Anda di halaman 1dari 38

1/1/2010

SINEMA DASAR-DASAR
GORENGAN PENGETAHUAN
INDONESIA SINEMATOGRAFI

- | Kusen Dony Hermansyah |


GAYA FILM II :
SINEMATOGRAFI

1. ASPEK KAMERA & FILM

1.1. JENIS KAMERA & FILM

A. Kamera Film dan Film Seluloid

Kamera film pada umunya adalah kamera yang digerakkan secara mekanik,
namun walaupun begitu, banyak yang motor penggeraknya menggunakan baterai. Ada
beberapa macam kamera film, mulai dari ukuran 8 mm, 16 mm, Super 16 mm, 35 mm,
Super 35 mm & 70 mm.

Bolex 16 mm Panavision 35 mm Panavision 35 mm

Gambar 1 (Kamera Film)

kusen_dony_hermansyah
8 mm

16 mm

35 mm

70 mm
Gambar 2 (Film Seluloid)

B. Digital Sinematografi (Video)

Lompatan teknologi yang sedemikian cepat menyebabkan kamera video yang di


masa lalu ‘tabu’ (sulit) untuk dijadikan kamera perekam untuk film, sekarang ini
digunakan justru digunakan untuk membuat film. Benar sekali, digital sinematografi
biasanya menggunakan kamera video, namun beberapa film justru langsung
menggunakan komputer yang di-transfer ke film seluloid untuk presentasinya. Pada
awal penggunaan, kamera video yang dipakai masih menggunakan kaset video sebagai
media perekamnya seperti pada film Dancer in the Dark (2000) karya Lars Von Trier
yang menggunakan kamera Sony PD-150. Akan tetapi, sekarang ini malah banyak yang
menggunakan memory card untuk menyimpan data rekamannya. Para produsen
kamera seluloid pun tidak mau ketinggalan seperti produsen kamera Arri juga
mengeluarkan kamera digital sinematografi yaitu Arri D-20 dan Arri D-21.
Kebanyakan pembuat film masa kini menganggap penggunaan video jauh lebih
murah dibandingkan menggunakan seluloid. Padahal setiap teknologi memiliki
resikonya sendiri, namun sayangnya banyak pembuat film yang justru tidak menguasai
teknologi ini dengan baik. Terkadang mereka menyamakan produksi film dengan
produksi video musik ataupun video pernikahan yang akn berakhir (media presentasi)
pada cakram DVD.
Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan teknologi yang tepat dan baik dari
mulai pra produksi hingga pasca produksi sehingga dapat dihasilkan kualitas gambar
prima.

kusen_dony_hermansyah
Panasonic P2 Sony PMW-EX3 Sony Z1

Red Camera Arri D-21

1.2. TONALITAS

Dalam pembuatan film seorang sinematografer tidak sekedar merekam subjek.


Gambar yang dihasilkan nantinya diharapkan dapat dinikmati dan bisa ikut
mempengaruhi suasana hati (mood) penontonnya, misalnya dalam film horor harus
dibuat suram atau temaram agar suasananya terasa menyeramkan. Oleh karena itu ada
beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu :

A. Kontras
Kontras dalam persepsi visual adalah suatu perbedaan yang bisa ditangkap
mata manusia di mana hal itu dipengaruhi oleh warna dan kecerahan cahaya. Oleh
karena itu, kontras menjadi bagian penting dalam membangun mood film. Penonton
biasanya sudah memiliki konvensi dari pengalaman dan menonton film–film
sebelumnya, sehingga umumnya mereka akan mengharapkan hal yang sama seperti
yang sudah mereka kenal dan ketahui. Misalnya dalam film komedi, pada umumnya
pembuat film akan menggunakan kontras rendah sehingga cahayanya terasa terang–
benderang. Sedangkan dalam film–film noir, kontras akan dibuat sangat tinggi
bahkan seringkali bayangannya (shade) jauh lebih tebal dibandingkan bagian yang
terangnya (light).
Walaupun dalam film tidak selalu begitu dalam penerapannya, misalnya saja
Stanley Kubrick dalam film The Shining (1980) justru menggunakan kontras rendah
padahal film tersebut digolongkan sebagai horor/thriller. Juga apa yang dilakukan
oleh Ingmar Bergman dalam film Wild Strawberries (1957), yang justru menggunakan
kontras tinggi untuk menggambarkan mimpi–mimpi tokohnya.

kusen_dony_hermansyah
B. Brightness (Kecerahan)

Brightness merupakan atribut dari persepsi visual di mana tampaknya benda


memancarkan atau memantulkan cahaya. Semakin tinggi brightness maka semakin
rendah kontrasnya, demikian pula sebaliknya.
Seperti yang sudah disinggung di atas, maka brightness tinggi sering
digunakan pada film-film komedi atau film dengan setting ruang yang menuntut
logika demikian, contohnya film Lawrence of Arabia (1962) karya David Lean ataupun
The Mummy (1999) saat adegannya menggunakan setting padang pasir.
Sekali lagi, tentu saja hal di atas bukanlah kaidah mutlak, sebab banyak yang
menggunakan brightness tidak selalu disesuaikan dengan logika realitas maupun
logika film, misalnya film Three Colors : Blue (1993) karya Krzysztof Kiezlowski yang
menggunakan brightness rendah yang tentu saja membuat nuansanya menjadi
suram, namun memang itulah tujuan dari sang sutradara sebab dia ingin
menggambarkan kesedihan yang mendalam seoarang perempuan yang ditinggal mati
anak serta suaminya.

