Oleh
Industri gula tebu merupakan salah satu industri hasil pertanian yang terdapat di
Indonesia. Proses pengolahan tebu menjadi gula menimbulkan hasil samping yang
berupa limbah gas, padat dan air limbah. Limbah gas yang dihasilkan berupa gas
cerobong ketel dan gas SO2 yang berasal dari cerobong reaktor pemurnian pada
proses sulfitasi. Limbah padat yang dihasilkan berupa bagasse, filter cake, dan
boiler ash, sedangkan air limbah berasal dari air pendingin mesin, air bekas cucian
dan minyak dari peralatan proses, air dari laboratorium, serta air dari proses
pembuatan gula tebu. Air limbah yang dihasilkan oleh industri gula tebu kurang
lebih 0,5 m3/ton tebu yang diolah. Air limbah tersebut mengandung polutan
utama yaitu zat organik, dengan BOD berkisar 1.300-1.900 mg/L, dan COD
berkisar 2.500-4.000 mg/L (Purwadi, 2001).
Metode pengelolaan air limbah industri gula tebu dengan menggunakan sistem
kolam conventional biological treatment telah terbukti dapat mereduksi senyawa
organik, bau, warna dan menurunkan nilai COD dan BOD. Masalah yang sering
muncul dari pengolahan air limbah industri gula tebu adalah meningkatnya nilai
pH air limbah industri gula tebu tersebut. Tingkat kenaikan pH tersebut
disebabkan adanya over aerasi dan akibat algae bloom (Hasanudin, 2007). Tingkat
kenaikan populasi alga pada air limbah industri gula tebu disebabkan adanya over
nutrisi. Usaha untuk mengurangi populasi alga pada air limbah dilakukan dengan
cara menanam tanaman yang dapat menyerap nutrisi pada air limbah tersebut.
Salah satu tanaman yang dapat digunakan adalah tanaman eceng gondok. Eceng
gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman air yang dapat tumbuh
dengan cepat di daerah tropis. Tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan baik,
sehingga tingkat penyebarannya sangat cepat. Eceng gondok mampu menyerap
berbagai zat yang terkandung di dalam air, baik terlarut maupun tersuspensi (Orth,
1989).
Limbah hasil produksi gula bila tidak ditangani dengan tepat dapat mencemari
lingkungan dan menyerap ke permukaan tanah sehingga air tanah tersebut
mengalami perubahan fisik berupa bau dan warna, bau ini berupa bau manis yang
ditimbulkan oleh gas-gas yang ada di dalam air yang menguap, gas ini dihasilkan
oleh bakteri-bakteri yang telah mati atau limbah pabrik gula yang dibuang ke
sungai. Warna air sumur juga berubah menjadi kekuningan. Bau dan warna
tersebut menyebabkan air sumur ini tidak terlalu layak digunakan untuk
kebutuhan sehari – hari. Maka dari itu perlu mengetahui karakteristik limbah yang
diolah agar mengetahui cara pengolahan yang baik dan tepat sehingga limbah
aman untuk lingkungan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui karakteristik limbah
dan pengelolaannya pada pabrik gula.
II. PEMBAHASAN
Pembuatan gula putih melalui beberapa tahapan dan proses. Di dalam pabrik,
masing-masing tahapan dan proses tersebut ditempatkan pada stasiun-stasiun
tertentu. Lestari (2006) menguraikan tahapan-tahapan dan stasiun tersebut sebagai
berikut.
Cacahan tebu kemudian dibawa Cane elevator yang ke gilingan I. Dari gilingan I,
ampas akan ditarik dengan IMC (Intermediate Carrier) masuk ke gilingan II,
untuk mengalami pemerahan kembali dan ampas tebunya akan ditarik dengan
IMC untuk dibawa ke penggilingan III, demikian seterusnya hingga penggilingan
V.
Nira mentah dari penggilingan V dipompa dan dialirkan kembali ke gilingan III
sebagai nira imbibisi majemuk. Nira mentah di tangki penampungan nira gilingan
IV akan dialirkan ke gilingan II, dan dari tangki penampung gilingan III nira
mentah akan dialirkan ke gilingan I. Ampas dari gilingan V akan dibawa oleh
conveyor belt menuju ketel dan digunakan sebagai bahan bakar ketel.
