Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah LANSKOT

Nama Kelompok :
1. Fajar J.Silitonga
2. Muhammad Fajrin S.
3. Ika Corina
4. Wardah Novaningtias
5. Yuda Lesmana

Kelas : 5A-DKB
Peta ORIENTASI
Profil Kota Semarang
Kota Semarang (Jawa: ꦏꦏꦏꦏꦏꦏꦏꦏ) (Tionghoa : 三宝垄·)adalah ibukota Provinsi Jawa
Tengah, Indonesia sekaligus kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia
sesudah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Sebagai salah satu kota paling berkembang
di Pulau Jawa, Kota Semarang mempunyai jumlah penduduk yang hampir mencapai 2 juta jiwa
dan siang hari bisa mencapai 2,5 juta jiwa. Bahkan, Area Metropolitan Kedungsapur
(Kendal, Demak, Ungaran Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi
Kabupaten Grobogan) dengan penduduk sekitar 6 juta jiwa, merupakan Wilayah Metropolis
terpadat keempat, setelah Jabodetabek (Jakarta), Gerbangkertosusilo (Surabaya),
dan Bandung Raya. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Semarang ditandai pula
dengan munculnya beberapa gedung pencakar langit di beberapa sudut kota.
Kota ini terletak sekitar 558 km sebelah timur Jakarta, atau 312 km sebelah
barat Surabaya, atau 621 km sebalah barat daya Banjarmasin (via udara). Semarang berbatasan
dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan,
dan Kabupaten Kendal di barat.Luas Kota 373.67 km2.
Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan.
Dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 2 Kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu
Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah 57,55 Km2 dan Kecamatan Gunungpati, dengan luas
wilayah 54,11 Km2 . Kedua Kecamatan tersebut terletak di bagian selatan yang merupakan
wilayah perbukitan yang sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan
perkebunan. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang
Selatan, dengan luas wilayah 5,93 Km2 diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah, dengan luas
wilayah 6,14 Km2 .
Kota Semarang berkembang menjadi kota yang memfokuskan pada perdagangan dan jasa.
Berdasarkan lokasinya, kawasan perdagangan dan jasa di Kota Semarang terletak menyebar dan
pada umumnya berada di sepanjang jalan-jalan utama. Kawasan perdagangan modern,
terutama terdapat di Kawasan Simpanglima yang merupakan urat nadi perekonomian Kota
Semarang. Di kawasan tersebut terdapat setidaknya tiga pusat perbelanjaan, yaitu Matahari,
Living Plaza (ex-Ramayana) dan Mall Ciputra, serta PKL-PKL yang berada di sepanjang
trotoar. Selain itu, kawasan perdagangan jasa juga terdapat di sepanjang Jl Pandanaran
dengan adanya kawasan pusat oleh-oleh khas Semarang dan pertokoan lainnya serta di
sepanjang Jl Gajahmada. Kawasan perdagangan jasa juga dapat dijumpai di Jl Pemuda dengan
adanya DP mall, Paragon City dan Sri Ratu serta kawasan perkantoran. Kawasan perdagangan
terdapat di sepanjang Jl MT Haryono dengan adanya Java Supermall, Sri Ratu, ruko dan
pertokoan. Adapun kawasan jasa dan perkantoran juga dapat dijumpai di sepanjang Jl
Pahlawan dengan adanya kantor-kantor dan bank-bank. Belum lagi adanya pasarpasar
tradisional seperti Pasar Johar di kawasan Kota Lama juga semakin menambah aktivitas
perdagangan di Kota Semarang.

