21/01/2015
Login Register
Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 42: Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been
the industry's
MIPI Awards 2013: Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's
Pelantikan Pengurus MIPI (Riau): Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been
the industry's
MIPI Lecture: Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's
Buku Putih MIPI: Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's
Pengurus Pusat dan Daerah
Kabar Daerah
Kabar Kampus
Sitemap
Search...
Home
Artikel Pemerintahan
Jurnal
Edisi 02-10
Edisi 11-20
Edisi 21-30
Edisi 23
Edisi 25
Edisi 31-40
Edisi 36
Edisi 38
MIPI Awards
Info
Info & Kontak
MIPI Awards 2007
MIPI Awards 2008
MIPI Awards 2009
MIPI Awards 2010
MIPI Awards 2011
MIPI Awards 2012
MIPI Awards 2013
Home
/
Pemilihan Kepala Daerah
/
Artikel 2
/
Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Reformasi
Otonomi Daerah
Pemilihan Kepala Daerah
DPRD
Politik
Pemerintahan
Desentralisasi
Jurnal Ilmu Pemerintahan
Home
/
Pemilihan Kepala Daerah
/
Artikel 2
/
Politik Lokal dan Otonomi Daerah
A+ A A-
1/8
21/01/2015
Tampilnya reformasi di panggung politik nasional telah menuntut diterapkannya paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang berintikan asas demokratisasi dan desentralisasi yang lebih mengedepankan keanekaragaman, identitas lokal,
pluralisme dan partisipasi. Hal ini telah memacu pula minat pada para pakar ilmu Politik dan Pemerintahan untuk memfokuskan
perhatian mereka pada apa yang dinamakan sebagai Politik Lokal. Namun sebelum masuk ke dalam pengertian politik lokal dan
kaitannya dengan Otonomi Daerah, sebaiknya dilihat dulu apa yang dimaksud dengan politik dan otonomi daerah? Para pakar
memberikan definisi tentang politik dengan rumusan kalimatnya berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya masing-masing.
Para pakar ilmu politik terbagi dalam berbagai kelompok dalam mendefinisikan politik. Namun pada umumnya, ada dua golongan
besar dalam memberikan definisi tentang politik. Golongan pertama memahami politik sebagai struggle for power, dan golongan
yang kedua mempersepsikan politik sebagai perumusan tujuan negara atau pemerintah dan bagaimana cara mewujudkan tujuan itu.
Michel Curtis (1978: 3) yang mewakili kelompok pertama mempersepsikan politik sebagai berikut: politics is organised dispute
about power and its use, involving choice among competing values, ideas, persons, interest and demands. Sedangkan kelompok
yang kedua yang diwakili oleh Miriam Budiardjo (1977: 8) memahmi politik sebagai ... bermacam-macam kegiatan dalam suatu
sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Sebetulnya, kalau diperhatikan lebih jauh, maka akan tampak bahwa kedua definisi itu saling terkait dan saling melengkapi.
Sebab orang untuk dapat menentukan tujuan negara dan melaksanakannya membutuhkan kekuasaan, kewenangan atau otoritas di
satu sisi, dan di sisi yang lain, kekuasaan, kewenangan atau otoritas yang diperjuangkan itu, tentu, diharapkan akan menjadi alat
yang digunakan untuk menentukan tujuan negara dan melaksanakan/mewujudkannya.
Otonomi Daerah sendiri dipersepsikan sebagai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suatu daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri demi mencapai tujuan daerah yang bersangkutan yaitu, kesejahteraan masyarakat. Lebih jelas, dalam
penjelasan umum Undang-Undang N0. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dikemukakan tentang tujuan pemberian Otonomi
Daerah sebagai berikut: Pemberian Otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah sebetulnya tujuan
pemberian otonomi yang merupakan tugas dari politik lokal untuk mewujudkannya. Dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya,
kita sudah memiliki cukup bahan untuk menyoroti Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
2/8
21/01/2015
yang dinamakan sebagai struktur. Dengan demikian maka suatu struktur ialah sebagaimana dikatakan oleh (Almond & Powell, 1966:
21) By structure we mean the observable activities which make up the political system. Dari apa yang telah dipaparkan
sebelumnya dapat dikonklusikan bahwa suatu sistem politik merupakan suatu kebulatan terdiri dari struktur-struktur atau komponenkomponen yang sering disebut sebagai supra struktur politik dan infra struktur politik. Dengan memakai kerangka konseptual Sistem
Politik dan dikaitkan dengan Otonomi Daerah, maka Politik Lokal dapat dipahami sebagai bagaimana bekerjanya sistem politik di
daerah dalam mewujudkan tujuan pemberian Otonomi Daerah yang bersifat seluas-luasnya itu. Dengan kata lain bagaimana Politik
Lokal menerapkan demokratisasi dan desentralisasi yang merupakan tuntutan reformasi dalam penyelengaraan pemerintahan guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Pendek kata, bagaimana supra struktur politik dan infra struktur politik bekerja
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini sejalan dengan (CSIS, 2001: 3) yang mengatakan bahwa polilik
lokal, yakni bagaimana institusi-instusi politik yang membentuk sistem politik di daerah telah mempersiapkan diri untuk membangun
dan terlibat dalam struktur baru pemerintahan di daerah. Institusi-institusi politik di daerah banyak jumlahnya. Namun untuk
kepentingan penulisan ini, difokuskan perhatian pada beberapa saja yang masuk dalam supra dan infra struktur politik antara lain
sebagai berikut: (a) pada lingkungan Supra Struktur Politik, yakni Pemerintah Daerah daerah, DPRD; (b) pada linkungan Infra
Struktur Politik, yakni, Partai Politik, Kelompok Kepentingan dan Media Massa. Hal ini sejalan dengan CSIS (2001: 4) yang menulis
sebagai berikut: Dalam konteks ini, institusi-institusi yang membentuk politik lokal itu terdiri paling kurang lima institusi politik, yakni
pada lingkungan pemerintahan adalah pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); pada lingkungan
kemasyarakatan adalah Partai Politik dan Kelompok kepentingan dan media massa yang memainkan peran sebagai komunikator
untuk tataran kedua institusi politik, maupun sebagai kontrol atas mereka. Disini akan disoroti bukan saja kedudukan mereka
sebagai institusi, melainkan juga bagaimana mereka menjalankan peran-peran (roles) guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi
daerah yang telah digambarkan sebelumnya. Dengan kata lain, bagaimana kelima institusi yang menjadi unsur-unsur sistem politik di
daerah berfungsi guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah. Sebab kalau mereka berhasil memainkan peran-peran
mereka dengan baik, maka tujuan pemberian otonomi daerah akan berhasil diwujudkan, kalau tidak maka hal ini berarti mengulang
kembali kegagalan program otonomi daerah yang dilakukan pada masa yang lalu. Dengan demikian, maka semboyan terkenal
orang-orang Perancis yang memandang sejarah sebagai sesuatu yang bersifat sirkular yang terefleksikan dalam kalimat lhistoire se
repte (sejarah berulang) akan terbukti kebenarannya. Agar institusi-instusi sebagai aktor dapat memainkan peran dengan baik,
sehingga terwujud tujuan otonomi daerah, dengan demikian dapat menafikan semboyan (sejarah berulang), maka mereka perlu
menyadari peran krusial mereka. Selain itu mereka juga dituntut untuk memiliki kesanggupan dan kemampuan guna mewujudkan
tujuan pemberian otonomi daerah yang telah diutarakan sebelumnya. Jadi, disini letaknya dinamika keadaan yang menawarkan dan
menciptakan peluang bagi politik lokal untuk mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah. Marilah kita melihat kemampuankemampuan apa yang ditunut kepada mereka untuk memainkan peran-peran mereka guna merealisasikan tujuan otonomi daerah itu
?
