Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

HIGH MIOPIA PADA KEHAMILAN

Disusun Oleh :

dr. Agus Andy Hendrayana

Pembimbing :

dr. Putu Ary Ratih Ratnawati, Sp.OG

Pendamping :

dr. Ketut Suartini

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT BHAKTI RAHAYU TABANAN, BALI

PERIODE 8 FEBRUARI 2019 - 8 FEBRUARI 2019


BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Nama : dr. Agus Andy Hendrayana

Judul/Topik : High Miopia Pada Kehamilan

Nama Pendamping : dr. Ketut Suartini

Nama Wahana : Rumah Sakit Bhakti Rahayu Tabanan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Dokter Pendamping

dr. Ketut Suartini


BAB I

PENDAHULUAN

Myopia adalah kelainan pada mata yang paling umum, yang


mempengaruhi kira-kira satu milyar orang di seluruh dunia. Berbagai perubahan
yang timbul pada tubuh kita selama hamil dan melahirkan, termasuk pada mata.
Ada berbagai macam perubahan fisiologis dan patologis yang terjadi pada mata
yang dapat timbul selama kehamilan dan melahirkan. Myopia diklasifikasilan
menjadi sangat ringan < 3 dioptri, sedang 3-6 dioptri, dan tinggi > 6 dioptri.
Myopia (minus) dapat diklasifikasikan sebagai myopia simpleks dan myopia
patologis. Myopia simpleks biasanya ringan dan myopia patalogis hampir selalu
progresif. Keadaan ini biasanya diturunkan orang tua pada anaknya. Myopia
tinggi adalah salah satu penyebab kebutaan pada usia dibawah 40 tahun.
Myopia tinggi adalah myopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih.
Penderita dengan minus diatas 6 dioptri mempunyai risiko 3-4 kali lebih besar
untuk terjadinya komplikasi pada mata. Terdapat kekhwatiran bahwa pasien
dengan myopia tinggi berisiko untuk terjadinya robekan retina apabila mereka
melalui persalinan normal pervaginam. Tetapi dalam beberapa studi telah
menunjukkan wanita hamil yang mempunyai riwayat kelainan pada mata (myopia,
ablasio retina yang telah ditangani) yang melahirkan secara pervaginam tidak
mempunyai efek merugikan pada retina pasien tersebut. Wanita dengan miopi
>4 dioptri memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami ablasio retina saat
persalinan. Ablasio retina disebabkan tekanan pada retina mata saat proses
mengejan jika pengejanan terlalu keras. Insiden ablasio retina adalah 1 dari
15.000 orang, dengan insiden pertahun ratarata 1 dari 10.000 atau sekitar 1 dari
300 dari populasi pernah mengalaminya. Sumber lain mengatakan bahwa
insidennya sekitar 12,5 kasus per 100.000 orang pertahun atau 28.000 kasus
pertahun di Amerika Serikat.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. MW
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 21 tahun
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Golongan Darah : O
Alamat : Banjar Baturiti Kelod
Masuk RS : 28 Oktober 2019 pukul 09.20 WITA
No RM : 05.10.76

2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Pasien di rencanakan di lakukan tindakan SC

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang mengatakan akan di rencanakan tindakan SC, pasien
mengatakan kadang mengeluhkan adanya kencang-kencang pada perut bagian
bawah yang muncul sejak satu hari yang lalu, terutama jika bayi sedang bergerak.
Nyeri perut dirasakan tidak timbul secara terus menerus dan ketika
timbul hanya sebentar. Pasien tidak ada mengeluhkan ada keluar air maupun
lendir dari jalan lahir.
Pasien mempunyai gangguan pengelihatan jarak jauh sejak usia 15
tahun sehingga membutuhkan bantuan kaca mata untuk melihat.
Pasien tidak haid sejak 9 bulan yang lalu. HPHT pada tanggal 26 Januari
2019, Tafsiran Persalinan pada tanggal 3 november 2019. Riwayat selama hamil:
mual (+), muntah 2-3 kali terutama pagi hari. Selama kehamilan ini pasien kontrol
ke puskesmas dan dokter spesialis kandungan,

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien memiliki high myopia sejak 6 tahun yang lalu.
 Riwayat hipertensi disangkal.
 Riwayat diabetes mellitus disangkal.
 Riwayat operasi disangkal
 Riwayat penyakit organ reproduksi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (-)
- DM (-)
- Kanker (-)
Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan :
 Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
 Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, merokok, dan minum kopi
Riwayat Menstruasi :
Menarche sejak usia 14 tahun, siklus haid teratur 30 hari, lama haid ± 5
hari dengan ganti pembalut 2-3 kali dalam sehari. HPHT pada tanggal 26 Januari
2019. TP pada tanggal 3 November 2019.

Riwayat Pernikahan :
Usia menikah saat berusia 20 tahun, menikah sebanyak 1 kali, usia
pernikahan saat ini memasuki tahun pertama.

Riwayat Kontrasepsi:
Pasien menggatakan belum pernah menggunakan jenis KB apapun
Riwayat Obstetri :
No Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Jenios Keadaan
partus Partus kehamilan persalinan persalinan kelamin anak
anak/BB sekarang
Hamil
Ini

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis :
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6

Tanda-TandaVital :
 Tekanan darah : 100/70mmHg
 Nadi : 82 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.
 Pernafasan : 20 x/menit, regular.
 Suhu : 36,8oC (per axiller).

