Anda di halaman 1dari 109

SKRIPSI

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KONSTRUKSI KESETARAAN GENDER DALAM FILM EMPU


“Sugar on The Weaver’s Chair”
Karya Harvan Agustriansyah
( Sebuah Analisis Framing Menurut Model Robert Entman )

Oleh
Benyamin O. Baba
1303052087

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
KUPANG
2019
ii
iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya dan pendapat yang

ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh

karena karya tulis ini serta sanksi lainnya sesuai norma yang berlaku di perguruam

tinggi ini.

Kupang, Januari 2020

Benyamin O. Baba

iv
MOTTO

“ Biarlah hatimu memegang perkataan-Ku ” …

v
PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini dipersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing, menjaga, dan menolong dalam

setiap langkah hidup.

Almamater tercinta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa

Cendana Kupang, Khususnya Jurusan Ilmu Komunikasi.

Ayahanda Yacob Albert Baba dan Martha Baba Tungga (Alm.)

Kakak Yohanes A. Baba, Estyn E. Baba, Tutyn C. Baba, dan adik Alexander Baba

Semua sahabat dan kenalan yang senantiasa memberikan motivasi dalam

penyelesaian skripsi ini

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang berlimpah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan penyertaan-Nya yang diberikan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul : Konstruksi
Kesetaraan Gender Dalam Film Empu “Sugar On The Weaver’s Chair ”
Karya Harvan Agustriansyah (Sebuah Analisis Framing Menurut Model
Robert Entman). ini dengan baik. Adapun tujuan dari penulisan hasil penelitian ini
adalah untuk mempelajari cara pembuatan skripsi pada Universitas Nusa Cendana
dan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.
Penulis menyadari betapa besarnya dukungan dari sesama yang membimbing
dan membantu penulis selama penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan limpah terima kasih yang setulus-tulusnya dan rasa
hormat yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor universitas Nusa Cendana
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana
3. Ibu Dr. Mas’amah, S.Pd, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
4. Bapak Dr. Yermia Djefri Manafe, S.Sos, M.Si selaku Pembimbing I dan
Bapak Yohanes K. N. Liliweri, S.Sn, M.Sn selaku Pembimbing II, yang
telah memberikan banyak sekali masukan yang sangat berharga dan
kesabaran dalam membimbing saya.
5. Ibu Ferly Tanggu Hana, S.Si, M.Comn selaku dosen wali yang telah
memberikan motivasi, nasihat, dorongan, semangat, serta arahan sejak
awal hingga akhir perkuliahan.
6. Almarhum Bapak Drs. Umrah Kamahi, M.Si selaku Mantan Ketua Prodi
Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang yang telah
memberikan pengetahuan, nasihat, semangat dan dorongan kepada
penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.

vii
7. Segenap staf Dosen baik jurusan Ilmu Komunikasi dan antar Jurusan
juga Fakultas lainnya yang dengan sabar telah membagi ilmu, mendidik,
dan membantu penulis hingga sampai pada saat ini.
8. Kepada Bapak dan Almarhumah Mama yang sudah membesarkan dan
menyekolahkan penulis hingga sampai dengan saat ini.
9. Kepada ke 4 saudara/i penulis yang terus mendukung penulis sampai
dengan saat ini.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan JIKOM ROCK 2013 yang tak
dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan cinta, dorongan,
semangat serta sumbangsih dalam bertukar pikiran saat menyelesaikan
tulisan penelitian ini.
11. Kepada semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam membantu penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Atas bantuan dan
kerjasama yang baik dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih .

Kupang, Januari 2020

Benyamin O. Baba

viii
ABSTRAK

BENYAMIN O. BABA (1303052087) “Konstruksi Kesetaraan Gender dalam


Film Empu “Sugar on The Weaver’s Chair” karya Harvan Agustriyansyah”.
Dibimbing oleh : Dr. Yeremia Djeffri Manafe, S.Sos, M.Si dan Yohanes K. N.
Liliweri, S. Sn., M.Sn. terdiri dari 78 halaman, referensi 23 buku, referensi
ilmiah 3, dan 7 alamat situs internet.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan mendeskripsikan konstruksi
kesetaraan gender yang terkandung dalam film Empu “Sugar on The Weaver’s
Chair”. Tipe penelitian ini ialah deskriptif-kualitatif. Film ini merupakan film yang
diangkat dari kisah nyata tentang kekuatan perempuan tanpa menggeser posisi laki-
laki dalam kehidupan sosial. Ada tiga (3) tokoh utama dalam film ini yaitu:
Sutringah di Banyumas, Yati di Klaten, dan Maria di Kefamenanu. Film ini
dianalisis menggunakan metode analisis framing menurut Robert N. Entman
dengan menggunakan 4 perangkat framing Entman yaitu, Pendefinisan masalah
dalam film Empu berasal dari tradisi yang masih berlaku dalam lingkungan sosial
masyarakat. Dimana memperkirakan masalah atau sumber masalah muncul dari
pola pikir dan sikap laki-laki dan orang tua sebagai pihak yang tidak peka terhadap
kemampuan dan posisi perempuan. Sehingga Keputusan harus dibuat oleh
perempuan itu sendiri untuk memaksimalkan penerimaan dan kesempatan dari
lingkungan, dengan Menekankan Penyelesaian pada upaya membangun
komunikasi yang efektif dan, di lain sisi diberikan kesempatan untuk membuktikan
diri. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam film Empu “Sugar on The Weaver’s
Chair terdapat isu kesetaraan gender yang ditonjolkan pada segmen realitas
tertentu, didasarkan pada hasil analisis Framing Entman dengan menelaah scene-
scene yang dipilih peneliti.

Kata kunci : Framing, Film Empu, Robert N. Entman, Kesetaraan Gender,


Konstruksi Realitas

ix
ABSTRACT
Benyamin O. Baba. 1303052087 The construction of gender equality in
the film Empu "Sugar in the chair of the weaver" by Harvan Agustriyansyah
Counselor: Dr. Yermia Djefri Manafe,S.Sos, M.Si, and Yohanes K. N. Liliweri,
S.Sn, M.Sn. It consists of 78 pages of contents, 23 reference books, 3 scientific
papers and 7 internet sites.
The purpose of this study is to identify and describe the construction of gender
equality contained in the Empu film "Sugar on the Chair of Weaver's Chair". This
type of research is descriptive-qualitative. This film is a film based on a true story
of women's empowerment without shifting men's position in social life. There are
three (3) main characters in this film, namely: Sutringah in Banyumas, Yati in
Claten, and Maria in Kefamenanu. This film was analyzed using the framework
analysis method according to Robert N. Entman to see the gender equality
construction contained in the film. Using the 4 Entman Define Problems framework
sets, Empu's film comes from traditions that continue to apply in the community's
social environment. When the causes of diagnosis arise from the attitudes and
attitudes of men and parents to those who are not sensitive to women's abilities and
positions. Make the moral judgment so that women themselves have to make
decisions to maximize acceptance and opportunities from the environment, the
Therapy Recommendation by building effective communication and, on the other
hand, the opportunity to prove themselves. themselves. The results showed that in
the film Empu "Sugar on Weaver's chair, there were gender equality issues
highlighted in some parts of reality, based on the results of Framing Entman's
analysis examining the scenes selected by the researchers.

Keywords: Framing, Empu Film, Robert N. Entman, Gender Equality, Real


Construction

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
PERYATAAN ............................................................................................. iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ....................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
1.4. Manfaat penelitian ...................................................................... 6
1.5. Sistematika Penulisan ................................................................. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR ......... 7


2.1. Kajian Empirik ........................................................................... 7
2.2. Kajian Konseptual .................................................................... 11
2.2.1. Pengertian Film ............................................................... 11
2.2.2. Genre Film ...................................................................... 12
2.2.3. Film Sebagai Konstruksi Realitas ................................... 17
2.2.4. Framing Dalam Film ....................................................... 22
2.2.5. Analisis Framing Robert N. Entman ............................... 23
2.2.6. Kesetaraan Gender .......................................................... 28
2.2.7. Kerangka Berpikir ........................................................... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................... 31


3.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 31
3.2 Objek Dan Waktu Penelitian .................................................... 32
3.3 Jenis Dan Sumber Data ............................................................ 32
3.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 33
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................ 33

BAB IV. HASIL PEMBAHASAN ........................................................... 35


4.1. Gambaran Umum Film Empu .................................................. 35
4.1.1. Tentang Film Empu ......................................................... 35

xi
4.1.2. Filmografi Harvan Agustria ............................................ 35
4.1.3. Deskripsi Produksi Film Empu ....................................... 37
4.1.4. Sinopsis Film Empu ........................................................ 42
4.2. Hasil Penelitian ........................................................................ 44
4.2.1. Temuan Data Dan Deskripsi Hasil Penelitian ............... 44
4.3. Analisis Framing Tentang Konstruksi Kesetaraan
Gender Pada film Empu ............................................................ 70
4.3.1. Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film
Empu – Cerita Sutringah ............................................... 70
4.3.1.1. Define Problems .................................................. 71
4.3.1.2. Diagnose Causes ................................................. 73
4.3.1.3. Make Moral Judgment ........................................ 73
4.3.1.4. Treatment Recommendation ............................... 74
4.3.2. Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film
Empu – Cerita Maria ..................................................... 75
4.3.2.1. Define Problem ................................................... 76
4.3.2.2. Diagnose Causes ................................................. 78
4.3.2.3. Make Moral Judgement ....................................... 78
4.3.2.4. Treatment Recommendation ............................... 79
4.3.3. Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film
Empu – Cerita Yati ........................................................ 80
4.3.3.1. Define Problem ................................................... 81
4.3.3.2. Diagnose Causes ................................................. 85
4.3.3.3.Make Moral Judfment .......................................... 85
4.3.3.4. Treatment Recommendation ............................... 86
4.4. Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film Empu ..................... 87

BAB IV. PENUTUP


5.1 Kesimpulan ............................................................................... 90
5.2 Saran ........................................................................................ 91
5.1.1. Saran Akademis ............................................................. 91
5.1.2. Saran Praktis .................................................................. 91

DAFTAR PUATAKA ............................................................................... 92

xii
DAFTAR TABEL

TABEL 1 PERBANDINGAN PENELITIAN TERDAHULU DAN


PENELITIAN PENULIS ............................................................ 9
TABEL 2 PEMBAHASAN ANALISIS FRAMING ENTMAN ............... 26
TABEL 3 PERANGKAT FRAMING ENTMAN ...................................... 27
TABEL 4 HASIL AKHIR ANALISIS FRAMING ENTMAN ................. 34
TABEL 5 FILMOGRAPHY HARVAN AGUSTRIANSYAH .................. 37
TABEL 6 DATA NAMA TOKOH PEMAIN PENDUKUNG .................. 40
TABEL 7 DATA SCENE 2 ........................................................................... 44
TABEL 8 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 2 .................................. 45
TABEL 9 DATA SCENE 3 ........................................................................... 46
TABEL 10 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 3 ................................ 47
TABEL 11 DATA SCENE 8 ......................................................................... 48
TABEL 12 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 8 ................................ 49
TABEL 13 DATA SCENE 16 ....................................................................... 50
TABEL 14 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 16 .............................. 51
TABEL 15 DATA SCENE 25 ....................................................................... 52
TABEL 16 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 25 .............................. 53
TABEL 17 DATA SCENE 27 ....................................................................... 54
TABEL 18 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 27 .............................. 55
TABEL 19 DATA SCENE 30 ....................................................................... 56
TABEL 20 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 30 .............................. 57
TABEL 21 DATA SCENE 41 ....................................................................... 58
TABEL 22 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 41 .............................. 59
TABEL 23 DATA SCENE 42 ....................................................................... 60
TABEL 24 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 42 .............................. 61
TABEL 25 DATA SCENE 45 ....................................................................... 62

xiii
TABEL 26 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 45 .............................. 63
TABEL 27 DATA SCENE 50 ....................................................................... 64
TABEL 28 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 50 .............................. 65
TABEL 29 DATA SCECE 55 ....................................................................... 66
TABEL 30 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 55 .............................. 67
TABEL 31 DATA SCENE 56 ....................................................................... 68
TABEL 32 ANALISIS FRAMING DATA SCENE 56 .............................. 69
TABEL 33 FRAME CERITA SUTRINGAH DARI DESA CILONGOK-
BAYUMAS ............................................................................... 70
TABEL 34 FRAME CERITA MARIA DARI DESA PANTAE – TTU .. 75
TABEL 35 FRAME CERITA YATI DARI KLATEN – JAWA TENGAH
.................................................................................................... 80
TABEL 36 HASIL GABUNGAN DATA TIAP CERITA DALAM FILM
EMPU ........................................................................................ 88

xiv
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 POSTER RESMI FILM EMPU ............................................ 2


GAMBAR 2 KERANGKA BERPIKIR ...................................................... 30
GAMBAR 3 PROFILE SUTRADARA ....................................................... 35
GAMBAR 4 PROFILE ANNISA HERTAMI ............................................ 38
GAMBAR 5 PROFILE PUTRY MORUK ................................................. 38
GAMBAR 6 PROFILE TIARA ARIANGGI .............................................. 39

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Film merupakan salah satu media hiburan yang paling diminati oleh

masyarakat dari berbagai golongan usia. Sebabnya dalam film disajikan

banyak cerita, mulai cerita anak – anak sampai cerita yang khusus dikonsumsi

oleh orang dewasa. Film juga adalah sebagai salah satu media massa, dimana

lewat film informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam, sebab

sifatnya yang audio visual. Dalam film juga terkandung fungsi informatif,

edukatif dan persuasif. Fungsi-fungsi ini akan berjalan dengan baik, karena

film memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan media

massa lainnya. (Trianton, 2013:21). Oleh karenanya selain sebagai sarana

hiburan dan hobi, film juga merupakan saluran berbagai macam gagasan, ide,

konsep yang memiliki dampaknya sendiri bagi penontonnya.

Dari kekhasan media, film memiliki strategi komunikasi tersendiri.

Komunikasi yang tercipta melalui media film hanya berjalan satu arah kepada

komunikan yaitu penonton. Untuk menyampaikan pesan film, maka

dibutuhkan media. Oleh karena itu dalam bahasa film, terdapat tiga (3) faktor

utama yang mendasarinya yaitu: gambar/visual, Suara/Audio dan durasi

waktu. Oleh karena itu, pesan yang disiarkan melalui film harus lebih dahulu

disusun dengan struktur logika, bahasa visual dan verbal yang sederhana,

sehingga mudah dicerna ketika pesan itu diterima oleh penonton. Ini berarti

bahwa kemasan dan alur cerita yang menarik dari sebuah film adalah hal

1
penting yang harus dipersiapkan secara matang, sehingga dapat menimbulkan

interest audience agar mengikuti cerita dalam film hingga akhir.

Pada awal kemunculannya, film digunakan sebagai alat propaganda

dengan materi fiksi dan dokumenter. Kemudian berkembang menjadi olahan

bisnis dengan bermacam-macam genre, seperti film action/laga,

comedy/humor, romance/drama, mistery/horror. Film-film tersebut muncul

karena didasari dengan keinginan serta selera konsumen yang berbeda-beda,

sehingga produksi film seringkali mengikuti selera pasar.

Gambar.1
Poster Resmi Film Empu

Selain, sebagai media penyebar ideologi bahkan propaganda isu – isu

serius pun tetap masih menjadi materi cerita yang menarik untuk difilmkan,

seperti isu gender. Gender sendiri adalah perbedaan antara laki – laki dan

2
perempuan secara sosial. Karena perbedaan yang kadang dianggap

menimbulkan konflik, banyak kalangan yang beranggapan bahwa harus ada

kesetaraan antara perempuan dan laki – laki. Terlebih di Indonesia, yang

budaya patriarkinya masih sangat kuat.

Film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair merupakan karya Harvan

Agustriyansyah yang diambil berdasarkan kisah nyata. Film ini berkisah

tentang kekuatan perempuan tanpa menggeser posisi laki-laki dalam

kehidupan sosial. Ada tiga (3) tokoh utama dalam film ini yaitu: Sutringah di

Banyumas, Yati di Klaten, dan Maria di Kefamenanu.

Sutringah (Annisa Hertami) harus menjadi penopang keluarga ketika

suaminya, penderes nira kelapa, lumpuh setelah jatuh dari atas pohon kelapa.

Pilihannya adalah bekerja untuk kelangsungan hidup atau menuruti kata

suami. Sedangkan Yati (Tiara Arianggi), seorang perempuan difabel,

berjuang membuktikan kemampuan dirinya dalam bidang tenun lurik di

tengah cibiran dan cemooh orang di sekelilingnya, termasuk dari ayahnya

sendiri. Sementara itu, Maria (Putry Moruk) yang bersama kumpulan janda

lain bertekad melestarikan tenun Biboki melalui regenerasi penenun di tengah

sengketa lahan rumah tenun tempat mereka berkreasi.

Ketiganya memiliki tantangan dalam kesetaraan, hak dan tradisi, dan

ingin mengubahnya menjadi sebuah kekuatan bagi hidup mereka. Dengan

cara yang sederhana tanpa harus merendahkan pihak lain, Sutringah, Yati dan

Maria mampu menemukan jalan keluarnya.

3
Tiga kisah perempuan yang dikisahkan dalam film ini, sangat banyak

terjadi di Indonesia khususnya di daerah. Oleh karenannya, cerita-cerita yang

dirangkum dalam film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair, dibuat

berdasarkan temuan GEF (Global Environment Facility) dan SGP (The GEF

Small Grants Programme) Indonesia bersama Terasmitra dalam

perjalanannya mendampingi wirausaha sosial berbasis komunitas

(https://ayobandung.com/read/2019/09/30/65304/empu-kisah-perempuan-

tanpa-harus-menggeser-posisi-laki-laki).

Film ini juga memperlihatkan bahwa perempuan sebagai sosok yang

lembut juga memiliki peranan penting meski dalam keseharian dianggap

sepele. Bagaimana cara mereka menempatkan diri, berperilaku, bertindak

dalam menghadapi beragam situasi dijelaskan dengan sederhana dan tegas.

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat alasan peneliti memilih film Empu

sebagai objek kajian peneliti dan perempuan sebagai sasarannya. Dan untuk

menganalisis film ini, peneliti menggunakan pendekatan framing dari Robert

N. Entman yang lebih fokus kepada kesetaraan gender dengan melihat

konstruksi gender yang dibangun dalam film.

Film adalah karya sastra yang sudah divisualisasikan, sehingga sebuah

film dapat juga dijadikan objek penelitian, baik kisah nyata maupun filmnya

langsung. Bahkan, sinergitas pemisualisasian kisah nyata ke film pun, baik

melalui kajian script atau aspek visual dan teknis produksinya, termasuk

langsung mengkomparasikan antara kisah nyata dengan filmnya, dapat

dijadikan objek penelitian. Berkaitan dengan kisah perempuan yang dialami

4
oleh beberapa tokoh didalamnya, peneliti tertarik membahas Konstruksi

Kesetaraan Gender Dalam Film Empu “Sugar on the Weaver’s Chair”

Karya Harvan Agustriansyah (Sebuah Analisis Framing Menurut Model

Robert Entman).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka, rumusan masalah utama

dalam penelitian ini adalah bagaimana Kontsruksi kesetaraan gender dalam

film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair, karya Harvan Agustriyansyah?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Film Empu -

Sugar on The Weaver’s Chair membingkai kesetaraan gender dalam

kehidupan sosial perempuan di Indonesia.

1) Bagaimana Define problems (Pendefinisian masalah) gender dalam film

Empu?

2) Bagaimana Diagnose causes (memperkirakan masalah atau sumber

masalah) kesetaraan gender dalam film Empu?

3) Bagaimana Make moral judgement (Membuat keputusan moral) tentang

kesetaraan gender dalam film Empu?

4) Bagaimana Treatment recommendation (Menekankan penyelesaian)

masalah kesetaraan gender dalam film Empu?

5
1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat menjadi rujukan, ilmu pengetahuan serta menjadi

acuan kajian studi ilmu komunikasi khusunya yang terkait dengan analisis

framing dalam film.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat berfungsi sebagai penambah wawasan serta ilmu

pengetahuan tentang ketidakadilan gender dalam masyarakat.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam rangka supaya penulisan skripsi ini dapat tersusun secara

sistematis sehingga penjabaran yang ada dapat dipahami dengan baik, maka

penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, dan masing-masing bab

terbagi kedalam beberapa sub bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan penjelasan yang bersifat umum, seperti latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
telaah pustaka, dan lain-lain.
BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan tentang pengertian komunikasi, pengertian film,
Kesetaraan gender, konstruksi realitas sosial, dan analisis framing Robert
N. Entman.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan, sumber
data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi tentang uraian objek penelitian, seperti sinopsis film “Empu
- Sugar on The Weaver’s Chair” dan temuan data tentang Konstruksi
gender. Termasuk isi pokok skripsi, yang berisi tentang analisis framing
konstruksi kesetaraan gender yang terdapat dalam film “Empu - Sugar on
The Weaver’s Chair”
BAB V : PENUTUP
Bab yang paling akhir dari pembahasan skripsi ini yang beris kesimpulan
sebagai jawaban dalam pokok permasalahan dan saran-saran.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1 Kajian Empirik

Kajian empirik berisi paparan mengenai penelitian – penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan yang diteliti oleh peneliti. Penelitian –

penelitian tersebut digunakan untuk menjadi referensi dasar penelitian ini dan

menjadikannya sebagai acuan yang diharapkan mampu mendukung peneliti

untuk kelancaran penelitian. Penelitian – penelitian tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Shindy Ayu Nur S, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Tahun 2015, dengan

judul Konstruksi Dramaturgi Tokoh Soekarno Dalam Film (Analisis

Framing pada Film Soekarno Karya Hanung Bramantyo).

Film ini menjadi kontroversi terkait dengan sosok Soekarno yang

dianggap berbeda dari sosok aslinya oleh masyarakat, dan Penelitian ini

menggunakan pendekatan konstrusivisme sebagai dasar pemikirannya

serta menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe interpretative untuk

mengetahui bagaimana Hanung sebagai sutradara mengkonstruksi tokoh

Soekarno dengan menggunakan pendekatan framing Gamson dan

Modigliani. Hasil Penelitian ini menjelaskan bahwa apa yang dihasilkan

media merupakan hasil kostruksi individu. Setiap individu akan

mengkonstruksi suatu hal bedasarkan pengetahuan yang mereka miliki.

7
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Shindy Ayu Nur S. terletak

pada objek penelitian yaitu media yang akan dianalisis, dimana penelitian

sebelumnya menggunakan film “Soekarno“, sedangkan penelitian ini

menggunakan film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair.

Sedangkan persamaannya adalah, sama-sama meneliti film dengan

menggunakan analisis framing.

2. Astrid R. John Messakh, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Nusa Cendana, Tahun 2017 dengan judul

Kesetaraan Gender dalam Karya Audio Visual ( Analisis Semiotika

pada Film Certain Woman, Karya Kelly Reichardth).

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Jhon Fiske untuk

mengetahui bagaimana bagaimana representasi kesetaraan gender dalam

film Certain Women. Hasil Penelitian ini menjelaskan bahwa kesetaraan

gender direpresentasikan oleh penampilan, lingkungan, perilaku dan

teknis produksi film.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Astrid R. John Messakh

terletak pada objek penelitian yaitu media yang akan dianalisis, diamana

penelitian sebelumnyua menggunakan film “Certain Women “,

sedangkan objek penelitian ini menggunakan film Empu - Sugar on The

Weaver’s Chair.

Sementara itu persamaannya adalah, sama-sama meneliti film tentang

representasi kesetaraan gender.

8
Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitian Penulis

Peneliti Metode
No Judul Hasil Analisis Perbedaan Kontribusi
(Tahun) Analisis
1 Shindy Konstruksi Analisis Sosok Soekarno Objek penelitian Sebagai rujukan
Ayu Nur Dramaturgi Tokoh Kualitatif dikonstruksikan sebagai sebelumnya penelitian
S Soekarno Dalam Framing manusia biasa, bukanlah menggunakan karena
Film (Analisis Gamson dan dewa. Sosoknya sebagai film “Soekarno“, memiliki
Framing pada Film Modigliani. kolaborator hanyalah sedangkan kesamaan
Soekarno Karya sebuah strategi yang penelitian ini dalam pemilihan
Hanung Bramantyo) dipilihnya untuk meraih menggunakan metode analisis
kemerdekaan Indonesia. Ia film Empu -
juga merupakan pemimpin Sugar on The
yang dicintai rakyat, Weaver’s Chair.
walaupun ia termasuk
laki– laki yang lemah
terhadap wanita.
2 Astrid R. Kesetaraan Analisis Kesetaraan gender Objek penelitian Sebagai
John Gender dalam Semiotik Jhon direpresentasikan oleh sebelumnya referensi
Messakh, Karya Audio Fiske penampilan, lingkungan, menggunakan penulis dalam
Visual ( Analisis perilaku dan teknis film Certain mencari literatur
Semiotika pada produksi film. Women, mengenai
Film Certain sedangkan objek kesetaraan
Woman, Karya penelitian ini gender.
Kelly Reichardth). menggunakan
film Empu -
Sugar on The
Weaver’s Chair.
3 Benyamin Konstruksi Analisis Konstruksi gender Objek penelitian -
O. Baba Kesetaraan Framing dikonstruksikan dalam ini menggunakan
9
Gender Dalam Robert Entman realitas tertentu dalam flm film Empu -
Film Empu “Sugar Empu, dengan Sugar on The
On The Weaver’s pendefinisian masalah Weaver’s Chair.
Chair ” Karya utama berasal dari tradisi
Harvan yang masih berlaku dalam
Agustriansyah lingkungan sosial
(Sebuah Analisis masyarakat; dimana
Framing Menurut sumber masalah muncul
Model Robert dari pola pikir dan sikap
Entman) laki-laki dan orang tua
sebagai pihak yang tidak
peka terhadap kemampuan
dan posisi perempuan.
Sehingga Keputusan harus
dibuat oleh perempuan itu
sendiri untuk
memaksimalkan
penerimaan dan
kesempatan dari
lingkungan, dengan
Menekankan Penyelesaian
pada upaya membangun
komunikasi yang efektif
dan, di lain sisi diberikan
kesempatan untuk
membuktikan diri.

10
2.2 Kajian Konseptual

2.2.1 Pengertian Film

Menurut Dr. Phil. Astrid S. Susanto, esensi film adalah gerakan atau

lebih tepat lagi gambar yang bergerak. Dalam bahasa Indonesia, dahulu

dikenal istilah gambar hidup, dan memang gerakan itulah yang merupakan

unsur pemberi “hidup” kepada suatu gambar (1982:58). Jadi film adalah

gambar yang bergerak atau lebih tepatnya kumpulan dari beberapa gambar

yang bergerak. Hafied Cangara mendefinisikan dalam pengertian sempit

adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang

lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di televisi. Di Indonesia,

pengertian film dapat dirujuk dari pendefinisian untuk tujuan hukum,

sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 8 tahun 1992 tentang

Perfilman.

1) Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media

komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas

sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan

video, dan atau atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam

segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses

elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpasuara, yang dapat

dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik,

eletronik, dan/atau lainnya.

2) Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan

pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran,

11
pertunjukan, dan/atau penayangan film. (UU no 8 tahun 1992 tentang

15 Perfilman, pasal 1). Untuk meningkatkan kesan dan dampak dari

film, suatu film diiringi dengan suara yang dapat berupa dialog atau

musik. Disamping itu, warna juga mempertingkat nilai “kenyataan”

pada film, sehingga unsur “sungguh-sungguh terjadi” dan “sedang

dialami oleh khalayak” pada saat film diputar, makin terpenuhi

(Susanto, 1982:58). Atmosfer yang kuat ini dapat mempengaruhi isi

kesadaran penonton sedemikian rupa, sehingga batas realitas film dan

realitas hidup tidak lagi jelas (Van Zoest, 1993:112). Selain itu,

karakteristik film yang dianggap memiliki jangkauan, realisme,

pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat, menjadikan film

sebagai medium yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan.

Dari segi durasi waktu, film dibagi menjadi dua yaitu Film Pendek,

biasanya di bawah 60 menit, dan Film Panjang dengan durasi lebih dari 60

menit, lazimnya berdurasi 90 – 100 menit. Film yang diputar dibioskop

umumnya termasuk dalam kelompok ini, termasuk film Empu - Sugar on

The Weaver’s Chair.

2.2.2 Genre Film

Sumarno dalam Liliweri (2014) menggolongkan film ke dalam dua

pembagian dasar, yaitu film cerita dan non-cerita. Pendapat lain

menggolongkan menjadi film fiksi dan non-fiksi.

a. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang

dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film

12
cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan

harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor

iklan tertentu.

b. Film non-cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai

subjeknya, yaitu merekam kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan.

Film cerita atau fiksi dan non-fiksi berbeda dalam segi perspektif

namun tetap mempunyai tujuan. Adapun film dibagi sesuai genre atau

aliran. Genre atau aliran merupakan kategori film dari segi cerita. Dalam

perkembangannya, kategori genre film juga mempunyai turunan yang biasa

disebut sub-genre dan hyrbrid-genre. Keduanya merupakan pencampuran

antar genre sehingga menghasilkan film dengan tema baru atau campuran

atau bisa juga genre baru.

Genre Film dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Film Horror

Film jenis ini biasanya bercerita tentang hal – hal mistis, supranatural,

berhubungan dengan kematian, atau hal – hal di luar nalar yang lain.

Film horror ini memang dibuat menyeramkan agar penonton ketakutan

dan merasa ngeri.

2) Film Drama

Film dengan kategori ini termasuk lebih ringan dibandingkan dengan

film horror. Umumnya bercerita tentang suatu konflik kehidupan.

Macam – macam film drama bisa kita kategorikan sesuai dengan tema

atau ide ceritanya.

13
3) Film Romantis

Film yang berkisah tentang konflik percintaan antar manusia.

4) Film Drama Keluarga

Film ini umumnya memiliki kisah yang cukup ringan, ide cerita dan

konfliknya mudah diselesaikan. Film jenis ini juga cocok untuk

ditonton anak kecil.

5) Film Kolosal

Kolosal sendiri berarti luar biasa besar. Film jenis ini umumnya

diproduksi dengan dana yang sangat banyak dan melibatkan banyak

sekali pemain, mulai dari pemeran utama sampai figuran. Biasanya,

film kolosal hampir selalu bertema sejarah atau zaman kuno yang

menampilkan adegan peperangan besar – besaran.

6) Film Thriller

Tak sedikit yang mengkategorikan film thriller sebagai film horror, hal

ini mungkin dikarenakan film thriller sama – sama membuat jantung

berdebar seperti halnya film horror. Bedanya, film thriller tidak

berkisah tentang sesuatu yang mistik atau supranatural yang menjadi

ciri khas film horror. Film thriller sendiri dapat diartikan sebagai film

yang mendebarkan. Macam – macam film thriller yang banyak beredar

biasanya berkisah tentang petualangan hidup seorang atau pengalaman

buruk tertentu yang kadang berkaitan dengan pembunuhan.

7) Film Fantasi

14
Tema atau konflik dari film jenis ini tak terlalu berbeda dengan jenis

film yang lain. Yang paling membedakan film fantasi dengan film lain

adalah setting atau latar belakang serta karakter tokoh unik, yang tidak

ada di dunia nyata. Setting waktu film fantasi biasanya masa lampau

atau masa depan, tapi ada juga yang bersetting masa sekarang.

8) Film Komedi

Sama seperti film fantasi, inti film komedi bisa sama dengan jenis film

lain. Yang berbeda adalah adanya unsur komedi atau kelucuan yang

bisa membuat penonton tertawa.

9) Film Misteri

Film misteri adalah film yang mengandung unsur teka – teki. Film jenis

ini cukup banyak peminatnya karena alur film yang tidak mudah

ditebak. Para penonton pun dipastikan betah mengikuti cerita karena

jawaban teka – teki akan disuguhkan di akhir film.

10) Film Action/ Laga

Seperti namanya, film ini mengandung aksi – aksi yang menegangkan.

Biasanya ada banyak adegan perkelahian, saling kejar – kejaran, atau

aksi menggunakan senjata api.

11) Sci – Fi (Science Fiction)

Sebenarnya Sci-Fi mencakup tema – tema yang luas dan mempunyai

subgenre–subgenre yang mengakibatkan sulit untuk didefinisikan

secara jelas. Sci-Fi sendiri adalah salah satu genre dari cerita fiksi

(fiction) yang mempunyai ciri khusus yaitu elemen imajinasinya

15
berkaitan erat dan mempunyai kemungkinan untuk dijelaskan

menggunakan science atau kemajuan teknologi yang berdasarkan pada

hukum alam yang dituangkan pada postulat – postulat science.

12) Film Animasi/ Kartun

Film kartun dalam sinematografi dikategorikan sebagai bagian yang

integral film yang memiliki ciri dan bentuk khusus. Film kartun dalam

sinematografi adalah film yang pada awalnya dibuat dari tangan dan

berupa ilustrasi di mana semua gambarnya saling berkesinambungan.

13) Film Dokumenter

Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat

untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter

tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan

propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film

dokumenter tetap berpijak pada hal – hal senyata mungkin.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa genre mempunyai ‘turunan’

yaitu sub genre dan hybrid genre. Sub – genre yang dikenal antara lain

adalah biopics (drama mengenai biografi seseorang); chick – flicks (film

mengenai perempuan dengan sentuhan romatis ataupun komedi);

courtroom dramas; detective and mystery; disaster; fantasy; film noir

(salah satu cabang film crime/gangster); guy film (film yang ‘macho’);

melodramas; road film; sport; superheroes (masuk pada kategori sci-fi

dan atau action); supernatural; thriller/ suspense dan zombie film yang

masuk dalam kategori film horror.

16
2.2.3 Film Sebagai Konstruksi Realitas

Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil

ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial di sekelilingnya.

Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmel dalam

Bungin (2006: 201), bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar

individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri

sendiri dan hukum yang menguasainya.

Konstruksi realitas sosial dipahami bahwa dunia sosial adalah produk

manusia. Ia adalah konstruksi manusia itu sendiri dan bukan merupakan

sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa melalui proses. Konstruksi sosial atas

realitas menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya,

yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang

dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Film sebagai media yang

mengkonstruksi realitas, mewakili realitas kelompok tertentu baik khayalan

maupun realitas dalam arti sebenarnya. Media berperan besar sebagai alat

konstruksi pesan. Begitu pula, dengan film yang termasuk dalam media

massa. Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi dan

ideologi dari kebudayaan sang pembuat film. Dan semua itu konstruksi dari

sebuah film. Setiap orang memiliki cara tersendiri bagiamana

mengkonstruksi sebuah realitas yang ditampilkan dalam sebuah film

(Siagian, 2006:17).

17
Melvin DeFleur (1970, dalam Mulyana, 2004: 108) mengatakan

bahwa pada dasarnya media massa (dalam hal ini film) lewat sajiannya yang

selektif dan tekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan

pada khalayaknya mengenai topik-topik yang ditonjolkan yang didefinisikan

dengan suatu cara tertentu. Film menyediakan “definisi situasi” yang

dipercayai sebagai kenyataan, Film sebagai media massa memperteguh

norma dan perilaku yang ada seperti yang ingin dikonstruksikan sang

produser film.

Di dalam memproduksi film ada beberapa teknik pengambilan gambar

yang lazim digunakan dalam produksi film, diantaranya:

a) Full shot adalah teknik pengambilan gambar dengan Batasan subyek

seluruh tubuh. Tujuanya adalah untuk menunjukan hubungan sosial di

mana subyek utama berinteraksi dengan subyek lain, interaksi tersebut

menimbulkan aktivitas sosial tertentu.

b) Long shot adalah teknik pengambilan gambar dengan batasan latar atau

setting dan karakter. Tujujannya adalah memberikan lingkup dan jarak,

maksudnya audiens diajak oleh sang cameraman untuk melihat

keseluruhan obyek dan sekitarnya.

c) Close Up adalah teknik pengambilan gambar pada jarak dekat.

Tujuannya adalah untuk memberikan detail pada sebuah ekspresi wajah.

d) Medium shot adalah teknik pengambilan gambarnya mulai dari bagian

pinggang ke atas. Maknanya adalah hubungan umum, yaitu audience

18
atau penonton diajak untuk sekedar mengenal obyek dengan

menggambarkan suasan dari tujuan kameramen.

e) Zoom in, maknanya untuk observasi atau fokus, maksdunya penonton

diarahkan dan dipusatkan pada obyek utama. Unsur lain disekeliling

subyek berfungsi sebagai pelengkap makna.

f) Low Angle adalah dimana kamera ditempatkan lebih rendah dari objek

dan melihatnya dari bawah keatas objek berada dan menunjukkan

sebuah superioritas seseorang dan menggambarkan keadaan seseorang

atau penampilan seseorang.

g) Point of View adalah teknik pengambilan gambar yang menghasilkan

arah pandang objek dalam frame (Fachruddin, 2012:147-164 dalam

Kartini 2016. Konstruksi Seksualitas Dalam Film (Studi Semiotik

Rolland Barthes Pada Film Supernova).

Sementara itu Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tersebut

berpandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif.

Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif

melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui

proses internalisasi yang mencerminkan realitas yang subjektif. Dengan

demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk

masyarakat, yang keduanya berlangsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan

sintesis. Kedialektisan itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak

pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang

19
terbentuk. Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama

ia hidup di tengah masyarakatnya.

Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann (dalam Eriyanto,

2002: 14-19), mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi,

dan internalisasi. Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke

dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat

kodrati manusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia

ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan,

itulah yang membedakannya dengan binatang. Ia perlu berproses dengan

cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik

fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya,

selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan

dirinya dalam dunia. Sifat belum selesai itu dilakukan terus-menerus dalam

rangka menemukan dan membentuk eksistensi diri (Lihat Mursanto,

1993:227).

Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun

fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif

yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan

berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan si

penghasilnya. Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan

alat demi kemudahan hidupnya: film media artistik atau komunikasi.

Setelah dihasilkan, produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi).

Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Realitas

20
objektif film bisa menentukan bagaimana film menjadi karya seni dengan

pesan apa yang disampaikan oleh penghasilnya. Secara tidak sadar ia telah

didikte oleh film yang diciptakannya sendiri. Realitas objektif itu berbeda

dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan

empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif.

Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam

kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh

struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang

telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar

kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui

internalisasi itu, manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud

internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan

nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada

generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berbagai kesempatan dan

cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur

masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah

diobjektivikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai

tersebut. Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya

dalam segala gerak kehidupannya (Lihat Eriyanto, 2002:15).

Berger dan Luckmann berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk

secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas itu

dibentuk dan dikonstruksi manusia. Pemahaman itu menyiratkan bahwa

realitas berpotensi berwajah ganda, plural dan dinamis. Setiap orang bisa

21
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang

yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan

atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau memaknakan realitas

berdasarkan konstruksi-nya masing-masing.

Dalam hal ini konstruksi realitas sosial yang akan peneliti analisis

adalah konstruksi film Empu mengenai isu kesetaraan gender. Dampak

konstruksi sosial tentang perempuan menjadi salah satu realitas yang juga

dikonstruksi dalam film Empu.

2.2.4 Framing dalam Film

Secara harafiah, framing adalah pembingkaian yang berasal dari kata

frame yang artinya bingkai. Framing merupakan bagian dari strategi

komunikasi media atau komunikasi jurnalistik. Pengertian praktisnya,

framing adalah menyusun atau mengemas informasi tentang suatu peristiwa

dengan misi pembentukan opini atau menggiring presepsi publik terhadap

sebuah peristiwa. Framing merupakan metode penyajian realitas.

Kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total,

melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada

aspek tertentu. Secara teoritis, sejumlah pakar yang mengemukakan teori

atau model framing antara lain Murray Edelman, Robert N. Entman,

William A. Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Framing

di definisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol,

menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih

tertuju pada pesan tersebut. Maka, dengan framing ini, peristiwa yang sama

22
bisa menghasilkan berita dan presepsi yang berbeda. Framing umumnya

ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. (Eriyanto, 2002).

Dalam hal ini framing merupakan penyusunan suatu peristiwa yang

bertujuan membentuk opini atau presepsi tersendiri. Dalam konteks film,

framing (pembingkaian) sangat mempertimbangkan beberapa aspek yang

sangat berpengaruh pada emosi dan motivasi yang dituju oleh pembuat film.

2.2.5 Analisis Framing Robert N. Entman

Dalam konsep konstruksionisme yang dikemukakan oleh Peter L.

Berger dan Thomas Luckman yaitu manusia dan masyarakat adalah produk

yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak

lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi

kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau

produk dari masyarakat (Eriyanto, 2012).

Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman, dalam menjelaskan

paradigma konstruktivis bahwa realitas sosial merupakan konstruksi sosial

yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang bebas yang

melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu

menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan

kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media

produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia

sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002: 194). Dalam pandangan

konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia menjadi

subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan

23
pemihakannya. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut

membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan (Eriyanto. 2002). Media

memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Media

bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan

juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa (Eriyanto. 2002).

Informasi yang ada di media sangat ditentukan oleh tujuan dari pihak-

pihak dibalik informasi atau pemberitaan tersebut. Media tidaklah dapat

lepas dari subjektifitas. Media bukanlah saluran yang bebas tempat semua

kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media

hanya dimiliki oleh sekelompok dominan seperti pemilik media atau elit

media, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk

mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka.

Media tersebut menjadi sarana di mana kelompok dominan bukan hanya

memantapkan posisi mereka tetapi juga memarjinalkan dan meminggirkan

posisi kelompok yang tidak dominan (Eriyanto. 2001). Untuk itu dalam

penelitian ini, peneliti mencoba mengkonstruksi realitas sosial yang

dibentuk oleh lingkungan sosial kehidupan perempuan Indonesia yang

dibingkai dalam satu rangakain cerita film Empu.

Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu

dibentuk dan dikonstruksi oleh media (Eriyanto. 2002). Analisis framing

merupakan metode analisis yang digunakan untuk melihat bagaimana

realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing menentukan

bagaimana realitas itu hadir dihadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang

24
realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan

frame atas peristiwa itu yang memberikan pemahaman dan pemaknaan

tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa

yang sama dapat menghasilkan suatu berita yang secara radikal berbeda

apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa

tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. Analisis framing

membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peritiwa yang sama itu

dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang

secara radikal berbeda (Eriyanto. 2002).

Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan),

melainkan juga berhubungan dengan proses produksi berita. Produksi berita

berhubungan dengan bagaimana rutinitas yang terjadi dalam ruang

pemberitaan yang menentukan bagaimana wartawan didikte/dikontrol untuk

memberitakan peristiwa dalam perspektif tertentu (Eriyanto. 2002).

Dalam penelitian ini perangkat framing yang digunakan adalah

perangkat framing dari Robert N. Entman. Entman adalah salah seorang ahli

yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media.

Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses

seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang dibangun oleh

media massa. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-

informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapatkan

alokasi lebih besar daripada isu yang lain (Eriyanto. 2002).

25
Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakkan dasar-

dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Pembahasan utama

framing dari Entman adalah soal penyeleksian isu dan penonjolan isu.

Tabel 2. Pembahasan Analisis Framing Entman

Seleksi Isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta.


Dari realitas yang kompleks dan beragam itu,
aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan?
Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada
bagian berita yang dimasukkan, tetapi ada juga
berita yang dikeluarkan. Tidak semua aspek atau
bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih
aspek tertantu dari suatu isu.
Penonjolan aspek Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta.
Ketika aspek tertentu dari isu tertentu dari suatu
peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana
aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan
dengan pemakaian kata, kalimat gambar, dan citra
tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak
Sumber: Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, ideology dan Politik
Media. (Yogyakarta: LKIS) hlm. 222

Selain itu, framing juga memberi tekanan lebih pada bagaimana teks

komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau di anggap

penting oleh pembuat teks. Dengan bentuk seperti itu, sebuah gagasan atau

informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan

ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Dalam

konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi,

penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk

menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang

diwacanakan (Eriyanto; 2002).

26
Tabel 3. Perangkat Framing Entman.
Define Problems Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat
(Pendefinisan masalah) Sebagai apa? Atau sebagai
Diagnose Causes Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh
(Memperkirakan masalah atau apa? Apa yang dianggap sebagai
sumber) penyebab dari suatu masalah? Siapa
aktor yang dianggap sebagai
penyebab?
Make Moral Judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk
(Membuat keputusan) menjelaskan masalah? Nilai moral apa
yang dipakai untuk melegitimasi suatu
tindakan
Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan
(Menekankan penyelesaian) untuk mengatasi masalah/isu? Jalan
apa yang ditawarkan dan harus
ditempuh untuk mengatasi masalah
itu?
Sumber: Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, ideology dan Politik
Media. (Yogyakarta: LKIS) hlm. 221

a) Define Problems (Pendefinisan masalah) adalah elemen pertama yang

dapat dilihat mengenai framing, elemen ini merupakan master frame

atau bingkai yang paling utama dan menekankan bagaimana peristiwa

dipahami oleh wartawan.

b) Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah) merupakan

elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai actor

dari suatu peristiwa, penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa

juga siapa (who).

27
c) Make moral judgment (membuat keputusan moral) adalah elemen

framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi argumentasi

pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat.

d) Treatment recommendation (menekankan penyelesaian), elemen ini

dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan, jalan apa

yang dipilih untuk menyelesaikan masalah, dan penyelesaian itu

tergantung kepada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang

dipandang sebagai penyebab masalah (Eriyanto. 2002: 225 -227).

Dalam penelitian ini, tujuan peneliti menggunakan analisis framing

model Robert Entman karena peneliti menganggap film Empu memiliki

karakteristik dari keempat perangkat Entman dan peneliti sudah melakukan

pra-riset sendiri sebelum memulai penelitian ini. Peneliti juga menilai

bahwa analisis framing model Robert Entman lebih ringkas dan relevan

untuk digunakan dalam menganalisis film Empu.

2.2.6 Kesetaraan Gender

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran,

fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai

sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat

berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Meskipun terdapat

perbedaan kodrati antara perempuan dan laki – laki, namun perbedaan ini

tidak boleh menjadi jurang pemisah serta membuat perempuan sebagai

makhluk atau masyarakat kelas kedua yang kedudukannya tidak setara

dengan laki – laki. Perbedaan kodrati antara laki – laki dan perempuan

28
seharusnya tidak dijadikan sebuah alasan agar perempuan diberikan tempat

yang berbeda dan laki – laki dijadikan sebagai makhluk serba bisa. Karena

masih adanya anggapan – anggapan lama atau diskriminasi terhadap

perempuan dan laki – laki, maka dari itu muncul lagi yang dinamakan

kesetaraan gender.

Kesetaraan gender merupakan suatu usaha di mana perempuan

berjuang untuk menyetarakan hak – hak mereka agar dapat berkarya seperti

laki – laki. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equality

permits women and men equal enjoyment of human rights, socially valued

goods, opportunities, resources and the benefits from development results

(kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-

laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai

manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumber daya

dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan). Kesetaraan gender

merupakan sebuah gerakan mutual atau bersifat saling menguntungkan

karena gerakan ini tidak hanya memperhatikan salah satu gender saja tetapi

juga kedua gender.

Gerakan untuk menyetarakan hak – hak antara laki – laki dan

perempuan terbilang mirip dengan gerakan – gerakan seperti feminisme atau

egalitarianisme karena mempunyai ide yang sama; setara. Bahkan banyak

orang yang masih belum memahami lebih dalam tentang ide gerakan ini

karena sama – sama menuntut hak sebagai sesama manusia.

2.2.7 Kerangka Berpikir

29
Dalam penelitian ini, kerangka pikir diperoleh atas pengalaman dan

dasar pengembangan Film Empu, yang ceritanya diangkat berdasarkan

sejumlah peristiwa nyata yang terjadi dan berhubungan dengan realitas

kehidupan serta posisi perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat

Indonesia.

Analisis akan dibagi menjadi tiga bagian menurut isi film yang

menceritakan tiga (3) perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda.

Yang dijadikan fokus penelitian adalah dialog dan adegan yang dibangun

dalam masalah yang dialami oleh karakter utama dalam film. Kemudian dari

dialog dan adegan dalam film tersebut, peneliti akan menganalisis film

Empu menggunakan framing milik Robert Entman supaya dapat diketahui

pembingkaian yang dilakukan oleh film Empu dengan satu isu pokok yaitu

kesetaraan gender, namun dengan latar belakang budaya dan profesi

perempuan yang berbeda.

Gambar 2. Kerangka Berpikir

Film Empu

Konstruksi Realitas Sosial

Analisis Framing Robert Entman


Define Problem
Diagnose Causes
Make Moral Judgement
Treatment Recomendation

Konstruksi Kesetaraan Gender

30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian kualitatif

dengan menggunakan analisis framing Robert Entman. Penelitian kualitatif

sendiri merupakan penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,

motivasi, tindakan secara holisitik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbaga metode alamiah. Jenis penelitian kualitatif bertujuan

untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam – dalamnya melalui

pengumpulan data sedalam – dalamnya.

Penggunaan metode analisis framing Robert Entman bertujuan untuk

melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas dan untuk melihat

bagaimana sebuah isu atau peristiwa sosial difahami dan dibingkai oleh media.

Analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu

wacana khususnya antara berita dan ideologi, yaitu proses atau mekanisme

mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi,

mengubah dan meruntuhkan ideologi. Analisis framing digunakan untuk

melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak

mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan, siapa yang menindas

dan siapa yang tertindas, kebijakan yang didukung atau kebijakan yang tidak

didukung (Eriyanto. 2002).

31
Model analisis framing Robert N Entman menggunakan empat (4)

Perangkat framing, yang merujuk pada pemberian definisi, penjelasan,

evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka

fikir tertentu terhadap peristiwa yang direncanakan.

3.2 Objek dan Waktu Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah beberapa scene dari tiga (3) cerita dalam

film Empu, yang disertai dengan dialog dan adegan lain yang mengandung

representasi kesetaraan gender. Penelitian dilaksanakan selama empat minggu

dari tanggal 24 November 2019 – 10 Desember 2019.

3.3 Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yang berupa softcopy film Empu berdurasi 60 menit,

yang memiliki subtitle atau teks dalam bahasa Inggris.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang berupa dokumen tertulis yaitu kepustakaan atau

buku, artikel-artikel yang berasal dari internet serta sumber-sumber berita

lain yang mendukung data dan relevan terhadap penelitian ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yakni

dengan mengumpulkan data berupa tangkapan layar sejumlah scene dari

32
rekaman film Empu. Setelah data dokumentasi terkumpul, kemudian dilakukan

metode observasi dan deskripsi yang instrumennya digunakan dari panduan

pengamatan yang diambil dari pembatasan masalah, tujuan penelitian, dan

ditinjau dari kajian teoritik dan konsep sebagai pedoman serta lembar

pengamatan untuk mencatat hasil pengamatan.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis framing merupakan pengembangan dari metode analisis isi

media. Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan

penajaman terhadap dimensi tertentu dari fakta yang diberitakan media, dalam

hal ini adalah film.

Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan proses

pengumpulan data dari film Empu mengenai kesetaraan gender, tepatnya di 3

lokasi berbeda yaitu Banyumas, Klaten dan Kefamenanu. Untuk membaca

bingkai dari setiap konstruksi kesetaraan gender oleh Harvan dalam Film

Empu maka metode analisis yang digunakan ialah framing dari Robert N

Entman, yang dimana dalam metode ini konstruksi kesetaraan gender

ditemukan dengan empat cara yakni define problem (pendefinisian masalah),

diagnose causes (memperkirakan masalah atau sumber masalah), make moral

judgement (membuat keputusan moral) lalu treatment recommendation

(menekankan penyelesaian).

33
Lalu setelah ditemukan maka langkah kedua ialah menjelaskan empat

langkah penting dari analisis Entman yaitu, problem indentification, causal

interpretation, moral evaluation, dan treatment recommendation.

Tabel 3
Hasil Akhir Analisis framing model Robert N Entman
problem indentification Peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang
mana positif dan yang mana negatif
causal interpretation Siapa atau apa yang dianggap
penyebab masalah
moral evaluation Penilaian atas penyebab masalah
treatment recommendation Menawarkan suatu cara penanganan
masalah dan kadang kala
memprediksikan hasilnya
Sumber: Data Sekunder Peneliti, Desember 2019.

Setelah dianalisis, adegan dan dialog akan dicermati untuk menemukan

temuan penting dalam penelitian ini. Setelah itu, peneliti juga akan

menyimpulkan frame film Empu dalam proses konstruksi film tentang

kesetaraan gender di Indonesia.

34
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Film Empu

4.1.1. Tentang Film Empu

Film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair merupakan karya

Harvan Agustriyansyah yang diambil berdasarkan kisah nyata. Film ini

berkisah tentang kekuatan perempuan tanpa menggeser posisi laki-laki

dalam kehidupan sosial. Ada tiga (3) tokoh utama dalam film ini yaitu :

Sutringah di Banyumas, Yati di Klaten, dan Maria di Kefamenanu.

4.1.2. Filmografi Harvan Agustriansyah

Harvan Agustriansyah (lahir di

Jakarta, 3 Agustus 1980) adalah sutradara dan

penulis skenario film Indonesia, jebolan

Institut Kesenian Jakarta Jurusan

Penyutradaraan.

Film pendek yang ia sutradarai pada


Gambar 3
tahun 2006, berjudul Sepeda (Bicycle) masuk Harvan Agustiansyah
menjadi nominasi film pendek terbaik Festival Film Indonesia (2007) dan

terpilih menjadi Film Pendek Fiksi Terbaik di Ganesha Film Festival ITB

(2008). Setahun kemudian, film tugas akhirnya di Institut Kesenian Jakarta

berjudul Orde mendapatkan nominasi di sejumlah festival film

internasional, di antaranya di Tehran International Short Film Festival

35
(2009), 12th Shanghai International Film Festival, dan 8th Beijing Film

Academy Film and Video Festival.

Pada 2012, ia menjadi salah satu sutradara film omnibus bergenre

horor yang berjudul Hi5teria untuk segmen berjudul Loket. Lalu Pada 2016

ia menyutradarai sekaligus memproduseri film pendek berjudul Pangreh

(The Silent of Mob), yang bercerita tentang seorang sopir yang datang ke

pedesaan terpencil dan miskin guna merekrut massa bayaran untuk

dimanfaatkan dalam demonstrasi di tempat lain. Pertemuan dengan sebuah

keluarga dan sopir lain membawanya pada sebuah transaksi sengit kelas

bawah yang menguji kemanusiaannya. Film ini masuk nominasi (official

selection) di lebih dari 60 festival film di tingkat lokal maupun

internasional, kemudian mendapatkan penghargaan film pendek terbaik

pada tahun 2017 di 4th Chennai International Short Film Festival (Chennai,

India), Shared Sight International Short Film Festival (Rumania), dan Asia

Peace Film Festival 2017 (Islamabad, Pakistan). Film terbaik di Maya

Awards (2016) dan Apresiasi Film Indonesia tahun (2016). Selain produksi

film, Harvan juga menjadi juri pada Barcelona Asian Film Festival (2018)

yang diselenggarakan di Barcelona - Spanyol. (Sumber:

id.wikipedia.org/wiki/Harvan_Agustriansyah). Berikut Filmografi Harvan

Agustriansyah yang dikutip dari situs imdb.com.

36
Tabel 5:
Filmografi Harvan Agustriansyah

Tahun Judul Role Keterangan


2006 Sepeda Sutradara Film Pendek
2010 The Address Sutradara Film Pendek
2012 Hi5teria Sutradara & Penulis Film Panjang
(segment "Loket") Naskah
2015 Biang Sutradara & Penulis Film Pendek
Naskah
2016 Terjebak Nostalgia Ass.Sutradara Film Panjang
2016 Pangreh Produser, Sutradara & Film Pendek
Penulis Naskah
2018 Lima Sutradara Film Panjang
2019 Empu Sutradara & Penulis Film Panjang
Naskah

4.1.3. Deskripsi Produksi Film Empu

Film Empu – Sugar on The Weavers Chair diproduseri oleh

Chatarina Dwihastarini, Rendra Almatsier & Joko Triwibowo. Film ini

merupakan hasil produksi bersama oleh IMPRO Visual Storyteller, GEF

(Global Environment Facility), SGP (Small Grant Programme), Teras Mitra

dan UNDP (United Nations Development Programme).

Tiga kisah perempuan yang dikisahkan dalam film ini, sangat

banyak terjadi di Indonesia khususnya di daerah. Oleh karenannya, cerita-

cerita yang dirangkum dalam film Empu - Sugar on The Weaver’s Chair,

dibuat berdasarkan temuan GEF (Global Environment Facility) dan SGP

(The GEF Small Grants Programme) Indonesia bersama Terasmitra dalam

perjalanannya mendampingi wirausaha sosial berbasis komunitas

37
(https://ayobandung.com/read/2019/09/30/65304/empu-kisah-perempuan-

tanpa-harus-menggeser-posisi-laki-laki).

Karakter utama dalam film ini diperankan oleh tiga perempuan yaitu :

1) Annisa Hertami

(Gambar 4)

Annisa Hertami, lahir di Magelang, 7 Oktober 1988. Annisa

Hertami adalah seorang aktris berkebangsaan Indonesia yang

pertama kali dikenal lewat film Soegija (2012) dan terlibat dalam

sejumlah film bioskop lain. Dalam film Empu ia berperan sebagai

Sutringah, istri seorang penyadap gula aren dari Banyumas.

2) Putry Moruk

(Gambar 5)

Putry Moruk lahir di Dili, Timor-Leste, 2 September 1989.

Putry adalah aktris lokal (NTT) yang pernah terlibat dalam produksi

38
film bioskop seperti Aisyah -Biarkan Kami Bersaudara (2016).

Dalam film Empu, Putry berberan sebagai seorang janda (Maria)

dari Kefa, yang ingin mendefinisakan kembali nasib mereka sebagai

wanita dalam meneruskan tradisi menenun kepada para pemuda di

sekitar mereka. Bahkan ketika inisiatif mereka berbenturan dengan

aturan sosial dan hukum yang tidak berpihak kepada pada mereka.

3) Tiara Arianggi

(Gambar 6)

Tiara Arianggi lahir di Garut, 04 November 1992. Tiara

Arianggi lulus dari Institut Seni Yogyakarta Indonesia sebagai actris

(Teater). Setelah lulus, ia masih aktif di komunitas teater (Saturday

Acting Club) di Yogyakarta dan beberapa komunitas lainnya.

Sebagai seorang actris, ia telah bermain di beberapa film pendek

lokal, iklan komersil dan FTV seperti Pohon Pengabul Harapan

yang tayang di Trans 7 (2019). Dalam film Empu ini Arianggi

berperan sebagai seorang wanita penyandang cacat yang membantu

bisnis keluarganya sebagai pengrajin lurik di Klaten, Jawa Tengah.

Selain tiga karakter utama, dalam film ini ada beberapa pemain

pendukung:

39
Tabel 6:
Data Nama Tokoh Pemain Pendukung Dan Karakter Pemain
Pendukung

NO TOKOH KARAKTER
1 Adi Marsono sebagai Dalam film Empu,
Suryadi Suryadi berperan sebagai
suami Sutringah yang
menolak akan adanya
kesetaraaan antara laki-
laki dan perempuan.

2 Dayu Prisma sebagai Rani Dalam film Empu, Rani


berperan sebagai teman
Sutringah yang tidak
menerima permintaan dari
Sutringah untuk menjadi
penderes nira.

3 Retno Yuniawati sebagai Dalam film Empu, Ibu


Ibu Arni Arni berperan sebagai ibu
dari Sutringah, yang
selalu menjadi tempat
untuk keluarga Sutringah
meminjam uang.

4 Binar Mutiara sebagai Sri Dalam Film Empu, Sri


berperan sebagai anak dari
Sutringah

40
5 Ninda F Putry sebagai Dalam Film Empu,
Ningsih Ningsih berperan sebagai
seorang yang akan
membantu Yati pada
bengkel lurik mereka dari
Yati yang diminta oleh
Suyonto (Bapak Yati).
6 Try Sudarsono sebagai Dalam Film Empu,
Suyonto Suyonto berperan sebagai
bapak dari Yati.

7 Bob Wawan sebagai Fajar Dalam Film Empu, Fajar


berperan sebagai kawan
kerja Yati pada pabrik
konveksi.

8 Amrin Dalam Film Empu, Amrin


berperan sebagai teman
Suryadi yang sama-sama
bekerja pada pabrik nira.

9 Lim sebagai Wahyudi Dalam Film Empu,


Wahyudi berperan
sebagai supervisor pada
pabrik konveksi tempat
Yati bekerja.

10 Nensy Sanbein sebagai Dalam Film Empu, Rossa


Rossa berperan sebagai seorang
janda temannya Maria.

41
11 Eleonora Saijo sebagai Ana Dalam Film Empu, Rossa
berperan sebagai seorang
janda temannya Maria.

12 Engelbertus Tae sebagai Dalam Film Empu, Pak


Pak Guru Manuel Guru Manuel berperan
sebagai seorang guru pada
sebuah Sekolah Dasar
yang berada di Desa
Pantae-Kefa. Tempat
tujuan maria untuk
meminta agar bisa
mengajarkan cara bertenun
pada anak-anak.
13 Irenius Alupan sebagai Dalam Film Empu,
Kenek Irenius berperan sebagai
seorang kenek yang
berjuang untuk hidupi
keluarga kecilnya.

14 Agustinus Naimena sebagai Dalam Film Empu, Ben


Ben berperan sebagai seorang
murid yang diminta Maria
untuk membawanya
bertemu pak guru mereka.

15 Defrianus Etta sebagai Theo Dalam Film Empu, Theo


berperan sebagai orang
yang menggugat bangunan
milik kelompok tenun
yang dibangun oleh
Maria.

4.1.4. Sinopsis Film Empu

42
Film ini menceritakan tentang tiga wanita di tiga daerah di Indonesia

dalam mendefinisikan kembali nasib mereka sebagai perempuan yang hidup

dalam budaya partiarki.

Sutringah, adalah istri seorang penyadap gula aren dari Banyumas.

Sebagai keluarga penyadap aren, hidupnya terus menyusut karena kesulitan

ekonomi dan diperburuk karena suaminya lumpuh total karena kecelakaan

saat menyadap nira. Sutringah dihadapkan pada proses mendefinisikan

perannya sebagai seorang wanita,seorang istri, dan pencari nafkah. Yati,

seorang wanita penyandang cacat, bekerja seumur hidupnya untuk bisnis

keluarganya di pengrajin lurik di Klaten, Jawa Tengah. Yati kemudian

mendefinisikan kembali takdirnya ketika idealismenya bertentangan dengan

ayahnya dan juga kebutuhan eksistensial dalam tangisannya. Yati kemudian

memutuskan untuk bekerja di pabrik garmen untuk mendapatkan apa yang

ia impikan. Maria, seorang janda dari Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur,

Bersama dengan para janda lainnya, mendefinisakan kembali nasib mereka

sebagai wanita dalam upaya meneruskan tradisi menenun kepada para

pemuda di sekitar mereka. Bahkan ketika inisiatif mereka berbenturan

dengan adat istiadat yang tidak berpihak kepada pada mereka

(filmfreeway.com/SugaronTheWeaversChair).

43
4.2. HASIL PENELITIAN

4.2.1. Temuan Data dan Deskripsi Hasil Penelitian

Setelah melakukan pengamatan, ditemukan beberapa adegan dan

dialog tentang konstruksi gender yang dibangun dalam film Empu, yaitu:

DATA 1
Konstruksi kesetaraan gender tentang penolakan kesetaraan posisi laki-laki
dan perempuan sebagai suami-istri dalam sebuah rumah tangga.
Tabel 7:
Data Scene 2
TIME CODE
00:00:00-00:01:06
ADEGAN
Suara seseorang berbicara tentang gender mengantarkan kita ke sebuah
seminar yang di penuhi oleh puluhan petani dan pengolah gula, mereka
kebanyakan pasangan suami dan istri. Di antara mereka ada Suryadi (36th)
dan Sutringah (29th). Suryadi dengan ekspresi tidak suka berdiri pergi dari
seminar itu, padahal seminar belum usai. Sutringah mengikutinya yang
berjalan keluar tidak peduli.
VISUAL

DIALOG
Pembicara :

44
Ini adalah bentuk kesetaraan gender, maksudnya adalah suami dan istri setara
dalam berkerja sama. Selama ini, kaum istri bekerja lebih banyak daripada
para suami. Sehabis laki-laki pulang dari bertani lalu malah nongkrong atau
ngopi-ngopi, membiarkan istri dengan segudang pekerjaan. Ya, ngolah nira,
ngurus anak, ngurus rumah, nyiapin bapak makan. Ini yang maksudnya harus
ada perubahan. Keharmonisan kerjasama mempengaruhi produk yang bapak
dan ibu hasilkan.
Suryadi :
Ngomong apa sih, nga jelas.
CAST
Cast: Suryadi, Sutringah, Pembicara, extras petani dan pengolah gula.
Lokasi : Bayumas
Tabel 8
Analisis Framing Data Scene 2

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendatio
n
Masalah Digambarkan Keputusan Adegan dalam
kesetaraan dalam scene ini Suryadi scene ini
gender saat ini sosok Suryadi meningggalkan diselesaikan
gencar adalah salah ruang dengan
dikampanyekan orang yang penyuluhan pada keputusan
oleh berbagai tidak tertarik saat bersamaan Sutringah yang
elemen dengan dengan berdamai
masyakarakat. pembahasan pernyataan dengan situasi,
Salah satunya mengenai penyuluh tentang dan mengikuti
adalah melalui kesetaraaan kesetaraan antara suaminya keluar
metode laki-laki dan laki-laki dan ruang
penyuluhan di perempuan, perempuan dalam penyuluhan.
desa-desa. khususnya hal pembagian
yang tugas dan kerja
berhubungan dalam rumah
dengan urusan tangga, tanpa
pekerjaan. dibantah oleh
Sutringah
menunjukan
posisi tawar
Sutringah yang
lemah walaupun
sedang berada
dalam situasi
mendengarkan
hal yang
berhubungan
dengan
keseharian

45
mereka.

DATA 2
Konstruksi kesetaraan gender tentang penolakan kesetaraan posisi laki-laki
dan perempuan sebagai suami-istri dalam sebuah rumah tangga.

Tabel 9:
Data Scene 3

TIME CODE
00:01:07-00:01:36
ADEGAN
Suryadi berjalan sambil melinting rokok. Sutringah berjalan mengikutinya.
Mereka berjarak agak jauh. Suryadi seperti berbicara sendiri, tapi sebenarnya
ingin di dengar istrinya.

VISUAL

DIALOG
Suryadi : (ngegrerutu)
Apa itu, setara…setara. Laki-laki perempuan. Ndak ada itu.
Suryadi cont’d:
Suami tetep mimpin keluarga, cari nafkah, istri bantu di dapur, ngurus
rumah, ngurus anak, istri ya tetep nurut sama suami.

46
CAST
Cast : Suryadi, Sutringah
Lokasi : Bayumas

Tabel 10:
Analisis Framing Data Scene 3

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Ketidak Suryadi yang Sutringah Suryadi tetap
puasan tidak puas tidak memutuskan
Suryadi dengan konsep memiliki posisi laki-laki
terhadap kesetaraan kesempatan dan perempuan
konsep gender karena untuk tetap sama seperti
kesetaraan pemahamannya membantah yang ia pahami.
gender. tentang posisi atau
laki-laki dan memberikan
perempuan pendapat
dalam rumah terhadap
tangga dan pernyataan
masyarakat Suryadi
adalah laki-laki suaminya.
bekerja mencari
uang, sementara
istri bekerja di
dapur, mengurus
rumah.

47
DATA 3
Konstruksi kesetaraan gender tentang bias pemahaman kekuatan laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan sosial

Tabel 11:
Data Scene 8

TIME CODE
00:04:49-00:05:26
ADEGAN
Di dalam bis, Maria ekspresinya masih memendam kesal. Terdengar di
belakang, Ana sedang berbicara dengan kenek bus mengenai bayaran
yang kurang. Maria mendengarkan percakapan dua orang dengan
ekspresi muka Maria yang datar. Perdebatan kenek dan Ana diakhiri
dengan ekspresi kekecewaan dari si kenek.

VISUAL

DIALOG
Kenek :
Ibu dong berapa orang
Ana :ini, ini, ini, ini, deng saya
Kenek :Hae, ini kurang e ibu
Ana :Hae, itu su pas tu konjak, sedikit lagi kami su turun ju.
Kenek :Hae, masa ibu dong enam orang masa hanya bayar empat sa ini,

48
Ana :Hae u jang begitu deng kami yang janda-janda dong ini. Kami ini
sementara berjuang
Kenek :saya ju sementara berjuang e ibu, untuk sa pu anak istri di rumah
Ana :Ho sudah, cukup su tidak uang lagi

CAST
Cast : Maria, Ana, Kenek, dan Extras
Lokasi : Desa Pantae, Kabupaten TTU

Tabel Data 12:


Analisis Framing Data Scene 8

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Ana menolak Sebagai Kenek dalam Kenek juga
untuk seorang janda, posisi melihat memiliki masalah
membayar Ana yang tidak Ana sebagai dan tanggung
biaya bis membayar perempuan yang jawab terhadap
sesuai jumlah baiaya bis tidak pantas keluarganya,
yang sesuai harga, diperlakukan namun akhirnya
seharusnya. memanfaatkan kasar untuk memutuskan untuk
status dan masalah kurang tidak meneruskan
masalah yang uang bayaran perdebatan karena
sedang bis. melihat Ana adalah
dihadapi untuk seorang perempuan
mendapatkan dan juga seorang
simpati dari janda yang tetap
Kenek. pendiriannya untuk
tidak menambah
jumlah
pembayaran.

49
DATA 4
Konstruksi kesetaraan gender tentang tradisi dan posisi anak perempuan
dalam mengemukakan ide dan gagasan.

Tabel 13:
Data Scene 16

TIME CODE
00:12:48-00:13:56
ADEGAN
Sambil menjemur benang,bapak dan yati sedang berdiskusi
VISUAL

DIALOG
Yati :Pak, aku pingin usaha kita maju pak, tidak begini terus, aku mau
mencoba mencampur warna warna terang ke kain kita itu loh pak.
Bapak :iya, bapak tahu yati, tapi tidak seperti itu caranya, kamu kan tahu
usaha ini warisan ayah nya bapak, jadi untuk urusan warna,kita harus tetap
setia pada warna warna dasar pakem kain lurik.
Yati :tapi pak untuk,
Bapak :Pelanggan kita kan banyak, Harusnya kita bersyukur atas kelimpahan
rejeki ini.
Yati :(Ekspresi Kecewa)
Bapak :Heh, Ningsi gimana pekerjaannya?

50
Yati :Bagus banget pak. Sampai aku ga punya pekerjaan untuk dilakukan.

CAST
Cast : Yati & Bapak
Lokasi : Rumah Lurik, Klaten

Tabel Data 14:


Analisis Framing Data Scene 16

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Ide Yati Penolakan Tradisi Yati menerima
untuk terhadap ide keluarga keputusan
mencampur yati disebabkan menjadi bagian ayahnya,
warna pada karena Ayahnya penting dalam walaupun dengan
kain lurik masih percaya usaha kain kurang puas.
yang dengan tradisi Lurik di
diproduksi kain lurik Keluarga Yati,
keluarganya peninggalan hal ini mampu
ditolak olah keluarga mereka dimanfaatkan
bapaknya. ayah yati
untuk menolak
keinginan
inovasi Yati
terhadap
produk kain
lurik.

51
DATA 5
Konstruksi kesetaraan gender tentang hubungan orang tua dan anak,
khususnya anak perempuan dalam hal kesempatan untuk mengambil
keputusan dalam berpendapat dan berkarya.

Tabel 15:
Data Scene 25

TIME CODE
00:24:23-00:00:25:56
ADEGAN
Yati keluar dari dalam kamar dengan bersemangat, dia mengenakan
seragam baru warna putih-hitam khas seragam pabrik. Yati lalu
menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Bapaknya kemudian melepas
kepergian Yati dengan suasana hati yang campur aduk.
VISUAL

DIALOG
Yati : Pak,
Bapak : iya ndu
Yati : Aku keterima kerja di pabrik, aku pengen kerja di luar pak
Bapak: Sudah kamu pikir masak-masak?
Yati : Sudah pak, aku ingin melihat dunia luar, aku tidak ingin
seperti paman bujo, bibi sumi, apalagi seperti kakek joyo yang

52
sampai tua bekerja di sini, aku pengen berguna pak!
Bapak : Jadi, selama ini kamu merasa tidak berguna?
Yati : (Yati menggeleng lalu hendak beranjak pergi)
Bapak : Yati, apakah kamu sudah mantap dan yakin? Kamu kan
belum pernah kerja dengan orang lain. Apalagi di pabrik. ya sudah
kalau memang itu pilihanmu, bapak tidak bisa menolak
CAST
Cast : Yati & Bapak
Lokasi : Rumah Lurik, Klaten

Tabel 16:
Analisis Framing Data Scene 25

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation

Yati Yati Idenya yang Ayah yati


memutuskan menganggap tidak menerima
untuk kerja di bekerja di satu diakomodir keputusan
pabrik, padahal tempat yang oleh ayahnya, anaknya,
dia dan sama, seperti dan walaupun sempat
keluarganya yang terjadi keinginannya mempertanyakan.
memiliki usaha pada beberapa mencoba hal
sendiri. anggota baru, keluar
keluarganya dari tradisi
yang lain, akan keluarga
membuatnya membuat yati
tidak berguna. memutuskan
untuk menjadi
buruh pabrik.

53
DATA 6
Konstruksi kesetaraan gender tentang posisi perempuan dan kaum difabel
dalam lingkungan kerja

Tabel 17:
Data Scene 27

TIME CODE
00:26:12-00:00:27:42
ADEGAN
Yati menemui Pak Wahyudi, seorang supervisor pabrik yang
menerimanya. Pak Wahyudi memperlihatkan segala isi pabrik dan
tempat yang akan di isi oleh Yati untuk bekerja. Namun yati sempat
menolak karena posisi yang diberikan untuknya tidak sesuai dengan
posisi yang dilamar oleh Yati.
VISUAL

DIALOG
Wahyudi :Saya akan menunjukan beberapa bagian dari pabrik ini, ini
bagian trimming, bagian trimming itu bagian membersihkan sisa sisa
yang habis di jahit yang benang benangnya lebih, biasanya di gunting,
atau di bersihkan, paham ya?
Yati : Ya pak.
Wahyudi :ini bagian menjahit, jahitnya dari pola yang di satukan
menjadi pakaian, jadi nanti drawing nya ada bagian per bagian, mulai
dari atas bawah, kan sendiri sendiri. Nah ini bagian tempat kerjamu,

54
kamu saya tempatkan di bagian pemintalan benang.
Yati : Tapi, maaf pak apa tidak salah? Saya kan melamar sebagai pola
dan desain, kok jadi bagian benang ya pak?
Wahyudi :Jadi gini yah yati, semua yang mau kerja disini harus mau
di tempatkan dimana saja, kalau hasil kerjamu bagus yah bisa naik. Ya
sudah ya saya banyak kerjaan, saya tinggal dulu.
CAST
Cast : Yati & Pak Wahyudi
Lokasi : Pabrik Konveksi, Klaten
Tabel 18:
Analisis Framing Data Scene 27

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Yati diterima Wahyudi Yati menerima Yati memutuskan
kerja di selaku kenyataan untuk tetap
sebuah pabrik supervisor bahwa dia tidak bekerja di pabrik
konveksi tapi meyakinkan bisa memenuhi walaupun tidak
posisinya Yati bahwa keingginannya, sesuai dengan
tidak sesuai memilih karena ada posisi yang
diinginkannya.
dengan posisi bekerja di aturan yang
yang pabrik seperti berlaku dalam
dilamarnya. itu, berarti pabrik, dan dia
Yati harus saat ini adalah
mau untuk seorang buruh
ditempatkan pabrik.
di posisi apa
saja. Dengan
kompensasi
promosi
jabatan kerja
apabila
berprestasi.

55
DATA 7
Konstruksi kesetaraan gender, tentang posisi istri sebagai pencari nafkah
dalam sebuah rumah tangga.

Tabel 19:
Data Scene 30

TIME CODE
00:28:44-00:31:01
ADEGAN
Sutringah pulang dari pabrik untuk melamar kerja. Setibanya di rumah
terjadi percakapan dengan suaminya, yang menolak sutringah untuk
menjadi buruh pabrik dengan alasan, tidak ingin mereka menjadi babu
orang.
VISUAL

DIALOG
Suryadi: Dari mana kamu
Sutringah: Dari pabrik
Suryadi: Mau jadi babu orang kamu? Aku masih sanggup hidupin kalian!
Ngapain ngemis, kerja sama mereka.
Sutringah: Aku ndak diterima, katanya aku disuruh nunggu sebulan. Aku
bilang nggak bisa, aku butuh cepet.
Suryadi: Sudah lama aku jadi babu orang, aku nggak mau kamu jadi babu
orang lain juga. Kamu tetep ngaduk gula. Jangan bantah aku.
Sutringah: Mas, aku itu sudah berhutang kemana-mana! Sudah ditagih
terus. Sri itu sebentar lagi ujian. Aku harus cari uang dari mana lagi mas.
Mas, Biarlah aku cari uang ya.

56
Suryadi: Kamu jadi makin membuat aku tambah nggak berguna

CAST
Cast : Sutringah & Suryadi
Lokasi : Rumah Sutringah, Banyumas

Tabel 20:
Analisis Framing Data Scene 30

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Suryadi Suryadi Sutringah Suryadi
tidak terima menganggap memiliki alasan menerima
istrinya bekerja di kuat tentang keputusan
melamar pabrik sama situasi keuangan Sutringah dengan
kerja di dengan menjadi rumah tangga berat hati.
pabrik. buruh orang mereka yang
lain. Hal yang
semakin berat.
juga ia alami
Karenanya ia
selama sebelum
ia mengalami memilih untuk
kecelakaan mencari
kerja. pekerjaan
menggantikan
suaminya yang
sedang sakit.

57
DATA 8
Konstruksi kesetaraan gender, tentang posisi perempuan dalam lingkungan
sosial yang turut ditentukan oleh pandangan sosial terhadap jenis pekerjaan
yang layak dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Khususnya
bagi seorang perempuan yang berstatus istri.

Tabel 21:
Data Scene 41

TIME CODE
00:38:44-00:41:02
ADEGAN
Sutringah dan Rani pulang dari menimbang gula. Dalam perjalanan pulang
terjadi percakapan diantara mereka berdua tentang Rani yang tidak lagi bisa
menolong Sutringah, dan Sutringah yang mencoba menanyakan pada Rani
kalua dia menjadi pengiris nira.
VISUAL

DIALOG
Rani: Oh tri, ini bagian kamu a tri.
Sutringah: Ran, ran, kamu kok diam saja to?
Rani: KAmu jagan marah aku ya tri, kayaknya aku udah nggak bisa bantu
kamu lagi ya tri. Penghasilan aku sama suami aku itu udah pas-pasan ya tri.
Jadi aku ya, kalua harus bayar kamu buat ngaduk gula, terus tengan susah
tri. Kondisiku juga berat.
Sutringah: Iya, ndak apa-apa ran
Sutringah: Menurutmu piye kalau aku mengirs nira?
Rani: Heh, ngawur! Apa pantas seorang perempuan panjat kelapa!? Aneh-

58
aneh saja kamu tri. Kamu mau apa jadi omongan tetangga. Tidak pantas.
Sutringah: Trus aku harus buat apa?
Rani: Aduh, aku harus pulang ya tri. Aju harus masak dulu buat suamiku.
Aku duluan ya.

CAST
Cast : Sutringah, Rani, extras pemanjat kelapa
Lokasi : Jalan pulang, Kebun Kelapa- Banyumas
Tabel 22:
Analisis Framing Data Scene 41

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Rani merasa Rani Rani Rani tidak bisa
keberatan menganggap menganggap ide secara tegas
dengan mengiris nira Sutringah tidak menolak atau
keinginan bukanlah masuk akal, menerika ide
Sutringah pekerjaan karena akan Sutringah karena
menjadi kaum menimbulkan situasi keuangan
rumah tangga
pengiris nira. perempuan. omongan
Sutringah yang
tetangga. membuatnya
Apalagi di desa tidak memiliki
mereka tidak pilihan lain untuk
ada perempuan bekerja.
yang menjadi
pengiris nira.

59
DATA 9
Konstruksi kesetaraan gender tentang kekuatan perempuan untuk
mengambilan keputusan sekaligus mempertahankannya dalam kehidupan
sosial.

Tabel 23:
Data Scene 42

TIME CODE
00:41:02-00:43:16
ADEGAN
Maria pergi seorang diri mengikuti kemana Pak Guru Manuel berjalan. Pak
Guru Manuel berjarak 10-meter di depan Maria, kadang menoleh karena risih
di ikuti. Maria semakin dekat dengan Pak Guru Manuel. Sehingga membuat
Pak Guru Manuel risih. Maria terus mengikutinya. Manuel menghentikan
langkahnya. Sedikit ngos ngosan. Maria menatap tajam Pak Guru Manuel. Pak
Guru Manuel meneruskan jalannya. Maria berjalan, Manuel lalu berhenti lagi,
Maria terdiam, menunduk mengingat masalahnya. Manuel terdiam. Dia sedih
juga kelihatannya.
VISUAL

DIALOG
Pak Manuel : Ibu tidak bisa melakukan ini pada saya.
Maria : Saya bisa lakukan apa yang saya mau Pak. Kalo bapak tidak mau
berjanji, saya akan terus ikuti bapak kemana bapak pergi.
Pak Manuel : Lalu kenapa harus saya, kenapa harus di sekolah saya?
Maria : Maafkan saya Pak Guru. Saat ini saya khawatir tidak akan bisa lagi
melihat rumah Biboki. Bangunan yang telah saya dan teman teman kelompok
penenun bangun dengan susah payah sabagai simbol keberadaan tradisi tenun
desa ini pak.

60
Pak Manuel : Kenapa?
Maria : Bangunan tersebut ada di atas tanah yang menjadi sengketa di
pengadilan.
Pak Manuel : Saya pernah dengar tentang Rumah Biboki itu. Ibukah
pendirinya?
Maria : Iya. Kami sedang terancam kehilangan Rumah Biboki karena mereka
semua tidak peduli dengan tradisi tenun ini. Seandainya mereka memiliki
kepedulian, pasti ini tidak akan terjadi. Karena itu saya melihat kepedulian ini
harus ditanamkan kembali, lewat generasi muda yang Pak Guru pimpin. Dan
memulainya dari desa saya. Hanya itu keinginan saya. Tidak yang lain Pak
Guru.
Pak Manuel : Ya sudah, sekarang ibu pulang.
Maria : Terima kasih.
CAST
Cast : Maria dan Pak Guru Manuel
Lokasi : Desa Pantae, Kabupaten TTU

Tabel 24:
Analisis Framing Data Scene 42

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Maria ingin Penolakan Maria menilai Manuel yang
mengajak guru Manuel pada sekolah mendengar kisah
Manuel untuk pertemuan merupakan Rumah Biboki
membuat sebelumnya sarana pertama akhirnya
sebuah membuat Maria tempat ide dan memutuskan
program semakin tradisi untuk tidak
menenun dapat
ekstrakurikuler bersemangat memberikan
tetap diajarkan
khusus untuk berbicara pilihan pada saat
sehingga dapat
menenun, dengan Manuel dipertahankan. itu, namun
mengingat terkait ekspresinya
situasi rumah ekstrakurikuler. menunjukan rasa
biboki Sambil simpati.
miliknya yang menjelaskan
menjadi salah situasi mereka
satu pusat sebagai
tenun dan penenun
usaha bersama tradisional yang
perempuan sedang
penenun lain terhimpit
hendak digusur kepentingan
oleh seorang pengusaha lain.
pengusaha.

61
DATA 10
Konstruksi kesetaraan gender tentang posisi perempuan di tempat kerja,
dalam hal ini berhubungan dengan penilaian terhadap kemampuan
perempuan dan kesempatan untuk menempati posisi tertentu.

Tabel 25:
Data Scene 45

TIME CODE
00:45:01-00:47:33
ADEGAN
Yati yang sedang berusaha menunjukan desain yang telah dia buat,namun
pak wahyudi menolak, sehingga terjadi pertikaian antara Yati dan Pak
Wahyudi, datanglah fajar untuk menenangkan Yati namun usaha dari fajar
tidak di hiraukan oleh Yati. Pada akhirnya Yati meminta untuk berhenti
bekerja pada pabrik koveksi.
VISUAL

DIALOG
Yati : Pak Wahyudi, saya ingin menunjukan sesuatu.
Pak Wahyudi : Dari mana saja kamu? Kamu tahu kan jam kerja di sini itu
ketat. Jadi walaupun kondisimu seperti ini, tidak ada alasan untuk
terlambat.
Yati : Maaf ya pak, tadi saya dari tempat kain rijek, saya ingin
menunjujkan ini pak (sambil memberikan bukunya ke pak wahyudi).
Bagaimana pak, apakah saya sudah boleh pindah ke bagian desain pak?
Pak Wahyudi : Bagi kami, kamu belum pantas bergabung di bagian
desain.
Yati : Ah pak, tapi saya bisa kok mengerjakan lebih dari ini kok pak,
pak...pak...
Pak Wahyudi : Kamu bisa pindah kalau kamu sudah ahli dalam suatu

62
bidang.
Yati : Berapa lama sampai saya di katakan ahli pak?
Pak Wahyudi : Hey yati, asal kamu tahu ya, saya bisa jadi supervisior
setelah 10 tahun. sama seperti kamu, saya juga kerja dari bawah.
Yati : Jangan samakan saya seperti bapak dong pak! mungkin bapak butuh
10 tahun, tapi saya yakin saya bisa lebih baik pak.
Fajar : Yat...yati...yati...
Yati : kenapa fajar? saya cuman menanyakan hak saya kok.
Fajar : Yati....
Yati : Bapak anggap saya boneka disini, bapak anggap saya hanya
pelengkap karyawan difabel disini, sehingga saya tidak dapat menempati
pekerjaan yang lain, begitu? Bapak pikir saya tidak bisa? saya cuman
membutuhkan kesempatan pak.
Pak Wahyudi : Kamu kerja disini saja itu merupakan suatu kesempatan.
Yati : Baikl kalau itu maunya bapak, terimakasih atas kesempatannya pak,
saya tahu sekarang, saya jauh lebih berharga dari pada jadi karyawan
difabel di pabrik ini, dan saya tahu dimana harus saya berada sekarang.
Permisi pak.
CAST
Cast : Yati, Pak Wahyudi, Fajar
Lokasi : Pabrik Konveksi, Klaten

Tabel 26:
Analisis Framing Data Scene 45

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Yati Yati dianggap Yati menilai Yati memutuskan
memutuskan belum pantas pendapat untuk tidak
untuk Oleh Wahyudi, Wahyudi melanjutkan
memberikan untuk meminta sebagai karirnya di
bukti pindah posisi, sebuah bentuk perusahaan
kemampuannya sekalipun dia diskriminasi konveksi itu.
dalam desain menunjukan karena merasa
namun ditolak bukti kaum difabel
dan diminta kemampuanya seperti dirinya
untuk tau diri di bidang hanya
sebab selain desain. dijadikan
seorang Wahyudi formalitas
perempuan, membandingkan sehingga
yati juga adalah dirinya yang perusahaan
seorang butuh waktu 10 dianggap tidak
difabel. tahun lebih melanggar
untuk bisa aturan soal
menjadi kaum difabel
supervisor. yang ingin
bekerja. Yati

63
lalu
menyadari
bahwa dia
lebih dianggap
berguna di
rumah tempat
usaha lurik
keluarganya.

DATA 11
Konstruksi kesetaraan gender tentang perempuan mendukung perempuan
dan melestarikan tradisi.

Tabel 27:
Data Scene 50

TIME CODE
00:50:51-00:52:17
ADEGAN
Maria memberi contoh langsung dengan alat tenunnya kepada anak-
anak SD yang datang ke rumah Maria Bersama pak Guru Manuel.

VISUAL

DIALOG
Pak Manuel: Anak anak. Saat bapak kecil, ayah dan ibu bapak menghidupi
bahkan mampu membiayai bapak sekolah menjadi guru karena kain tenun
yang dibuat mereka.
Pak Manuel (Cont’d): Apa yang kalian lihat sekarang adalah milik kalian.
Kalian harus jaga, lindungi cintai dan berkarya dengan tenun tradisi kalian
ini.
Pak Manuel (Cont’d):Ibu Maria, sementara ini yang bisa saya bantu, kita
belajar di luar dari mata pelajaran wajib. Namun ini juga ada penilaian
untuk nilai tambah anak anak. Sambil dalam proses mengajukan ke pihak
pusat.
Maria:Terima kasih Pak Guru.

64
CAST
Cast: Maria, Pak Guru Manuel, Ana, Rosa, dan Murid
Lokasi: Desa Pantae, Kabupaten TTU

Tabel 28:
Analisis Framing Data Scene 50

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Rumah biboki Tradisi Pak Manuel Pak guru Manuel
sebagai tempat menenun menyadari berhasil
usaha sekaligus kurang karirnya saat diyakinkan oleh
tempat dipahami oleh ini sebagai Maria sehingga
melestarikan anak-anak seorang guru, pak manuel
tradisi tenun, sekolah yang turut dibangun mengijinkan,
terancam di keluarganya dengan biaya sekaligus
gusur. tidak dari hasil kain mengajak anak-
bersentuhan tenun yang anak untuk belajar
langsung dan dibuat oleh menenun di
aktiv dengan orang tuanya. rumah biboki,
kegiatan milik maria.
menenun.

65
DATA 12
Konstruksi kesetaraan gender tentang kesempatan yang di berikan kepada
perempuan dalam berkarya.

Tabel 29:
Data Scene 55

TIME CODE
00:55:50-00:56:13
ADEGAN
Terlihat kesibukan di dalam bengkel tenun, dimana yati telah sukses
mengembangkan usaha keluarganya, dan banyak pengunjung yang
sedang menawar hasil tenun lurik.
VISUAL

DIALOG
-
CAST
Cast : Yati, Bapak, Pengunjung.
Lokasi : Bengkel Lurik, Klaten

66
Tabel 30:
Analisis Framing Data Scene 55

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Yati tidak Yati berhasil Tanpa Ayah Yati
lagi membuat menghilangkan memutuskan
bekerja di ayahnya yakin tradisi keluarga, untuk menerima
pabrik dengan ide kain lurik milik ide yati.
konveksi. penggunaan keluarga Yati
warna cerah diproduksi juga
pada kain lurik
untuk kalangan
produksi
umum, tidak
mereka.
terbatas pada
kalangan kraton.

67
DATA 13
Konstruksi kesetaraan gender dalam lingkungan sosial, dalam hal ini
kesempatan peerempuan untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya
dinilai hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Tabel 31:
Data Scene 56

TIME CODE
00:56:13-00:57:11
ADEGAN
Expresi wajah para pengolah nira melihat sesuatu yang tidak seperti
biasa mereka lihat sehari-hari.
Laki-laki dan perempuan mengelilingi Sutringah.
Sutringah melihat ke atas pohon yang tinggi sekali. Di badannya
sudah banyak atribut memanen nira.
Amrin berempati, mulai mendekati Sutringah. Lalu ia mengulurkan
tangan, membantu dan mengajari caranya naik pohon.
Sutringah memanjat pohon kelapa untuk memanen nira.
VISUAL

DIALOG

CAST
Cast : Sutringah, Rani, Amrin, dan extras bapak-bapak dan ibu-ibu
pengolah nira
Lokasi : Perkebunan kelapa, Banyumas

68
Tabel 32:
Analisis Framing Data Scene 56

Define Diagnose Make moral Treatment


Problem Causes judgement Recommendation
Menjadi Suryadi, suami Disaksikan Sutringah
pengiris nira sutringah yang warga dan akhirnya
adalah pilihan tidak lagi bisa mantan teman memanjat kelapa
terakhir menjadi kerja suaminya, sebagai pengiris
Sutringah pengiris nira, sutringah nira.
untuk bekerja. akhirnya memutuskan
digantikan
untuk memanjat
oleh istrinya.
Dengan kelapa, sebagai
menerobos pengiris nira.
konsep Sekaligus
perempuan meyakinkan
yang tidak warga dan
pantas bekerja perempuan lain,
menjadi bahwa dia bisa
pengiris nira. melakukan
pekerjaan yang
dulunya
dianggap hanya
boleh
dikerjakan oleh
laki-laki.

69
4.3. Analisis Framing Tentang Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film

Empu

Setelah Peneliti mengamati, melihat, dan mendengar elemen-elemen

film yang ada dalam film Empu akhirnya peneliti menemukan data berupa

pemilihan shot, adegan, dialog dan keterangan yang terkait dengan masalah

yang di angkat dalam penelitian ini. Temuan data yang disajikan

sebelumnya kemudian dibagi menjadi tiga (3) frame analisis, sebab film

Empu dibangun berdasarkan (3) tiga karakter utama dengan alur cerita yang

berbeda. Setelah itu kemudian penelitian melakukan analisis dianalisis

menggunakan 4 perangkat framing model Entman yang mencakup Define

Problems, Diagnose Causes, Make Moral Judgement, Treatment

Recommendation.

4.3.1 Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film Empu – Cerita

Sutringah

Berikut hasil ringkasan temuan data yang telah disajikan sebelumnya

berdasarkan alur cerita Sutringah.

Tabel 33:
Frame Cerita Sutringah dari Desa Cilongok, Bayumas

Scene Cast Adegan Shot Dialog

70
2 Suryadi, Situasi One Take Penyuluh
Sutringah, Penyuluhan Suryadi
Pembicara,
extras petani
dan pengolah
gula
3 Suryadi, Perjalanan Long Shot Suryadi
Sutringah, Pulang dari Medium
tempat Shot
Penyuluhan Track In
Sutringah
30 Sutringah, Suryadi Full Shot Sutringah,
Suryadi terbaring Medium Suryadi
di tempat Shot
tidur Medium
Sutringah Close Up
pulang Close Up
melamar
kerja Low &
Terjadi High
perdebata Angle
n soal
Sutringah
yang
hendak
bekerja
mengganti
kan
Suryadi
41 Sutringah, Perjalanan Full Shot Sutringah,
Rani, extras pulang dari Medium Rani,
pemanjat tempat Shot
kelapa timbang Medium
gula Close Up
(Koperasi Close Up
Nira) Low &
Rani High
berujar Angle
untuk tidak
lagi bisa
membantu
sutringah
mengaduk
gula milik
mereka.
56 Sutringah, Sutringah Full shot -
Rani, Amrin, memulai Medium
dan extras pekerjaann Shot
bapak-bapak ya sebagai Close Up

71
dan ibu-ibu pemanjat/ High
pengolah pengiris Angle
nira nira kelapa

4.3.1.1 Define Problems

Define Problems (Pendefinisan masalah) adalah elemen

pertama yang dapat dilihat mengenai framing, elemen ini

merupakan master frame atau bingkai yang paling utama dan

menekankan bagaimana peristiwa dipahami. Dalam konteks ini,

Suryadi digambarkan sebagai karakter suami yang masih lekat

pemahamanya dengan tentang budaya patriarki. Dimana

perempuan dianggap sebagai pihak kedua, yang harus patuh pada

laki-laki, khususnya suami. Hal ini nampak pada adegan Scene 2

ketika Suryadi memutuskan untuk meninggalkan ruangan

penyuluhan yang sedang membahas tentang gender. Kemudian

pada adegan selanjtunya di Scene 3 terdapat salah satu teks dialog

yang berbunyi:

“Suami tetep mimpin keluarga, cari nafkah, istri bantu di


dapur, ngurus rumah, ngurus anak, istri ya tetep nurut
sama suami”.

Kemudian pada salah satu dialog di Scene 30 Suryadi tetap

bersikeras tidak ingin istrinya bekerja karena alasan tidak ingin

istrinya menjadi budak orang lain seperti dirinya. Situasi tersebut

tergambar dalam salah satu teks dialog berikut:

“Sudah lama aku jadi babu orang, aku nggak mau kamu
jadi babu orang lain juga. Kamu tetep ngaduk gula. Jangan
bantah aku”.

72
Selanjutnya pada Scene 41, ide Sutringah untuk bekerja

sebagai pengiris nira kelapa dibantah habis oleh Rina temannya.

Salah satu teks dialog pada scene ini berbunyi:

“Heh, ngawur! Apa pantas seorang perempuan panjat


kelapa!? Aneh-aneh saja kamu tri. Kamu mau apa jadi
omongan tetangga. Tidak pantas”.

Namun akhirnya keputusan sutringah untuk menjadi

pengiris nira kelapa, mendapat antuasiasme dari warga dan mantan

rekan kerja suaminya, seperti tergambar pada Scene 56, dimana

sutringah dengan disaksikan oleh warga sekitar, akhirnya menjadi

pengiris nira kelapa dengan dibantu oleh warga laki-laki lain yang

juga bekerja sebagai pengiris nira.

4.3.1.2 Diagnose causes

Diagnose causes merupakan elemen framing untuk

membingkai siapa yang dianggap sebagai actor dari suatu

peristiwa, penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga

siapa (who). Dalam hal ini, kondisi keuangan keluarga Sutringah

yang kurang baik, salah satunya disebabkan oleh pemahaman

suami Sutringah yang masih yakin bahwa tradisi perempuan (istri)

yang sudah sepantasya selalu bekerja di dapur adalah mutlak.

Situasi ini lalu hampir tidak berubah walaupun Suryadi mengalami

kecelakaan dan hampir pasti sudah tidak lagi bisa untuk memanjat

kelapa untuk menafkahi keluarganya.

4.3.1.3 Make moral judgment

73
Make moral judgment adalah elemen framing yang dipakai

untuk membenarkan atau memberi argumentasi pada pendefinisian

masalah yang sudah dibuat. Dalam film Empu, khususnya pada

scene cerita Sutringah, Suryadi menjadi karakter yang membuat

Sutringah sang istri tidak memiliki posisi tawar untuk

membebaskan dirinya bekerja, bahkan untuk memberikan

pendapat. Peristwa kecelakaan kerja Suryadi adalah fase dimana

Sutringah akhirnya memiliki posisi tawar untuk menentukan

sebuah keputusan penting dalam keluarga mereka, yaitu suaminya

membantu Sutringah mencari nafkah. Walaupun situasi ini terjadi

karena sebab yang tak terduga, Suryadi akhirnya memahami bahwa

laki-laki dan perempuan harus bisa bekerja sama, khususnya dalam

hidup sebuah rumah tangga.

4.3.1.4 Treatment Recommendation

Elemen ini dipakai untuk menilai, jalan apa yang dipilih

untuk menyelesaikan masalah, dan penyelesaian itu tergantung

kepada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang

sebagai penyebab masalah (Eriyanto. 2002: 225 -227).

Ketika terjadi penerimaan oleh Suryadi, dan warga terhadap

Keputusan Sutringah menjadi pengiris nira, merupakan sebuah

bentuk apresiasi terhadap solusi atas masalah posisi kesetaraan

laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya

dalam hidup rumah tangga yang berhasil diputuskan oleh

74
Sutringah. Hasilnya, perempuan mampu melakukan hal-hal yang

dulunya dianggap hanya pantas dilakukan oleh kaum laki-laki.

Berdasarkan framing dari ke empat elemen tersebut, maka Cerita ini

dapat dipandang pula dari dua dimensi besar framing Robert N. Entman,

yakni mengenai seleksi isu dan penonjolan aspek realitas tertentu. Pada

dimensi seleksi isu, Harvan memilih kehidupan rumah tangga sebagai dasar

atau awal pemahaman dimana seharusnya kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan seharusnya dimulai. Sedangkan pada dimensi penonjolan aspek

realitas, selaku sutradara Harvan membuat Sutringah menjadi karakter yang

seolah-olah tidak memiliki posisi tawar dalam hal memberikan atau

menonjolkan kemampuan pikir dan kemampuan fisik terhadap suaminya.

Sampai ada kejadian yang meruntuhkan kekuatan Suryadi secara fisik,

akhirnya Sutringah memiliki kesempatan untuk memaksakan pikirannya atas

kebenaran situasi dan membuktikan diri secara fisik. Sekaligus mematahkan

keyakinan awal suaminya tentang tradisi perempuan harus menurut pada

suami dan selalu bekerja di dapur.

4.3.2 Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film Empu – Cerita Maria

Berikut hasil ringkasan temuan data yang telah disajikan sebelumnya

berdasarkan alur cerita Maria.

Tabel 34:
Frame Cerita Maria dari Desa Pantae – TTU

Scene Cast Adegan Shot Dialog


8 Maria, Situasi Medium Ana
Ana, dalam bis Close Kenek
Kenek, Up
dan Extras Low &

75
High
Angle

42 Maria dan Perjalanan Full Shot Maria,


Pak Guru mengikuti Medium Pak Guru
Manuel Pak Guru Shot Manuel
Manuel Track in
Maria &
Pak Guru
Manuel
50 Maria, Pak Maria Medium Pak Guru
Guru memberi Shot Manuel
Manuel, contoh Medium Maria
Ana, Rosa, menenun Close Up
dan Murid Pak Guru
Manuel
memberi
penjelasan
Murid
menenun
4.3.2.1 Define Problems

Define Problems (Pendefinisan masalah) adalah elemen pertama

yang dapat dilihat mengenai framing, elemen ini merupakan master

frame atau bingkai yang paling utama dan menekankan bagaimana

peristiwa dipahami oleh wartawan.

Kesetaraan gender nampak pada sikap perempuan sendiri sering

membuat identitas ‘kaum lemah’ yang butuh dikasihani, paling tidak

dimengerti. Hal ini Nampak pada adegan dalam bis, ketika kenek

hendak menagih biaya bis pada Ana (rekan Maria). Terdapat teks dialog

pada Scene 8 menandakan hal ini:

Ana
Hae u jang begitu deng kami yang janda-janda dong ini. Kami ini
sementara berjuang
Kenek

76
saya ju sementara berjuang e ibu, untuk sa pu anak istri di
rumah
Ana
Ho sudah, cukup su tidak uang lagi

Dialog ini memperlihatkan Ana menempatkan diri sebagai

seorang janda (perempuan) yang lemah dan butuh pengertian dari

Kenek (laki-laki), padahal sebenarnya dia memiliki teman-teman yang

jika dikomunikasikan maka masalah biaya bis masih bisa dapat

diselesaikan, terlepas dari beban masalah lain yang sedang mereka

alami.

Penempatan diri perempuan ini juga nampak pada Scene 42

ketika Maria ngotot mengejar pak guru Manuel untuk berbicara tentang

menenun. Teks dialog yang menandainya yaitu:

Pak Manuel:
Ibu tidak bisa melakukan ini pada saya.
Maria:
Saya bisa lakukan apa yang saya mau Pak. Kalo bapak tidak mau
berjanji, saya akan terus ikuti bapak kemana bapak pergi.

Lalu setelah memberi penjelasan kepada Manuel dengan cukup

panjang lebar, Manuel hanya menjawab “Ya sudah, sekarang ibu pulang”,

dengan ekspresi iba.

Keteguhan Maria untuk mempengaruhi Pak Manuel demi

sesuatu yang dianggapnya baik adalah potensi kekuatan yang dimiliki

oleh Maria sebagai perempuan. Walaupun dalam adegan ini Maria

seperti memanfaatkan jarak personal tentang kebiasaan komunikasi

laki-laki dan perempuan. Dalam artian bahwa “mengejar laki-laki di

jalan umum” dapat bermakna lain ketika lingkungan tidak mengetahui

77
persoalan yang menjadi sebab tindakan tersebut. Namun Maria

memutuskan untuk tetap menjelaskan maksudnya yang memang

memiliki tujuan positif untuk keberlangsungan tradisi Tenun. Disini

Maria menunjukan bahwa perempuan juga bisa inisiatif dan

merencakanan sesuatu, sehingga perempuan juga bisa tegas

“professional” memposiskan diri setara dengan Pak Guru Manuel

sebagai pihak yang memiliki hak untuk membuat keputusan.

Selanjutnya pada Scene 50, terdapat adegan yang membuat

Maria dan kawan-kawan Rumah Biboki akhirnya senang, yaitu

kedatangan pak guru Manuel dan sejumlah siswa SD untuk belajar

menenun. Situasi ini juga turut menandai posisi laki-laki dan

perempuan yang sejak dulu sudah dapat bekerja sama, seperti pada

kutipan teks dialog berikut:

Pak Manuel:
Anak anak. Saat bapak kecil, ayah dan ibu bapak menghidupi bahkan
mampu membiayai bapak sekolah menjadi guru karena kain tenun
yang dibuat mereka.

Pernyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan Maria dan

kawan-kawan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang selalu

berakhir dengan penolakan.

4.3.2.2 Diagnose causes

Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah)

merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap

sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa

(what), tetapi bisa juga siapa (who), dan yang muncul dalam Cerita

78
Maria adalah what, yaitu berhubungan dengan posisi tawar mereka

sebagai kelompok perempuan yang harus berhadap-hadapan secara

hukum dengan kelompok masyarakat lain yang memiliki kekuatan yang

lebih secara ekonomi dan status sosial.

4.3.2.3 Make moral judgment

Make moral judgment (membuat keputusan moral) adalah

elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi

argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Dalam hal

ini, keputusan moral Pak Manuel adalah tindakan nyata positif yang

mampu dilakukan oleh Maria dan kawan-kawan. Mengingat situasi

mereka sebagai kelompok perempuan yang hidup atau mencari nafkah

sebagai penenun, saat itu rawan kehilangan tempat usaha mereka karena

konflik kepemilikan lahan. Dimana secara visual digambarkan Maria

dan kawan-kawan berjuang sendiri melawan kelompok yang

bersengketa dengan mereka.

4.3.2.4 Treatment Recommendation

Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh

wartawan, jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah, dan

penyelesaian itu tergantung kepada bagaimana peristiwa itu dilihat dan

siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Dan dalam konteks

ini, Maria dihadapkan pada situasi yang cukup rumit, Maria sebagai

pemilik Rumah Biboki dan juga sebagai pemimpin, memiliki inisiatif

untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada

79
tempat usaha yanag ia miliki bersama teman-teman perempuan penenun

lain di desa mereka. Maria memutuskan mendatangi sekolah (pak

manuel) untuk meminta Tradisi tenun menjadi salah satu materi yang

juga bisa diajarkan di sekolah.

Berdasarkan framing dari ke empat elemen tersebut, maka

Cerita ini dapat dipandang pula dari dua dimensi besar framing Robert

N Entman, yakni mengenai seleksi isu dan penonjolan aspek realitas

tertentu. Pada dimensi seleksi isu, nampak sutradara memilih

kepedulian terhadap tradisi tenun yang identik dengan perempuan

(aktifitas dominan dilakukan perempuan), juga harus mampu

diperjuangkan perempuan itu sendri, tentunya dengan memberikan

pengertian dan menggandeng laki-laki sebagai mitra dalam

penyelesaian masalah. Sedangkan pada dimensi penonjolan aspek

realitas, Harvan mengkonstruksi Maria sebagai perempuan yang

mampu berusaha, berdiplomasi, tegas dan memilliki inisiatif. Maria

adalah karakter yang menggambarkan kesetaraan dalam situasi yang

kompleks.

4.3.3 Konstruksi Kesetaraan Gender Pada Film Empu – Cerita Yati

Berikut hasil ringkasan temuan data yang telah disajikan sebelumnya

berdasarkan alur cerita Yati.

Tabel 35:
Frame Cerita Yati dari Klaten – Jawa Tengah
Scene Cast Adegan Shot Dialog
16 Yati & Percakapan Full Shot Yati

80
Bapak Yati dan Medium Bapak
Bapak Shot
Low &
High
Angle
25 Yati & Percakapan Medium Yati
Bapak Yati dan Shot Bapak
Bapak Medium
Close Up

27 Yati & Percakapan Full Shot Yati


Pak Yati dan Pak Medium Wahyudi
Wahyudi Wahyudi Shot
Situasi dalam Medium
pabrik Close Up
konveksi Track In
Terjadi Yati &
perdebatan Pak
soal apa yang Wahyudi
di lamar Yati Low &
High
Angle
45 Yati, Pak Yati Full Shot Yati
Wahyudi, menunjukan Medium Wahyudi
Fajar buku Shot Fajar
Terjadi Medium
perdebatan Close Up
soal apa yang Close Up
di tuntut Yati Trak In
Fajar Yati, Pak
memanggil Wahyudi
Yati & Fajar
Low &
High
Angle
55 Yati, Situasi dalam Full shot -
Bapak, bengkel lurik Medium
Pengunju Bapak & Yati Shot
ng. sambal Close Up
melemparkan
senyuman
Yati
melayani
Pengunjung

4.3.3.1 Define Problems

81
Define Problems (Pendefinisan masalah) adalah elemen pertama

yang dapat dilihat mengenai framing, elemen ini merupakan master

frame atau bingkai yang paling utama dan menekankan bagaimana

peristiwa dipahami. Dimana dalam Cerita Yati, nampak pada awal

scene ketika Yati menawarkan ide untuk membuat campuran warna

baru (cerah) para kain lurik yang mereka produksi. Hal ini nampak pada

adegan Scene 16 ketika Yati berdebat dengan Ayahnya yang lebih

memilih untuk tetap mempertahankan tradisi warna pakem kain lurik

produksi keluarga mereka.

Yati:
Pak, aku pingin usaha kita maju pak, tidak begini terus, aku mau
mencoba mencampur warna warna terang ke kain kita itu loh pak.
Bapak:
iya, bapak tahu yati, tapi tidak seperti itu caranya, kamu kan tahu
usaha ini warisan ayah nya bapak, jadi untuk urusan warna, kita
harus tetap setia pada warna warna dasar pakem kain lurik.
Yati:
tapi pak untuk,
Bapak:
Pelanggan kita kan banyak, Harusnya kita bersyukur atas kelimpahan
rejeki ini.

Keputusan ayahnya membuat Yati tidak memiliki pilihan lain,

sebab mempertahankan tradisi adalah alasan yang sulit ditolak, apalagi

komunikasi ini terjadi diantara Orang Tua dan Anak. Yati yang kecewa

karena idenya untuk menciptakan hal baru dari bisnis keluarganya yang

sudah bertahun-tahun dilakukan kemudian memutuskan untuk menjadi

buruh/pekerja pada pabrik konveksi dengan alasan yang sama. Ingin

ada perubahan. Hal ini nampak pada adegan di Scene 25 ketika terjadi

dialog Yati dan ayahnya;

82
Yati:
Aku keterima kerja di pabrik, aku pengen kerja di luar pak
Bapak:
Sudah kamu pikir masak-masak?
Yati:
Sudah pak, aku ingin melihat dunia luar, aku tidak ingin seperti
paman bujo, bibi sumi, apalagi seperti kakek joyo yang sampai tua
bekerja di sini, aku pengen berguna pak!
Bapak:
Jadi, selama ini kamu merasa tidak berguna? (Yati menggeleng lalu
hendak beranjak pergi)
Bapak:
Yati, apakah kamu sudah mantap dan yakin? kamu kan belum pernah
kerja dengan orang lain. apalagi di pabrik. ya sudah kalau memang
itu pilihanmu, bapak tidak bisa menolak.

Keputusan Yati yang tidak bisa ditolak ayahnya menjelaskan

posisi tawar yati sebagai perempuan dan juga sekaligus anak yang tidak

bisa membantah orang tuanya pada saat itu, karena alasan tradisi.

Keyakinan yati untuk menemukan hal baru di pabrik rupanya tidak

sesuai harapan. Seperti yang terjadi pada Scene 27:

Yati:
Tapi, maaf pak apa tidak salah? saya kan melamar sebagai pola dan
desain, kok jadi bagian benang ya pak?
Wahyudi:
Jadi gini yah yati, semua yang mau kerja disini harus mau di
tempatkan dimana saja, kalau hasil kerjamu bagus yah bisa naik. ya
sudah ya saya banyak kerjaan, saya tinggal dulu.

Kenyataan ini membuat Yati akhirnya harus berdamai dengan

keadaan dan menerima keputusan perusahaan. Kondisi ini masih

berlansung pada awal adegan pada Scene 45, ketika Yati masih yakin

bahwa dengan menunjukan kemampuannya pada supervisornya ia bisa

mendapat kesempatan bekerja sesuai posisi yang diiinginkan.

Yati:

83
Pak Wahyudi, saya ingin menunjukan sesuatu.
Pak Wahyudi:
Dari mana saja kamu? Kamu tahu kan jam kerja di sini itu ketat. Jadi
walaupun kondisimu seperti ini, tidak ada alasan untuk terlambat.
Yati:
Maaf ya pak, tadi saya dari tempat kain rijek, saya ingin menunjujkan
ini pak (sambil memberikan bukunya ke pak wahyudi). bagaimana
pak, apakah saya sudah boleh pindah ke bagian desain pak?
Pak Wahyudi:
Bagi kami, kamu belum pantas bergabung di bagian desain.
Yati:
Ah pak, tapi saya bisa kok mengerjakan lebih dari ini kok pak,
pak...pak...
Pak Wahyudi:
Kamu bisa pindah kalau kamu sudah ahli dalam suatu bidang.
Yati:
Berapa lama sampai saya di katakan ahli pak?
Pak Wahyudi:
Hey yati, asal kamu tahu ya, saya bisa jadi supervisior setelah 10
tahun. sama seperti kamu, saya juga kerja dari bawah.
Yati:
Jangan samakan saya seperti bapak dong pak! mungkin bapak butuh
10 tahun, tapi saya yakin saya bisa lebih baik pak.
Fajar:
Yat...yati...yati...
Yati:
kenapa fajar? saya cuman menanyakan hak saya kok.
Fajar:
Yati....
Yati:
Bapak anggap saya boneka disini, bapak anggap saya hanya
pelengkap karyawan difabel disini, sehingga saya tidak dapat
menempati pekerjaan yang lain, begitu? Bapak pikir saya tidak bisa?
saya cuman membutuhkan kesempatan pak.
Pak Wahyudi:
Kamu kerja disini saja itu merupakan suatu kesempatan.
Yati :
Baikl kalau itu maunya bapak, terimakasih atas kesempatannya pak,
saya tahu sekarang, saya jauh lebih berharga dari pada jadi
karyawan difabel di pabrik ini, dan saya tahu dimana harus saya
berada sekarang. Permisi pak.

Situasi pada adengan di Scene 45 ini meyakinkan yati bahwa

keputusannya untuk menjadi pekerja pabrik adalah sebuah kesalahan. Sebab

84
pernyataan wahyudi “Kamu kerja disini saja itu merupakan suatu

kesempatan” seolah dengan sendirinya mempertegas klaim Yati, dia yang

adalah seorang difabel bisa diterima bekerja diperusahaan teresebut hanya

sebagai pelengkap aturan bagi perusahaan. Soal kemampuan Yati dalam

bidang desain dan pola adalah hal yang tidak terlalu diperhitungkan oleh

Wahyudi dan perusahaan. Situasi ini juga akhirnya menjelaskan adanya pola

diskriminasi yang dibentuk secara normatif, bagi kaum perempuan dan

difabel.

Dengan kenyataan tersebut, Yati akhirnya Namun akhirnya

kembali pada usaha keluarganya, yang juga didukung oleh sang ayah

untuk mengakomodir Ide Yati mengembangkan kain lurik mereka.

Seperti tergambang pada Scene 55, dimana Yati akhirnya berhasil

membuat usaha keluarga mereka semakin remain diminati karena ada

inovasi baru dalam produksi kain lurik mereka. Walau demikian hal ini

tidak serta merta menjadikan tradisi sebagi hal negatif yang

menyebabkan masalah. Sebab, permasalahan muncul pada persepsi

terhadap ide akan inovasi itu sendiri.

4.3.3.2 Diagnose causes

Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah)

merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap

sebagai actor dari suatu peristiwa, penyebab disini bisa berarti apa

(what), tetapi bisa juga siapa (who) dan pada konteks cerita Yati,

nampak pada ide baru Yati yang belum bisa diterima ayahnya sebab

bertentangan dengan tradisi. Selain itu, posisi Yati di prabrik sama

85
sekali tidak merepresentasikan Yati sebagai pekerja profesional,

melainkan sebagai pelengkap standar aturan bagi pekerja perempuan

dan difabel.

4.3.3.3 Make Moral Judgment

Make moral judgment (membuat keputusan moral) adalah

elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi

argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Dimana

dalam cerita Yati, tradisi cenderung menjadi nilai yang sulit untuk

diintervensi oleh perempuan atau anak (perempuan). Apalagi jika ada

pihak atau orang tua yang telah lama hidup dengan tradisi tersebut.

Situasi ini cenderung menyebabkan inovasi yang positif dalam

kehidupan sosial cenderung berjalan di tempat. Termasuk ketika berada

di lingkungan sosial/ tempat kerja, dimana Yati menjadi sosok yang

menginginkan kebaruan atau Inovasi, dipertentangkan dengan standar

‘tradisi’ perusahaan dan bukan standar kompetensi atau kemempuan

seorang pekerja yang dalam hal ini adalah perempuan (difabel).

4.3.3.4 Treatment Recommendation,

Treatment recommendation (menekankan penyelesaian), elemen

ini dipakai untuk menilai, jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan

masalah, dan penyelesaian itu tergantung kepada bagaimana peristiwa

itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

Sehingga dalam Cerita Yati, ada scene positif bahwa Yati sebetulnya

berada dalam situasi komunikasi yang baik dengan Ayahnya. Sekalipun

86
Yati akhirnya mengalami sendiri situasi yang tidak menguntungkan

karena soslusi belum berhasil ditemukan, dan komunikasi nampak tidak

berjalan baik pada awal ide inovasi disampaikan. Namun, kejadian di

pabrik turut membuat Yati menyadari bahwa mandiri adalah tetap butuh

kerja sama dan komunikasi yang saling pengertian. Selain itu,

memberikan kesempatan kepada anak untuk memberikan ide dan

pendapat juga merupakan sebuah langkah penanganan masalah yang

tepat dilakukan oleh Ayah Yati.

Berdasarkan framing dari ke empat elemen tersebut, maka

Cerita Yati ini dapat dipandang pula dari dua dimensi besar framing

Robert N Entman, yakni mengenai seleksi isu dan penonjolan aspek

realitas tertentu. Pada dimensi seleksi isu, sutradara memilih

memunculkan kesempatan sebagai isu utama. Anak dan perempuan

(difabel) harus diberikan kesempatan untuk membuktikan diri.

Sedangkan pada dimensi penonjolan aspek realitas, selaku sutradara

Harvan menghadirkan Yati sebagai karakter yang hidup dalam realitas

tradisi keluarga yang kuat dan nyaman dengan kondisi ekonomi

mereka, tanpa kurang memperhitungkan realitas perubahan jaman.

Padahal perubahan justru muncul dari Yati sebagai perempuan (anak),

ketika mereka diberi kesempatan untuk menjelaskan dan membuktikan

ide dan pendapat mereka.

4.4 Konstruksi Kesetaraan Gender dalam Film Empu

87
Penelitian ini menunjukan bagaimana sebuah isu kesetaraan gender

dikonstruksi dengan cerita yang berbeda oleh pembuatnya. Tampak meskipun

terdapat persamaan isu yang diangkat, namun film Empu menyajikannya

dengan tiga cerita kasus yang berbeda-beda. Sutringah dengan masalah sikap

dan pola pikir suami serta kondisi ekonomi keluarganya, Maria dengan

masalah hukum yang membelit usaha melestarikan tradisi tenun, dan Yati

yang belum bisa berinovasi karena terjebak dalam tradisi warisan keluarga.

Hasilnya Film Empu secara tidak langsung tampak ingin memberikan

gambaran mengenai isu kesetaraan gender yang terjadi di berbagai keadaan,

yaitu Keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan dan lingkungan

sosial masyarakat. Gambaran ini menurut peneliti cukup bisa mengkonstruksi

posisi perempuan dalam menghadapi situasi sosial, ekonomi dan hukum yang

ternyata bisa setara, jika perempuan itu mau untuk bersikap dan berpendapat,

bahkan melawan tradisi tanpa mengesampingkannya secara mutlak. Selain

itu, melalui adegan-adegan dan dialog tertentu dalam setiap cerita yang

digambarkan film Empu, ada upaya ingin memberikan efek berupa influence

atau pengaruh serta contoh kasus sebuah tindakan yang dinilai baik dan

buruk.

Berikut hasil ringkasan pembahasan framing setiap segmen jika

dituangkan dalam sebuah table berdasarkan perangkat Entman.

Tabel 36.
Hasil Gabungan Data Tiap Cerita dalam Film Empu

Elemen Cerita Cerita Cerita


No
Framing Sutringah Maria Yati

88
1 Problem Masalah Masalah Masalah
Identification Tradisi Tradisi Tradisi
2 Causal Suami yang Tradisi tenun Tidak ada
Interpretation tidak mau yang tidak kesempatan
menerima ide diajarkan untuk anak
tentang kepada anak dan
kesetaraan dan pendapat perempuan
gender perempuan
yang masih
sulit
didengarkan

3 Moral Sutringah Sosok Maria Sosok (orang


Evaluation sebagai secara moral tua) Ayah
perempuan memilik menjadi
masih dianggap tanggung faktor
tidak pantas jawab terhadap penentu
untuk tradisi tenun, kesetaraan
melakukan hal- hingga antara laki-
hal tertentu, memutuskan laki dan
khususnya hal- menjadikan perempuan
hal yang secara Manuel yang
tradisi sudah sebagai salah harusnya
menjadi ciri satu jalan dimulai dari
laki-laki keluar terhadap keluarga.
masalah yang
dihadapi.

4 Treatment Ada proses Laki-laki dan Ada


Recomendation perubahan pola perempuan perubahan
pikir dan memiliki dan inovasi
perilaku tanggung dalam sebuah
masyarakat jawab yang kehidupan
tentang sama dalam keluarga, jika
perempuan jika mempengaruhi ada
ada komunikasi pola pikir dan komunikasi
yang baik dan keputusan yang baik
berkelanjutan, anak/pelajar. dan
disamping kesempatan
memberi bagi anak
kesempatan dalam
pada membuktikan
perempuan diri.
untuk
membuktikan

89
diri.

90
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, untuk menjawab tujuan

dari penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Penelitian ini menunjukan bagaimana sebuah isu kesetaraan gender

dikonstruksi dengan cerita yang berbeda oleh pembuatnya. Tampak

meskipun terdapat kesamaan isu, namun film Empu menyajikannya

dengan tiga cerita kasus yang berbeda-beda. Kesetaraan gender

direpresentasikan oleh tradisi, penampilan, lingkungan dan perilaku.

Lingkungan mengasumsikan mereka dibelenggu dan dibungkam, terlihat

dari Sutringah dengan masalah sikap dan pola pikir suami serta kondisi

ekonomi keluarganya, Maria dengan masalah hukum yang membelit

usaha melestarikan tradisi tenun, dan Yati yang belum bisa berinovasi

karena terjebak dalam tradisi warisan keluarga.

2. Adanya efek berupa influence atau pengaruh dari tindakan yang dinilai

baik dan buruk pada Film Empu, Hal tersebut terlihat dari adanya proses

perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat tentang perempuan,

tanggung jawab, serta adanya perubahan serta inovasi yang terjadi dalam

kehidupan keluarga, yang dirangkum dari 3 cerita kasus tersebut.

91
5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada Film Empu - Sugar on

The Weaver’s Chair, maka ada beberapa saran yang dapat menjadi masukan untuk

berbagai pihak yakni :

5.2.1. Saran Akademis

1. Bagi calon peneliti yang ingin melanjutkan penelitian terhadap

film ini dari perspektif yang berbeda dengan analisis semiotika

yang lain seperti Roland Barthes atau Ferdinand Saussure.

2. Bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa

Cendana Kupang untuk menambah wawasan mengenai studi

semiotika.

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi calon peneliti yang ingin meneliti tentang film agar memilih

film yang tidak hanya kuat dari aspek teknis tetapi juga plot serta

mencari film dengan gambar HD agar lebih jelas gambarnya.

2. Bagi pembaca yang tertarik dengan penelitian analisis semiotika

pada film bisa mencoba mencari tahu tentang semiotika teater dan

drama atau semiotika visual.

92
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Arikunto, S. 2006. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara


Basrowi dan Sadikin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory,
Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi
Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan
Metodologi Refleksi (Surabaya: Insan Cendekia, 2002)
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
PT LKiS.
_______. 2002. Analisis Framing. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
_______. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu
Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
_______. 2012. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media.
Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.
Hamad, Ibnu. 2004. Kostruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta:
Garanit.
Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media
Moleong, Lexy J. 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif-
Kualitatif dan R&D, Alfabeta Bandung, Cet. Ke-16 Februari 2013
Sumanto, 1995 , Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan, Yogyakarta :
Andi Offset.
Tabroni, Roni. 2012. Komunikasi Politik Pada era Multimedia. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media

INTERNET
1. https://ayobandung.com/read/2019/09/30/65304/empu-kisah-perempuan-tanpa-
harus-menggeser-posisi-laki-laki
2. http://id.wikipedia.org/read/2019/12/07/68904/wiki/Harvan-Agustriansyah
3. http://imdb.Filmography.com/Read/2019/12/07/87904/imdb/Harvan-
Agustriansyah

93
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Benyamin O. Baba lahir di Noekele pada

tanggal 8 Januari 1994. Terlahir Sebagai

anak ke-4 dari 5 bersaudara. Penulis

menyelesaikan Pendidikan pada TK Gloria

Tuatuka pada Tahun 2000. Menyelesaika

Pendidikan pada Sekolah Dasar SD GMIT

Tuatuka tahun 2006. Menyelesaikan

Pendidikan pada SMP Revormasi Plus

Kupang Tengah tahun 2009. Menyelesaikan

Pendidikan pada SMA Negeri 1 Kupang

Timur tahun 2013.

Pada Tahun 2013 penulis menjadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana Kupang dengan Berkonsentrasi

Jurnalistik.

Anda mungkin juga menyukai