat pada lampiran. Uji normalitas
dan homogenitas dan homogenitas dengan nilai p > 0,05 adalah data memiliki
sebaran normal dan homogen. Setelah diuji maka data yang memiliki sebaran
normal dan tidak homogen adalah berat badan (p = 0.114), sedangkan pada suhu
(p<0.001) dan kelembaban (p< 0.001) memiliki sebaran data yang tidak normal
dan tidak homogen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya berat badan
hewan coba yang setara pada tiap kelompok penelitian, sedangkan suhu
lingkungan dan kelembaban lingkungan tidak setara untuk masing-masing
kelompok penelitian.
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat badan, suhu dan
kelembaban antar kelompok. Hasil analisis kemaknaan dilakukan dengan uji
Kruskal Wallis yang disajikan pada Tabel 4.1 di bawah ini:
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Hewan Coba
n Mean Standar Deviasi Nilai p
Berat Badan Tikus
Kel. Kontrol 6 239,67 8,07 0,281
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 237,8 6,35
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 237,33 4,18
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 239 5,62
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 244 3,52

43

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


4460

Tabel 4.2 Gambaran Karakteristik Suhu dan kelembaban akuarium


n Median Min-Maks Nilai p
Suhu
Kel. Kontrol 6 30 29-31 0,000
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 30 29-32
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 30 29-32
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 29 27-31
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 29 27-31
Kelembaban
Kel. Kontrol 6 65 50-71 0,000
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 52 31-67
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 51 40-65
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 62 54-70
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 57 52-61

Dari hasil uji Kruskal-Wallis berat badan didapatkan nilai p = 0.204 (p>0.05),
oleh karena itu dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antar
kelompok tersebut. Uji Kruskal-Wallis faktor suhu dan kelembaban didapatkan
nilai p < 0.001 (p< 0.05) yang berarti ada perbedaan bermakna antar kelompok
penelitian.
4.2. Gambaran Histopatologi Miokardium

1 2

Gambar 4.1 Gambaran Histopatologi Miokardium dengan mikroskop cahaya dilengkapi dengan
alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W perbesaran mikroskop 400x

Gambar pertama merupakan gambaran miokardium kelompok kontrol, pada


gambar ini tidak didapatkan vakuola lipid yang meningkat. Sedangkan pada
gambar kedua merupakan gambaran miokardium kelompok empat (6.4 ml)
(lingkaran merah menunjukan vakuola lipid dengan inti terdesak ke tepi).

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


45
61

4.3. Pengaruh tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan vakuola
lipid miokardium tikus wistar jantan
Sebaran data nilai MDA dan vakuola lipid pada masing-masing kelompok diuji
normalitas dan homogenitasnya seperti terlihat pada lampiran. Dari hasil uji
tersebut didapatkan bahwa nilai MDA miokardium dan jumlah vakuola lipid
memiliki sebaran data yang normal dan homogen, dengan demikian pengaruh
tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan jumlah vakuola lipid dapat
diketahui dengan melakukan uji analisis statistik One Way Anova, hubungan
dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05. Hasil analisis statistik
seperti disajikan dalam tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2 Pengaruh tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan vakuola
lipid pada masing-masing kelompok
n Mean Standar Nilai p
Deviasi
Vakuola Lipid
Kel. Kontrol 6 0,779 0,116 0,248
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 0,866 0,159
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 1,011 0,252
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 0,828 0,263
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 0,763 0,173
MDA Miokardium
Kel. Kontrol 6 0,143 0,075 0,029
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 0,112 0,055
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 0,169 0,124
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 0,175 0,072
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 0,033 0,315

Dari hasil uji analisis statistik nilai MDA dengan menggunakan One way anova,
didapatkan nilai p=0.029 (p<0.05), dengan demikian didapatkan adanya
perbedaan yang bermakna antar kelompok tersebut. Sedangkan pada vakuola lipid
dengan menggunakan One way anova, didapatkan nilai p = 0.248 (p>0.05), dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antar
kelompok tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan MDA

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


62
46

miokardium pada peningkatan pajanan toluena, sedangkan pada vakuola lipid


tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada peningkatan
pajanan.

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai MDA antar kelompok penelitian


dilakukan uji Anova Post Hoc yang dapat terlihat pada tabel 4.3 di bawah ini:
Tabel 4.3. Perbedaan Nilai Kemaknaan Perubahan MDA Miokardium antara
kelompok (LSD Test)
Kelompok 0 ml 1.6 ml 3.2 ml 6.4 ml 12.8 ml
0 ml x 0.523 0.555 0.484 0.024
1.6 ml 0.523 x 0.235 0.197 0.113
3.2 ml 0.555 0.235 x 0.910 0.002
6.4 ml 0.484 0.197 0.910 x 0.002
12.8 ml 0.024 0.113 0.002 0.002 x

Dari tabel 4.3 pada uji Anova Post Hoc, didapatkan perbedaan rerata nilai MDA
miokardium yang bermakna (p < 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok
pajanan 12,8 ml (p = 0.024), antara kelompok pajanan 3,2 ml dan 12,8 ml (p =
0.002) dan kelompok 6,4 ml dengan 12,8 ml (p = 0.002).

