Tinjauan Teoritis Aspek Politik & Agama Dalam Fraud
Tinjauan Teoritis Aspek Politik & Agama Dalam Fraud
PENDAHULUAN
Tulisan ini membahas mengenai aspek politik dan agama yang hadir dalam fraud,
dalam hal ini adalah okupasional fraud. Okupasional fraud identik dengan fraud
di bidang keuangan (financial fraud). Pembahasan mengenai topik ini dapat
membantu kita untuk menganalisis dan memahami fraud dari sudut pandang
(angle/poin of view) lain yang lepas dari perspektif keuangan. Namun, bukan
berarti dalam tulisan ini, pembahasan diarahkan pada political and religion fraud,
akan tetapi tulisan ini mencoba untuk mengupas unsur politik dan agama yang hadir
dalam financial fraud. Mengapa financial fraud? Because our term is about forensic
accounting.
Pertama, kami akan membahas mengenai akuntansi. Perdebatan mengenai
khasanah ilmu akuntansi sebagai bagian dari ilmu eksak dan sosial merupakan suatu
hal klasik. Padahal, Tinker (1980) secara jelas menyebutkan bahwa dalam angka-
angka akuntansi (utamanya laba) bukan hanya merepresentasikan bentuk efisiensi
ekonomis dari input dan output (neo-classical economics/marginalism), tetapi juga
merefleksikan hubungan sosial dari fungsi produksi.
Hubungan sosial dapat dilihat dari beragamnya aspek sosial seperti hukum,
pendidikan, agama, regulasi, politik, pemerintahan, dsb yang dapat mempengaruhi
angka-angka akuntansi. Aspek sosial secara tersirat memainkan peran penting
dalam memastikan hak dan kewajiban atas perusahaan. Beragam aspek sosial
tersebut menjadi aturan dasar tatanan ekonomi. Tarik menarik kepentingan melalui
beragam aspek sosial tersebut berimplikasi pada angka-angka yang tersaji dalam
laporan keuangan. Kondisi masyarakat yang berbeda (feodal, perbudakan,
kapitalis) akan berimplikasi pada praktik akuntansi yang berbeda.
Ulasan di atas memberikan argumentasi kuat bahwa akuntansi tidak bebas
nilai (Haryadi, 2012, 2015; Kamayanti, 2012; Tinker, 1980; Triyuwono, 1997).
Aspek kepentingan akan selalu muncul dan tercermin dalam angka-angka yang
tersaji dalam laporan keuangan. Beberapa studi berhasil mengungkap dan
menjawab what’s behind the number? Misalnya studi Tinker (1980), Kamayanti
(2012), dan Haryadi (2015) membuktikan bahwa salah satu aspek sosial yang
hadir di balik angka-angka yang tersaji dalam laporan keuangan adalah aspek
politik.
Akuntansi bebas nilai (value-free) berpandangan bahwa akuntansi
merupakan alat untuk memberikan informasi keuangan kepada para stakeholder
(Kamayanti, 2012; Triyuwono, 1997). Akuntansi yang dipandang sebagai bebas
nilai telah banyak mendapat kritik (Triyuwono, 1997). Pengabaian nilai seperti
halnya nilai etika padda akhirnya menggerus eksistensi akuntansi bebas nilai itu
sendiri. Keringnya nilai menyebabkan adanya perilaku menyimpang (disfunctional
1 anang.mustokoweni@gmail.com
2 ifadiah.aprillia@yahoo.co.id
3 greskonsultan@gmail.com
2
behavior) dalam masyarakat bisnis, tatanan sosial yang tidak seimbang, serta
kerusakan lingkungan (Triyuwono, 1997). Nilai yang diabaikan secara ekstrim
dapat berimplikasi pada kecurangan (fraud). Carroll (2005) menyebutkan bahwa
akuntansi yang hanya dipandang sebagai media pelaporan mendapat kritik
karena mengabaikan aspek sosial. Praktik akuntansi yang bebas nilai telah
mendapat kritik dari masyarakat, misalnya di Inggris dan Jerman di mana korporasi
mengabaikan tanggung jawab sosialnya.
