SKRIPSI
Diajukan sebagian salah satu syarat untuk
Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan (S-1)
Oleh :
Hery Wahyudi
NIM: 720153064
Pembimbing :
1. Anny Rosiana M,M.Kep.,Ns.Sp.j
2. Yulistyaningrum,S.Kep.,Ners.M.Si.Med
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia diciptakan Allah SWT dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing,
tak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan
emosional) dalam proses pertumbuh kembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Supriyanto, 2012)
Penyandang disabilitas merupakan istilah untuk merujuk kepada mereka yang memimiliki
kelainan fisik atau non-fisik. Di dalam penyandang disbilitas terdapat tiga jenis , yaitu pertama,
kelompok kelainan secara fisik , terdiri dari tunanetra ,tunadaksa,tunarungu dan tuna rungu
wicara.Kedua kelompok kelainan secara non fisik,terdiri dari tunagrahita,autis.Ketiga,
kelompok kelainan ganda,yaitu mereka yang mengalami kelainan lebih dari satu jenis
kelainan (Soleh Akhmad,2016).
Dari data dari WHO 2016, lebih dari 1 milyar orang hidup dengan disabilitas. Itu sama
dengan 15% dari jumlah populasi penduduk dunia ± antara 110-190 juta penduduk berusia
15 tahun ke atas mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas dilaporkan perlu lebih banyak
mendapatkan perawatan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak mengalami disabilitas.
Survei terbaru terhadap penyandang disabilitas dengan gangguan mental yang serius,
menunjukkan bahwa antara 35% dan 50% orang di negara maju dan antara 76% dan 85% di
negara-negara berkembang tidak mendapat perawatan. (WHO,2016).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6 juta
jiwa (2,45%) dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia. (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).
Berdasarkan sensus penduduk Tahun 2013, jumlah anak Jawa Tengah sebanyak
11.223.959 dari populasi tersebut, 46.582 anak adalah anak berkebutuhan khusus dalam
kategori penyandang disabilitas. Sedangakan anak dengan kecerdasan istimewa dan
berbakat istimewa adalah sebesar 2,2% dari populasi anak usia sekolah (4-18 tahun) atau
sekitar 1.185.560 anak.(Kemenkes RI,2013).
Beberapa anak dikatakan disabilitas atau anak penyandang cacat seperti penyandang
tuna grahita, tuna netra, tuna wicara, Down Syndrome, tuna daksa, bibir sumbing dan tuna
rungu (Kemenkes RI, 2014).
Tuna grahita adalah individu yang mempunyai kecerdasan intelektual dibawah normal
dan disertai dengan ketidakmampuan adaptasi perilaku yang muncul pada masa
perkembangan atau sebelum usia 18 tahun (Ciptono & Suprianto, 2010).
Tuna netra adalah individu yang tidak dapat melihat sehingga mengalami keterbatasan
dalam tingkat dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam kemampuan menemukan
sesuatu, dan keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan (Rudiyati, 2009).
Anak yang memiliki hambatan atau gangguan pendengaran juga merupakan salah satu
kategori anak yang memiiki kebutuhan khusus.penyandang kelainan pendengaran atau tuna
rungu yaitu seseorang yang mengalami kehilagan pedengaran, baik sebagian maupun
keseluruhan.Pratiwi,2013).
Tuna daksa sendiri berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan
bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan
sejak lahir.(Somantri,2011).
Seorang tuna rungu dari bayi akan mengalami kesulitan berbicara, hampir seperti tuna
wicara atau bisu, karena tidak dapat mendengar dan mengenal suara dari kecil. Oleh karena
itu, tuna rungu maupun tuna wicara tidak dapat melakukan komunikasi via suara, mereka
melakukan komunikasi dengan cara yang berbeda. (Alwi,2009)
Menurut Setiafitri (2014), autis merupakan kelainan perilaku penderita hanya tertarik pada
aktivitas mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal. Gangguan perilakunya dapat
berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam
mengembangkan bahasa dan pengulangan tingkah laku. Menurut Setiafitri,2014
Dibandingkan anak anak normal pada umumnya, anak berkebutuhan khusus lebih
banyak memerlukan perhatian dari orang tua maupun pengasuh. Pembelajaran toilet training
pada anak berkebutuhan khusus memerlukan waktu yang lebih lama. Maka dari itu anak anak
berkebutuhan khusus harus dikelola dengan baik, diajari dengan sabar dan penuh perhatian
sehingga bisa mandiri dalam toilet training. Retardasi mental merupakan salah satu anak
yang memiliki kebutuhan khusus. Retardasi mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun
yang ditandai rendahnya kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya dibawah 70) dan sulit beradaptasi
dengan kehidupan sehari-hari. Kelemahan kecerdasan berakibat lemahnya fungsi kognitif,
sikap, dan ketrampilan lainnya yang dimiliki anak (Nisa, 2010).
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan motorik kasar dan
halus, perkembangan bahasa dan kemampuan sosial anak (Budiarnawan dkk, 2014)
Pola asuh merupakan suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, di mana orang
tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan
nilai nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh, serta
berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin
tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses (Tridhonanto. A dan Agency. B, 2014).
Kemandirian pada anak terutama pada anak usia sekolah berbeda dengan kemandirian
remaja atau orang dewasa. Kemandirian anak usia sekolah adalah kemampuan yang
berkaitan dengan tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan untuk anak adalah
belajar makan, berbicara, koordinasi tubuh, kontak perasaan dengan lingkungan,
pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).
Berdasarkan teori perkembangan Erickson, anak pada tahap usia sekolah (6-18 tahun)
mempunyai masalah industry vs inferiority, yang berarti anak pada usia ini diharapkan mampu
mendapatkan kepuasan dari kemandirian yang diperoleh melalui lingkungan sekitar serta
interaksi dengan teman sebaya. Pada tahap ini anak juga belajar untuk bersaing (sifat
kompetitif) melalui proses pendidikan, bersifat kooperatif dengan orang lain dan belajar
peraturan-peraturan yang berlaku. Hal yang dianggap berbahaya pada fase ini adalah apabila
pada anak berkembang kepribadian inferiority (rendah diri). Salah satu penyebab timbulnya
inferioritas pada anak adalah tidak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (Jahja,
2011).
Anak dengan disabilitas banyak yang masih tergantung kepada orang tua atau
pengasuhnya dalam melakukan aktivitas harian terutama untuk perawatan dirinya bahkan
sampai dengan anak tersebut beranjak dewasa. Perawatan diri (self care) sangat diperlukan
pada anak disabilitas yang sulit untuk melakukan aktivitas secara mandiri (Ramawati,2010).
Berdasarkan berbagai penjelasan yang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian Anak
Disabilitas di SDLB kabupaten Kudus tahun 2019.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan urian tersebut di atas maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:”
Belum di Ketahuinya Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian pada
Anak Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019”.
C. Pertanyaan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas maka pertanyaan pada penelitian ini adalah: Bagaimana
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian Anak pada Disabilitas di
SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019?.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian
Anak pada Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan pola asuh Orang Tua dengan Tingkat
Kemandirian Anak pada Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019
b. Menganalisa hubungan pola asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian pada
Anak Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019.
E. Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Waktu
Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2019.
2. Ruang Lingkup Tempat
Tempat penelitian ini adalah di SDLB di Kabupaten
3. Ruang Lingkup Materi
Masalah yang dikaji adalah Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat
Kemandirian Kemandirian pada Anak Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun
2019.
F. Manfaaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi untuk para orang tua dan guru tentang pola
asuh anak disabilitas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya, agar
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian dengan variabel
yang berbeda.
3. Bagi SDLB di Kabupaten Kudus
Sebagai referensi untuk program pengajaran di sekolah mengenai
kemandirian pada anak disabilitas dengan bekerja dengan orang tua dan tenaga
kesehatan.
4. Bagi Institusi Kesehatan
Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk peningkatan
kemandirian pada anak disabilitas.
5. Bagi Peneliti
Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dan
pengalaman nyata dalam melakukan penelitian.
G. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat
Kemandirian pada Anak Disabilitas di SDLB Kabupaten Kudus Tahun 2019” belum pernah
diteliti sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian
ini:
Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
H. Keterbatasan Penelitian
Peneliti dalam penelitian ini membatasi pada variabel bebas pola asuh orang tua
sedangkan pada variabel terikat tingkat kemandirian anak disabilitas, tempat penelitian di
SDLB Kabupaten Kudus, sehingga hasil penelitian belum dapat menjadi kesimpulan
secara keseluruhan karena belum di ketahui hubungan pola asuh orang tua dengan