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


63

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1. Keterbatasan pada Penelitian


1. Faktor Lingkungan
Suhu dan kelembaban lingkungan pada saat pajanan sulit dilakukan
pengendalian agar tetap konstan sehingga terdapat beberapa kondisi
lingkungan dari masing-masing kelompok pajanan tidak setara yang mungkin
dapat mempengaruhi pada saat penelitian, sehingga upaya yang telah dilakukan
antara lain menggunakan kipas angin kecil, alat ukur suhu dan kelembaban di
dalam akuarium, penelitian dilakukan di dalam ruangan berpendingin udara
dengan suhu 23°C–25°C, dengan demikian pengaruh tekanan panas lingkungan
dapat dikendalikan.
2. Faktor desain akuarium
Desain akuarium yang kurang sempurna dapat memungkinkan adanya
kebocoran pada saat pajanan sehingga tidak dapat menjamin kestabilan dosis
toluena selama pajanan. Upaya yang telah dilakukan yaitu pada sekeliling
bagian tutup akuarium memberikan sealing selama pajanan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari kebocoran uap toluena.
3. Faktor alat pengukuran kadar Toluena secara langsung (direct reading).
Hasil sampling toluena dalam akuarium yang diukur sebelum penelitian
dimulai memberikan hasil yang berbeda-beda bahkan tidak mencapai 50% dari
harapan peneliti, sehingga tidak dapat digunakan sebagai acuan penetapan
kadar dalam satuan part per million (ppm). Sehingga dilakukan perubahan
dalam penetapan kadar yang semula dalam ppm menjadi mililiter (ml).
Perhitungan (konversi nilai) dilakukan terhadap kadar pajanan toluena dalam
mililiter yang disesuaikan dengan volume akuarium dan kecepatan aliran udara
yang keluar, sehingga kadar pajanan toluena telah diupayakan konstan selama
perlakuan sesuai perhitungan pada tabel 3.2.

47

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


48 64

5.2. Berat badan tikus Wistar, suhu dan kelembaban akuarium


Setelah dilakukan uji Kruskal Walis pada data berat badan tidak didapatkan
perbedaan rerata antar kelompok p=0.204 (tabel 4,2). Pada data suhu dan
kelembaban akuarium didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok (p<0,05).
Berbagai upaya telah dilakukan seperti di atas untuk menjaga homogenitas
sampel. Pada penelitian Herrington dan Gordon CJ menyatakan bahwa
thermoneutral zone (TNZ) pada tikus berkisar berada antara 28°C–34°C,
sedangkan pada hasil yang ada walaupun secara statistik berbeda bermakna, suhu
berkisar antara 27°C–32°C (tabel 4.2) dan kelembaban akuarium antara 30-70%
yang berarti masih berada di dalam thermoneutral zone. Thermoneutral zone
merupakan kisaran suhu lingkungan dimana termoregulasi terjadi dengan
kebutuhan yang keluar untuk meningkatkan produksi panas metabolik atau
mengaktifkan mekanisme kehilangan panas menguapkan, dibatasi oleh nilai
bawah dan atas suhu kritis[50].
Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan batas bawah yang wajar pada
lingkungan uji berpengaruh pada adaptasi hewan uji pada lingkungan baru untuk
meminimalisasi stress dan perubahan secara psikologis termasuk metabolisme
hewan dan secara perilaku untuk level aktivitas. Menurut Gerard (1974) dan
Gordon (1990) paparan suhu dan kelembaban yang berfluktuasi lebar atau
ekstrem dapat mengakibatkan perubahan negatif perilaku, fisiologis dan
morfologi sehingga mempengaruhi kenyamanan hewan dan kinerja penelitian
serta hasil dari protokol penelitian[50].
5.3. Pengaruh tingkat pajanan toluena dengan nilai MDA miokardium
Nilai MDA miokardium pada penelitian ini memperlihatkan perbedaan rerata
bermakna. Hal ini dapat disebabkan oleh:
1. Toluena yang bersifat lipofilik secara cepat diabasorbsi dari paru-paru (50-
80%) mengikuti pajanan melalui inhalasi. Sato dan Nakajima (1978), Ameno
dkk (1992) serta dari ATSDR (2000) menyatakan sesaat setelah diabsorbsi,
toluena terdistribusi ke organ atau jaringan yang kaya lemak dan pembuluh
darah seperti otak. Sedangkan miokardium merupakan organ yang kurang

