Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN FIELD TRIP

PENGOLAHAN LIMBAH PG. MADUKSIMO

Disusun oleh :
ILMU LINGKUNGAN/ KELAS D/ GANJIL/ 2018-2019

Haikal Rahmadany A 17511112

Alfian Ihsanul Qayyim 17511117

Yuma Diwa P 17511127

Maulana Ikhsan Ahmad 17511128

Dimas Briantono Hakim 17511131

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2018-2019
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris dengan iklim subtropis. Di sinilah tumbuh
dengan subur tanaman tebu dan bahkan Indonesia dikenal dengan cikal bakal
tebu dunia. Tebu adalah bahan baku dalam pembuatan gula (gula kristal
putih, white sugar plantation) di pabrik gula. Dalam operasionalnya setiap
musim giling (setahun), pabrik gula selalu mengeluarkan limbah yang
berbentuk cairan, padatan dan gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di
laboratorium dan luberan bahan olah yang tidak disengaja. Limbah padat
meliputi ampas tebu, abu dan debu hasil pembakaran ampas di ketel, padatan
bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas
cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian cara sulfitasi.

Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula,
diproduksi dalam jumlah 32 % tebu, atau sekitar 10,5 juta ton per tahun atau
per musim giling se Indonesia. Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai
produk pendamping, karena ampas tebu sebagian besar dipakai langsung oleh
pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk memproduksi energi keperluan
proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4 % produksi ampas). Sisanya
(sekitar 0,3 juta ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat
menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar
pabrik gula. Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga
bila ditumpuk akan mengalami fermentasi yang menghasilkan panas. Jika suhu
tumpukan mencapai 94oC akan terjadi kebakaran spontan.

Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira,


diproduksi sekitar 3,8 % tebu atau sekitar 1,3 juta ton. Limbah ini sebagian
besar diambil petani untuk dipakai sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang
di lahan tebuka, dapat menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang
tidak sedap di sekitar lahan tersebut. Sedangkan belerang dioksida (SO2)
merupakan limbah gas yang keluar dari cerobong reaktor sulfitir pada proses
pemurnian nira tebu yang kurang sempurna menyebabkan polusi udara di atas
pabrik dan pemakaian belerang menjadi lebih tinggi dari normal.
Tetes (molasses) sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar
4,5 % tebu atau sekitar 1,5 juta ton. Tetes tebu sebagai produk pendamping
karena sebagian besar dipakai sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin
(sodium glutamate), alkohol atau spritius dan bahkan untuk komoditas ekspor
dalam pembuatan L-lysine dan lain-lain. Namun untuk hal ini dibutuhkan
kandungan gula dalam tetes yang cukup tinggi, sehingga tidak semua tetes
tebu yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu. Akibatnya tidak sedikit pabrik
gula yang mengalami kendala dalam penyimpanan tetes sampai musim giling
berikutnya, tangki tidak cukup menampung karena tetes kurang laku, atau
memungkinkan terjadinya ledakan dalam penyimpanan di tangki tetes
sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi.

Dalam analisa kontrol kualitas bahan alur proses di laboratorium


dihasilkan limbah bekas analisa yang berbentuk cairan dan padatan yang
mengandung logam berat (Pb). Logam tersebut berasal dari bahan penjernih
Pb-asetat basa yang digunakan untuk analisa gula dalam pengawasan pabrikasi.
Bahan penjernih tersebut telah digunakan sudah cukup lama, sejak satu abad
yang lalu. Diperkirakan untuk pabrik gula yang berkapasitas 4000 ton tebu per
hari diperlukan tidak kurang dari 100 kg Pb per musim giling. Dapat
dibayangkan untuk pabrik gula seluruh Indonesia, khususnya di Jawa,
diperkirakan sekitar 5 ton Pb per tahun dibuang sebagai limbah analisa gula,
atau sekitar 500 ton Pb tersebar di perut bumi Pulau Jawa selama seabad.