Nira mentah dari penggilingan I dan II akan masuk ke peti nira mentah kemudian
disaring dalam rotary screen untuk meminimisasi jumlah ampas dalam nira,
kemudian nira mentah masuk ke Sand Vanger yang berguna untuk memisahkan
kotoran yang bersifat fisik seperti pasir, debu, dan kotoran lain. Selanjutnya nira
mentah dialirkan ke stasiun pemurnian.
3. Kristalisasi sempurna
Tahap pembesaran kristal dilanjutkan dengan penguapan larutan untuk
memperoleh kepekatan setinggi-tingginya dengan tanpa menambah larutan
baru (hanya ditambahkan air seperlunya/secukupnya untuk menghindari
terbentuknya kristal palsu dan juga menguatkan kristal dan mengurangi larutan
di sekeliling kristal) dan tetap menjaga agar proses ini berlangsung pada daerah
daerah stabil.
5. Stasiun Sentrifugasi
Stasiun sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan kristal gula dengan stroopnya
atau larutannya dari masakan A, masakan C, dan masakan D dengan cara
pemutaran (sentrifugasi).
6. Stasiun Penyelesaian
Gula yang berasal dari Grasshopper Conveyor yang terletak di bawah HGF-SHS
pada stasiun sentrifugasi kemudian dilewatkan ke Bucket Elevator 1 untuk menuju
Sugar Dryer and Cooler. Sugar Dryer and Cooler adalah unit pengering gula
dengan hembusan udara panas dan udara suhu normal. Suhu panas yang
diperbolehkan adalah 85-90oC dengan tekanan uap panas sekitar 4 kg/cm2 karena
apabila lebih dari itu akan terjadi reaksi browning atau berubahnya gula menjadi
warna cokelat. Suhu pendinginnya adalah suhu normal udara luar. Gula SHS
kemudian dilewatkan ke Bucket Elevator 2 dan dimasukkan ke Vibrating Screen.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Putih dari Tebu (Lestari, 2006).
Selain
penting mengetahui diagram alir proses pembuatan gula putih dari tebu, kita juga
harus mengetahui neraca masa dari proses pengolahan tersebut. Hal ini bertujuan
agar kita dapat mengkalkulasi produk yang dihasilkan, baik produk utama
maupun produk sampingan atau limbah. Dengan kemampuan memprediksi
produk tersebut pula kita mampu menentukan pengelolaan limbah yang tepat.
Berikut adalah neraca masa dari Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri, Jawa Timur.
Gambar 2. Neraca Masa Proses Pengolahan Gula Putih di Pabrik Gula Ngadirejo
Dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa limbah dari proses pengolahan seperti bagase
memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan produk akhir gula putih.
Kemudian, walau persen angka molases dan blotong kecil, angka real yang
ditunjukkan tidak bisa dianggap sedikit. Hal ini memperkuat alasan kita untuk
menentukan pengelolaan lmbah pabrik gula dengan tepat.
1. Limbah Cair
Limbah cair pabrik gula meliputi bekas air kondensor dan bekas air cucian proses.
Air cucian proses termasuk air cucian evaporator, buangan ketel dan peralatan
lain, bekas air cucian lantai, tumpahan nira, tetes dan lain-lain. Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan terhadap beberapa pabrik gula di Indonesia,
nilai COD air buangan pabrik gula bisa bervariasi mulai di bawah 100 mg/l
sampai di atas 700 mg/l. Hal ini tidak sama untuk setiap pabrik gula, tergantung
pada cara pengolahan, kondisi peralatan dan kebersihan di masing-masing pabrik.
Parameter Konsentrasi
pH 5,2-6,5
Warna Kuning kecoklatan
Total Supended Solid/TSS (mg/l) 760-800
Volatile Suspended Solids/VSS (mg/l) 173-2190
Total Kjeldahl nitrogen/TKN (mg/l) 15-40
Pospor (mg/l) 1,3-2,5
COD (mg/l) 1000-4340
BOD (mg/l) 350-2750
Pada umumnya air limbah industri gula memiliki karakteristik yaitu mengandung
bahan-bahan organik yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai BOD yang
tinggi dimana bahan organik tersebut digunakan sebagai makanan untuk bakteri.