C. Warna
Hingga akhir tahun 1930-an stock film B&W masih digunakan namun sekitar
tahun 1960-an hampir tidak digunakan lagi. Namun mulai tahun 1980-an film Raging
Bull justru menggunakan film B&W juga Schindler’s List

1.3. KECEPATAN DALAM FILM


Kecepatan gerak film di dalam kamera pada awalnya tidaklah terlalu diperhatikan,
bagaimanapun apabila seseorang membuat film dengan kecepatan tertentu dan memutar
dengan proyektor dengan kecepatan yang sama maka seluruh gerak subjek di layar akan
normal. Namun kemudian permasalahan muncul saat adanya suara, karena ternyata
kecepatan suara terutama manusia tidak bisa sembarangan menggunakan kecepatan.
Setelah melalu banyak percobaan, maka kecepatan normal untuk suara manusia singkron
dengan 24 gambar per detik (frame per second / fps) dari kecepatan film di dalam kamera.
Oleh karena itu di dunia film, kecepatan tersebut lebih sering dikenal dengan istilah sound
speed.

Akan tetapi kreativitas manusia tidak bisa dibatasi, sehingga kecepatan film di dalam
kamera yang awalnya hanya mengejar normal, akhirnya digunakan juga kecepatan yang
melebihi normal (> 24 fps) dan kurang dari normal (< 24 fps). Masalahnya, bagaimana
kalau kecepatan tersebut diputar di proyektor dengan kecepatan normal ? Tentu saja
hasilnya akan berbeda. Bila kecepatan yang digunakan lebih dari 24 fps, seperti 48 fps, 72
fps atau bahkan di atas 300 fps, maka bila diputar di proyektor dengan kecepatan normal
akan menghasilkan gerak subjek yang lambat atau dikenal dengan istilah slow motion.

kusen_dony_hermansyah
Gerak ini sering digunakan untuk penekanan dramatik dalam film drama atau bahkan film
laga.
Namun bila sebaliknya kecepatan yang digunakan kurang dari 24 fps, seperti 12 fps, 8 fps
atau di bawah itu, maka bila diputar di proyektor dengan kecepatan normal akan
menghasilkan gerak subjek yang cepat atau dikenal dengan istilah fast motion. Gerak ini
banyak digunakan pada film komedi atau film yang membutuhkan gerak komikal.

Selain gerak di atas kamera film juga memiliki kemampuan untuk diputar mundur,
sehingga seluruh gerak subjek pun menjadi mundur atau dikenal dengan reverse motion.
Sekarang untuk membuat gerak yang demikian, lebih banyak dikerjakan di laboratorium
untuk yang menggunakan seluloid atau di komputer editing untuk yang menggunakan
teknologi video.

A. Reverse Motion
Film-film tertentu yang mencoba menggunakan gerak ini secara naratif, misalnya Click
dan The Rules of Attraction.

1.4. LENSA

Sebenarnya lensa berfungsi untuk meneruskan cahaya dengan kekuatan penuh agar
pembingkaian dapat berjalan baik. Maka pembuat film harus memahami benar akan
adanya lensa ini. Bila coba digambarkan dilihat dari sudut penangkapannya maka ada
beberapa macam-macam lensa :

A. Lensa Normal
Lensa ini disebut lensa normal karena daya tangkapnya mendekati mata manusia
normal dalam melihat benda atau subyek tertentu. Dalam kamera film 35 mm lensa
normalnya adalah 35 - 50 mm sedangkan untuk kamera film 16 mm lensa normalnya
adalah 25 mm.

B. Lensa Wide
Disebut lensa wide karena daya tangkapnya lebih luas dari daya tangkap mata manusia
dalam melihat benda atau subyek tertentu. Dalam kamera film 35 mm lensa wide
adalah lensa yang ukurannya kurang dari 35 mm sedangkan untuk kamera film 16 mm
lensa wide ukuruannya kurang 25 mm. Lensa ini biasanya memiliki jarak tangkapan,
semakin jauh posisi kamera dari subyeknya maka daya tangkapnya akan semakin
terlihat luas. Namun bila jaraknya kurang dari jarak yang seharusnya maka gambar akan
terlihat tidak wajar atau sering disebut distorsi.

C. Lensa Tele
Lensa telephoto atau sering disebut dengan lensa tele saja adalah sebuah lensa yang
dapat memperlihatkan subyek menjadi dekat walaupun jarak pengambilannya jauh.
kusen_dony_hermansyah
D. Lensa Zoom
Lensa zoom atau sering disebut variable focal length, merupakan lensa yang dapat
digerakkan dan dapat mengubah kedalaman (perspektif) dari sebuah gambar.