2.1 Tujuan
Tujuan dari Fielf Trip ke lokasi PG Madukismo adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengenal alat – alat pengolah limbah pada PG Madukismo.
2. Mempelajari proses pengolahan limbah
3. Pemenuhan tugas Ilmu Lingkungan
3.1 Metode Yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam Field Trip ini adalah Metode Langsung
atau melihat alat – alat secara langsung di lapangan.

4.1 Penanganan Limbah Cair


Limbah cair yang dihasilkan oleh PG. Maduksimo diolah dalam Unit
Pengolahan Limbah Cair Water Treatment atau Sewage Treatment Plant (STP
Pabrik Madukismo). Jumlah Limbah Cair dari pabrik gula sebanyak 10 liter detik.
Jenis limbah cair yang diolah PG. Madukismo adalah limbah industri gula yang
diperlukan dari pendingin kondensor kondensor pada panci masakan serta
pendingin mesin mesin dan peralatan pencuci udara (termasuk dari laboratorium),
tumpahan nira, cucian tapisan, bocoran seperti tetesan minyak dari peralatan yang
rusak, evaporator pencuci udara dan kurasan udara ketel. Menurut Sugiharto
(1987), limbah merupakan buangan / bekas yang berbentuk cair, gas dan padat.
Bahan kimia sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Bahan kimia ini dapat
memberi tahu kehidupan bagi kuman - kuman penyebab penyakit disentri, tipus,
kolera, dan sebagainya. Air limbah tersebut harus diolah agar tidak mencemari
dan tidak membahayakan kesehatan Lingkungan. Air limbah harus dikelola untuk
mengurangi pencemaran. Menurut Koeniczny et al. (2005), parameter limbah cair
yang digunakan berdasarkan Polandia Standar antara lain, COD, BODs, lemakt
total fosfat, nitrogen total, konsentrasi padatan total dan nilai pH. Karakteristik
yang sama juga diproses pada limbah setelah proses koagulasi selesai. Namun
demikian PG. Madukismo hanya mengukur karakteristik kimiawi yaitu nilai pH,
COD dan BOD

4.2. Tahap —Tahap Proses Pengolahan Limbah Cair


4.2.1. Limbah Berpolutan
Pada pengamatan limbah di PG. Madukismo, limbah yang dihasilkan
dilakukan berbagai treatment untuk mengurangi kadar senyawa organik dalam
limbah tersebut kususnya limbah berpolutan . Limbah berpolutan berasal dari
berbagai sumber diantaranya adalah air sekrapan evaporator dan juice heater
(mengandung soda), air pendingin mesin — mesin yang tercemar ceceran —
ceceran nira. Adapun treatment yang dilakukan dalam pengolahan air limbah ini
adalah dengan menyaring dan mengendapkannya pada sebuah bak equalizer (pre
treatment) sebelum masuk ke IPAL (Instalasi Pengolahan Air Llmbah). Fungsi
bakequalizer itu sendiri adalah sebagai pengatur debit dan menstabilkan semua
parameter —parameter air limbah yang berasal dari air sekrapan dan air
pendingin. Menurut Gintings (1992), dalam air limbah banyak padatan yang
terapung atau melayang yang ikut bersama air. Padatan ini bisa berupa lumpur,
sisa kain, potongan kayu, pasir, sisa pembersihan daging dan Iainnya. Pada
umumnya bahan tersebut mudah diidentifikasi dengan mats karena mudah terlihat
pada air kotor. Pada pengolahan pre treatment biasanya digunakan saringan agak
kasar tapi dipilih yang tidak mudah berkarat. Saringan ini harus setiap hari
diperiksa untuk mengambil bahan yang terjaring sehingga tidak sampai membuat
kemacetan aliran air. Untuk bak equalizer sendiri terdapat 2 bagian yaitu atas dan
bawah untuk dimensinya sendiri bak equlaizer bawah dapat menampung limbah
hingga 1.8 m3.