Status Gizi :
 Berat badan : 45,5 kg
 Tinggi badan : 155 cm
 BMI : 18

Kepala dan Leher :


Kepala : Normocephal
Mata :
 Kelopak : Edema (-/-)
 Konjungtiva : Anemis (-/-)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Pupil : Bulat, isokor 3mm/3mm, refleks cahaya(+/+)
Leher :
Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP dalam batas normal.
Thorax :
Paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi (-).
Palpasi : Fremitus D = S, nyeri tekan(-/-) , krepitasi (-/-)
Perkusi : Suara ketok sonor (+/+), nyeri ketok (-/-).
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas kananICS IV linea parasternalisdextra.
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, bising jantung (-).

Abdomen :
Inspeksi : cembung. Linea nigra (+), striae albicans (-),
luka bekas operasi (-).
Palpasi : Soefl, nyeri tekan suprasimfisis (+) , hipogastric dextra
dan sinistra (+)
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : BU (+) normal.

Ektremitas :
Ekstremitas Atas :
Akral hangat, CRT<2dtk, edema (-/-).
Ekstremitas Bawah
Akral hangat, CRT<2dtk, edema (-/-), varises (-/-), refleks patella (+/+)
normal.
2.4. STATUS OBSTETRI
Periksa Luar :
- Inspeksi : Perut membesar arah memanjang, linea nigra (+)
- Palpasi : TFU 30 cm
 Leopold I : teraba bulat, lunak, tidak melenting
 Leopold II : teraba keras dan rata di sebelah kanan,
teraba bagian kecil janin di sebelah kiri.
 Leopold III : teraba bulat, keras, melenting
 Leopold IV : sudah masuk pintu atas panggul
 DJJ : 144x/menit, HIS : -
 Taksiran Berat Janin : 2.945 gram

Periksa Dalam :
- Vaginal Toucher :
Vulva/Vagina : normal
Portio : konsistensi lunak arah medial
Pembukaan : 0 cm
Ketuban : (+)
Bagian terbawah : Kepala
Penurunan : Hodge I
Pelepasan : darah (-), Bloodslym (-)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Laboratorium(tanggal 21 Oktober 2019)
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Leukosit 8.300 4.000-10.000/mm3
Hb 11,3 12.0 – 18.0 gr/dl
Hct 33,1 37.0 – 52.0 %
Trombosit 230.000 150.000 – 450.000/mm3
GDS 75 <200
BT 05.00 1 – 6 menit
CT 14.30 5 – 15 menit
Keton Urin NEGATIF NEGATIF
Protein Urin 1+ NEGATIF

 Pemeriksaan Ultrasonografi

Pemeriksaan Oftamologi

OD OS
Visus 6/6 6/6
refraksi 5.25 4.75

2.6.DIAGNOSIS KERJA
 G1P0A0 UK 38-39 Minggu. Janin Tunggal Hidup Intra Uterin, Letak
Kepala dengan High Miopia ODS

2.7 PLANING
 Pro SC Elektif

2.8 PENATALAKSANAAN
a. Farmakologis
- IVFD RL 28 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr sebelum tindakan

b. Non-farmakologis
- Bedrest
- Observasi keadaan umum dan tanda vital, observasi His Dan Pembukaan
- Puasa 6 jam Sebelum Operasi

2.8 PROGNOSIS
Janin : ad Bonam
Ibu : ad Bonam
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

2.9 LAPORAN OPERASI


2.10 FOLLOW UP HARIAN
Tabel 2. Follow up harian di ruang 108
Tanggal/Hari
Catatan Instruksi
Rawatan
21/10/2019 S/ Keluar darah dari kemaluan (+), nyeri P/
H1 perut bawah (+) Rencana evakuasi sisa konsepsi 
kuretase : hari ini, 21 Oktober 2019
BB: 62,5kg O/
TB: 158cm KU: sakit sedang Observasi TTV dan observasi
Kesadaran : CM E4M6V5 perdarahan
TD: 110/80 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 20 x/i
T : 36,8 °C
Status Generalis : dbn
Abdomen: Soepel (+) Nyeri tekan perut
bawah (+) BU (+) normal
Genitalia :
Vulva dan uretra tenang. Porsio licin, OUE
terbuka, jaringan (+), fluxus positif, nyeri
goyang porsio tidak ada, OUE terbuka,
nyeri dan massa adnexa negative.

A/ Pro kuretase H-1 a.i G2P1 gravida 6-7


dengan abortus incomplete

22/10/2019 S/ keluhan perdarahan (-) nyeri perut bawah


membaik

BB: 62,5kg O/ P/
TB: 158cm KU : Baik Cefadroxil tab 2x500mg
Kesadaran : CM E4M6V5 As. Mefenamat 3x500mg
TD: 120/80 mmHg Metergin 3x1 tab
HR: 80 x/i
RR: 20 x/i Boleh pulang,
T : 36,6 °C Kontrol Poli kandungan 1 minggu
PF/ kemudian 28 Oktober 2019
Status generalis : dalam batas normal
Status ginekologi :
Inspeksi : v/u tenang, perdarahan (-)