Bila coba digambarkan dilihat dari sudut penangkapannya maka beberapa lensa yang
disebutkan di atas :

WIDE

NORMAL

TELE

Gambar 1.4.1 (tampak atas)

1.5. FOKUS
Hebatnya Tuhan menciptakan mata untuk manusia adalah bahwa mata seseorang
cenderung dapat menangkap apa yang dilihatnya dengan jelas atau tajam. Tentu saja ini
berlaku untuk mata yang masih normal. Sedangkan lensa yang merupakan ‘jiplakan’ dari
mata ini memiliki keterbatasan terutama masalah area penangkapannya, bahkan terkadang
pada lensa-lensa tertentu hanya satu atau beberapa hal saja yang dapat dilihat dengan
tajam atau jelas. Area jelas dan tajam inilah yang di dalam film dan fotografi dikenal
dengan depth of field. Namun dengan keterbatasan ini, banyak pembuat film dapat
memanfaatkan untuk dijadikan bahasa sinematik.

kusen_dony_hermansyah
blur focus blur

1/3 2/3

Depth of Field

Gambar 1.5.1 (Tampak Atas)

focus jelas
focus blur

jelas

Gambar 1.5.2 Gambar 1.5.3

A. Selective Focus
Merupakan focusing yang memilih pada daerah tertentu pada gambar. Umumnya
pembuat film akan menggunakan metode ini karena dianggap yang paling mudah untuk
mengarahkan mata penonton kepada subjek yang dipilih oleh pembuatnya.

kusen_dony_hermansyah
Gambar 1.5.A.1 Gambar 1.5.A.2

B. Deep Focus
Cara ini memanfaatkan kemampuan daya tangkap lensa lebar (wide) yang memiliki jarak
depth of field yang panjang sehingga nyaris seluruh bagian dalam layar terlihat jelas
bahkan tajam. Orson Welles, John Ford dan Kenji Mezoguchi merupakan sedikit dari
sekian banyak sineas yang bisa menggunakan deep focus justru untuk bercerita. Dalam
Citizen Kane (1941), Welles menggunakan lensa 18mm

Banyak juga sinematografer untuk bisa mendapatkan deep focus ini memaksimalkan
kemampuan lensa dengan memanfaatkan hyperfocal distance-nya yaitu jarak dari lensa
ke suatu titik focus dimana dari titik focus tersebut ke jarak tak terhingga (infinity)
terlihat tajam.

Gambar 1.5.B.1 Gambar 1.5.B.2

C. Rack Focus
Merupakan pengembangan dari selective focus, di mana biasanya ada pergantian fokus
dari benda atau bagian (mise en scene) di dalam layar. Baik pergantiannya dari bagian
depan ke bagian belakang atau sebaliknya, bahkan terkadang pergantiannya bisa tiap
benda yang ada di layar. Istilah yang umum untuk rack focus di lokasi shooting adalah
change focus.

kusen_dony_hermansyah
blur focus blur
focus

Gambar 1.5.C.1 Gambar 1.5.C.2

focus blur blur focus

1.6. SPECIAL EFFECT (EFEK KHUSUS)


Wujud visual buatan atau mekanis yang diperkenalkan ke dalam film atau acara televisi.
Efek khusus awalnya dari ketidaksengajaan, misalnya apa yang dilakukan Melies (awal
1900) yang mengetahui bahwa kamera bisa membuat subjek orang menghilang tanpa
harus menggunakan trik sulap. Namun pada masa itu, melies sendiri sudah membuat
beberapa visualisasi yang artifisal guna mempertontonkan dongengnya yaitu dengan
membuat bulan, matahari, kedalaman lautan, kereta api dan sebagainya.

Pada masa yang sama di Brighton, Inggris, George Albert Smith pernah juga membuat efek
khusus hantu untuk menggambarkan roh Mary Jane di kuburan dalam filmnya Mary Jane
Mishap, di mana tokohnya meninggal dunia karena ledakan kompor di dapurnya. Cara
yang dipergunakan oleh G.A. Smith ini disebut superimpose yang tekniknya sama dengan
double exposed dalam bidang fotografi. Dengan trik kamera pula James Williamson sempat
membuat film berjudul Big Swallow yang menggambarkan seorang lelaki yang banyak

kusen_dony_hermansyah
bicara dan makin lama mulutnya makin mendekat kamera sampai menelan sang
kamerawannya.

1.6.1 (teknik superimpose )

Efek khusus juga pernah dibuat oleh Edwin Stanton Porter saat shooting film The Great
Train Robbery (1903) di mana ia memanfaatkan film pemandangan bergerak yang
diproyeksikan ke layar dan berfungsi sebagai latar belakang tokohnya. Teknik ini dikenal
dengan back-screen projection. Pada tahun 1960-1970an, teknik ini banyak digunakan
untuk adegan mobil yang sedang dikendarai tokoh misalnya dalam film North By Northwest
(1959) karya Alfred Hitchcock.

Fleksibilitas yang lebih besar datang dengan perkembangan printer optik, yang
memungkinkan untuk menggabungkan bagian gambar dari satu shot dengan bagian
gambar dari shot yang lain, sehingga memungkinkan untuk efek seperti tokoh yang terbang
di udara atau dua gambar terpisah yang bisa dilihat dalam satu layar (split screen).

1.6.2 (teknik splitscreen )

Efek khusus juga telah dibuat secara mekanis di set melalui penggunaan perangkat seperti
kawat, bahan peledak, dan wayang dan bahkan membangun model miniatur untuk
mensimulasikan epik seperti adegan pertempuran. Dalam film Crimson Tide (1995), kapal
selam yang digunakan adalah miniatur yang diikat kuat di dalam sebuah studio dengan
pencahayaan rendah berwarna biru. Jadi sama sekali tidak ada unsur air di dalamnya.
kusen_dony_hermansyah
Cliffhanger (1993) juga menggunakan miniatur untuk memperlihatkan helikopter yang
tertabrak tebing.

1.6.3. film Cliffhanger 1.6.4. film Crimson Tide

1.6.5 1.6.6

Meningkatnya penggunaan komputer menghasilkan teknik animasi dan efek visual yang
semakin rumit dan nyaris realistik. Meskipun sebelumnya setiap perusahaan (studio) film di
Hollywood memiliki departemen efek khusus sendiri, namun sekarang banyak yang digantikan
oleh teknik animasi komputer dan efek visual yang disebut dengan computer generated
imagery (CGI). Salah satu perusahaan swasta yang dibangun oleh George Lucas, Industrial Light
& Magic merupakan pionir di bidang ini serta mampu merevolusi visualisasi yang awalnya
mustahil. Beberapa film yang dikerjakan adalah trilogy Star Wars awal yaitu : Star Wars (1977),
The Empire Strikes Back (1980) dan The Return of the Jedi (1983). Setelah itu perkembangan
animasi dan efek visual menjadi sangat maju karena juga perkembangan teknologinya yang
semakin canggih dan luar biasa. Seperti yang dilakukan Spielberg dalam film Jurasic Park (1993)
untuk membuat dinosaurusnya menjadi sangat hidup di layar dan tidak terasa efek visualnya.

kusen_dony_hermansyah
1.6.7 1.6.8

2. FRAMING

2.1. ASPECT RATIO


Merupakan perbandingan tinggi dan lebar layar. Semakin lebar layarnya, konsekuensi
dalam mengisi mise en scene-nya semakin luas, juga aspek camera set up-nya

1: 1.33 1: 1.66 1: 1.85

1: 2.35

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk membedakan aspect ratio di atas :
1. Academy Standard untuk aspect ratio 1 : 1,33
2. European Widescreen untuk aspect ratio 1 : 1,66
3. American Widescreen untuk aspect ratio 1 : 1,85
4. Cinemascope untuk aspect ratio 1 : 2,35

kusen_dony_hermansyah
Academy Standard

kusen_dony_hermansyah
2.2. JARAK
Secara umum seorang pembuat film pasti akan menentukan jarak dari kamera ke
subyeknya yang akan diwujudkan dengan Type Of Shot (Frame Size) agar dapat
mengkomunikasikan gagasannya kepada penonton. Karena kebanyakan film yang dibuat
berhubungan dengan manusia, maka acuan type of shot adalah wajah manusia dan secara
besar dibagi menjadi 3 ukuran yaitu :

Wide Shot (WS) / Long Shot (LS), Medium Shot (MS) dan Close Up (CU), namun ketiga ukuran
tersebut memiliki variasinya masing-masing. Wide Shot / Long Shot secara mendasar memiliki
fungsi untuk menginformasikan lingkungan (ruang kejadian) tokoh. Ada beberapa variasinya
yaitu :

1. Ekstrem Long Shot (ELS / XLS)

Biasanya dalam ukuran ini tokoh jarang terlihat sebab yang ingin diperlihatkan adalah
tempat kejadian secara luas. Sehingga banyak pembuat film yang membuat shot dengan
elemen visual tempat-tempat yang dikenal oleh masyarakat seperti Monas yang
menunjukkan Jakarta, Patung Liberty yang menunjukkan New York dan lain sebagainya

kusen_dony_hermansyah
2. Long Shot (LS)

Biasanya dibuat untuk menunjukkan suasana lingkungan dari tokoh film tersebut, seperti
gambar yang terlihat dimana terdapat suasana ruang kantor dan suasana panggung
terbuka.

3. Full Shot (FS)

Biasanya seluruh tubuh tokoh diperlihatkan dari kepala hingga ujung kaki, hal ini
dimaksudkan agar penonton dapat melihat seluruh gestur (gerak tubuh) tokoh dan sedikit
aktivitas lingkungannya.

4. Medium Long Shot (MLS) atau sering dikenal dengan Knee Shot (KS)
kusen_dony_hermansyah
Ukuran ini sebenarnya digunakan pada film-film western (koboi) dan fungsinya adalah agar
pistol yang ada di bawah pinggang sang koboi dapat terlihat jelas oleh penonton, sebab
kalau menggunakan Full Shot maka pistol tersebut dianggap terlalu jauh.

5. Medium Shot (MS) tidak memiliki variasi sebab hampir seluruh type of shot yang
menggunakan medium diambil ke Long Shot atau ke Close Up. Oleh karena itu type of shot
ini memiliki keunikan sendiri yaitu bahwa gestur tokoh terlihat lebih jelas namun
lingkungannya hampir tidak terlihat, jadi pusat perhatian penonton diarahkan pada gerak
tubuh tokohnya saja.

Close Up secara mendasar memiliki fungsi untuk menginformasikan ekspresi wajah tokoh.
Ada beberapa variasinya yaitu :

5. Medium Close Up (MCU)

kusen_dony_hermansyah
Ukuran ini sering dianggap cocok untuk memperlihatkan shot yang sifatnya intim
(menggambarkan kedekatan) sehingga banyak sekali adegan dialog dalam film
menggunakan type of shot ini terutama dialog-dialog yang normal artinya tidak ada
penekanan dramatik

6. Close Up (CU)

Banyak pembuat film yang memanfaatkan ukuran ini untuk memperlihatkan ekspresi wajah
si tokoh dengan lebih jelas, baik marah, sedih, gembira dan lain-lain.

Biasanya dibuat untuk menunjukkan suasana lingkungan dari tokoh film tersebut, seperti
gambar yang terlihat dimana terdapat suasana ruang kantor dan suasana panggung
terbuka.

Dua type of shot terakhir biasanya difungsikan untuk memberi penekanan dramatik kepada
ekspresi wajah tokoh.

7. BIG CLOSE UP (BCU)

kusen_dony_hermansyah
8. EXTREME CLOSE UP (ECU / XCU)

Ada pertanyaan lain yaitu bagaimana kalau yang dibuat shot bukan wajah tokoh atau
mungkin benda lain ? Juga bagaimana kalau yang di-shoot lebih dari satu orang. Memang
ada type of shot lain diluar yang telah dibahas di atas, ada beberapa macam yang juga
sering digunakan oleh para pembuat film antara lain :

9. CLOSE SHOT (CS)

Ukuran ini banyak digunakan untuk menyebut type of shot dalam bentuk padat namun
bukan wajah tokoh atau mungkin malah benda lain seperti arloji, buku, botol dan lain-lain.

Namun ukuran dan istilah ini tidaklah mengikat, artinya ada juga pembuat film yang lebih
senang atau terbiasa menggunakan istilah Close Up (CU) untuk mengkomunikasikan ukuran
ini.
kusen_dony_hermansyah
10. TWO SHOT & THREE SHOT

Ukuran ini digunakan untuk menyebut type of shot yang tokohnya lebih dari satu orang.
Type of shot yang di dalamnya ada dua orang disebut two shot, sedangkan yang tiga orang
disebut three shot. Namun bila tokohnya lebih dari tiga orang maka ukuran shot tersebut
lebih banyak digolongkan pada ukuran Long Shot (LS).

Two Shot

Three Shot

Ada penyebutan yang lain untuk shot-shot dialog walaupun secara mendasar menggunakan
ukuran Medium Shot ataupun Close Up namun banyak pembuat film lebih nyaman
menyebutnya dengan Over Shoulder Shot. Biasanya digunakan untuk memberi penekanan
pada sudut pandang tokoh dan penonton tetap merasakan kehadiran tokoh lain di dalam
bingkai tersebut.

Contohnya :

kusen_dony_hermansyah
Setelah kita mengenal ukuran bingkai dalam membuat film, maka selanjutnya kita juga
wajib mengenal dimana seorang pembuat film meletakkan kameranya atau dikenal dengan
Camera Angle (sudut pengambilan kamera).

2.3. SUDUT (CAMERA ANGLE)


Setelah kita mengenal ukuran bingkai dalam membuat film, maka selanjutnya kita juga
wajib mengenal dimana seorang pembuat film meletakkan kameranya atau dikenal dengan
Camera Angle (sudut pengambilan kamera).

Camera Angle ini diukur dari tinggi dan rendahnya tokoh, artinya kamera dapat diletakkan
sejajar, lebih tinggi atau lebih rendah dari tokoh dan akan memiliki dampak psikologis yang
berbeda satu sama lain.

TOP ANGLE

HIGH ANGLE
EYE LEVEL

LOW ANGLE

FROG EYE VIEW


/ WORM EYE
VIEW

kusen_dony_hermansyah
Ada tiga macam Camera Angle yang dikenal dalam dunia film yaitu :

1. EYE LEVEL
Angle disebut eye level apabila tinggi mata tokoh / suatu benda dianggap sejajar dengan
lensa kamera. Secara psikologis angle ini menganggap sejajar tokoh.

Contohnya :

2. HIGH ANGLE
Apabila tinggi mata tokoh / suatu benda lebih rendah dari lensa kamera dan pada variasi
paling ekstrem disebut Bird Eye View atau Top Anlge. Secara psikologis angle ini
menganggap rendah tokoh.