Gambar Bak penampungan (equalizer tank) Sumber : Dokumentasi Pribadi


Tahap selanjutnya adalah air limbah di alirkan menuju bak pengendapan
awal, untuk mengendapkan partikel flokulen dalam suspensi enter dimana selama
pengendapan terjadi interaksi antar partikel. Selama operasi pengendapan,
diharapkan partikel flokuten bertambah besar sehingga menjadi cepat mengendap.
Menurut Gintings (1992) primery treatment dilakukan dengan dua metode, yaitu
pengolahan secara fisik dan pengolahan secara kimia. Pengolahan secara fisik
adalah pengendapan yang terjadi secara gravitasi. Sedangkan pengolahan kimia
yaitu dengan mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia.
Dad teori tersebut diketahui bahwa primery treatment yang dilakukan PG.
Madukismo merupakan metode pengolahan secara fisik. Air limbah akan
melewati 2 bak pengendap awal yang mempunyai volume berbeda untuk bak
pengendap awal I mempunyai volume sebesar 4.95 m3 dan bak pengendap awal II
mempunyai volume sebesar 7.44 m3.

Gambar Bak Pengendapan Awal

Tahap selanjutnnya air Iimbah dialirkan lagi ke Aeration tank yang


berfungsi untuk berfungsi untuk proses pengolahan biologis yaitu pengolahan air
limbah oleh mikroorganisme Aerobik dengan suplai Oksigen. Bak aeration
mempunyai volume sebesar 96.82 m3 Didalam Aeration tank dipasang Spiroturb
Aerator untuk proses pemeberian Oksigen (02) dengan cars penghembusan udara
guna memberikan kehidupan bagi bakteri Aerobik pengurai. Unit ini dilengkapi
dengan Blower berfungsi untuk menghasilkan udara guna pengadukan dan suplai
Oksigen. Perlakuan aerasi pada Iimbah berpolutan PG. Madukismo ini sesuai
dengan pendapat Kusnaedi (1998) bahwa secondary treatment umumnya
dilakukan dengan aerasi. Aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui
penangkapan 02 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Penambahan
oksigen bertujuan agar 02 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di
dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang
sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap. Proses aerasi terutama untuk
menurunkan kadar besi (Fe) dan magnesium (Mg). Kation Fe2+ atau Mgt` bila
disemburkan ke udara akan membentuk oksida Fe203 dan MgO. Proses aerasi
hams diikuti proses filtrasi atau pengendapan. Proses aerasi terutama untuk
menurunkan kadar besi (Fe) dan magnesium (Mg). Kation Fee' atau Mg2+ bila
disemburkan ke udara akan membentuk oksida Fe203 dan MgO. Proses aerasi
harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan.

Proses ini dapat menurunkan kandungan COD dan BOD. Menurut Janie &
Rahayu (1993) kandungan bahan organik dan suatu Iimbah biasanya dinyatakan
dengan parameter BOD atau Biological Oxygen Demand. BOD dapat
didefinisikan sebagai jumlah oksigen terlarut yang dikonsumsi atau digunakan
oleh kegiatan kimia atau mikrobiologik. Oleh karenaoksigen dibutuhkan untuk
oksidasi bahan organik, maka BOD menunjukkan indikasi kasar banyaknya
kandungan bahan organik dalam contoh tersebut.
Gambar Bak aerasi (aeration tank)

Karakteristik limbah cair PG. Madukismo yang berpolutan merupakan


limbah organik, maka cara penanganannya menggunakan sistem biologis dengan
menggunakan bakteri sebagai katalisator yang memiliki nama dagang INOLA
221. Pada bak pembibitan dipakai juga sistem diffuser aerator supaya katalisator
INOLA 221 dapat berkembang biak dan stabil. Terdapat dua bak pembibitan
Katalisator INOLA 221 untuk bak I mempunyai volume sebesar 1.35 m3
sedangkan bak II mempunyai volume sebesar 4.89 m3. Katalisator INOLA 221
akan ditambahkan ke aeration tank apabila kandungan polutan dalam aeration
tank melebihi standart. Menurut Widiyanto (2002) bahan organik yang
terakumulasi ini akan menimbulkan terbentuknya senyawa metabolit yang toksik
terhadap organisme di perairan. seperti amonia, nitrit, nitrat, dan hidrogen
disulfida. Hal ini akan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan
sehingga dibutuhkan pengolahan limbah cair untuk mengurangi dampak yang
akan ditimbulkan terhadap lingkungan tersebut.
Gambar Bak Pembibitan Katalisator INOLA 221

