Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH KIMIA

PENGOLAHAN LIMBAH PABRIK GULA

KELOMPOK VII
HARJUN SANTRI SYAPUTRA S. (F1C1 08 033)
MUNARTI (F1C1 08 036)
DWI PRATIWI OKTAVIA SAPUTRA (F1C1 08 039)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas perkenaan-Nya sehingga penyusunan dan penulisan
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Salam dan doa tak lupa pula
penulis haturkan kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW.
Selama melakukan penyusunan dan penulisan makalah ini penulis banyak menghadapi
tantangan dan hambatan. Kesemuanya itu dapat teratasi berkat bantuan dan dukungan dosen,
orang tua, dan terutama adalah ridho Allah SWT. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut
memberikan andil dan membantu penulis hingga selesainya penyusunan dan penulisan karya
tulis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak menampilkan kekurangan.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak bagi perbaikan
makalah ini dan menjadi masukan yang sangat berguna dalam penyusunan makalah
berikutnya.
Dan akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memberi
sumbangsi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kemaslahatan umat
dan alam.

Kendari,

Februari 2011

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris dengan iklim subtropis. Di sinilah tumbuh dengan subur
tanaman tebu dan bahkan Indonesia dikenal dengan cikal bakal tebu dunia. Tebu adalah
bahan baku dalam pembuatan gula (gula kristal putih, white sugar plantation) di pabrik
gula. Dalam operasionalnya setiap musim giling (setahun), pabrik gula selalu mengeluarkan
limbah yang berbentuk cairan, padatan dan gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di
laboratorium dan luberan bahan olah yang tidak disengaja. Limbah padat meliputi ampas
tebu, abu dan debu hasil pembakaran ampas di ketel, padatan bekas analisa laboratorium,
blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor
pemurnian cara sulfitasi.
Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula, diproduksi dalam
jumlah 32 % tebu, atau sekitar 10,5 juta ton per tahun atau per musim giling se Indonesia.
Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai produk pendamping, karena ampas tebu sebagian
besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk memproduksi energi
keperluan proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4 % produksi ampas). Sisanya
(sekitar 0,3 juta ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat menyebabkan polusi
udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar pabrik gula. Ampas tebu mengandung
air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan mengalami fermentasi yang
menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94oC akan terjadi kebakaran spontan.
Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira, diproduksi sekitar 3,8 %
tebu atau sekitar 1,3 juta ton. Limbah ini sebagian besar diambil petani untuk dipakai sebagai
pupuk, sebagian yang lain dibuang di lahan tebuka, dapat menyebabkan polusi udara,
pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar lahan tersebut. Sedangkan belerang dioksida
(SO2) merupakan limbah gas yang keluar dari cerobong reaktor sulfitir pada proses
pemurnian nira tebu yang kurang sempurna menyebabkan polusi udara di atas pabrik dan
pemakaian belerang menjadi lebih tinggi dari normal.

Tetes (molasses) sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar 4,5 % tebu atau
sekitar 1,5 juta ton. Tetes tebu sebagai produk pendamping karena sebagian besar dipakai
sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin (sodium glutamate), alkohol atau spritius dan
bahkan untuk komoditas ekspor dalam pembuatan L-lysine dan lain-lain. Namun untuk hal ini
dibutuhkan kandungan gula dalam tetes yang cukup tinggi, sehingga tidak semua tetes tebu
yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu. Akibatnya tidak sedikit pabrik gula yang mengalami
kendala dalam penyimpanan tetes sampai musim giling berikutnya, tangki tidak cukup
menampung karena tetes kurang laku, atau memungkinkan terjadinya ledakan dalam
penyimpanan di tangki tetes sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi.
Dalam analisa kontrol kualitas bahan alur proses di laboratorium dihasilkan limbah bekas
analisa yang berbentuk cairan dan padatan yang mengandung logam berat (Pb). Logam
tersebut berasal dari bahan penjernih Pb-asetat basa yang digunakan untuk analisa gula dalam
pengawasan pabrikasi. Bahan penjernih tersebut telah digunakan sudah cukup lama, sejak
satu abad yang lalu. Diperkirakan untuk pabrik gula yang berkapasitas 4000 ton tebu per hari
diperlukan tidak kurang dari 100 kg Pb per musim giling. Dapat dibayangkan untuk pabrik
gula seluruh Indonesia, khususnya di Jawa, diperkirakan sekitar 5 ton Pb per tahun dibuang
sebagai limbah analisa gula, atau sekitar 500 ton Pb tersebar di perut bumi Pulau Jawa selama
seabad.
Dari uraian di atas tampaknya penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula
yang lebih tajam perlu digalakkan agar limbah yang mengganggu, polusi udara, tidak
ramah lingkungan, membuat pandangan dan bau yang kurang sedap dapat diatasi dengan
baik. Yang terpenting dalam penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah adalah
menangani masalah limbah tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih
negatif pada lingkungan.
1. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menangani limbah pabrik gula?
2. Bagaimana cara mencegah pencemaran limbah industri pabrik gula?
3. Bagaimana cara memanfaatkan limbah industri gula memalui pengolahan
biologis dan kimiawi dalam upaya meningkatkan kecernaan secara in vitro?
2. C. Tujuan
1. Mengetahui cara menangani limbah pabrik gula
2. Mengetahui cara mencegah pencemaran limbah pabrik gula
3. Mengetahui cara memanfaatkan limbah industri gula melalui pengolahan
biologis dan kimiawi dalam upaya meningkatkan kecernaan secara in vitro

BAB II
PEMBAHASAN
1. 1. Penanganan Limbah Pabrik Gula

Limbah memberikan arti teknis adalah sebagai barang yang dihasilkan oleh sebuah proses
dan dapat dikategorikan sebagai bahan yang sudah tidak terpakai . Limbah merupakan
buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industry maupun domestic (rumah
tangga atau yang lebih dikenal sabagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Jenis
sampah ini pada umumnya berbentuk padat dan cair. Pabrik gula dari bahan tebu yang
mempunyai limbah organik berupa blotong (filter cake), dan abu boiler. Blotong (filter cake)
merupakan limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula, dimana dalam suatu
proses produksi gula akan dihasilkan blotong dalam jumlah yang sangat besar. Vinasse
merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan Ethanol. Dalam proses
pembuatan 1 liter Ethanol akan dihasilkan limbah ( vinasse ) sebanyak 13 liter (1 : 13). Dari
angka perbandingan di atas maka semakin banyak Ethanol yang diproduksi akan semakin
banyak pula limbah yang dihasilkannya. Jika limbah ini tidak tertangani dengan baik maka di
kemudian hari, limbah ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan.
1. 2. Penanganan Limbah
Sisa Ampas atau ampas lebih. Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku energi
listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak untuk sisa ampas (produksi
ampas ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit energi untuk proses) adalah
dikempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan berat
jenis ampas, kemudian diikat agar ampas tidak mudah lepas berterbangan (mawur).
Selanjutnya ampas bal siap untuk digudangkan.
Debu dan abu hasil pembakaran ampas. Penanganan debu hasil pembakaran ampas
dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust collector yaitu
wet atau dry scrubber sebelum keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil
pembakaran ampas ditanam bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air.
Hal ini dilakukan agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari
kebakaran karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent.
Blotong. Penanganan awal untuk sisa blotong (produksi blotong blotong yang telah
dimanfaatkan petani) perlu ditangani dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan
awal sebelum dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pandangan dan bau yang tidak sedap.
Limbah cair dan padat bekas analisa gula di laboratorium. Limbah cair bekas analisa gula
di laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut untuk dielektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil dari elektroda
sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas analisa gula di laboratorium
dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam tempat pembuangan akhir. Selanjutnya
limbah cair yang telah ditritmen dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan cairan lainnya
(pendingin alat mesin pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air kebutuhan
karyawan pabrik) dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah dengan
teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah untuk dipakai kembali
sehingga dapat mengurangi suplesi air segar sampai 0,6 1 M3 per ton tebu dan beban
polutan dapat diturunkan sampai nihil.
Tetes tebu. Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat ditangani dengan cara mengantisipasi
suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke tangki tetes suhu tetes harus berkisar antara 35 40oC.

Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin sehingga tetes yang
keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 40oC.

1. 3. Pencegahan Limbah
2. Limbah yang dihasilkan pabrik gula
Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki
iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal + 232 ribu hektar, yang
tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Tanaman ini merupakan
sumber bahan baku perusahaan gula. Dalam suatu produksi barang, pastilah didapat hasil
samping (limbah). Begitu pula halnya dengan produksi pada pabrik gula.
Berikut adalah limbah yang dihasilkan dari produksi gula yang berasal dati tanaman tebu:
Pucuk Tebu
Pucuk tebu adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu
giling ataupun bibit. Diperkirakan dari 100 ton tebu dapat diperoleh sekitar 14 ton pucuk tebu
segar. Pucuk tebu segar maupun dalam bentuk awetan, sebagai silase atau jerami dapat
menggantikan rumput gajah yang merupakan pakan ternak yang sudah umum digunakan di
Indonesia.
Ampas Tebu
Tebu diekstrak di stasiun gilingan menghasilkan nira dan bahan bersabut yang disebut ampas.
Ampas terdiri dari air, sabut dan padatan terlarut. Komposisi ampas rata-rata terdiri dari kadar
air : 46 52 %; Sabut 43 52 %; padatan terlarut 2 6 %. Umumnya ampas tebu digunakan
sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk pemenuhan kebutuhan energi pabrik. Pabrik gula
yang efisien dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar boilernya dari ampas, bahkan berlebih.
Ampas yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk pembuatan briket, partikel board, bahan baku
pulp dan bahan kimia seperti furfural, xylitol, methanol, metana, dll.
Blotong
Pada proses pemurnian nira yang diendapkan di clarifier akan menghasilkan nira kotor yang
kemudian diolah di rotary vacuum filter. Di alat ini akan dihasilkan nira tapis dan endapan
yang biasanya disebut blotong (filter cake). Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air
67 %, kadar pol 3 %, sedangkan dari PG. Karbonatasi kadar airnya 53 % dan kadar pol 2 %.
Blotong dapat dimanfaatkan antara lain untuk pakan ternak, pupuk dan pabrik wax.
Penggunaan yang paling menguntungkan saat ini adalah sebagai pupuk di lahan tebu.
Tetes
Tetes (molasses) adalah sisa sirup terakhir dari masakan (massecuite) yang telah dipisahkan
gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan gula
dengan kristalisasi konvensional. Penggunaan tetes antara lain sebagai pupuk dan pakan

ternak dan pupuk. Selain itu juga sebagai bahan baku fermentasi yang dapat menghasilkan
etanol, asam asetat, asam sitrat, MSG, asam laktat dll.
Asap
Telah disebutkan di atas hasil sampingan (limbah) pabrik gula cukup beragam. Agar limbah
ini tidak menjadi masalah bagi lingkungan sekitar, maka diperlukan suatu pengelolaan
terhadap limbah tersebut. Cara- cara yang bisa digunakan dalm pengolahan limbah yaitu
menetralkan limbah sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan , dan dengan merubah limbah
menjadi barang lain yang lebih bernilai tinggi.
1. Pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah pabrik gula
Secara umum pengelolaan limbah seperti limbah cair, yang dikeluarkan pabrik gula
merupakan limbah organik dan bukan Limbah B3 (bahan beracu dan berbahaya). Limbah cair
ini dikelola melalui dua tahapan, yaitu:
Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini dilakukan dengan cara
mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta pembuatan bak
penangkap abu bagasse (ash trap).
Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8 ha, terdiri dari 13 kolam
dengan kedalaman bervariasi dari 2 m (kolam aerasi) sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya
tampung lebih dari 240.000 m3, sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari.
Sedangkan pengelolaan limbah dengan cara pemanfaatan limbah dari pabrik tebu dapat
memberikan nilai lebih. Pemanfaatan limbah pabrik tebu bisa berupa pembuatan bioetanol,
pemanfaatan pucuk tebu sebagai bahan pakan ternak, ampas tebu untuk pakan ternak dan
pembuatan senyawa furfural besrta turunannya, serta pembuatan pupuk kompos dari blotong.
Sedangkan untuk limbah berupa asap dapat dikelola dengan jalan menekan pengeluaranya
diudara bebas.
Berikut adalah sejumlah hal tentang pemanfaatan dan pengelolaan hasil samping pabrik gula
yang dapat digunkan untuk menekan tingkat pencemaran:
1. Pembuatan Bioetanol
Pada dasarnya unit pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. Unit gilingan
2. Unit preparasi bahan baku
3. Unit fermentasi
4. Unit destilasi.
Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu. Komponen unit gilingan
terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan. Sebelum masuk gilingan, tebu dipotong-

potong terlebih dulu dengan pisau pencacah. Cacahan tebu selanjutnya masuk kedalam
tandem gilingan 3 rol yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan yang disusun secara
seri. Pada unit gilingan pertama, tebu diperah menghasilkan nira perahan pertama (npp).
Ampas tebu yang dihasilkan diberi imbibisi, kemudian digiling oleh unit gilingan kedua. Nira
yang terperah ditampung, ampasnya kembali ditambah air imbibisi dan digiling lebih lanjut
oleh unit gilingan ketiga, dan demikian seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap unit
gilingan dijadikan satu dan disebut nira mentah.
Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang dihasilkan
unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi.
Klarifikasi terutama bertujuan untuk menghilangkan beberapa impurities yang bisa
mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih.
Selanjutnya tahap ini dilanjutkan untuk memproduksi gula dan sisanya berupa molase bisa
dilanjutkan masuk ke tahapan pembuatan etanol.
Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah molase menjadi etanol, melalui aktivitas
fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch) atau
system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi
ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentukdibawa ke dalam unit destilasi.
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga
terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian
sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat
kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran
unleaded gasoline menjadi gasohol.
Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa diproses
lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi. Unit
pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin, dan
hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan
menjadi bahan baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol.
Pembuatan etanol selain dari molase juga dari ampas tebu. Ampas tebu sebagian besar
mengandung ligno-cellulose. Bahan lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk memproduksi
bioetanol.
Limbah dari pabrik gula yaitu tetes, dapat dipakai sebagai bahan baku pabrik alcohol.
Limbah cair yang dikeluarkan pabrik merupakan limbah organik dan bukan Limbah B3
(bahan beracu dan berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua tahapan.
Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini dilakukan dengan cara
mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta pembuatan bak
penangkap abu bagasse (ash trap).
Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8 ha, terdiri dari 13 kolam
dengan kedalaman bervariasi dari 2 m (kolam aerasi) sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya
tampung lebih dari 240.000 m3, sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari.
2. Pemanfaatan Ampas Tebu

Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) dapat dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai
untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak; bahan baku pembuatan pupuk, particle board,
bioetanol, dan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) sehingga mengurangi konsumsi bahanbakar minyak oleh pabrik.
Selain itu semua, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat dikonversi menjadi
produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses produksi sektor
industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu adalah pentosan,
dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut
memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi Furfural. Furfural memiliki aplikasi yang
cukup luas dalam beberapa industri dan juga dapat disintesis menjadi turunan-turunannya
seperti : Furfuril Alkohol, Furan, dan lain-lain. Kebutuhan (demand) Furfural dan turunannya
di dalam negeri meski tidak terlalu besar namun jumlahnya terus meningkat . Hingga saat ini
seluruh kebutuhan Furfural untuk dalam negeri diperoleh melalui impor. Impor terbesar
diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar Furfural dunia.

Furfural
(C5H4O2) atau sering disebut dengan 2-furankarboksaldehid, furaldehid, furanaldehid, 2Furfuraldehid, merupakan senyawa organik turunan dari golongan furan. Furfural memiliki
aplikasi yang cukup luas terutama untuk mensintesis senyawa-senyawa turunannya. Di dunia
hanya 13% saja yang langsung menggunakan Furfural sebagai aplikasi, selebihnya disintesis
menjadi produk turunannya. Furfural dihasilkan dari biomassa (ampas tebu) lewat 2 tahap
reaksi, yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Untuk itu digunakan bantuan katalis asam, misalnya:
asam sulfat, dan lain-lain.
Furan
Furan merupakan contoh lain senyawa yang dapat dihasilkan dengan bahan baku Furfural.
Furan yang biasa disebut juga Furfuran atau oxole, memiliki rumus molekul C4H4O. Furan
diproduksi dengan proses dekarbonilasi Furfural dengan kehadiran katalis logam mulia.
Furan dimanfaatkan sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang
digunakan pada industri farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan sebagai bahan
baku dalam pembuatan senyawa turunan dari furan. Salah satu senyawa yang diproduksi
dengan bahan baku Furan adalah Tetrahidrofuran (tetrametilen oksida atau oxolane).
Senyawa yang dihasilkan melalui hidrogenasi katalitik dari Furan ini digunakan sebagai
pelarut untuk polivinil klorida (PVC), polivinilidene klorida, beberapa serat poliuretan yang
diaplikasikan pada proses pelapisan dan perekat.
3. Pemanfaatan Blotong untuk pembuatan kompos
Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah pabrik gula,
antara lain ; serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan bahan aktivator berupa
mikroorganisme, yang terdiri dari ; campuran bakteri, fungi, aktinomisetes, kotoran ayam dan
kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan secara biologis karena memanfaatkan
mikroorganisme sebagai agen pengurai limbah.

Contoh Prosedur pembuatan pupuk kompos adlah sebgai berikut: Bahan pupuk terdiri dari
tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong , dan 100 kg abu ketel. Bahan-bahan tersebut
dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak dengan ukuran bawah 1,5 x 1,5 m; ukuran
atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m. Sebelum dicetak, daun tebu dipotong-potong sehingga
panjangnya kurang dari 5 cm. Semua bahan dicampur rata, kemudian ditambah 5 kg TSP dan
10 kg Urea. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penambahan air.
Pemberian aktivator pada setiap tumpukan masing-masing sebanyak 10 kg campuran
mikroorganisme selulolitik,yaitu 5 kg fungi; 2,5 kg bakteri dan 2,5 kg aktinomisetes.
Aktivator ditabur bersamaan dengan saat memasukkan bahan kompos ke dalam cetakan.
Setelah tercetak, kemudian di setiap tumpukan diberi lubang aerasi pada masing-masing sisi
dan bagian atas tumpukan dengan cara menusukkan sebatang bambu.
Pembalikan tumpukan kompos dilakukan dua minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu memperlancar sirkulasi udara ke bagian tengah kompos, sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan mikroorganisme selulolitik. Setiap dua minggu dengan
menganalisa nisbah C/N dan pH sampai diperoleh nisbah C/N sekitar 12-20 dan pH
mendekati netral.
Limbah pabrik gula berupa blotong juga dapat dijadikan pupuk organik dengan cara
mencampurkannya dengan limbah pabrik etanol berupa vinace dan ditambah sejumlah
mikroba. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan, kandungan unsur karbon (C) dan Nitrogen
(N) pupuk ini mencapai 12 persen. Sementara tanah yang sehat punya kandungan unsur C
dan N antara 10-15 persen. Mikroba yang ada di pupuk ini antara lain Celulotic bacteria,
Pseudomonas, Bacyllus, dan Lactobacyllus. Dikatakan pula bahwa bakteri itu ada yang
berfungsi melarutkan fosfat. Seperti diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam
keadaan terlarut, dan yang melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu memperbaiki
tekstur dan mampu menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia (anorganik).
Pupuk kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan tebu.
Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba pada tanaman tebu
di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum kompos dapat meningkatkan
produksi dan produktivitas gula. Pemberian kompos blotong dan kompos ampas pada lahan
tebu di pabrik gula Cintamanis Palembang, masing-masing dengan takaran 30 ton/ha mampu
meningkatkan bobot tebu. Bobot tebu yang diberikan pupuk kompos ini pada tanaman
pertama, berturut-turut lebih tinggi 26,5 dan 8,1 ton/ha dibandingkan dengan kontrol.
4. Pengelolaan asap dan debu
Senyawa pencemar udara itu sendiri digolongkan menjadi (a) senyawa pencemar primer, dan
(b) senyawa pencemar sekunder. Senyawa pencemar primer adalah senyawa pencemar yang
langsung dibebaskan dari sumber sedangkan senyawa pencemar sekunder ialah senyawa
pencemar yang baru terbentuk akibat antar-aksi dua atau lebih senyawa primer selama berada
di atmosfer. Dari sekian banyak senyawa pencemar yang ada, lima senyawa yang paling
sering dikaitkan dengan pencemaran udara ialah: karbonmonoksida (CO), oksida nitrogen
(NOx), oksida sulfur (SOx), hidrokarbon (HC), dan partikulat (debu).
Pencemaran udara dari pada pabrik gula berupa asap dan debu, yang dapat menyebabkan
sejumlahpenyakit pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan pada manusia disekitar pabrik
tersebut, iritasi mata dan lain-. Untuk menanggulanginya dibutuhkan pengendalian

pencemaran udara. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian
pada sumber pencemar dan pengenceran limbah gas. Pengendalian pada sumber pencemar
merupakan metode yang lebih efektif karena hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan
limbah gas yang akan diproses dan yang pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam
sebuah pabrik kimia, pengendalian pencemaran udara terdiri dari dua bagian yaitu
penanggulangan emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pencemar. Idealnya
demikian pula yang harus dilakukan oleh pabrik tebu.
Guna menekan tingkat pencemaran udara, pabrik tebu dapat mengelola asap dan debu
tersebut dengan jalan memisahkan partikel padatanya yang berada di asap. Nantinya partikelpartikel ini dalam jumlah yang cukup, bisa diolah menjadi pupuk. Karenanya suatu pabrik
gula seharusnya dilengkapai dengan alat-alat pemisah debu untuk memisahkan debu dari
alirah gas buang. Debu dapat ditemui dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia,
densitas, daya kohesi, dan sifat higroskopik yang berbeda.
Maka dari itu, pemilihan alat pemisah debu yang tepat berkaitan dengan tujuan akhir
pengolahan dan juga aspek ekonomis. Secara umum alat pemisah debu dapat diklasifikasikan
menurut prinsip kerjanya:
Pemisah Brown
Alat pemisah debu yang bekerja dengan prinsip ini menerapkan prinsip gerak partikel
menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran 0,01 0,05 mikron.
Alat yang dipatenkan dibentuk oleh susunan filamen gelas dengan jarak antar filamen yang
lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel.
Penapisan
Deretan penapis atau filter bag akan dapat menghilangkan debu hingga 0,1 mikron. Susunan
penapis ini dapat digunakan untuk gas buang yang mengandung minyak atau debu
higroskopik. Electrostatic Precipitator
Pengendap elektrostatik
Alat ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas yang berkecepatan
rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara beraturan dengan cara getaran.
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengendap elektrostatik ini ialah didapatkannya
debu yang kering dengan ukuran rentang 0,2 0,5 mikron. Secara teoritik seharusnya partikel
yang terkumpulkan tidak memiliki batas minimum.

Pengumpul sentrifugal
Pemisahan debu dari aliran gas didasarkan pada gaya sentrifugal yang dibangkitkan oleh
bentuk saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel ke dinding dan gas berputar
(vortex) sehingga debu akan menempel di dinding serta terkumpul pada dasar alat. Alat yang

menggunakan prinsip ini digunakan untuk pemisahan partikel dengan rentang ukuran
diameter hingga 10 mikron lebih.
Pemisah inersia
Pemisah ini bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel dalam aliran gas. Pemisah
ini menggunakan susunan penyekat sehingga partikel akan bertumbukan dengan penyekat
dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Alat yang bekerja berdasarkan prinsip inersia ini
bekerja dengan baik untuk partikel yang berukuran hingga 5 mikron.
Pengendapan dengan gravitasi
Alat yang bekerja dengan prinsip ini memanfaatkan perbedaan gaya gravitasi dan kecepatan
yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk partikel dengan ukuran
yang lebih besar dari 40 mikron dan tidak digunakan sebagi pemisah debu tingkat akhir.
Pada industri, yang lebih maju terdapat juga beberapa alat yang dapat memisahkan debu dan
gas secara bersamaan (simultan). Alat-alat tersebut memanfaatkan sifat-sifat fisik debu
sekaligus sifat gas yang dapat terlarut dalam cairan. Beberapa metoda umum yang dapat
digunakan untuk pemisahan secara simultan ialah:Irrigated Cyclone Scrubber
Menara percik
Prinsip kerja menara percik ialah mengkontakkan aliran gas yang berkecepatan rendah
dengan aliran air yang bertekanan tinggi dalam bentuk butiran. Alat ini merupakan alat yang
relatif sederhana dengan kemampuan penghilangan sedang (moderate). Menara percik
mampu mengurangi kandungan debu dengan rentang ukuran diameter 10-20 mikron dan gas
yang larut dalam air.

Siklon basah
Modifikasi dari siklon ini dapat menangani gas yang berputar lewat percikan air. Butiran air
yang mendandung partikel dan gas yang terlarut akan dipisahkan dengan aliran gas utama
atas dasar gaya sentrifugal. Slurry dikumpulkan di bagian bawah siklon. Siklon jenis ini lebih
baik daripada menara percik. Rentang ukuran debu yang dapat dipisahkan ialah antara 3 5
mikron.
Pemisah venture
Metode pemisahan venturi didasarkan atas kecepatan gas yang tinggi pada bagian yang
disempitkan dan kemudan gas akan bersentuhan dengan butir air yang dimasukkan di daerah
sempit tersebut. Alat ini dapat memisahakan partikel hingga ukuran 0,1 mikron dan gas yang
larut di dalam air.
Tumbukan orifice plate
Alat ini disusun oleh piringan yang berlubang dan gas yang lewat orifis ini membentur
lapisan air hingga membentuk percikan air. Percikan ini akan bertumbukkan dengan penyekat

dan air akan menyerap gas serta mengikat debu. Ukuran partikel paling kecil yang dapat
diserap ialah 1 mikron.
Menara dengan packing
Prinsip penyerapan gas dilakukan dengan cara mengkontakkan cairan dan gas di antara
packing. Aliran gas dan cairan dapat mengalir secara co-current, counter-current, ataupun
cross-current. Ukuran debu yang dapat diserap ialah debu yang berdiameter lebih dari 10
mikron.
Pencuci dengan pengintian
Prinsip yang diterapkan adalah pertumbuhan inti dengan kondensasi dan partikel yang dapat
ditangani ialah partikel yang berdiameter hingga 0,01 mikron serta dikumpulkan pada
permnukaan filamen.
Pembentur turbulen
Pembentur turben pada dasarnya ialah penyerapan partikel dengan cara mengalirkan aliran
gas lewat cairan yang berisi bola-bola pejal. Partikel dapat dipisahan dari aliran gas karena
bertumbukkan dengan bola-bola tersebut. Efisiensi penyerapan gas bergantung piada jumlah
tahap yang digunakan.
Blotong dan SO2. Pemakaian bahan pembantu proses (kapur dan belerang) yang berlebihan
dapat ditekan dengan kontrol kondisi proses pemurnian nira yang efektif melalui optimasi
pH, suhu dan waktu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku yang diolah dan hasil
pemurnian yang ingin dicapai maka kondisi operasional proses yang optimal dapat
ditetapkan, sehingga pemakaian bahan pembantu proses dapat ditekan. Dampaknya jumlah
blotong dan gas SO2 dapat ditekan pula. Limbah cair atau padat bekas analisa di
laboratorium. Pencegahan terjadinya limbah logam berat berkategori B3 karena penggunaan
bahan penjernih Pb-asetat basa dapat dinihilkan melalui penggunaan bahan penjernih aman
lingkungan (PAL) sebagai alternatif pengganti bahan penjernih berkategori B3 tersebut.
Sehingga dengan demikian, cairan yang dihasilkan (filtrat) langsung dapat dikirim ke tempat
pengolahan limbah. Tetes tebu. Pencegahan terjadinya ledakan selama penyimpanan tetes
dalam tangki dapat dilakukan dengan mendinginkan tetes pada suhu 35 40oC. Di dalam
tangki tetes dipasang pipa-pipa pendingin yang melingkar, air pendingin mengalir di dalam
pipa pendingin. Sehingga dengan demikian, sambil menunggu pengeluaran tetes diharapkan
suhu tetes yang disimpan berkisar 35 40oC.Pengawasan suhu tetes terjadwal menjadi sangat
penting. Gas cerobong ketel. Kesempurnaan pembakaran ampas dipengaruhi oleh kualitas
ampas sebagai bahan bakar, jenis dan kondisi dapur + ketel. Namun demikian pembakaran
yang sempurna dapat diidentifikasi dari kualitas gas cerobong (kadar CO2 > 12 %, O2 < 7
dan produksi uap per kampas > 2 kg). Oleh karena itu kontrol kualitas gas cerobong ketel
terjadwal perlu menjadi perhatian.
Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif adalah limbah dari
perkebunan tebu. Limbah dari tebu ini yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan antara lain
adalah mollases, blotong, dan pucuk tebu. Pucuk tebu adalah limbah tebu yang memiliki
potensi sangat besar. Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan rum__inansia. Salah satu
kelemahan dari pucuk tebu adalah kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk meningkatkan
manfaaat dari pucuk tebu make dilakukan pengolahan. Metode pengolahan yang biasa

digunakan untuk pakan berserat tinggi adalah pengolahan kimiawi. Bahan kimia yang biasa
digunakan adalah urea dan NaOH.
Fraksi limbah tebu lainnya yang masih memiliki nilai gizi yang baik adalah blotong. Blotting
adalah limbah yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan dalam proses klarifkasi nira.
Untuk meningkatkan nilai gizi dari protein pada blotong perlu dilakukan fermentasi dengan
menggunakan kapang. Keseimbangan asam amino diharapkan dapat ditingkatkan melalui
fermentasi. Dengan meningkalnya kualitas protein diharapkan dapat meningkatkan kecernaan
zat-zat makanan. Jenis kapang yang biasa digunakan adalah Saccharomyces cereviceae,
Aspergillus oryzae, Aspergiltus niger.
Penelitian tahap pertama dilakukan terdiri dua bagian yaitu tahap pengolahan pucuk tebu dan
penggunaannya dalam ransum Pucuk tebu akan dilakukan pengolahan dengan amoniasi,
silase, dan hidrolisis dengan NaOH. Untuk menentukan cars pengolahan yang terbaik
terhadap pucuk tebu maka dilalkukan penelitian secara in vitro. Perlakuan yang dicobakan
pada perlakuan vitro adalah:
RI = Pucuk tebu tanpa pengolahan ;
R2 = Pucuk tebu diolah secam Amoniasi;
R3 = Pucuk tebu diolah secara Silase ;
R4 = Pucuk tebu diolah secara Hidrolisis dengan NaOH.
Berdasarkan basil penelitian tersebut, temyata metode pengolahan yang baik untuk pucuk
tebu adalah amoniasi. Untuk menentukan penggunaaanya dalam ransum dilakukan penelitian
dengan rancangan acak lengkap 4 x 5 , tiap perlakuan diiilang 5 kali. Susunan perlakuannya
adalah sebagai berikut:
RO

= 70% konsentrat +30% rumput lapang

RI
R2
R3

= 70% konsentrat + 20% rumput lapang + 10% pucuk tebu teramoniasi


=70% konsentrat + 10% rumput lapang + 20% pucuk tebu teramoniasi
= 70% konsentrat + 0% rumput lapang + 30% pucuk tebu teramoniasi

Penelitian tahap kedua diawali dengan menentukan jenis kapang yang paling baik pada
fermentasi blotong, Susunan perlakuannya sbb:
RO = blotong tanpa pengolahan; Rl= blotong difermentasi dengan Saccharomyces cereviceae
;
R2 = blotong difermentasi dengan Aspergillus oryzae
R3=blotong difermentasi dengan Aspergillus niger
R4 = blotong difermentasi dengan Rhizopus orryzae.
Berdasarkan hasil peneliian tersebut fermentasi yang terbaik adalah menggunakan yeats
Saccharomyces cereviceae . Untuk menentukan penggunaannya adalah ransum dilakukan

penelitian dengan rancangan acak lengkap 5 x 5 , susunan perlakuannya adalah sebagai


berikut :
RO

= ransom basal

Rl = RO + 5% blotong terfermentasi dari BK ransom


R2 = RO + 10% blotong terfermentasi Bari BK ransum
R3 = RO + 15% blotong terfermentasi dari BK ransum
R4 = RO + 20% blotong terfermentasi dari BK ransum
Berdasarkan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap
KCBK dan KCBO. Hasil nyata ditunjukkan pada paramter NH3 dan VFA. Berdasarkan
kedua paramter tersebut menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi menunjukkan hasil yang
lebih baik dibandinngkan perlakuan lainny& Oleh karena itu, pengolahan yang digunakan
pada pucuk tebu dalam ransom adalah amoniasii. Berdasarkan uji lanjut polinomial
ortogonal menunjukkan bahwa penggunaan pucuk tebu teramoniasi dalam ransum terhadap
kecernaan bahan kering dan dan bahan organik berpola tinier dengan persamaan masingmasing Y = 37,739 +0,094X dan 39,361 + 0,114X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi kandungan pucuk tebu dalam ransom semakin tinggi nilai
kecemaannya
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang terhadap parameter
kecemaan menujukkan tidak berberda nyata. Hasil yang nyata terlihat dari parameter WA dan
NH3. Berdasarkan parameter VFA dan NH3 menujukkan
bahwa penggunaan yeast Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong
memberikan basil yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan kapang
lainnya.Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan blotong dalam ransom
berpengaruh nyata terhadap kadar NH3. Berdasarkan uji lanjut polinomial ortogonal
menunjukkan bahwa perlakuan memliki reespon linear terhadap kadar NH3 dengan
persamaannya Y= 4,035 +0,237X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan
blotong semakin tinggi kadar NH3 ciran rumen.
Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan
blotong dalam ransom tidak berbeda nyata terhadap WA dan kecemaan bahan organik ransum
(KCBO). Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa
perlakuan blotong berbeda nyata terhadap kecemaan bahan kering ransum. Kurva responnya
adalah linear dengan persamaan Y=45,964 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi kandungan blotong dalam ransum nilai kecemaan bahan keringnya menurun.
Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik yang dijual ke rumah tangga.
Misalnya saja sisa ampas tebu pada musim giling 2008 (279.332 ton) dapat menghasilkan
listrik sekitar 36 ribu MW, atau dapat untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 60.000
rumah tangga di lingkungan pabrik gula selama 6 bulan (asumsi kebutuhan rumah tangga 100
KW per bulan) yang menghasilkan rupiah sekitar Rp. 18 Milyard.

Tabel 1. Listrik yang dihasilkan (KW) dari sisa ampas tebu pada musim giling 2008

Produsen

Jawa
Sumatra
Sulawesi
Indonesia

Tebu digiling Ampas


(ton)
diproduksi
(ton)
23.626.250
7.615.601
9.790.911
3.155.967
937.995
302.350
34.355.156
1.107.3918

Ampas
Sisa ampas Setara uap
dibakar (ton) (ton)
dihasilkan
(ton)
7.423.503
192.098 383.617
3.076.360
79.607
139.462
294.723
7.627
15.050
10.794.586
279.332 538.129

Setara listrik SetaraRp


dihasilkan .Milyard
(MW)
25.574
12,79
9.297
4,65
1.003
0,50
35.875
17,94

Serat-serat ampas merupakan bahan organik yang terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin.
Bahan organik tersebut dapat diubah menjadi kompos melalui proses biokimia dengan
melibatkan aktivitas mikroba. Oleh karena itu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan
baku kompos. Kompos ampas tebu (KAT) dan kompos dari campuran ampas tebu, blotong
dan abu ketel (KABAK) bagus untuk pemupukan lahan tebu. Ampas tebu juga dapat
digunakan sebagai bahan baku briket arang ampas. Briket tersebut mempunyai kualitas yang
tidak begitu berbeda dengan kualitas cokes. Dalam ukuran kecil, briket dapat digunakan di
dapur rumah tangga. Di samping itu ampas tebu dapat digunakan untuk membuat particle
board. Particle board biasanya digunakan untuk keperluan interior, akustik, insulator, panel
dinding dan meb. Blotong. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena
mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong
dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu
sebanyak 100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkat bobot dan rendamen
tebu secara segnifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan kompos dari
ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK).
Tabel 2. Hasil analisis kimia KAT, blotong dan KABAK:

Di dalam tetes tebu


terkandung total gula
sebagai invert antara 60
70 %, merupakan
bahan baku yang
potensial bagi produkproduk fermentasi dan
salah satu diantaranya
adalah etanol (alkohol).
Bahkan jika diproduksi
dalam skala industri
perumahan menjanjikan
untuk menambah
pendapatan rumah
tangga. Dalam 5 tahun
terakhir ini pemerintah sedang giatnya menggalakkan program bahan bakar yang bersifat
renewable. Salah satu diantaranya adalah mencampur etanol ke dalamm BBM menjadi
gasohol sebagai energi alternatif. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia telah berhasil
menguji gasohol sampai E20 (etanol : bensin = 20 : 80) untuk mesin bensin. Di dalam tetes
tebu terkandung sukrosa antara 35 45 %, gula invert antara 17 35 %, total gula sebagai
invert (TSAI) antara 60 70 %. Hal ini merupakan bahan baku yang potensial bagi produk-

Analisis
pH
Karbon (C), %
Nitrogen (N), %
Nisbah C/N
Fosfat (P2O5), %
Kalium (K2O), %
Natrium (Na2O), %
Kalsium (Ca), %
Magnesium (Mg), %
Besi (Fe), %
Mangan (Mn), %