Contohnya :

High Angle

Bird Eye View / Top Angle

kusen_dony_hermansyah
3. LOW ANGLE
Apabila tinggi mata tokoh / suatu benda lebih tinggi dari lensa kamera dan pada variasi
paling ekstrem disebut Frog Eye View / Worm Eye View.

Contohnya :
Low Angle

Frog Eye View / Worm Eye View

Namun selain ketiga angle di atas, ada satu macam angle lagi yang biasa digunakan untuk
menggambarkan keadaan yang tidak stabil.

kusen_dony_hermansyah
4. CANTED ANGLE / CRAZY ANGLE / DUTCH ANGLE

Posisi kamera sebenarnya bisa menggunakan ketiga angle yang ada, namun dibuat miring
ke kiri atau ke kanan (tidak seimbang / tidak tegak lurus dengan subjek). Umumnya
pembuat film menggunakan angle ini untuk menunjukkan perasaan yang sedang tidak
stabil, misalnya gundah, galau dan lain sebagainya.

Di bawah ini adalah berbagai macam contoh dari Canted Angle atau Dutch Angle :

Kedua hal tersebut di atas dapat diambil dengan baik bila kita dapat memahami adanya
aspek teknis dari kamera yaitu lensa.

2.4. GERAK KAMERA (CAMERA MOVEMENT)

Yang membedakan film dengan seni visual lainnya seperti seni lukis, fotografi dan lain-lain
adalah adanya gerak fisik dari subyek dan kameranya. Ada beberapa macam gerak kamera
yang harus diketahui oleh seorang pembuat film. Namun sebelum membahas macam-
macam gerak kamera tersebut, kita harus dapat menjawab MENGAPA ? dan KAPAN ?

kusen_dony_hermansyah
Artinya mengapa kita membuat kamera yang kita gunakan harus bergerak apakah ingin
menunjukkan lingkungan ? apakah ingin mengikuti gerak tokoh ? atau apa saja yang
memungkinkan alasannya jelas terlihat di layar dan masuk akal.

Lalu kapan kamera harus bergerak dan kapan juga kamera harus berhenti juga diposisi
mana kamera tersebut harus berhenti. Ini menjadi penting agar gerak kamera kita terlihat
bahwa memang telah terkonsepkan dan bukan hanya karena rasa suka atau karena
perasaan kita yang mengatakan harus bergerak.

Sekali lagi gerak kamera ini harus memiliki motivasi atau alasan yang kuat melakukannya
agar kita sebagai pembuat dapat membayangkan apa yang akan dilihat penonton dan tidak
hanya memikirkan kesenangan kita sendiri.

Setidaknya ada lima macam gerak kamera yang harus diketahui. Pertama, gerak kamera
yang bertumpu atau berporos pada tripod kamera

1. PAN
Pan merupakan kependekkan dari kata panoramic. Karena berpusat pada tripod, maka
gerak kamera ini hanya bisa berputar sehingga gerakannya hanya bisa ke kiri (pan left)
atau ke kanan (pan right).

PAN LEFT

PAN RIGHT

kusen_dony_hermansyah
2. TILT

Tilit juga berpusat pada tripod dan gerakan kamera ini hanya bisa ke atas (tilt up)
ataupun ke bawah (tilt down)

TILT DOWN

TILT UP

gambar tampak samping

3. TRACK

Gerak ini biasanya dibantu sebuah kereta yang berjalan di atas rel dan disebut Dolly
Track. Kamera diletakkan di atas Kereta Dolly sehingga gerak kamera hanya terbatas
pada gerak maju (track in), mundur (track out), gerak lurus ke samping kanan (track
right) dan gerak lurus ke samping kiri (track left). Gerak track in dan track out tidak
menyebabkan berubahnya perspektif atau kedalaman dari gambar yang dibuat.

kusen_dony_hermansyah
gambar Dolly Track & Circle

TRACK RIGHT

TRACK LEFT

gambar tampak atas

kusen_dony_hermansyah
TRACK IN

TRACK OUT

gambar tampak atas

4. CRANE

Gerak ini juga dibantu dengan sebuah alat yang disebut Dolly Crane, dimana alat
tersebut dapat berjalan di atas rel ataupun diam. Alat ini memiliki sebuah palang yang
panjang menjulur ke depan badanya yang mirip belalai.

Gerak crane ini jauh lebih bebas dibandingkan Dolly Track, namun banyak pembuat film
yang menggunakan gerak dari alat ini hanya gerak lurus vertikal dari bawah ke atas
(crane up) atau sebaliknya dari atas ke bawah (crane down).

kusen_dony_hermansyah
CRANE UP

CRANE DOWN

gambar tampak samping

kusen_dony_hermansyah
5. HAND HELD

Pada masa lalu gerak ini terjadi karena kamera dipanggul oleh kamerawannya dan
gambar yang dihasilkan adalah gambar yang penuh dengan guncangan seperti yang
dipakai dalam film televisi NYPD Blue atau film Saving Private Ryan.