Fraud yang menjadi fenomena yang masih sangat masif terjadi hingg saat
ini memerlukan analisis mendalam dari view yang berbeda. Fraud yang merupakan
produk dari perilaku erat hubungannya dengan intensi-intensi untuk melakukannya.
Analisis perilaku adalah pendekatan yang paling rasional dalam memahami fraud
(Awang & Ismail, 2018). Melalui reviu terhadap beberapa literatur, kami mengulas
bagaimana aspek politik dan agama hadir dalam financial fraud. Perspektif politik
dan agama memandang fraud menjadi sesuatu yang lebih luas. Implikasi dari
pembahasan ini adalah agar kita lebih memiliki sifat wise dalam menyikapi
fenomena fraud yang masih masif terjadi hingga saat ini.
bahwa politik sebagai aktivitas atau sikap yang berkaitan dengan kekuasaan, di
mana dengan kekuasaan tersebut akan digunakan untuk mempengaruhi, dengan
cara mengubah atau mempertahankan suatu tatanan masyarakat.
Definisi yang dikemukakan di atas lebih bersifat kenegaraan. Konteks
kenegaraan yang mewarnai definisi politik menurut hemat kami belum mencapai
hakikat dari politik itu sendiri. Hal ini tentunya tidak begitu relevan ketika dikaitkan
dengan fraud yang merupakan perilaku. Definisi politik yang cukup menarik yang
disimpulkan oleh Lesmana (2017) dengan merujuk pada berbagai definisi politik
sebelumnya. Kesimpulannya terkait definisi politik mengarah pada definisi yang
disampaikan oleh Deliar Noer. Hakikat politik bukanlah kekuasaan maupun atribut
kenegaraan lainnya seperti institusi politik dan sebagainya. Lebih jauh dari itu,
esensi politik adalah sikap individu yang diejawantahkan dalam bentuk perilaku
untuk mempengaruhi individu maupun kelompok tertentu.
Jika dikaitkan dengan definisi yang disampaikan oleh Roger H. Soltou,
terdapat satu kata yang menarik yakni behalf (kepentingan), yang disinggung oleh
Soltou. Hakikat politik yang berintensi untuk mempengaruhi, syarat akan suatu
kepentingan. Hemat kami, inilah hakikat yang paling dalam dari politik. Kekuasaan
hanya merupakan alat, begitu juga dengan sistem maupun institusi politik. Alat-alat
tersebut merupakan sarana untuk mempengaruhi individu atau kelompok tertentu,
demi kepentingan tertentu. Dalam konteks kenegaraan, kepentingan ini tentunya
merupakan kepentingan rakyat.
KONSEP AGAMA
Kata agama berasal dari bahasa Sansakerta yakni dari kata a yang berarti tidak,
dan gama yang berarti kacau. Jadi kata agama mengandung arti tidak kacau.
Secara terminologi agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang
mengatur manusia agar tidak kacau (Sunandar, 2017). Berdasarkan makna kata-
nya, kata agama dapat dipersamakan dengan kata yang berasal dari bahasa
Inggris dan Belanda yakni religion dan religie, sementara dalam bahasa latin
disebut religio dari akar kata religare yang berarti meningkat.
Istilah agama secara umum juga berasal dari bahasa Arab yakni Dien. Kata
Dien atau Ad-Dien mengandung terminologi umum. Artinya, istilah tersebut tidak
dibatasi untuk agama tertentu, melainkan untuk seluruh kepercayaan yang ada di
dunia. Dalam perspektif ilmu sosial dan sejarah, agama merupakan gejala sosial
umum yang memiliki dua segi yakni segi kejiwaan (psychological state) dan segi
objektif (objective state). Segi kejiwaan mengandung arti kondisi patuh dan taat
kepada yang disembah. Sementara segi objektif memiliki term kejadian objektif
yang dapat dipelajari dari luar.
Perilaku ketundukan atau ketaatan tidak dapat secara langsung
dipersamakan dengan agama. Unsur lain selain ketundukan untuk dapat disebut
agama adalah membedakan kedudukan manusia dengan makhluk lainnya. Hal ini
dikarenakan manusia merupakan makhluk yang paling mempunyai dua unsur
4
kehidupan yakni jasmani dan rohani (Sunandar, 2017). Agama bukan hanya
tentang apa yang disembah manusia, tetapi juga atas kepercayaan tersebut timbul
kekuatan, ketenangan, dan kebahagiaan kepada mereka.
