Anda di halaman 1dari 187

LAKON WAYANG

SEMAR MBANGUN KAYANGAN


OLEH DHALANG KI HADI SUGITO

SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

oleh
Purnaningrum Lestari Damayanti
2102407166
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki

Hadi Sugito telah disetujui untuk diuji di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi

Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang.

Semarang, Juni 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Sukadaryanto, M.Hum Drs. Widodo


NIP 19561217 198803 1003 NIP.196411091994021001

ii
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

pada hari : Senin

tanggal : 11 Juli 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Drs. Dewa Made Kartadinata, M. Pd, Sn Dra. Endang Kurniati


NIP 195111181984031001 NIP 196111261990022001

Penguji I

Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum


NIP 196101071990021001

Penguji II Penguji III

Drs. Widodo Drs. Sukadaryanto, M. Hum


NIP 196411091994021001 NIP 195612171988031003

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi dengan judul Lakon

Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki Hadi Sugito ini benar-benar

hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juni 2011

Purnaningrum Lestari Damayanti

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Ø Apapun yang anda bisa lakukan atau bermimpi untuk bisa melakukannya,
mulailah sekarang juga. Keberanian memulai akan menggugah unsur jenius
dalam diri kita, menggugah kekuatan dan keajaiban untuk bisa menyelesaikan
apa yang telah kita mulai tadi. (Johann Wolfgang von Goethe)

Persembahan

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada:


Ø Bapak dan Ibuku serta kakak-kakakku yang
selama ini selalu mendukung dan mendoakanku.
Ø Mas Bowo yang selalu memberi motivasi,
semangat, dan selalu ada untukku di kala suka
maupun duka dalam menyusun skripsi.
Ø Sahabat-sahabatku di Tweety Kost dan teman-
teman seperjuangan yang selalu
menyemangatiku.
Ø Best Prendku, Tiyas. Terima kasih untuk
persahabatan yang telah engkau berikan selama
ini dan untuk dukungan serta semangat yang
selalu kau berikan untukku.
Ø Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa UNNES
yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan kepadaku.

v
PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkah dan rahmatnya penulis mampu menyelesaikan tugas akhir

menyusun skripsi yang berjudul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh

Dhalang Ki Hadi Sugito. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak, oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada

seluruh pihak yang disebutkan di bawah ini.

1. Drs. Sukadaryanto, M. Hum., sebagai pembimbing I dan Drs. Widodo

sebagai pembimbing II yang telah bersedia mengarahkan serta memberikan

ide dan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran sampai selesainya

skripsi ini.

2. Drs. Agus Yuwono, M. Si., M. Pd. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.

3. Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri Semarang.

4. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M. Si. Rektor Universitas Negeri

Semarang.

5. Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang

telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

6. Bapak dan ibu serta kakakku yang selalu memberikan dukungan dan

motivasi kepadaku.

7. Mas Bowo yang selama ini selalu menyemangatiku dan memberikan

dukungan yang sangat berarti dalam proses menyusun skripsi ini.

vi
8. Sahabat-sahabatku di Tweety Kost (Cucur, Uki, Tiblung, Kanjeng Mami, dan

Kak Iyus).

9. Teman-teman seperjuangan (Rita, Epi, Wahyu, Nobi, dkk).

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Semoga semua bimbingan, dukungan, dan motivasi yang diberikan

mendapatkan berkah dari Allah SWT. Harapan penulis semoga dengan

diselesaikannya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada

khususnya dan semua pihak pada umumnya.

Semarang, Juni 2011

Penulis

Purnaningrum Lestari Damayanti

vii
ABSTRAK

Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan


Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs.
Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.

Kata kunci: wayang purwa, struktur lakon.