Karakteristik lainnya yaitu memiliki warna kecoklatan, bau seperti tebu bakar,
suhu yang tinggi, rendah nilai pH, tinggi kadar abu atau residu padat dan
mengandung persentase yang tinggi berupa bahan organik dan anorganik terlarut
sekitar 50% bisa dianggap sebagai pengurangan rendemen gula. Hal ini juga yang
menyebabkan meningkatnya mikroorganisme dalam air. Peningkatan jumlah
bakteri ini yang kemudian menggunakan semua oksigen terlarut dalam air.
2. Limbah Padar
Limbah padat produksi gula berupa ampas tebu, blotong, dan abu pembakaran
ampas tebu. Ampas tebu didapatkan dari proses penggilingan sedangkan blotong
didapatkan dari proses akhir pemurnian nira dan abu pembakaran ampas tabu
dihasilkan dari pembakaran ampas tebu di ketel. Kelebihan jumlah ampas
(bagasse) tabu dapat membawa masah bagi pabrik gula, ampas bersifat bulky
(meruah) sehingga untuk menyimpan perlu area yang luas. Ampas mudah
terbakar karena didalamnya terkandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila
tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Limbah blotong ini sebagian
besar diambil petani untuk dipakai sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang
dilahan terbuka dan dapat meyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang
tidak sedap di sekitar lahan tersebut.
3. Limbah gas
Limbah gas pabrik terutama berasal dari asap ynag dihasilkan ketel. Pembakaran
yang tidak sempurna akan menghasilkan jelaga, untuk mengatasi hal tersebut,
pada ketel dilengkapi dengan dust cilector dan cyclone yang dapat memisahkan
partikel dari gas dengan cara memaukan aliran gas menurut gerakan rotasi dan
membentuk vorteks sehingga menimbulkan gaya sentrifugalyang akan melempar
partikel secara radial kearah dinding cerobong.
PG. Pesantren Baru dalam produksinya juga menghasilkan limbah. Limbah yang
dihasilkan adalah limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun). Limbah cair yang dihasilkan merupakan air yang
digunakan dalam proses produksi yang mengandung banyak padatan tersuspensi
dan zat-zat kimia. Limbah padat yang merupakan produk samping yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru adalah berupa ampas tebu dan blotong.
Limbah udara yang dihasilkan adalah berupa gas-gas pembakaran dari stasiun
ketel, dan limbah B3 dihasilkan dari laboratorium pabrik.
PG. Pesantren Baru dalam mengelola dan menimisasi limbahnya secara umum
menggunakan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan in of pipe dan out of
pipe. Pendekatan in of pipe merupakan pendekatan ke arah produksi bersih yang
mengusahan meminimisasi terbentuknya limbah dari awal hingga akhir proses
produksi. Pendekatan out of pipe merupakan pengolahan limbah setelah limbah
tersebut terbentuk sehingga tidak membahayakan bagi lingkungan.
1. Metode In Of Pipe
Produksi bersih adalah suatu strategi atau usaha berkesinambungan, terpadu dan
bersifat preventif dalam manajemen lingkungan yang akan mencegah dan atau
mengurangi dampak terhadap lingkungan melalui siklus hidup produk dari awal
penyediaan bahan baku sampai pembuangan akhir. Inti dari pelaksanaan produksi
bersih adalah mencegah, mengurangi dan atau menghilangkan terbentuknya
limbah atau pencemar pada sumbernya diseluruh daur hidup produk, yang dicapai
dengan menerapkan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih dan
akrab lingkungan, serta perubahan mendasar dalam sikap dan perilaku
manajemen.
Strategi pengolahan limbah yang telah dilakukan oleh PG. Pesantren Baru Kediri
adalah sebagai berikut:
a) Penggunaan dan Daur Ulang Kembali (In site Recovery and Reuse).
Produk samping yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru adalah ampas tebu dari
stasiun gilingan yang selain digunakan sebagai bahan bakar ketel juga dijual
kepada perusahaan-perusahaan kertas di sekitar daerah Jawa Timur. Ampas ini
juga direncanakan akan diolah menjadi particle board yang akan ditangani oleh
anak perusahaan PG. Pesantren Baru Kediri.
Abu ketel dan blotong yang dihasilkan di stasiun ketel dan pemurnian juga
diproses oleh PG. Pesantren Baru sebagai biokompos yang untuk saat ini
pengolahannya diserahkan kepada PT. AgroBio Teknik Sentosa. Penggunaan
biokompos saat ini masih terbatas pada kalangan petani kebun milik PG.
Pesantren Baru Kediri.
Tetes yang dihasilkan di stasiun sentrifugasi juga merupakan hasil samping yang
memberikan keuntungan kepada perusahaan. Dari stasiun sentrifugasi, molasses
dialirkan ke tangki yang terdapat di luar pabrik. Tangki ini diletakkan di luar
pabrik untuk memudahkan perusahaan pengguna dalam pengambilannya.
Perusahaan yang mengambil molasses dari PG. Pesantren Baru adalah
perusahaan MSG.
Produk samping lain yang juga bermanfaat bagi perusahaan adalah abu cerobong
yang telah diendapkan dalam kolam pembuangan akhir. Abu ini dijual kepada
masyarakat sekitar yang biasanya akan digunakan sebagai tanah urug.
PG. Pesantren Baru dalam proses produksinya, menggunakan bahan baku tebu
yang berasal dari tanaman tebu (Sacharum officinarum). Produk yang dihasilkan
adalah gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih).
Bahan penunjang atau bahan pembantu yang digunakan oleh PG. Pesantren Baru
adalah Asam Phospat Cair, Susu Kapur (Ca(OH)2), belerang (SO2 (g)), flokulan,
desinfektan, dan caustic soda.
Penggunaan asam phospat cair (P2O5) di PG. Pesantren Baru yang berfungsi
untuk membentuk endapan kotoran dalam nira menggantikan peran Tripple Super
Phospat (TSP) dengan pertimbangan perusahaan sebagai berikut:
Modifikasi peralatan yang dilakukan oleh perusahaan pada tahun 2004 dalam
memperlancar proses antara lain:
Metode ini dilakukan untuk mengolah air limbah yang dihasilkan oleh PG.
Pesantren Baru Kediri agar tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Rata-rata air
limbah yang dihasilkan setiap menitnya adalah 1700 m3. Pengolahan limbah yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri dilakukan di Instalasi Pengolahan
Limbah (IPAL). Urutan pengolahannya adalah sebagai berikut:
Inhouse Keeping
Saluran Inhouse Keeping ini berada di bawah tanah dan menuju ke kolam
penampungan awal limbah pengolahan yang berada di bagian timur stasiun
gilingan. Di kolam penampungan awal ini limbah diberi susu kapur (Ca(OH) 2)
untuk menaikkan pH limbah cair yang asam. Dari kolam penampungan awal ini
limbah dipompa menuju ke UPLC (Unit Penanganan Limbah Cair).
Proses pengolahan limbah cair PG. Pesantren Baru dilakukan di sebuah Unit
Pengolahan Limbah Cair (UPLC). Letak dari UPLC ini adalah di sebelah
samping pabrik. Di UPLC yang terdiri dari 6 kolam aerasi tersebut limbah cair
ditangani dan diolah sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar.
Proses pengolahan limbah cair PG Pesantren Baru menggunakan prinsip aerated
lagoon dengan penggunaan bakteri INOLA 121 yang didapatkan dari P3GI (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) yang berpusat di Pasuruan, Jawa
Timur. Setelah diuji oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya,
contoh air limbah yang sudah di-treatment di UPLC adalah di bawah baku mutu
limbah cair berdasarkan kepada SK Gubernur No.45/Th 2002.
Pada tahap ini dilakukan pemisahan minyak dan pengendapan secara gravitasi.
Merupakan tahap perlakuan biologis secara aerobik. Pada tahap perlakuan ini,
bahan-bahan organik yang merupakan kandungan utama dalam air limbah
pabrik gula diuraikan melalui aktivitas mikroorganisme aerob (INOLA 121).
Pemberian udara dilakukan dengan menggunakan Surface Aerator. Hasil
pengujian limbah cair PG. Pesantren Baru Kediri disajikan dalam Tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Limbah Cair PG. Pesantren Baru Kediri Musim
Giling 2004*)
Penanganan limbah cair yang berupa ceceran minyak atau oli dilakukan dalam
tempat penangkap minyak atau oli. Sistem pada penangkap minyak tersebut
adalah aliran berdasarkan perbedaan berat jenis air dan minyak. Berat jenis
minyak kurang dari berat jenis air, sehingga minyak akan berada di lapisan atas
dan tidak bercampur dengan air. Untuk memisahkan minyak dari air akan
digunakan ampas dan dilakukan secara manual oleh pekerja. Ampas akan
menyerap minyak yang terdapat di permukaan air. Minyak dan ampas tersebut
akan digunakan sebagai bahan bakar ketel.
B. Limbah Udara
Gas buang yang berasal dari cerobong boiler akan dilewatkan ke Wet Scrubber
terlebih dahulu sebelum keluar melalui cerobong. Pencemaran gas SO2 dihindari
dengan cara pemasukan gas SO2 kedalam Reaktor Sulfitasi dilakukan
menggunakan sistem hisapan (Induced draft). Hisapan udara diperoleh dengan
cara mengalirkan nira melalui ventury dengan menggunakan pompa sirkulasi.
Sistem seperti ini membuat percampuran (difusi) gas SO2 dalam nira secara
relatif berlangsung lebih sempurna dan pencemaran gas SO2 akibat kebocoran
perpipaan dapat dikurangi.
Selain dengan pemasangan wet scubber dan dust collector untuk menangani
pencemaran udara, PG. Pesantren Baru juga mengadakan penanaman pohon di
sekitar pabrik dan mengadakan penghijauan sehingga dapat mengurangi
pencemaran udara. Gas CO2 dapat ditangkap oleh pohon hijau sehingga dapat
digunakan untuk proses assimilasi dan akhirnya dengan bantuan sinar matahari
akan menghasilkan oksigen. Selain itu hal tersebut juga akan menyebabkan
keadaan sekitar pabrik menjadi segar.
C. Limbah B3
A. Ampas (Bagasse)
Ampas tebu adalah produk samping yang dihasilkan dari stasiun gilingan. Ampas
tebu yang dihasilkan digunakan untuk bahan bakar pada ketel. Ampas tebu dari
gilingan akan dibawa oleh conveyor belt untuk dimasukkan ke ketel Yoshimine I,
Yoshimine II, dan ketel Takuma sebagai bahan bakar.
Ampas tebu yang tersisa pada akhir giling juga digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan kertas. PG Pesantren Baru hanya menyediakan dan menjual
kemudian perusahaan tersebut yang mengambil ke pabrik.
Kelebihan ampas dari stasiun gilingan akan ditumpuk di bagasse house setinggi ±
2.5 meter. Ampas dari gudang ini akan digunakan untuk bahan bakar pada awal
masa giling untuk periode berikutnya. Ampas ini juga dipakai untuk menjaga
kebersihan pabrik yaitu untuk mengepel lantai, seperti lantai laboratorium dan
sebagainya. Jumlah ampas yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004 yang dihitung tiap 15 hari dengan awal musim giling pada
tanggal 9 Mei 2004, disajikan dalam Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Jumlah ampas yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.
B. Blotong
Sejauh ini, kompos ini hanya diperuntukkan sawah milik pabrik dan belum
dipasarkan ke petani bebas karena kapasitas produk (kompos) yang dihasilkan
masih belum mencukupi untuk dipasarkan kepada umum.
Harga jual kompos dibuat agar dapat terjangkau oleh petani yaitu Rp. 250,00/ Kg,
sehingga harga untuk satu karung berisi 50 Kg adalah sebesar Rp. 12.500,00.
Berikut ini disajikan dalam Gambar 7 jumlah blotong yang dihasilkan PG.
Pesantren Baru Kediri selama musim giling 2004 yang dihitung tiap 15 hari
dengan awal musim giling pada tanggal 9 Mei 2004.
Gambar 7. Jumlah blotong yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.
C. Abu Ketel
Abu ketel adalah produk samping yang dihasilkan dari ketel atau boiler. Pabrik
menggunakan abu ketel sebagai campuran pupuk kompos. Kompos ini
merupakan pupuk organik yang berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah
sekaligus decomposer pupuk anorganik, sehingga menjadi bahan atau unsur hara
yang siap digunakan oleh tanaman.