Political Economy of Accounting (PEA) yang dikemukakan oleh Tinker (1980) berhasil
menyibak realitas bahwa agenda “kepentingan” kelompok tertentu hadir dalam
kamuflase dalam bentuk pemberian utang dan dilegitimasi sebagai “dewa
penyelamat” krisis.
Riset ini mengungkap bahwa hutang Rekening Dana dan Investasi (RDI) yang
sebenarnya tidak dibutuhkan (khususnya di PDAM Permai) “dipaksa” untuk
mengambil pinjaman itu. Dugaan itu diperkuat dengan tidak adanya studi
kelayakan (feasibilities study) terhadap pemberian hutang RDI tersebut. Tercatat
selama 20 tahun, tidak ada pembayaran yang ditujukan untuk pelunasan, baik
pokok hutang maupun biaya denda dan administrasinya. Bahkan ironisnya, isu
yang menyeruak adalah manajer-manajer PDAM yang menerima hutang seolah
“santai” dan mengharapkan terrealisasinya isu penghapusan hutang non-pokok oleh
pemerintah. Hutang RDI ini terus membebani PDAM. Bagaimana tidak? Nilai pokok
hutang PDAM yang semula berjumlah tiga miliar rupiah, membengkak menjadi
sebelas miliar dengan denda dan administrasi. Ironisnya, pemerintah melalui
terbitnya PMK 120/PMK.05/2008 mengeluarkan kebijakan penghapusan hutang
RDI non-pokok. Kebijakan ini tentu sangat menggelikan mengingat pada saat
pengajuan hutang pemerintah terkesan sangat memaksakan agar pengajuan ini
terrealisasi, dan di saat PDAM terlena menikmati “hutang gratisan” ini yang
memberikan dampak buruk terhadap kinerja, pemerintah kemudian mengeluarkan
kebijakan penghapusan dengan dalih membuat PDAM lebih sehat. Faktanya, dua
tahun sebelum penggunaan hutang RDI, PDAM mampu menghasilkan kinerja positif.
Dugaan adanya agenda privatisasi menyeruak ketika hutang dikaitkan
dengan adanya persyaratan teknis dan strategis yang disepakati pemerintah.
Salah satu isi persyaratan tersebut yang bersifat kontradiktif adalah penerapan
full cost recovery. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya tarif dasar air
dan dibebankan kepada konsumen. Padahal kebijakan full cost recovery hanya
dapat diterapkan ketika PDAM menunjukkan pelayanan yang prima kepada
masyarakat. Namun, realita yang terjadi adalah sebaliknya. Salah satu
persyaratan hutang RDI adalah mendorong pemerintah untuk melakukan
restrukturisasi manajemen pengelolaan sumber daya air.
Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, pemerintah Indonesia harus
melakukan amandemen beberapa perundangan, salah satunya adalah Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Sumber Daya Air. Hal ini menunjukkan
betapa ikut campurnya pihak eksternal atas urusan kenegaraan Indonesia. Bahkan
hingga secara halus memaksa perubahan perundangan. Pada titik ini, hutang yang
secara politis terlegitimasi dan berdampak pada tren kinerja yang memburuk
sehingga menguatkan rasionalisasi bahwa “there is no way to fix it, we must let it go”
(PDAM harus dijual karena kinerja buruk, manajemen harus direstrukturisasi)
privatisasi merupakan hal yang tidak terhindarkan. Beberapa studi terkait
restrukturisasi perusahaan pengelola sumber daya air menunjukkan hasil yang
negatif. Misalnya, salah satu riset menunjukkan bahwa di Argentina, Pakistan,
6
Chocabama, dan Bolivia, privatisasi sumber daya air membuat pelayanan untuk
masyarakat miskin menurun. Bahkan masyarakat tidak mampu membeli air bersih
dan terpaksa mengonsumsi air sungai yang tercemar, sehingga wabah cholera
menjangkit penduduk setempat. Adanya hak rakyat untuk mendapatkan sumber
daya air terganggu akibat privatisasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain dugaan agenda privatisasi, realitas lain yang menarik dari analisis
kritis terhadap hutang PDAM ini adalah bobroknya mental manajemen.
Berdasarkan Haryadi (2015) manajemen terkesan membiarkan hutang RDI ini
begitu saja. Bahkan pernyataan salah satu jajaran direksi menyebutkan bahwa
PDAM Maju tidak akan ditutup dikarenakan sudah ada jaminan dari Pemerintah
Daerah (Pemda). Pemda menjamin bahwa PDAM tidak akan ditutup meskipun terus
menghasilkan kerugian. Manajemen PDAM Maju menyepakati bahwa jajaran
manajemen PDAM lainnya juga membiarkan hal ini terjadi. Argumen yang
menggelikan adalah “kami lebih suka dengan kondisi ini. Yang penting keuangan
kami sehat. Kami tidak perlu membayar pajak (karena rugi). Kalau kami
menghasilkan laba, maka beban terbesar kami kembali muncul. Pengeluaran ini
kemudian untuk apa? Karena kami tetap dijamin tidak akan tutup dan terdengar
kabar akan adanya kebijakan penghapusan.” PDAM dijamin oleh Pemda dengan
syarat harus membayar Pendapatan Asli Daerah (PAD) kepada Pemda. Padahal
tidak ada aturan yang mengharuskan PDAM memberikan PAD untuk Pemda. Hal
yang lebih menggelikan adalah sejak kapan perusahaan yang merugi tetapi dapat
memberikan PAD? Realita ini tentu menimbulkan kegelisahan bagi kita semua.
Betapa besarnya kekuatan “kepentingan” yang mengungkung segala aspek
kehidupan di Indonesia.
Berkaitan dengan aspek politik, standar akuntansi yang diterapkan di
Indonesia sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan. Studi dialogis
yang dilakukan oleh Kamayanti (2012) mengungkap dialektika standar akuntansi
sebagai alat dominasi terhadap suatu bangsa. Dengan pendekatan dialogis
terhadap praktik akuntansi dan pendidikan akuntansi di Indonesia saat ini, riset ini
mencoba menunjukkan dialektika pudarnya nilai etis Pancasila dan UUD 1945 yang
dianut oleh bangsa Indonesia. Dialektika yang terjadi adalah adanya bukti-bukti
bahwa para pelajar yang terlibat dalam studi dialogis ini ternyata tidak secara
sadar bahwa perilakunya tidak sesuai dengan nilai etis yang dianutnya, dalam hal
ini praktik dan pendidikan akuntansi. Pertama, secara dialektis Indonesia menganut
Pancasila sebagai ideologi, meletakkan Tuhan sebagai dasar dalam segala aspek
kehidupan bernegara. Namun, pada kenyataannya praktik dan pendidikan
akuntansi dari hal yang sederhana saja sudah menegasikan Tuhan. Kedua, praktik
akuntansi di Indonesia saat ini adalah praktik akuntansi kapitalis yang berorientasi
pada laba. Laba yang nantinya akan dibagikan kepada pemegang saham.
7
Secara dialektis, hal ini tidak bersesuaian dengan sila ke lima Pancasila yang
menghendaki keadilan soasial bagi seluruh rakyat. Seharusnya akuntansi yang
Pancasilais mampu menghadirkan praktik dan pendidikan akuntansi yang
berkeadilan. Ketiga, adopsi standar akuntansi internasional yang merupakan
implikasi dari keterlibatan Indonesia dalam sejumalah agenda internasional seperti
G20 (The Group of Twenty) dipandang sebagai alat imperalisme modern secara
dialektis terhadap praktik dan pendidikan akuntansi serta ideologi bangsa. Hal ini
membuktikan bahwa kepentingan tertentu selalu hadir dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam akuntansi.
Pertanyaan mungkin hadir di benak kita, “Apa relevansi dari riset-riset
tersebut?”. Hemat kami, riset-riset di atas menjadi gambaran bahwa realitas politik
tidak terhindarkan dalam segala sendi kehidupan. Dialektika ini dapat membantu
kita untuk memahami bagaimana tatanan sosial ini terbentuk. Dalam konteks fraud,
aspek politik akan selalu hadir di dalamnya. Karena fraud yang merupakan
tindakan yang syarat kesengajaan pasti tidak akan lepas dari kepentingan. Dari
sini apakah kita dapat menyimpulkan kasus hutang RDI yang akhirnya berdampak
negatif terhadap pengelolaan sumber daya air Indonesia dapat dikatakan fraud?
Hal ini jelas memenuhi unsur-unsur fraud secara teoritis. Ataukah realita ini
merupakan suatu hal yang wajar karena “terlegitimasi”? Lantas, apa yang dapat
kita lakukan dalam kapasitas kita sebagai akademisi?
Hemat kami, yang dapat kita lakukan sebagai akademisi adalah terus
memperdalam pengetahuan dan analisis kita. Pendalaman pengetahuan dan
analisis yang diekstensikan dalam bentuk riset, gagasan, diseminasi, maupun media
lain dapat memberikan kontribusi untuk pemecahan masalah. Selain itu, selalu hati-
hati dalam menyikapi sesuatu merupakan implikasi kecil yang paling praktis yang
dapat kita lakukan, berbekal pendalaman pengetahuan dan analisis.
SIMPULAN
Fraud sebagai output dari perilaku manusia merupakan suatu hal yang cukup
kompleks untuk dijelaskan. Tidak cukup hanya memahami fraud dari satu perspektif
saja. Pemahaman dari perspektif tertentu saja hanya akan menghasilkan
pemahaman yang parsial.
Kami berpendapat bahwa terdapat realitas sosial yang lebih dalam dari
fenomena fraud. Dalam tulisan ini, kami mencoba untuk mengulas aspek sosial yang
hadir dalam fraud yakni aspek politik dan agama. Aspek politik menjelaskan
adanya unsur kepentingan dalam setiap kasus fraud. Bahkan hadirnya aspek politik
membuat parameter fraud atau unfraud menjadi buram. Dalam kasus hutang PDAM
di atas misalnya, apakah kita memiliki parameter yang kuat untuk mengatakan
bahwa kasus itu merupakan fraud karena merugikan bangsa Indonesia? Ataukah
karena pemberian hutang ini meskipun merugikan bangsa tetapi bukan merupakan
fraud karena terlegitimasi?
Sementara aspek agama yang merupakan entitas yang mengemas seluruh
aspek kehidupan. Aspek agama menjadi aspek paling mendasar dalam
menjelaskan fraud. Agama memberikan penjelasan yang holistik tetang fraud,
bahkan agama memberikan parameter yang jelas mengenai fraud dan unfraud.
Tataran penjelasan dari segi agama bahkan mampu menjelaskan indikator benar
dan salah, lebih dari sekedar nilai etika (baik/buruk, pantas/tidak pantas). Selain
itu, paradigma beragama yakni spiritual religius memiliki semangat untuk selalu
mendasarkan segala perbuatan pada nilai ketauhidan dan ketaatan pada Tuhan.
Politik dan Agama merupakan realitas yang tak terhindarkan dalam fraud.
Dengan memahami kedua aspek ini, analisis kita akan semakin mendalam dan
komprehensif. Pemahaman yang lebih utuh tentang mengapa orang melakukan
fraud menjadi lebih beragam. Implikasi yang dapat diberikan adalah upaya untuk
pencegahan, pendeteksian, investigasi, dan mitigasi terhadap fraud menjadi lebih
luas, bahkan hingga menyentuh nilai-nilai dalam kehidupan.
REFERENSI
Awang, Y., & Ismail, Z. (2018). Determinants of Financial Reporting Fraud Intention
Among Accounting Practitioners in the Banking Sector : Malaysian Evidence.
International Journal of Ethics and Systems, 34(1), 32–54.
Carroll, R. (2005). A Model For Ethical Education in Accounting. In In Ethical Issues in
Accounting (pp. 169–185).
Dorminey, J., Scott Fleming, A., Kranacher, M. J., & Riley, R. A. (2012). The evolution
of fraud theory. Issues in Accounting Education, 27(2), 555–579.
https://doi.org/10.2308/iace-50131
Haryadi, B. (2012). Analisis Kritis Hutang dan Dampaknya Terhadap Kinerja PDAM
10