Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rinitis alergi didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung yang


disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas
tipe I Gell dan Comb). Gangguan hidung dapat berupa gejala gatalgatal pada
hidung yang dapat meluas ke mata dan tenggorok, bersin-bersin, beringus, dan
hidung tersumbat.

Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi


sekitar 10 hingga 25% populasi. Pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih
tinggi seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di
Amerika berkisar 33,6%. Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti,
namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki
frekuensi berkisar 10-26%. Rinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal
tetapi gejalanya dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan
kualitas hidup penderita. Penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu
efektif kerja, dan prestasi sekolah. Dampak secara ekonomi di Amerika mencapai
3 juta dolar dan tambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis
dan asma.

Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat


ringan penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi
rinitis alergi meliputi penghindaran terhadap alergen, edukasi, farmako terapi
(antihistamin, kortikosteroid, dekongestan, antikolinergik), operasi, maupun
imunoterapi. Pada kenyataannya tidak semua pasien mempunyai respon yang baik
terhadap terapi rinitis alergi yang secara umum ditujukan mengontrol respon imun
yang terlibat dalam reaksi alergi, sehingga diperlukan modifikasi terapi dengan
mengidentifikasi target baru untuk intervensi pengobatan. Salah satu molekul
yang terlibat dalam respon alergi adalah Ig E dan dikembangkan terapi antibodi

1
IgE yang berfungsi mengikat IgE sehingga tidak dapat berikatan dengan alergen
yang ada.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui tentang penyakit rhinitis
2. Memahami cara penanganan yang tepat untuk penyakit rhinitis
3. Mampu memberikan konseling kepada masyarakat tentang penyakit rhinitis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rhinitis
1. Definisi Rhinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

2. Klasifikasi Rhinitis
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya


(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu 2
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

3
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

3. Patofisiologi Rhinitis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

4. Penyebab
Rhinitis alergi disebabkan sistem imun didalam tubuh salah dalam
menginterpretasi zat alergen yang sebenarnya tidak berbahaya diinterpretasikan
sebagai sesuatu yang mengancam tubuh sehingga timbulah reaksi hipersensitivitas
terhadap zat tersebut. Adapun zat alergen yang dapat menyebabkan rhinitis alergi
diantaranya:
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya:
debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang, serta jamur.
b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin, dan sengatan lebah.

4
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak larlit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Faktor non-spesifik : asap rokok, bau yang merangsang, polutan, bau
parfum, bau deodoran, perubah afl ctrac4 kelembaban tinggi.

5. Tanda dan Gejala Rhinitis


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi,
Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi).

Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat
muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii.

Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa


jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang
juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit
tidur (Harmadji, 1993).

5
5. Diagnosis
Diagnosis RA ditegakkan berdasar pada anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik THT-KL dan pemeriksaan penunjang, yaitu:

a. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum, dilanjutkan
dengan pertanyaan yang spesifik termasuk keterangan pekerjaan, tempat tinggal,
riwayat penyakit dalam keluarga, faktor lingkungan, faktor pencetus, paparan
alergen, riwayat pengobatan dan penyakit penyerta lain. Gejala RA yang perlu
ditanyakan:

1) Bersin (lebih dari 5 kali setiap serangan)


2) Rinore (ingus bening encer)
3) Hidung tersumbat (menetap/bergantian)
4) Gatal di hidung, tenggorok, langit langit atau telinga
5) Mata gatal berair dan kemerahan
6) Hiposmia atau anosmia
7) Post nasal drip atau batuk kronik
8) variasi diurnal (memburuk pada pagi hingga siang, membaik saat malam hari)
frekuensi serangan, beratnya, durasi, intermiten atau persisten
9) pengaruh terhadap kualitas hidup seperti gangguan pekerjaan, sekolah, tidur
dan aktivitas sehari-hari

b. Pemeriksaan Fisik
1) Hidung
Menggunakan spekulum hidung yaitu rinoskopi anterior dapat diperjelas
dengan endoskop, untuk melihat patologi kavum nasi, misalnya mukosa udim
dan kebiruan atau pucat, adanya sekret, buntu hidung.
2) Ciri umum muka
Tampak warna kebiruan infra orbita (allergic shinners), lipatan menonjol
di bawah kelopak mata inferior (Morgan-Dennie lines), nasal crease dan allergic
salute.
3) Telinga, mata dan orofaring

6
Menilai keadaan membrana timpani, udem konjungtiva dan keadaan
orofaring.

4) Leher, paru dan kulit


Evaluasi untuk mencari gejala klinis asma dan dermatitis atopik.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Tes alergi yaitu skin prick test/tes kulit cukit, tes intradermal, tes provokasi
hidung, pemeriksaan IgE dengan radioallergosorbent test/RAST
2) Pemeriksaan eosinofil hidung (baik berupa sekret, mukosa, nasal lavage atau
biopsi)
3) Pemeriksaan rinomanometri dan rinometri akustik
4) Pemeriksaan radiologi (X-foto posisi Waters)

5. Penatalaksanaan
a. Edukasi dan avoidance
b. Farmakoterapi antara lain:
1) Antihistamin oral atau topikal
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi.
Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1
golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain. Sedangkan antihistamine generasi baru seperti
Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lain-lain. Desloratadine memiliki
efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi gejala rinitis yang
disertai dengan asma. Levocetirizine yang diberikan selama 6 bulan terbukti
mengurangi gejala rinitis alergi persisten dan meningkatkan kualitas hidup pasien
rinitis alergi dengan asma.
2) Dekongestan oral (fenilefrin) atau topikal (oksimetasolin)
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena
efeknya pada reseptor-reseptor α-adrenergik. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10
menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam. Pemakaian topikal sangat efektif
menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan
rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari. Kombinasi antihistamin dan

7
dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
3) Kortikosteroid oral (deksametason) atau topikal (beklometason dipropionat)
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo
steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada
penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya
dengan dose response. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi gejala
rinitis alergi terutama dalam episode akut.19 Efek samping sistemik dari
pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral
dapat berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma, cutaneous striae.

Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-Strauss.


Pemberian kortikosteroid sistemik dengan pengawasan diberikan pada kasus asma
yang disertai tuberkulosis, infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus
peptikus.12 Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi
seperti Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone
dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek
antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya,
serta memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan
dapat memicu tumbuhnya jamur.
4) Antikolinergik (ipratropium bromide)
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Ipratropium
bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat mengurangi
hidung tersumbat atau bersin.
c. Imunoterapi
1) Imunoterapi spesifik alergen yang digunakan bila upaya penghindaran
alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis
alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi
subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.

8
2) Antibodi monoklonal anti-IgE
d. Pembedahan

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Omegtamin

Nama Obat : Omegtamin

Komposisi : Dexamethasone 0,5 mg; dexchlorpheniramine maleat 2

mg

Indikasi : Reaksi alergi yang memberi respon terhadap

kortikoseteroid seperti urtikaria, rinitis alergi, dermatitis

akut atau kronik, hay fever, konjungtivitis alergi

Dosis : Dewasa 1 tablet; Anak 6-12 tahun ¼ tablet; diberikan 3-4

kali sehari (sesudah makan)

Kontraindikasi : Tukak peptik, infeksi jamur

Perhatian : Gagal jantung, hipertensi, glaukaoma, miastenia

Efek Samping : Mengantuk, mulut kering, keluhan lambung, retensi air

dan elektrolit

Interaksi Obat : Meningkatkan efek sedasi obat hipnotik sedatif,

meningkatkan efek hipokalemia dengan diuretik tertentu

(MIMS edisi 14. 2013. Hlm: 448)

Kortikosteroid saat ini sudah dianggap sebagai obat ”dewa” karena hampir
beberapa penyakit dapat diobati dengan obat ini, seperti suatu anafilaktik,
serangan asma yang berat dan beberapa penyakit lainnya. Preparat
kortikosteroid terus dikembangkan dan dimodifikasi. Telah terdapat pula sintesa
baru dari preparat ini sehingga kortikosteroid tidak lagi dianggap sebagai obat
baru salah satunya adalah deksametason.

10
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi
dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine. Deksametason
Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih
sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Penggunaan
deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi
arthritis rheumatoid, systemic lupus erithematosus, rhinitis alergica, asma,
leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu
deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing.
Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia,
osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain.

Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan suatu


fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada
kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses
patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi dipertimbangkan
untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons
inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses
penyakit tersebut (Katzung, 2002).

Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan


dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan (
Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid
terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan imunsupresiv,
bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan. Universitas
Sumatera Utara Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan
melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi
dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan
ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid ( Suherman, 2007).

11
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling penting
adalah kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis dan
untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan penghambatan
limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase
A2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek,
2001).

B. Loratadine

Nama Obat : Loratadine

Komposisi : Loratadine 5 mg

Indikasi : Mengurangi gejala-gejala yang berkaitan dengan rinitis

alergi musiman dan perenial, seperti bersin-bersin, hidung

berair serta gatal, dan rasa panas terbakar pada mata,

gejala dan tanda urtikaria kronik dan penyakit alergi lain

pada kulit

Dosis : Dewasa dan anak lebih dari 12 tahun 1 tablet/hari; anak 1-

12 tahun dengan BB lebih dari 30 kg 10 mg/hari; BB

kurang dari 30 kg 5 mg/hari, semua dosis diberikan 1 kali

sehari (sesudah makan)

Perhatian : Penggunaan obat jangka lama lebih dari 14 hari pada anak

usia 2-12 tahun, gangguan hati, anak kurang dari 2 tahun,

hamil dan laktasia

Efek Samping : Rasa lelah, sakit kepala, mulut kering, GI, gelisah,

hiperkinesia (pada anak), kekeringan pada mulut dan

hidung

Interaksi Obat : Alkohol, obat lain yang diketahui dapat menghambat

12
metabolisme hepatik (MIMS edisi 14. 2013. Hlm: 448)

Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan RA sampai


sekarang. Cara kerja obat ini yaitu menghambat efek mediator histamin pada
tingkat reseptor histamin dan prostaglandin dari sel mast dan basofil. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (sedatif) dan
generasi 2 (non sedatif). Antihistamin non sedatif lebih banyak digunakan dalam
terapi RA karena memperbaiki gangguan fungsional dan tidak mengakibatkan
mengantuk sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Loratadin merupakan
antihistamin generasi kedua, derivat klor dari azatadin, tanpa efek sedatif maupun
antikolinergis pada dosis biasa. Efek anti alerginya berdasarkan perannya sebagai
antagonis reseptor H1 dan daya menghambat sintesis berbagai mediator inflamasi.

Menurut ARIA WHO antihistamin direkomendasikan pada pengobatan


RA intermiten ringan, intermiten sedang berat dan persisten ringan. Selain itu juga
direkomendasikan farmakoterapi lainnya. Obat pilihan pertama pada RA persisten
sedang berat adalah kortikosteroid intranasal dan antihistamin atau leukotrien.
Sedangkan menurut KODI Alergi dan Imunologi antihistamin oral
direkomendasikan untuk semua tipe RA. Antihistamin efektif mengurangi gejala
bersin, gatal hidung dan pilek, juga mengatasi gejala mata yang sering didapatkan
pada RA. Umumnya antihistamin tidak efektif untuk buntu hidung. Demikian juga
menurut Muntoro, et al. (2007) antihistamin peroral efektif mengatasi semua
gejala RA. Namun efektifitasnya lebih rendah dibanding kortikosteroid intranasal
pada perbaikan gejala buntu hidung.

Fase lambat dari RA ditandai dengan akumulasi lokal dari sel-sel inflamasi
seperti limfosit T, basofil, neutrofil dan eosinofil.Limfosit T mengeluarkan sitokin
seperti IL3, IL4 dan IL5. IL3 akan menstimulasi pematangan sel mastosit. IL4
merangsang sel B untuk memproduksi Ig E dan merangsang peningkatan kadar
ICAM-1 dan VCAM-1 pada endotel pembuluh darah. ICAM-1 dan VCAM-1
akan menyebabkan terkumpulnya eosinofil. IL5 merangsang diferensiasi dan
maturasi, mengaktifkan dan meningkatkan daya hidup eosinofil di jaringan
(Roestiniadi, 1999; Sheikh, 2004). Eosinofil mengeluarkan MBP, ECP, EDN dan
EPO, akibatnya terjadi buntu hidung, hipersekresi hidung dan gangguan

13
pembauan. Sehingga dengan efek loratadin dapat menurunkan eosinofil dan
mediator lainnya maka loratadin juga dapat mengatasi buntu hidung.

14
BAB V
KESIMPULAN

Dari studi kasus yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:


1. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
2. Rhinitis alergi disebabkan sistem imun didalam tubuh salah dalam
menginterpretasi zat alergen yang sebenarnya tidak berbahaya
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam tubuh sehingga timbulah
reaksi hipersensitivitas terhadap zat tersebut.
3. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari
atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 14, 2013. Jakarta: Penerbit Asli
(MIMS Pharmacy Guide). Hlm: 448
Simons, F.E.R. and Simons, K.J., 2002. Clinical pharmacology of H1
antihistamines. In F. Estelle R.S., ed. Histamines and H1 Antihistamines in
Allergic Disease, New York :Marcel Dekker inc, pp 141-70
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2002. Adrenergika dan adrenolitika-Antihistaminika.
Dalam Obat obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efekefek sampingnya,
ed 4. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, hal 454-61,764-79
Setiawati, A. Darmansjah, I. Mulyarjo, Pawarti, D.R. dkk., 2008. The efficacy of
Rhinos SR on nasal resistance and nasal symptoms in patients
withperennial allergic rinitis: a randomized, double blind, placebo
controlled study. Med J Indones 17: 114-26
Irawati, N. Kasakeyan, E. dan Rusmono, N., 2004. Alergi hidung. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi V, ed.
Soepardi EA, Iskandar N, Jakarta. FK UI, hal 101-6.
Katzung GB. Farmakologi dasar dan klinik; penerjemah dan editor: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Ed 8.
Jakarta: Salemba Medika; 2002; 582-90.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Gaya Baru ; 2007; 502 –
13
Kram DJ, Keller KA, editors. Toxicology testing handbook. Basel : Marcel
Dekker AG; 2001. p. 55 – 59
Soetjipto, D. Dan Wardhani, R.S ed., 2007. Guideline penyakit THT di Indonesia.
PERHATI-KL. Jakarta, hal 59

Cauwenberge, P.V. Bachert, C. Passalacqua, G. and Bousquet, J. 2000. Position


paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis.
Allergy55 : 116-34

Muntoro, J. Sastre, J. Jauregui I. Bartra, J. Et al., 2007. Allergic rhinitis: continous


or on demand antihistamine therapy ? J Investig Allergol Clin Immunol.
17 : 21.

16

Anda mungkin juga menyukai