Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

APLIKASI KLINIS KEPERAWATAN

Oleh :
Mochamad Riko Saputra
NIM 162310101134

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

APLIKASI KLINIS KEPERAWATAN

Disusun guna memenuhi tugas Aplikasi Klinis Keperawatan


Dosen pengampu : Ns. Jon Hafan Sutawardana, S.Kep, M.Kep., Sp.Kep.MB

Oleh :
Mochamad Riko Saputra
NIM 162310101134

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Laporan Pendahuluan Beningn Prostatic Hyperplasia”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Aplikasi Klinis Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Jember.

Makalah ilmiah ini telah disusun dari berbagai sumber informasi. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini atas nama penyusun mengucapkan terima kasih
kepada :

1. Ns. Jon Hafan Sutawardana, S.Kep, M.Kep., Sp.Kep.MB., selaku dosen


pembimbing Aplikasi Klinis Keperawatan.
2. Orang tua yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaikan tugas.
3. Teman-teman yang telah memberikan masukan berupa kritik dan saran
demi kesempurnaan tugas yang penulis buat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, baik
kekurangan dari segi peyusunan kalimat maupun tata letak bahasanya. Oleh
karena itu, segala saran dan kritik yang sifatnya membagun dari pembaca sangat
diharapkan penulis demi perbaikan di masa mendatang

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “Laporan Pendahuluan


Beningna Prostatic Hyperplasia” ini dapat memberikan manfaat terhadap
pembaca.

Jember, 7 Januari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB 1. TUNJAUAN TEORI

1.1 Definisi ...............................................................................................1


1.2 Anatomi dan Fisiologi ........................................................................1
1.3 Epidemiologi ......................................................................................3
1.4 Etiologi ...............................................................................................3
1.5 Klasifikasi ...........................................................................................4
1.6 Patofisiologi ........................................................................................5
1.7 Manifestasi Klinis ...............................................................................6
1.8 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................7
1.9 Penatalaksanaan Medis .......................................................................11

BAB 2. CLINICAL PATHWAY......................................................................13

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASAR TEORI

2.1 Pengkajian Keperawatan ....................................................................14


2.2 Diagnosa Keperawatan .......................................................................16
2.3 Intervensi Keperawatan ......................................................................16
2.4 Evaluasi .............................................................................................21

BAB 4. DISCHARGE PLANNING.................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................24

ii
1

BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi BPH


Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya
hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. (Mochtar, 2015)
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (pria > 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Doenges, E. Marilynn, 2002).
Menurut (Coyne, 2008) BPH (Benign prostatic hyperplasia) merupakan
istilah histopatologi yang digunakan untuk menggambarkan adanya
pembesaran prostat. Terminologi BPH secara histologi ialah terdapat
pembesaran sel-sel stroma dan sel-sel epitel pada kelenjar prostat. BPH akan
menjadi suatu kondisi klinis jika telah terdapat berbagai gejala pada penderita.
Gejala yan dirasakan ini dikenal sebagai gejala saluran kemih bawah (lower
urinary trat symptons) .
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH) merupakan
kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya
ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Grace, Pierce A,
dkk, 2007).
BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan
gejala urtikaria. Hyperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat yang dapat menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral
dan pembatasan aliran urinarius.

1.2 Anatomi dan Fisiologi Prostat


Prostat adalah kelenjar seks tambahan terbesar pria yang ekresinya
berkontribusi pada cairan semen. Prostat terletak didalam rongga pelvis
ditembus oleh dua buah saluran, uretra dan ductus ejaculatorius. Berbentuk
seperti piramida terbalik dan mempunyai ukuran yang bervariasi sekitar 4x3x2
sentimeter. Apex prostat merupakan bagian paling bawah yang terletak di atas
diapragma urogenitalis dan terletak satu setengah sentimeter di belakang
bagian bawah symfisis pubica. Basis prostatae merupakan bagian atas prostat
dan berhubungan dengan vesica urinaria pada suatu bidang horizontal yang
2

melalui bagian tengah symphisis pubica. Konsistensinya keras, sebagian


berupa kelenjar sebagian berupa otot. Prostat terbungkus dalam sebuah kapsul
jaringan ikat, kapsul ini dilapisi lagi oleh fascia prostatica yang tebal (berasal
dari fascia pelvica) Prostat difiksasi oleh ligamentum puboprotaticum, fascia
superior diaphragmatis urogenitalis dan bagian depan musculus levator ani.
(Sutysna, 2016)
Secara makroskopis kelenjar prostat dibagi menjadi lima buah lobus, yaitu
lobus anterior atau istmus yang terletak didepan uretra dan menghubungkan
lobus dexter dan lobus sinister. Bagian ini tidak mengandung kelenjar dan
hanya berisi otot polos. Lobus medius yang terletak diantara uretra dan ductus
ejaculatorius. Banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang
menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica
urinaria bila lobus ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan
aliran (Sutysna, 2016)

Gambar 1 :
Morfologi dan letak anatomis kelenjar prostat Dikutip dari : Atlas Anatomi
SOBOTHA (Sutysna, 2016)

Fungsi kelenjar prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang
mengandung asam sitrat dan asam fosfatase. Cairan ini ditambahkan pada
cairan semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma
3

berkontraksi , sekret yang berasal dari banyak kelenjar postat diperas masuk
ke urethra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis dan membantu
menetralkan suasana asam didalam vagina (Sutysna, 2016)

1.3 Epidimiologi
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian
BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak
tahun 1994--‐2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata--‐rata umur penderita
berusia 66,61 tahun (Mochtar, 2015)
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya
berhubungan dengan usia. Prevelensi histologi BPH meningkat dari 20% pada
laki-laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki-laki berusia 51-60 tahun hingga
lebih dari 90% pada laki-laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis
belum muncul, namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada
usia 50 tahun ± 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih
bagian bawah, meningkat hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki
mengeluh brkurangnya pancaran atau aliran darah pada saat berkemih
(Cooperberg, 2013).

1.4 Etiologi
Penyebab yang pasti terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat
erat kaitanya dengan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan
(Nuari Nian Afrian dan Widayati Dhina, 2017).
BPH pada dasarnya merupakan pembesaran kelenajar prostat yang
sifatnya jinak. Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/
pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria
yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan
testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola
diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan
4

dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor--‐faktor


tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth factor,
yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar
prostat. (Mochtar, 2015)
Diperkirakan sekitar 50% dari kasus BPH yang berkembang menjadi BPE
dimana istilah BPE Benign Prostatic Enlargement merupakan istilah klinis
yang menggambarkan bertambahnya volume prostat. Pada kondisi yang lebih
lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan
istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari
suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung
kemih dan uretra, dinamakan Bladder Outlet Obstruction (BOO). Adanya
obstruksi pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan
pemeriksaan urodinamik (Mochtar, 2015)

1.5 Klasifikasi
Derajat BPH menurut Sjamsuhidajat, 2005 dapat dibedakan menjadi 4
stadium, antara lain:
1. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik ontinen.
5

1.6 Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular
pada prostat (Nuari Nian Afrian dan Widayati Dhina, 2017).

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, retensi urine pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. (Nuari Nian Afrian dan Widayati Dhina, 2017).

Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah da akhirnya


mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas (Nuari Nian Afrian dan Widayati Dhina, 2017).

Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala menurt Nuari Nian Afrian


dan Widayati Dhina, 2017 yaitu :

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi
uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan
rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang
banyak dalam buli-buli.
4. Nocturia (miksi malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengososngan
yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih
pendek.
6

5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan


normla dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi) jarang terjadi. Jika da disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
8. Hematuria biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
9. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengososngan urin inkomplit atau
retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
10. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stres urin, dimana sebagian urin
tetap berada pada saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk
organisme infektif.
11. Karena selalu terdapat sisa urin dapat berbentuk batu endapan dalam buli-
buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dpat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonefritis.
12. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia dan hemorhoid.

1.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai syndroma


prostatisme. Menurut Nuari Nian Afrian dan Widayati Dhina, 2017 syndroma
prostatisme ini dibagi menjadi 2 :

1. Gejala Obstruktif
a. Hesitansi yaitu mulainya kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destruksor buli-
7

buli memerlukan waktu beberapa lam meningkatkan tekanan


intravesikel guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
oleh karena ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan
tekanan intravesikel sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melempaui tekanan diuretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Sedangkan menurut dr.Hendra sutysna tahun 2016 Pasien dengan obstruksi


saluran keluar vesica urinaria sekunder terhadap hipertrophi prostat benigna,
bisa tampil dengan kesulitan dalam memulai berkemih, pengosongan vesika
urinaria yang tidak tuntas, urin menetes, frekuensi atau retensi urin total
dengan ketidakmampuan lengkap untuk berkemih. Kelenjar prostat yang
membesar menimbulkan obstruksi urin dan meningkatkan secara menetap
tekanan intravesika, yang akan menyebabkan hipertrofi detrusor, trabekulasi
vesika urinaria dan pembentukan divertikuliti. Proses ini dapat berlajut ke
hidronefrosis dan kemunduran saluran kemih atas. (Sutysna, 2016)

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut guideline yang disusun oleh Ikatan ahli urologi indonesia pada
tahun 2015 pemeriksaan penunjang BPH sebagai berikut (Mochtar, 2015) :

1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya.
8

Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan


kultur urine.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan
pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak
0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas. Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai
adanya gangguan fungsi ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan
klinis atau dengan adanya hidronefrosis atau ketika mempertimbangkan
tindakan bedah untuk LUTS pada laki-laki.
3. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi
prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Serum PSA dapat dipakai untuk
meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA
tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut
Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior
daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia di
atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi)
pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan
adanya karsinoma prostat.. Pemeriksaan PSA harus dilakukan jika
dicurigai adanya kemungkinan kanker prostat yang dapat mengubah
penatalaksanaan atau jika PSA dapat membantu pengambilan keputusan
pada pasien dengan risiko BPH.
9

4. Uroflowmetry (Pancaran Urine )


Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses
berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah
terapi. Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab
terjadinya kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat
disebabkan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan otot
detrusor. Uroflowmetry disarankan untuk penegakan diagnosis awal dan
harus dilakukan sebelum terapi.
5. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa
urine di kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria
normal rata-rata 12 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan
cara USG, bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan
kateter ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi
pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga
bakteremia. Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh
obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot
detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan awal
berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan
volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko
terjadinya retensi urine.
6. Pencitraan
1) Saluran Kemih Bagian Atas Pencitraan saluran kemih bagian atas
hanya dikerjakan apabila terdapat hematuria, infeksi saluran kemih,
insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan USG direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada
keadaan-keadaan tersebut.
2) Saluran Kemih Bagian bawah Pemeriksaan uretrosistografi retrograd
dilakukan jika dicurigai adanya striktur uretra.
10

7. Uretrosistoskopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria,
striktur uretra, uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat
operasi uretra, atau kecurigaan kanker kandung kemih. Uretrosistoskopi
harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya kecurigaan kelainan uretra
dan kandung kemih dan sebelum tindakan invasif karena dapat merubah
jenis tindakan.
8. Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada
evaluasi pasien BPH. Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah:
pasien berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume
residu urine >300 mL, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah
pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya
kelainan buli-buli neurogenik. Urodinamik saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi saluran
kemih bawah dan mampu memprediksi hasil tindakan invasif.

1.9 Penatalaksanaan Medis


Menurut Sjamsuhidjat dan de Jong, 2010 dalam penatalaksanaan pasien
dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu :
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan pemakaian
lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
11

Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila


diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehingga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan Transuretrhal Urethral Resection (TUR) atau
pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan


pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza, 2013 penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan :

a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain :
1) Menghambat adrenorespetor alfa
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim alfa 2 reduktase
4) Fisioterapi
c. Terapi bedah
Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate
(sebagian/seluruh) yeng memotong uretra, bertujuan untuk memperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
12

Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker prostat.


