Anda di halaman 1dari 30

Laporan individu

Senin, 3 agustus 2015

FILSAFAT ILMU DI BIDANG ONTOLOGI


EPISTEMIOLOGI DAN AKSIOLOGI

Di Buat Oleh :

Nama : Chairul Arifin

NIM : 13 777 078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT

PALU

2015
PENDAHULUAN

Kata filsafat secara etimologi (bahasa) berasal dari kata philo


yang berarti cinta dan sophia yaitu kebenaran, ilmu dan hikmah.
Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, filsafat diartikan sebagai pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap yang ada di alam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya”

sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah


pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba, menurutnya filsafat
adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya


berupaya menjelaskan arti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik obyek formanya. Filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas atau inti yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriyah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai
bentuk, tipe dan model rumah dengan kualitas dan harganya
yang berlain-lainan namun inti dari semua rumah itu adalah

tempat tinggal. Ketika disebut tempat tinggal, maka tercakuplah


bentuk dan model rumah. Contoh lain misalnya, kita jumpai
berbagai bangunan hotel dengan kelas yang berbeda, tetapi
semua hotel itu intinya adalah sebagai tempat menginap
sementara. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat itu

dilakukan secara mendalam.

Harun Nasution merumuskan definisi filsafat antara lain:


pengetahuan tentang hikmat; pengetahuan tentang prinsip atau
dasar; mencari kebenaran; dan membahas dasar dari apa yang

dibahas. Intisari filsafat ialah berfikir menurut tata-tertib (logika)


dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama),
dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar
persoalan.

Pendapat Louis O. Kattsof tentang filsafat, bahwa kegiatan


kefilsafatan ialah merenung. Tetapi merenung bukanlah
melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat
untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematis dan universal. Tentunya mendalam artinya
dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas yang
akal sementara atau memang tidak sanggup lagi menemukan
atau memikirkannya. Radikal artinya sampai ke sumbernya yang

kuat hingga tidak ada lagi yang lain. Sistematik maksudnya


dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berfikir
tertentu. Dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada
suatu kepentingan kelompok atau golongan tertentu, tetapi
untuk seluruhnya.

Filsafat, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal


(menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu
secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan
problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu
menjadi perekat antara berbagai macam disiplin ilmu yang
terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian,

menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu


yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali
relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan
lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan
hidup manusia.
Pembahasan filsafat ilmu sangat luas, maka uraian ini
dibatasi pada ruang lingkupnya berupa ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Ontologi, membicarakan hakikat pengetahuan

(segala sesuatu). Epistemologi, cara memperoleh pengetahuan


itu. Aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu.
Ruang lingkup pembahasan pada makalah ini adalah tentang
kajian-kajian dalam filsafat ilmu sebagai berikut :

1. Ontologi: meliputi pengertian, objek dan manfaatnya.

2. Epistemologi: pengertian, objek dan manfaatnya.

3. Aksiologi: pengertian, objek dan manfaatnya.

1. ONTOLOGI

Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti


sesuatu “yang sunggug-sungguh ada”, “kenyataan yang
sesungguhnya”, dan “logos” yang berarti “studi tentang”,
“studi yang membahas sesuatu”. Jadi ontologi adalah studi
yang membahas sesuatu yang ada. Secara sungguh-sungguh
ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang
filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang
terdalam. Ontologi membahas asas-asas rasional dari

kenyataan.
Objek dari ontologi adalah objek filsafat pada umumnya, yaitu
objek material dan objek formal. Objek material ialah segala
sesuatu yang menjadi masalah, segala sesuatu yang
dipermasalahkan oleh filsafat. Lapangan kerjanya bukan main

luasnya, Louis Kattsoff menyatakan “meliputi segala


pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui
manusia”.

Berdasarkan uraian di atas, Saefuddin Anshari menyebutkan

objek material filsafat (ontologi) ialah sarwa yang ada, yang


pada garis besarnya terbagi atas tiga persoalan pokok:
a. Hakikat Tuhan

b. Hakikat Alam

c. Hakikat Manusia.

Sedangkan objek formal ontologi adalah objek formal filsafat


ilmu yaitu mencari keterangan secara radikal (sedalam-
dalamnya, sampai ke akar-akarnya) tentang objek material.
Menurut Hasbullah Bakry, filsafat merupakan logika yang
memiliki objek formal dan material. Logika formal mempelajari

azas-azas, aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati


agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai
kebenaran. Sedangkan logika material mempelajari langsung
pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan
mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang

sesungguhnya.
Jadi objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala
yang ada baik berupa wujud konkret maupun yang abstrak, baik
segala yang bisa diindrawi maupun yang tidak bisa diindrawi.
Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling
umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan

Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap


kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan
dunianya. Pembahasan tentang yang ada, tidak terikat oleh
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada
yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal,
berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan
meliputi semua realitas dalam berbagai bentuknya.
Ontologi memberikan pengertian untuk menjelaskan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada
sebuah knowledge base. Ontologi juga dapat diartikan sebuah
struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain

yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah


knowledge base. Dengan demikian ontologi merupakan suatu
teori tentang makna dari suatu objek, properti dari suatu objek,
serta relasi dari objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu
domain pengetahuan. Jadi, ontologi berarti sebagai suatu usaha

intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari


kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang
benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan
dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat
dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan.
Ontologi sebagai salah satu cabang dari filsafat ilmu yang

membicarakan segala sesuatu yang sarwa ada, mempersoalkan


pula hakikat kenyataan. Tidak ada masalah yang tidak
dibicarakan dalam filsafat. Segala hal yang dibicarakan disebut
metafisika. Masalah ini dianggap sebagai inti dari filsafat ilmu,
sekalian alam, tidak ada satu hal pun yang lepas dari perhatian
filsafat. Ada dua bagian penting yang dibicarakan pada
metafisika :
1. Metafisika umum atau ontologi mempersoalkan hakikat “ada”
(being).
2. Metafisika khusus mempersoalkan hakikat “yang ada”.

Banyak pemikir barat dan filosuf ilmu telah meragukan


ontologi objek-objek non fisik atau metafisika. Oleh karena itu,
tidak perlu heran kalau klasifikasi sains di Barat hanya

memasukkan bidang-bidang ilmu empirik ditambah secara


misterius dengan bidang-bidang ilmu matematika, tetapi
dengan tegas menolak bidang metafisika yang objek-objeknya
sering dipandang tidak real atau ilusif. Bidang-bidang sains bisa
banyak, tetapi tetap saja tidak komprehensif atau holistik ketika

dibanding, misalnya dengan bidang-bidang ilmu yang kita


temukan dalam klasifikasi ilmu Islam, yang tidak hanya meliputi
bidang-bidang fisik dan matematika, tetapi juga bidang-bidang
ilmu metafisika. Tidak perlu heran mengapa bidang-bidang
metafisika ini dimasukkan ke dalam klasifikasi ilmu Islam karena

ilmuwan-ilmuwan dan para filosuf muslim telah dan masih


mengakui tidak hanya status ontologis objek-objek fisik, tetapi
juga objek-objek matematika dan metafisika.
Dalam klasifikasi ilmu Islam, wujud-wujud disusun secara
hirarkis sesuai dengan sifat-sifat dasarnya. Ibnu Sina misanya,
telah mengelompokkan wujud-wujud ini ke dalam tiga kategori,
yaitu (1) wujud-wujud yang secara niscaya tidak berhubungan

dengan materi dan gerak; (2) wujuf-wujud yang meskipun pada


dirinya bersifat immaterial, terkadang mengadakan kontak
dengan materi gerak; dan (3) wujud-wujud yang secara niscaya
terkaitt dengan materi dan gerak. Wujud-wujud dalam katagori
pertama adalah yang kita sebut wujud-wujud metafisika dan

Ibnu Sina mencontohkan Tuhan dan jiwa untuk itu. Wujud-


wujud dalam kategori ke dua dapat disebut sebagai wujud-
wujud matematika, sedangkan wujud-wujud dalam kategori ke
tiga jatuh pada wilayah fisik.

Adanya tiga klasifikasi ontologi Islam memberi pemahaman


kepada kita bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam dibagi dalam
tiga klasifikasi besar, yaitu ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu
matematika dan ilmu-ilmu alam atau fisik. Klasifikasi ilmu
menjadi tiga bagian besar ini karena konsisten dengan status

ontologis dan sifat dasar objek-objeknya. Konsisten terhadap


ontologi, menyadarkan akan ontologi merupakan ‘ilmu
pengetahuan’ yang paling universal dan menyeluruh.
Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian
lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ontologi merupakan
konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang
merangkum cakrawala lainnya. Jadi ontologi meskipun memiliki

ciri yang mutlak tentang yang ada tetapi ontologi terus berjalan
dan berkembang. Ontologi tidak merupakan sistem ilmu
dengan harga mati tapi ia terus berupaya memberi peluang
kepada dorongan manusia yang mencari dan terus mencari
wujud dan inti dari yang wujud.

Menurut Anton Bakker, usaha untuk mencari inti misteri


tidak dapat dimatikan. Dan semakin bagian-bagian filsafat
lainnya berkembang, maka semakin pula ontologi
menampakkan diri di dalamnya.

Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang


filsafat ilmu antara lain:

- Pertama berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang


garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat
ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain:

(1) dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini
benar-benar ada.
(2) dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan
pancaindera.

(3) fenomena yang terdapat di di dunia ini berhubungan satu


dengan lainnya secara kausal.

- Ke dua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu


pandangan dunia yang integral, komphrehensif dan koheren.
Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk
dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat
memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun
pada kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada
simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-pisah. Jika terjadi
seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu mengintegrasikan
pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.

- Ke tiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk


mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh
ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek kajian ilmu yang satu
dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan,
di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan
bidang kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika
atau disiplin biologi. Kemungkinan lain adalah justru terbukanya
bidang kajian yang sama sekali belum dikaji oleh ilmu apa pun.
Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-

batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu


yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari
abad ke abad.

2. EPISTEMOLOGI

Epistemologi sering disebut juga dengan teori pengetahuan

(theory of knowledge). Istilah epistemologi berasal dari kata


bahasa Yunani ‘episteme’ yang artinya pengetahuan, dan ‘logos’
yang artinya teori. Jadi epistemologi dapat didefinisikan sebagai
dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat
dan sahihnya pengetahuan. Disini bisa dipahami bahwa
epistemologi merupakan bagian filsafat yang membawa kita
untuk bagaimana cara mempelajari dan mengembangkan ilmu.
Bagaimana metodenya, bagaimana teori atau ilmunya sampai
mendapat kebenaran yang nyata suatu objek.

- Ali Maksum berpendapat bahwa epistemologi adalah


filsafat tentang ilmu pengetahuan yang mempersoalkan
sumber, asal mula, dan jangkauan, serta validitas dan
reabilitas (reability) dari berbagai klaim terhadap
pengetahuan.
- Muhdlor Ahmad berpendapat bahwa ada enam aspek dari

ranah epistemologi sebagai cabang filsifat ilmu yaitu aspek


hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan.
- Louis O Kattsof menjelaskan epistemologi adalah cabang
filsafat menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode

dan sahnya pengetahuan.

Epistemologi membahas pertanyaan mendasar yang


dikajinya, apa pengetahuan itu?, apa yang merupakan asal mula

pengetahuan?, bagaimana cara kita mengetahui bila kita ingin


memiliki pengetahuan?, bagaimana cara kita membedakan
antara pengetahuan dan pendapat?, apakah yang merupakan
bentuk pengetahuan?, apakah corak-corak pengetahuan yang
ada?, apakah kebenaran dan kesesatan?, apakah kesalahan?

Dalam pandangan Jujun S. Suriasumantri , epistemologi


dipahami sebagai sebuah proses yang terlibat dalam segala
usaha untuk memperoleh pengetahuan. Proses untuk
memperoleh pengetahuan inilah yang membuat para filosuf
Barat merumuskan dan mendialogkan secara serius metode-
metode dan prosedur-prosedur yang dapat diandalkan. Proses
ini pula yang membuat epistemologi memiliki objek dan sasaran

pembahasan.

Sutardjo A Wiramihardja berpendapat Epistemologi


merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan berbagai

pengertian, seperti mengetahui, pengetahuan, kepastian, atau


kebenaran pengetahuan. Mengetahui menunjukkan pada dua
hal, yaitu subyek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Mengetahui berarti menghubungkan sukjek dan objek.
Pengetahuan ialah hubungan. Artinya, bahwa seseorang

mengetahui bahan yang diketahuinya. Selanjutnya hal yang


sangat penting dan sering dilupakan, bahwa menyadari
pengetahuan berarti dapat merumuskan pengetahuan tersebut
ke dalam bahasa. Semakin sanggup seseorang merumuskan
pengetahuan ke dalam bahasa, semakin sadar pula ia akan

pengetahuan. Semakin tertib seseorang dalam mengetahui


sesuatu, semakin mendalamlah pengetahuannya. Lebih lanjut
Sutardjo A Wiramihardja menyatakan subyek berubah karena ia
mengetahui sesuatu. Bagaimana dengan objek? Tentu saja
objek tidak dapat berubah. Apabila objek berubah, apa yang
kita ketahui saat ini berlainan dengan apa yang ingin kita
ketahui. Namun tidak berarti subjek itu aktif dan objek itu pasif.

Subjek dapat mengetahui objek jika subjek tersinggung melalui


rangsangan oleh objek. Untuk dapat tersinggung, subjek perlu
membuka diri terhadap objek sehingga objek dengan leluasa
mengetahui subjek. Artinya bahwa subjek menyelami objek dari
segenap segi dengan sedalam-dalamnya. Hal ini tidak mungkin

dilakukannya dengan alat indra (pengamatan) dan akal


(pemikiran) semata-mata, tetapi diselami oleh seluruh
kepribadian. Hanya dengan keseluruhan kepribadian akan
tercapai pengetahuan yang benar atau kebenaran.
Tentang kebenaran ini, Sutardjo A Wiramihardja mengutip
telaahan Muchlas atas Al-Qur’an, bahwa terdapat empat

kategori kebenaran, yaitu kebenaran pengetahuan, kebenaran


ilmu, kebenaran filsafat dan kebenaran wahyu. Kebenaran
pengetahuan diperoleh manusia sebagai hasil pengindraan,
bersifat relatif karena bergantung pada daya pengindraan atau
sensitivitas pengindraan seseorang. Kebenaran ilmiah ialah
pengetahuan yang kebenarannya berdasarkan pengujian
eksperimentasi.
Kebenaran mendasarkan pengamatan/pengindraan,
metodologi dan penalaran manusia. Nilai relatifnya lebih sedikit
dibanding kebenaran pengetahuan. Kebenaran filsafati adalah

pengetahuan yang kebenarannya dimatangkan dengan


pendalaman berfikir rasional, sistematis, universal, bebas dan
terutama radikal. Dengan demikian kebenarannya bersifat
subjektif, yaitu bergantung pada kemampuan berfikir subjek
atau tiap orang. Wahyu adalah ilmu Tuhan yang nilai

kebenarannya bersifat mutlak karena Allah SWT bersifat maha


sempurna. Nilai kemutlakan tersebut berdasarkan keimanan
orang yang bersangkutan.

Sutadjo A Wiramihardja menambahkan pendapatnya bahwa


pengetahuan tidak akan mencapai kebenaran mutlak. Oleh
karena itu pengetahuan akan dan tidak mungkin menetap.
Pengetahuan senantiasa menjadi, dan selalu dalam proses.
Pengetahuan bertambah dari waktu ke waktu, sejalan dengan

keterbukaan seseorang terhadap informasi baru dan kesediaan


seseorang untuk mengolahnya. Dengan perkataan lain, sejalan
dengan keterbukaan atau kesediaan subjek atas stimulus objek.
Muhammad Baqir Ash-Shadr mengungkapkan bahwa setiap
manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan
dalam dirinya terdapat bermacam-macam pemikiran dan
pengetahuan. Dan tidak diragukan lagi bahwa banyak

pengetahuan manusia itu muncul dari pengetahuan lainnya.


Karena itu, ia akan meminta bantuan pengetahuan terdahulu
(yang sudah dimiliki) untuk menciptakan pengetahuan baru.
Pengetahuan secara garis besar terbagi dua. Pertama, konsepsi
atau pengetahuan sederhana. Ke dua, tashdiq (assent atau

pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu


penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan
kita terhadap pengertian panas, atau cahaya atau suara. Tashdiq
dapat dicontohkan dengan penilaian kita bahwa panas adalah
energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih
bercahaya dari pada bulan dan bahwa atom itu bisa meledak.

Pengetahuan manusia melalui indrawi diterima oleh akal. Ibnu


Khaldun memberi pemahaman bahwa akal atau pemikiran
manusia hanya mampu memikirkan hal-hal yang mampu
dijangkau oleh kemampuan indra dan pemikiran, sedangkan
untuk wilayah spiritual atau ruhani sangat sulit untuk ditembus
oleh akal pikiran manusia. Dengan demikian bisa kita pahami
bahwa Ibnu Khaldun memberi batasan wilayah kerja manusia
dan ilmu pengetahuan pada wilayah atau ranah alam jasmaniah

atau fisik, bukan pada alam ruhani.


Mendasarkan pemikiran tersebut Ibnu Khaldun membagi
kesanggupan berfikir manusia dalam tiga tingkatan:

- Pertama, akal pembeda (al-aqlu al-tamyiz) adalah


pemahaman intelektual manusia terhadap objek yang
beragam dan berubah-ubah dengan tujuan untuk
membuat seleksi. Bentuk pemikiran seperti ini biasanya
berupa persepsi-persepsi (al-tashawwur) yang dapat

membantu manusia untuk memperoleh hal-hal yang


bermanfaat, mencari penghidupan dan menolak segala hal
yang sia-sia.
- Ke dua, akal eksperimental (al-aqlu al-tajribi) yaitu
pemikiran yang melahirkan ide-ide dalam prilaku, dalam

berhubungan dengan orang lain. Pemikiran bentuk ini


berupa appersepsi-appersepsi (al-tasdhiqat) yang dicapai
melalui pengalaman.
- Ke tiga, akal spekulatif (al-aqlu al-nadzari) yaitu pemikiran
yang melahirkan teori dan ilmu pengetahuan ilmiah (al-ilm)
dan pengetahuan hipotesis (al-dzan). Pikiran bentuk ini

merupakan gabungan antara persepsi dan appersepsi.

Dalam kaitan dengan proses spiritual-rohani Ibnu Khaldun

menjelaskan hal itu tidak berhubungan dengan kekuatan


pengetahuan dan akal pikiran, melainkan merupakan fitrah yang
sudah ditentukan Tuhan. Dia contohkan bahwa untuk
menyingkap hal-hal gaib seperti kaum sufi bisa memasuki dunia
spiritual, mereka memiliki kemampuan supra natural (al-

ghaibiah) karena melakukan kegiatan Riyadhah; latihan dzikir.


Ibnu Khaldun sama sekali tidak memberi dasar rasionalisasi
sama sekali tentang potensi pemikiran manusia menuju alam
malaikat. Ibnu Khaldun memberikan kritik tajam terhadap
pemikiran beberapa filosuf seperti Al-Kindi, Ibnu Sina dan Al-

Farabi yang mencoba menjelaskan tentang kenabian.


Kalau epistemologi kita hubungkan dengan Al-Qur’an, ayat-ayat
Allah yang tekstual ini menempatkan orang yang berilmu pada
kedudukan yang mulia. Misalnya pada Q.S. Az-Zumar ayat 9 :
“Katakanlah : Apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang yang tidak mengetahui?”. Atau pada Q.S. Al-
Mujadalah ayat 11 : “Allah mengangkat derajat orang-orang

yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berimu


beberapa derajat”. Di samping itu dalam Al-Qur’an
menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperiman
seperti Q.S. Al-Ankabut 20 : “Berjalanlah di muka bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari

permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi”, juga


dalam Q.S. An-Nahl 78 : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan af’idah, agar
kamu bersyukur”. Dengan demikian Al-Qur’an mendorong
kepada manusia untuk menggunakan akalnya menangkap

rahasia alam semesta juga memaksimalkan dan memfungsikan


potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadanya yakni
pendengaran (al-sama’), penglihatan (al-bashar) dan rasa intuisi
(al-fuad).

Pengkajian pengetahuan dengan intuisi merupakan


pendekatan supra-rasional. Seperti ingin menemukan Tuhan
adalah obyek abstrak supra-rasional yang ada dalam ranah
pengetahuan mistik. Pengetahuan mistik ialah pengetahuan
yang diperoleh tidak melalui indra dan bukan melalui rasio.

Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa, melalui hati sebagai alat


merasa. Kalau indra dan rasio adalah alat mengetahui yang
dimiliki manusia, maka rasa atau hati adalah alat mengetahui.
Pencapaian pengetahuan oleh manusia haruslah bertujuan
untuk: Pertama, untuk mencapai kebenaran obyektif sesuai

dengan kerangka dasar keilmuan. Kedua, untuk tujuan-tujuan


kesejahteraan manusia. Dan ketiga, bahwa pengetahuan yang
dicapai oleh manusia untuk diamalkan sebagai hamba Allah
SWT.

3. AKSIOLOGI

Secara etimologi, aksiologi berasal dari kata aksios yang

berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Aksiologi
sebagai teori tentang nilai membahas hakikat nilai, sehingga
disebut Filsafat Nilai. Dengan kata lain bahwa aksiologi
merupakan cabang filsafat membahas nilai-nilai yang memberi
batas-batas bagi pengembangan ilmu. Yang sering kita tahu
tentang filsafat adalah tentang ilmu itu bebas nilai atau tidak.
Jika orang mengatakan sesuatu itu baik atau jelek, positif atau
negatif, layak atau tidak untuk sejajar atau bisa dibandingkan

dengan hal yang lain. Ini berarti hal tersebut berkait dengan
moral keilmuan. Untuk itu, ilmu pada dasarnya untuk digunakan
atau dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia. Dalam hal ini,
ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan
taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,

martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan alam.


Ilmu memang disusun dan dikembangkan sedikit demi sedikit.
Fuad Ihsan mengutip pendapat Jujun Suriasumantri yang
berpendapat bahwa ilmu dikembangkan secara atomistik,
namun untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan
ilmiah yang diperoleh dan disusun itu dimiliki dan dipergunakan

secara holistik, komunal dan universal. Secara holistik berari


manusia memiliki pengetahuan bukan secara parsial melainkan
secara menyeluruh. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan
pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas
kebersamaan. Universal berarti ilmu tidak memiliki konotasi
parokhiyal seperti ras, ideologi atau agama.
Sebagian orang mengartikan nilai dengan menggunakan
berbagai reduksi. Dengan kata lain, memperlihatkan tiga sektor
besar realitas, yaitu benda, esensi dan keadaan psikologis. Nilai

yang diberikan orang pada sesuatu akan dikaitkan antara lain


dengan apa yang diinginkannya, apa yang menyenangkannya,
dan apa yang membuatnya senang atau nikmat. Juga pada
kenyataannya terdapat banyak tingkatan dalam kualitas, yaitu
kualitas primer, sekunder dan tersier. Kualitas primer

bersangkutan dengan adanya benda itu, jika tidak ada, nilai


tidak mungkin dibentuk. Kualitas sekunder adalah kualitas yang
timbul sebagai sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra kita,
seperti warna, rasa, dan bau. Adapun kualitas tersier terjadi
ketika penilaian berbeda berdasarkan kualitas terdahulu.

Emmanuel Kant berpendapat :

(1) bahwa penilaian-penilaian ilmu matematis adalah sintetik

primer, dan memiliki nilai mutlak.

(2) bahwa penilaian-penilaian yang berdasarkan pengalaman


indrawi dalam ilmu-ilmu alam adalah penilaian-penilaian sintetik
sekunder. Kebenaran yang ada pada penilaian-penilaian itu
tidak lebih daripada kebenaran nisbi.
(3)bahwa dalam subjek-subjek metafisika tak mungkin ada
pengetahuan rasional yang sahih, yang tidak berdasarkan
penilaian-penilaian sintetik primer, tidak pula berdasarkan

penilaian-penilaian sintetik sekunder.

Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu:


- Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan

perilaku orang. Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas


dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu prilaku dikatakan tidak etis
dan etis. Lebih tepat, prilaku adalah beretika baik atau beretika
tidak baik.

- Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang


memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah
dan jelek adalah pasangan dikhotomis, dalam arti bahwa yang

dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau


persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada
suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak
lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi
perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu
pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur

kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :

1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat


menemukan kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan
perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi

pada kepentingan langsung.

2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara


etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan
martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan
netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan
dan kepentingan politik.

3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan


taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia
serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu
dan temuan-temuan universal.
KESIMPULAN

Dari uraian di atas kesimpulan dari makalah ini sebagai


berikut :

1. Filsafat merupakan kegiatan manusia untuk berfikir yang


bersifat sistematis, universal dan radikal serta mendalam yang
analisanya akan menemukan relevansi ilmu pengetahuan
dengan problema hidup dan kehidupan manusia.

2. Cabang filsafat ilmu ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi dan


aksiologi.
3. Ontologi merupakan bagian filsafat yang membahas tentang
yang ada, baik konkret maupun abstrak yang pada garis
besarnya terbagi pada persoalan hakikat Tuhan, hakikat alam

dan hakikat manusia. Titik tolak dan dasarnya adalah refleksi


terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan
dunianya. Segala yang dibicarakan disebut metafisika. Ontologi
bermanfaat untuk refleksi kritis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.

4. Epistemologi merupakan bagian filsafat yang membawa kita


untuk mengetahui cara mempelajari atau mengembangkan
ilmu. Bagaimana metodenya, bagaimana teori atau ilmunya
sampai mendapat kebenaran yang nyata suatu objek.
Kebenaran sendiri ada empat kategori yaitu kebenaran
pengetahuan, kebenaran ilmiah, kebenaran filsafati dan

kebenaran wahyu (yang mutlak).

Pengetahuan manusia melalui indrawi kemudian diterima akal.


Ibnu Khaldun memberi batas wilayah akal manusia pada alam
jasmaniah atau fisik, bukan pada alam ruhani. Menurutnya
proses spiritual-rohani tidak berhubungan dengan kekuatan
pengetahuan dan akal pikiran tetapi karena melakukan kegiatan
riyadhah. Pendapatnya berbeda dengan filosuf-filosuf lainnya.
Di dalam Al-Qur’an, manusia didorong untuk menggunakan

akalnya menangkap rahasia alam semesta dengan


memfungsikan potensi yang dianugerahkan Allah berupa
pendengaran, penglihatan dan rasa intuisi (al-fuad).
Epistemologi bermanfaat untuk pencapaian kebenaran obyektif
sesuai dengan kerangka dasar keilmuan guna kesejahteraan dan

kemaslahatan manusia sebagai makhluk Tuhan.

5. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas nilai-


nilai dalam pengembangan ilmu. Ilmu yang diperoleh disusun

dan dipergunakan secara holistik, komunal dan universal.


Namun pada kenyataannya sebagian orang ada yang
mengartikan nilai dengan menggunakan reduksi, yakni
disesuaikan dengan keinginan, disesuaikan dengan apa yang
menyenangkannya dan dirasa nikmat sesuai seleranya.

Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu etika dan estetika.
Etika berhubungan dengan nilai atau penilaian prilaku orang.
Estetika berhubungan dengan pandangan indah atau tidak
indahnya karya manusia.
Aksiologi memberi manfaat untuk mengantisipasi
perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu

pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur


kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai