Anda di halaman 1dari 9

ANGGOTA KELOMPOK :

 Jihan Ilvi Nurdiana (17034010027)


 Moch. Yusuf Cahyaning N. B. (17034010028)
 Rausan Fikri Arman (17034010030)
 Muhammad Taufik Albanjari (17034010031)
 Muhammad Qidham A. (17034010035)

ANALISIS PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LUMPUR

I. Pemanfaatan Limbah Lumpur Padat (Sludge) Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit


1.1 Limbah Lumpur Padat Pengolahan Kelapa Sawit

Pabrik kelapa sawit mengolah kelapa sawit menjadi Curve Palm Oil (CPO) dan Inti Sawit,
disamping itu dihasilkan juga 75% limbah padat dan limbah cair. Limbah padat berupa tandan
kosong, cangkang, dan serat, sementara limbah cair yang dihasilkan berupa lumpur dan sludge.

Setiap pabrik kelapa sawit memiliki sistem pengolahaan limbah kelapa sawit yang dilakukan
dalam IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit
akan diolah dalam IPAL untuk menurunkan kadar polutan dalam limbah tersebut sebelum
dibuang ke aliran sungai atau dibuang kembali ke lahan kelapa sawit (land application).

Limbah yang masuk kedalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) akan diproses
kedalam kolam-kolam limbah untuk diolah. Terdapat 3 kolam utama yaitu kolam anaerobik,
kolam fakultatif, dan kolam aerobik. Pada kolam anaerobic terjadi beberapa proses yang
menghasilkan limbah berupa lumpur padat (Sludge). Setelah dari kolam anaerobic limbah di
teruskan ke kolam fakultatif kemudian dilanjutkan ke kolam aerobik. Setelah melewati berbagai
proses di setiap kolam, limbah dapat dapat diaplikasikan ke lahan perkebunan (Land
Application) atau dibuang.

1.2 Limbah Lumpur Padat (Sludge) Sebagai Alternatif Penyediaan Unsur Hara Di Tanah
Ultisol.

Bahan yang digunakan adalah sludge dari pabrik kelapa sawit PT. London Sumatera PP.
Turangi Eastate Langkat, Sumatera Utara sebagai bahan penambah unsur hara dalam tanah
Ultisol. Bahan tanah Ultisol Mancang sebagai media tanam. Benih jagung (Zea mays L.)
sebagai tanaman indikator di tanah Ultisol. Pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit
jika diperlukan.
Pemberian limbah sludge kelapa sawit mampu meningkatkan pH tanah, C-organik tanah,
dan P tersedia tanah. Pemberian limbah sludge kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman jagung. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peningkatan tinggi tanaman, jumlah
daun, dan diameter batang. Peningkatan tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata secara
statistik, dan peningkatan pertumbuhan tanaman secara tidak langsung dipengaruhi pemberian
limbah sludge kelapa sawit yang mengandung unsur hara yang dapat digunakan tanaman untuk
bertumbuh dengan optimal. Bersama dengan mineral tanah, bahan sludge yang diaplikasikan
berpengaruh pada sejumlah aktivitas kimia tanah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Budianta (2004) pemberian limbah cair kelapa sawit mampu meningkatkan kandungan hara
yang dibutuhkan oleh tanaman.

Pemberian limbah Sludge meningkatkan pH tanah, C-organik, dan P tersedia, namun tidak
berpengaruh terhadap peningkatkan N –total, K- tukar, dan KTK tanah. Pemberian limbah
Sludge sebesar 21,25 ton/ha adalah dosis terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman
jagung seperti tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, berat kering tajuk, dan serapan P
tanaman.

II. Pengolahan Lumpur Berminyak Dengan Metode Co-Composting


2.1 Limbah Lumpur Berminyak

Limbah Lumpur Berminyak Lumpur berminyak adalah residu yang sulit untuk diolah
dengan karakteristik emulsi air/minyak (W/O) stabil yang terdiri dari air, padatan, petroleum
hydrocarbons (PHCs), dan logam. Stabilitas emulsi W/O tergantung pada lapisan protektif yang
mencegah penyatuan butiran air. Lapisan interfacial ini terdiri atas berbagai macam emulsifier
alami seperti beberapa unsur pokok PHCs (aspal dan resin), padatan halus, asam organik yang
larut dalam minyak, dan berbagai material lain (Hu dkk., 2013).