Abu ketel berasal pada saat proses pembakaran yang terjadi pada stasiun boiler
yang bahan bakarnya berasal dari ampas tebu yang berasal dari proses
penggilingan.
D. Tetes (Molasses)
Produk samping lain yang dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri adalah
tetes. Tetes dihasilkan dari stasiun sentrifugasi yaitu hasil sentrifugasi dari gula D.
Tetes yang dihasilkan ini ditampung ke tangki penampungan. Tangki
penampungan tetes ditempatkan di halaman pabrik untuk memudahkan
pengambilannya perusahaan pengguna. Berikut ini disajikan jumlah tetes yang
dihasilkan oleh PG. Pesantren Baru Kediri selama musim giling 2004.
Gambar 8. Jumlah tetes yang dihasilkan PG. Pesantren Baru Kediri selama
musim giling 2004.
Komposisi kimia dari semen Portland dan abu ampas tebu dapat dilihat pada
Tabel 1. Komponen terbesar dalam abu ampas tebu adalah silika sebesar 55%
melebihi kadar silika pada semen Portland yang hanya sebesar 20,9%. Di sisi lain
nilai LOI (Loss On Ignition) abu ampas tebu sebesar 19,2% lebih besar dari batas
yang ditentukan ASTM C 618 untuk pozolan kelas N. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa abu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan penganti
semen Portland meskipun persetase LOI nya lebih besar dari nilai LOI semen
Portland.
Total produksi tebu di 110 negara yang ada di dunia adalah lebih dari 1.500 juta
ton, dari total produksi ini telah menghasilkan sekitar 40-45% serat tebu dan
menghasilkan sekitar 8-10% abu (Modani and Vyawahare 2013). Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan ampas tebu berpotensial tinggi dalam
menggantikan peran semen dalam pembuatan beton.
Triasto et al. (2017) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kuat tekan beton
busa ringan dengan menggunakan abu ampas tebu sebesar 12% menghasilkan
kuat tekan terbesar yaitu sebesar 1,9 MPa dapat digunakan sebagai bahan
nonstruktur seperti dinding rumah atau bata busa ringan (bata foam). Penambahan
abu ampas tebu pada beton busa ringan menghasilkan kenaikan kuat tekan. Berat
jenis beton busa ringan dengan menggunakan abu ampas tebu memiliki berat jenis
sekitar 1.000 kg/m3 sehingga memenuhi syarat dari beton busa ringan yang
mempunyai berat jenis dibawah 2.000 kg/m3.
Limbah Blotong dan Bagase dengan Perekat Berbahan Baku Tetes Tebu dan
Sentilage untuk Pembuatan Biobriket
Biobriket adalah salah satu bentuk bahan bakar alternative yang bahan bakunya
berasal dari biomasa. Biomasa yang banyak digunakan adalah biomasa yang
berasal limbah industri karena limbah industri sering kali menimbulkan
pencemaran lingkungan sehingga sangat baik di gunakan untuk bahan baku
biobriket. Biobriket adalah bahan bakar padat yang berasal dari sisa-sisa bahan
organik. Biobriket dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar bagi
masyarakat yang masih menggunakan minyak tanah karena saat ini minyak tanah
sudah sulit ditemui dan harganya mahal. Kelebihan dari penggunaan biobriket
sebagai bahan bakar antara lain lebih murah, lebih ramah lingkungan, dan
merupakan sumber energi terbarukan. Karakteristik biobriket merupakan satu hal
yang perlu diperhatikan.Karakteristik biobriket dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya bahan baku, waktu dan suhu karbonisasi, serta jenis dan jumlah bahan
perekat (Shiame et al., 2014).
Berikut adalah proses pembuatan biobriket berbahan dasar limbah bagase dan
blotong dengan perekat dari tetes tebu dan sentilage (Dharma et al., 2017):
Pakan merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan ternak. Pakan
mengambil peranan penting dalam usaha peternakan sehingga sangat menentukan
untung ruginya suatu usaha. Sebagian besar pakan ternak ruminansia berupa
hijauan dan sebagian konsentrat. Kenaikan harga pakan yang tidak sebanding
dengan peningkatan harga produksi ternak menyebabkan para peternak cemas dan
rugi. Dengan demikian dibutuhkan wawasan luas akan teknologi pemanfaatan
produk samping sebagai sumber alternatif pakan agar didapatkan sumber bahan
pakan yang murah dan menguntungkan. Limbah tebu yang dapat digunakan
sebagai bahan pakan ternak adalah pucuk, daun, bagas, dan molasse, sedangkan
limbah lain seperti abu dan blotong dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik
(Pancawati, 2000; Yuliani dan Nugraheni, 2009).
Kendala utama pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan untuk pakan ternak
adalah nilai nutrisi dan kecernaan yang rendah. Kecernaan pakan diperbaiki
melalui perlakuan fisik, kimiawi, biologis, dan suplementasi bahan pakan bergizi
tinggi untuk mengu-rangi beban kerja rumen dalam mencerna pakan. Lignin
secara fisik dan kimia meru-pakan faktor utama penyebab ketidakmampuan ternak
mencerna bahan pakan. Lignin secara kimia berikatan dengan komponen
karbohidrat struktural dan secara fisik bertindak sebagai penghalang proses
perombakan dinding sel oleh mikroba rumen (Murni et al., 2008). Beberapa
mikroba yang dapat berperan sebagai agen pengurai dalam pakan fermentasi
adalah jamur, khamir, dan bakteri.
Limbah pertanian tebu meliputi daun, pucuk tebu, bagas, dan molasse dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dengan demikian limbah daun tebu dan bagas
yang melimpah (16,7 juta ton) yang diolah menjadi pakan ternak fermentasi
probiotik dapat digunakan untuk pengganti pakan hijauan di musim kemarau dan
bahan baku konsentrat. Proses pengolahan limbah perlu dilakukan untuk
meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan limbah tebu. Teknologi
pembuatan pakan fermentasi probiotik dapat dijadikan alternatif pilihan proses
pengolahan. Bakteri (Lactoba-cillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus)
merupakan mikroba paling efektif dalam pembuatan pakan probiotik. Sumber
mikroba lain yang dapat digunakan dalam pakan probiotik adalah jamur
(Aspergillus niger, Phanerochaete chrysosporium) dan khamir (Saccharomyces
cerevisiae). Bakteri selulolitik, lignolitik, dan hemiselulolitik dapat dimanfaatkan
untuk membantu meningkatkan daya cerna pakan probiotik (Khuluq, 2012).
III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah pengelolaan limbah industri gula putih yaitu
limbah pabrik gula yang mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya
dapat diatasi dengan baik, sehingga memberi manfaat pada lingkungan.
Karakteristik limbah industri gula umumnya memiliki pH 5-6 , BOD berkisar
1.300-1.900 mg/L, dan COD berkisar 2.500-4.000 mg/L dengan warna
kecoklatan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan
bekas analisa di laboratorium dan mengolah limbah cair yang keluar dari pabrik
gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan dengan cara
menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam
atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium kepembuangan.
Upaya pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman
lingkungan (PAL) dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan
kontrol pemurnian nira. Upaya pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan
ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk kompos, ampas untuk energi
listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri etanol, spiritus dan
vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira sebagai
pengganti gas SO2
DAFTAR PUSTAKA
Anies Shiami, Maulani dan Mitarlis. 2014. Pembuatan Briket dari Campuran
Blotong dan Limbah Pada Proses Sintesis Furfural Berbahan Dasar
Ampas Tebu. UNESA Surabaya.
Aprianti, Evi, Payam Shafigh, Syamsul Bahri, and Javad Nodeh. 2015.
Supplementary Cementitious Materials Origin from Agricultural Wastes
– A Review. 74: 176–87.
Awang, Hanizam, Azree Othuman Mydin, and Muhammad Hafiz Ahmad. 2013.
Mechanical and Durability Properties of Fibre Lightweight Foamed
Concrete 1. 7 (7): 14–21.
Murni, R., S. Akmal, dan B.L. Ginting. 2008. Buku ajar teknologi pemanfaatan
limbah untuk pakan. Universitas Jambi. Jambi.