3/8
21/01/2015
mengatur, mengontrol dan mengendalikan perilaku individu atau kelompok? Kalau diamati secara sekilas, terlihat bahwa
kemampuan regulatif ini masih sangat lemah. Daerah belum mampu untuk mengatur dan mengendalikan perilaku individu atau
kelompok yang ada di daerah. Terjadinya konflik yang merebak dimana-mana yang memakan korban jiwa dan material yang
sedemikian banyak merupakan tanda dari kurangnya regulative capability. Munculnya perang suku di Papua, Timika (2006) yang
memakan korban 11 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka merupakan bukti lemahnya regulative capability. Terjadinya
penggunaan zat pengawet seperti formalin yang merebak beberapa bulan yang lalu (2006) untuk makanan seperti tahu, ikan dan
daging dan lain-lain, tanpa ada yang bisa mencegah atau memberikan sanksi yang berarti, merupakan suatu indikasi dari lemahnya
regulative capability. Lahirnya produk legislatif di daerah yang mengatur tentang larangan prostitusi yang dianggap sebagai suatu
prestasi dari kemampuan regulatif yang ada di daerah sangat membesarkan hati. Tetapi, lantas dalam pengaturan dan
penerapannya banyak sekali sisi hak asasi manusia yang terlanggar, juga merupakan isyarat dari lemahnya kamampuan regulatif
tadi. Sebab kemampuan regulatif itu bukan saja mencakup sisi pembuatannya, melainkan juga sisi implementasi dan juga
evaluasinya untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.
Kemampuan lain yang perlu mendapatkan porsi perhatian yang sesuai adalah distributive capability yaitu kemampuan untuk
mendistribusikan barang dan jasa, nilai, status dan kesempatan kepada masyarakat. Hal ini terkait erat dengan bagaimana supra
struktur politik (Pemda dan DPRD) mengalokasikan anggaran untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di berbagai bidang
kehidupan masyarakat. Memang, dewasa ini diperkenalkan kepada daerah-daerah anggaran kinerja yang menutut pengalokasian
dana yang lebih besar dan banyak untuk kepentingan publik/masyarakat daripada kepentingan aparatur. Penulis tidak memiliki data
yang konkrit tentang pengalokasian anggaran untuk sektor publik. Namun dari berbagai pemberitaan media massa mengenai
berbagai gizi buruk, busung lapar, lumpuh layu yang terajdi di banyak daerah merupakan suatu indikasi bahwa distributive
capability di bidang kesehatan masih lemah, baik dalam hal pengalokasian anggaran, maupun kemampuan untuk menangani atau
mengatasi masalah tersebut. Begitu pun di bidang pendidikan. Adanya banyak anak sekolah yang putus sekolah, karena orang
tuanya tidak mampu membayar uang sekolah; kebijakan pemerintah yang menghendaki wajib sekolah 9 tahun, tidak diikuti oleh
penyediaan fasilitas sekolah yang cukup, sehingga kebijakan tinggal kebijakan tetapi gagal dalam implementasinya; banyak murid
SD yang sekolah di gedung sekolah yang bocor, atau belajar dengan hanya duduk di lantai, gedung SD yang hampir runtuh tanpa
ada upaya untuk memperbaikinya, merupakan isyarat bahwa distributive capability di bidang pendidikan sangat rendah. Memang
UUD 1945 yang diamandemen mengamanatkan agar Pemerintah mengalokasikan 30% anggaran untuk pendidikan, dan secara
mutatis mutandis diharapkan agar kebijakan ini diikuti oleh pemda-pemda. Namun sampai saat ini baik pemerintah, maupun
pemerintah daerah belum bisa mengalokasikan 30 % dari anggarannya untuk bidang pendidikan. Demikian pula di bidang
keamanan, terjadinya banyak sekali pembunuhan, pencurian, mutilasi, penggoroyakan, pembakaran, merupakan bukti kurangnya
distributive capability. Penetapan Upah Minimum Regional (UMR) yang banyak menuai protes menandakan bahwa gaji buruh di
daerah-daerah sangat rendah sehingga tidak cukup untuk memberikan kehidupan yang layak buat mereka dan keluarga mereka.
Gaji PNS yang masih rendah, sehingga membuat PNS harus ngobyek keluar, bahkan ada yang memanfaatkan situasi ini untuk
melakukan KKN yang pemberitaannya marak di koran dan media elektronika merupakan indikasi dari rendahnya kemampuan
distributif pemerintah daerah.
Selain itu agar politik lokal dapat berjalan dengan baik dan mendapatkan dukungan, maka sistem politik di daerah perlu
menampilkan symbolic capability yang baik. Artinya, simbol-simbol politik, baik nasional maupun regional perlu dialirkan kepada
masyarakat dan dunia internasional yang ditandai dengan upacara-upacara bendera, kunjungan-kunjungan pejabat ke daerahdaerah, upaya-upaya sosialisasi dan lain sebagainya. Kalau demikian maknanya symbolic capability maka menurut hemat kami,
daerah cukup memiliki kemampuan ini. Sebab hampir tiap hari senen, atau pada hari-hari raya nasional selalu diadadakan upacara
bendera, ada pembacaan pembukaan UUD dan ada pengucapan Pancasila. Kunjungan ke desa-desa dan ke masyarakat sering
kali dilakukan, baik untuk memberikan bantuan, maupun untuk melakukan sosialisasi. Hanya keefektivan dari pelaksanaan symbolic
capability ini perlu dipertanyakan. Sebab Pancasila, walaupun sering diucapkan, tetapi gemanya dalam kehidupan, akhir-akhir ini,
terasa sangat kurang. Para pejabat di daerah sering didemo dan diminta untuk mundur. Memang, perihal demonstrasi ini dapat
dinilai sebagai suatu perkembangan partisipasi politik dan demokrasi yang baik, di satu sisi, namun hal itu menandakan juga bahwa
dukungan terhadap sistem politik mengalami erosi yang juga merupakan bukti bahwa kemampuan simbolik kurang efektif dalam
penarapannya, di sisi lain. Jadi symbolic capability itu ada, namun kurang efektif.
Ada lagi kemampuan yang dituntut terhadap sistem politik yang ada di daerah yaitu, responsive capability. Artinya, bagaimana
kemampuan sistem politik untuk memberikan respons terhadap berbagai tuntutan dan aspirasi yang datang dari luar sistem politik.
Sering ada pameo yang mengatakan bahwa semakin tinggi kemampan unutuk memberikan respons terhadap berbagai tuntutan dari
luar, maka semakin tinggi pula dukungan yang akan diperoleh sistem politik dari luar. Memang demikian adanya. Semakin seorang
Bupati atau para anggota DPRD menampung aspirasi masyarakat dan mewujudkannya dalam bentuk kebijakan daerah, semakin
mereka akan mendapatkan dukungan, bahkan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya. Namun kenyataan menunjukkan
bahwa, karena proses pemilihan pejabat-pejabat publik itu sering diwarnai dengan money politics, banyak duit yang dihabiskan,
maka sesudah pejabat itu duduk di singasananya, ia akan berusaha bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya,
sehingga melupakan untuk mengefektifkan responsive capability. Dengan demikian, tak jarang bahwa banyak Bupati dan walikota
yang sekarang ini diproses di pengadilan karena dituduh KKN. Banyak DPRD yang divonis bersalah melakukan KKN (DPRD Kota
Depok 1999 2004, DPRD Sumatera Barat, dsb). Banyak janji yang dilontarkan oleh para pejabat publik selama kampanye, namun
janji tinggal janji, dan hanya sedikit yang dipenuhi.
Telah dianalisis kemampuan supra struktur politik dalam menjalankan politik lokal dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi
daerah. Bagaimana infra struktur politik, dalam hal ini Partai Politik, Kelompok kepentingan dan Media Massa menjalankan role-nya
dalam politik lokal sehingga tujuan pemberian otonomi daerah dapat terwujudnya ? Partai politik biasanya dipahami sebagai suatu
kelompok yang terorganisir yang berupaya untuk menggapai kekuasaan. Lebih jelas Miriam Budiardjo (1982: 14) mendefinisikan
partai politik sebagai ...suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakankebijakan mereka. Partai-partai politik menjalankan beberapa fungsi atau peran yang menurut Ramlan Surbakti (1992: 116-121)
adalah sebagai berikut: (a) Sosialisasi Politik; (b) Rekruitmen Politik; (c) Partsipasi Politik; (d) Pemadu Kepentingan; (e) Komunikasi
Politik; (f) Pengendalian Konflik; (g) Kontrol Politik dalam rangka memaknai otonomi daerah demi terwujudnya tujuan pemberian
http://www.mipi.or.id/pemilihan-kepala-daerah/item/102-politik-lokal-dan-otonomi-daerah
4/8
21/01/2015
otonomi daerah. Namun sesuai dengan pengamatan sekilas penulis, fungsi-fungsi tersebut belum dijalankan secara baik, kecuali
fungsi rekruitment politik. Boro-boro menjadi pengendalian konflik, mereka sendiri merupakan sumber konflik. Banyak sekali konflik
internal yang mewarnai sebagian besar partai politik di daerah. Partai politik nampaknya hanya hidup untuk pemilihan umum dalam
rangka melaksankan fungsi rekruitmen politiknya.
Sedangkan kelompok kepentingan (interest group) yang oleh Maurice Duverger (1984: 119) disebut sebagai kelompok penekan
(pressure group) yang tidak langsung mengambil bagian dalam memperoleh kekuasaan secara langsung atau dalam melancarkan
kekuasaan itu sendiri. Mereka bertindak untuk mempengaruhi kekuasaan, sementara tidak terlibat di dalamnya, tetapi mereka
melancarkan tekanan-tekanan atas kekuasaan yang sedang berjalan. Bagaimana mereka memainkan peran mereka dalam
mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah ? Memang dewasa ini bermunculan banyak sekali LSM-LSM yang masuk dalam
kategori pressure group namun peran mereka belum banyak terlihat di daerah. Memang secara organisatoris mereka telah
terorganisasi secara desentralistis, tetapi kurang terlihat adanya aktivitas mereka yang mengarah kepada perwujudan tujuan otonomi
daerah. LSM-LSM yang menjalankan kegiatannya di bidang bisnis, bahkan merasa khawatir bahwa mereka akan manjadi sapi
perahan untuk meningkatkan PAD atau untuk mengisi pundi-pundi pribadi pejabat publik. Mereka yang menjadi anggota asosiasiasosiasi kepentingan tersebut yang dapat merasakan manfaat, sementara masyarakat banyak yang tidak pernah berhubungan
dengannya dan tidak menjadi anggota asosiasi tersebut tidak merasakan manfaat apa-apa bahkan tidak tahu bahwa kelompokkelompok itu ada di dalam masyarakat.
Salah satu unsur lagi yang masuk dalam infra struktur politik adalah media massa. Berdasarkan pengamatan sekilas, dan dengan
memperhatikan kondisi media massa pada umumnya, maka dapat dilihat bahwa media massa lokal, terutama media cetak dan
radio memperlihatkan kegairahan dalam memainkan peran mereka sebagai komunikator publik demi mewujudkan tujuan otonomi
daerah. Media massa lokal cukup mengangkat isu-isu krusial mengenai otonomi daerah. Munculnya banyak sekali koran-koran dan
radio-radio lokal merupakan indikasi semakin meningkat perhatian media massa lokal terhadap politik lokal. Penelitian CSIS (2001:
11) mengindikasikan bahwa penilaian masyarakat terhadap peran media massa lokal dalam megangkat masalah-masalah sosial,
informasi penting; pemberitaan terhadap kegiatan pemda memperoleh apresiasi yang tinggi.
Optimalisasi Peran
Dalam keadaan institusi yang lemah dan interaksi antara mereka yang kurang memadai dalam rangka untuk mewujudkan tujuan
pemberian otonomi daerah, maka yang perlu dilakukan adalah mengoptimalisasikan peran mereka dengan melakukan apa yang
disebut sebagai capacity building. Pengoptimalisasian peran atau capacity building ini dapat dilakukan dengan memakai
kerangka yang dikemukakan oleh Merilee S. Grindle (1997: 9) sebagai berikut:
Dimensions and Focus of Capacity Building Initiatives
Dimension
Fokus
Type of Activities
Human
Resource
development
Organizational Management systems to improve performance of Incentive systems, utilization of personnel, leadership,
Strengthening specific task and functions, microstructures
organizational culture, communications, manegerial structures
Institutional
reform
5/8
21/01/2015
diperhatikan, maka politik lokal akan berjalan dengan baik dan pada gilirannya akan bekerja dan tujuan otonomi daerah akan
terwujud dengan baik pula.
Penutup
Dari apa yang telah dipaparkan, maka dapat dikatakan bahwa politik lokal atau bagaimana bekerjanya institusi-institusi yang
membentuk sistem politik di daerah guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah belum mampu beperan dengan baik. Belum
berperannya institusi-institusi tersebut dengan baik karena kurang memiliki kemampuan yang dituntut kepada mereka yaitu,
extractive capability, regulative capability, distributive capability, symbolic capability, dan responsive capability. Untuk itu maka
terhadap institusi-institusi tersebut perlu diadakan perkuatan baik dari sudut sumber daya manusia, organisasi, maupun konteks
institusional. Kalau upaya perkuatan itu berhasil dengan baik, maka mereka akan mampu memainkan peran mereka, sehingga
diharapkan tujuan pemberian otonomi daerah dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Almond & Powell, 1966, Comparative Politics, A Developmental Approach, Little Brown, Boston.
Center For Strategic And International Stuies, 2001, Kemampuan Politik Lokal Untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, CSIS,
Jakarta.
Edward E. Marsahll, 1995, Transforming The Way We Work: The Power of Colaborative Workplace, American Management
Assosiation, New York.
Forum Komunikasi Alumni IIP, 2004, Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, FKAI, Jakarta.
Koran Seputar Indonesia (Sindo), Hari Selasa, Tanggal 1 Agustus 2006.
Maurice Duverger, 1984, Partai Politik dan Kelomok-Kelompok Penekan, Bina Aksara, Jakarta.
Merilee S. Grindle, The Good Government Imperative, Human Resources, Organization, and Institutions, Artikel dalam Getting
Good Government, Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Havard Institute for International Development,
Havard.
Michel Curtis, 1978, The Study of Comparative Goverment and Politics, Harper & Row Publishers, New York.
Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta.
-----------------------, 1982, Partisipasi dan Partai Politik, PT Gramedia, Jakarta.
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Sadu Wasistiono, 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FOKUSMEDIA, Bandung.
Soewargono, 1983, Bunga Rampai Ilmu Politik, Yayasan Karya Dharma IIP, Jakarta.
Copyright @ Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Last modified on Monday, 19 August 2013 10:05
Read 4304 times
Published in Artikel 2
Tagged under
MIPI Artikel
Politik
Otonomi Daerah
Politik Lokal
Simao de Assuncao
Tweet
www.mipi.or.id
Safe Website
3 Trackers
Feedback
Safe Link
No known threats.
Go to website Back
SECURITY WARNING: Please treat the URL above as you would your password and do n
Facebook Help Center for more information.
http://www.mipi.or.id/pemilihan-kepala-daerah/item/102-politik-lokal-dan-otonomi-daerah
6/8
21/01/2015
SECURITY WARNING: Please treat the URL above as you would your password and do not share it with anyone. See the
Facebook Help Center for more information.
Given URL is not allowed by the Application configuration.: One or more of the given URLs is not allowed by the App's settings.
match the Website URL or Canvas URL, or the domain must be a subdomain of one of the App's domains.
Administrator
Alamat Sekretariat:
Kampus IPDN - Jln. Ampera Raya, Cilandak Timur,
Ps. Minggu, Jakarta Selatan (Kode Pos 12560)
Tlp/Fax: 021 780 22 39, e-mail: jurnal.mipi@yahoo.com/mipi@mipi.co.id
http://www.mipi.or.id/pemilihan-kepala-daerah/item/102-politik-lokal-dan-otonomi-daerah
7/8
21/01/2015
Related items
Politik Institusional Penyelenggara Pemilu di Indonesia: Studi Model Birokrasi Komisi Pemilihan Umum Pasca Reformasi
Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan Politik
Globalisasi Dan Perubahan Politik Indonesia
Reformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia (Transisi Demokrasi Di Indonesia)
Perkembangan Partai Politik Indonesia
More in this category: Kontroversi Rencana Kebijakan Baru Otonomi Daerah Politik Lokal dan Pembelajaran Politik
back to top
mipi & ashoka.inc
Login or Register
LOG IN
User Name
Password
yes
Remember Me
fb iconLog in with Facebook
Register
User Registration
* Required field
Name: *
Username: *
Password: *
Confirm Password: *
Email Address: *
Confirm email Address: *
or Cancel
Close
View all results
http://www.mipi.or.id/pemilihan-kepala-daerah/item/102-politik-lokal-dan-otonomi-daerah
8/8