Jalan Gajahmada, Semarang Jalan Pahlawan, Semarang


Geografis Kota Semarang
Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara garis 60 50’ – 7o 10’ Lintang Selatan
dan garis 1090 35’ – 1100 50’ Bujur Timur. Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena
berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa, dan merupakan koridor pembangunan
Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor pantai Utara; koridor
Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal
dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan; dan
Barat menuju Kabupaten Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah,
Semarang sangat berperan terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur
kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transportasi
Regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah
pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah
nasional bagian tengah.
Daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari
garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah. Kawasan kota bawah
seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut
(rob). Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di
antaranya meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati, Tembalang dan Banyumanik. Pusat
pertumbuhan di Semarang sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk muncul menjadi kota
kecil baru, seperti di Semarang bagian atas tumbuhnya daerah Banyumanik sebagai pusat
aktivitas dan aglomerasi penduduk Kota Semarang bagian atas menjadikan daerah ini cukup
padat. Fasilitas umum dan sosial yang mendukung aktivitas penduduk dalam bekerja maupun
sebagai tempat tinggal juga telah terpenuhi. Banyumanik menjadi pusat pertumbuhan baru di
Semarang bagian atas, dikarenakan munculnya aglomerasi perumahan di daerah ini. Dahulunya
Banyumanik hanya merupakan daerah sepi tempat tinggal penduduk Semarang yang bekerja
di Semarang bawah (hanya sebagai dormitory town).
Namun saat ini daerah ini menjadi pusat aktivitas dan pertumbuhan baru di Kota
Semarang, dengan dukungan infrastruktur jalan dan aksessibilitas yang terjangkau. Fasilitas
perdagangan dan perumahan baru banyak bermunculan di daerah ini, seperti Carefour, Mall
Banyumanik, Ada Swalayan, Perumahan Banyumanik, Perumahan Pucang Gading, dan fasilitas
pendidikan baik negeri maupun swasta, seperti Unnes, Undip, Polines, Unika, dll, dengan
dukungan akses jalan tol dan terminal moda yang memperlancar transportasi. Cepatnya
pertumbuhan di daerah ini dikarenakan kondisi lahan di Semarang bawah sering terkena bencana
rob banjir.
Topografi Kota Semarang
• Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai, dengan
demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan dan tonjolan.
Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78 %
merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 15-40%.
• Kondisi lereng tanah Kota Semarang dibagi menjadi 4 jenis kelerengan yaitu lereng I (0-2%)
meliputi Kecamatan Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan
Tugu, serta sebagian wilayah Kecamatan Tembalang, Banyumanik dan Mijen. Lereng II (2-5%)
meliputi Kecamatan Semarang Barat, Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur, Gunungpati
dan Ngaliyan, lereng III (15-40%) meliputi wilayah di sekitar Kaligarang dan Kali Kreo
(Kecamatan Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon) dan
sebagian wilayah Kecamatan Banyumanik, serta Kecamatan Candisari. Sedangkan lereng IV (>
50%) meliputi sebagian wilayah Kecamatan Banyumanik (sebelah tenggara), dan sebagian
wilayah Kecamatan Gunungpati,terutama disekitar Kali Garang dan Kali Kripik. Kota Bawah
yang sebagian besar tanahnya terdiri dari pasir dan lempung.
• Pemanfaatan lahan lebih banyak digunakan untuk jalan, permukiman atau perumahan,
bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang dan persawahan. Kota Bawah sebagai
pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan kebudayaan,
angkutan atau transportasi dan perikanan. Berbeda dengan daerah perbukitan atau Kota Atas
yang struktur geologinya sebagian besar terdiri dari batuan beku. Wilayah Kota Semarang
berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut).
• Secara topografi terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan, sehingga memiliki
wilayah yang disebut sebagai kota bawah dan kota atas. Pada daerah perbukitan mempunyai
ketinggian 90,56 - 348 mdpl yang diwakili oleh titik tinggi yang berlokasi di Jatingaleh dan
Gombel, Semarang Selatan, Tugu, Mijen, dan Gunungpati, dan di dataran rendah mempunyai
ketinggian 0,75 mdpl.
• Kota bawah merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki kemiringan antara 0%
sampai 5%, sedangkan dibagian Selatan merupakan daerah dataran tinggi dengan kemiringan
bervariasi antara 5%-40%.
• Kota Semarang sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang membentuk suatu kota
yang mempunyai ciri khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah
pantai. Dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan
tanah berkisar antara 0 persen sampai 40 persen (curam) dan ketinggian antara 0,75 – 348,00
mdpl.
Tabel Ketinggian Tempat di Kota Semarang

No Bagian Wilayah Ketinggian (MDPL)


1. Daerah Pantai 0,75
2. Daerah Dataran Rendah
 Pusat Kota (Depan Hotel Dibya Puri 2,45
Semarang)
 Simpang Lima 3,49
3. Daerah Perbukitan
 Candi Baru 90,56
 Jatingaleh 136,00
 Gombel 270,00
 Mijen 253,00
 Gunungpati Barat 259,00
 Gunungpati Tmur 348,00
Geologi Kota Semarang
 Kota Semarang berdasarkan Peta Geologi Lembar Magelang - Semarang (RE. Thaden, dkk; 1996),
susunan stratigrafinya adalah sebagai berikut Aluvium (Qa), Batuan Gunungapi Gajahmungkur
(Qhg), Batuan Gunungapi Kaligesik (Qpk), Formasi Jongkong (Qpj), Formasi Damar (QTd), Formasi
Kaligetas (Qpkg), Formasi Kalibeng (Tmkl), Formasi Kerek (Tmk).

 Pada dataran rendah berupa endapan aluvial sungai, endapan fasies dataran delta dan endapan
fasies pasang-surut. Endapan tersebut terdiri dari selang-seling antara lapisan pasir, pasir lanauan
dan lempung lunak, dengan sisipan lensa-lensa kerikil dan pasir vulkanik.

 Daerah perbukitan sebagian besar memiliki struktur geologi berupa batuan beku.

 Dataran rendah memiliki jenis tanah berupa struktur pelapukan, endapan, dan lanau yang dalam.
Jenis Tanah di Kota Semarang meliputi kelompok mediteran coklat tua, latosol coklat tua
kemerahan, asosiai alluvial kelabu, Alluvial Hidromorf, Grumosol Kelabu Tua, Latosol Coklat dan
Komplek Regosol Kelabu Tua dan Grumosol Kelabu Tua.

 25 % wilayah Kota Semarang memiliki jenis tanah mediteranian coklat tua.

 30 % lainnya memiliki jenis tanah latosol coklat tua.

 Jenis tanah lain yang ada di wilayah Kota Semarang memiliki geologi jenis tanah asosiasi kelabu
dan aluvial coklat kelabu dengan luas keseluruhan kurang lebih 22 % dari seluruh luas Kota
Semarang.

 Sisanya alluvial hidromorf dan grumosol kelabu tua.


Hidrolohi Kota Semarang
Potensi air di Kota Semarang bersumber pada sungai - sungai yang mengalir di Kota Semarang,
antara lain :
• Kali Garang,
• Kali Pengkol,
• Kali Kreo,
• Kali Banjirkanal Timur,
• Kali Babon,
• Kali Sringin,
• Kali Kripik,
• Kali Dungadem
• dan lain sebagainya.
Kali Garang

Kali Garang yan bermata air di gunung Ungaran, alur sungainya memanjang ke arah Utara
hingga mencapai Pegandan tepatnya di Tugu Soeharto, bertemu dengan aliran Kali Kreo dan Kali
Kripik. Kali Garang sebagai sungai utama pembentuk kota bawah yang mengalir membelah lembah-
lembah Gunung Ungaran mengikuti alur yang berbelok-belok dengan aliran yang cukup deras. Setelah
diadakan pengukuran debit Kali Garang mempunyai debit 53,0 % dari debit total dan kali Kreo 34,7
% selanjutnya Kali Kripik 12,3 %. Oleh karena Kali Garang memberikan airnya yang cukup dominan
bagi Kota Semarang, maka langkahlangkah untuk menjaga kelestariannya juga terus dilakukan.
Karena Kali Garang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum warga Kota Semarang.
Iklimatologi Kota Semarang
Kota Semarang seperti kondisi umum di Indonesia, mempunyai iklim tropik basah yang
dipengaruhi oleh angin monsun barat dan monsun timur.Dari bulan November hingga Mei, angin
bertiup dari arah Utara Barat Laut (NW) menciptakan musim hujan dengan membawa banyak uap air
dan hujan. Sifat periode ini adalah curah hujan sering dan berat, kelembaban relatif tinggi dan
mendung. Lebih dari 80% dari curah hujan tahunan turun di periode ini. Dari Juni hingga Oktober
angin bertiup dari Selatan Tenggara (SE) menciptakan musim kemarau, karena membawa sedikit uap
air. Sifat periode ini adalah sedikit jumlah curah hujan, kelembaban lebih rendah, dan jarang
mendung.
Berdasarkan data yang ada, curah hujan di Kota Semarang mempunyai sebaran yang tidak
merata sepanjang tahun, dengan total curah hujan rata-rata 9.891 mm per tahun. Ini
menunjukkan curah hujan khas pola di Indonesia, khususnya di Jawa, yang mengikuti pola angin
monsun SENW yang umum.
• Suhu minimum rata-rata yang diukur di Stasiun Klimatologi Semarang berubah-ubah dari 21,1
°C pada September ke 24,6 °C pada bulan Mei, dan suhu maksimum rata-rata berubah-ubah
dari 29,9 °C ke 32,9 °C.
• Kelembaban relatif bulanan rata-rata berubah-ubah dari minimum 61% pada bulan September
ke maksimum 83% pada bulan Januari.
• Kecepatan angin bulanan rata-rata di Stasiun Klimatologi Semarang berubah-ubah dari 215
km/hari pada bulan Agustus sampai 286 km/hari pada bulan Januari.
• Lamanya sinar matahari, yang menunjukkan rasio sebenarnya sampai lamanya sinar matahari
maksimum hari, bervariasi dari 46% pada bulan Desember sampai 98% pada bulan Agustus.
Sejarah Kota Semarang
• Mulanya dari dataran lumpur, yang kemudian hari berkembang pesat menjadi lingkungan
maju dan menampakkan diri sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap
banyak pendatang. Mereka ini, kemudian mencari penghidupan dan menetap di Kota
Semarang sampai akhir hayatnya. Lalu susul menyusul kehidupan generasi berikutnya.

• Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang
bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram
Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat
gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus
berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota
Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut.
Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk
ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405
M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang
sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).
Lanskap Kota Semarang
Semarang tidak ada bedanya dengan di kota-kota besar lainnya, berwujud ruang terbuka hijau
yang dipertahankan dan dikitari dengan tanaman jenis pohon yang baru sebagai penghijauannya.
Taman kota yang ada di seputar Lapangan Pancasila, pada awalnya berupa deretan pohon asam
kranji yang pada penataan Kawasan Simapala (Simpang Lima dan Jalan Pahlawan) tahun 1990 tetap
dipertahankan untuk menghindari kesan pembangunan tambal sulam, kemudian disisipi dengan deretan
lampu hias.
Dalam program mewujudkan taman kota bagian tepi dari ruang terbuka hijau tersebut
kemudian ditanami kelapa sawit beberapa lapis, yang kemudian dipindahkan ke koridor jalan yang lain
pada tahun 2011 ketika Kawasan Simapala ditata kembali.
Lapangan Simpang Lima merupakan pengganti alun-alun Semarang yang hilang dan sebenarnya
merupakan ruang terbuka hijau yang dirancang VOC setelah bentengnya dipindahkan dari Jepara ke
Semarang. Ide menjadikan Kawasan Telogo Bayem menjadi alun-alun pengganti diprakarsai Presiden
Soekarno yang sedang berpidato di Semarang. Tetapi sebenarnya sejak masih menjadi bagian dari tanah
milik Oei Tiong Ham (Raja Gula di Asia Tenggara), setelah berlangsungnya Koloniale
Tentoonstelling (1914) yang dirancang Maclaine Pont dan Thomas Karsten bagian kawasan yang
kemudian menjadi Lapangan Simpang Lima tersebut telah direncanakan Thomas Karsten.Perkembangan
taman di Semarang kemungkinan semasa dengan kota-kota lain terpicu oleh slogan Small is
Beautiful pada tahun1970an, sedangkan lanskap yang mewarnai koridor-koridor jalan utamanya telah
mengalami beberapa kali pergantian senyampang jenis pohon yang sedang Trend ditanam.
Sejarah Lanskap Koridor Jalan
di Kota Semarang
Deretan pohon asam di sepanjang koridor sisi utara dari alun-alun Semarang (produk VOC)
kemungkinan ditanam pada saat pembuatan Jalan Pemuda sebagai jalan utama dari Kota Lama,
terutama setelah menjadi bagian dari groote postweg Daendels. Pohon asam kemudian juga ditanam di
sepanjang jalanbesar yang lain, sehingga lanskap Semarang khususnya di koridor-koridor jalan
utamanya pernah diwarnai deretan pohon asam.
Kawasan Kota Lama Semarang tidak banyak ditumbuhi pohon asam, bahkan lebih banyak area
terbangun dari ruang terbuka hijaunya. Taman berukuran cukup besar yang ada adalah parade plein atau
lapangan untuk parade militer di sebelah timur Gereja Blenduk, yang kini disebut Taman Srigunting.

Foto kuno yang menggambarkan sebagian kawasannya memperlihatkan parade plein


merupakan lapangan rumput tanpa pohon-pohon peneduh di sekelilingnya. 1935

Jalan LetjenSuprapto yang pernah menjadi bagian dari groote postweg Daendels terlalu sempit
di kiri-kanannya ditanami pepohonan bertajuk lebar. Deretan pohon asam yang mewarnai
koridor Jalan Alun-alun Utara tidak berlanjut meneruske jalan tersebut melewati Kreteg mBerok, apalagi
setelah gedung Gementee Semarang berada di sisi barat dari Jalan Ranggawarsita disebelah utara
jembatan yang terkenal itu.
Pola lanskap di kawasan Kota Lama sangat mungkin terkait dengan hasil pelebaran Kota Benteng
yang semula hanya di sisi timur Kali Semarang berseberangan dengan Masjid Kampung Melayu menjadi
meluas ke timur.
Kawasan Tawang yang sebelumnya tidak termasuk kawasan Kota Lama dari beberapa foto kuno
semasa dengan kejayaan Stasiun Tawang dapat diketahui lanskapnya ditandai dengan deretan pohon
cemara. Koridor jalan yang menghubungkan Jalan Mataram dan Stasiun Samarang di Kemijen ditandai
dengan deretan pohon cemara, demikian juga disekeliling lapangan di depan Stasiun Tawang yang kini
telah berubah menjadi kolam retensi.

Benteng Pendhem
Stasiun Tawang 1920

Pohon asam yang menaungi rel trem listrik disepanjang jalan-jalan utama di kota Semarang tidak
dipilih untuk mewarnai lanskap korido rarea perkereta-apian dan gudang nya kemungkinan
mempertimbangkan tajuknya yang tidak lebar dan pohonnya meninggi. Fungsinya sebagai elemen
pengarah dan penanda lebih dibutuhkan, serta pertimbangan keberadaannya di daerah sedimentasi.
Hal yang sama juga dapat ditemukan, di hampir semua lapangan rumput yang lebih muda seperti
lapangan Benteng Pendhem, lapangan Sidodadi, lapangan Mugas, lapangan Kalisari disekelilingnya juga
ditanami cemara. Karena tidak memerlukan perawatan yang khusus sebagian dari deretan pohon cemara
tersebut masih ada. Beberapa jalan menggunakan nama-nama tanaman menandai pada koridornya pernah
memiliki lanskap yang ditandai oleh deretan pohon tertentu, atau pernah ada pohon yang khas dan
membedakannya dari lanskap koridordi jalan yang lain.
Jalan di komplek permukiman di Peterongan yang didesain Thomas Karsten banyak menggunakan
nama tanaman buah-buahan seperti mangga, manggis, belimbing, jeruk. Dalam perencanaan Karsten yang
berkonsep kota tropis daerah tersebut dikonsepkan memiliki lanskap yang dibentuk oleh keberadaan
tanaman buah-buahan yang tidak semuanya bertajuk lebar.
Kawasan lain di mana Jalan Beringin, JalanTanjung terletak adalah kawasan kuno yang terbentuk
karena pembuatan Bojong-weg (kini Jalan Pemuda).
Nama jalan-jalan tersebut karena pada koridornya terdapat jenis-jenis pohon yang tidak banyak
terdapat di kawasan yang lain. Di dekat bangunan kuno Pasar Bulu yang telah dirobohkan terdapat Jalan
Karangasem yang deretan pohon asam-nyamasih bertahan sampai sekarang. Bisa jadi karena koridor jalan
tersebut mengantarkan menuju ke komplek militer sehingga lanskapnya masih tetap terjaga. Sebaliknya
koridor Jalan Soegijopranoto yang di kiri–kanannya dahulu juga diwarnai deretan pohon asam telah
berwajah baru akibat beberapa kali pelebaran jalannya, termasuk juga menyebabkan rel tremlistrik
Banjirkanal Barat-Jomblang di sisiselatannya ikut terkubur.
Demikian juga pada koridor Karang balong yang menghubungkan Jembatan Banjir
kanal Barat ke LapanganTerbang Kali Banteng (kini Bandara A.Yani) tidak ada lagi deretan pohon asam.

Jalan Pemuda tempo dulu


Jalan Karangasem tempo dulu
Lanskap Hunian Kota Semarang
Jalur lambat yang pernah ada di sebagian jalan di Semarang telah digantikan trotoar ataupun
hilang. Pada sisi barat dari Kali Sariyang mengalir di sebelah Gereja Katedral Randusari pernah memiliki
jalur lambat untuk lintasan sepeda dan becak yang aman karena dibatasi dengan deretan tanaman
landep yang tumbuh rapat. Meskipun demikian pernah ada truk nyasar yang karena keberadaan pagar
tanaman tersebut tidak sampai tercebur ke Kali Sari.
Jalan Dr.Cipto juga memiliki pagar tanaman sejenis yang membatasi jalur lambatnya yang lebar
dan jalur kendaraan bermotor. Sekarang pada koridor jalannya tertanam pohon yang bertajuk rimbun,
tidak seperti dahulu yang hanya terdapat di deretan sisi barat saja.
Pagar tanaman landep dihiasi dengan bunganya yang berwarna ungu meskipun warna hijau
daunnya tidak menarik. Tanaman beluntas juga pernah digunakan sebagai pagar tanaman pembatas
halaman depan pada rumah tinggal dikampung-kampung. Daun beluntas muda dapatdimanfaatkan
untuk bahan urap-urap dan berfungsi sebagai penangkal bau ketiak. Jenis tanaman lain sebagai
pembentuk pagar tanaman pada masa berikutnya adalah ganyong, puspanyidra berdaun hijau ataupun
merah kecoklatan dan berbunga kuning-jingga yang menarik. Puspanyidra yang tumbuh rapat biasanya
ditanam berderet di sepanjang selokan tanah, tetapi keberadaannya tidak berkaitan dengan nama
kampung seperti Puspanjolo, Puspawarno, Puspagiwang yang semuanya adalah nama Gendhing Jawa.
Puring pada awalnya hanya ditanam dikomplek makam saja, tetapi karena potensi warna
daunnya yang menarik kemudian dijadikan elemen pembentuk pagar halamanrumah. Karena
kesejarahan tumbuhnya makahanya beberapa rumah saja yang memiliki pagartanaman pembatas
halaman depan dari deretanpuring. Pertimbangan tersebut lalu mengikis setelah tanaman puring
bali banyak dijual dikomplek penjualan tanaman hias.
Bunga sepatu, mawar, melati merupakan jenis tanaman yang paling banyak dijadikan
pembentuk tanaman pagar dengan konsep blok, meskipun membutuhkan waktu yang sangat lama agar
tumbuhnya bisa rapat. Tetapi pemilihan Kantil sebagai tanaman khas Jawa Tengah tidak terkait dengan
banyaknya tersebut ditanam sebagai tanaman pagar tetapi mungkin karena bunganya yang berperan
penting dalam ritual yang ditradisikan masyarakat Jawa.
Pada era 1950-1970an ketika sepanjang koridor jalan dan kampung kota Semarang diwarnai
kehadiran bangunan rumah ber-arsitektur Jengki berkembang tanaman teras yang menjadi tabir dan
peneduhnya. Tiang-tiang penyangga atap teras depan dirambati tanaman hias jenis sirih belanda yang
ditanam di pot bunga berukuran kecil atau bola kaca bekas lampu pijar yang diisi air. Atap peneduh
teras depan berbentuk anjang-anjang semacam pergola yang rapat dirambati tanaman sulur-
suluran seperti gambas, labu, sampai ke bustru yang hanya dapat dimanfaatkan serat daging buahnya
untuk tapas penggosok piring.
Perkembangan berikutnya, anjang-anjang menjadi media menjulurnya batang-batang pohon
alamanda, anggur, dan kemudian asparagus. Sebelum bougenville dikenal sebagai satrio wirang karena
warna bunganya yang menarik tanaman ini pernah mewarnai banyak teras depan rumah di Semarang.
Penataan RTH Publik
di Kota Semarang Masa Kini
Ada enam faktor yang mempengaruhi yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumberdaya,
karakterisitik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposisi), komunikasi antar organisasi dan
aktivitas pelaksasana, dan lingkungan ekonomi sosial dan politik.

1. Ukuran dan tujuan kebijakan berkaitan dengan standar luas yaitu 20% RTH publik dari luas
wilayah Kota Semarang belum terpenuhi, tetapi pemerintah Kota Semarang terus menata dan
membangun RTH publik setiap tahunnya agar sesuai perda RTRW tahun 2031 Kota Semarang
sudah dapat memenuhi standar tersebut.
2. Sumber daya menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan kebijakan penataan RTH publik
ini, karena masih ada sumber daya manusia yang tidak memenuhi kompetensi dalam
malaksanakan kegiatan penataan di lapangan dan juga masih kurangnya jumlah anggota di
lapangan dalam mengawasi RTH publik yang ada, pemerintah juga belum meningkatkan
kompetensi pegawai SKPD terkait pemerintah harus menganggarkan penambahan tanaga kerja
non PNS untuk menambah kekurangan jumlah sumber daya manusianya.
3. Faktor Komunikasi antar organisasi dinilai masih ada kekurangan karena proses koordinasi
kegiatan penataan RTH publik di lapangan yang masih belum efisien dan dukungan dari SKPD
lain untuk pembangunan RTH publik juga masih belum maksimal
4. Lingkungan sosial yaitu masyarakat belum semua sadar akan kebutuhan RTH publik di Kota
Semarang, kesadaran akan kebutuhan RTH publik di daerahnya sendiri harus ditingkatkan dengan
mengakses informasi tentang pentingnya RTH publik di Kota Semarang.
Sekian
Terima Kasih.

Anda mungkin juga menyukai