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


49 65

sensitif terhadap toluena karena memiliki lemak sedikit sehingga bukan


merupakan target utama akumulasi toluena. Selain itu dengan tingkat pajanan
rendah dan dalam waktu singkat belum memberikan pengaruh yang optimal
terhadap nilai MDA miokardium.
2. Darah yang masuk ke miokardium mengandung kadar oksigen yang tinggi.
Kadar oksigen yang tinggi menghambat terjadinya reaksi stress oksidatif.
Disamping itu pada miokardium terdapat enzym yang dapat menghalangi
pembentukan ROS antara lain Superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT),
dan gluthation peroksidase (GPx). Salah satu indikator terjadinya stress
oksidatif adalah peningkatan lipid peroksidase. Malondialdehid (MDA)
merupakan salah satu penanda biologis yang dapat terdeteksi di dalam darah
dan beberapa jaringan tubuh digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan
lipid peroksidase[51].
3. Menurut Sutarina dan Edward (2004) olah raga dengan intesitas tinggi dan
durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel. Penelitian yang
dilakukan Maslachah pada tahun 2008 pada tikus yang diberikan beban kerja
aktivitas fisik (swimming stress) dengan beban ekor 2% dari berat badan tikus
menunjukkan adanya peningkatan kadar Malondialdehide (MDA) yang
bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian dari Misra dkk
pada tahun 2005 pada tikus yang direnangkan, dengan waktu 8 jam/hari
dengan lamanya renang 30 menit diikuti 10 menit istirahat selama 28 hari
didapatkan radikal bebas pada kelompok perlakuan 235,27 nmol/mg jaringan,
sedangkan pada kelompok tanpa perlakuan 196,79 nmol/mg jaringan.
4. Menurut Adiputra pada tahun 2008, pelatihan fisik memulai respon fisiologis
dan biokimia yang kompleks. Setiap gerakan otot yang cepat dimulai dengan
metabolisme anaerobik. Tenaganya berasal dari pemecahan ATP dengan hasil
ADP atau AMP dan berlangsung di mitokondria. Pelepasan energi disertai
dengan meningkatnya aliran elektron dalam rangkaian respirasi mitokondria
sehingga pembentukan oksigen reaktif (O2-) dan H2O2 dan upaya
pembentukan ATP. Pelatihan cenderung mengosongkan ATP dan

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


5066

meningkatkan jumlah ADP yang tentunya akan merangsang ADP katabolisme


dan konversi Xanthine dehydrogenase menjadi Xanthene oxidase. Xanthene
oxidase inilah akan membentuk radikal bebas (O2-). Terbentuknya radikal
bebas akan menyebabkan ketidakseimbangan yang disebut sebagai stress
oksidatif dengan hasil akhir rusaknya lemak, protein dan DNA.

Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat aktivitas tikus wistar menunjukkan


perbedaan pada tiap kelompok. Baik pada kelompok kontrol dan juga pajanan 1,6
ml sampai dengan 6,4 ml, aktivitas tikus wistar masih terlihat aktif bergerak.
Sedangkan pada kelompok 12,8 ml, aktivitas fisik tikus wistar terlihat menurun.
Hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab adanya perbedaan penurunan pada
hasil MDA miokardium pada kelompok pajanan 12,8 ml yang menunjukkan
adanya perbedaan penurunan. Hal ini berbeda dengan kelompok pajanan lainnya
yang menunjukkan adanya peningkatan.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada pajanan 12,8 ml (100 ppm) toluena
ditemukan adanya perbedaan MDA miokardium dengan kelompok kontrol,
pajanan 3,2 ml dan 6,4 ml. Pajanan tersebut merupakan pajanan di atas nilai
ambang batas di Indonesia yang ditetapkan oleh SNI 19-0232-2005 dan juga
American Conference of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH) 50 ppm
(2009), sedangkan NAB Toluena menurut NIOSH 100 ppm, OSHA 200 ppm.
Oleh karena itu, tidak ditemukan tingkat pajanan toluena terendah di bawah nilai
ambang batas yang dapat berpengaruh terhadap nilai MDA miokardium tikus
wistar jantan

5.4. Pengaruh tingkat pajanan terhadap jumlah vakuola lipid


Jumlah Vakuola lipid secara statistik pada penelitian ini memperlihatkan tidak ada
perbedaan rerata bermakna.
Pada beberapa penelitian terdahulu, seperti yang dilakukan Bruckner dan Peterson
pada tahun 1981, tidak ditemukan adanya kelainan histopatologi pada jantung
tikus yang dipajan toluena 4.000 ppm selama 3 jam/hari dalam 8 minggu maupun