Metode pengolahan limbah secara biologi atau dikenal dengan


bioremediasi adalah salah satu cara pengolahan air limbah dengan bantuan agen
biologis untuk menguraikan polutan organik yang biodegradable yang terdapat
dalam air limbah. Senyawa organik yang kurang biodegradable dapat diolah akan
tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama. Mikroorganisme menjadi salah satu
agen yang digunakan dalam teknologi bioremediasi ini. Mikroorganisme tersebut
mendegradasi bahan organik menjadi senyawa lain yang kurang beracun atau
tidak beracun, seperti CO2, C11, air. garam organik, biomassa, dan hasil samping
lainnya (Gumbira dan Fauzi, 1996 dalam Flowerenti, 2001). Tahap terakhir adalah
pengendapan akhir (final clarifier) bak ini mempunyai volume sebesar 14.49 m3,
untuk mengendapkan partikel lumpur hasil proses biologis atau disebut juga
lumpur biomassa dimana lumpur aktif ini sulit untuk mengendap karena sebagian
besar tersusun oleh bahan - bahan organik volatil.
Gambar Bak Pengendapan Akhir

Untuk controling efisiensi dari IPAL, sebagian air limbah yang berasal
dari IPAL dial irkan secara continue untuk mengisi bak kolam ikan sebagai
analisa air limbah, apabila ikan didalam kolam tersebut hidup berarti limbah
dikatakan aman begitu pula sebaliknya. Air Iimbah yang berasal dari IPAL akan
dialirkan ke saluran air (selokan) bercampur dengan air jatuhan condensor dan
menuju ke bak spray pond.
Gambar Air Iimbah dari IPAL dialirkan ke selokan

Di PG. Madukismo untuk menekan debit dan beban limbah berpolutan telah
dilakukan tindakan pencegahan (In House Keeping). In House Keeping sangat
menunjang efisiensiproses dan juga mengefektifkan sarana pengolahan limbah
cair karena dapat menekan debit limbah sekecil mungkin, dan menekan
konsentrasi polutan serendah mungkin. Cara — cara yang dilakukan adalah
dengan menempatkan kowen — kowen (tembokan / dilokalisir) pada tempat —
tcpat yang rawan terjadi tumpahan — tumpahan berpolutan, memisahkan saluran
yang berpolutan dengan saluran yang tidak berpolutan misalnya air jatuhan
condensor.

4.2.2 Limbah Tidak Berpolutan

Di PG. Madukismo air jatuhan condensor debitnya ± 2.400 m3/jam, suhu


air jatuhan ± 40 C, merupakan air limbah yang tidak berpolutan tetapi bisa
tercemar polutan. Untuk mencegah hal ini dimasing — masing alat dipasang
penangkap nira (sapvanger), baik evaporator maupun kristaliser. Khusus
evaporator selain dipasang sapvanger juga dipasang separator (penangkap nira di
Dum Leiding).Karena air jatuhan condensor suhunya masih ± 40 C, bila langsung
dibuang, maka akanmenggangu lingkungan, oleh karena itu air jatuhan condensor
dialirkan ke saluran air (selokan) dan akan ditampung ke dalam bak spray bond.
Bak spray bond berfungsi untuk menyemprotkan butiran air ke udara melalui
lubang atau nozzle baik yang bergerak maupun diam, sehingga melarutkan
oksigen kedalam air untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air, dalam
campuran tersuspensi lumpur aktif dalam bioreaktor dan melepaskan kandungan
gas — gas yang terlarut dalam air, serta membantu pengadukan air. Proses ini
juga akan menurunkan suhu air yang sebelumnya tinggi dan selanjutnya air di
recycle (digunakan kembali).

