Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit adalah salah satu komoditi andalan Indonesia yang
perkembangannya demikian pesat. Selain produksi minyak kelapa sawit yang
tinggi, produk samping atau limbah pabrik kelapa sawit juga tinggi. Secara
umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam yaitu limbah cair,
padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses
pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Pada
umumnya, limbah cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang
tinggi sehingga potensial mencemari air tanah dan badan air. Sedangkan limbah
padat pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang berasal
dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair.
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga).
Beberapa faktor yang memengaruhi kualitas limbah adalah volume
limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah. Untuk
mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada
dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:

pengolahan menurut tingkatan perlakuan

pengolahan menurut karakteristik limbah


(Surya, 2014)
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang diperoleh dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Apa saja sumber-sumber dari sludge?
2. Bagaimana karakteristik sludge ?
3. Bagaimana cara pengolahan sludge ?
4. Bagaimana pemanfaatan sludge yang sudah diolah?
5. Alat-alat yang digunakan untuk mengolah sludge ?
6. Apa saja emisi/buangan dari sludge dan pengolahannya?
1.3 Tujuan Makalah
1

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui sumber, karakteistik,
pengolahan, pemnafaatan, emisi dan alat yang digunakan pada sludge.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumber Sludge
Kelapa sawit adalah salah satu komoditi andalan Indonesia yang
perkembangannya demikian pesat. Selain produksi minyak kelapa sawit yang
tinggi, produk samping atau limbah pabrik kelapa sawit juga tinggi. Secara
umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam yaitu limbah cair,
padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses
pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Pada
umumnya, limbah cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang
tinggi sehingga potensial mencemari air tanah dan badan air. Sedangkan limbah
2

padat pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang berasal
dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair.
Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS), cangkang atau tempurung, serabut atau serat, sludge atau
lumpur, dan bungkil. TKKS dan lumpur yang tidak tertangani menyebabkan bau
busuk, tempat bersarangnya serangga lalat dan potensial menghasilkan air lindi
(leachate). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa
lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah. (Surya, 2014)
Salah satu hasil olahan kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau
Crude Palm Oil (CPO) saat ini merupakan sumber minyak nabati terbesar di
dunia. Menurut laporan Oil World pada tahun 2011, Minyak kelapa sawit
memberikan andil sekitar 27% atau 46 juta ton terhadap total minyak nabati di
dunia. Produksi minyak nabati berikutnya diikuti oleh soybean, rapeseed dan
sunflower. Sementara itu, sebagai negara dengan paling besar penghasil minyak
kelapa sawit adalah Indonesia. Pabrik kelapa sawit (PKS) yang berjumlah lebih
dari 640 diseluruh Indonesia memproduksi CPO sekitar 23 juta ton atau 46%
dari total produksi CPO di dunia.Kegiatan pengolahan kelapa sawit
menghasilkan produk samping, yaitu limbah yang dapat mencemari lingkungan
apabila tidak dikelola dengan baik. Limbah pabrik kelapa sawit yang berasal dari
proses pengolahan tandan buah sawit segar menghasilkan dua jenis limbah,
dalam bentuk padat dan limbah cair buangan pabrik atau Palm Oil Mill Effluent
(POME). Limbah padat tersebut dihasilkan dari serat, cangkang, tandan kosong
dan pelepah daun. Penumpukan limbah padat terbanyak dihasilkan adalah
tandan kosong, mencapai 20 juta ton pertahunnya. Rerata produksi tandan
kosong kelapa sawit adalah berkisar 20% hingga 35% dari total berat tandan
buah segar yang diproses. Dengan banyak volume limbah padat tandan kosong
kelapa sawit akan menyebabkan timbulnya pencemaran lingkungan. Salah satu
pencemaran yang ditimbulkan adalah pendangkalan di sekitar daerah perairan.
Didalam proses pembuatan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil :
CPO) melalui Tandan Buah Segar (TBS) maka akan dihasilkan berbagai macam
air buangan/limbah. Pada proses pemanasan dan sterilisasi, TBS diolah secara
sterilisasi uap dengan tekanan uap 2.5-3.0 kg/cm2, suhu 135-140C selama 90-

100 menit. Pertama dihasilkan air limbah drain (kondesat) dari setiap proses
memakai sterilizer di proses ini. Pada proses ekstraksi berikutnya, CPO diperas
dengan memasukkan bahan baku ke dalam screw press. Pada proses ini,
adakalanya air yang mengandung minyak merembes keluar dari berbagai
fasilitas. Pada proses purifikasi CPO ditambahkan air pemanas bersuhu 90C,
lalu CPO dimurnikan dengan mengekstrak zat pengotor di dalam CPO ke sisi
lapisan air pemanas. Dari proses ini, kandungan minyak yang ada di dalam air
limbah panas berkisar 1%. Setelah itu, minyak yang telah dikumpulkan melalui
pengutip minyak dikembalikan ke proses purifikasi, dan dikumpulkan sebagai
CPO. Air limbah yang dihasilkan dan proses pemisahan minyak & air masih
mengandung minyak, karena itu selain dan kandungan minyak terpisah
mengapung pada tangki adjusting, kandungan padatan juga akan mengendap. Air
limbah yang kandungan minyaknya telah dipisahkan dialirkan ke proses
pengolahan air limbah.Terdapat beberapa macam air limbah yang dihasilkan di
Pabrik Kelapa Sawit (PKS), antara lain air limbah yang dihasilkan dan proses
pembuatan CPO,air limbah yang mengalir bersama air hujan yang dihasilkan di
lokasi penempatan TBS di dalam pabrik, air limbah yang merembes keluar ke
lantai di dalam pabrik dari fasilitas produksi & pipa dll (termasuk yang
tercampur dengan air hujan), air limbah dan fasilitas utiliti seperti boiler dll, dan
air limbah umum dari kantor dan lainnya. Pada pabrik yang umum, semua air
limbah ini dijadikan dalam satu penampungan lalu diolah(Wahyono, 2008).
Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan
yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini
mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. biochemical oxygen
demand (BOD) sekitar 20.000-60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan
padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter, yang
menghasilkan solid decanter atau lumpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk
seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, protein kasar 11,14% dan
lemak kasar 10,14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini
mudah busuk. Apabila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari,
bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan. Apabila

dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan
keras.
Limbah cairan yang dikeluarkan setelah pengutipan lumpur sawit, masih
mengandung bahan padatan yang cukup banyak. Oleh karena, itu, bahan ini
merupakan sumber kontaminan bagi lingkungan bila tidak dikelola dengan baik.
Suatu metoda baru untuk memisahkan padatan dan cahun~ dengan
menggunakan alat penyaring membran keramik sedang dikembangkan di P.T.
Agricinal-Bengkulu. Aplikasi teknik ini dapat mengutip padatan dengan jumlah
sekitar dua kali lipat lebih banyak dari padatan yang dikutip oleh decanter.
Bahan ini disebut solid heavy phase atau solid membran, berbentuk pasta
dengan kadar air sekitar 90%, dan berwarna. kecoklatan. Bahan yang sudah
dikeringkan mengandung protein kasar sekitar 9 %, serat kasar 16% dan lemak
kasar 15% (Rahardjo, 2009).
2.2 Karakteristik Sludge
Lumpur aktif (activated sludge) adalah suatu gabungan flok (massa) yang
mengandung beberapa mikroba yang heterogen yang terdiri dari berbagai
bakteri, yeast, jamur dan protozoa, dan juga organic matter serta slime
material. Umumnya lumpur aktif mempunyai komposisi 70% - 90% bahan
organik dan 10% bahan anorganik. Struktur flok lumpur aktif cenderung
bermuatan negatif sebagai hasil interaksi kimia-fisika antara mikroorganisme
(khususnya bakteri), partikel organik (oksida silikat, fosfat, besi), polimer
eksoseluler dan berbagai kation. Proses ini pada dasarnya merupakan
pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2, H2O,
NH4 dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan
melalui pompa blower atau melalui aerase mekanik. Sel mikroba membentuk
flok yang membentuk flok yang akan mengendap di tangki pengendapan
Parameter yang menggambarkan karakteristik limbah terdiri dari sifat
fisik, kimia, dan biologi.Karakteristik limbah berdasarkan sifat fisik meliputi
suhu, kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifat kimia meliputi kandungan
bahan organik, protein, BOD, COD, sedangkan berdasarkan sifat biologi
meliputi kandungan bakteri patogen dalam air limbah (Sari,dkk.,2013).
5

BAB III
PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN SLUDGE PADA LIMBAH
KELAPA SAWIT
3.1 Pengolahan Sludge
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri yang berkembang
pesat pada dua dekade terakhir dan diproyeksikan masih akan tetap menjadi
salah satu primadona dalam sub sektor perkebunan pada masa mendatang.
Meskipun pertumbuhan kelapa sawit Indonesia cukup pesat, namun daya saing
komoditas (competitive advantages) kelapa sawit (CPO) di pasar internasional
masih lemah. Salah satu strategi kunci yang diyakini mampu meningkatkan daya
saing adalah dengan perbaikan teknologi, baik pada tingkat onfarm maupun
offfarm, termasuk juga yangberkaitan dengan pengelolaan Iimbah.
Dari setiap produk limbah cangkang sawit, 12 persennya bisa menjadi
pakan ternak (sapi), dan sisanya setelah diproses bisa dijadikan kompos untuk
pemupukan tanaman sawit. Sedangkan untuk pembuatan kompos sebagai
sumber pupuk, dengan cara memanfaatkan limbah bungkil sawit ditambah
kotoran sapi (Hidayanto ,2007)

Pengolahan Sludge pada Limbah Kelapa Sawit

Tahapan pengolahan sludge pada limbah kelapa sawit


1. Thickening
Thickening adalah proses yang dilakukan untuk mengurangi volume
lumpur sekaligus meningkatkan konsentrasi padatan di dalam lumpur. Proses
ini dapat dilakukan menggunakan peralatan antara lain gravity thickener,
gravity belt thickener, rotary drum, separator, centrifuge, dan flotator.
Metode-metode thickening :
Gravity Thickening
Proses ini umumnya digunakan sebagai pretreatment sebelum
lumpur diolah lebih lanjut ke proses de-watering lainnya. Prinsip dasar
yang digunakan pada proses ini adalah pengendapan secara gravitasi. Pada
proses ini, lumpur dibiarkan untuk mengendap pada bidang yang memiliki
surface loading sekitar 300 sampai dengan 500 m3/m2.d.Gravity thickener
terbagi menjadi beberapa zona yaitu:
a. Clear zone: zona paling atas yang merupakan tempat bagi air yang
berhasil dipisahkan dari lumpur untuk kemudian dikeluarkan dari dalam
sistem dan diresirkulasi (dialirkan kembali) ke sistem pengolahan air
limbah.
b. Feed zone: zona ini memiliki karakteristik konsentrasi solid yang
seragam.
c. Compaction zone: merupakan zona yang berada di bawah feed zone.
Di antara feed zone dengan clear zone terdapat area yang disebut
dengan sludge blanket yang kedalamannya menjadi faktor penting dalam
operasional unit gravity thickener.
Centrifugation
Dengan metoda ini, lumpur dipekatkan sampai kandungan padatan di
dalam lumpur mencapai 20% (meskipun umumnya peralatan ini digunakan
untuk memekatkan lumpur hanya sampai kandungan padatan 10%). Proses
pemisahan padatan terjadi saat lumpur dimasukkan ke dalam mangkuk
yang berputar dengan kecepatan > 30 rev/detik. Lumpur dipisahkan ke
bagian luar mangkuk dan dikeluarkan dari mangkuk dengan menggunakan
screw conveyor atau scroll .