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


5167

pada tikus yang dipajan 12.000 ppm selama 70 menit/hari dalam 8 minggu. Pada
tingkat pajanan yang lebih rendah dalam waktu yang lebih lama juga tidak
ditemukan adanya perubahan pada kelainan histopatologi, seperti pada penelitian
NTP (1990), tikus yang terpajan toluena sampai 1.200 ppm selama 24 bulan (6,5
jam/ hari) dan juga CITT (1980), hasil yang ada menunjukkan tidak didapatkan
adanya lesi histopatologi pada jantung tikus terkait dengan pajanan toluena 300
ppm selama 24 bulan (6 jam/hari). Menurut NTP (1990) pada tikus betina yang
terpajan 2.500 ppm toluena selama 14-15 minggu (6,5 jam/hari) terjadi perubahan
peningkatan berat jantung.
Adapun sampai saat ini masih sedikit penelitian yang dapat membuktikan
perubahan vakuola lipid berhubungan dengan tingkat pajanan toluena. Pada
penelitian-penelitian terdahulu diketahui bahwa tidak adanya perubahan
histopatologis miokardium pada pajanan rendah serta pajanan tinggi dengan
waktu singkat ataupun panjang. Sedangkan dari hasil penelitian ini, perubahan
vakuola lipid tidak muncul pada tingkat pajanan tertinggi 12.8 ml (100 ppm)
selama dua minggu. Tidak terjadinya perubahan vakuola lipid, kemungkinan
disebabkan oleh jumlah pajanan toluena yang relatif kecil untuk menimbulkan
terjadinya perlemakan atau munculnya vakuola lipid pada sel miokardium. Waktu
pajanan yang singkat (14 hari dengan waktu 4 jam setiap hari) dapat merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan jumlah vakuola lipid tidak berbeda secara
signifikan pada penelitian hewan coba ini.
Selain hal tersebut aktivitas yang kurang dapat mengakibatkan tertimbunnya
lemak jaringan, hal ini dapat menyebabkan munculnya vakuola lipid pada
mokardium. Perubahan vakuola lipid pada tikus wistar kemungkinan belum
terjadi karena pembentukan lemak pada jaringan membutuhkan waktu kurang
lebih 6-12 jam sedangkan pada peneitian ini pajanan dilakukan selama 4 jam,
sehingga pembentukan vakuola lipid tidak optimal. Hal ini ditambah dengan
asupan makanan yang sudah dikontrol dengan mengatur komposisi gizi. Sehingga
dari hasil penelitian ini, tidak ditemukan adanya peningkatan vakuola lipid yang
bermakna akibat pajanan toluena.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


68

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN
1. Pajanan toluena menyebabkan pembentukan Reactive Oxygen Species
(ROS), sehingga mempengaruhi nilai MDA miokardium di antara
kelompok penelitian, hal ini dapat dijadikan sebagai penanda adanya stress
oksidatif pada kerusakan miokardium. Perbedaan nilai MDA tidak terjadi
pada pajanan dibawah nilai ambang batas (50 ppm), perbedaan yang ada terlihat
pada pajanan 12.8 ml (100 ppm).
2. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan pajanan
toluena dengan perubahan awal histopatologik berupa kenaikan jumlah
vakuola lipid pada miokardium tikus wistar jantan.

6.2. SARAN
Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal, yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada penentuan dosis terendah yang telah menimbulkan
efek pada manusia. Sehingga untuk mencapai hal tersebut maka perlu dibuktikan
dengan penelitian pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti pada primata yang
dianggap mendekati manusia.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk penelitian selajutnya antara lain:


1. Untuk memudahkan pengontrolan kadar toluena di dalam akuarium maka
dapat menggunakan autoregulator yang dapat secara otomatis mengeluarkan
toluena sehingga kadar toluena dapat dipertahankan konstan di dalam
akuarium.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memberikan aktivitas pada hewan
uji untuk dapat membuktikan kenaikan nilai MDA miokardium dan juga
vakuola lipid.

52
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
5369

3. Perlu dilakukan pemeriksaan penanda biologis lainnya untuk mendukung


penelitian ini dengan melihat adanya peningkatan lipid peroksidase terhadap
toluena, seperti: 4-HNE, 8-iso-Prostaglandin F2A, dan TBARS.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