4.3. Perbandingan Karakteristik Fisika Awal dan Akbir Limbab


4.3.1. Bau
Menurut Mahida (1992), bau dapat menunjukkan apakah suatu limbah
masih baru atau sudah busuk, bau — bauan yang busuk, menyerupai bau hidrogen
sulfida. Dan mcnurut Suhardi (1991), dari bau tersebut kits dapat mengetahui
kualitas Iimbah tersebut. Bila terlalu menyengat atau tidak enak, maka limbah
tersebut banyak mengandung kandungan organik. Bau pada limbah disebabkan
oleh karena proses pembusukan atau degradasi bahan organik oleh
mikroorganisme. Cara pengukuran bau Iimbah yang di PG. Madukismo dilakukan
dengan menggunakan indera pembau. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiharto
(1987) bahwa cara pengukuran karakteristik fisikawi bau yaitu dengan kepekaan
terhadap bau dari manusia terhadap tingkatan dan bau. Hal tersebut didukung pula
oleh pendapat Suhardi (1991), bahwa pengukuran bau dapat dilakukan dengan
evaluasi sensori melalui indera pembau dan Gas Chromatography (GC) yang
berfungsi untuk menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau. Limbah cair PG.
Madukismo khusus nya limbah ceceran nira tercium bau yang busuk.. Menurut
Mahida (1992), banyak dari bau yang tidak sedap itu disebabkan karena adanya
campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan
protein dan lain-lain bahan organik yang terdapat dalam air limbah, bau yang
paling menyerang berasal dari hidrogen sulfida. Namun demikian setelah
dilakukan treatment pada Iimbah tersebut diketahui adanya perubahan bau pada
sampel limbah tersebut. Basil akhir limbah menjadi berbau netral karena adanya
proses biologis pada kolam aerasi.

4.3.2. Warna dan Kekeruhan

Menurut Sastrawijaya (1991), warna air memberi petunjuk akan jumlah


benda yang tersuspensi dan terlarut. Penentuan limbah cair dapat menggunakan
komparator wama dan skala standar. Wama memberikan informasi pada kita
tentang kualitas dari kekotoran Iimbah itu sendiri (Mahida, 1992). Wama Iimbah
sebelum pengolahan adalah coklat kehitaman. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mahida (1992) bahwa secara umum wama airIimbah ini bersifat mencolok.
Namun demikian setelah dilakukan pengolahan atau treatment terhadap Iimbah
tersebut, wama limbah menjadi putih kekuningan. Mahida (1992)
mengungkapkan kembali bahwa makin pekat wama maka Iimbah yang kita ambil
makin kotor. Jadi dapat dikatakan bahwa limbah yang telah mengalami treatment
menjadi semakin bersih (tidak kotor lagi seperti sebelumnya).

Sama halnya dengan wama, kekeruhan jugs merupakan salah satu


parameter fisik dari suatu limbah. Menurut Sugiharto (1987), kekeruhan adalah
ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan
air sungai, kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda
koloid di dalam air. Limbah cair PG. Madukismo memiliki tingkat kekeruhan
yang tidak terlalu keruh. Kemudian setelah limbah tersebut mengalami treatment,
Iimbah menjadi bening. Menurut Jenie & Rahayu (1993), dengan melihat tingkat
kekeruhan Iimbah cair akan dapat mengetahui banyak atau tidaknya padatan
organik atau anorganik yang berada dalam Iimbah cair tersebut. Jadi dapat
dikatakan bahwa sebelum Iimbah mengalami treatment, limbah tersebut memiliki
kandungan padatan organik dan anorganik yang tinggi. Namun setelah Iimbah
mengalami treatment kandungan organik dan anorganik pada limbah menjadi
kecil. Hal ini dibuktikan dengan hasil Iimbah yang menjadi bening.
4.3.3. Suhu
Pada Iimbah cair PG. Madukismo dilakukan pengontrolan suhu karena
suhu dapat mempengaruhi tingkat difusi, tegangan permukaan, dan kekentalan air
sehingga diharapkan temperatur Iimbah cair ± 28 — 30° C dan temperatur Iimbah
cair PG. Madukismo pada bak equalizer sebesar 27,8° C, dan menjadi 26,8° C
setelah dilakukan treatment. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahida (1992),
bahwa suhu berguna untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan
biologi, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai
penjenuhan dari benda padat, dan gas. Temperatur air Iimbah akan mempengaruhi
kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan dalam air. Perubahan suhu
memperlihatkan aktivitas kimiawi biologis pada benda padat dan gas dalam air.
4.3.4. Analisa Padatan
Parameter fisik lainnya yang juga diukur adalah kandungan padatan
dalam limbah cair. Pada limbah cair PG. Madukismo kandungan padatan
tersuspensi total (Total Suspended SolidITSS), dan padatan terlarut total (Total
Dissolved Solid!TDS) sebelum treatment sebesar 47 mg/I dan 190 mg/1 akan
tetapi kandungan tersebut menurun setelah Iimbah cair melalui proses pengolahan
menjadi 5 mg/I (TSS) dan 168 mg/I (TDS). Menurut Sastrawijaya (1991), dalam
pengolahan Iimbah, pengujian kandungan padatan ini berhubungan dengan tingkat
kejemihan dan warna yang semuanya menunjukkan tinggi rendahnya kualitas air.
Padatan terlarut didalam larutan dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah
kepekatan suatu contoh air. Pencntuan padatan terlarut total dapat dengan cepat
menentukan kualitas air Iimbah. Padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi
ketransparanan dan wama air. Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi
bahan tersuspensi tinggi. Wama air juga ada hubungan dengan kualitas air.
Kandungan padatan ini dibedakan menjadi tiga yaitu padatan total (Total
Soluble/TS), padatan tersuspensi total (Total Suspended SolidITSS), dan padatan
terlarut total (Total Dissolved Solid/TDS).
4.4. Perbandingan Karakteristik Kimia Awal dan Akhir Limbah
Menurut Utomo (1998), tujuan analisa kimiawi Iimbah cair adalah untuk
menentukan konsentrasi zat - zat kimia, mengetahui ada atau tidaknya bahan -
bahan beracun di dalam Iimbah, serta untuk menentukan tingkat kebusukan yang
telah dicapai limbah. Penentuan analisa kimiawi limbah cair didasarkan atas unsur
- unsur yang mempunyai nilai peubah terhadap kesehatan seperti bahaya yang
ditimbulkan oleh zat beracun yang mungkin ada di dalam Iimbah, serta upaya
pembenahan Iimbah. Untuk analisa kimia pada percobaan kali ini, parameter yang
diukur adalah pH, COD dan BOD. Hal ini sesuai dengan pendapat Ryadi (1984)
bahwa sifat kimia limbah cair meliputi pH, COD, dan BOD.
4.4.1. pH
Menurut Suhardi (1991) bahwa kadar ion H yang terdapat dalam larutan
dapat ditera atau diukur dengan beberapa cara antara lain memakai alat pH meter
yang terdiri atas alat penera (potensiometer) dan dua bush elektroda. Sebuah pH
meter dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Oleh
karena itu, ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang
terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besamya kadar ion H. Hal ini
sesuai dengan pendapat Mahida (1992), bahwa pH menyatakan keasaman atau
alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya.
Untuk mengukur pH limbah digunakan pHmeter.
Setelah dilakukan penelitian pH akhir limbah cair PG. Madukismo adalah
7,5. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahida (1992) bahwa pada umumnya pH
limbah diatur sekitar kenetralan, biasanya antara 6 dan 8. Kolam aerasi pun