A/ Post kuretase H-1 ec abortus incomplete

Target : hemodinamik stabil Observasi tanda vital, perdarahan, mobilisasi


aktif.
Cegah infeksi Cefadroxil 2x500 mg p.o
Atasi nyeri Asam mefenamat 3x500 mg p.o
Uterotonikum Metergin3x1 tab p.o
Pasien boleh pulang bila hemodinamik Kontrol Poli 1 minggu kemudian ( 28 Oktober
stabil, tidak ada perdarahan aktif per 2019)
vaginam.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
I. Myopia
Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata
yang tidak berakomodasi, mata tersebut mengalami myopia, atau
nearsighted. Pada myopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu
besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Jika objek digeser
lebih dekat dari 6 meter, bayangan akan bergerak mendekati retina dan
terlihat lebih fokus. Titik tempat bayangan terlihat paling tajam fokusnya di
retina disebut “titik jauh”. Derajat myopia dapat diperkirakan dengan
menghitung kebalikan dari titik jauh tersebut.
1. Epidemiologi
Prevalensi dan Insiden
Prevalensi myopia bervariasi dengan usia dan faktor lainnya. Prevalensi
myopia meningkat pada usia sekolah dan dewasa muda, mencapai 20-25 %
pada populasi remaja dan 25-35 % pada dewasa muda di Amerika Serikat
dan negara- negara maju. Dilaporkan bahwa prevalensi myopia lebih tinggi
pada beberapa area di Asia, seperti China dan Jepang. Prevalensi myopia
pada populasi Asia sekarang mencapai 70-90 %. Prevalensi ini berkurang
pada populasi berusia di atas 45 tahun, mencapai 20 % pada usia 65 tahun,
dan menurun hingga 14 % pada orang berusia 70-an.
2. Faktor Resiko
Faktor risiko yang penting dalam perkembangan myopia adalah riwayat
keluarga myopia. Penelitian menunjukkan prevalensi 33-60 % myopia pada
anak, yang kedua orang tuanya mengalami myopia. Pada anak yang memiliki
satu orang tua penderita myopia, prevalensinya adalah 23-40 %. Bila tak
satupun orang tua yang menderita myopia, hanya 6-15 % anak-anak mereka
yang myopia. Myopia yang diketahui dengan retinoskopi nonsikloplegik pada
masa bayi dan kemudian menurun menjadi emetropia sebelum anak
tersebut memasuki usia sekolah tampaknya adalah faktor risiko
perkembangan myopia pada masa kanak-kanak. Suatu analisis menyatakan
bahwa anomali refraksi yang dialami saat masuk sekolah adalah
prediktor yang lebih baik untuk mengetahui siapa yang akan mengalami
myopia pada masa kanak-kanak dibandingkan riwayat myopia pada orang
tua. Anak dan dewasa muda dengan anomali refraksi berkisar antara
emetropia hingga hiperopia 0,5 D memiliki kemungkinan mengalami
myopia yang lebih besar dibanding individu berusia sama dengan hiperopia
lebih dari 0,5 D. Selain itu, risiko myopia lebih tinggi pada anak dengan
astigmat against-the-rule. Melakukan sejumlah pekerjaan jarak dekat
secara teratur dapat meningkatkan risiko myopia. Myopia berkaitan dengan
banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, pendidikan yang lebih
tinggi, dan pekerjaan yang melakukan banyak kegiatan jarak dekat.
Kurvatura kornea yang lebih tajam dan rasio panjang aksial terhadap radius
kornea yang lebih dari 3,00 dapat menjadi faktor risiko. Pada anakanak,
kondisi yang mengganggu pembentukan penglihatan yang normal sering
menyebabkan myopia.
3. Tipe Myopia
Dikenal beberapa bentuk myopia seperti:
 Myopia refraktif
Apabila unsur-unsur pembias lebih refraktif dibandingkan dengan rata-
rata, kelainan yang terjadi disebut myopia kurvatura atau myopia
refraktif. Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang
terjadi pada katarak intumesen, dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan myopia bias atau myopia
indeks, yakni myopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan
kornea dan lensa yang terlalu kuat.
 Myopia aksia
Myopia aksial terjadi bila mata berukuran lebih panjang daripada normal.
Untuk setiap milimeter tambahan panjang sumbu, mata kira-kira lebih
miopik 3 dioptri. Menurut derajat beratnya, myopia dibagi dalam:
1. Myopia ringan, dimana myopia lebih kecil daripada 1 – 3 dioptri
2. Myopia sedang, dimana myopia lebih antara 3 – 6 dioptri
3. Myopia berat atau tinggi, dimana myopia lebih besar dari 6 dioptri
Pasien dengan myopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan
melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh akan kabur atau biasa
disebut “rabun jauh”. Pasien akan memberikan keluhan sakit kepala,
sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang
dengan myopia akan memiliki kebiasaan mengerenyitkan matanya untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien
dengan myopia juga memiliki pungtum remotum yang dekat sehingga
mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi. Bila kedudukan mata
ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopic cressent yaitu gambaran
bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata myopia, sklera
oleh koroid. Pada mata dnegan myopia tinggi akan terdapat pula kelainan
pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian
perifer. Myopia derajat tinggi menyebabkan meningkatnya
kerentanan terhadap gangguan- gangguan retina degeneratif seperti
ablatio retinae1 ataupun gangguan lain seperti juling. Juling biasanya
esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus-menerus.
Bila terdapat juling keluar, mungkin fungsi satu mata telah
berkurang atau terdapat ambliopia.
II. Persalinan