PHC adalah salah satu kontaminan umum di lingkungan. PHC berdampak pada tanah dan
air yang ada di lokasi pengeboran, kilang minyak, stasiun pelayanan, dan fasilitas lain seperti
lokasi pengumpulan minyak. Pemrosesan minyak dan konsumsi produk minyak mengarah
kepada pelepasan polutan hidrokarbon seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan
sama halnya dengan logam. PHC menyebabkan permasalahan lingkungan yang serius karena
pemakaiannya yang tersebar luas (Wang, 2008). Kontaminasi PAH telah menarik perhatian dari
masyarakat dan sisi ilmiah karena sifat sulit diolah dari PAH dan karakteristiknya yang
mutagenik dan karsinogenik (Lei dkk., 2007).

2.2 Co-Composting

Co-composting, sebagai pengomposan biasa, adalah penambahan bahan kimia untuk


meningkatkan laju reaksi dan komposisi kompos. Co-composting juga dapat diartikan sebagai
penggunaan jenis limbah lain bersamaan dengan limbah yang biasanya digunakan pada proses
pengomposan untuk meningkatkan proses sekaligus mengurangi pembuangan limbah lain.
Melalui co composting, tidak hanya produk sampingan dari pertanian dan perkotaan saja yang
dicanangkan, berbagai limbah industri pun dapat diolah dengan cara ini (Dinis, 2010).
Penerapan composting sebagai teknologi bioremediasi untuk mengolah limbah B3 telah
menunjukkan keefektifannya dalam proses biodegradasi PAHs, klorofenol, polychlorinated
biphenyls, bahan peledak, dan petroleum hydrocarbons pada skala laboratorium maupun skala
lapangan (Godoy-Faundez dkk., 2008).

Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan
formula campuran kompos dan proses pengelolaannya. Formula campuran kompos antara lain
rasio C/N, pH, ukuran partikel, dan kelembapan. Sedangkan di dalam proses pengelolaan, yaitu
konsentrasi oksigen, suhu, dan kandungan air (Bernal dkk., 2009).

Pada penerapan di lapangan, diperlukan persyaratan rancang bangun dan fasilitas penunjang
yang harus dipenuhi dalam proses pengolahannya. Berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup nomor 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara
Biologis, yang dimaksud dengan limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang
terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas
kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang terkumpul dan
terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat digunakan kembali dalam proses
produksi.

Pengolahan dengan metode co-composting ini dapat dilakukan dengan dua alternatif, yakni
metode trench atau invessel composting. Metode trench menerapkan sistem landfilling, dimana
metode ini dapat diterapkan jika kedalaman material penutup cukup tersedia dan muka air tidak
dekat dengan permukaan (Tchobanoglous dkk., 1993).
Pada metode trench, dilakukan aerasi melalui pipa yang terdapat di dasar trench untuk
menciptakan kondisi aerobik. Apabila dipandang tidak ekonomis, maka metode trench dapat
diterapkan tanpa aerasi atau secara anaerobik. Liu dkk. (2013) membuktikan bahwa proses
biodegradasi anaerobik mampu menyisihkan polutan minyak sebesar 350 mg/L menjadi 124
mg/L selama 30 hari.

Metode in-vessel merupakan proses co-composting yang dilakukan di dalam suatu reaktor
tertutup. Reaktor yang digunakan adalah rotary drum. Reaktor ini berbentuk tabung yang dapat
berputar untuk pengadukan dan pemasukan udara agar reaktor tetap dalam kondisi aerobik.

Aplikasi dari metode co-composting pada pengolahan lumpur berminyak memiliki


keunggulan, diantaranya:

1. Mengolah polutan minyak menjadi produk yang tidak berbahaya (CO2 dan H2O) melalui
proses biodegradasi. Proses biodegradasi yang terjadi mengubah alkana menjadi alkohol,
alkohol menjadi aldehid, dan aldehid menjadi asam lemak. Asam lemak yang terbentuk
kemudian mengalami proses beta-oksidasi membentuk asetil koenzim A. Asetil ko-enzim A ini
selanjutnya memasuki rangkaian siklus Krebs dan transport elektron yang menghasilkan CO2
dan H2O (Gaudy dan Gaudy, 1980).

2. Apabila terdapat logam berat di dalam lumpur berminyak yang dihasilkan, logam berat
tersebut dapat diadsorpsi oleh kompos yang dicampurkan pada proses co-composting
(AlMashaqbeh dan McLaughlan, 2014; Paradelo dan Barral, 2012).

III. Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Lumpur PDAM Cilacap


3.1 Pembahasan

Secara geologis, lumpur ialah campuran air dan partikel endapan lumpur dan tanah liat.
Jumlah lumpur dapat diketahui berdasarkan jumlah pemakaian bahan kimia untuk proses
flokulasi (flocculation), kekeruhan (turbidity), dan jumlah air baku.

Proses pengolahan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang
konvensional seperti PDAM Tirta Wijaya Kabupaten Cilacap memang menghasilkan air bersih,
namun dari pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah berupa lumpur. Lumpur tersebut
berasal dari proses koagulasi dan flokulasi yang menggunakan aluminium sulfat (Al2(SO4)3)
sebagai bahan koagulan. Prinsip dari limbah lumpur yang berasal dari pengolahan air bersih
PDAM adalah adanya kandungan logam aluminium (dari pemakaian senyawa aluminium
sulfat) di dalam lumpur yang tergolong sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun.

3.2 Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan

Pembuatan batu bata dari limbah lumpur PDAM adalah salah satu cara untuk
mengurangi masuknya aluminium dalam Sungai Serayu dan menggunakan limbah
menjadi barang yang bisa dimanfaatkan kembali. Untuk itu dilakukan pembuatan batu bata
menggunakan limbah lumpur PDAM dengan melihat komposisi material pembuatan bata yang
optimal dan melihat bagaimana kualitas batu bata melalui proses pembakaran dan tanpa melalui
proses pembakaran.

Hasil terbaik dalam komposisi material pembentukan batu bata tanpa bakar yang paling
optimal adalah dengan komposisi bahan baku cake lumpur PDAM sejumlah 20, Batu gamping
sejumlah 10, Semen Portland sejumlah 20, dan pasir sejumlah 10. Dengan menggunakan
komposisi ini hasil pengujian kuat tekan sejumlah 70 Mpa yang berarti telah lolos uji tekan SNI
15-2094-2000 dalam kelas 50 Mpa.

Pemanfaatan limbah lumpur PDAM Cilacap sebagai bahan baku pembuatan batu bata
melalui proses bakar didapatkan kesimpulan bahwa limbah lumpur PDAM tidak cocok di
manfaatkan sebagai bahan baku pembuatan batu bata melalui proses bakar karena mengalami
penyusutan yang sangat signifikan dan mengalami keretakan.

IV. Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif


4.1 Latar Belakang

Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan sistem biakan tersuspensi telah
digunakan secara luas di seluruh dunia untuk pengolahan air limbah domestik. Proses ini secara
prinsip merupakan proses aerobik dimana senyawa organik dioksidasi menjadi CO2, H2O,
NH4 dan sel biomassa baru. Sumber oksigen dapat diperoleh dengan cara aerasi. Sistem
pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi yang paling umum digunakan adalah proses
pengolahan dengan Sistem Lumpur Aktif (Activated Sludge Process). Beberapa karakteristik
dari proses ini adalah kualitas air output yang tinggi. Namun proses ini cukup sulit diaplikasikan
dibandingkan dengan metode penanganan limbah lain karena teknologi yang rumit serta
konsumsi energi listrik yang lebih tinggi untuk proses aerasi. Sistem ini dapat mengurangi
konsumsi energi serta menghasilkan sedikit sisa lumpur. Tujuan dari penanganan dengan proses
lumpur aktif diantaranya adalah penghilangan BOD, nitrifikasi, serta denitrifikasi. Pada
penghilangan BOD, umpan limbah dimetabolisme oleh mikroba pada lumpur aktif sebagai
substrat sehingga terkonversi menjadi biomassa, air, karbon dioksida, dan gas lainnya.
Biomassa terpisah pada tangki sedimentasi sekunder sehingga mengalami flokulasi dan
pengendapan. Hal ini menyebabkan bakteri, protozoa, dan mikroorganisme lain membentuk
floc makroskopis sehingga dapat tersedimentasi.

4.2 Tujuan
a) Untuk mengetahui proses pemanfaatan lumpur sebagai media dalam pengolahan limbah
b) Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi proses lumpur aktif

4.3 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yakni data yang
dikumpulkan berupa pernyataan dan bukan didasarkan pada perhitumgan penulis. Walaupun
kemudian terdapat data yang berupa angka, hal tersebut tidak menjelaskan bahwa penulis telah
melakukan perhitumgan terhadap suatu sampel. Dengan demikian jurnal penelitian ini berisi
kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran proses pengolahan lumpur aktif dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.

4.4 Hasil
 A.)Tangki Aerasi
Sebelum memasuki proses aerasi, air limbah harus diendapkan terlebih dahulu dalam bak
pengendap awal. Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi sekitar
30-40 % serta BOD sekitar 25%. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan menuju bak
aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembuskan dengan udara sehingga
mikroorganisme menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang diperoleh
mikroorganisme tersebut digunakan oleh mikroba untuk melakukan pertumbuhan sehingga di
dalam bak aerasi terjadi perkembangan biomassa dalam jumlah yang besar. Mikroorganisme
ini yang akan menguraikan senyawa polutan dalam air limbah
B) Tangki Pengendapan Sekunder
Di dalam tangki ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan
dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan dari
tangki pengendapan sekunder dialirkan menuju bak klorinasi.
C) Klorinasi Dan Resirkulasi Lumpur
Disini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme
patogen. Air dari proses klorinasi tersebut dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran
umum. Dengan proses ini air limbah dengan konsentrasi BOD tinggi dapat diturunkan kadar
BOD-nya sebanyak 70%-80%. Surplus lumpur dari keseluruhan proses ditampung dalam bak
pengering lumpur sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah.

 A) Beban BOD
Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi
dengan volume. Beban BOD dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
𝑄.𝑆𝑜
Beban BOD = kg/m3.hari
𝑉

dengan Q = debit air limbah yang masuk (m3 /hari)


So = konsentrasi BOD dalam air limbah yang masuk (kg/m3 )
V = volume reaktor (m3 )
B) Mixed-Liquor Suspended Solid (MLSS)
Campuran antara air limbah, biomassa, dan padatan tersuspensi lainnya yang berada di bak
aerasi pada proses pemgolahan air limbah sering disebut mixed liquor. Sedangkan MLSS
merupakan jumlah total dari padatan tersuspensiyang berupa material organik, mineral, serta
mikroorganisme. MLSS dapat diketahui kadarnya dengan gravimetri, yaitu dengan cara
menyaring lumpur dengan cara filtrasi, dikeringkan pada temperatur 1050C, dan ditimbang agar
diketahui massanya
C) Mixed-Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS)
MVLSS merupakan material organik yang terkandung dalam MLSS, tanpa mikroba hidup,
mikroba mati, serta hancuran sel. MVLSS diukur dengan memanaskan sampel filter yang telah
kering pada temperatur 600-6500C. Nilai dari MVLSS biasanya mendekati 65-75% dari MLSS
D) Hydraulic Recycle Ratio / Rasio Sirkulasi Lumpur (HRT)
Hydraulic Recycle Ratio / Rasio Sirkulasi Lumpur (HRT) Rasio sirkulasi lumpur adalah
perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke dalam bak aerasi dengan jumlah air
limbah yang masuk ke dalam bak aerasi
E) Sludge Age (Umur Lumpur)
Umur lumpur biasa dikenal juga dengan waktu tinggal rata-rata sel (mean cell residence
time). Parameter ini menunjukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur
aktif.
F) Kebutuhan Oksigen
Dalam kondisi aerob, oksigen dibutuhkan dalam metabolisme untuk menguraikan sumber
karbon dan sumber nitrogen. Pada peristiwa denitrifikasi, oksigen dapat disimpan dalam tubuh
mikroba
G) Pengaruh Aliran
Besarnya aliran influent yang masuk harus dikontrol agar sesuai dengan kemampuan
mikroba dalam mengonsumsi komponen organik dalam limbah dan selanjutya bisa mengendap.
Tingginya aliran dapat mempersingkat waktu pengolahan, namun jika aliran terlalu tinggi dapat
menyebabkan mikroorganisme keluar.
H) Pengaruh Temperature
Temperatur cukup berpengaruh terhadap aktivitas biologis pada lumpur aktif. Temperatur
operasi harus sesuai dengan mikroorganisme yang berada di lumpur aktif.
Daftar Pustaka

Pandapotan, Chrisman D., & Marbun, Mukhlis P. 2017. Pemanfaatan Limbah Lumpur Padat
(Sludge) Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Sebagai Alternatif Penyediaan Unsur Hara Di
Tanah Ultisol. Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597 Vol.5.No.2, April
2017 (36): 271- 276.

Hapsari, Patricia P. J. 2014. Pengolahan Lumpur Berminyak Dengan Metode Co-Composting


[Tugas Akhir]. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sucahyo, Suparto E. 2018. Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Lumpur PDAM Cilacap.
P- ISSN :2541-125X E-ISSN :2615-4781 Vol : 3, No : 2, Desember 2018.

Ningtyas, Rahayu. 2015. Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif . Bandung :
Institut Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai