Anda di halaman 1dari 36

PENGELOLAAN LIMBAH PADA INDUSTRI GULA PUTIH

(Makalah Pengelolaan Limbah Agroindustri)

Oleh

Adinda Ayu Larasati 1714051021


Edola Ratu 1714051022
Titania Dwi Amarta Putri 1714051023
Lola Almira Gelazia 1714051024

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri gula tebu merupakan salah satu industri hasil pertanian yang terdapat di
Indonesia. Proses pengolahan tebu menjadi gula menimbulkan hasil samping yang
berupa limbah gas, padat dan air limbah. Limbah gas yang dihasilkan berupa gas
cerobong ketel dan gas SO2 yang berasal dari cerobong reaktor pemurnian pada
proses sulfitasi. Limbah padat yang dihasilkan berupa bagasse, filter cake, dan
boiler ash, sedangkan air limbah berasal dari air pendingin mesin, air bekas cucian
dan minyak dari peralatan proses, air dari laboratorium, serta air dari proses
pembuatan gula tebu. Air limbah yang dihasilkan oleh industri gula tebu kurang
lebih 0,5 m3/ton tebu yang diolah. Air limbah tersebut mengandung polutan
utama yaitu zat organik, dengan BOD berkisar 1.300-1.900 mg/L, dan COD
berkisar 2.500-4.000 mg/L (Purwadi, 2001).

Metode pengelolaan air limbah industri gula tebu dengan menggunakan sistem
kolam conventional biological treatment telah terbukti dapat mereduksi senyawa
organik, bau, warna dan menurunkan nilai COD dan BOD. Masalah yang sering
muncul dari pengolahan air limbah industri gula tebu adalah meningkatnya nilai
pH air limbah industri gula tebu tersebut. Tingkat kenaikan pH tersebut
disebabkan adanya over aerasi dan akibat algae bloom (Hasanudin, 2007). Tingkat
kenaikan populasi alga pada air limbah industri gula tebu disebabkan adanya over
nutrisi. Usaha untuk mengurangi populasi alga pada air limbah dilakukan dengan
cara menanam tanaman yang dapat menyerap nutrisi pada air limbah tersebut.
Salah satu tanaman yang dapat digunakan adalah tanaman eceng gondok. Eceng
gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman air yang dapat tumbuh
dengan cepat di daerah tropis. Tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan baik,
sehingga tingkat penyebarannya sangat cepat. Eceng gondok mampu menyerap
berbagai zat yang terkandung di dalam air, baik terlarut maupun tersuspensi (Orth,
1989).

Limbah hasil produksi gula bila tidak ditangani dengan tepat dapat mencemari
lingkungan dan menyerap ke permukaan tanah sehingga air tanah tersebut
mengalami perubahan fisik berupa bau dan warna, bau ini berupa bau manis yang
ditimbulkan oleh gas-gas yang ada di dalam air yang menguap, gas ini dihasilkan
oleh bakteri-bakteri yang telah mati atau limbah pabrik gula yang dibuang ke
sungai. Warna air sumur juga berubah menjadi kekuningan. Bau dan warna
tersebut menyebabkan air sumur ini tidak terlalu layak digunakan untuk
kebutuhan sehari – hari. Maka dari itu perlu mengetahui karakteristik limbah yang
diolah agar mengetahui cara pengolahan yang baik dan tepat sehingga limbah
aman untuk lingkungan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui karakteristik limbah
dan pengelolaannya pada pabrik gula.
II. PEMBAHASAN

2.1 Pengolahan Tebu Menjadi Gula

Pembuatan gula putih melalui beberapa tahapan dan proses. Di dalam pabrik,
masing-masing tahapan dan proses tersebut ditempatkan pada stasiun-stasiun
tertentu. Lestari (2006) menguraikan tahapan-tahapan dan stasiun tersebut sebagai
berikut.

1. Stasiun Gilingan (Unit Proses Ekstraksi)


85178.7 ton tebu dari lori diangkat ke meja tebu oleh unloading crane kemudian
tebu masuk ke cane carrier, Cane carrier akan membawa tebu ke cane cutter I
(alat untuk memotong tebu menjadi ukuran yang lebih kecil). Tebu yang tercacah
akan masuk ke Cane Cutter II (yang memotong tebu menjadi ukuran yang lebih
kecil lagi). Selajutnya masuk ke Carding Drum yang berfungsi untuk mengatur
cacahan tebu yang akan masuk ke HDHS (Heavy Duty Hammer Shredder) dengan
tujuan pengaturan agar cacahan tebu dapat masuk merata sehingga tidak
menimbulkan beban yang terlalu berat untuk HDHS.

Cacahan tebu kemudian dibawa Cane elevator yang ke gilingan I. Dari gilingan I,
ampas akan ditarik dengan IMC (Intermediate Carrier) masuk ke gilingan II,
untuk mengalami pemerahan kembali dan ampas tebunya akan ditarik dengan
IMC untuk dibawa ke penggilingan III, demikian seterusnya hingga penggilingan
V.

Nira mentah dari penggilingan V dipompa dan dialirkan kembali ke gilingan III
sebagai nira imbibisi majemuk. Nira mentah di tangki penampungan nira gilingan
IV akan dialirkan ke gilingan II, dan dari tangki penampung gilingan III nira
mentah akan dialirkan ke gilingan I. Ampas dari gilingan V akan dibawa oleh
conveyor belt menuju ketel dan digunakan sebagai bahan bakar ketel.

Nira mentah dari penggilingan I dan II akan masuk ke peti nira mentah kemudian
disaring dalam rotary screen untuk meminimisasi jumlah ampas dalam nira,
kemudian nira mentah masuk ke Sand Vanger yang berguna untuk memisahkan
kotoran yang bersifat fisik seperti pasir, debu, dan kotoran lain. Selanjutnya nira
mentah dialirkan ke stasiun pemurnian.

2. Stasiun Pemurnian (Unit Operasi Purifikasi)


Nira mentah yang dihasilkan dari stasiun gilingan kemudian akan dipompa dan
dialirkan ke timbangan Boulogne. bobot nira mentah sekitar 6.6 ton (6600 kg),
akan mengalir ke tangki penampungan. Nira ditambahkan dengan triple super
phospat cair (TSP) sekitar 150 ppm hingga ±300 ppm. Nira dipompa menuju juice
heater I yang bersuhu 75 – 80oC. Nira masuk ke dalam precontactor ditambahkan
dengan Ca(OH)2 kemudian dihomogenkan dalam defekator I hingga pH larutan
mencapai 7.0 – 7.2. Nira dari tangki sulfitasi kemudian akan masuk ke juice
heater II yang bersuhu 105oC. Nira kemudian masuk ke dalam flash tank

3. Stasiun Penguapan (Unit Operasi Evaporasi)


Nira encer dari stasiun pemurnian masih mengandung air sekitar 80-85 %. Nira
encer akan diuapkan hingga kekentalan ±32oBeume. Sistem penguapan
menggunakan 7 buah evaporator dalam pengoperasiannya badan 1 terdiri dari 2
buah evaporator, badan 2 juga terdiri dari 2 buah evaporator yang dioperasikan
masing-masing secara serial (Quadrupple Effect), sedangkan badan 3 dan 4
masing-masing 1 buah evaporator, sehingga dalam sistem evaporasi dapat
diistirahatkan 1 buah evaporator.
4. Stasiun Kristalisasi
Secara umum proses kristalisasi melewati 3 tahapan, yaitu
1. Pembuatan Gula Bibitan
Pembuatan masakan A dibuat dari leburan gula C, gula D2, gula kasar dan
halus, nira kental, dan klare SHS. Masakan D dibuat dari stroop C serta klare D
dan bibitnya dari fondant. Masakan C dibuat dari stroop A dan gula D2.