Persalinan atau partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang
dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Partus immaturus
ialah partus yang terjadi pada masa kehamilan kurang dari 28 minggu namun
lebih dari 20 minggu dengan berat janin antara 1000 – 500 gram.
Partus prematurus adalah suatu partus dari hasil konsepsi yang dapat hidup
tetapi belum cukup bulan. Berat janin antara 1000 sampai 2500 gram atau tua
kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu. Sedangkan partus
postmaturus atau serotinus adalah partus yang terjadi 2 minggu atau
lebih dari waktu partus yang diperkirakan.
I. Fisiologi Persalinan Normal
Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka samapai terjadi
pembukaan 10 cm. Kala I dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut
pula kala pengeluaran, oleh karena berkat kekuatan his dan kekuatan
mengedan, janin didorong keluar sampai lahir. Dalam kala III atau kala uri
plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari
lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Dalam kala itu, diamati apakah terjadi
perdarahan postpartum.
- Kala I
Klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bersemu darah. Lendir yang bersemu darah ini
berasal dari lendir kanalis servikalis karena serviks mulai
membuka atau mendatar. Sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-
pembuluh darah kapiler yang berada di sekitar kanalis servikalis itu pecah
karena pergeseran-pergeseran ketika serviks membuka. Proses
membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase, yaitu:
a. Fase Laten
Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat sampai
mencapai ukuran diameter 3 cm.
b. Fase Aktif
Dibagi ke dalam 3 fase lagi, yaitu:
i. Fase Akselerasi
Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm.
ii. Fase Dilatasi Maksimal
Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari 4
cm menjadi 9 cm.
iii. Fase Deselerasi
Pembukaan menjadi lambat kembali, dalam waktu 2 jam,
pembukaan 9 cm menjadi lengkap.
Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada multigravida pun
terjadi demikian, tetapi fase-fase tersebut menjadi lebih pendek.
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan
multigravida. Pada yang pertama, ostium uteri internum akan membuka
lebih dahulu, sehingga serviks akan mendatar dan menipis. Baru kemudian
ostium uteri eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri
internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum
serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama.
Ketuban akan pecah dengan sendirinya ketika pembukaan hampir atau
telah lengkap. Tidak jarang ketuban harus dipecahkam ketika pembukaan
hamper atau telah lengkap. Tidak jarang ketuban harus dipecahkan ketika
pembukaan hampir lengkap atau telah lengkap. Bila ketuban telah pecah
sebelum mencapai pembukaan 5 cm, disebut ketuban pecah dini. Kala I
selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida
kala I berlangsung kira-kira 13 jam, sedangkan pada multipara kira-kira 7
jam.
- Kala II
Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3
menit sekali. Karena biasanya dalam hal ini, kepala janin sudah masuk di
ruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar
panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita
merasa pula tekanan pada rektum dan hendak buang air besar. Kemudian
perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia
mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak dalam
vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi, kepala
janin tidak masuk lagi di luar his, dan dengan his dan kekuatan mengedan
maksimal, kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis
dan dahi, muka dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar,
his mulai lagi untuk mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Pada
primigravida, kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara
rata-rata 0,5 jam.
- Kala III
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas
pusat. Beberapa menit kemudian ueterus berkontraksi lagi untuk
melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepasdalam 6
sampai 15 menit setelah bayi lahir dengan keluar spontan atau
dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai
dengan pengeluaran darah.
- Kala IV
Seperti diterangkan di atas, kala ini dianggap perlu untuk mengamati
apakah ada perdarahan postpartum.
II. Perubahan dan gangguan penglihatan pada kehamilan
Seorang wanita mengalami banyak perubahan pada saat kehamilan, baik
sistemik maupun okular. Pada saat kehamilan, terjadi perubahan fisiologis
pada system kardiovaskular, sistem hormon, metabolik, hematologik, dan
sistem imunologik. Akibat beberapa mekanisme ini, kehamilan
menyebabkan perubahan pada mata. Perubahan hormon dan metabolik
yang terjadi pada saat kehamilan, hiperdinamisitas sirkulasi kapiler
retina mungkin menyebabkan progresivitas dari retinopati diabetika
pada wanita hamil dengan diabetes. Perubahan hormone
merupakan perubahan sistemik yang paling menonjol pada wanita
hamil. Plasenta, kelenjar endokrin ibu, dan kelenjar adrenal fetus
mengkombinasi produktivitasnya menghasilkan pabrik hormon
berkekuatan tinggi. Kadar imun tersupresi, menyebabkan wanita hamil
tersebut mudah mengalami kelainan imun yang serius. Perubahan
penglihatan pada kehamilan sering terjadi, dan sebagian besar
berhubungan secara spesifik dengan kehamilan itu sendiri.
Kehamilan sering dihubungkan dengan perubahan pada mata, yang
biasanya bersifat sementara, namun dapat juga menetap. Efek okular
pada kehamilan ini dapat bersifat fisiologis maupun patologis, atau bisa
eksaserbasi dari kondisi yang telah ada sebelumnya Perubahan yang
dapat terjadi pada mata termasuk chloasma, spider angiomas dan
ptosis. Perubahan yang dapat terjadi pada segmen anterior yaitu
berkurangnya kapiler di konjungtiva dan bertambahnya jaringan
granular di venula dan lengkungan kornea, perubahan ketebalan
kornea, indeks refraksi, ketidaksesuaian akomodasi dan refraksi, dan
menurunnya tekanan intraokular. Perubahan yang dapat terjadi pada
segmen posterior termasuk perburukan dari retinopati diabetik,
korioretinopati serosa sentral, peningkatan resiko terjadinya distrofi
vitreokorioretinal perifer dan ablatio retina, dan efek yang menguntungkan
dari uveitis non-infeksiosa. Beberapa gangguan sistemik yang
terjadi pada kehamilan juga dapat mempengaruhi mata, seperti
preeklampsia, penyakit Grave’s dan sklerosis multipel. Gangguan
intrakranial dengan efek pada okuler pada kehamilan yaitu
Pseudotumor cerebri, prolactinoma dan Sindroma Sheehan’s.
Adneksa Okular Chloasma atau yang lebih dikenal sebagai “topeng
kehamilan” adalah proses hormonal, yang ditandai dengan meningkatnya
pigmentasi di sekitar mata dan pipi. Perubahan pigmentasi tersebut akan
hilang perlahan setelah melahirkan. Spider angiomas, yang merupakan
salah satu jenis telengiektasi, biasanya timbul pada saat kehamilan di
daerah muka dan tubuh bagian atas, dan juga hilang setelah melahirkan.
Ptosis telah dilaporkan timbul saat dan setelah kehamilan dan biasanya
bersifat unilateral. Mekanisme terjadinya ptosis diperkirakan akibat defek
yang terjadi pada aponeurosis m.levator akibat adanya perubahan cairan
serta hormonal, akibat tekanan pada saat proses kelahiran.
Segmen Anterior
Konjungtiva
Penurunan kapiler konjungtiva dan peningkatan jaringan granuler venula
konjungtiva telah dilaporkan terjadi dan hilang setelah kelahiran.
Kerusakan Lensa
Kehamilan menginduksi terjadinya “syndrone kekeringan mata”
yang timbul akibat gangguan pada sel acinar kelenjar lakrimal.
Kehamilan dapat mencetuskan perubahan dari ekspresi faktor
pertumbuhan (growth factor) kelenjar lakrimal dan redistribusi limfosit
dari periductal foci ke celah interacinar, serta meningkatkan reaktivitas
imun terhadap prolactin, TGF- beta 1 dan EGF pada sel duktus. Kornea
Banyak wanita yang mengalami intoleransi terhadap lensa kontak saat
kehamilan, walaupun mereka tidak memiliki masalah dengan
lensa kontak sebelum kehamilannya. Suatu penelitian yang meneliti
mengenai lengkungan kornea pada wanita hamil menyebutkan
peningkatan statiskik yang signifikan pada lengkungan kornea pada
trimester kedua dan ketiga, namun akan hilang setelah melahirkan ataupun
setelah mulai menyusui. Kehamilan juga dihubungkan dengan perubahan
pada ketebalan dan sensitifitas kornea. Peningkatan ketebalan yang sedikit
namun dapat terukur pada kornea disebabkan oleh terjadinya edema pada
saat kehamilan. Sensitifitas kornea cenderung berkurang, dengan
perubahan terbesar terjadi pada tahap akhir kehamilan. Akibat dari variasi
ketebalan tersebut, indeks refraksi kornea juga dapat berubah. Namun
dianjurkan untuk menunda pemberian resep maupun lensa kontak sampai
beberapa minggu setelah kelahiran.
Gangguan Akomodasi dan Refraksi
Perubahan akomodasi dan gangguan refraksi pada masa kehamilan telah
dilaporkan. Hilangnya daya akomodasi yang bersifat sementara dapat
terjadi pada saat maupun sesudah kehamilan. Insufisiensi akomodasi dan
paralisis dilaporkan berhubungan dengan laktasi. Hasil operasi refraksi
mata sebelum, selama ataupun segera setelah kehamilan tidak dapat
diprediksi, dan operasi ini disarankan untuk ditunda hingga terjadi
stabilitas refraksi setelah kelahiran. Myopia dapat meningkat selama
kehamilan. Ini telah dibuktikan oleh Pizzarello yang telah melakukan
penelitian pada 83 orang wanita hamil untuk menentukan penyebab
perubahan penglihatan selama kehamilan dan dan post partum. Wanita
hamil yang mengeluh terjadinya perubahan visual telah ditemukan
perubahan pada kondisi myopia yang telah ada pada kehamilan, yang
kemudiannya kembali ke tingkat semulanya pada post-partum.
Tekanan Intraokular
Kehamilan dapat memberikan keuntungan pada glaukoma.
Kehamilan dihubungkan dengan penurunan tekanan intraokular pada mata
yang sehat dan hipertensi okular. Pada subjek yang normal,
kehamilan menurunkan tekanan intraokular sampai 19,6%. Hampir 35%
dari keseluruhan penurunan terjadi pada minggu ke 12 dan 18 kehamilan.
Sedangkan pada hipertensi okular, kehamilan menurunkan tekanan
intraokular hingga 24,4%. Berbagai macam mekanisme telah
diimplikasikan pada hasil penelitian ini. Beberapa mekanisme ini
termasuk adanya peningkatan keluaran aqueous humor, penurunan
resistensi vaskuler sistemik yang menyebabkan terjadinya
penurunan tekanan vena episclera, peningkatan elastisitas jaringan
generalisata yang menyebabkan berkurangnya kekakuan sklera, dan
asidosis generalisata selama kehamilan.
Gangguan Segmen Posterior
a. Retinopati Diabetika
Kehamilan dapat memperparah retinopati diabetika yang telah
ada. Perubahan diabetik yang terjadi selama kehamilan tidak jauh
berbeda dengan yang ditemukan pada pasien non diabetik dan pada
pria. Namun, kehamilan pada pasien diabetes yang terkontrol tidak
menjadi faktor resiko untuk terjadinya komplikasi vaskular.
Gangguan pandangan yang diakibatkan oleh retinopati
diabetika pada kehamilan jarang terjadi, akan tetapi dapat terjadi
konsekuensi yang buruk terhadap ibu dan bayinya. Foto-
koagulasi dengan laser harus dipertimbangkan untuk wanita hamil
dengan pre-proliferatif retinopati diabetika yang berat. Retinopati
diabetika proliferatif mungkin tidak membaik setelah kelahiran.
b. Korioretinopati serosa sentral
Ini adalah kelainan makular yang ditandai oleh ablatio
retina serosa lokalisata. Umumnya menyerang dewasa pada usia
pertengahan sekitar 20 sampai 45 tahun. Lebih banyak terjadi pada
pria daripada wanita dengan perbandingan 10:1. Kehamilan adalah
salah satu faktor resiko terjadinya penyakit ini. Korioretinopati
serosa sentral pada wanita hamil sering dihubungkan dengan
eksudat subretina yang kemungkinan bersifat fibrinosa alami. Eksudat
subretinal fibrinosa ini terlihat pada 90% pasien, dibandingkan
dengan kurang dari 20% korioretinopati sentral serosa (tanpa
kehamilan). Gangguan ini akan sembuh secara spontan pada akhir
kehamilan atau setelah melahirkan, namun dapat timbul kembali di
luar kehamilan.
c. Distrofi Vitrokorioretinal Perifer (PVCRD)
Observasi dinamis yang diikuti pada 86 wanita hamil dengan
distrofi vitrokorioretinal (121 mata) menunjukkan bahwa kondisi
tersebut berkembang selama masa kehamilan pada 33,8% kasus.
Menurunnya haemodinamik ocular dan kekakuan sklera adalah
karakteristik kehamilan. Insidens tertinggi progresivitas PVCRD
diamati pada wanita hamil dengan sistem haemodinamik tipe
hipokinetik.
d. Ablatio Retina Rhegmatogenosa
Wanita hamil dengan myopia tinggi, riwayat ablatio retina
atau perlubangan retina, atau diketahui memiliki degenerasi lattice
umumnya dirujuk ke spesialis mata untuk meminta saran
manajemen kelahiran, apakah diperbolehkan melahirkan spontan
pervaginam, atau harus dilakukan profilaksis atas indikasi resiko
tinggi terjadinya kelainan retina. Banyak ahli obstetri masih
mempercayai bahwa wanita hamil dengan kelainan mata beresiko
mengalami ablatio retina rhegmatogenosa harus melahirkan dengan
instrumen atau bahkan dianjurkan untuk Sectio Caesaria. Telah
dibuktikan bahwa tatalaksana prenatal untuk kelainan retina
asimptomatik tidak dianjurkan dan kelahiran spontan
pervaginam diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita dengan
kelainan retina resiko tinggi.
e. Edema Makular
Edema makular dengan atau tanpa retinopati proliferatif juga dapat
timbul pada masa kehamilan. Hal tersebut dapat timbul ataupun
memburuk selama kehamilan. Telah ditunjukkan bahwa edema
makular sering berhubungan dengan wanita hamil yang menderita
diabetes yang juga memiliki proteinuria dan hipertensi.
Penelitian juga menunjukkan bahwa pada beberapa kasus
dapat membaik secara spontan setelah kelahiran namun dapat
juga menetap, dan menyebabkan kehilangan penglihatan jangka
panjang.
f. Uveitis
Uveitis mengacu pada peradangan dari traktus uvea, terdiri dari iris,
badan siliar dan choroid. Telah dilaporkan bahwa kehamilan
berhubungan dengan sejumlah kasus timbulnya uveitis non-infeksi
dibandingkan dengan kondisi tanpa kehamilan. Apabila kondisi
tersebut timbul saat kehamilan, umumnya terjadi pada trimester
pertama. Penyebab spesifik dari uveitis non-infeksi ini menunjukkan
efek yang menguntungkan dari kehamilan termasuk sindroma Vogt-
Koyanagi- Harada, uveitis idiopatik dan penyakit Behcet’s. Sebagian
besar dari wanita- wanita tersebut akan mengalami kekambuhan
dalam 6 bulan pasca kelahiran. Diduga bahwa peningkatan hormon-
hormon intrinsik, terutama kortikosteroid, dan beberapa faktor
lain dengan kehamilan dapat memberikan pengaruh penekanan
pada uveitis.
III. Myopia tinggi pada persalinan
Banyak pendapat mengenai hal ini. Banyak yang
mengatakan pasien dengan myopia yang tinggi beresiko
mengalami robekan retina pada saat melahirkan secara spontan.
Namun tidak ada kasus yang dilaporkan dalam literatur yang dapat
menghubungkan ablasio atau ro bekan retina dengan myopia pada wanita
yang melahirkan. Socha et. Al telah melakukan suatu studi, dimana
sebanyak 4895 operasi seksio Caesarea yang dilakukan telah diamati, 100
(2.04 %) diantaranya karena indikasi okular yang telah dikonsulkan ke
spesialis mata dan disarankan untuk persalinan secara operasi. Frekuensi
operasi seksio Caesarea atas indikasi ocular telah meningkat banyak pada
tahun 2005 hingga 2006 tapi merosot sejak tahun 2006. Namun demikian,
hal itu tetap menjadi dua kali lebih tinggi pada tahun 2000. Dua kelainan
mata yang paling sering mengarah ke operasi seksio Caesarea adalah
myopia dan retina diabetikum. Hampir setengah dari keputusan untuk
operasi seksio Caesarea diambil hanya berdasarkan indikasi oftalmologi.
Literatur menunjukkan bahwa sedikit bukti untuk mendukung keyakinan
bahwa riwayat operasi pada retina sebelumnya meningkatkan risiko
perlepasan retina pada persalinan spontan. Papamicheal et al. telah
melakukan survei pada 74 orang ahli kebidanan di Kongres Kebidanan dan
Kandungan Eropa di Lisbon, Portugal. Mayoritas dari dokter spesialis
kebidanan ini tidak mendukung pandangan ini. Kebanyakan dari
responden (76 % di antaranya) merekomendasikan persalinan yang
dibantu alat (salah satu operasi seksio Caesarea atau persalinan
instrumental), sedangkan 24 % yang memberikan saran persalinan yang
normal dan tidak ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan ini.
Sebagian besar (58 % ) mengambil keputusan tentang pelaksanaan
persalinan ibu hamil hanya berdasarkan pendapat pribadi saja. Partisipan
juga diminta untuk mengklasifikasikan pasien dengan myopia tinggi,
riwayat ablasio retina, riwayat keluarga dengan ablasio retina dan riwayat
operasi mata sebelumnya menjadi kategori risiko rendah, sedang atau
tinggi untuk persalinan spontan. Mayoritas membagikan myopia tinggi
sebagai tidak berisiko atau risiko rendah (59 %), riwayat ablasio retina
sebagai risiko sedang-tinggi (73 %), riwayat keluarga dengan ablasio
retina sebagai risiko rendah-sedang (73 %) dan riwayat operasi mata
sebelumnya sebagai risiko tinggi (56 %). Apabila ditanyakan tentang
kondisi mata yang manakah jika ada akan mempengaruhi pengambilan
keputusan klinis antara operasi seksio Caesarea dengan persalinan
apontan pervaginam, hanya 14 % responden mengatakan pasien
tanpa riwayat kelainan mata, 13.6 % lagi mengatakan pasien dengan
riwayat ablasio retina, 61 % menghindar untuk menjawab pertanyaan ini
yang mengindikasikan mayoritas dokter spesialis masih bingung untuk
memilih apa yang lebih praktis. 48 % juga mengatakan pasien dengan
riwayat ablasio retina merupakan indikasi untuk operasi seksio Caesarea.
Hasil survei ini sejalan dengan data yang dilakukan di Inggris dan ini
mungkin menunjukkan pegangan ini dipakai secara internasional.
Komentar yang diberikan kebanyakannya mirip; rata-rata
menjelaskan persalinan spontan harus dihindari karena peningkatan risiko
ablasio retina akibat peningkatan tekanan intra-okular yang
disebabkan oleh manuver yang mirip Valsalva pada kala 2
persalinan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan
tekanan intra-abdominal juga akan meningkatkan tekanan intra-
okular. Hal ini hanya dapat disebabkan oleh kondisi yang mempengaruhi
aliran drainase dari aqueous pada ruang anterior mata seperti glaukoma.
Selain itu, peningkatan tekanan intra-okular bukanlah faktor risiko untuk
terjadinya ablasio retina. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh
Prost, yang melakukan pengamatan terhadap 42 pasien dengan
myopia tinggi dan 4 pasien dengan myopia tinggi disertai riwayat
operasi ablatio retina pada salah satu mata, tidak terbukti adanya
progresivitas dari perubahan retina dan terjadinya robekan retina, namun
pada beberapa pasien ditemukan adanya perdarahan retina dan edema
makular. Dari pengamatan tersebut disimpulkan bahwa myopia
tinggi bukan merupakan indikasi untuk dilakukan operasi caesar,
namun sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada pasien
setelah melahirkan. Penelitian lain juga mendukung hal ini. Penelitian
yang dilakukan pada 10 wanita yang telah mengalami 19 persalinan (10
prospektif dan 9 retrospektif) dan memiliki riwayat ablatio retina
sebelumnya, telah didiagnosa mengalami degenerasi lattice yang
luas, atau telah mendapat terapi simptomatik untuk kerusakan
retina. Subjek diikuti sejak trimester ketiga kehamilan sampai pada proses
persalinan dan post partum, diawasi adanya perubahan pada retina. Hasil
penelitian tersebut menyatakan tidak ditemukannya perubahan pada retina
pada pemeriksaan postpartum, sehingga dapat disimpulkan terapi prenatal
pada kelainan retina asimptomatik tidak dianjurkan, dan kelahiran spontan
pervaginam dapat dilakukan pada wanita dengan resiko tinggi terjadinya
kelainan retina. Penelitian yang dilakukan oleh Neri A et al juga
mendukung hal tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati 50
wanita dengan myopia (4.5 – 15.0 D) yang akan melahirkan.
Dilakukan pemeriksaan funduskopi pada seluruh responden sebelum
dan setelah melahirkan. Berbagai macam tipe degenerasi retina dan
kerusakan retina ditemukan pada pemeriksaan pre partum, namun tidak
ditemukan adanya perburukan dari kelainan yang ada pada pemeriksaan
post partum. Dari hasil penelitian tersebut, disarankan untuk tetap
dilakukan persalinan spontan per vaginam pada pasien dengan myopia
tinggi. Sebuah penelitian telah menunjukkan terdapat kecenderungan yang
tinggi persalinan secara seksio caesarean pada pasien denga myopia tinggi.
Loncare et. Al telah meneliti 30553 persalinan selama 9 tahun di antara
1993 hingga 2002. Terdapat 87 % pasien melahirkan secara
spontan, 3 % melahirkan dibantu ekstraksi vakum dan 10 %
persalinan secara seksio caesarean. Di dalam jumlah tersebut terdapat 693
wanita hamil dengan myopia, 421 orang (61 %) dengan myopia rendah,
159 orang (23%) dengan myopia sedang dan 113 orang (16 %) dengan
myopia tinggi. Persalinan dengan operasi seksio caesarea
dilaporkan kurang lebih sama pada pasien yang tidak myopia, dan myopia
tingkat rendah- sedang serta lebih tinggi pada pasien dengan myopia
tinggi. Tingkat persalinan secara ekstraksi vakum diamati lebih tinggi pada
pasien dengan myopia sedang dan tinggi berbanding pasien dengan
myopia rendah dan tidak myopia. Di antara semua pasien, pasien dengan
myopia tinggi mempunyai kadar persalinan secara operasi yang lebih
tinggi berbanding persalinan spontan. Kesimpulannya, persalinan
spontan pervaginam tidak dianggap sebuah kontraindikasi untuk pasien
dengan myopia tinggi

BAB 4
PEMBAHASAN

Ny MW, 21 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 28 Oktober 2019, Pasien
datang mengatakan akan di rencanakan tindakan SC, Pasien mempunyai riwayat
kelainan pada mata yaitu rabun jauh. Pengelihatan pasien dikoreksi dan
didapatkan -5.25/ -4,75 dan masuk pada myopia derajat sedang. Pasien
direncanakan seksio sesarea secara elektif. Pasien dengan myopia yang tinggi
beresiko mengalami robekan retina pada saat melahirkan secara spontan, oleh
karena itu direncanakan tindakan operatif. Persalinan spontan harus dihindari
karena peningkatan risiko ablasio retina akibat peningkatan tekanan intra-okular
yang disebabkan oleh manuver yang mirip Valsalva pada kala 2 persalinan, tetapi
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra-abdominal
juga akan meningkatkan tekanan intra-okular. Hal ini hanya dapat disebabkan
oleh kondisi yang mempengaruhi aliran drainase dari aqueous pada ruang anterior
mata seperti glaukoma. Selain itu, peningkatan tekanan intra-okular bukanlah
faktor risiko untuk terjadinya ablasio retina. Literatur menunjukkan bahwa sedikit
bukti untuk mendukung keyakinan bahwa riwayat operasi pada retina sebelumnya
meningkatkan risiko perlepasan retina pada persalinan spontan. Penelitian yang
dilakukan oleh Neri A et al juga mendukung hal tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan mengamati 50 wanita dengan myopia (4.5 – 15.0 D) yang akan
melahirkan. Dilakukan pemeriksaan funduskopi pada seluruh responden
sebelum dan setelah melahirkan. Berbagai macam tipe degenerasi retina dan
kerusakan retina ditemukan pada pemeriksaan pre partum, namun tidak ditemukan
adanya perburukan dari kelainan yang ada pada pemeriksaan post partum. Dari
hasil penelitian tersebut, disarankan untuk tetap dilakukan persalinan spontan per
vaginam pada pasien dengan myopia tinggi
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Prost, yang melakukan
pengamatan terhadap 42 pasien dengan myopia tinggi dan 4 pasien
dengan myopia tinggi disertai riwayat operasi ablatio retina pada salah satu mata,
tidak terbukti adanya progresivitas dari perubahan retina dan terjadinya robekan
retina, namun pada beberapa pasien ditemukan adanya perdarahan retina dan
edema makular. Dari pengamatan tersebut disimpulkan bahwa myopia tinggi
bukan merupakan indikasi untuk dilakukan operasi caesar, namun
sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan oftalmologi pada pasien setelah
melahirkan.
Kesimpulannya, persalinan spontan pervaginam tidak dianggap sebuah
kontraindikasi untuk pasien dengan myopia tinggi

BAB 5
KESIMPULAN
Ny MW, 21 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 28 Oktober 2019, Pasien
datang mengatakan akan di rencanakan tindakan SC, Pasien mempunyai riwayat
kelainan pada mata yaitu rabun jauh. Pengelihatan pasien dikoreksi dan
didapatkan -5.25/ -4,75 dan masuk pada myopia derajat sedang. Pasien
direncanakan seksio sesarea secara elektif. Pasien dengan myopia yang tinggi
beresiko mengalami robekan retina pada saat melahirkan secara spontan. Pada
beberapa penelitian tidak ada yang mendukung bahwa myopia tinggi
merupakan indikasi seksio sesarea.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan; Jakarta; Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002;
2. Wiknjosastro, H. Seksio Sesarea. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta;
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2000; hal 198-204
3. Pizzarello L: Refractive changes in pregnancy. Graefes Arch CliExp
Ophthalmol 241:484, 2003.
4. Saw SM, Gazzard G, Shih-Yen EC, Chua WH, Myopia and
associated
pathological complications. Ophthalmic Physiol Opy. 2005 Sep; 25(5):381-91.
5. Barbazetto IA, Pizzarello LD, Ocular changes during pregnancy,
Compr
Ophthalmol Update. 2007 May-Jun ; 8(3):155-67.
6. Sushma Sharma, Rekha Wuntakal, Aashish Anand, Tarun K. Sharma,
Gabrielle Downey, Pregnancy and the eye. The Obstetrician & Gynaecologist
2006; 8:141–146.
7. Prost M. Severe myopia and delivery. Klin Oczna. 1996 Feb; 98(2):129-30.26.
8. Neri A, Grausbord R, Kremer I, Ovadia J, Treister G. The management of
labor in high myopic patients. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 1985 May;
19(5): 277-9.
9. Katsulov A, Todorova Ts, Denovska M, Iankov M. Myopia and labor. Akush
Ginekol (Sofia). 1999; 38 (3): 51-4.
10. A G Travkin, K N Akh vlediani, T Kh Petrova Average and high myopia in
pregnant women at delivery. Vestn Oftamol.; 119(3):34-7 12822335.
11. Jünemann AG, Sterk N, Rejdak R; Influence of mode of delivery
on
preexisting eye disease and mode of delivery. Z Geburthilfe Neonatol. 2007
Aug; 211(4): 139-4

Anda mungkin juga menyukai