70

DAFTAR PUSTAKA

1. Toluena uses and market. [computer program]. Updated: March 2008.


Available from: http://www.icis.com/v2/chemicals/9076550/toluene/uses.
html
2. Meulenbelt J et al; Br J Ind Med 47: 417-20 September 2000.as cited in U.S.
Dept Health & Human Services/Agency for Toxic Substances & Disease
Registry; Toxicological Profile for Toluene (Update) p.31 (1994) ATSDR/TP-
93/14].
3. Soeripto M; Higiene Industri; Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2008; hal 84-113.
4. American Confrence of Governmental Industrial Hygienist. Threshold Limit
Values for Chemical Substances and Physical Agent; 2011.
5. Treicher HZ, Gabow PA, Moss AH, Kono D, Kaehny WD. "Syndromes of
toluene sniffing in adults". Ann. Intern. Med. 1981; 94 (6): 758–62.
6. Glen R. Hanson,Peter J. Venturelli,Annette E. Fleckenstein; Student Study
Guide to Accompany Drugs and Society.
7. Dr M. Beasley National Toxicology Group University of Otago Medical
School P.O. Box 913 Dunedin New Zealand January 1992.
8. Gary R Krieger; John Burke Sulivan; Clinical Environmental Health and
Toxic Exposures; Philadelphia Pa (u.a): Lippincott Williams and Wilkins,
2001; Second edition.
9. Warsito, Analisis Pemajanan Toluena Terhadap Profil Darah Pada Pekerja
Sektor Industri Penyulingan Minyak Bumi ,Juni2007,
http://eprints.undip.ac.id/16277/1/AGUS_WARSITO.pdf
10. Rita, Yencen, Erma, San2, Kematian Karena Pelarut Organic, Monday, June
27, 2011 http://www.freewebs.com/organik
11. Rosmarie A. Faust (January 1994), “Toxicity Summary for Toluena”. OAK
Ridge Natitional Laboratory. Hal.1-2.

54

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


5571

12. Surat Edaran MENAKERTRANS no. SE-01/MEN/1997, Nilai Ambang Batas


(NAB) Bahan Kimia.
13. Standar Nasional Indonesia. Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara
tempat kerja. Istilah dan definisi. SNI 19-0232- 2005; 2: 1.
14. Laham, S; Potvin M. "Biological conversion of benzaldehyde to
benzylmercapturic acid in the Sprague-Dawley rat". Drug and Chemical
Toxicology. 1987; 10 (3-4): 209–25.
15. World Health Organization. Environmental Health Criteria No. 52 (Toluena).
1985.
16. Inoue, O; Kanno E, Kasai K, Ukai H, Okamoto S, Ikeda M.
"Benzylmercapturic acid is superior to hippuric acid and o-cresol as a urinary
marker of occupational exposure to toluena". Toxicology Letters. 2004; 147
(2): 177–86.
17. Inoue, O; Kanno E, Yusa T, Kakizaki M, Ukai H, Okamoto S, Higashikawa
K, Ikeda M. "Urinary benzylmercapturic acid as a marker of occupational
exposure to toluene". International Archives of Occupational and
Environmental Health. 2002; 75 (5): 341–7.
18. Duydu, Y; Süzen S, Erdem N, Uysal H, Vural N. "Validation of hippuric acid
as a biomarker of toluene exposure". Bulletin of Environmental
Contamination and Toxicology. 1999; 63 (1): 1–8.
19. Inoue, O; Kanno E, Kasai K, Ukai H, Okamoto S, Ikeda M.
"Benzylmercapturic acid is superior to hippuric acid and o-cresol as a urinary
marker of occupational exposure to toluena". Toxicology Letters. 2004; 147
(2): 177–86.
20. Oxford Journal,Life sciences and Medicine, Toxicological Scisnces. 2007;
Vol. 99, Issues 2, Pg. 572-581.
21. Mattia C, Jr JA, Bondy S. “Free radical induction in the brain and liver by
product of toluena catabolism”. Biochem Pharmacol. 1993; 46:103-10.
22. Merory, Joseph. Food Flavorings: Composition, Manufacture and Use (2nd
ed.). 1968; Westport, CT: AVI Publishing Company, Inc.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


5672

23. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Basic Pathology. In: Cellular Responses to
Stress and Toxic Insults: Adaptation, Injury, and Death. Eight edition. United
States of America, 2010; p. 3-22.
24. Coskun O, Otter S, Korkmaz A, Armuteu, Kanter M. “The oxidative and
morphological effects of high concentration chronic toluene exposure on rat
sciatic nerves”. Neurochem Res. 2005; 30:33-8.
25. Mattia C, LeBel C, Bondy S. “Effect of toluene and its metabolites on cerebral
reactive oxygen species generation”. Biochem Pharmacol. 1991; 42:879-82.
26. Mattia C, Jr JA, Bondy S. “Free radical induction in the brain and liver by
product of toluene catabolism”. Biochem Pharmacol. 1993; 46:103-10.
27. Edelfors S, Hass U, Hougaard K. “Changes in markers of oxidative stress and
membrane properties in synaptosomes from rats exposed prenatally to
toluene”. Pharmacol Toxicol. 2002; 90:26-31.
28. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Basic Pathology. In: Acute and Chronic
Inflammation. Eight edition. United States of America, 2010; p. 44.
29. Djojodibroto, Darmanto. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
30. Frank. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian
Resiko.UI-PRES. Jakarta.
31. Sanjoyo, Raden. 2005. Sistem Kardiovaskuler.
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/farmakologi.pdf. Diakses tanggal
maret 2011.
32. Anggraini, Setyowati. 2009. Pengaruh Lama Pajanan Asap Knalpot dengan
Kadar CO 1800 ppm terhadap Membran Histopatologi Jantung pada Tikus
Wistar. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
33. Rosmarie A. Faust, “Toxicity Summary for Toluena”. OAK Ridge Natitional
Laboratory. January 1999; Hal.1-2.
34. Devathasan G, Low D, Teoh PC, Wan SH, Wong PK. "Complications of
chronic glue (toluena) abuse in adolescents". Aust N Z J Med. 1984; 14 (1):
39–43.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


57
73

35. Kawamoto, T; Matsuno K, Kodama Y, Murata K, Matsuda S. "ALDH2


polymorphism and biological monitoring of toluena". Archives of
Environmental Health. September-October 1994; 49 (5): 332–6.
36. http://www.libertyoil.com.au/www/230/1001164/displayarticle/1001248.html
37. http://www.abc.net.au/worldtoday/stories/s106466.htm
38. WHO. 1993. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
39. Gil A. Magosa, Marte Lorenzana-Jiméneza and Horacio Vidrio, Toluene and
,
benzene inhalation influences on ventricular arrhythmias in the rat
aa
Department of Pharmacology, School of Medicine, National University of
Mexico Box 70297, 04510 Mexico, D.F., MexicoReceived 23 August
1988. Available online 14 November 2002.
40. Toluene. Air Quality Guidelines.Second Edition. 2000.
41. Donne D, Isabella, Rossi, Ranieri, Colombo, Roberto dkk. Biomarker of
oxidative damaged in human disease. Clinical Chemistry 2006 ; 52 : 1 – 23.
42. Kadiiska MB, Gladen BC, Bairrd DD, Germolec D, Graham LB, Parker
CE,etc. Biomarkers oxidative stress study II : are oxidation products of lipids,
proteins, and DNA markers of CCl4 poisoning?. Free Radic Biol Med 2005 ;
38 (6) : 698-710.
43. Favier AE, Cadet J, Kalyanaraman B, Fontecave M, Pierre JL. Analysis free
radical in biological systems.Birkhauser Verlag. Deutsche Bibliothek
Cataloging-in-Publication Data.1995.
44. Warner DS, Sheng H, Harbele IB. Oxidants, antioxidants and the ischemic
brain. The journal of experimental biology 2004 ; 207 : 3221 – 31.
45. Baskol M, Baskol G, Deniz K, Ozbakir O, Yucesoy M. A new marker for
lipid peroxidation : serum paraoxonase activity in non alcoholic
steatohepatitis. Turk J Gastroenterol 2005 ; 16 : 119 – 23.
46. Sandra E,Moser J,Bagchi D,Akubue PI, Stohs SJ. Excretion of
malondialdehyde, formaldehyde, acetaldehyde dan acetone in the urine of rats

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


58 74

following acute and chronic administration of ethanol. www medical council


on alcohol 2007.
47. Susilaningsih, Neni. CD praktikum Histologi 1 Bagian Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2006.
48. Clive R. Taylor. Patologi Anatomi. 2005. Jakarta: EGC.
49. Kemas Ali Hanafiah. Rancangan Percobaan, Teori & Aplikasi. Edisi 6. 2005;
Bab 1: hal.9.
50. Guidelines for the care and use of laboratory animal : Eight Edition.; 2010.
51. Konuk et all, Effects of α-lipoic Acid on DNA Damage, Protein Oxidation,
Lipid Peroxidation, and Some Biochemical Parameters in Sub-chronic
Thinner-addicted Rats, Turk Journal Biology, 36, p 702 – 710, 2012.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


75

Lampiran 1 Komite Etik

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


76

Lampiran 2. Tekhnik Percobaan

Percobaan ini dilakukan Pada Suhu Ruang T= 28-32 oC dan P = 1 ATM

Toluena cair
dimasukkan ke dalam Udara keluar
bak yang berada dalam dari sisi atas
akuarium akuarium
akuarium
Tertutup
Pompa
80 x 40x 40 cm
Penghasil
(berisi 3 tikus)
4 cm
Udara

(Bubbler)

Keterangan gambar :
1. Setiap akuarium akan berisi 3 ekor tikus.
2. Jalannya udara digambarkan dengan tanda panah (). Pertama-tama,
udara akan menuju akuarium, melalui lubang yang dibuat setinggi hidung
tikus (4 cm dari alas). Sedangkan toluena cair () akan disemprotkan ke
dalam akuarium sesuai dengan besaran ppm yang diharapkan. Kemudian
toluena cair ini akan dibiarkan menguap sampai habis dan segera setelah
habis akan dilakukan perhitungan waktu selama 4 jam. Pada percobaan ini,
uap toluena akan berada di dasar akuarium dibandingkan dengan udara,
karena berat jenis uap toluena adalah 3.18 kali berat jenis udara2.
Sedangkan, untuk aliran udara (dan toluena) yang keluar dari akuarium,
akan diletakkan di puncak akuarium, dengan tujuan, untuk lebih
memastikan bahwa tikus-tikus tersebut benar-benar terpapar oleh toluena.

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


77

Lampiran 3 Tabel Data Suhu dan Kelembaban

kelompok I kelompok II kelompok III kelompok IV kelompok V


Kronologi Kontrol (0 ml) 1.6 ml (12.5 ppm) 3.2 ml (25 ppm) 6.4 ml (50 ppm) 12.8 ml (100 ppm)
Pemajanan suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban
(°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%)
hari ke-1 29 50 29 49 30 62 27 64 29 55
29 55 29 55 30 55 27 64 28 57
30 65 29 57 30 55 29 66 29 58
31 70 29 57 30 52 29 68 30 60
31 70 29 57 30 53 29 68 30 60
hari ke-2 29 55 30 52 30 49 28 58 28 56
29 58 30 59 30 50 29 58 27 55
30 65 30 64 30 50 29 59 27 59
31 70 30 60 30 47 30 60 28 58
31 71 30 60 30 47 30 62 29 59
hari ke-3 29 50 30 55 30 50 29 62 28 55
29 55 30 51 30 46 29 62 28 56
30 65 31 56 30 40 30 65 29 57
30 70 31 55 30 48 31 66 28 58
30 70 31 56 30 48 28 56 29 59
hari ke-4 29 50 30 50 30 44 29 60 30 52
29 55 30 57 30 44 29 60 30 55
30 65 30 59 30 44 30 62 31 58
30 70 31 60 31 48 30 63 29 57
30 70 31 60 30 52 29 58 30 58
hari ke-5 29 60 30 59 30 48 29 58 29 55
29 62 30 65 30 50 29 60 28 57
30 65 30 67 30 48 30 61 29 58
30 70 30 67 31 48 30 63 30 59
30 70 30 67 30 54 29 57 30 58
hari ke-6 29 57 30 55 31 52 29 58 29 57
29 60 30 60 31 51 29 60 29 58
30 65 30 55 31 51 30 60 30 59
30 65 30 55 30 51 30 62 30 59
30 70 30 55 30 52 29 57 28 58
hari ke-7 29 59 30 52 30 53 29 61 29 57
29 59 30 55 31 53 30 64 27 58
30 65 30 52 31 54 30 66 28 58
30 70 30 50 29 52 30 68 28 59
30 70 30 52 30 57 29 65 29 58

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


78

kelompok I kelompok II kelompok III kelompok IV kelompok V


Kronologi Kontrol (0 ml) 1.6 ml (12.5 ppm) 3.2 ml (25 ppm) 6.4 ml (50 ppm) 12.8 ml (100 ppm)
Pemajanan suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban
(°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%)
hari ke-8 29 60 30 50 30 55 29 66 28 53
29 65 30 50 30 55 30 66 27 59
30 68 30 48 30 55 30 68 29 60
30 70 30 51 30 40 30 68 30 61
30 70 30 51 30 45 29 58 30 60
hari ke-9 29 60 30 52 30 42 29 60 27 54
29 65 30 51 30 45 29 60 28 56
30 68 30 52 30 40 30 70 29 55
30 70 30 52 30 41 30 70 29 57
30 70 30 55 30 60 29 58 29 60
hari ke-10 29 60 31 31 30 61 29 58 27 54
29 65 32 50 30 61 30 65 28 57
30 68 32 51 30 56 30 70 30 58
30 70 32 51 29 60 29 54 30 58
30 70 32 51 30 63 29 55 30 57
hari ke-11 29 65 30 51 30 65 30 65 27 54
29 65 30 51 29 48 30 70 28 56
30 68 30 52 30 50 29 55 28 58
30 70 30 52 30 50 29 55 29 60
30 70 31 52 30 50 30 58 31 61
hari ke-12 29 60 29 55 30 50 30 65 27 53
29 65 30 56 30 51 30 70 28 56
30 68 30 55 30 56 30 59 30 56
30 70 30 52 30 58 30 59 30 57
30 70 30 51 30 58 30 60 29 58
hari ke-13 29 57 30 50 30 58 30 63 28 54
29 65 30 52 30 50 30 65 29 55
30 68 30 52 30 48 29 62 30 56
30 70 30 54 32 51 29 64 30 56
30 70 30 54 32 50 29 65 29 58
hari ke-14 29 60 30 52 32 50 29 65 27 54
29 65 30 52 30 50 30 67 28 56
30 68 30 56 30 57 28 61 29 56
30 69 30 49 30 58 28 61 30 57
30 70 30 52 30 61 29 63 30 59

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


79

Lampiran 4 Tabel Data Nilai MDA Miokardium

MDA
Kelompok Toluena Kadar Miokardium
(ml) (ppm)
1 0 0 0.03
1 0 0 0.1
1 0 0 0.16
1 0 0 0.15
1 0 0 0.26
1 0 0 0.16
2 1.6 12.5 0.08
2 1.6 12.5 0.19
2 1.6 12.5 -
2 1.6 12.5 0.15
2 1.6 12.5 0.07
2 1.6 12.5 0.08
3 3.2 25 0.37
3 3.2 25 0.06
3 3.2 25 0.09
3 3.2 25 0.25
3 3.2 25 0.07
3 3.2 25 0.18
4 6.4 50 0.1
4 6.4 50 0.31
4 6.4 50 0.15
4 6.4 50 0.18
4 6.4 50 0.19
4 6.4 50 0.13
5 12.8 100 0.09
5 12.8 100 0.02
5 12.8 100 0.01
5 12.8 100 0.01
5 12.8 100 0.02
5 12.8 100 0.06

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


80

Lampiran 5 Gambar Histopatologi Vakuola Lipid Miokardium

Gambar 4.kelompok I (Kontrol) Gambar 5. Kelompok II (1,6 ml)

Gambar 6. Kelompok III (3,2 ml) Gambar 7. Kelompok IV (6,4 ml)

Gambar 8. Kelompok V (12,8 ml)

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


81

Lampiran 6 Tabel Jumlah Vakola Lipid Dalam 10 Lapangan Pandang

Kelom. LAPANG PANDANG


Rata-rata
Penelitian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I.1 10 7 0 6 7 4 4 5 8 4 5.5
I.2 10 6 4 7 1 11 2 2 2 5 5
I.3 8 13 10 11 8 8 4 15 11 6 9.4
I.4 5 9 8 9 8 8 14 3 3 5 7.2
I.5 4 0 6 14 4 4 4 9 10 2 5.7
I.6 6 8 3 2 4 3 4 7 3 5 4.5

II.1 1 2 1 5 6 0 4 2 2 3 2.6
II.2 Slide tidak ada
II.3 8 9 7 4 7 10 7 14 8 13 8.7
II.4 4 5 8 7 15 11 2 2 5 2 6.1
II.5 8 12 5 2 10 9 5 0 2 6 5.9
II.6 2 7 12 4 2 9 6 13 12 12 7.9

III.1 4 2 1 7 2 4 3 4 0 0 2.7
III.2 2 1 3 4 6 4 6 2 7 12 4.7
III.3 2 12 7 19 16 10 16 9 2 3 9.6
III.4 16 4 28 11 19 14 14 12 13 8 13.9
III.5 9 10 5 1 0 5 2 6 5 11 5.4
III.6 11 11 6 12 12 14 14 3 11 8 10.2

IV.1 34 29 20 18 35 11 25 18 23 17 23
IV.2 3 7 15 4 7 5 4 3 3 2 5.3
IV.3 21 16 10 13 11 17 6 25 9 21 14.9
IV.4 11 6 13 29 22 21 10 8 6 10 13.6
IV.5 9 15 9 8 4 1 3 3 3 3 5.8
IV.6 2 8 2 7 7 4 9 9 14 19 8.1

V.1 14 11 8 8 3 3 4 1 2 3 10
V.2 9 5 5 7 8 8 6 1 4 7 6
V.3 16 13 5 5 8 11 14 3 6 15 9.6
V.4 21 41 13 10 5 4 2 2 8 19 12.5
V.5 10 5 17 15 6 2 1 11 5 10 8.2
V.6 11 7 3 2 0 3 5 6 7 3 4.7

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014


82

Lampiran 7 Struktur Organisasi

FKUI – MER-C

IKK PPDS
Okupasi

Cluster
Occ and Env Med

Biologi Organic solvent Ergonomi Heavy metal Psikologi Advokasi


regulasi

Toluena

Deteksi toksisitas pajanan toluena terhadap kerusakan sel Fakultas Kedokteran


pada berbagai organ tikus wistar jantan UI Patologi Anatomi
(darah, otak, saraf optik, paru, jantung, hepar, ginjal, testis) dan Biokimia

Peneliti Utama : dr.Muchtarudin Mansyur, MS, SpOk, PhD.

Saraf Optik Otak Darah Paru Jantung Hepar Ginjal Testis

dr. Ferdianto dr. Lucas dr Dewi dr. Albert dr. Helena dr. Yusita dr. Stevens dr. Dyah
ert

Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai