UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS AKHIR
HELENASARI TAMBUNAN
NPM : 1006769045
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
APRIL 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Okupasi dalam Program Profesi Dokter Spesialis-1
Kedokteran Okupasi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
HELENASARI TAMBUNAN
NPM : 1006769045
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
APRIL 2014
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
dan rahmat-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir ini.
Penulisan tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
Program Pendidikan Spesialis-1 Kedokteran Kerja pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dalam kesempatan ini tak lupa Saya mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. DR. dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp.Ok, sebagai pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran, membimbing saya dalam
penyusunan tugas akhir ini.
2. Dr. Sutjahjo Endardjo, MSc, Sp.PA (K), yang telah menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran, membimbing saya dalam penyusunan dalam
pembacaan preparat histopatologi anatomi.
3. DR. dr. Astrid Widayati Hardjono, MPH, Sp.Ok dan dr. Indah Suci W,
MS, MSc – CMFM, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak
masukan untuk penyempurnaan tugas akhir ini.
4. DR. dr. Astrid Widayati Hardjono, MPH, Sp.Ok, sebagai Kepala Program
Studi Spesialis Kedokteran Kerja FKUI.
5. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, Sp.Ok, PhD yang telah memberikan ide
dan bimbingan kepada saya dalam penyusunan tugas akhir ini.
6. Dra. Puspita Eka Wuyung, MS dan stafnya Bapak Slamet yang telah
membimbing dalam pelaksanaan dan pembuatan preparat patologi anatomi
dalam penelitian ini.
7. DR. M. Riki Manurung ST, MT beserta jajarannya dari Balai Kesehatan
dan Keselamatan Kerja yang telah menyediakan waktu, tenaga serta
pikiran untuk membimbing saya dalam teknik perancangan, pengukuran
pajanan serta lingkungan chamber yang digunakan dalam penelitian ini.
iii
Saya menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu Saya
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar dalam penelitian
selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata Saya mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan baik dalam
perkataan maupun perbuatan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang telah
Saya lakukan selama penyusunan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Helenasari Tambunan
iv
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
DAFTAR SINGKATAN xiii
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Pertanyaan Penelitian 5
1.4 Hipotesis Penelitian 5
1.5 Tujuan Penelitian 5
1.6 Manfaat Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Toluena 6
2.2 Pemajanan Toluena Dalam Tubuh Manusia 8
2.3 Absorbsi Toluena di Tubuh Manusia 9
2.4 Distribusi Toluena di Tubuh Manusia 10
2.5 Metabolisme Inhalasi Toluena di Tubuh Manusia 10
2.6 Patofisiologi Kerusakan Sel 12
2.7 Mitokhondria Dan Reactive Oxygen Species (ROS) 16
2.8 Jantung 19
2.9 Degenerasi 20
2.10 Toksisitas Toluena dengan Organ Jantung Manusia 24
2.11 Faktor yang Mempengaruhi Daya Racun Toluena 24
2.12 Kerangka Teori 26
2.13 Kerangka Konsep 27
3. METODE PENELITIAN 28
3.1 Desain Penelitian 28
3.2 Waktu dan Tempat Studi 29
3.3 Populasi dan Sampel 29
viii
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
11
4. HASIL PENELITIAN 43
4.1 Karakteristik Hewan Coba 43
4.2 Gambaran Histopatologi Miokardium 44
4.3 Pengaruh Tingkat Pajanan Terhadap Nilai MDA Miokardium 45
dan Vakuola Lipid Miokardium Tikus Wistar Jantan
5. PEMBAHASAN 47
5.1 Keterbatasan Teknik pada Penelitian 47
5.2 Berat Badan Tikus Wistar Jantan, Suhu dan 48
Kelembaban Akuarium
5.3 Pengaruh Tingkat Pajanan Toluena dengan nilai MDA 48
Miokardium
5.4 Pengaruh Tingkat Pajanan Terhadap Jumlah Vakuola Lipid 50
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
DAFTAR SINGKATAN
MDA : Malondialdehid
HE : Hematoxilin Eosin
4-HNE : 4-Hydroxynonenal
LC : Lethal Concentration
μl : Mikroliter
Nmol : Nanomol
xiii
SE : Surat Edaran
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Saat ini jumlah penggunaan toluena di dunia mencapai 0,5 x 107 sampai 1 x 107
ton. Di Eropa kebutuhan penggunaan toluena di bidang industri sebanyak 2,38
juta ton (2007), di Amerika Utara kebutuhannya sebanyak satu juta ton (2009),
[1]
sedangkan di Asia kebutuhan toluena sebanyak 23 juta ton (2006) . Produksi
Toluena pada tahun 1994 di USA diperkirakan lebih dari tiga juta ton. Data
penggunaan toluena dalam industri di Indonesia sampai saat ini belum ada. Di
bidang industri, toluena digunakan secara luas baik sebagai bahan dasar ataupun
sebagai pelarut. Bahan-bahan yang menggunakan toluena antara lain : pelarut cat,
thinner, tinta, lem, produk-produk farmasi, bahan tambahan produk kosmetik,
industry pestisida, crude petroleum, industry plastik, dan serat sintetik. Di rumah
tangga sendiri, toluena banyak didapatkan pada desinfektan dan lem[1].
Menurut Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) 2011,
pekerja yang terpajan toluena setiap tahunnya berkisar empat sampai lima juta
pekerja. American Conference Governmental Industrial Hygiene (ACGIH) telah
menetapkan Threshold Limit Value (TLV) 50 ppm pada tahun 2009. Pemerintah
Indonesia menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) toluena adalah 50 part
permillion (ppm) berdasarkan Standar Nasional Indonesia(SNI )19-0232-2005[4,5].
Toluena dapat menyerang jantung manusia. Pada pekerja yang terpajan toluena,
pada organ jantungnya dapat terjadi gangguan irama, fibrosis jaringan interstitial
serta pembentukan vakuola lipid. Hal ini dapat menimbulkan kematian[6].
1
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
18
2
Dari penelitian yang dilakukan Streicher dan kawan-kawan tahun 1981, terhadap
25 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit setelah menghirup cat. di dapatkan 5
diantaranya mengalami cardiac arrhythmias, multifocal premature ventricular
contraction atau supraventricular tachycardia akibat toluena dosis tinggi[7].
Menurut Bass pada tahun 1970, hipokalemia merupakan faktor yang dapat
menimbulkan kematian mendadak akibat menghirup toluena (sudden sniffing
death). Reinhardt dan kawan-kawan pada tahun 1973 memperlihatkan bahwa
pada beberapa solvent termasuk toluena, miokardium sensitif terhadap adrenalin
dan menjadi faktor yang signifikan terhadap kerusakan miokardium. Kerusakan
miokardium menurut Sikora dan Gala (1967), dapat terjadi pada keracunan berat
toluena, sedangkan Tomaszewdki (1978) memperlihatkan adanya junctional
cardiac rhytm[8].
Gangguan otot, efek kardiovaskular, kerusakan renal tubular, dan kematian yang
tiba-tiba juga dilaporkan terjadi pada penggunaan toluena jangka panjang[9].
Beberapa pelarut mempunyai kemampuan memicu pelepasan katekolamin, seperti
noradrenalin. Stimulus yang tiba-tiba setelah menghisap pelarut menyebabkan
fibrilasi ventrikel yang dengan cepat menyebabkan kematian tiba-tiba, karena
terjadi serangan jantung yang terjadi setelah anemia[10].
Pada hewan percobaan tikus belum ditemukan efek seperti pada manusia. Oleh
karena itu dalam penelitian ini ingin melihat adanya perubahan awal histopatologi
pada tikus wistar jantan.
Seperti pada penelitian toksisitas umumnya, penelitian ini menggunakan hewan
coba tikus wistar untuk melakukan evaluasi toksisitas toluena pada organ jantung.
Penelitian ini menggunakan dosis yang lebih rendah dari nilai ambang batas pada
manusia yang ditetapkan saat ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada
tingkat biomolekuler dan histopatologi. Dengan demikian, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi data toksisitas toluena bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
1.2. Perumusan Masalah
Rekomendasi NAB toluena di Indonesia adalah 50 ppm, namun penetapan
tersebut belum didasarkan pada penelitian yang ada. Penelitian ini melihat
gambaran histopatologi vakuola lipid sehingga tidak bisa dilakukan pada manusia
(pertimbangan etis), maka dilakukan studi eksperimen pada tikus wistar jantan.
Dari studi kasus terhadap dua orang laki-laki kulit putih yang terpajan toluena saat
menggunakan lem di kolam renang, diidentifikasi terjadi cardiac arrhythmias.
Variabel individu sangat mempengaruhi munculnya respon. Pada pajanan toluena
kurang dari 1890 ppm, laki-laki pertama terpajan selama 2 jam menyebabkan
takikardia, sedangkan laki-laki kedua terpajan selama 3 jam menyebabkan
bradikardia[2].
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Toluena
Toluena merupakan hydrokarbon aromatic dengan unsur kimia dimana formasi
satu atom hidrogen dari benzena digantikan oleh grup metil[2].
Toluena merupakan cairan tidak berwarna, bening, pada suhu ambient berbau
seperti benzena. Bau yang berasal dari toluena di udara berkisar 9,4 mg/m3. Pada
orang dengan pajanan selama 15 menit perinhalasi mengalami kelelahan organ
penghidu, iritasi ringan mata, „merasakan sesuatu‟, „kepala terasa ringan‟, dan
sakit kepala, namun masih mampu bekerja selama 8 jam, pada 700 mg/m.[2,3]
Toluena merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, dan meledak.
Sifat fisika dan kimia toluena, disajikan pada tabel 2.1 dibawah ini [2] :
66
Faktor konversi untuk toluena di udara pada tekanan 1 atm, dan suhu 25 0C
adalah: 1 ppm (v/v) = 3,75 mg/m3 = 0,0407 mmmol/m3, dimana 1 mg/m3 = 0,266
ppm (Katz, 1969)[2].
Kelompok individu yang terpajan toluena tingkat tinggi adalah dari faktor
pekerjaan. Kadar yang diijinkan pada pajanan akibat kerja adalah 750 mg/m3 atau
200 ppm, dengan Time-Weighted Average (TWA) untuk delapan jam per hari dan
40 jam per minggu. Short Term Exposure Limit (STEL) 500 ppm untuk pajanan
selama 15 menit. Maximum Allowable Concentration (MAC) 50 – 100 mg/m3[4].
Nilai Ambang Batas (NAB) rata-rata selama jam kerja, yaitu kadar bahan-bahan
kimia rata-rata di lingkungan kerja selama delapan jam perhari atau 40 jam
perminggu dimana hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang-ulang,
sehari-hari dalam melakukan pekerjaannya, tanpa mengakibatkan gangguan
kesehatan maupun penyakit akibat kerja (SE-01/MENAKER/1997)[12].
NAB Toluena menurut (The National Institute of Occupational Safety and Health)
NIOSH 100 ppm, Occupational Safety and Health Administration (OSHA) 200
ppm, American Conference of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH) 50
ppm (2009) sedangkan di Indonesia NAB Toluena adalah 50 ppm berdasarkan
SNI 19-0232-2005[13]. Penetapan oleh SNI tidak didasarkan pada penelitian, yang
rentan untuk tidak ditaati pada pelaksanaanya.
Toluena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Rute masuk toluena ke tubuh
manusia dapat melalui jalur pernafasan, mulut, dan kulit. Dari banyak penelitian-
penelitian tentang Toluena sebelumnya sudah terbukti bahwa toluena dapat
menyebabkan kematian dan menimbulkan efek kesehatan yang luas di tubuh
manusia, yang antara lain berupa kematian dan gangguan efek sistemik (organ
pernafasan, jantung, mata, liver, ginjal, musculoskeletal, sistem hemato-
imunologi, endokrin, kulit, neurologi, reproduksi, dan penurunan berat badan)[2].
2.2. Pemajanan Toluena Dalam Tubuh Manusia
2.2.1. Rute Pajanan Toluena
1. Inhalasi : Rute utama pajanan toluena adalah melalui inhalasi, seperti
uap di udara ambient, asap rokok, penyalahgunaan pelarut dan bahan
cairan rumah tangga. Sumber utama toluena yang dilepas di udara
adalah sisa pembakaran bahan bakar minyak. Efek toksik toluena per
inhalasi adalah iritasi hidung, tenggorokan, dan saluran napas.
Komplikasi pernafasan yang sering muncul adalah bronkhospasme dan
udem pulmoner. Selain itu susunan saraf pusat juga merupakan target
utama dari pajanan toluena perinhalasi, dengan gejala antara lain
ataksia. Efek neurologis pada tikus dapat terjadi hilangnya
pendengaran, penurunan berat otak, perubahan konsentrasi
neurotransmitter, gangguan pola tidur dan perubahan tingkah laku[2].
2. Ingesti : Toluena dapat ditemukan pada air minum, air sumur, dan air
bebas. Namun bagaimanapun juga pajanan toluena melalui air minum
kecil, kecuali pada situasi air minum yang tercemar. Ingesti toluena
dapat menyebabkan toksistas akut yang berat, seperti pada pajanan per
inhalasi. Efek lokal yang mungkin timbul adalah iritasi orofaring dan
lambung dengan gejala muntah dan hematemesis. Pada tikus pajanan
secara ingesti akan menimbulkan hipoaktif, piloereksi, prostrasi,
ataksia, tremor, bradipneu, salvasi dan lakrimasi[2].
3. Kontak kulit : Toluena terlarut dalam lemak, sehingga dapat
menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit melalui defatting action
(penghilangan lemak kulit) akan timbul luka bakar akibat bahan kimia
setelah pajanan toluena jangka panjang. Uap toluena juga dapat
menyebabkan iritasi mata pada konsentrasi di atas 750 mg/m3 dan
lakrimasi pada pajanan 1500 mg/m3. Iritasi konjungtiva berat dan
kerusakan kornea pernah dijumpai pada pekerja yang terkena percikan
toluena. Tidak berbeda yang terjadi pada tikus bila terpajan toluena
dapat terjadi iritasi kulit dari ringan sampai berat serta kerusakan
konjungtiva[2].
2.3 Absorbsi Toluena di Tubuh Manusia
Toluena paling utama diabsorbsi melalui saluran pernafasan, kemudian saluran
pencernaan, dan sedikit yang terabsorbsi lewat kulit. Di Tubuh manusia, toluena
akan terdeteksi dalam pembuluh darah arteri dalam waktu 10 detik setelah
permulaan inhalasi. Absorbsi melalui kulit jumlahnya kurang lebih adalah 1% dari
jumlah yang diabsorbsi melalui paru-paru, ketika sedang terpajan uap toluena.
Apabila bentuk toluena yang terpajan di kulit berbentuk cair, maka proses
absorbsinya lewat kulit akan lebih besar lagi. Karena sifat toluena yang mudah
dan segera sekali menguap, maka masuk melalui jalur kulit akan lebih susah.
Aktivitas fisik yang hebat akan meningkatkan jumlah toluena yang diabsorbsi[12].
Sedangkan pada tikus dengan lama pajanan 2 jam, pada dosis 1000, 1780, dan
3000 ppm diperoleh rata-rata waktu paruh Toluena adalah 33,7 menit, kadar
puncak dalam darah rata-rata akan dijumpai setelah 2 jam pajanan, dan waktu
eliminasi rata-rata 74,4 menit.[2,18] Percobaan lain pada tikus dengan lama pajanan
6 jam perhari selama 5 hari berturut-turut dalam jangka waktu 4 minggu, dengan
dosis Toluena 0 ppm, 300 ppm, dan 500 ppm, diperoleh rata-rata waktu paruh 2,5
jam dan rata-rata waktu ekskresi 0 – 21 jam. Pada tikus, waktu paruh toluena
dapat memanjang seiring dengan lamanya pajanan[2,19].
Apabila toluena terhirup pada manusia dan juga tikus, 25% - 40% dari toluena
akan dikeluarkan kembali melalui ekspirasi. Kira-kira 60%-75% toluena akan
dimetabolisme di hati menjadi Benzyl Alcohol. Rute primer pertama metabolisme
toluena adalah dengan merubah toluena menjadi Benzyl Alcohol melalui reaksi
hidroksilasi. Reaksi ini dilakukan oleh anggota-anggota dari sitokrom P450 (CYP)
yang ada di liver[12]. Ada lima anggota dari CYP tersebut dalam hal ini, yaitu :
CYP1A1, CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8, CYP2E1[14,15].
Rute lain adalah dengan menggunakan “Ring hidroksilasi”, dengan hasil akhir
adalah t Cresol (terdiri dari dua, yaitu : p-Cresol dan o-Cresol). Jalur metabolisme
ini merupakan jalur minor dari metabolisme toluena di tubuh manusia.
Kebanyakan dari Zat Cresol akan dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah di
dalam urin, walaupun ada beberapa dari p-Cresol dan o-Cresol yang
diekskresikan dalam bentuk konjugasinya. Pada banyak penelitian yang sudah
dilakukan di tikus, membuktikan bahwa p-Cresol pada saat diekskresikan, banyak
dikonjugasikan dengan Glucuronide untuk menghasilkan p-cresylglucuronide,
karena itu, ini tidak boleh diaplikasikan kepada manusia dalam mengukur kadar
toluena di darah. O-cresol sendiri diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah
di urin. Oleh karena itu, o-Cresol banyak dipakai sebagai alat ukur[20].
0,1% O-cresol
(Detected in Urin)
Gambar 2.2. Metabolisme Toluena[19]
2.6. Patofisiologi Kerusakan Sel
Apabila tubuh mengalami pajanan zat kimia, maka perubahan sel yang terdeteksi
pertama kali, adalah perubahan secara biomolekuler, lalu baru diikuti oleh
perubahan histopatologi. Pada tahap awal, sel yang terkena pajanan zat toluena
akan mengalami injury atau luka. Injury ini dapat membuat sel kembali menjadi
reversible (kembali menjadi normal) atau irreversible, yang nantinya berlanjut ke
arah kematian sel (baik nekrosis atau apoptosis)[23].
Pada tahap biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur
lipid membran sel, sehingga mengganggu integritas dan fluiditas membran
tersebut. Perubahan morfologik ini berhubungan dengan penurunan Adenosin Tri
Pada pemeriksaan histopatologi anatomi cedera pada sel (cell injury), yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya adalah pembengkakan sel, perubahan
lemak khususnya pada sel parenkim (misalnya: liver) yang dimanifestasikan
dengan munculnya vakuola lipid di sitoplasma. Hal ini terlihat pada hampir semua
sel yang berhubungan dengan metabolisme lemak, seperti hepatosit dan sel
miokard[23]. Sedangkan pada pembuluh darah sendiri, akan terjadi peningkatan
protein plasma dan jumlah leukosit, terutama neutrofil pada keadaan akut[28].
Apabila proses cedera sel berlangsung terus menerus, dapat mengakibatkan sel-sel
tersebut mengalami nekrosis dan apoptosis[23].
Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup oleh karena
kegagalan integritas membran sel. Pada sel yang mengalami injury yang berat
(dalam hal ini, terkena pajanan toluena di luar kemampuan sel), maka zat toluena
tersebut akan merusak membran sel. Membran sel yang rusak menyebabkan ion
Ca2+ dari extraselular akan masuk ke dalam intraselular (sitoplasma), sehingga
kadar ion Ca2+ intraselular (sitoplasma) meningkat. Hal ini menyebabkan
permeabilitas membran mitokondria dan retikulum endoplasma halus meningkat,
yang berakibat akan terjadi kebocoran ion Ca2+ dari kedua organel sel tersebut ke
dalam sitoplasma. Dengan demikian kadar ion Ca2+ di sitoplasma sel akan
semakin meningkat[23,28].
Peningkatan kadar ion Ca2+ di sitoplasma akan menyebabkan pengaktifan enzim-
enzim intraselular, seperti phospholipase, protease, endonuklease, dan ATPase.
Enzim phospolipase dan protease yang aktif akan menyebabkan kerusakan pada
kaspase. Enzim kaspase terdiri dari 2 keluarga enzim secara umum, yaitu enzim
sistein protease dan enzim aspase. Secara umum, keluarga enzim kaspase, terbagi
menjadi 2 group, yaitu kaspase inisiator (Initiator) yang terdiri dari kaspase 8 dan
kaspase 9 dan kaspase pelaksana (Executioner) yang terdiri dari kaspase 3 dan
kaspase 6. Kaspase pada keadaan inaktif berbentuk proenzim atau zymogen di
mana harus mengalami pembelahan enzimatik untuk menjadi aktif. Adanya
bentuk aktif dari kaspase merupakan marker bahwa sel tersebut mengalami
apoptosis[23,28].
Mekanisme apoptosis terdiri dari 2 yaitu melalui jalur intrinsik (disebut juga jalur
mitokondria) dan jalur ekstrinsik (melalui inisiasi reseptor kematian (Death
Receptor)). Pada jalur intrinsik, akan terjadi pengaktifan protein Bim, Bid, dan
Bad (ketiga protein ini disebut sebagai Protein BH3). Protein BH3 sendiri
merupakan antagonis dari Bcl-2 dan Bcl-x (yang merupakan anti apoptotik).
Protein BH3 kemudian akan mengaktifkan efektor proapoptotik, yaitu Bax dan
Bak, yang akan membentuk oligomer dan masuk ke dalam membran mitokondria
dan membuat channel (saluran). Pembuatan channel (saluran) di membran
mitokondria akan membuat membran mitokondria menjadi bocor. Membran
mitokondria yang bocor ini akan mengakibatkan pelepasan protein proapoptotik
(dari mitokondria) dan sitokrom C ke dalam sitoplasma. Protein proapoptotik dan
sitokrom C yang ada di dalam sitoplasma akan mengaktifkan kaspase inisiator,
yang kemudian akan mengaktifkan kaspase pelaksana. Kaspase pelaksana akan
mengaktifkan enzim endonuklease, yang nantinya akan mendegradasi DNA inti
dan protein inti, dan merusak sitoskeleton. Akibatnya sel tersebut akan terpecah
menjadi fragmen-fragmen (yang disebut sebagai badan apoptotik) yang nantinya
akan dimakan oleh makrofag[23,28].
Pada jalur ekstrinsik, dihiasi oleh pengikatan reseptor kematian (Death Receptor)
di membran plasma pada berbagai sel. Reseptor kematian (Death Receptor)
merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF yang mengandung bagian
sitoplasma yang terlibat pada interaksi protein. Reseptor TNF ini sangat penting
karena perannya dalam mengirim apoptotic signals. Beberapa reseptor TNF yang
tidak berperan dalam hal ini akan berperan dalam mengaktifkan reaksi inflamasi.
Reseptor kematian yang paling terkenal adalah reseptor TNF 1 (TNFR 1) dan
protein yang berhubungan yang disebut Fas (CD 95). Mekanisme apoptosis pada
jalur ekstrinsik ini diinduksi oleh penempelan FasL (Fas Ligand) (yang dihasilkan
oleh sel T) dengan reseptor kematian Fas dan TNF. Interaksi antara reseptor dan
Ligand tersebut akan mengaktifkan adapter protein. Adapter protein kemudian
akan mengaktifkan kaspase inisiator, yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase
pelaksana yang membuat proses apoptosis berjalan. Proses apoptosis yang terjadi
pada jalur ekstrinsik (setelah pengaktifan kaspase pelaksana) akan menghasilkan
hasil yang sama dengan proses apoptosis yang terjadi pada jalur intrinsik[23,28].
Setelah inisiasi kaspase membelah menjadi bentuk aktif maka kematian enzimatik
terprogram dimulai secara cepat dan bertahap melalui aktivasi kaspase pelaksana.
Kaspase pelaksana terdiri dari kaspase-3 dan kaspase-6 dan sekali teraktivasi
maka kaspase ini akan memotong inhibitor sitoplasmik DNase dan membuat
enzim DNase aktif, sehingga akan terjadi pemotongan DNA. Kaspase akan
mengakibatkan degradasi struktur komponen matriks nuclear dan mengakibatkan
fragmentasi nuleus. Fase ini disebut eksekusi dan merupakan fase akhir
apoptosis[23,28].
Formasi badan apoptosis yang dibungkus oleh antibody alami dan protein akan
memecah sel menjadi fragmen-fragmen yang sangat kecil dan menyebabkan
perubahan membran sehingga akhirnya mengaktifkan proses fagositosis[23,28].
ubikuinon, sitokrom B dan C1, dan protein besi sulfur. Komplek satu juga
berperan dalam proses ini. ROS dianggap sebagai metabolik toksik dan
dekomposisi oleh enzim antioksidan khusus. Antioksidan alami ini terutama
adalah superoxide dismutase di mitokhondria yang mengandung Mn, MnSOD,
dan sitosol yang mengandung Cu dan Zn, Cu/ZnSOD, glutation peroksidase
(GSH-Px) dan phospolipid hydroperoxide glutahathione peroxidase. Meskipun
demikian sebagian senyawa yang tidak terbuang melewati proses katalitik ini
dapat merusak mitokhondria dan sel secara keseluruhan. Peningkatan produksi
ROS dapat berakibat antara lain reperfusi pada iskemia, kerja zat xenobiotik,
peradangan, penuaan, radiasi ultraviolet atau ionisasi, gangguan pada system
antoksidan alami, dapat menyebabkan penumpukan ROS dan kemudian stress
oksidatif. ROS terutama merusak dalam bentuk peroksidasi lipid dan oksidasi
protein serta DNA. Mitokhondria yang merupakan penghasil utama ROS juga
merupakan target kerja utama ROS[17,18].
2.8 Jantung
Anatomi fisiologi jantung antara manusia dan tikus memiliki kemiripan[1]. Jantung
sendiri terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah yang
merupakan lapisan otot (miokardium), dan lapisan yang terdalam adalah lapisan
endotel (endokardium)[29].
a. Epikardium
Lapisan ini merupakan bagian viseral dari kantong perikardium yang
membungkus jantung sebagai suatu membran serosa yang tipis. Membran ini
terdiri atas selapis sel-sel mesotel dan lapisan jaringan ikat. Epikardium terikat
pada miokardium dengn suatu lapisan jaringan ikat longgar vaskuler yaitu lapisan
subepikardium[29].
b. Miokardium
Lapisan miokardium mirip lapisan tunika media pembuluh darah.Lapisan ini
tersusun oleh berkas-berkas otot jantung yang saling melilit. Otot-otot jantung
tersusun dalam lembaran-lembaran yang membungkus ventrikel dan atrium
dengan membentuk spiral. Miokardium ventrikel hanya memiliki sedikit serat
elastis, sedangkan di atrium terdapat banyak jala-jala serat elastis di antara serat
otot. Jaringan ikat interstitial miokardium berisi serat retikulum[29].
c. Endokardium
Endokardium membatasi permukaan dalam atrium dan ventrikel. Lapisan ini
paling tebal di atrium sehingga permukaan dalam atrium lebih pucat dari pada
ventrikel. Endokardium ini melanjutkan diri ke tunika intima pembuluh darah
yang keluar dan masuk ke jantung.Lapisan ini terdiri atas lapisan sel-sel endotel
yang gepeng berbentuk poligonal, terletak di atas lamina basalis yang tipis serta
kontinyu. Selanjutnya lapisan jaringan ikat subendotel yang relatif tebal tersusun
oleh sejumlah serat kolagen dan serabut elastis dan berkas sel otot polos. Pada
subendokardium, di bawah lapisan subendotel, terdiri dari jaringan ikat longgar
yang mengikat endokardium pada miokardium yang terletak di bawahnya.
Lapisan ini juga mengandung pembuluh darah, saraf, dan cabang-cabang sistem
penghantar ke jantung, bercampur dengan jaringan lemak[29].
Gambar 2.4. Histologi normal otot jantung, pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran 400x [47].
2.9 Degenerasi
2.9.1. Definisi
Degenerasi adalah suatu perubahan fungsi biokimiawi, perubahan struktural,
ataupun kombinasi dari keduanya yang diakibatkan cedera serta bersifat
reversibel. Bila sel terus menerus terkena cedera bisa terjadi nekrosis atau
kematian sel yang bersifat irreversibel[48].
c. Degenerasi Hidrofik
Terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk
dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola kecil sampai besar. Etiologi: anoksia,
defisiensi kalsium, shock berat, diabetes melitus. Patogenesis: degenerasi pada
retikulun endoplasma dan mitokondria, menggangu oksidasi sel. Bila terjadi
gangguan oksidasi sel, maka akan mengganggu metabolisme. Hasil metabolisme
H2O tidak bisa dieliminir, sehingga terjadi akumulasi air. Gambaran
histopatologi: terdapat vakuola dan stroma jadi renggang[48].
Gambar 2.5 Gambar Degenerasi dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran 400x: 1.
Degenerasi lemak, 2. Degenerasi keruh, 3. Degenerasi hidrofik [48]
d. Degenersi Hyalin
Degenerasi yang menyangkut metabolisme berbagai macam bahan protein hyalin,
terjadi perubahan sel menjadi eosinofilik dan homogen serta inti fibroblast
memipih. Etiologi: penebalan jaringan ikat, ada jaringan elastik dinding pembuluh
darah, defisiensi vitamin A, virus hepatitis. Patogenesis: perubahan hyalin pada
sel atau rongga sel. Apabila terjadi pada otot sadar kemudian akan terjadi
degenerasi zenker. Gambaran histopatologi: hyalin merupakan masa yang
stukturnya tidak menentu, berwarna merah muda, homogeny dan transparan serta
batsnya tidak jelas[48].
Gambar 2.6 Gambar degenerasi hyalin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x[48]
e. Degenerasi Mukoid
Degenerasi lendir pada sel epitel. Mukopolisakarida tersebar dalam tubuh pada
sekresi sel epitel dan sebagai substansi dasar jaringan ikat dan kartilago. Dapat
ditemukan pada epitel mukosa saluran cerna yang mengalami gastritis kronik.
Etiologi: akumulasi konjugat berlebihan digunakan pada produksi sejumlah besar
musinosa oleh sel. Patogenesis: musin atau lendir disekresi oleh epitel, kemudian
mendesak inti sel ke tepi sehingga sel menyerupai cincin atau disebut dengan
signet ring cel. Gambaran histopatologi: terdapat signet ring cel (inti terdesak ke
tepi)[48].
Gambar 2.7 Gambar degenerasi mukoid dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x[48]
f. Degenerasi Miksomatik
Degenerasi lender yang terjadi pada jaringan ikat. Patogenesis: penimbunan
diantara sel fibrous jaringan ikat kemudian terbentuk stellate cel. Gambaran
histopatologi: bahan metabolit ditimbun interseluler atau antar sel atau di luar sel.
Terdapat stellate cel (sel yang intinya berbentuk bintang)[48].
Gambar 2.8 Gambar degenerasi miksomatik dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, perbesaran
400x [48]
g. Degenerasi Zenker
Merupakan akumulasi asam laktat yang menganggu metabolisme sel sehingga
serat-serat otot menjadi hilang dan diganti dengan jaringan homogen mirip wax.
Etiologi: difetri, typhus, tetanus, kholera, pneumonia, dan terlalu lama pada
h. Degenerasi Amiloid
Merupakan akumulasi dari amiloid. Dapat terkena pada jaringan otot, jantung dan
lidah. Etiologi: defisiensi kalium, shock berat, diare yang berat, anoksia.[48]
2. Lama pajanan
Semakin lama pajanan maka efek toksik toluena akan semakin besar.
Efek yang timbul pada pajanan akut akan berbeda dengan pajanan
kronik. Kronisitas pajanan menentukan tingkat kerusakan organ[2]..
3. Rute pajanan
Seperti diketahui bahwa toluena dapat masuk ke dalam tubuh melalui 3
mekanisme, yaitu, inhalasi, ingesti dan kontak langsung oleh kulit.
Rute pajanan yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah
melalui inhalasi karena uap toluena yang terhirup melalui udara
ambient akan secara cepat diabsorbsi oleh tubuh sehingga intoksikasi
akan lebih mudah terjadi. Sedangkan rute kedua adalah secara ingesti,
biasanya didapat dari makanan atau air yang tercemar oleh toluena,
mekanisme ini kurang toksik bila dibandingkan dengan inhalasi karena
absorbsi melalui jalur ingesti lebih lambat bila dibandingkan dengan
jalur inhalasi. Sementara untuk pajanan melalui kontak langsung kulit
akan merusak stratum korneum kulit dan akan terjadi absorbsi, namun
jalur sampai saat ini belum ada temuan efek sistemik yang ditimbulkan
melalui jalur ini[2]..
4. Kondisi individu
Faktor individu juga sangat memengaruhi toksisitas suatu zat, pada
individu yang rentan atau dengan penyakit berat maupun gangguan
metabolisme, maka daya toksik suatu zat kimia akan menimbulkan
efek yang lebih besar dibandingkan dengan individu sehat[2].
Toluena
Ekspirasi Inhalasi
(ekskresi) Paru-paru
Jantung (miokardium)
Penurunan ATP
Penurunan Sintesisa Kerusakan sitoskeletal Kerusakan
protein DNA
Peningkatan ROS
Kenaikan jumlah
Vakuola lipid
Nekrosis
Inhalasi
Toluena
Suhu
Kenaikkan nilai MDA jumlah Vakuola Usia
miokardium lipid Kekurangan
oksigen,
Nutrisi
Genetik
Stress psikis
: yang dianalisa
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian bersama mengenai efek toluena
terhadap kerusakan berbagai organ yang berbeda (susunan saraf pusat, mata,
jantung, paru, ginjal, reproduksi dan darah), yang berjudul Studi Toksisitas
Pajanan Toluena Pada Berbagai Organ Tikus Wistar Jantan, oleh Program
Pendidikan Dokter Spesialis Okupasi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
28
Sampel penelitian adalah tikus Wistar jenis kelamin jantan, umur 3 bulan, dengan
berat badan antar 150–200 gram, sehat. Setelah dilakukan penimbangan berat
tikus untuk usia 3 bulan berkisar antara 200-250 gram, sehat. Sehingga sampel
yang diambil adalah tikus Wistar dengan berat badan 200-250 gram.
Menurut perhitungan dengan rumus Federer, maka jumlah tikus yang diperlukan
dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus. Sebagai antisipasi kemungkinan drop
out (yang disebabkan kematian tikus sewaktu percobaan) maka ditambah
sebanyak 20%, sehingga digunakan 30 ekor tikus dimana masing-masing
kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, untuk mendapatkan data penelitian yang lebih
akurat.
Kriteria Inklusi :
a. Tikus wistar jantan
b. Umur 3 bulan
c. Berat badan 200-250 gram
d. Tidak ada kelainan anatomis (tidak ada cacat)
Kriteria Eksklusi :
a. Tikus mati dalam pemeliharaan
b. Berat badan menurun (kurang dari 200 gram)
c. Tikus tidak bergerak aktif atau sakit
Terdiri atas lima kelompok sampel terdiri dari satu kelompok kontrol yang hanya
diberikan udara bebas selama penelitian dan empat kelompok yang diberi pajanan.
Kelompok intervensi terdiri dari kelompok yang diberikan pajanan toluena
masing-masing 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml dan 12,8 ml dengan durasi 4 jam per hari
selama 14 hari.
dengan perhitungan uap toluena yang keluar melalui lubang yang terbuka dengan
perhitungan seperti disajikan pada tabel 3.2 di bawah ini.
Tabel 3.2 Perhitungan penambahan kadar toluena selama pajanan
besar daripada berat jenis udara sehingga uap toluena akan berada di dasar
akuarium[2].
7. Lokasi euthanasia yang terpisah dari animal room tetapi dalam jarak yang
terkontrol dari animal room dan laboratorium.
kemudian dalam alkohol absolut, cuci dengan xylol sebanyak tiga kali, keringkan
(biarkan xylol menguap)[9].
normal dianggap bahwa nilai sampel dapat mewakili nilai populasi yang diambil
secara acak sederhana. Uji normalitas juga merupakan salah satu syarat untuk
menentukan jenis uji selanjutnya, jika data berdistribusi normal maka digunakan
uji parametrik Anova, sedangkan bila data tidak berdistribusi normal maka
dilakukan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Pada penelitian ini uji normalitas
dengan melihat nilai p> 0.05 pada uji Saphiro Wilk atau Kolmogorov Smirnov
menunjukan data yang berdistribusi normal.
Uji homogenitas adalah untuk melihat apakah sampel yang diambil dari dua
kelompok atau lebih berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama.
Dengan demikian perbedaan yang terjadi benar berasal dari perbedaan antara
kelompok bukan akibat dari perbedaan dalam kelompok. Pada penelitian ini
dengan melihat nilai Uji Levene.
Jika sebaran data normal maka dilanjtkan dengan uji Anova one-way yang
dilanjutkan dengan analisis post hoc LSD antara kelompok kelompok 0 ml, 1,6
ml, 3,2 ml, 6,4 ml, dan 12,8 ml (α = 0.05). Jika sebaran data tidak normal
dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis antara kelompok tersebut (α = 0.05) dengan
uji Post Hoc Mean Whitney. Uji Post Hoc pada penelitian ini digunakan untuk
melihat tingkat pajanan toluena terendah di bawah nilai ambang batas yang
mempengaruhi perubahan nilai MDA miokardium dan vakuola lipid tikus wistar
jantan..
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental ini terdiri dari lima kelompok. Dalam satu kelompok
terdiri dari enam hewan coba. Pada saat pengamatan terjadi kematian satu ekor
hewan coba pada kelompok dua (1,6 ml). Sehingga pada akhir pengamatan
didapatkan 29 data hewan coba. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji
normalitas data, uji homogenitas data dan uji komparabilitas.
4.1. Karakteristik Hewan Coba
Data berat badan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk, sedangkan data suhu dan kelembaban pada
masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji
Kolmogorof Smirnof untuk melihat sebaran data antar kelompok penelitian. Data
berat badan, suhu dan kelembaban masing-masing kelompok diuji
homogenitasnya dengan uji Levene seperti terlihat pada lampiran. Uji normalitas
dan homogenitas dan homogenitas dengan nilai p > 0,05 adalah data memiliki
sebaran normal dan homogen. Setelah diuji maka data yang memiliki sebaran
normal dan tidak homogen adalah berat badan (p = 0.114), sedangkan pada suhu
(p<0.001) dan kelembaban (p< 0.001) memiliki sebaran data yang tidak normal
dan tidak homogen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya berat badan
hewan coba yang setara pada tiap kelompok penelitian, sedangkan suhu
lingkungan dan kelembaban lingkungan tidak setara untuk masing-masing
kelompok penelitian.
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat badan, suhu dan
kelembaban antar kelompok. Hasil analisis kemaknaan dilakukan dengan uji
Kruskal Wallis yang disajikan pada Tabel 4.1 di bawah ini:
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Hewan Coba
n Mean Standar Deviasi Nilai p
Berat Badan Tikus
Kel. Kontrol 6 239,67 8,07 0,281
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 237,8 6,35
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 237,33 4,18
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 239 5,62
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 244 3,52
43
Dari hasil uji Kruskal-Wallis berat badan didapatkan nilai p = 0.204 (p>0.05),
oleh karena itu dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antar
kelompok tersebut. Uji Kruskal-Wallis faktor suhu dan kelembaban didapatkan
nilai p < 0.001 (p< 0.05) yang berarti ada perbedaan bermakna antar kelompok
penelitian.
4.2. Gambaran Histopatologi Miokardium
1 2
Gambar 4.1 Gambaran Histopatologi Miokardium dengan mikroskop cahaya dilengkapi dengan
alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W perbesaran mikroskop 400x
4.3. Pengaruh tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan vakuola
lipid miokardium tikus wistar jantan
Sebaran data nilai MDA dan vakuola lipid pada masing-masing kelompok diuji
normalitas dan homogenitasnya seperti terlihat pada lampiran. Dari hasil uji
tersebut didapatkan bahwa nilai MDA miokardium dan jumlah vakuola lipid
memiliki sebaran data yang normal dan homogen, dengan demikian pengaruh
tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan jumlah vakuola lipid dapat
diketahui dengan melakukan uji analisis statistik One Way Anova, hubungan
dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05. Hasil analisis statistik
seperti disajikan dalam tabel 4.2 dibawah ini:
Tabel 4.2 Pengaruh tingkat pajanan terhadap nilai MDA miokardium dan vakuola
lipid pada masing-masing kelompok
n Mean Standar Nilai p
Deviasi
Vakuola Lipid
Kel. Kontrol 6 0,779 0,116 0,248
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 0,866 0,159
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 1,011 0,252
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 0,828 0,263
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 0,763 0,173
MDA Miokardium
Kel. Kontrol 6 0,143 0,075 0,029
Kel. Pajanan 1,6 ml 5 0,112 0,055
Kel. Pajanan 3,2 ml 6 0,169 0,124
Kel. Pajanan 6,4 ml 6 0,175 0,072
Kel. Pajanan 12,8 ml 6 0,033 0,315
Dari hasil uji analisis statistik nilai MDA dengan menggunakan One way anova,
didapatkan nilai p=0.029 (p<0.05), dengan demikian didapatkan adanya
perbedaan yang bermakna antar kelompok tersebut. Sedangkan pada vakuola lipid
dengan menggunakan One way anova, didapatkan nilai p = 0.248 (p>0.05), dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antar
kelompok tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan MDA
Dari tabel 4.3 pada uji Anova Post Hoc, didapatkan perbedaan rerata nilai MDA
miokardium yang bermakna (p < 0.05) antara kelompok kontrol dan kelompok
pajanan 12,8 ml (p = 0.024), antara kelompok pajanan 3,2 ml dan 12,8 ml (p =
0.002) dan kelompok 6,4 ml dengan 12,8 ml (p = 0.002).
BAB 5
PEMBAHASAN
47
pada tikus yang dipajan 12.000 ppm selama 70 menit/hari dalam 8 minggu. Pada
tingkat pajanan yang lebih rendah dalam waktu yang lebih lama juga tidak
ditemukan adanya perubahan pada kelainan histopatologi, seperti pada penelitian
NTP (1990), tikus yang terpajan toluena sampai 1.200 ppm selama 24 bulan (6,5
jam/ hari) dan juga CITT (1980), hasil yang ada menunjukkan tidak didapatkan
adanya lesi histopatologi pada jantung tikus terkait dengan pajanan toluena 300
ppm selama 24 bulan (6 jam/hari). Menurut NTP (1990) pada tikus betina yang
terpajan 2.500 ppm toluena selama 14-15 minggu (6,5 jam/hari) terjadi perubahan
peningkatan berat jantung.
Adapun sampai saat ini masih sedikit penelitian yang dapat membuktikan
perubahan vakuola lipid berhubungan dengan tingkat pajanan toluena. Pada
penelitian-penelitian terdahulu diketahui bahwa tidak adanya perubahan
histopatologis miokardium pada pajanan rendah serta pajanan tinggi dengan
waktu singkat ataupun panjang. Sedangkan dari hasil penelitian ini, perubahan
vakuola lipid tidak muncul pada tingkat pajanan tertinggi 12.8 ml (100 ppm)
selama dua minggu. Tidak terjadinya perubahan vakuola lipid, kemungkinan
disebabkan oleh jumlah pajanan toluena yang relatif kecil untuk menimbulkan
terjadinya perlemakan atau munculnya vakuola lipid pada sel miokardium. Waktu
pajanan yang singkat (14 hari dengan waktu 4 jam setiap hari) dapat merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan jumlah vakuola lipid tidak berbeda secara
signifikan pada penelitian hewan coba ini.
Selain hal tersebut aktivitas yang kurang dapat mengakibatkan tertimbunnya
lemak jaringan, hal ini dapat menyebabkan munculnya vakuola lipid pada
mokardium. Perubahan vakuola lipid pada tikus wistar kemungkinan belum
terjadi karena pembentukan lemak pada jaringan membutuhkan waktu kurang
lebih 6-12 jam sedangkan pada peneitian ini pajanan dilakukan selama 4 jam,
sehingga pembentukan vakuola lipid tidak optimal. Hal ini ditambah dengan
asupan makanan yang sudah dikontrol dengan mengatur komposisi gizi. Sehingga
dari hasil penelitian ini, tidak ditemukan adanya peningkatan vakuola lipid yang
bermakna akibat pajanan toluena.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
1. Pajanan toluena menyebabkan pembentukan Reactive Oxygen Species
(ROS), sehingga mempengaruhi nilai MDA miokardium di antara
kelompok penelitian, hal ini dapat dijadikan sebagai penanda adanya stress
oksidatif pada kerusakan miokardium. Perbedaan nilai MDA tidak terjadi
pada pajanan dibawah nilai ambang batas (50 ppm), perbedaan yang ada terlihat
pada pajanan 12.8 ml (100 ppm).
2. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan pajanan
toluena dengan perubahan awal histopatologik berupa kenaikan jumlah
vakuola lipid pada miokardium tikus wistar jantan.
6.2. SARAN
Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal, yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada penentuan dosis terendah yang telah menimbulkan
efek pada manusia. Sehingga untuk mencapai hal tersebut maka perlu dibuktikan
dengan penelitian pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti pada primata yang
dianggap mendekati manusia.
52
Deteksi toksisitas..., Helenasari Tambunan, FK UI, 2014
5369
DAFTAR PUSTAKA
54
23. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Basic Pathology. In: Cellular Responses to
Stress and Toxic Insults: Adaptation, Injury, and Death. Eight edition. United
States of America, 2010; p. 3-22.
24. Coskun O, Otter S, Korkmaz A, Armuteu, Kanter M. “The oxidative and
morphological effects of high concentration chronic toluene exposure on rat
sciatic nerves”. Neurochem Res. 2005; 30:33-8.
25. Mattia C, LeBel C, Bondy S. “Effect of toluene and its metabolites on cerebral
reactive oxygen species generation”. Biochem Pharmacol. 1991; 42:879-82.
26. Mattia C, Jr JA, Bondy S. “Free radical induction in the brain and liver by
product of toluene catabolism”. Biochem Pharmacol. 1993; 46:103-10.
27. Edelfors S, Hass U, Hougaard K. “Changes in markers of oxidative stress and
membrane properties in synaptosomes from rats exposed prenatally to
toluene”. Pharmacol Toxicol. 2002; 90:26-31.
28. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Basic Pathology. In: Acute and Chronic
Inflammation. Eight edition. United States of America, 2010; p. 44.
29. Djojodibroto, Darmanto. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
30. Frank. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian
Resiko.UI-PRES. Jakarta.
31. Sanjoyo, Raden. 2005. Sistem Kardiovaskuler.
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/farmakologi.pdf. Diakses tanggal
maret 2011.
32. Anggraini, Setyowati. 2009. Pengaruh Lama Pajanan Asap Knalpot dengan
Kadar CO 1800 ppm terhadap Membran Histopatologi Jantung pada Tikus
Wistar. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
33. Rosmarie A. Faust, “Toxicity Summary for Toluena”. OAK Ridge Natitional
Laboratory. January 1999; Hal.1-2.
34. Devathasan G, Low D, Teoh PC, Wan SH, Wong PK. "Complications of
chronic glue (toluena) abuse in adolescents". Aust N Z J Med. 1984; 14 (1):
39–43.
Toluena cair
dimasukkan ke dalam Udara keluar
bak yang berada dalam dari sisi atas
akuarium akuarium
akuarium
Tertutup
Pompa
80 x 40x 40 cm
Penghasil
(berisi 3 tikus)
4 cm
Udara
(Bubbler)
Keterangan gambar :
1. Setiap akuarium akan berisi 3 ekor tikus.
2. Jalannya udara digambarkan dengan tanda panah (). Pertama-tama,
udara akan menuju akuarium, melalui lubang yang dibuat setinggi hidung
tikus (4 cm dari alas). Sedangkan toluena cair () akan disemprotkan ke
dalam akuarium sesuai dengan besaran ppm yang diharapkan. Kemudian
toluena cair ini akan dibiarkan menguap sampai habis dan segera setelah
habis akan dilakukan perhitungan waktu selama 4 jam. Pada percobaan ini,
uap toluena akan berada di dasar akuarium dibandingkan dengan udara,
karena berat jenis uap toluena adalah 3.18 kali berat jenis udara2.
Sedangkan, untuk aliran udara (dan toluena) yang keluar dari akuarium,
akan diletakkan di puncak akuarium, dengan tujuan, untuk lebih
memastikan bahwa tikus-tikus tersebut benar-benar terpapar oleh toluena.
MDA
Kelompok Toluena Kadar Miokardium
(ml) (ppm)
1 0 0 0.03
1 0 0 0.1
1 0 0 0.16
1 0 0 0.15
1 0 0 0.26
1 0 0 0.16
2 1.6 12.5 0.08
2 1.6 12.5 0.19
2 1.6 12.5 -
2 1.6 12.5 0.15
2 1.6 12.5 0.07
2 1.6 12.5 0.08
3 3.2 25 0.37
3 3.2 25 0.06
3 3.2 25 0.09
3 3.2 25 0.25
3 3.2 25 0.07
3 3.2 25 0.18
4 6.4 50 0.1
4 6.4 50 0.31
4 6.4 50 0.15
4 6.4 50 0.18
4 6.4 50 0.19
4 6.4 50 0.13
5 12.8 100 0.09
5 12.8 100 0.02
5 12.8 100 0.01
5 12.8 100 0.01
5 12.8 100 0.02
5 12.8 100 0.06
II.1 1 2 1 5 6 0 4 2 2 3 2.6
II.2 Slide tidak ada
II.3 8 9 7 4 7 10 7 14 8 13 8.7
II.4 4 5 8 7 15 11 2 2 5 2 6.1
II.5 8 12 5 2 10 9 5 0 2 6 5.9
II.6 2 7 12 4 2 9 6 13 12 12 7.9
III.1 4 2 1 7 2 4 3 4 0 0 2.7
III.2 2 1 3 4 6 4 6 2 7 12 4.7
III.3 2 12 7 19 16 10 16 9 2 3 9.6
III.4 16 4 28 11 19 14 14 12 13 8 13.9
III.5 9 10 5 1 0 5 2 6 5 11 5.4
III.6 11 11 6 12 12 14 14 3 11 8 10.2
IV.1 34 29 20 18 35 11 25 18 23 17 23
IV.2 3 7 15 4 7 5 4 3 3 2 5.3
IV.3 21 16 10 13 11 17 6 25 9 21 14.9
IV.4 11 6 13 29 22 21 10 8 6 10 13.6
IV.5 9 15 9 8 4 1 3 3 3 3 5.8
IV.6 2 8 2 7 7 4 9 9 14 19 8.1
V.1 14 11 8 8 3 3 4 1 2 3 10
V.2 9 5 5 7 8 8 6 1 4 7 6
V.3 16 13 5 5 8 11 14 3 6 15 9.6
V.4 21 41 13 10 5 4 2 2 8 19 12.5
V.5 10 5 17 15 6 2 1 11 5 10 8.2
V.6 11 7 3 2 0 3 5 6 7 3 4.7
FKUI – MER-C
IKK PPDS
Okupasi
Cluster
Occ and Env Med
Toluena
dr. Ferdianto dr. Lucas dr Dewi dr. Albert dr. Helena dr. Yusita dr. Stevens dr. Dyah
ert