2, Pembesaran Kristal Gula


Dilakukan dengan cara mendekatkan molekul sukrosa pada inti kristal.
Sehingga akhirnya molekul tersebut menempel pada inti kristal. Proses ini
dilakukan dalam Vacuum Pan pada daerah yang stabil.

3. Kristalisasi sempurna
Tahap pembesaran kristal dilanjutkan dengan penguapan larutan untuk
memperoleh kepekatan setinggi-tingginya dengan tanpa menambah larutan
baru (hanya ditambahkan air seperlunya/secukupnya untuk menghindari
terbentuknya kristal palsu dan juga menguatkan kristal dan mengurangi larutan
di sekeliling kristal) dan tetap menjaga agar proses ini berlangsung pada daerah
daerah stabil.

5. Stasiun Sentrifugasi
Stasiun sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan kristal gula dengan stroopnya
atau larutannya dari masakan A, masakan C, dan masakan D dengan cara
pemutaran (sentrifugasi).

6. Stasiun Penyelesaian
Gula yang berasal dari Grasshopper Conveyor yang terletak di bawah HGF-SHS
pada stasiun sentrifugasi kemudian dilewatkan ke Bucket Elevator 1 untuk menuju
Sugar Dryer and Cooler. Sugar Dryer and Cooler adalah unit pengering gula
dengan hembusan udara panas dan udara suhu normal. Suhu panas yang
diperbolehkan adalah 85-90oC dengan tekanan uap panas sekitar 4 kg/cm2 karena
apabila lebih dari itu akan terjadi reaksi browning atau berubahnya gula menjadi
warna cokelat. Suhu pendinginnya adalah suhu normal udara luar. Gula SHS
kemudian dilewatkan ke Bucket Elevator 2 dan dimasukkan ke Vibrating Screen.

Saringan yang digunakan ada 2 macam, yaitu :


1. Saringan I : ukuran 7 mesh dan digunakan untuk menyaring gula kasar.
2. Saringan II : ukuran 23 mesh dan digunakan untuk menyaring gula produk.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Putih dari Tebu (Lestari, 2006).

Selain

penting mengetahui diagram alir proses pembuatan gula putih dari tebu, kita juga
harus mengetahui neraca masa dari proses pengolahan tersebut. Hal ini bertujuan
agar kita dapat mengkalkulasi produk yang dihasilkan, baik produk utama
maupun produk sampingan atau limbah. Dengan kemampuan memprediksi
produk tersebut pula kita mampu menentukan pengelolaan limbah yang tepat.
Berikut adalah neraca masa dari Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri, Jawa Timur.
Gambar 2. Neraca Masa Proses Pengolahan Gula Putih di Pabrik Gula Ngadirejo

Dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa limbah dari proses pengolahan seperti bagase
memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan produk akhir gula putih.
Kemudian, walau persen angka molases dan blotong kecil, angka real yang
ditunjukkan tidak bisa dianggap sedikit. Hal ini memperkuat alasan kita untuk
menentukan pengelolaan lmbah pabrik gula dengan tepat.

2.2 Karakteristik Limbah Gula Putih


Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri fula digolongkan menjadi limbah
cair, limbah padat, dan limbah gas dan partikel. Penting bagi kita untuk
mengetahui karakteristik dari masing-masing limbah. Hal tersebut berguna dalam
penentuan metode pengelolaan yang tepat dan efisien.

1. Limbah Cair
Limbah cair pabrik gula meliputi bekas air kondensor dan bekas air cucian proses.
Air cucian proses termasuk air cucian evaporator, buangan ketel dan peralatan
lain, bekas air cucian lantai, tumpahan nira, tetes dan lain-lain. Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan terhadap beberapa pabrik gula di Indonesia,
nilai COD air buangan pabrik gula bisa bervariasi mulai di bawah 100 mg/l
sampai di atas 700 mg/l. Hal ini tidak sama untuk setiap pabrik gula, tergantung
pada cara pengolahan, kondisi peralatan dan kebersihan di masing-masing pabrik.

Tabel 1. Karakteristik Kimia Limbah Cair Pabrik Gula Putih

Parameter Konsentrasi
pH 5,2-6,5
Warna Kuning kecoklatan
Total Supended Solid/TSS (mg/l) 760-800
Volatile Suspended Solids/VSS (mg/l) 173-2190
Total Kjeldahl nitrogen/TKN (mg/l) 15-40
Pospor (mg/l) 1,3-2,5
COD (mg/l) 1000-4340
BOD (mg/l) 350-2750

Pada umumnya air limbah industri gula memiliki karakteristik yaitu mengandung
bahan-bahan organik yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai BOD yang
tinggi dimana bahan organik tersebut digunakan sebagai makanan untuk bakteri.
Karakteristik lainnya yaitu memiliki warna kecoklatan, bau seperti tebu bakar,
suhu yang tinggi, rendah nilai pH, tinggi kadar abu atau residu padat dan
mengandung persentase yang tinggi berupa bahan organik dan anorganik terlarut
sekitar 50% bisa dianggap sebagai pengurangan rendemen gula. Hal ini juga yang
menyebabkan meningkatnya mikroorganisme dalam air. Peningkatan jumlah
bakteri ini yang kemudian menggunakan semua oksigen terlarut dalam air.

2. Limbah Padar
Limbah padat produksi gula berupa ampas tebu, blotong, dan abu pembakaran
ampas tebu. Ampas tebu didapatkan dari proses penggilingan sedangkan blotong
didapatkan dari proses akhir pemurnian nira dan abu pembakaran ampas tabu
dihasilkan dari pembakaran ampas tebu di ketel. Kelebihan jumlah ampas
(bagasse) tabu dapat membawa masah bagi pabrik gula, ampas bersifat bulky
(meruah) sehingga untuk menyimpan perlu area yang luas. Ampas mudah
terbakar karena didalamnya terkandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila
tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Limbah blotong ini sebagian
besar diambil petani untuk dipakai sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang
dilahan terbuka dan dapat meyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang
tidak sedap di sekitar lahan tersebut.

Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-sellulose. Panjang seratnya


antara1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro sehingga ampas tebu
dapat memnuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase
mengandung air, gula, dan serat. Serat bagase tidak dapat larut dalam air dan
sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin.

3. Limbah gas
Limbah gas pabrik terutama berasal dari asap ynag dihasilkan ketel. Pembakaran
yang tidak sempurna akan menghasilkan jelaga, untuk mengatasi hal tersebut,
pada ketel dilengkapi dengan dust cilector dan cyclone yang dapat memisahkan
partikel dari gas dengan cara memaukan aliran gas menurut gerakan rotasi dan
membentuk vorteks sehingga menimbulkan gaya sentrifugalyang akan melempar
partikel secara radial kearah dinding cerobong.

2.3 Sistem Penanganan Limbah Industri Gula Putih

Limbah yang dihasilkan oleh setiap industri dapat merugikan ataupun


menguntungkan. Langkah awal yang menjadi kunci pengendalian pencemaran
adalah pengendalian pada sumbernya. Setelah sumber pencemarnya diketahui,
maka dilakukan pengenalan sifat dan karakter pencemar tersebut. Kemudian
masing-masing sumber pencemar tersebut dimasukkan dalam suatu daftar dan
dilakukan pengelompokan sesuai dengan karakter pencemarannya.

Pemanfaatan limbah akan dapat menunjang peningkatan pendapatan industri.


Dalam operasinya PG Pesantren Baru menghasilkan limbah cair, limbah padat,
limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Pemerintah daerah menetapkan standar baku mutu lingkungan yang harus


dipenuhi oleh pabrik gula termasuk PG. Pesantren Baru Kediri. Tabel 2
memperlihatkan standar baku mutu lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah
propinsi Jawa Timur untuk industri gula pasir.

Tabel 1. Baku mutu Limbah Cair Industri Gula*)


*) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Surabaya, 2004.

PG. Pesantren Baru dalam produksinya juga menghasilkan limbah. Limbah yang
dihasilkan adalah limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun). Limbah cair yang dihasilkan merupakan air yang
digunakan dalam proses produksi yang mengandung banyak padatan tersuspensi
dan zat-zat kimia. Limbah padat yang merupakan produk samping yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru adalah berupa ampas tebu dan blotong.
Limbah udara yang dihasilkan adalah berupa gas-gas pembakaran dari stasiun
ketel, dan limbah B3 dihasilkan dari laboratorium pabrik.

PG. Pesantren Baru dalam mengelola dan menimisasi limbahnya secara umum
menggunakan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan in of pipe dan out of
pipe. Pendekatan in of pipe merupakan pendekatan ke arah produksi bersih yang
mengusahan meminimisasi terbentuknya limbah dari awal hingga akhir proses
produksi. Pendekatan out of pipe merupakan pengolahan limbah setelah limbah
tersebut terbentuk sehingga tidak membahayakan bagi lingkungan.
1. Metode In Of Pipe

Produksi bersih adalah suatu strategi atau usaha berkesinambungan, terpadu dan
bersifat preventif dalam manajemen lingkungan yang akan mencegah dan atau
mengurangi dampak terhadap lingkungan melalui siklus hidup produk dari awal
penyediaan bahan baku sampai pembuangan akhir. Inti dari pelaksanaan produksi
bersih adalah mencegah, mengurangi dan atau menghilangkan terbentuknya
limbah atau pencemar pada sumbernya diseluruh daur hidup produk, yang dicapai
dengan menerapkan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih dan
akrab lingkungan, serta perubahan mendasar dalam sikap dan perilaku
manajemen.

Strategi pengolahan limbah yang telah dilakukan oleh PG. Pesantren Baru Kediri
adalah sebagai berikut:

1) Daur Ulang (Recycle)

a) Penggunaan dan Daur Ulang Kembali (In site Recovery and Reuse).

Penggunaan kembali pada tempatnya (On-site recovery and Re-use) adalah


penggunaan kembali limbah yang dihasilkan pada proses yang sama atau pada
proses yang lain di industri tersebut. PG Pesantren Baru telah melakukan
beberapa hal dalam bidang ini, yaitu penggunaan kembali air hasil akhir
pengelolaan limbah, pengambilan tebu yang tercecer di emplacement untuk
dimasukkan ke stasiun gilingan, penggunaan ampas tebu dari stasiun gilingan
sebagai bahan bakar pada stasiun ketel, penggunaan uap nira dari stasiun masakan
(kristalisasi) untuk stasiun penguapan (evaporasi), penggunaan uap nira dari
evaporator I untuk pengoperasian evaporator berikutnya, nira yang terkandung
dalam uap bekas dipisahkan dengan sap vanger sehingga nira kental bisa
dikembalikan ke proses, peleburan kembali gula hasil yang biasanya pada awal
giling masih kotor untuk dijadikan umpan pada stasiun kristalisasi, peleburan
kembali gula yang tidak memenuhi kriteria produk (gula kasar dan gula halus) di
stasiun sentrifugasi untuk dijadikan bibitan di stasiun kristalisasi, tumpahan nira
kental di stasiun kristalisasi yang terjadi karena kerusakan peralatan ditarik
kembali dengan pompa ke timbangan boulogne di stasiun pemurnian (purifikasi)
untuk mengalami proses kembali, ceceran oli yang telah diserap dengan ampas di
stasiun penggilingan digunakan pada ketel sebagai tambahan bahan bakar pada
saat terjadi jam berhenti giling yang biasanya dikarenakan kerusakan alat, dan
gula yang tercecer di sekitar timbangan curah diambil kembali secara manual
untuk dilebur kembali di stasiun masakan sehingga jumlah kehilangan produk
bisa lebih dikurangi.

b) Produk Samping yang Bermanfaat (Creation of Useful By Product).

Penciptaan produk samping yang berguna juga merupakan strategi yang


digunakan oleh PG. Pesantren Baru sebagai usaha untuk meminimisasi
limbahnya. Produk samping ini ada yang secara langsung dijual tanpa melalui
proses terlebih dahulu dan ada juga yang diproses terlebih dahulu sehingga nilai
ekonominya lebih tinggi. Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan
tambahan bagi pihak perusahaan.

Produk samping yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru adalah ampas tebu dari
stasiun gilingan yang selain digunakan sebagai bahan bakar ketel juga dijual
kepada perusahaan-perusahaan kertas di sekitar daerah Jawa Timur. Ampas ini
juga direncanakan akan diolah menjadi particle board yang akan ditangani oleh
anak perusahaan PG. Pesantren Baru Kediri.

Abu ketel dan blotong yang dihasilkan di stasiun ketel dan pemurnian juga
diproses oleh PG. Pesantren Baru sebagai biokompos yang untuk saat ini
pengolahannya diserahkan kepada PT. AgroBio Teknik Sentosa. Penggunaan
biokompos saat ini masih terbatas pada kalangan petani kebun milik PG.
Pesantren Baru Kediri.
Tetes yang dihasilkan di stasiun sentrifugasi juga merupakan hasil samping yang
memberikan keuntungan kepada perusahaan. Dari stasiun sentrifugasi, molasses
dialirkan ke tangki yang terdapat di luar pabrik. Tangki ini diletakkan di luar
pabrik untuk memudahkan perusahaan pengguna dalam pengambilannya.
Perusahaan yang mengambil molasses dari PG. Pesantren Baru adalah
perusahaan MSG.

Produk samping lain yang juga bermanfaat bagi perusahaan adalah abu cerobong
yang telah diendapkan dalam kolam pembuangan akhir. Abu ini dijual kepada
masyarakat sekitar yang biasanya akan digunakan sebagai tanah urug.

2. Pengurangan pada Sumbernya (Source Reduction)


a) Perubahan Bahan Input (Input Material Change)

PG. Pesantren Baru dalam proses produksinya, menggunakan bahan baku tebu
yang berasal dari tanaman tebu (Sacharum officinarum). Produk yang dihasilkan
adalah gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih).

Bahan penunjang atau bahan pembantu yang digunakan oleh PG. Pesantren Baru
adalah Asam Phospat Cair, Susu Kapur (Ca(OH)2), belerang (SO2 (g)), flokulan,
desinfektan, dan caustic soda.

Penggunaan asam phospat cair (P2O5) di PG. Pesantren Baru yang berfungsi
untuk membentuk endapan kotoran dalam nira menggantikan peran Tripple Super
Phospat (TSP) dengan pertimbangan perusahaan sebagai berikut:

1) TSP berharga murah namun keefektifannya kurang bila dibandingkan dengan


asam phospat karena kadar PO4- yang terkandung dalam TSP hanya ± 36%
dan yang dapat bereaksi dengan nira hanya ± 30% dan menimbulkan lebih
banyak endapan pospat.
2) Asam Phospat berharga mahal namun lebih efektif daripada TSP karena
kadar PO4- ± 80% dan endapan pospat yang ditimbulkan lebih sedikit
sehingga bahan buangan yang harus diolah juga lebih sedikit.

3) Pertimbangan ekonomis perusahaan yang menyatakan bahwa pemakaian


asam Phospat lebih hemat daripada TSP.

b) Pengendalian Proses yang Baik (Better Process Control)

Pengendalian proses yang baik diperlukan untuk menurunkan inefisiensi proses.


Diharapkan dengan adanya pengendalian proses yang baik akan dihasilkan
produk yang lebih baik dengan tingkat inefisiensi proses yang rendah. Pada PG.
Pesantren Baru Kediri, pengendalian proses dilakukan dengan cara yaitu :

1) Penggunaan panel kontrol yang berada di ruang kontrol untuk stasiun


penggilingan. Ruang kontrol ini digunakan untuk mengatur kerja rol gilingan
seperti menghentikan atau menjalankan gilingan dan mengatur kecepatan
perputaran gilingan.
2) Pengukuran pH di stasiun pemurnian yang dilakukan secara manual dengan
penggunaan kertas pH. Pengontrolan ini sangat penting mengingat parameter
mutu di stasiun pemurnian adalah derajat keasaman atau pH tersebut. Seperti
untuk defekator I, pH yang harus dicapai adalah 7.0 – 7.2, sedangkan untuk
defekator 2, pH yang harus dicapai adalah 8.5 – 8.8.
3) Pengontrolan kualitas nira di stasiun penguapan yang dilakukan dengan brix
weigher. Pengontrolan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hasil dari
proses penguapan adalah nira kental yang mempunyai konsentrasi sebesar
±32oBeume.
4) Pengontrolan kualitas nira yang dilakukan di laboratorium yang berguna
untuk mengetahui nilai brix dan pol nira. Pengambilan sample nira dilakukan
di semua stasiun. Sample ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dianalisa kandungan brix dan pol-nya. Contohnya untuk stasiun penguapan,
nilai brix yang disyaratkan adalah 64o.
5) Pembacaan pengontrolan tekanan ruang vacuum di stasiun penguapan dan
kristalisasi yang dilakukan dengan menggunakan vacuum meter. Alat ini
digunakan di badan penguapan terakhir dan semua vacuum pan pada stasiun
kristalisasi.

c) Modifikasi Peralatan (Equipment Modification)

Modifikasi peralatan yang dilakukan oleh perusahaan pada tahun 2004 dalam
memperlancar proses antara lain:

1) Memperbesar lubang udara primer dari 5 mm menjadi 10 mm sehingga


suplai udara baru ke ruang bakar bisa optimal. Selama ini diperkirakan suplai
udara ke ruang bakar tidak terdistribusi dengan baik sehingga pembakaran
berlangsung tidak yang sempurna (ampas tidak habis terbakar/terbuang
bersama abu) dan menyebabkan penumpukan ampas.
2) Memperbaiki ruji pickroll yang berguna untuk mengatur jatuhnya ampas dari
baggase plug ke baggase feeder lebih kontinyu dengan kondisi tercacah
halus sehingga pembakaran ampas di ruang bakar bisa optimal. Pada musim
giling tahun 2004 PG Pesantren Baru telah mencoba memodifikasi satu buah
ruji pickroll dan setelah dimonitor dan dievaluasi selama satu musim gilling,
feeder tersebut beroperasi dengan normal.
3) Modifikasi peluncur ampas ketel Takuma. Peluncur ampas ketel Takuma
dimodifikasi lebih curam dengan kemiringan mencapai 600 terhadap garis
horizontal, sehingga diharapkan ampas tidak akan menumpuk dibagian atas.
Modifikasi ini ditujukan untuk penumpukan ampas dan menjaga kontinuitas
ampas yang masuk ke ketel Takuma.
2) Metode Out Of Pipe

Metode ini dilakukan untuk mengolah air limbah yang dihasilkan oleh PG.
Pesantren Baru Kediri agar tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Rata-rata air
limbah yang dihasilkan setiap menitnya adalah 1700 m3. Pengolahan limbah yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri dilakukan di Instalasi Pengolahan
Limbah (IPAL). Urutan pengolahannya adalah sebagai berikut:

Inhouse Keeping

Pengolahan limbah cair di PG Pesantren Baru diawali dengan


pengendalian/penurunan beban pencemaran yang dilakukan didalam pabrik
(inhouse keeping). Tujuan utama dilakukan inhouse keeping adalah :

a. Untuk mengendalikan operasi pabrik agar jumlah kehilangan gula


sekecil mungkin (kehilangan gula bisa disebabkan oleh kebocoran, luapan
dan sebagainya)
b. Untuk menurunkan beban pencemaran.

Saluran Inhouse Keeping ini berada di bawah tanah dan menuju ke kolam
penampungan awal limbah pengolahan yang berada di bagian timur stasiun
gilingan. Di kolam penampungan awal ini limbah diberi susu kapur (Ca(OH) 2)
untuk menaikkan pH limbah cair yang asam. Dari kolam penampungan awal ini
limbah dipompa menuju ke UPLC (Unit Penanganan Limbah Cair).

Proses Pengolahan Limbah Cair

Proses pengolahan limbah cair PG. Pesantren Baru dilakukan di sebuah Unit
Pengolahan Limbah Cair (UPLC). Letak dari UPLC ini adalah di sebelah
samping pabrik. Di UPLC yang terdiri dari 6 kolam aerasi tersebut limbah cair
ditangani dan diolah sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar.
Proses pengolahan limbah cair PG Pesantren Baru menggunakan prinsip aerated
lagoon dengan penggunaan bakteri INOLA 121 yang didapatkan dari P3GI (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) yang berpusat di Pasuruan, Jawa
Timur. Setelah diuji oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya,
contoh air limbah yang sudah di-treatment di UPLC adalah di bawah baku mutu
limbah cair berdasarkan kepada SK Gubernur No.45/Th 2002.

Limbah cair yang dihasilkan dari pabrik antara lain:

1. Minyak, oli, dan sejenisnya.

2. Karbohidrat (didominasi bahan bergula), yang dibedakan menjadi :

a Kadar pencemar tinggi (COD > 300 mg/L)


b Kadar pencemar rendah (COD < 300 mg/L)
c Bahan kimia dan logam berat : beracun dan tidak beracun

Tahap proses pengolahan dibedakan menjadi :

1. Tahap perlakuan awal (Primary Treatment)

Pada tahap ini dilakukan pemisahan minyak dan pengendapan secara gravitasi.

2. Tahap perlakuan kedua (Secondary Treatment)

Merupakan tahap perlakuan biologis secara aerobik. Pada tahap perlakuan ini,
bahan-bahan organik yang merupakan kandungan utama dalam air limbah
pabrik gula diuraikan melalui aktivitas mikroorganisme aerob (INOLA 121).
Pemberian udara dilakukan dengan menggunakan Surface Aerator. Hasil
pengujian limbah cair PG. Pesantren Baru Kediri disajikan dalam Tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Limbah Cair PG. Pesantren Baru Kediri Musim

Giling 2004*)

*) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Surabaya, 2004.

Penanganan limbah cair yang berupa ceceran minyak atau oli dilakukan dalam
tempat penangkap minyak atau oli. Sistem pada penangkap minyak tersebut
adalah aliran berdasarkan perbedaan berat jenis air dan minyak. Berat jenis
minyak kurang dari berat jenis air, sehingga minyak akan berada di lapisan atas
dan tidak bercampur dengan air. Untuk memisahkan minyak dari air akan
digunakan ampas dan dilakukan secara manual oleh pekerja. Ampas akan
menyerap minyak yang terdapat di permukaan air. Minyak dan ampas tersebut
akan digunakan sebagai bahan bakar ketel.
B. Limbah Udara

Gas buang yang berasal dari cerobong boiler akan dilewatkan ke Wet Scrubber
terlebih dahulu sebelum keluar melalui cerobong. Pencemaran gas SO2 dihindari
dengan cara pemasukan gas SO2 kedalam Reaktor Sulfitasi dilakukan
menggunakan sistem hisapan (Induced draft). Hisapan udara diperoleh dengan
cara mengalirkan nira melalui ventury dengan menggunakan pompa sirkulasi.
Sistem seperti ini membuat percampuran (difusi) gas SO2 dalam nira secara
relatif berlangsung lebih sempurna dan pencemaran gas SO2 akibat kebocoran
perpipaan dapat dikurangi.

Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh Balai Hygienis Perusahaan dan


Keselamatan Kerja (Hyperkes) Jawa Timur pada 15 Juni 2004, pengukuran udara
ambien kadar gas-gas Sulfur Dioksida (SO2), Karbonmonoksida (CO), Oksida
Nitrogen (NOX), Amonia (NH3), Oksidan (Ox), Hydrogen Sulfida (H 2S) dan
kadar debu masih dibawah ambang batas atau baku mutu udara ambien
berdasarkan SK. Gubernur KDH Tk I Jatim No. 129/1996. Untuk pengukuran
emisi cerobong, kadar gas-gas sulfur dioksida (SO2), Karbon monoksida (CO)
dan oksida nitrogen (NOx) juga masih dibawah ambang batas.

Selain dengan pemasangan wet scubber dan dust collector untuk menangani
pencemaran udara, PG. Pesantren Baru juga mengadakan penanaman pohon di
sekitar pabrik dan mengadakan penghijauan sehingga dapat mengurangi
pencemaran udara. Gas CO2 dapat ditangkap oleh pohon hijau sehingga dapat
digunakan untuk proses assimilasi dan akhirnya dengan bantuan sinar matahari
akan menghasilkan oksigen. Selain itu hal tersebut juga akan menyebabkan
keadaan sekitar pabrik menjadi segar.

C. Limbah B3

Limbah B3 yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru antara lain :

1. Bahan pelumas / oli bekas.


2. Kertas saring dan residu bekas bahan penjernih larutan nira (Pb –
Acetat).
3. Timah hitam (Pb) hasil elektrolisa filtrat nira.
Limbah diatas dihasilkan oleh :
1. Bahan pelumas/oli bekas berasal dari penggantian oli kendaraan
bermotor dan bekas pendingin rol-rol gilingan.
2. Pb-Acetat berasal dari bahan penjernih penyaringan larutan nira.
3. Timah hitam (Pb) berasal dari sisa filtrat penyaringan larutan nira.

Sejauh ini pengelolaan yang dilakukan oleh pihak pabrik adalah :

1. Bekas kertas saring dan residunya dikumpulkan, dikeringkan


kemudian disimpan dalam drum plastik.

2. Timah hitam (Pb) hasil dari Elektrolisa Filtrat dikeringkan dan


disimpan dalam toples plastik tertutup.

Penanganan limbah B3 adalah spesifik karena bersifat racun (toxic), mudah


terbakar dan meledak, bersifat korosif, dan juga dapat menyebabkan infeksi baik
pada manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Limbah B3 PG. Pesantren Baru
tersebut akan dikumpulkan dan dikoordinir dari direksi PTPN X untuk
selanjutnya ditangani oleh PPLI (Prasadha Pamunah Limbah Industri).

3) Penanganan Produk Samping

A. Ampas (Bagasse)

Ampas tebu adalah produk samping yang dihasilkan dari stasiun gilingan. Ampas
tebu yang dihasilkan digunakan untuk bahan bakar pada ketel. Ampas tebu dari
gilingan akan dibawa oleh conveyor belt untuk dimasukkan ke ketel Yoshimine I,
Yoshimine II, dan ketel Takuma sebagai bahan bakar.

Ampas tebu yang tersisa pada akhir giling juga digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan kertas. PG Pesantren Baru hanya menyediakan dan menjual
kemudian perusahaan tersebut yang mengambil ke pabrik.

Kelebihan ampas dari stasiun gilingan akan ditumpuk di bagasse house setinggi ±
2.5 meter. Ampas dari gudang ini akan digunakan untuk bahan bakar pada awal
masa giling untuk periode berikutnya. Ampas ini juga dipakai untuk menjaga
kebersihan pabrik yaitu untuk mengepel lantai, seperti lantai laboratorium dan
sebagainya. Jumlah ampas yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004 yang dihitung tiap 15 hari dengan awal musim giling pada
tanggal 9 Mei 2004, disajikan dalam Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6. Jumlah ampas yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.

B. Blotong

Blotong merupakan hasil samping dari proses penjernihan yang merupakan


endapan dari sekumpulan kotoran nira, karena blotong adalah bahan organik yang
dapat mengalami perubahan secara alami, maka bau yang ditimbulkannya pun
kurang enak. Blotong merupakan endapan kapur yang mengadsorbsi bahan-bahan
non-gula dalam nira kotor, sehingga blotong banyak mengandung senyawa-
senyawa nira kotor. Secara fisik blotong merupakan gumpalan-gumpalan tipis
berwarna cokelat dan berbau kurang sedap. Blotong terdiri dari kalsium posphat
dari hasil proses defekasi, kalsium sulfit dari hasil sulfitasi, ampas halus dan
sebagainya.

Pemanfaatan blotong di PG Pesantren Baru digunakan sebagai bahan untuk


pembuatan pupuk organik (kompos). Blotong yang dimanfaatkan sebagai
biokompos menyebabkan pertumbuhan yang cukup baik pada tanaman batang
tebu, karena dapat meningkatkan rendemen produk dan efisiensi penyerapan
unsur hara dari pupuk.

Sejauh ini, kompos ini hanya diperuntukkan sawah milik pabrik dan belum
dipasarkan ke petani bebas karena kapasitas produk (kompos) yang dihasilkan
masih belum mencukupi untuk dipasarkan kepada umum.

Harga jual kompos dibuat agar dapat terjangkau oleh petani yaitu Rp. 250,00/ Kg,
sehingga harga untuk satu karung berisi 50 Kg adalah sebesar Rp. 12.500,00.
Berikut ini disajikan dalam Gambar 7 jumlah blotong yang dihasilkan PG.
Pesantren Baru Kediri selama musim giling 2004 yang dihitung tiap 15 hari
dengan awal musim giling pada tanggal 9 Mei 2004.

Gambar 7. Jumlah blotong yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.
C. Abu Ketel

Abu ketel adalah produk samping yang dihasilkan dari ketel atau boiler. Pabrik
menggunakan abu ketel sebagai campuran pupuk kompos. Kompos ini
merupakan pupuk organik yang berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah
sekaligus decomposer pupuk anorganik, sehingga menjadi bahan atau unsur hara
yang siap digunakan oleh tanaman.

Abu ketel berasal pada saat proses pembakaran yang terjadi pada stasiun boiler
yang bahan bakarnya berasal dari ampas tebu yang berasal dari proses
penggilingan.

D. Tetes (Molasses)

Produk samping lain yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri adalah
tetes. Tetes dihasilkan dari stasiun sentrifugasi yaitu hasil sentrifugasi dari gula D.
Tetes yang dihasilkan ini ditampung ke tangki penampungan. Tangki
penampungan tetes ditempatkan di halaman pabrik untuk memudahkan
pengambilannya perusahaan pengguna. Berikut ini disajikan jumlah tetes yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri selama musim giling 2004.
Gambar 8. Jumlah tetes yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.

Hampir di setiap stasiun dihasilkan bahan pencemar dengan karakteristik yang


berbeda-beda. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan daftar sumber pencemar yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri.

Tabel 3. Daftar Sumber Pencemar Limbah Pabrik Gula dan Karakteristiknya


(Lestari, 2006).

2.4 Inovasi Pengelolaan Limbah Pabrik Gula


Setelah mengetahui karakteristik limbah, kita akan dengan mudah menentukan
pemanfaatan limbah dari pabrik gula dengan berbagai cara. Cara yang sudah
dilakukan sejauh ini yaitu mengolah limbah tersebut menjadi biomassa dan pakan
ternak. Berikut adalah inovasi lain dalam pengelolaan limbah pabrik gula.

Abu Ampas Tebu untuk Pembuatan Beton Busa Ringan


Beton busa ringan (Lightweight Foamed Concrete) merupakan salah satu jenis
beton ringan yang terdiri dari udara yang terjebak yang bereaksi dengan agregat
sehingga menghasilkan berat yang lebih ringan daripada beton normal (Awang,
Mydin, and Ahmad 2013). Selanjutnya dikatakan bahwa, beton busa ringan
memiliki berat jenis (density) sekitar 300 – 2000 kg/m3 dengan kuat tekan yang
dihasilkan sebesar 2 MPa 3 MPa (Awang, Mydin, and Ahmad 2013). Dengan kuat
tekan dibawah 17 MPa, beton busa ringan ini sangat cocok digunakan sebagai
bahan nonstruktur seperti dinding, partisi, bahan isolasi dan bahan pengisi (Mydin
2011). Beton busa ringan terdiri dari semen, pasir dengan tambahan busa sebagai
bahan pengontrol berat jenis (density) tanpa menggunakan agregat kasar
(Gunawan and Setiono 2014).

Pembuatan beton umumnya menggunakan semen. Akan tetapi penggunaan semen


sendiri dinilai tidak ramah lingkungan. Satu ton produksi semen menghasilkan
satu ton gas CO2 dan industri semen bertanggung jawab pada 5% emisi CO2 di
dunia (Maldonado-Bandala et al. 2011). Di sisi lain, terdapat pozolan yang dapat
digunakan untuk menggantikan semen dalam pembuatan beton. Selain itu,
penggunaan pozolan lebih ekonomis, alasan utamanya adalah bahan-bahan
pozolan ini dapat berguna dalam meningkatkan sifat-sifat fisik ataupun mekanik
beton. Beberapa peneliti telah menggunakan bahan-bahan limbah pertanian ke
dalam beton normal ataupun mortar semen seperti abu sekam padi, abu serbuk
gergaji, dan abu ampas tebu.

Penelitian sebelumnya memberikan informasi bahwa abu beberapa limbah


pertanian mempunyai kandungan silika yang tinggi dan dapat digunakan sebagai
material pozolan (Aprianti et al. 2015). Para peneliti pendahulu sudah mampu
memanfaatkan abu limbah pertanian seperti abu sekam padi, abu ampas tebu, dan
kulit kacang sebagai bahan pengganti semen pada pembuatan beton (Aprianti et
al. 2015). Namun penggunaan abu limbah industri pertanian khususnya abu ampas
tebu dalam beton busa ringan masih belum banyak.

Komposisi kimia dari semen Portland dan abu ampas tebu dapat dilihat pada
Tabel 1. Komponen terbesar dalam abu ampas tebu adalah silika sebesar 55%
melebihi kadar silika pada semen Portland yang hanya sebesar 20,9%. Di sisi lain
nilai LOI (Loss On Ignition) abu ampas tebu sebesar 19,2% lebih besar dari batas
yang ditentukan ASTM C 618 untuk pozolan kelas N. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa abu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan penganti
semen Portland meskipun persetase LOI nya lebih besar dari nilai LOI semen
Portland.

Tabel 1. Komposisi Kimia Semen Portland dan Abu Ampas Tebu


No
Komposisi Kimia (%) Semen Portland Abu Ampas Tebu
.
1. Silika 20,9 55,0
2. Alumina 4,7 5,1
3. Besi 3,4 4,1
4. Kapur 65,4 11
5. Magnesia 1,2 0,9
6. Alkali 0,5 1,4
7. Sulfur 2,7 2,2
8. LOI 0,9 19,2
Sumber: Rattanashotinunt et al, 2013

Total produksi tebu di 110 negara yang ada di dunia adalah lebih dari 1.500 juta
ton, dari total produksi ini telah menghasilkan sekitar 40-45% serat tebu dan
menghasilkan sekitar 8-10% abu (Modani and Vyawahare 2013). Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan ampas tebu berpotensial tinggi dalam
menggantikan peran semen dalam pembuatan beton.

Triasto et al. (2017) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kuat tekan beton
busa ringan dengan menggunakan abu ampas tebu sebesar 12% menghasilkan
kuat tekan terbesar yaitu sebesar 1,9 MPa dapat digunakan sebagai bahan
nonstruktur seperti dinding rumah atau bata busa ringan (bata foam). Penambahan
abu ampas tebu pada beton busa ringan menghasilkan kenaikan kuat tekan. Berat
jenis beton busa ringan dengan menggunakan abu ampas tebu memiliki berat jenis
sekitar 1.000 kg/m3 sehingga memenuhi syarat dari beton busa ringan yang
mempunyai berat jenis dibawah 2.000 kg/m3.

Limbah Blotong dan Bagase dengan Perekat Berbahan Baku Tetes Tebu dan
Sentilage untuk Pembuatan Biobriket
Biobriket adalah salah satu bentuk bahan bakar alternative yang bahan bakunya
berasal dari biomasa. Biomasa yang banyak digunakan adalah biomasa yang
berasal limbah industri karena limbah industri sering kali menimbulkan
pencemaran lingkungan sehingga sangat baik di gunakan untuk bahan baku
biobriket. Biobriket adalah bahan bakar padat yang berasal dari sisa-sisa bahan
organik. Biobriket dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar bagi
masyarakat yang masih menggunakan minyak tanah karena saat ini minyak tanah
sudah sulit ditemui dan harganya mahal. Kelebihan dari penggunaan biobriket
sebagai bahan bakar antara lain lebih murah, lebih ramah lingkungan, dan
merupakan sumber energi terbarukan. Karakteristik biobriket merupakan satu hal
yang perlu diperhatikan.Karakteristik biobriket dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya bahan baku, waktu dan suhu karbonisasi, serta jenis dan jumlah bahan
perekat (Shiame et al., 2014).
Berikut adalah proses pembuatan biobriket berbahan dasar limbah bagase dan
blotong dengan perekat dari tetes tebu dan sentilage (Dharma et al., 2017):

1. Limbah blotong dan bagasse dikeringkan di bawah sinar matahari untuk


mengurangi kadar air, jemur hingga 4 sampai 7 hari sampai benar-benar
kering.
2. Siapkan limbah tetes tebu dan setilage yang akan di gunakan sebagai
bahan perekat biobriket.
3. Campurkan bahan baku limbah blotong dan bagasse, dengan perekat tetes
tebu dan setilage dengan perbandingan antara bahan baku dengan perekat.
4. Cetak sampel biobriket kemudian jemur di bawah sinar matahari 4 – 7 hari
dan pisahkan sesuai jenis sampel.
5. Untuk lebih memaksimalkan pengeringan maka biriket yang telah di
keringkan di oven selama 15 menit sampai 30 menit.
6. Selanjutnya timbang kembali biobriket yang dikeringkan untuk
mendapatkan berat akhir biobriket

Limbah Tebu untuk Pembuatan Pakan Fermentasi Probiotik


Pakan fermentasi probiotik merupakan pakan yang memiliki nilai nutrisi tinggi
dari hasil fermentasi mikroba pengurai komponen organik yang tidak tercerna
dengan diperkaya oleh mikroba probiotik untuk meningkatkan daya cerna dalam
sistem pencernaan hewan. Aplikasi pemanfaatan limbah tebu menjadi pakan
fermentasi probiotik memiliki banyak kelebihan, yaitu meningkatkan nilai gizi
dan daya cerna pakan, mengurangi limbah organik, memberikan nilai tambah
usaha tani tebu, dan juga dapat diintegrasikan menjadi sistem pertanian terpadu
tebu dan ternak.

Pakan merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan ternak. Pakan
mengambil peranan penting dalam usaha peternakan sehingga sangat menentukan
untung ruginya suatu usaha. Sebagian besar pakan ternak ruminansia berupa
hijauan dan sebagian konsentrat. Kenaikan harga pakan yang tidak sebanding
dengan peningkatan harga produksi ternak menyebabkan para peternak cemas dan
rugi. Dengan demikian dibutuhkan wawasan luas akan teknologi pemanfaatan
produk samping sebagai sumber alternatif pakan agar didapatkan sumber bahan
pakan yang murah dan menguntungkan. Limbah tebu yang dapat digunakan
sebagai bahan pakan ternak adalah pucuk, daun, bagas, dan molasse, sedangkan
limbah lain seperti abu dan blotong dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik
(Pancawati, 2000; Yuliani dan Nugraheni, 2009).

Kendala utama pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan untuk pakan ternak
adalah nilai nutrisi dan kecernaan yang rendah. Kecernaan pakan diperbaiki
melalui perlakuan fisik, kimiawi, biologis, dan suplementasi bahan pakan bergizi
tinggi untuk mengu-rangi beban kerja rumen dalam mencerna pakan. Lignin
secara fisik dan kimia meru-pakan faktor utama penyebab ketidakmampuan ternak
mencerna bahan pakan. Lignin secara kimia berikatan dengan komponen
karbohidrat struktural dan secara fisik bertindak sebagai penghalang proses
perombakan dinding sel oleh mikroba rumen (Murni et al., 2008). Beberapa
mikroba yang dapat berperan sebagai agen pengurai dalam pakan fermentasi
adalah jamur, khamir, dan bakteri.

Penggunaan jamur Aspergillus niger pada proses fermentasi limbah cangkang


kakao da-pat meningkatkan kecernaan dari 43,0% men-jadi 48,6%, dan uji
cobanya dalam formula ransum menambah bobot hidup sapi 0,76 kg/ ekor/hari
(Darmawidah et al., 1998). Menurut Kerem et al. (1992) jamur tiram putih
(Phanerochaete chrysosporium) diketahui mampu mendegradasi lignin dengan
cara memutuskan ikatan karbon yang terdapat dalam cincin aromatik lignin.
Penurunan kadar hemiselu-losa, selulosa, dan lignin akan berpengaruh ter-hadap
penurunan kadar ADF (acid detergent fiber) dan NDF (neutral detergent fiber)
sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan. Semakin tinggi dosis inokulum
jamur tiram putih, semakin tinggi pula populasi miselium yang terbentuk,
akibatnya konsentrasi enzim semakin tinggi. Enzim-enzim tersebut terdiri atas
enzim ligninase, endoglukanase, dan sila-nase.

Limbah pertanian tebu meliputi daun, pucuk tebu, bagas, dan molasse dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dengan demikian limbah daun tebu dan bagas
yang melimpah (16,7 juta ton) yang diolah menjadi pakan ternak fermentasi
probiotik dapat digunakan untuk pengganti pakan hijauan di musim kemarau dan
bahan baku konsentrat. Proses pengolahan limbah perlu dilakukan untuk
meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan limbah tebu. Teknologi
pembuatan pakan fermentasi probiotik dapat dijadikan alternatif pilihan proses
pengolahan. Bakteri (Lactoba-cillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus)
merupakan mikroba paling efektif dalam pembuatan pakan probiotik. Sumber
mikroba lain yang dapat digunakan dalam pakan probiotik adalah jamur
(Aspergillus niger, Phanerochaete chrysosporium) dan khamir (Saccharomyces
cerevisiae). Bakteri selulolitik, lignolitik, dan hemiselulolitik dapat dimanfaatkan
untuk membantu meningkatkan daya cerna pakan probiotik (Khuluq, 2012).
III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah pengelolaan limbah industri gula putih yaitu
limbah pabrik gula yang mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya
dapat diatasi  dengan baik, sehingga memberi manfaat pada lingkungan.
Karakteristik limbah industri gula umumnya memiliki pH 5-6 , BOD berkisar
1.300-1.900 mg/L, dan COD berkisar 2.500-4.000 mg/L dengan warna
kecoklatan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan
bekas analisa di laboratorium dan  mengolah limbah cair yang keluar dari pabrik
gula dengan   biotray. Penanganan limbah padat dilakukan dengan cara
menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam 
atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium  kepembuangan.
Upaya pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman
lingkungan (PAL) dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan
kontrol pemurnian nira. Upaya  pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan
ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk   kompos, ampas untuk energi
listrik di perumahan dan tetes  sebagai bahan baku industri etanol, spiritus dan
vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira sebagai
pengganti gas SO2
DAFTAR PUSTAKA

Anies Shiami, Maulani dan Mitarlis. 2014. Pembuatan Briket dari Campuran
Blotong dan Limbah Pada Proses Sintesis Furfural Berbahan Dasar
Ampas Tebu. UNESA Surabaya.

Aprianti, Evi, Payam Shafigh, Syamsul Bahri, and Javad Nodeh. 2015.
Supplementary Cementitious Materials Origin from Agricultural Wastes
– A Review. 74: 176–87.

Awang, Hanizam, Azree Othuman Mydin, and Muhammad Hafiz Ahmad. 2013.
Mechanical and Durability Properties of Fibre Lightweight Foamed
Concrete 1. 7 (7): 14–21.

Dharma, U. S., Rajabiah, S., Setiadi, C. Pemanfaatan Limbah Blotong dan


Bagase Menjadi Biobriket dengan Perekat Berbahan Baku Tetes Tebu
dan Setilage. Jurnal Teknik Mesin Turbo. 6 (1) : 92 – 102.

Gunawan, Purnawan, and Setiono. 2014. Foamed Lightweight Concrete Tech


Using Galvalum Az 150 Fiber. Procedia Engineering 95 (Scescm).
Elsevier B.V.: 433–41. doi:10.1016/j.proeng.2014.12.203.

Kerem, Z., D. Friesem, and Y. Hadar. 1992. Lignocellulosa degradation during


solid-state fermentation: Pleurotus ostreatus Versus Phanero-chaete
crysosporium. Appl. Environ. Micro-biol. 58:1121–1127.

Khuluq, D. A. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu sebagai Pakan


Fermentasi Probiotik. Buletin Tanaman Tembakau, Serat, dan Minyak
Industri. 4 (1) : 37 – 45.
Lestari, Galuh Ajeng. 2006. Studi Potensi Penerapan Produksi Bersih pada
Industri Gula. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Maldonado-Bandala, E.E., V Jiménez Quero, F.J. Olguin-Coca, L G M Lizarraga,


M.A. Baltazar-Zamora, A Ortiz-C, F Almeraya, P Zambrano, and C
Gaona-Tiburcio. 2011. Electrochemical Characterization of Modified
Concretes with Sugar Cane Bagasse Ash. International Journal of
Electrochemical Science 6: 4915–26.

Modani, Prashant O., and M. R. Vyawahare. 2013. Utilization of Bagasse Ash as a


Partial Replacement of Fine Aggregate in Concrete. Procedia
Engineering 51 (NUiCONE 2012): 25–29.
doi:10.1016/j.proeng.2013.01.007.

Murni, R., S. Akmal, dan B.L. Ginting. 2008. Buku ajar teknologi pemanfaatan
limbah untuk pakan. Universitas Jambi. Jambi.

Mydin, Azree. 2011. Potential of Using Lightweight Foamed Concrete in


Composite Load-Bearing Wall Panels in Low-Rise Construction.
Concrete Research Letter 2 (June): 213–27.

Pancawati, T.D. 2000. Pengaruh pemanfaatan lim-bah pabrik gula (blotong)


sebagai pupuk organik alternatif terhadap tingkat penghasilan petani
tebu di sekitar Pabrik Gula Jatiroto-Lumajang. Universitas Negeri
Malang, Malang.
Triastuti, Nugroho, A., Saleh, A. R. 2017. Pemanfaatan Abu Ampas Tebu dalam
Pembuatan Beton Busa Ringan. Jurnal Pemukiman. 12 (1) : 20 – 24.

Yuliani, F. dan F. Nugraheni. 2009. Pembuatan pupuk organik (kompos) dari


arang ampas tebu dan limbah ternak. Universitas Muria. Kudus.

Anda mungkin juga menyukai