Pertunjukan wayang purwa yang sering diadakan di Jawa mengambil lakon


Mahabarata dan Ramayana. Dalam pertunjukan wayang purwa sudah banyak
lakon yang ditampilkan oleh para dhalang, misalnya Bima Maneges, Gathutkaca
Gugur, Semar Mbangun Kayangan, dan lain-lain. Dari sekian banyak lakon dalam
pertunjukan wayang purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang
Hadi Sugito yang terpilih menjadi objek kajian dalam skripsi ini.
Permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang struktur lakon Semar
Mbangun Kayangan. Tujuan dari penelitian ini yaitu menjelaskan struktur lakon
Semar Mbangun Kayangan. Secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat
digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang
pewayangan. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat digunakan mahasiswa
lain sebagai referensi penelitian selanjutnya, serta dapat digunakan sebagai
sumber pengetahuan bagi guru dan elemen masyarakat. Penelitian ini
menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan ini digunakan untuk penelitian
yang meneliti tentang unsur-unsur intrinsik suatu karya sastra. Unsur-unsur
intrinsik ini dibagi menjadi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting),
serta tema dan amanat.
Setelah dilakukan penelitian terhadap lakon Semar Mbangun Kayangan,
struktur lakon dari lakon ini meliputi alur, penokohan, latar, tema dan amanat,
serta pembagian tahapan pathet. Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan
dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Menurut jumlahnya,
alur lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur tunggal. Dilihat dari segi
prosesnya, alur dalam lakon ini termasuk alur menanjak (rising plot). Tahapan
alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan
keputusan. Pembagian tahapan pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan
meliputi pathet lima, pathet sanga, dan pathet manyura. Tokoh protagonis dalam
lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa,
Raden Antasena, Sang Hyang Padawenang, dan Bathara Kaneka Putra. Tokoh
antagonis dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna, Bathara
Guru, Bathari Durga, dan Maling Sukma. Tokoh durjana dalam lakon Semar
Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna. Aspek ruang dalam lakon ini terdapat
di Kraton Ngamarta, Sitinggil Binatutata, Kayangan Jonggring Saloka,
Pedhukuhan Karang Kapulutan, dan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu dalam
lakon ini tidak digambarkan dengan jelas sehingga tidak diketahui peristiwa ini
terjadi pada masa apa. Aspek suasana dalam lakon Semar Mbangun Kayangan
berupa suasana hikmad, tegang, dan gembira. Tema yang diangkat dalam lakon
Semar Mbangun Kayangan adalah perjalanan menuju kebenaran. Amanat lakon

viii
Semar Mbangun Kayangan ada dua, yaitu bagi para pemimpin untuk mau
mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan
tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat yang kedua yaitu bagi
rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan
kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena kebenaran pasti akan
menang.
Saran yang dapat diberikan adalah wayang sebagai budaya terbesar
masyarakat Jawa hendaknya tetap dijaga kelestariannya, terutama oleh generasi
muda supaya sampai kapanpun wayang tetap menjadi pertunjukan yang selalu
diminati masyarakat Jawa. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap lakon
wayang ini karena pada penelitian ini hanya membahas tentang struktur lakon,
sedangkan masih banyak hal yang perlu diteliti dari lakon ini.

ix
SARI

Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan


Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs.
Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.

Tembung wigatos: wayang purwa, struktur lakon

Pagelaran wayang purwa sing sering dianakke ing Jawa njupuk lakon
Mahabarata lan Ramayana. Ing pagelaran wayang purwa wis akeh lakon sing
ditampilake para dhalang, kayata Bima Maneges, Gathutkaca Gugur, Semar
Mbangun Kayangan, lan liya-liyane. Saka akehe lakon ing pagelaran wayang
purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan dening Ki Dhalang Hadi Sugito sing
dipilih dadi bahan garapan ing skripsi iki.
Perkara sing arep diteliti yaiku struktur lakon Semar Mbangun Kayangan.
Ancas saka panaliten ini yaiku jlentrehake struktur lakon Semar Mbangun
Kayangan. Paedah teoretis dikarepake panaliten iki bisa digunaake kanggo
ngembangake ilmu pengetahuan khususe ing bidang pewayangan. Paedah praktis
dikarepake panaliten iki bisa digunaake mahasiswa liya kanggo sumber panaliten
sateruse, sarta bisa digunaake sumber pengetahuan kanggo guru lan elemen
masyarakat. Panaliten iki nggunaake pendekatan objektif. Penedekatan iki
digunaake kanggp panaliten sing neliti babagan unsur-unsur intrinsik sawijining
karya sastra. Unsur-unsur intrinsik kabagi dadi alur (plot), penokohan
(perwatakan), latar (setting), sarta tema lan amanat.
Asil panaliten saka lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku, dideleng saka
mutune, alur sing digunakke ing lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku alur
tunggal. Saka jumlahe, alur lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku alur tunggal.
Dideleng saka prosese, alur sing dinggo ing lakon iki yaiku alur menanjak (rising
plot). Urutan alur saka lakon iki yaiku eksposisi, konflik, komplikasi, krisis,
resolusi, lan keputusan. Urutan pathet saka lakon Semar Mbangun Kayangan
yaiku pathet lima, pathet sanga, lan pathet manyura. Paraga protagonis ing lakon
Semar Mbangun Kayangan yaiku Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Raden
Antasena, Sang Hyang Padawenang, lan Bathara Kaneka Putra. Paraga
antagonis ing lakon iki yaiku Bathara Kresna, Bathara Guru, Bathari Durga, lan
Maling Sukma. Paraga durjana ing lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku
Bathara Kresna. Aspek ruang ing lakon Semar Mbangun Kayangan kasebar ing
Kraton Ngamarta, Sitinggil Binatutata, Kayangan Jonggring Saloka, Pedhukuhan
Karang Kapulutan, lan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu ing lakon iki ora
digambarake kanthi gambalang mulane ora dingerteni kedadeyan iki ana ing
wektu apa. Aspek suasana ing lakon Semar Mbangun Kayangan arupa hikmad,
tegang, lan gembira. Temane lakon iki mlaku tumuju bener. Amanat lakon Semar
Mbangun Kayangan ana loro, yaiku kanggo para pemimpin supaya gelem
ngrungokke suara rakyat, bijaksana, ora mung menangan, lan adil. Amanat sing
kaloro yaiku kanggo rakyat supaya wani nyuarakke bener lan gigih menangake
kabeneran kuwi.