ditumbuhi alga hijau sedalam I meter dari permukaan kolam dan digunakan untuk
pembiakan ikan mas. Hal ini menunjukan pH yang sudah netral karena menurut
Sugiharto (1987), pH yang baik bagi limbah cair adalah pH netral. Kadar pH yang
baik yaitu kadar dimana masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air
berjalan baik.
4.4.2. Chemical Oxygen Demand (COD)
Menurut Suhardi (1991), penentuan total zat organik secara tidak langsung
yaitu dengan menentukan COD karena yang ditentukan adalah kebutuhan 02
untuk menambah zat organik secara kimiawi. Chemical Oxyggen Demand (COD)
atau kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) adalah banyaknya oksigen dalam ppm
atau mgil yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda
organik secara kimiawi. COD juga digunakan secara luas sebagai ukuran kekuatan
pencemaran air limbah domestik maupun air limbah industri. Dari wawancara
terhadap pengurus limbah PG. Madukismo diketahui bahwa treatment pada
limbah menyebabkan nilai COD limbah menjadi turun dari 160 mg/l menjadi 28
mg/l. Hal ini sesuai dengan pendapat Jenie & Rahayu (1993) bahwa perubahan
nilai BOD dan COD suatu limbah akan terjadi selama penanganan. Dengan
rendahnya nilai COD pada limbah yang telah mengalami treatment, maka
diketahui bahwa banyaknya O2 yang diperlukan untuk menguraikan senyawa
organic juga berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan organic dalam
sampel limbah yang telah ditreatment sudah berkurang
4.4.3. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Menurut Ryadi (1984) BOD atau Biological Oxygen Demand merupakan
sejumlah oksigen dalam sistem air yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk
menstabilkan atau menetralisir bahan-bahan organik dalam air melalui proses
oksidasi biologis secara dekomposisi aerobik. Menurut Louis (1993) kadar BOD
dapat mempengaruhi kualitas air ketika dilepas ke suatu badan air, karena BOD
dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam badan air tersebut sehingga
dapat membahayakan atau bahkan mematikan aktivitas organisme yang terdapat
dalam badan air tersebut Menurut Jenie & Rahayu (1993) 02 dibutuhkan untuk
oksidasi bahan organik maka BOD menunjukkan indikasi kasar banyaknya
kandungan bahan organik dalam sampel tersebut. Selain itu BOD juga
menunjukkan banyaknya mikroba yang terdapat dalam limbah cair tersebut.
Karena oksigen terlarut diperlukan untuk respirasi mikroorganisme aerob dan
organisme aerob lainnya. Sehingga semakin tinggi BOD maka jumlah
mikroorganisme dalam limbah tersebut semakin tinggi, dan jumlah oksigen yang
terdapat dalam limbah cair semakin sedikit. Hal yang sama dikemukakan oleh
Hammer & Hammer (1996) bahwa pengujian B0D ini pada prinsipnya
didefinisikan sebagai pengukuran banyaknya oksigern yang dapat digunakan oleh
metabolisme mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa Dari data hasil
pengujian oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pemberantasan
Penyakit Menular Yogyakarta (BBTKL.PPM) dapat dilihat berdasarkan nilai
BOD setelah ditreatment sangat kecil yaitu 12,6 mg / l. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Jenie dan Rahayu (1993) yaitu limbah cair pengolahan makanan
yang mengandung nilai BOD dan padatan tersuspensi tertinggi dan berjalan
dengan proses dekomposisi cepat. Sutarti & Rachmawati (1994) juga
mengungkapkan bahwa limbah yang telah diberikan beberapa perlakuan seperti
penyaringan dengan batu kerikil atau korbon aktif akan mengalami penurunan
kadar BOD
4.4.4 Peta Sistem Pengolahan Limbah PG. Madukismo

Dalam petatersebut dimuat gambaran kasar tentang pengolahan limbah


PG. Madukismo. Dijelaskan pula dimensi atau volume tiap bak yang digunakan
sebagai proses pengolahan limbah.
5.1 Kesimpulan
Hasil pengamatan di lokasi Field Trip PG. Madukismo menunjukkan
bahwa:
1. Tahapan – tahapan utama pengolahan limbah cair di PG. Madukismo
adalah penampungan, pengendapan awal, aerasi, dan pengendapan akhir.
2. Limbah cair PG. Madukismo yang berpolutan merupakan limbah organik
ditangani dengan menggunakan sistem biologis dengan menggunakan
katalisator INOLA 221 dan ikan nila.
3. Sistem treatment yang digunakan PG. Madukismo menerapkan sistem
recyle apparoach maka dari semua proses pengolahan dapat dimanfaatkan
kembali.
5.2 Bagan Alir

Berikut adalah skema pengolahan limbah cair pollutan PG. Madukismo

Limbah Cair Pollutan

Bak equalizer Bak pengendapan


akhir
(bak penampungan)

Bak pembibitan
(pembibitan ENOLA
221)

Bak aeration
Bak pengendapan
awal

Anda mungkin juga menyukai