Prostatektomy mencakup bedah pengangkatan sebagian atau keseluruhan
kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat transuretra (melalui
uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah dan leher kandung
kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis (abdomen bawah,
tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih).

Menurut Smeltzer dan Bare jenis Prostatektomy, yaitu :

1) Trans Uretral Resrction Prostatectomy (TURP)


Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskop atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis (Suprapubic/Open Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis (Retropubik Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal (Perineal Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui insisi diantara
skrotum dan rektum.
d. Terapi Invasit Minimal
Terapi invasif minimal dalam penatalaksanaan Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH), antara lain :
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang diapsang melalui taua pada
ujung kateter.
2) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
3) Hign Intensity Focused Ultrasound
4) Aclasi Jarum Transuretra
5) Stent Prostat
13

BAB 2. CLINICAL PATHWAY


14

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASAR TEORI

2.1 Pengkajian

Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita


BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan
Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :

1. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras
kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih.
Status social ekonomi memiliki peranan penting dalam terbentuknya
fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang
penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat
memiliki resiko lebih tinggi..
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi ,
nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, hesistensi (sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-
putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine
3. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah
riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani
pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH.
5. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya,
ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam
hariuntuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan.
Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau
mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah
15

ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam


rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah
minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan
yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah,penurunan
BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang
karenafrekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul ataupunggung, tajam, kuat, nyeri punggung
bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-
obatan,penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari - hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban
berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan,
dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari
sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan
pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap
perawatan luka operasi.
16

2.2 Diagnosa
Masalah keperawatan yang paling mungkin muncul dari penderita
berdasarkan diagnosa keperawatan NANDA antara lain sebagai berikut:
1. Nyeri akut b.d injuri fisik
2. Gangguan Eliminasi urin b.d Infeksi saluran kemih
3. Risiko infeksi b.d prosedur infasiv pembedahan
4. Retensi Urin b.d Sumbatan saluran perkemihan
5. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Penurunan kekuatan otot
6. Defisit perawatan diri b.d imobilisasi pasca operasi
7. Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi

2.3 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi


Hasil

1. Nyeri akut b.d injuri Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian


fisik tindakan keperawatan nyeri secara
selama 3x24 jam. komprehensif
Pasien pengalaman termasuk lokasi,
nyeri dipertahankan karakteristik, durasi,
pada skala 3 dan frekuensi, kualitas
ditingkatkan ke skala 5 dan factor
dengan kriteria hasil: presipitasi
2. Observasi reaksi
Kontrol nyeri (1605)
non verbal dari
1. Mampu
ketidaknyamanan
mengontrol nyeri
3. Gunakan teknik
(tahu penyebab
komunikasi
nyeri, mampu
terapeutik untuk
menggunakan
mengkaji
tekhnik
pengalaman nyeri
nonfarmakologi
4. Ciptakan
untuk mengurangi
17

nyeri, dan mencari lingkungan yang


bantuan) nyaman (suhu
ruangan,
Tingkat nyeri (2102) pencahayaan, dan
1. Melaporkan kebisingan)
bahwa nyeri 5. Ajarkan pasien
berkurang dengan pengobatan non
menggunakan farmakologi
manajemen nyeri (managemen nyeri)
2. Mampu mengenali 6. Kolaborasikan
nyeri (skala, pemberian analgetik
intensitas, (anti nyeri)
frekuensi dan 7. Berikan informasi
tanda nyeri) tentang nyeri seperti
3. Tanda vital dalam penyebab nyeri,
rentang normal berapa lama nyeri
4. Tidak mengalami akan berkurang dan
gangguan tidur antisipasi
ketidaknyamanan
dari prosedur
8. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesic pertama
kali

2. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan Urinary Retention Care


urin b.d infeksi tindakan keperawatan
1. lakukan penilaian
saluran kemih selama 3x24 jam.
kemih yang
Gangguan eliminasi
komprehensif
pasien dipertahankan
berfokus pada
18

pada skala 3 dan inkontinensia


ditingkatkan ke skala 5 (misalnya, output
dengan kriteria hasil: urin, pola berkemih,
fungsi kognitif, dan
Eliminasi urin (0503)
masalah kencing
1. Kandung kemih
praeksisten)
kosong secara
2. memantau
penuh
penggunaan obat
2. Tidak ada residu
dengan sifat
urin > 100-200 cc
antikolinergik atau
properti alpha
agonis
3. gunakan spirit
wintergreen di
pispot atau urinal
4. memasangkan
kateter yang sesuai
5. memantau asupan
dan keluaran
3. Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan 2. Monitor kerentanan
prosedur infasiv tindakan keperawatan terhadap infeksi
pembedahan selama 2x24 jam. 3. Batasi pengunjung
Resiko infeksi pada 4. Pertahanankan
pasien dipertahankan teknik asepsis
pada skala 3 dan 5. Inspeksi kondisi
ditingkatkan ke skala 5 luka / insisi bedah
dengan kriteria hasil: 6. Berikan perawatan
luka
Keparahan infeksi
7. Motivasi untuk
(0703)
istirahat
1. Klien bebas dari
8. Motivasi masukan
tanda-tanda infeksi
nutrisi yang cukup
19

9. Ajarkan cuci tangan


10. Jika terlihat tanda-
tanda infeksi
kolaborasikan
dengan dokter
4. Retensi Urin b.d Setelah dilakukan 1. Monitor intake dan
Sumbatan saluran tindakan keperawatan ouput
perkemihan selama 3x24 jam. 2. Monitor
Retensi urin penggunaan obat
dipertahankan pada antikolinergik
skala 3 dan 3. Monitor derajat
ditingkatkan ke skala 5 distensi bladder
dengan kriteria hasil: 4. Stimulasi reflek
bladder dengan
Eliminasi urin (0503)
kompres dingin
1. Kandung kemih
pada abdomen
kosong secara
5. Katerisasi jika perlu
penuh
6. Monitor tanda dan
2. Tidak ada residu
gejala ISK (panas,
urin > 100-200 cc
hematuria,
perubahan bau dan
konsistensi urine)
5. Hambatan Mobilitas Setelah dilakukan 3. Bantu pasien untuk
Fisik b.d Penurunan tindakan keperawatan menggunakan
kekuatan otot selama 2x24 jam. fasilitas alat bantu
Hambatan mobilitas jalan dan cegah
fisik pasien kecelakaan atau
dipertahankan pada jatuh
skala 3 dan 4. Tempatkan tempat
ditingkatkan ke skala 5 tidur pada posisi
dengan kriteria hasil: yang mudah
dijangkau/diraih
20

Ambulasi (0200) pasien


1. Menopang berat 5. Konsultasikan
badan dengan fisioterapi
2. Berjalan dengan tentang rencana
langkah yang ambulasi sesuai
efektif kebutuhan
Pergerakan (0208) 6. Monitor pasien
1. Keseimbangan dalam menggunakan
penampilan alat bantu jalan yang
2. Gerakan otot lain
3. Gerakan sendi 7. Instruksikan
pasien/pemberi
pelayanan
ambulansi tentang
teknik ambulansi
6. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan 1. Monitor vital sign
b.d imobilisasi pasca tindakan keperawatan 2. Ajarkan ambulasi
operasi selama 2x24 jam. 3. Ajarkan ROM
Defisit perawatan diri 4. Latih pasien dalam
dipertahankan pada pemenuhan
skala 3 dan kebutuhan ADLs
ditingkatkan ke skala 5 secara mandiri
dengan kriteria hasil: 5. Dampingi dan bantu
pasien saat
Perawatan diri
mobilisasi dan bantu
aktivitas sehari-hari
kebutuhan ADLs
(0300)
6. Ajarkan pasien
1. Mampu melakukan
bagaiman merubah
ADLs yang paling
posisi dan berikan
mendasar dari
bantuan jika
aktivitas perawatan
diperlukan.
diri
21

Pergerakan (0208)
1. Keseimbangan
penampilan
2. Gerakan otot
3. Gerakan sendi

2.4 Evaluasi

No Hari/Tanggal/Jam Diagnosa Evaluasi Sumatif Paraf


Keperawatan &
(SOAP)
Nama
1 Senin 7 Januari Nyeri Akut S : Klien mengatakan
2019/13.00 WIB “nyeri saya sudah
berkurang”
O:-
A : Masalah nyeri akut
teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
seperti terapi relaksasi
untuk memberikan rasa
nyaman pada klien
2 Senin 7 Januari Gangguan S : Klien mengatakan “
2019/13.05 WIB eliminasi urin Perut saya tidak terasa
keras lagi”
O: Distensi abdomen tidak
teraba
A: Masalah gangguan
eliminasi teratasi
P: Lanjutkan intervensi
3 Selasa 1 Juli Resiko S : Klien mengatakan tidak
2008/16.40 WITA Infeksi ada nyeri atau gatal di area
sayatan.
O:Tidak ada tanda
peradangan, Penyatuan
luka baik.
22

A : tidak terjadi infeksi


pada luka sayat
P : Lanjutkan intervensi
4 Senin 7 Januari Retensi Urin S : Klien mengatakan “
2019/13.05 WIB Semenjak saya dipasang
selang urin saya lancar
dan tidak ada keluhan
O : Intake dan output
cairan seimbang
A: Masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi
5 Senin 7 Januari Hambatan S : Klien mengatakan
2019/13.20 WIB Mobilitas “saya sudah mampu duduk
Fisik sendiri, tapi untuk waktu
yang tidak terlalu lama”
O : - Aktivitas klien
meningkat
- tidak terjadi cidera
A : Masalah Hambatan
Mobilitas Fisik teratasi
sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
6 Senin 7 Januari Defisit S : Klien mengatakan
2019/13.20 WIB perawatan diri “Semenjak saya operasi
saya takut sakit karena
bergerak tapi sekarang
lumayan tidak karena
sering latihan”
O: -
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
23

BAB 4. DISCHARGE PLANNING

Rencana pemulangan menurut Brunner dan Suddarth tahun 2001 pada


umumnya disampaikan kepada klien dengan BPH berupa himbauan sebagai
berikut (Smeltzer, & Bare, 2005):
1. Menganjurkan klien agar beraktivitas yang menyebabkan efek valsava
(mengejan) seperti halnya mengejan saat buang air besar dan mengangkat
beban berat.
2. Menganjurkan klien agar menghindari perjalanan dengan motor dalam
jarak jauh dan aktivitas lain yang dapat meningkatkan kecenderungan
perdarahan.
3. Menganjurkan klien untuk minum cukup cairan untuk mencegah
dehidrasi, yang meningkatkan kecenderungan terbentuknya bekuan darah
dan menyumbat aliran urine.
24

DAFTAR PUSTAKA

Andra, S. W., & Yessie, M. P. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep.Yogyakarta: Nuha
Medika.

Cooperberg MR, dkk. 2013. Neoplasms of the prostate gland. In: McAninch JW,
Lue TF, editors. Smith & Tanagho’s general urology. 18th edition.
NewYork: Mc Graw Hill

Coyne KS, Sexton CC, Irwin DE, Kopp ZS,Kelleher CJ, Milsom I.2008. The
impact of overactive bladder, incontinence and other lower urinary tract
symptoms on quality of life, work productivity, sexuality and emotional
well-being in men and women. BJU International; 101:1388-95.
Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan keperawatan, Edisi. 3. Jakarta: EGC

Grace A. Pierce dan Borley R.Neil. 2007. At Glance ILMU BEDAH . Edisi ke -
3. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mochtar ,Dkk. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat


Jinak. Edisi ke-2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia

Nuari N. A. dan Widayati D. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan


Penatalaksanaan Keperawatan. Sleman. Yogyakarta : Deepublish.

Sjamsuhidajat. 2005. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Salemba

Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah .Jakarta: EGC

Smeltzer, & Bare. 2005.Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &
Suddart . Edisi 8, Vol 1, alih bahasa: Kuncara Monica Ester. Jakarta:
EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo...(dkk).Jakarta : EGC
25

Sutysna H. 2016. Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat.


Edisi 1. Medan : Departemen Anatomi FK Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai