48 431 1 PB PDF
48 431 1 PB PDF
ILMU PENGETAHUAN
Oleh : Syamsudin
Abstrak
Pancasila sebagai paradigma ilmu Pentingnya Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan ilmu bagi mahasiswa adalah untuk
memperlihatkan peran Pancasila sebagai rambu-rambu normatif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Selain itu,
pengembangan ilmu dan teknologi di Indonesia harus berakar pada
budaya bangsa Indonesia itu sendiri dan melibatkan partisipasi
masyarakat luas.
Oleh karena itu. kemajuan dan perkembangan IPTEK sangat
diperlukan dalam upaya mempertahankan segala kekayaan yang dimiliki
oleh Indonesia serta menjawab segala tantangan zaman. Dengan
penguasaan IPTEK kita dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi Persatuan
Indonesia. Maka dari itu, IPTEK dan Pancasila antara satu dengan yang
lain memiliki hubungan yang kohesif. IPTEK diperlukan dalam
pengamalan Pancasila, sila ketiga dalam menjaga persatuan Indonesia.
Di lain sisi, kita juga harus tetap menggunakan dasar-dasar nilai
Pancasila sebagai pedoman dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi agar kita dapat tidak terjebak dan tepat sasaran mencapai
tujuan bangsa.
Kata Kunci : Pancasila, Dasar Nilai Ilmu Pengetahuan
149
A. PENDAHULUAN
Sejak dulu, Ilmu Pengetahuan mempunyai posisi penting
dalam aktivitas berpikir manusia. Istilah Ilmu Pengetahuan terdiri
dari dua gabungan kata berbeda makna, Ilmu dan Pengetahuan.
Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi
pengetahuan, sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai
peristiwa di sekitarnya, berbanding lurus dengan perkembangan
pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangannya, timbul
gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal
tersebut disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia,
baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai
ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus
diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada
pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini semakin jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan.
150
Koesnadi Hardjasoemantri, yang menyatakan bahwa Pancasila
merupakan pegangan dan pedoman dalam usaha ilmu
pengetahuan untuk dipergunakan sebagai asas dan pendirian
hidup, sebagai suatu pangkal sudut pandangan dari subjek ilmu
pengetahuan dan juga menjadi objek ilmu pengetahuan atau hal
yang diselidiki (Koesnadi, 1987: xii). Penggunaan istilah “asas
dan pendirian hidup” mengacu pada sikap dan pedoman yang
menjadi rambu normatif dalam tindakan dan pengambilan
keputusan ilmiah. Pancasila adalah gagasan vital yang berasal
dari kebudayaan Indonesia, artinya nilai-nilai yang benar-benar
diramu dari sistem nilai bangsa Indonesia sendiri.Konsep
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu menurut cara
pandang Daoed Joesoef adalah sebagai tuntunan dan
pertimbangan nilai dalam pengembangan iptek. Oleh karena itu,
Pancasila memiliki metode tertentu dalam memandang,
memegang kriteria tertentu dalam menilai sehingga menuntunnya
untuk membuat pertimbangan tertentu tentang gejala, ramalan,
dan anjuran tertentu mengenai langkah-langkah praktikal
(Joesoef, 1987: 1, 15).
154
Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu
filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).
Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan
Thomas Aquinas, pemikiran mereka memberi ciri khas pada
filsafat Abad Tengah. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini
dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani, filsafat
menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat
kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual.
Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah
penting, seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan
membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi
oleh dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik.
Wells dalam karyanya The Outline of History (1951)
mengatakan, “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,
maka orang muslim adalah bapak angkatnya”.
156
Penyelesaian tersebut biasanya dilakukan dengan
teknologi yang setingkat lebih tinggi. Kejadian berikutnya
adalah fenomena dialektika ini akan terulang lagi, demikian
seterusnya (Saswinadi Sasmojo dkk (eds), 1991: 23).
157
Suatu pengetahuan dapat disebut ilmu, jika pengetahuan dan
cara kerjanya memenuhi norma-norma ilmiah. Norma-norma
ilmiah tersebut adalah (1) mempunyai dasar pembenaran; (2)
bersifat sistematik; dan (3) bersifat intersubyektif. Pengetahuan
ilmiah dikatakan mempunyai dasar pembenaran jika segenap
pengaturan cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh
derajat kepastian yang sebesar mungkin. Setiap pernyataan ilmiah
harus harus didasarkan atas pemahaman yang dapat dibenarkan
secara apriori dan tangkapan empiris yang telah dikaji secara
ilmiah secukupnya. Permasalahannya bukan agar orang dapat
mengetahui segalanya, tetapi agar orang dapat melakukan
verfikasi serta pembenaran terhadap isi pengetahuan tersebut.
Bersifat sistematik berati terdapat sistem di dalam susunan dan
cara memperoleh pengetahuan yang dimaksud.
159
Bacon yang menyerukan bahwa “Knowledge is Power” bukan
sekedar mitos, melainkan sudah menjadi etos, telah melahirkan
corak dan sikap pandang manusia yang meyakini kemampuan
rasionalitasnya untuk menguasai dan meramalkan masa depan, dan
dengan optimismenya menguasai, berinovasi secara kreatif untuk
membuka rahasia-rahasia alam (Ditjen Dikti, 2013: 115).
162
sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism (Ditjen
Dikti, 2013: 119-120).
163
Keterlibatan pada ilmu memang dapat membuatnya
mengesampingkan dampak sosial ilmu pengetahuan, sehingga
seringkali muncul persoalan-persoalan etis, seperti misalnya
apakah penelitian yang bisa mengarah pada penciptaan bakteri
yang berbahaya bagi kesehatan manusia boleh diminta untuk
berhenti? Oleh karena itu ilmuwan juga harus mengembangkan
suatu tanggung jawab sosial, karena ia juga warga umat manusia
(Franz Magnis-Suseno, 1992, 60).
E. PENUTUP
166
keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama
masing-masing.
3. Persatuan Indonesia
167
Nilai persatuan Indonesia memberikan kesadaran kepada
bangsa Indonesia akan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi persatuan dan
kesatuan bangsa bangsa dapat terwujud dan terpelihara. Oleh
karena itu ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat
dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan
bangsa. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
hendaknya diarahkan demi kesejahteraan umum manusia
termasuk di dalamnya kesejahteraan bangsa Indonesia dan rasa
nasionalismenya.
168
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawa-ratan/Perwakilan
169
dengan sesamanya, manusia dengan penciptanya, dan manusia
dengan lingkungan di mana mereka berada.
DAFTAR PUSTAKA
170
Franz Magnis-Suseno, 1992, Filsafat-Kebudayaan-Politik, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
H.M. Tama Sembiring, Prof., Drs., SH, MM., dkk, Manur Pasaribu, SH.,
dan H. Chairul Alam, Drs., MM., 2012. Filsafat dan Pendidikan
Pancasila. Yatama Printing, Jakarta.
Saswinadi Sasmojo dkk (eds.), 1991. Menerawang Masa Depan Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Seni. Penerbit ITB, Bandung
171