Flotation
Proses flotation yang digunakan untuk mengolah limbah yang berupa
lumpur memiliki prinsip seperti proses flotation untuk penyisihan minyak.

2. Stabilization
Stabilisasi lumpur bertujuan untuk menghindari terjadinya pembusukan
lumpur, mencegah bau yang mengganggu, serta untuk mengurangi
konsentrasi materi volatil dan kandungan patogen di dalam lumpur. Metodemetode stabilization:
a. Digestion
Sesuai dengan namanya, digestion (kita asosiasikan dengan proses
pencernaan), proses yang satu ini melibatkan aktivitas mikrobiologi.
Mikroorganisme di dalam reaktor akan bekerja memakan zat-zat organik
yang berada di dalam sludge untuk menghindari/mengurangi proses
dekomposisi zat organik setelah lumpur keluar dari instalasi pengolahan.
Jenis organisme yang terlibat dapat berasal dari kelompok aerob (prosesnya
disebut aerobic digestion) atau anaerob (anaerobic digestion). Untuk lebih
jelasnya mengenai perbedaan proses aerob dan anaerob.
b. Thermal stabilization
Stabilisasi lumpur dengan proses termal dimaksudkan untuk melepaskan air
yang terikat pada lumpur melalui proses pemanasan dalam waktu yang
singkat.
c. Chemical stabilization
Kalau yang satu ini jelas-jelas menggunakan bahan kimia untuk proses
stabilisasi lumpur. Zat kimia yang digunakan untuk proses stabilisasi antara
lain klorin dan kapur (kalsium hidroksida).
d. Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion (AD) adalah serangkaian proses biologis di mana
mikroorganisme memecah bahan biodegradable dalam ketiadaan oksigen.
Hampir semua bahan organik dapat diproses dengan AD seperti sisa
makanan, limbah industri, limbah rumah tangga, kotoran hewan, termasuk
limbah kertas dan karton (limbah yang mempunyai kemampuan rendah untuk

didaur ulang). Anaerobik digestion menghasilkan biogas yang terdiri dari


sekitar 60% metana dan 40% karbon dioksida (CO 2), yang dibakar untuk
menghasilkan listrik dan panas, atau bisa diolah menjadi gas alam dan bahan
bakar transportasi terbarukan.
Selain biogas, AD juga menghasilkan residu padat dan cair yang disebut
digestate yang dapat digunakan sebagai penyubur tanah. Jumlah biogas dan
kualitas digestates yang diperoleh akan bervariasi sesuai dengan bahan baku
yang digunakan. Gas akan lebih banyak diproduksi jika bahan baku yang
digunakan adalah limbah yang mudah membusuk seperti kotoran.
Mekanisme kerja AD:
Bahan atau limbah yang akan diolah dapat di haluskan terlebih dahulu
untuk meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk mikroba dalam
digester sehingga akan meningkatkan kecepatan reaksi. Proses ini
berlangsung dalam wadah kedap udara yang dikenal sebagai digester.
Tahap Pertama. Terjadi reaksi kimia yang disebut hidrolisis, dimana
molekul kompleks organik dipecah menjadi gula sederhana, asam amino dan
asam lemak dengan penambahan gugus hidroksil. Hal ini diikuti oleh tiga
proses biologis:

Asidogenesa: pemecahan oleh bakteri Asidogenic menjadi molekul


yang sederhana, membentuk asam lemak volatil, dan amonia, karbon

dioksida serta hidrogen sulfida sebagai produk samping.


Asetogenesis: pemecahan molekul sederhana asidogenesa kemudian
dicerna oleh bakteri acetogens untuk menghasilkan CO2, hidrogen dan

asam asetat.
Methanogenesis: dimana metana, CO2, dan air diproduksi oleh bakteri
metanogen. Tingkat pH harus dijaga antara 5,5-8,5 dan suhu antara
30-60oC.

(Banjade, 2008)

e. Aerobic Digestion
Aerobic digestion merupakan oksidasi bahan biodegradable oleh
mikroorganisme aerobik menghasilkan pengurangan keseluruhan massa
10

lumpur dan massa sel yang stabil dalam jumlah terbatas. Dalam aerobik
digestion, bahan biodegradable dihidrolisis menjadi bahan organik terlarut
dengan mereduksi (melepaskan) aminia dan fosfat. Bahan organik terlarut
yang dihasilkan kemudian diubah menjadi air, karbon dioksida dan
biomassa aktif melalui aksi bakteri heterotofik. Proses aerobic digestion
tidak mempengaruhi bahan orhanik non-degradble dalam lumpur. Adanya
populasi mikroorganisme yang heterogen dalam digester aerobik dapat
menghasilkan satu ekosistem yang kompleks, dimana satu spesies mikroba
dapat berfungsi sebagai sumber makanan untuk spesies mikroba lain
dalam populasi. Jadi, materi degredable dalam lumpur akan berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari aerobik digestion ini
adalah waktu proses, suhu. pH, pencampuran, jenis padatan, dan
konfigurasi biosolid. Dalam aerobic digestion, dua proses yang dapat
terjadi adalah amonifikasi dan nitrifikasi (Banjade, 2008).
3.

Conditioning
Proses

sludge

conditioning

bertujuan

untuk

meningkatkan

dewaterability dari lumpur. Metode-metode sludge conditioning antara lain


adalah chemical conditioning dan elutriation
a. Elutriation
Pada proses ini, lumpur dicuci dengan efluen atau air untuk
menghilangkan kandungan amonia yang bercampur dengan koagulan
maupun padatan tersuspensi sehingga sulit untuk dilakukan de-watering.
Proses ini umumnya digunakan sebelum chemical conditioning maupun
proses filtrasi.
b. Chemical Conditioning
Penambahan

bahan

kimia

digunakan

untuk

meningkatkan

laju

pengurangan air pada limbah lumpur. Proses ini biasanya digunakan


bersamaan dengan proses yang menggunakan peralatan drying beds dan
gravity thickening, atau untuk persiapan proses selanjutnya yang
menggunakan peralatan seperti: filter press, vacuum filters, dan
centrifuges. Bahan kimia yang umumnya digunakan adalah: FeCl3,

11

FeSO4Cl, Fe2(SO4)3, alum (Al2(SO4)3.18H2O), polyelectrolites , dan lime


(CaO), Ca(OH)2).
4. Dewatering
Proses dewatering memiliki prinsip yang sama dengan thickening,
yaitu mengurangi konsentrasi air dalam lumpur. Yang membedakan adalah
konsentrasi akhir dari padatan yang diperoleh. Pada thickening, sasaran
konsentrasi padatan yang diinginkan adalah <15%. Dalam hal ini sludge
masih bisa dipompa selayaknya air limbah. Sementara itu, pada dewatering,
konsentrasi akhir padatan yang diinginkan adalah lebih dari 15% sehingga
pemompaan tidak mungkin dilakukan karena sludge sudah memadat dengan
viskositas tinggi. Instrumen yang dapat digunakan untuk proses dewatering
antara lain filter press, belt press, dan centrifuge. Secara alami, proses
dewatering dapat juga dilakukan dengan cara mengeringkan lumpur
(menjemur di bawah sinar matahari) pada suatu drying bed. Kelemahan
metode ini adalah diperlukannya lahan yang luas.
a. Filtration
Proses filtrasi sangat umum digunakan untuk mengurangi kandungan air
pada limbah lumpur sebelum lumpur ditangani pada sistem pembuangan
akhir (dibakar, disimpan pada lahan urug (land fill), atau diinjeksikan pada
sumur pembuangan limbah (injection well disposal)). Proses filtrasi
umumnya terdiri dari peralatan yang berfungsi untuk memisahkan padatan
dengan cara mengalirkan air (draining) melalui unggun pasir (sand beds)
atau cara mekanik pada kondisi vacuum atau tekanan tertentu yang
membutuhkan peralatan yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan
peralatan unggun pasir.
b. Drying Bed Filtration
Penguapan dengan bantuan sinar matahari (drying beds) hanya dapat
diaplikasikan untuk lumpur yang sangat stabil. Peralatan ini umumnya
dioperasikan melalui tahapan-tahapan:
1. first stage: proses de-watering lumpur (filtrasi) pada tekanan rendah
sampai kandungan air berkurang menjadi 80%,
12

2. second

stage:

proses

penguapan

air

(evaporation)

sehingga

menghasilkan padatan dengan kandungan sampai 65% (berat kering)


bergantung pada waktu tinggal, kondisi udara, dan karakteristik
lumpur.
c. Pressure Belt Filtration
Proses filtrasi dengan peralatan ini umumnya dilakukan secara kontinu
yang dilengkapi dengan proses conditioning secara kimia, gravity
drainage, dan penekanan mekanik untuk mengurangi kandungan air di
dalam lumpur. Tahapan proses de-watering pada peralatan ini, mencakup:
1. Proses pengkondisian secara kimia,
2. Pengumpanan lumpur pada bagian gravity drainage sehingga kondisi
lumpur makin memadat dengan berkurangnya kandungan air (secara
gravitasi) di dalam lumpur,
3. Penekanan lumpur untuk mengurangi kandungan air di dalam lumpur
secara signifikan.
d. Pressure Filtration
Peralatan pressure filtration sangat umum digunakan untuk pengurangan
kadar air di dalam lumpur. Tipe yang sering digunakan adalah tipe plate
filtration, karena kemudahanya untuk memisahkan lumpur padat hasil
filtrasi. Peralatan terdiri atas pelat-pelat vertikal yang di antaranya
diletakkan kain filter (filter fabrics), kemudian ditekan pada kedua
ujungnya.
(Kurniawan, 2008)
5. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah. Ada beberapa proses dari
disposal :
a. Composting
Composting adalah suatu metode pengomposan yang mendegradasi
bahan organik tanpa manipulasi secara fisik selama proses
pengomposan. Dalam hal ini, pengomposan dengan metode ini
berbeda dengan metode pengomposan yang harus dilakukan
pembalikan tumpukan kompos yang merupakan manipulasi fisik
untuk tumpukan kompos tersebut (Wicaksono,2012).
b.

Incineration

13

Dalam hal pengelolaan limbah padat, proses insinerasi atau


pembakaran adalah teknologi pengolahan limbah dengan cara
mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90 % (volume)
dan 75% (berat). Sistem ini sebenarnya bukan merupakan solusi final
dari sistem pengolahan limbah padat karena sistem ini hanya
memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata menjadi
bentuk lain yang tidak kasat mata yaitu gas. Di sisi lain, pembakaran
limbah

merupakan

alternatif

yang

menarik

dalam

metode

pengurangan limbah.
c.

Land Fill (Lahan Urug)


Dalam bagian ini akan dibahas secara singkat pengolahan limbah
bahan kimia sebelum penimbunan, penyiapan lokasi lahan urug,
rancang bangun lahan urug dan pemantauan lokasi sekitar lahan urug
sesudah lahan urug ditutup.
(Nunu, 2011)

3.2 Pemanfaatan Sludge


1. Kompos
Pengolahan Limbah cair PKS (LCPKS) untuk memenuhi bakumutu
seperti disyaratkan dalam Kep Men LH. 51/MENLH/10/1995 dalam
kenyataannya sulit dilakukan dan memerlukan biaya mahal, sementara
berdasarkan hasil penelitian, LCPKS dengan BOD (Biological Oxygen
Demand) tertentu terbukti dapat dimanfaatkan sebagai substitusi dan atau
suplemen pupuk serta air irigasi di perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan
LCPKS ini dikenal dengan istilah Aplikasi Lahan (Land Application). Land
Application sebagai suatu alternatif pemanfaatan limbah diakui secara formal
dalam peraturan pemerintah No. 82 Tahun 2000, ttg pengendalian
pencemaran air (Loekito, 2002).
Sebagai starter mikroorganisme pada proses decomposer Effective
Microorganisms 4 (EM4) menjadi penting dalam dunia pertanian organik.
Begitupula dalam sektor perkebunan kelapa sawit, EM4 digunakan untuk
pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan limbah cair

14

kelapa sawit (LCKS). Dengan memakai kompos dari EM4, produksi tandan
buah segar (TBS) berpotensi meningkat sampai 20%.
Effective Microorganisms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dari
mikroorganisme yang menguntungkan berasal dari alam Indonesia. Terdiri
dari

bakteri

asam

laktat

(Lactobacillus

Spp)

bakteri

fotosintetik

(Rhodopseudomonas Spp), Actinomycetes, Streptomyces sp dan ragi yang


bermanfaat untuk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri,
kesehatan dan lingkungan. EM4 tidak berbahaya, aman bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya serta lingkungan (Sawit Indonesia Online, 2014).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan organik perlu di
kembangkan alternatif baru sebagai sumber bahan organik seperti
pemanfaatan limbah industri, salah satu industri yang menghasilkan limbah
dengan jumlah cukup banyak yaitu industri kelapa sawit, yang menghasilkan
limbah cair maupun padat (sludge).
Kompos sludge berpotensi sebagai penyangga tanah yang dapat
memperbaiki sifat fisika tanah, seperti merangsang agregasi tanah menjadi
lebih baik, distribusi pori akan lebih baik sehingga akan meningkatkan aerasi
dan kapasitas memegang air serta permeabilitas tanah (Liana, 2013).
Pemanfaatan teknologi fermentasi anaerobik untuk menangani limbah
cair diharapkan dapat menekan biaya pengolahan limbah. Hasil samping dari
proses ini adalah berupa biogas dan pupuk. Pupuk yang dihasilkan lebih kaya
kandungan nitrogen dan posfornya dibandingkan dengan kompos yang
diproses secara konvensional, bebas dari bau yang tidak sedap dan parasit.

2. Pakan Ternak
Lumpur sawit kering mengandung zat gizi yang hampir sama dengan
dedak, akan tetapi bahan ini mengandung serat yang cukup tinggi. Berbagai
peneliti sudah melaporkan kandungan gizi lumpur sawit yang sangat
bervariasi. Besarnya variasi ini mungkin tergantung pada banyak hal,
termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. Tingginya
kadar serat kasar (11,532,69%) dan kadar abu (925%) dalam lumpur sawit,
disamping ketersediaan asam amino yang rendah, menjadi faktor pembatas
dalam pemanfatannya untuk bahan pakan ternak monogastrik (Sinurat, 2003).

15

Untuk ternak ruminansia, lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan


pengganti rumput. Di sisi lain, penggunaan lumpur sawit hanya dibatasi oleh
ketersediaannya karena harganya relatif murah dan disukai oleh ternak sapi.
Namun pemberian lumpur sawit sebagai bahan pakan harus memperhatikan
kandungan air atau bahan keringnya, yang harus diupayakan mengandung
bahan kering lebih dari 75% (Elisabeth dan Ginting, 2011).
3. Media Tumbuh Jamur
Media tumbuh merupakan salah satu aspek penting yang menentukan
tingkat keberhasilan budidaya jamur. Media jamur tiram putih yang
digunakan harus mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
dan produksi diantaranya yaitu lignin, karbohidrat (selulosa dan glukosa),
protein, nitrogen, serat, dan vitamin. Senyawa ini dapat diperoleh dari serbuk
gergaji kayu, ampas tebu, dan sludge kelapa sawit. Kandungan nutrisi di
dalam bahan-bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan miselium.
Jamur memerlukan sumber nutrisi atau makanan dalam bentuk unsur unsur
kimia, misalnya nitrogen, fosfor, belerang, kalsium dan karbon. Oleh karena
itu, diperlukan penambahan pupuk untuk bahan campuran pembuatan substrat
tanaman. Pada umumnya, untuk mempercepat pertumbuhan miselium dan
meningkatkan produktivitas pertumbuhan jamur digunakan pupuk NPK dan
TSP (Sutarja, 2010). Oleh karena harga pupuk mahal, maka dicari alternatif
lain pengganti pupuk yaitu dengan memanfaatkan sisa-sisa produksi bahan
makanan seperti ampas tebu dan sludge dari limbah sawit. Menurut Ervina
(2000), ampas tebu dapat memberikan hasil panen jamur tiram lebih awal,
jumlah badan buah lebih banyak dan menambah bobot badan buah, sehingga
pada waktu panen hasilnya lebih optimal dan lebih menguntungkan.
Sludge kelapa sawit adalah benda padat yang tenggelam di dalam
pengendapan dalam sarana pengelolaan limbah dan harus dibuang atau
dikelola untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Sludge sawit yang
dihasilkan dari pengelolaan minyak sawit (PMS) mengandung unsur hara
nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, dan kalsium yang cukup tinggi sehingga
dapat digunakan sebagai pupuk. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh

16

Widyati (2006) menunjukkan bahwa pemberian kompos sludge kelapa sawit


dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman dan jamur yang
dibudidayakan. Ditinjau dari aspek nutrisi tanaman, aplikasi kompos sludge
kelapa sawit selain memperbaiki media tumbuh juga sebagai sumber hara
makro maupun mikro bagi tanaman (Sukarman, 2015).

17

BAB IV
ALAT-ALAT UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH KELAPA SAWIT

4.1 Sludge Tank (Pengolahan Sludge)


Sludge yang berasal dari clarifier settling tank (CST) dipompakan ke sludge
tank dengan melalui desander untuk membuang pasir-pasir halus yang terdapat
dalam sludge. Kebersihan cairan minyak dalam sludge tank dipengaruhi oleh
pengoperasian desander, karena alat ini dapat berfungsi bila pembuangan pasir
dilakukan secara kontinyu.
Sludge Tank berfungsi Sebagai tempat penampungan sementara sludge
untuk melanjutkan proses pengolahan selanjutnya.

Sludge Tank
Spesifikasi :
Konstruksi tangki berbentuk silinder vertikal dengan ujung bawah berbentuk
kerucut (botom conical) yang dilengkapi dengan steam injector dan
thermometer. Terbuat dari mild steel plate tebal 6 mm dengan kapasitas > 25
m3. Dilengkapi dengan pengaduk (stirrer) yang digerakkan oleh gear motor 1
KW dan putaran 10 rpm dengan kapasitas umum tangki 10 ton.

18

Cara Kerja
Sludge dari underflow CST masuk ke dalam tangki, selanjutnya sludge tersebut
akan dikirim ke sludge centrifuge. Sludge yang berada dalam sludge tank mendapat
pemanasan dengan menggunakan pipa uap tertutup agar minyak tidak guncang,
karena pemanasan yang tinggi akan dapat memisahkan minyak yang terikat dengan
lumpur, oleh karena itu suhu dalam sludge tank dipertahankan 90 100 C.
Untuk mempercepat pemecahan gumpalan minyak dengan sludge dapat
dilengkapi dengan alat stirrer dengan cacatan tidak boleh terjadi pembentukan emulsi
kembali, oleh karena itu kecepatan putar alat stirrer maksimum 10 rpm. Lempeng
pengaduk berada diatas pipa coil pemanas, sehingga tidak mengganggu lapisan
sludge di bagian cone bawah.
Pipa masuk sludge dari CST berada disamping tangki bagian tengah dengan
maksud agar dalam tangki tidak terjadi guncangan yang berakibat pada pembentukan
emulsi. Lumpur yang terdapat dibagian bawah tangki harus dibuang setiap selang
waktu tertentu, dengan tujuan agar pasir tidak terikut kedalam sludge separator
( Damanik, 2012).

Peralatan sludge yang lainnya :


A. Belt Press
Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt
filter press. Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas.
Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2
tahapan, :
1.

Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)


Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas
lembaran wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya
mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan tertentu,
selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.

2. Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)

19

Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau
wire sambil ditekan oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone,
dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada saat
dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang
selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire
(share zone). Sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air, belt
atau wire perlu dicuci dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa
dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimiafisika dan 22-30% atau kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi.
Pengkondisian lumpur dengan menambahkan polimer perlu dilakukan
untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air.
Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan
kering/m lebar wire per jam untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya,
sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan airnya 250-500 kg
padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas maupun
bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan
kembali di daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah
yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan
yaitu membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena
penggunaan bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi
listrik yang besar. Disamping itu maintenance membutuhkan biaya yang
lebih tinggi dan operasional lebih sulit karena permasalahan di belt/wire
dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire).
B. Filter Press
Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang
berada di antara lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan
melalui gaya hidrolik di kedua sisi lempengan. Filter ini tersusun dari plate and
frame filter berjumlah banyak, dimana bagian dalam dari frame tersebut
ditarik oleh filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena
tekanan hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung
suplai ke dalam ruang filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh
dari frame, lumpur akan mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian
20

dalam. Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena


resistan tekanan yang masuk bertambah besar, maka akan terbentuk cukup
adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi kondisi seperti ini maka
pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya
digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari
sistem ini adalah sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif
lebih rendah. Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan
lumpur yang sedikit.
C. Drying Bed
Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak
pengering lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering
secara gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari
pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu
dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi bak pengering berupa bak
dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil
sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di
bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa
pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mm)
setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mm) setebal 20-30 cm. Media
penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air.
Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan.
Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari
dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya
tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur
masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan
bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika
saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan kadar
air tidak terjadi.
Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem
pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan
penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan

21

kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat
maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan.
Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung
pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi
cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan,
ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur
kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari. Kelebihan
sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya
operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan
padatan yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang
luas dan sangat tergantung cuaca.
D. Screw Press
Screw press seperti terlihat di Gambar 9.10 menghasilkan lumpur kering
(cake) dengan kadar padatan kering 30 70% atau kandungan air 30-70%.
Apabila lumpur yang akan diolah berasal dari campuran lumpur kimia-fisika
dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan koagulan polimer atau
polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari lumpur kimia-fisika
tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan
pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm. Besarnya tekanan yang dihasilkan
tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir tekan sepanjang
poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan
jumlah pegas yang digunakan Alat screw press sangat hemat energi.
Penggunaan alat screw press makin banyak diterapkan di industri khususnya
industri pulp dan kertas.
E. Centrifugal
Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan
melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi. Adabeberapa tipe sentrifugasi
tetapi yang umum digunakan adalah tabung horizontal berbentuk kerucutsilindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan screw conveyor yang dapat
berputar.Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan
dengan putaran tabung horizontal. Lumpur masuk melalui suatu tabung yang

22

tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung, kemudian didorong keluar
oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur mengendap
dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa oleh
conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing,
cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem
ini padatan kering mencapai sampai 50% atau kandungan air 50%.
Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah untuk
mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer
antara 2 6 kg/ton padatan lumpur kering. Biaya investasi dan operasi alat
sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi dan konsumsi
energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan
dengan alat yang lain.
F. Rotary Drum Vacuum Filter
Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar
ini dibagi dalam beberapa bagian yang masing masing berada di bawah
tekanan vakum. Sekitar 20 40% bagian drum akan terendam lumpur dan
mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang menempel di
permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan
padatan lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan
terlepas setelah dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai
mencapai padatan kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu
dikondisikan dahulu dengan bahan kimia.
Lumpur biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan
air 91-96%, sedangkan lumpur campuran mencapai padatan kering sebesar 59% atau kandungan air 91-95%. Beban lumpur kimia fisika umumnya 30 kg
padatan kering /m2 jam, sedangkan untuk lumpur biologi atau lumpur
campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan kering/m 2jam dengan
hasil padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih
dahulu. Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar.
Kelemahannya adalah pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat
ini lebih cocok digunakan untuk lumpur yang berserat ( Firdaus, 2012 ).

23

4.2 Tangki Aerasi


Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent pertama
masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated Sludge
=RAS) atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran (mixed liqour), yang
mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara
mekanik. Karakteristik dari proses lumpur aktif ( activated sludege ) adalah adanya
daur ulang dari biomassa. Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata sel
(biomassa) menjadi lebih lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya. Keadaan
tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme mengoksidasi senyawa organik
dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.
Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang mencukupi
untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik dalam air limbah
terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik terlarut
sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme heterotrophik dalam mixed
liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi, dan juga
oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam beberapa jam dapat
membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan :
(1) memasok oksigen bagi mikroorganisme aerobik, dan
(2) menjaga lumpur aktif ( activated sludge ) agar selalu konstan teragitasi untuk
melaksanakan kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang
pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan
untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri
nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses nitrifikasi berhenti
jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes
(1983) membuat ringkasan reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki
aerasi dalam proses lumpur aktif ( Herlambang, 2010 ).

BAB V
EMISI /PEMBUANGAN LIMBAH KELAPA SAWIT
24

5.1 Emisi/Pembuanagan Pabrik Kelapa Sawit


Kita dapat melihat ada beberapa buangan yang dihasilkan pabrik kelapa
sawit yaitu limbah cair, limbah padat, debu, kebisingan dalam jumlah kecil.
Mungkin debu dan kebisingan akan dapat direduksi dengan adanya tanaman
keras didaerah sekitar pabrik dan tidak terlalu berpengaruh karena pabrik
kelapa sawit mini ini adalah industri kecil. Namun untuk limbah cair dan padat
harus benar-benar dikelola dan ditangani secara terencana dengan penerapan
managemen khusus (USAID, 2009). Jenis kelapa sawit pada generasi pertama
adalah limbah padat yang terdiri dari tandan kosong, pelepah, cangkang dan
lain-lain. Sedangkan limbah cair yang terjadi pada in house keeping. Limbah
padat dan limbah cair pada generasi pertama dapat dimanfaatkan dan terjadi
limbah berikutnya. Pada tabel berikut terlihat potensi limbah yang dapat
dimanfaatkan sehingga mempunyai niali ekonomi yang tidak sedikit. Salah
satunya adalah potensi limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara
yang mampu menggantikan pupuk sintesis.

(Ditjen PPHP, 2006)


5.1.1

Limbah Cair

25

Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi diolah di Instalasi


pengolahan air limbah. Untuk penanganannya perlu dibangun kolam limbah dengan
kapasitas yang dapat menampung limbah cair dengan kapasitas olah pabrik
brondolan sawit/jam. Tahapan proses pengolahan air limbah terdiri atas :
1. Deoling Pond terdiri dari 2 kolam. Limbah cair yang dialirkan ke kolam ini masih
mengandung minyak. Kolam ini berfungsi untuk memisahkan minyak yang
masih terkandung didalamnya, minyak yang terkutip diolah kembali ke Clarifier
Tank. Sedangkan Sludge yang tertinggal dialirkan ke instalasi pengolah limbah.
Waktu tahan (retention time) limbah dalam kolam 0,3 hari.
2. Kolam Pendingin menampung selama 7 hari. Selain berfungsi sebagai pendingin
kolam ini disebut juga kolam miko (Minyak Kotor). Didalam kolam ini minyak
kotor diambil secara manual dan dipanaskan dapat menghasilkan by produk
minyak Miko
3. Primary Anoerbic Pond dapat bertahan sampai 25 hari
4. Secondary Anaerobic Pond dengan waktu tahan 42 hari
5. Aeration Pond, dengan waktu endapan 35 hari. Waktu tinggal limbah pada kolam
keseluruhan 109 hari, maka perluasan kolam limbah harus dilakukan sejalan
dengan pengembangan kapasitas produksi. Sehingga dengan mengikuti aturan
pengolahan limbah cair ini maka pabrik kelapa sawit mini ini tidak akan
memberikan perubahan terhadap sumber air yang berada dialiran air, karena air
akhir yang kita keluarkan ke lingkunagan telah dapat ditolerir qualitasnya (BOD
dan COD).

(USAID, 2009)
5.1.2

Limbah Padat
Limbah padat yang dihasilkan dari proses adalah serabut fibre, tandan kosong,
lumpur sellulosa dari kolam limbah. Jumlah bahan padat ini sangat besar apabila
tidak ditangangi secara langsung dan terencana. Untuk penanganan limbah serabut
(fiber) kita dapat mengkonversikan kayu bakar sebagai bahan bakar pembangkit
steem dengan bahan serabut (fiber) ini dengan menggunakan boiler yang berbahan
bakar padat. Secara langsung kita akan mengurangi pengeluaran terhadap pembelian
bahan bakar kayu bakar. Secara tidak langsung kita akan mengurangi
penebanganpenebangan liar terhadap hutan yang sangat memberikan efek langsung
terhadap kondisi lingkungan seperti dapat mengakibatkan kerusakan hutan, banjir,
tanah longsor dsb. Dengan pabrik kelapa sawit mini yang berbahan baku buah
berondolan ini kita tidak akan mendapatkan tandan kosong dalam jumlah besar, dan
tandan buah koson ini juga akan kita gunakan sebagai konversi pengganti kayu pada

26

pembakaran batu bata di tempat-tempat pembuatan batu bata (seperti yang telah
dilakukan petani batu bata diadaerah sumatera utara kabupaten deli serdang lubuk
pakam). Dengan bahan baku ini juga tidak akan merangsang untuk perluasan areal
perkebunan dengan konversi hutan, karena bahan baku ini adalah sampingan dari
bahan baku industri pabrik kelapa sawit sekala besar yang tidak begitu
dimanfaatkan. Lumpur sellulosa yang telah terdegradasi dalam kolam limbah akan
menyebabkan pendangkalan kolam limbah sehingga harus secara berkala dilakukan
penggalian kembali. Lumpur ini apabila telah kering sangat berguna untuk
kesuburan tanah mengandung unsur Kalium yang akan dapat mengurangi pemakaian
pupuk kimia (organik) yang mengandung unsur tersebut. Apabila kita telah
melakukan dengan benar terhadap penanganan limbah ini secara baik maka efek
langsung maupun tidak langsung ini tidak akan terjadi dengan adanya pembangunan
pabrik kelapa sawit mini ini.

(USAID, 2009)

27

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Sumber limbah (sludge) kelapa sawit berupa limbah cair berasal dari
unit proses pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan
dari hidrosiklon sedangkan limbah padat limbah berasal dari proses
pengolahan dan dari basis pengolahan limbah cair.
2. Karakteristik sludge kelapa sawit berdasarkan sifat fisik meliputi suhu,
kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifat kimia meliputi kandungan
bahan organik, protein, BOD, COD, sedangkan berdasarkan sifat
biologi meliputi kandungan bakteri patogen dalam air limbah
3. Pengolahan sludge kelapa sawit dapat dilakukan dengan thickening,
stabilization,conditioning, dewatering dan disposal.
4. Pemanfaatan sludge kelapa sawit adalah kompos, pakan ternak dan
media tumbuh jamur
5. Alat-alat yang digunakan untuk mengolah sludge kelapa sawit adalah
sludge tank,belt press, filter press,drying bed, screw press,
centrifugal, rotary drum vacuum filter dan tangki aerasi .
6. Emisi/ buangan dari limbah kelapa sawit dapat berasal dari sisa proses
pengolahan limbah yang dapat berupa limbah padat dan limbah cair.
6.2 Saran

Dalam proses pengolahan sludge ada lebih baik diperhatikan terlebih dahulu
sumber dan karakteristik limbah. Setelah diketahui diamati proses pengolahan
yang cocok untuk memperoleh produk yang bermanfaat. Dan juga diperhatikan
jenis-jenis alat yang cocok dalam proses pengolahan. Ada baiknya emisi yang
diperoleh dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang dapat bermanfaat.

28

DAFTAR PUSTAKA
Banjade, Sarita. 2008. Anaerobic / Aerobic Digestion for Enhanced Solids and
Nitrogen

Removal.

Environmental

Engineering.

Blacksburg:

Virginia

Polytechnic Institute and State University.


Bricke, Thomas B. 2009. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil Untuk
Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN). Envitonmental Service
Program. 497-M-00-05-00005-00. USAID: Amerika Serikat.
Damanik, Ucok. 2012. Palm Oil Industrial Engineering . STIPER. Yogyakarta.
Ditjen PHPP. 2006. Pedoman Pengolajan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit
Pengolahan Lingkungan. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian : Jakarta.
Elisabeth, Jenny dan Ginting, Simon P. 2011. Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Lokakarya Sistem
Intergrasi Kelapa Sawit-Sapi.
Firdaus, Muhammad Yusuf. 2012. Pengelolaan Lumpur. Jakarta.
Herlambang, Arie. 2010. Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem
Lumpur Aktif. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Hidayanto, Muhammad. 2007. Limbah Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pupuk
Organikdan Pakan Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Timur.
Kurniawan, Doni. 2008.Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit.
Departemen Pertanian.
Loekito, Henry. 2002. Teknologi Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Jurnal
Teknologi Lingkungan Vol.3 No.3 September 2002: 242-250.
Nunu. 2013. Teknologi Pengolahan Limbah Padat. https://nunulasa.wordpress.com/.
Diakses pada 9 Maret 2015.
Rahardjo, Pertus Nugro. 2009. Studi Banding Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Pabrik Kelapa Sawit. Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan : Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Sawit Indonesia Online. 2014. EM4 Tingkatkan 20% Produksi Sawit. Majalah Sawit
Indonesia Onlie. Diakses pada tanggal 15 Maret 2015.

29

Sinurat, Arnold P. 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit untuk Bahan Pakan Unggas.
WARTAZOA Vol. 13 No. 2 Th. 2003.
Sukarman, S. 2015. Hasil Jamur Tiram Putih (Pleorotus Ostreatus Jacq.)
Menggunakan Media Serbuk Gergaji Dengan Penambahan Ampas Tebu Dan
Sludge Kelapa Sawit Pada KonsentrasiYang Berbeda. Pekanbaru: Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Wahyono, Sri., Firman L Sahwandan dan Feddy Suryanto. 2008. Tinjauan Terhadap
Perkembangan Penelitian Pengolahan Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit.
Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan : Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. Jakarta.
Wicaksono, Andri Budi. 2012. Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant
Pt. Krakatau Tirta Industri Sebagai Bahan Baku Kompos. Bogor : Insitut
Pertanian Bogor.

30

Anda mungkin juga menyukai