KAT
7.32
16.63
1.04
16.04
0.421
0.193
0.122
2.085
0.379
0.251
0.066

Blotong
7.53
26.51
1.04
25.62
6.142
0.485
0.082
5.785
0.419
0.191
0.115

KABAK
6.85
26.51
1.38
15.54
3.020
0.543
0.103
4.871
0.394
0.180
0.090

produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah sirup invert. Untuk menjadikan gula
dalam tetes menjadi invert semua maka komponen sukrosa harus diinversi terlebih dahulu.
Proses inversi sukrosa menjadi gula invert yang banyak diminati adalah cara enzimatis
karena tidak bersifat korosif terhadap peralatan yang digunakan. Proses inversi menggunakan
ragi roti optimal pada larutan brix tetes 50 %, pH 4,5, suhu inkubasi 60oC selama 24 jam. Di
samping dapat dibuat alkohol atau spiritus dan sirup invert, tetes tebu juga dapat dipakai
sebagai bahan baku L-lysine dan media untuk pembuatan sodium glutamate di pabrik vitsien.
Bahkan tetes tebu saat ini merupakan komoditas eksport non migas yang cukup menjanjikan.
CO2 dari gas cerobong. Limbah gas cerobong, khususnya gas CO2, dapat dimanfaatkan
kembali untuk keperluan pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2 atau dimanfaatkan dalam
pemurnian defekasi remelt karbonatasi. Dalam 2 tahun terakhir ini proses defekasi remelt
karbonatasi sedang banyak dibicarakan para pakar dan praktisi industri gula dalam negeri
sehubungan dengan harga belerang yang mahal, produksi gula dalam negeri yang telah
menyentuh swa sembada gula dan tuntutan akan gula mutu tinggi. Diprediksi pada musim
giling 2009 dan yang akan datang terjad kelebihan stok gula dalam negeri sehingga
dikhawatirkan terjadi penyaluran gula berlebih yang macet, untuk diekspor mutu gula dalam
negeri masih kalah bersaing. Oleh karena itu paling bijak adalah memilih proses defekasi
remelt karbonatasi dalam mengatasi masalah ini. Dengan proses tersebut, di samping dapat
mengurangi cemaran lingkungan, juga dapat memproduksi gula mutu tinggi sehingga dapat
mengatasi masalah pergulaan nasional yang sedang mengalami kendala dalam persaingan
global. Dengan penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut
diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri
gula.
PEMANFAATAN LIMBAH PABRIK GULA DAN ETHANOL MENJADI PUPUK
ORGANIK
Penerapan cara Pertanian Organik Modern masih belum populer untuk diterapkan di negara
kita, sehingga perlu pengembangan sistem Pertanian Organik yang intergeted, agar hasil dari
pertaniannya bisa masuk pasar local maupun dunia (Eropa dan Amerika). Negara-negara
yang pertaniannya sudah lebih maju, seperti pertanian di Negara-negara Eropa dan Amerika
sudah lama meninggalkan sistem pertanian anorganik ( Kimia ) dan beralih ke pertanian yang
ramah lingkungan yaitu pertanian organik.
Untuk menjaga tanaman dari hama dan pestisida kimia, perlu di kembangkan suatu
Greenhouse, yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan produksi agar tidak tergantung
pada musim. Setelah Greenhouse jadi maka dilakukan penanaman percobaan yaitu menanam
beberapa jenis komoditi yang di antaranya: cabe, terong, dan tomat, langsung di atas tanah
seperti biasanya.
Penanaman secara organik tidak menggunakan pestisida, hal tersebut karena penanamannya
juga sudah dilakukan dalam Greenhouse, dengan di cover dengan net yang bisa menahan
hama Cabuk ( White fly ) pembawa virus Bemicia tabaci yang cukup sulit untuk diberatas.
Menanam di atas tanah seperti bisanya (secara konvensional) ternyata memerlukan
pemupukan secara kimia yang sangat banyak di luar kewajaran secara kalkulasi ekonomi, dan
dari hasilnya tidak bisa masuk katagori organik. Mengingat langkanya pupuk untuk
mendapatkannya, kalaupun ada dengan harga yang sudah tidak normal atau tidak seperti

harga-harga pupuk sebelumnya. Jadi dari kualitas dan harga belum bisa bersaing di pasar
global atau pasar dunia.
Dengan kendala yang dihadapi itu, dapat di simpulkan bahwa untuk memperbaiki tanah
pertanian dengan penambahan bahan organik yang sudah hampir hilang di seluruh areal tanah
pertanian, akibat pemakaian pupuk kimia yang terus menerus (hampir 3035 tahun), dan
upaya dalam perbaikan tanah hampir tidak pernah dilakukan.
Dengan perhitungn ekonomis, perbaikan tanah pertanian memerlukan waktu dan biaya yang
sangat tinggi, jadi perlu penanaman jenis komoditas seperti tadi (cabe, terong, dan tomat) di
dalam polibag, menggunakan media yang umum di pakai, seperti kotoran ternak, cocopeat,
arang sekam dengan campuran yang disesuaikan dengan jenis tamanan. Untuk tanaman yang
hampir 22.000 tanaman/ha, diperlukan sekitar 200 ton media tanam untuk tahap pertama,
selanjutnya hanya di tambah dengan interval 25 % atau 50 ton/musim tanam/ha.
Blotong (filter cake) merupakan limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula,
dimana dalam suatu proses produksi gula akan dihasilkan blotong dalam jumlah yang sangat
besar. Sementara ini pemanfatan blotong, sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan
penggunanya pun terbatas. Hal ini disebabkan karena :
1. Pengolahan limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asalasalan, masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar
sehingga pupuk organik yang dihasilkan, masih belum sempurna.
2. Minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan
blotong.
Vinasse merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan Ethanol. Dalam
proses pembuatan 1 liter Ethanol akan dihasilkan limbah (vinasse) sebanyak 13 liter (1 : 13).
Dari angka perbandingan di atas maka semakin banyak Ethanol yang diproduksi akan
semakin banyak pula limbah yang dihasilkannya. Jika limbah ini tidak di tangani dengan baik
maka di kemudian hari, limbah ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi
lingkungan.
Salah satu cara pemanfaatan limbah ini yaitu dengan merubah vinasse menjadi pupuk organik
cair dengan menggunakan metode tertentu. Hal ini mungkin dilakukan karena kandungan
unsur kimia dalam vinasse sebagian besar merupakan unsur organik yang berguna dan
dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.
Di Indonesia penggunaan pupuk organik sangat minim dilakukan oleh petani. Hal ini
dikarenakan sedikitnya produsen pupuk organik, dan minimnya pengetahuan petani tentang
manfaat pengguanan pupuk organik. Dengan adanya hal tersebut di atas maka akan tepat jika
limbah yang sedemikian besar tadi dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
Limbah filter cake, abu boiler, dan vinasse merupakan bahan organik. Untuk bisa menjadi
pupuk organik yang siap diaplikasikan maka diperlukan suatu proses dekomposisi bahan oleh
bantuan mikoorganisme. Proses daur ulang limbah menjadi pupuk dapat dilakukan dengan
menggunakan mikroorganisme secara manual. Sekitar 20-23 hari, proses thermofolik bisa
tercapai, maka jadilah humus yang kandungan unsurnya cukup bagus dan berguna untuk
memperbaiki struktur tanah.