Pada masa kini, pada kamera-kamera kecil cukup digenggam oleh telapak tangan.
Namun dalam film ada inovasi alat yang bernama Steadycam yang dapat mengurangi
guncangan dan geraknya cenderung halus (smooth)

gambar kamera hand held

kusen_dony_hermansyah
gambar alat bantu untuk hand-held kamera

gambar kamera yang dipasang pada alat steadycam

3. KOMPOSISI VISUAL
Secara sederhana adalah pengaturan seluruh elemen visual dan pembingkaiannya agar
didapatkan gambar yang diinginkan atau setidaknya nyaman untuk dilihat oleh penonton.
Terutama sekali adalah point of interest dari sebuah gambar. Ada beberapa prinsip dasar
komposisi visual di antaranya :

A. Simplicity (Sederhana)
Komposisi visual ini sesuai namanya adalah yang sering digunakan oleh kebanyakan
manusia. Ketika seseorang memiliki sebuah benda di dalam sebuah bingkai (frame)
umumnya benda tersebut akan diletakkan ditengah agar mudah dikenali atau dilihat oleh
penontonnya, misalnya :

kusen_dony_hermansyah
Gambar 3.A.1 Gambar 3.A.2

B. Menggunakan Garis Untuk Menuntun Kepada Kesatuan


Pembuat film juga bisa menggunakan mise en scene yang membentuk garis untuk
menuntun perhatian penonton agar memiliki kesatuan dengan ruangnya.

Gambar 3.B.1 Gambar 3.B.2

Gambar 3.B.3 Gambar 3.B.4


kusen_dony_hermansyah
Dari gambar–gambar di atas, kita bisa mengarahkan perhatian penonton seperti yang
diinginkan. Pada gambar 3.B.1, penonton diharapakan bisa ikut menyusuripagar putih
sebelum berakhir pada tokohnya. Hal ini mirip dengan gambar 3.B.2, hanya saja
penonton diarahkan untuk melihat repetisi garis yang semakin mengerucut pada
tokohnya yang berbaju merah. Sedangkan pada gambar 3.B.3 dan 3.B.4, mata penonton
dipaksa untuk mengikuti lengkungan garis yang ada pada bingkai.

C. Rules of Third (Prinsip Sepertiga)


Prinsip ini sering dianggap dasar bagi para pembuat film, terutama untuk membagi ruang
di dalam bingkai agar mudah dicerna oleh penonton. Prinsipnya baik tinggi bingkai
(vertikal) maupun panjang bingkai (horizontal) dibagi menjadi tiga bagian, sehingga saat
meletakkan benda atau orang dalam biasanya diletakkan di garis yang membelahnya.

Gambar 3.C.1 Gambar 3.C.2

Misalnya ada gambar gedung sekolah dan langit, maka bila pembuat filmnya salah
membagi maka penonton akan salah juga mengartikannya.

Gambar 3.C.3 Gambar 3.C.4

Pada gambar 3.C.3, penonton dipastikan akan mengatakan bahwa itu adalah gedung
sekolah dan bukan langit sebab bagian gedung tersebut menguasai duapertiga bagian

kusen_dony_hermansyah
bingkai. Sebaliknya gambar 3.C.4, penonton akan mengatakan bahwa itu adalah gambar
langit karena isi bagian gedungnya tidak sampai sepertiga bagian.

Gambar 3.C.3 Gambar 3.C.4


D. Balance (Seimbang)
Selain menggunakan beberapa cara di atas, bila seorang pembuat film memang ingin
memperlihatkan dua hal yang sama-sama kuat dan penting, maka bisa menggunakan
komposisi seimbang.

Gambar 3.D.1 Gambar 3.D.2

Komposisi seimbang seperti di atas sering dikenal dengan komposisi seimbang yang
simetris (symmetric balance) sebab kedua mise en scene yang diletakkan memiliki
kekuatan atau posisi yang sama pentingnya. Adapula komposisi seimbang yang tidak
simetris (asymmetric balance) seperti yang terlihat pada gambar 3.D.3. Banyak pembuat
film yang menganggap asymmetric balance lebih menarik sebab ada upaya dalam
memperbandingkan.

kusen_dony_hermansyah
3.D.3

4. POINT OF INTEREST (PUSAT PERHATIAN)


Sekali lagi bahwa komposisi visual digunakan untuk membuat point of interest bagi
penonton, sehingga ada tiga hal dalam mise en scene yang bisa dijadikan sarana untuk
membuatnya. Biasanya mata penonton akan dituntun untuk melihat kontras di dalam mise
en scene-nya:

A. Bentuk / Posisi

Gambar 4.A.1 Gambar 4.A.2

Pada gambar 4.A.1, penonton akan melihat terlebih dahulu orang yang berdiri
dibandingkan yang duduk, sedangkan pada gambar 4.A.2, penonton akan melihat patung
ibu yang menguasai layar terlebih dahulu dibandingkan patung anaknya.

kusen_dony_hermansyah
B. Cahaya

Gambar 4.B.1 Gambar 4.B.2

Penonton juga memiliki kecenderungan untuk melihat cahaya (light) terlebih dahulu
dibandingkan bayangannya (shade), sehingga pada gambar 4.B.1 mata penonton akan
mengarah pada bagian lelaki yang cahayanya jauh lebih terang dan juga pada gambar
4.B.2, mata penonton akan melihat garis cahaya yang masuk ke dalam gedung
dibandingkan ruangan itu sendiri.

C. Warna

Gambar 4.C.1 Gambar 4.C.2

Gambar 4.C.3

kusen_dony_hermansyah
Pada gambar 4.C.1 dan 4.C.3, mata penonton akan cenderung terarah pada warna yang
menyolok terlebih dahulu yaitu warna merah baju (4.C.1) dan celana (4.C.3). Sedangkan
pada gambar dua orang yang sedang memotret 4.C.2, mata penonton akan diarahkan
pada pemotret yang mengenakan baju yang lebih terang warnanya.

5. DURASI SHOT

A. Short Take
Pengambilan dengan durasi ini umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
materi editing walaupun dalam sejarahnya, pada saat kelahiran sinema Lumiere
bersaudara melakukan pengambilan gambar dalam beberapa detik saja. Namun pada
perkembangan sinema selanjutnya, editing menjadi sarana yang ampuh untuk
membuat penonton beranjak dari kursinya. Apalagi sejak ditemukan dan dituliskannya
teori editing oleh sineas Sovyet (Russia) yang sangat termasyhur seperti Lev Khulesov,
Vsevolod I. Pudovkin, Sergei Eisenstein dan sebagainya.

Dengan penggunaan short take, penonton sesungguhnya hanya diberi informasi yang
sedikit dari setiap shotnya sebab dalam hitungan detik maka sebuah shot akan berganti
dengan shot lainnya. Tentunya penonton hanya akan melihat mise en scene yang
menjadi pusat perhatiannya (point of interest) saja. Tentu saja urusan waktu akhirnya
hanya menjadi kesan dari konstruksi banyak shot yang dirangkai.

B. Long Take
Lawan dari metode di atas tentu saja adalah long take, suka atau tidak Lumiere
bersaudaralah yang mempeloporinya, walaupun setelah itu muncul para pelopor lain
seperti George Melies dan Edwin Stanton Porter yang juga menggunakannya. Namun
long take dalam film-film mereka berdua lebih terasa karena cutting (penyambungan)
lebih digunakan untuk meneruskan cerita belaka.

Dengan perkembangan waktu, long take-pun berubah sebab yang dari awalnya 1 menit
hingga 2 menit sudah dianggap long take, namun semakin teknologinya perkembang,
durasi long take juga menjadi semakin panjang. Sampai suatu saat ada sutradara
seperti F.W. Murnau yang mencobanya dalam Last Laugh (1924), walaupun belum
seekstrem Alfred Hitchcock saat membuat Rope (1948) di mana ia menghabiskan satu
can film untuk untuk membuat adegan-adegannya. Akan tetapi bagaimanapun juga,
para sineas di atas masih dibatasi oleh teknologi film pada masa itu yang memang
belum mampu membuat bahan baku yang tidak terputus selama satu hingga dua jam.

Ketika teknologi itu muncul, benar saja ada seorang sutradara bernama Alexander
Sokurov yang akhirnya membuat film Russian Ark (2002). Ia memanfaatkan teknologi
kusen_dony_hermansyah
kamera video Cine-Alta dan merancang baterai yang mampu bertahan hingga lebih dari
satu setengah jam agar didapatkan seperti yang ia inginkan.

Long take ini akhirnya menjadi suatu gaya dalam film yang muncul karena pembuatnya
merasa dapat lebih memaksimalkan waktu yang berjalan. Steven Spielberg pernah
mengatakan bahwa dalam sebuah still frame shot yang diambil long take,
sesungguhnya penonton diajak menelusuri mise en scene satu per satu yang ada di
layar, sehingga detil dari setting (termasuk properti), kostum, cahaya bahkan gestur
serta ekspresi tokohnya akan diperhatikan dengan seksama. Seperti yang banyak
dilakukan oleh Kenji Mizhoguci dalam banyak filmnya. Dengan begitu penonton bisa
merasakan berjalannya waktu tanpa didikte oleh editing.

Sedangkan untuk shot yang diambil long take dengan menggunakan mobile frame,
penonton justru dipaksa melihat seluruh pergerakan yang terjadi di layar. Dalam film
Russian Ark penonton dipaksa terus mengikuti pendongeng ke manapun ia pergi.
Begitu pula pada adegan awal The Bonfire of the Vanities (1990) karya Brian De Palma
yang memperlihatkan Peter Fallow (Bruce Willis) dimulai saat turun dari mobil, berjalan
sambil berpakaian hingga masuk ke atas panggung, di mana adegan itu berdurasi lebih
dari 5 menit tanpa jeda sekalipun.

Sedangkan dalam The Player (1992) karya Robert Altman, penonton dipaksa melihat
seluruh kejadian di sekitar luar lingkungan kerja tokoh di mana ia banyak menggunakan
gerak panning, tilt dan zoom agar dapat menangkap detil setiap adegan yang
diperlihatkan dari adegan beberapa orang yang sedang berdebat, sekelompok orang
yang sedang berbaris dan sebagainya.

kusen_dony_hermansyah

Anda mungkin juga menyukai