Peluang Pasar
Seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pertanian organik dan gerakan moral yang
menyerukan kembalinya pemakaian bahan-bahan organik seperti untuk pupuk, pestisida dan
lain-lain. Sebagai bahan dasar dalam usaha pertanian, maka kebutuhan bahan organik
terutama pupuk organik menjadi semakin besar. Hal ini sangatlah beralasan karena
pemakaian bahan organik pada usaha pertanian lebih menguntungkan bila ditinjau dari nilai
ekonomis, keamanan, lingkungan dan kesehatan.
Meningkatnya harga dan langkanya keberadaan pupuk anorganik (kimia) di tingkat petani,
maka dapat di manfaatkan sebagai langkah untuk penerapan pola pertanian secara organik.
Nilai ekonomis dari pupuk organik yang terjangkau dari pemanfaatan limbah pabrik guna ini
akan dapat meningkatkan permintaan pupuk secara organik. Harapannya akan banyak para
petani yang beralih ke pertanian secara organik.
Akan tetapi kebutuhan pupuk organik yang terus meningkat dari tahun ke tahun tersebut tidak
diimbangi dengan suplay pupuk organik yang mencukupi. Hal ini dikarenakan sedikitnya
produsen atau pengolah pupuk organik yang ada di tanah air. Disamping itu bisnis pupuk
organik ini dinilai kurang menguntungkan oleh produsen pupuk jika dibanding dengan pupuk
kimia.
Hal tersebut sebenarnya bukan dikarenakan tidak adanya kebutuhan pupuk organik di tingkat
konsumen (petani) tetapi lebih mengacu kepada ketidak-tahuan petani akan manfaat dari
penggunaan pupuk organik tersebut dan keengganan pihak yang terkait untuk memberikan
penyuluhan tentang hal tersebut. Pihak-pihak terkait dari pemerintah diharapkan memberikan
informasi atau penyuluhan ke petani untuk bercocok tanam secara organik, hal ini dilakukan
agar para petani tidak tergantung pada pupuk kimia (anorganik). Penggunaan pupuk organik
dapat memberikan pengaruh positif pada tanah antara lain untuk memperbaiki sifat fisik
tanah dan struktur tanah. Pemberitahuan informasi penyuluh ke petani akan meningkatkan
kesadaran para petani itu sendiri, bahkan petani akan berusaha dalam pemanfaatan
sumberdaya yang ada di lingkungannya untuk dijadikan pupuk organik.
Pupuk organik akan menjadi suatu bisnis yang sangat menguntungkan apabila kesadaran
petani akan manfaat penggunaan pupuk organik baik jangka pendek maupun jangka panjang
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya
bermata pencaharian di sektor pertanian. Selain itu sumberdaya yang ada di sekitar nampak
tidak bermanfaat akan menjadi solusi bagi para petani yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pupuk anorganik. Pemanfaatan sumber daya alam sekitar mampu memberikan
manfaat yang lebih dan akan memberikan nilai ekonomis yang bisa diperhitungkan.
Limbah pabrik gula dan ethanol dapat bermanfaat bila dikelola dengan baik untuk dijadikan
pupuk organik yang bisa menangani kelangkaan pupuk anorganik ditingkat petani. Pupuk
organik dari pemanfaatan limbah gula dapat meningkatkan atau memperbaiki sifat fisik tanah
yang sudah tergantung pada pupuk anorganik. Nilai ekonomis dari pupuk organik juga tinggi
untuk bisa meningkatkan hasil produksi para petani.

GUNAKAN LIMBAH PABRIK GULA


GANTIKAN BBM

Adapaun cara pembuatan blothong yang digunakan untuk BBM, pada tahap pertama
blothong yang merupakan limbah dari pabrik gula yang masih basah di jemur selama dua
pekan. Setelah mengering, blothong ini dipotong seukuran dua buah bata merah. Setelah itu,
blothong siap digunakan untuk memasak di dapur dengan menggunakan anglo atau tungku.
Blothong kering memiliki beragam keunggulan jika dibandingkan minyak tanah. Selain
apinya tak kalah panas, cara pembuatannya mudah dan yang terpenting adalah sangat murah.
Api yang dihasilkan dari blothong lebih biru, dan juga irit serta murah, katanya
menambahkan.
Ia menjelaskan, untuk membuat blothong, maka pihaknya membeli dari pabrik gula yang saat
ini sedang memasuki musim giling, seperti PG Pagottan maupun PG Redjo Agung. Dalam
setiap pembelian satu truk, blothong tersebut bisa digunakan selama satu bulan.
Setiap satu truk blothong, kami membeli seharga Rp25.000. Dari blotong satu truk tersebut
bisa kami gunakan untuk memasak dan keperluan lainnya selama lebih dari satu bulan,
katanya menerangkan.
Dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, blothong jauh lebih hemat. Jika
menggunakan minyak tanah, maka setiap hari dibutuhkan setidaknya satu liter dengan harga
mencapai Rp3.000. Namun, setelah menggunakan blothong hanya diperlukan anggaran
Rp25.000 dalam setiap bulannya.
Ia menambahkan, warga di desanya sudah sejak dulu menggunakan blothong untuk
memasak. Minyak tanah hanya digunakan untuk seperlunya saja. Dengan memakai blothong,
mereka mengaku tidak perlu dipusingkan dengan tingginya harga minyak tanah. Namun
yang menjadi kendala, ia menyatakan, saat bukan musim giling, maka tidak ada bahan untuk
pembuatan energi alternatif ramah lingkungan ini.
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa limbah pabrik gula yang terasa mempunyai
konotasi mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya dapat diatasi dengan baik,
sehingga memberi manfaat pada lingkungan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan
melalui elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah limbah cair yang
keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan dengan cara
menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam atau
membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium kepembuangan. Upaya pencegahan
limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL) dalam
analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan kontrol pemurnian nira. Upaya
pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan ampas dan blotong sebagai bahan baku
pupuk kompos, ampas untuk energi listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku
industri etanol, spiritus dan vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk
pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2. Dengan penanganan, pencegahan dan
pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan
terlaksana dengan baik di sektor industri gula. Namun yang terpenting dari semua
pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut adalah mempunyai prinsip menangani masalah

limbah tanp menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Martoyo, T., B. E. Santoso dan M. Mochtar. 1994. Bahan penjernih alternatif untuk analisis
pol nira dan bahan alur proses di pabrik gula. Majalah Penelitian Gula Vol 30 (3 4). P3GI.
Pasuruan. pp: 1 5.
Santoso.B.E., 2008., Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan Dan Pemanfaatannya
Dalam Upaya Program Langit Biru Dan Bumi Hijau. Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia. Pasuruan, Indonesia. p: 1-6.
Widodo. Yusuf., 2007, Pemanfaatan Limbah Industri Gula Melalui Pengolahan Biologis
Dan Kimiawi Dalam Upaya Meningkatkan Upaya Kecernaannya Secara Invitro, Lampung
University Library, Lampung.
http://www.penelitian_gula.asp.atm. Diakses 14 Februari 2011.

Anda mungkin juga menyukai