x
Saran sing bisa diwenehake yaiku wayang minangka budaya paling gedhe
kanggo masyarakat Jawa kudune dijaga kalestariane, khususe generasi muda
supaya nganti kapan wae wayang tetep dadi pagelaran sing diminati masyarakat
Jawa. Perlu ana panaliten luwih marang lakon Semar Mbangun Kayangan
amarga ing panaliten iki mung mbahas struktur lakon, kamangka isih akeh sing
perlu diteliti saka lakon iki.

xi
DAFTAR ISI

Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
PENGESAHAN........................................................................................... iii
PERNYATAAN .......................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................. v
PRAKATA .................................................................................................. vi
ABSTRAK................................................................................................... viii
SARI (Bahasa Jawa) ................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS


2.1 Kajian Pustaka ............................................................................. 8
2.2 Landasan Teoretis ........................................................................ 8
2.2.1 Wayang .................................................................................... 8
2.2.2 Strukturalisme .......................................................................... 10
2.2.3 Struktur Lakon .......................................................................... 11
2.2.3.1 Alur ....................................................................................... 12
2.2.3.2 Penokohan ............................................................................. 20
2.2.3.3 Latar ...................................................................................... 24
2.2.3.4 Tema dan Amanat .................................................................. 28
2.3 Kerangka Berpikir ....................................................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................. 32
3.2 Sasaran Penelitian........................................................................ 32
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 33
3.4 Teknik Analisis Data ................................................................... 33

xii
BAB IV STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN
4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ....................................... 35
4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ........................... 35
4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ...................... 38
4.1.2.1 Eksposisi ............................................................................... 38
4.1.2.2 Konflik .................................................................................. 39
4.1.2.3 Komplikasi ............................................................................ 42
4.1.2.4 Krisis ..................................................................................... 50
4.1.2.5 Resolusi ................................................................................. 60
4.1.2.6 Keputusan .............................................................................. 68
4.2 Penokohan ................................................................................... 82
4.2.1 Tokoh Protagonis ...................................................................... 82
4.2.2 Tokoh Antagonis ...................................................................... 89
4.2.3 Tokoh Durjana .......................................................................... 92
4.3 Latar ............................................................................................ 94
4.3.1 Aspek Ruang ............................................................................ 94
4.3.2 Aspek Waktu ............................................................................ 100
4.3.3 Aspek Suasana .......................................................................... 100
4.4 Tema dan Amanat........................................................................ 104

BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ..................................................................................... 106
5.2 Saran ........................................................................................... 107

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 109

LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di tanah Jawa ini ada banyak dhalang yang sudah terkenal di kalangan

masyarakat. Beberapa nama dhalang tersebut yaitu Ki Anom Suroto, Ki Mantep

Sudarsono, Ki Enthus, Ki Hadi Sugito, dll, namun yang paling menarik dari

beberapa dhalang yaitu Ki Hadi Sugito. Ki Hadi Sugito merupakan seorang

dhalang yang berasal dari daerah Wates, Yogyakarta. Ki Hadi Sugito dikenal

sebagai seorang dhalang yang tetap berpegang kuat pada pakem wayang kulit

gaya Yogyakarta yang tetap menonjolkan fungsi wayang sebagai tontonan

sekaligus tuntunan. Kepiwaian beliau dalam jagad pakeliran sudah terkenal di

nusantara. Beliau seorang dhalang yang kreatif dan inovatif. Pesan-pesan yang

beliau sampaikan tiap tampil selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan

terkadang beliau juga mempublikasikan masalah yang sedang aktual di kalangan

masyarakat. Kehebatan lain dari Ki Hadi Sugito yaitu kepiawaiannya dalam

mbanyol atau lawak. Pada lakon Semar Mbangun Kayangan, beliau benar-benar

bisa menghidupkan tokoh punakawan dengan berbagai macam banyolannya,

sehingga penonton tidak merasa bosan saat melihat pertunjukan wayang. Ki Hadi

Sugito juga terkenal dengan seorang dhalang yang pandai dalam antawecana,

yaitu menyuarakan secara tepat suara tiap tokoh wayang. Beberapa lakon yang

pernah dimainkan oleh beliau yaitu Semar Mbangun Kayangan, Abimanyu

Ranjap, Arimba Gugur, Gathotkaca Gugur, dll.

1
2

Keistimewaan lain dari Ki Hadi Sugito terletak pada sanggitnya. Sanggit

merupakan kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan

dialog dan skenario untukmembentuk atau mengarahkan opini penonton terhadap

jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut oleh Dhalang. Hal

tersebut terlihat dari kemahiran Ki Hadi Sugito yang membuat tiap adegan selalu

ada guyonannya, dan itu sangat berbeda dengan dhalang yang menganut pakem

Surakarta.

Penelitian ini difokuskan pada cerita wayang dengan judul Semar Mbangun

Kayangan yang didhalangi oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Pada lakon ini tokoh

utamanya yaitu Ki Semar Badranaya yang merupakan titisan Bathara Ismaya. Ki

Semar Badranaya merupakan pengasuh Pandhawa terutama Arjuna. Beliau

menggulawenthah dan mendidik Pandhawa. Lakon ini menceritakan tentang

Semar yang ingin memperbaiki budi pekerti dan jiwa kepemimpinan para

penguasa Ngamarta, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

Ceritanya dimulai dari Ki Semar Badranaya yang tidak pernah hadir dalam

pertemuan agung di Ngamarta. Akhirnya Petruk datang ke Ngamarta untuk

memberitahukan kepada para Pandhawa bahwa Ki Semar Badranaya akan

membangun kayangan dan membutuhkan bantuan para Pandhawa serta pusaka

Ngamarta berupa Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Songsong

Tunggulnaga.

Simbolisme tiga pusaka tersebut cukup menjelaskan niat baik Semar.

Kalimasada dimaknakan sebagai kalimat syahadat. Pusaka syahadat inilah yang


3

akan digunakan Semar untuk membangun ruhani. Tumbak Karawelang adalah

simbol ketajaman yang dengan personifikasi tersebut Semar bermaksud

membangun ketajaman hati, ketajaman visi dan indera para Pandawa. Songsong

Tunggulnaga adalah ungkapan bahwa Pandawa sebagai pemimpin harus memiliki

karakter mengayomi sebagaimana fungsi songsong.

Penyajian cerita yang dikemas dalam bentuk jalan cerita menjadikan lakon

Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito ini menarik untuk diteliti.

Dimulai dari pertemuan yang diadakan di Ngamarta, dilanjut dengan pertemuan

Kresna dengan Batara Guru, pertemuan pandhawa kecuali Arjuna dengan Ki

Semar Badranaya, lawakan-lawakan punakawan, sampai akhirnya Semar berhasil

membangun jiwa kepemimpinan pandhawa. Jalan cerita tersebut disajikan oleh Ki

Hadi Sugito dengan sangat baik dan menarik.

Penokohan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito

sangat bervariasi, mulai dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh

durjana. Keberadaan tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi Sugito dalam lakon

ini membuat cerita semakin hidup. Tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi

Sugito adalah Bathara Kresna. Dia berperan menjadi penghasut pandhawa supaya

pandhawa tidak membantu Ki Semar Badranaya dalam membangun kayangan.

Lawakan-lawakan yang disajikan Ki Hadi Sugito melalui Gareng, Petruk, dan

Bagong membuat lakon wayang ini tidak monoton. Ketiga tokoh tersebut

membuat cair suasana yang tadinya tegang menjadi tenang dan penuh guyonan.

Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan anak dari Ki Semar Badranaya. Mereka
4

bertiga dalam lakon ini ikut andil juga dalam usaha Ki Semar Badranaya untuk

memperbaiki kepribadian para pandhawa. Bantuan mereka ditunjukkan dengan

usaha memerangi para buta suruhan Betari Durga yang akan membunuh Ki Semar

Badranaya. Lawakan-lawakan dan jalan cerita yang disajikan oleh Ki Hadi Sugito

sangat sudah sesuai dengan fungsi wayang sebagai tontonan, yaitu tontonan yang

bisa menghibur masyarakat.

Berkaitan dengan fungsi wayang sebagai tuntunan, lakon Semar Mbangun

Kayangan juga banyak mengandung nilai-nilai ajaran hidup yang berguna bagi

masyarakat. Nilai-nilai ajaran hidup tersebut tertuang dalam dialog tiap tokoh.

Salah satu contohnya terdapat pada dialog Ki Semar Badranaya dengan

Pandhawa. Ki Semar Badranaya menjelaskan kepada Pandhawa bahwa sebagai

ratu yang menjadi contoh ratu-ratu di negeri-negeri lain haruslah memiliki watak

kuat pada pendirian dan tidak goyah terhadap bujukan seperti yang dilakukan oleh

Arjuna.

Keistimewaan dari lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat pada

filosofinya, yaitu usaha memperbaiki karakteristik pemimpin di Ngamarta yang

dilakukan oleh Ki Semar Badranaya. Rakyat jelata yang menjadi korban

kelaliman para pemimpinnya. Namun Ki Semar Badranaya sebagai seorang jelata

tidaklah mau kalah dengan pemimpinnya. Dia tetap berpegang teguh pada tekad

dan kemauannya untuk berjuang demi pembaharuan yang baik. Keistimewaan

yang lain terdapat pada kepandaian Ki Semar Badranaya yang meminjam tiga

pusaka penting di Ngamarta untuk melaksanakan niatnya membangun kayangan


5

yang tak lain adalah jiwa kepemimpinan dari penguasa Ngamarta. Akhirnya

dengan segala perjuangannya, Ki Semar Berhasil memperbaiki jiwa

kepemimpinan para pemimpinnya. Di sinilah pelajaran yang sangat berharga,

sebagai rakyat jelata harus mau mencontoh apa yang dilakukan oleh Semar,

menyuarakan pendapat kita tanpa takut mati, terutama di saat negara sedang

terpuruk seperti ini.

Lakon Semar Mbangun Kayangan diangkat dalam penelitian ini karena

ceritanya yang sangat menarik. Tokoh dan penokohannya yang menarik. Cerita

dalam lakon tersebut sangatlah erat kaitannya dengan Negara Indonesia saat ini.

Para pemimpin di Negara Indonesia hanyalah mementingkan kekuasaan, tidak

memperhatikan keadaan rakyatnya, dan sama sekali tidak mempunyai jiwa

kepemimpinan yang handal. Hal itu seperti yang terjadi pada penguasa Ngamarta

yaitu para Pandhawa. Fenomena tersebut yang membuat Ki Semar Badranaya

ingin mengembalikan mereka ke jalan yang benar, supaya mereka tidak hanya

mementingkan kekuasaan.

Tujuan meneliti cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan untuk lebih

mengetahui tentang struktur lakon dari cerita wayang tersebut. Penelitian ini akan

membuat lebih paham dan mengerti tentang teori-teori yang berhubungan dengan

struktur lakon, terutama struktur lakon yang terdapat dalam cerita wayang Semar

Mbangun Kayangan. Struktur lakon ini akan memfokuskan pada dialog-dialog

dari para tokoh yang terjadi pada tiap peristiwa. Dialog-dialog tersebut yang akan

memunculkan peristiwa-peristiwa baru.


6

Penelitian terhadap cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan

diharapkan bisa memberi masukan kepada para pejabat di Negara Indonesia

supaya bisa memahami dan menjalankan amanat dari cerita wayang tersebut.

Amanat dari cerita wayang tersebut yaitu bagi penguasa untuk mau mendengar

suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-

mena dalam menegakkan keadilan. Sekaligus amanat bagi rakyat khususnya

rakyat Indonesia untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam

mempertahankan kebenaran itu.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana struktur lakon pada pertunjukan wayang kulit dengan lakon

Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi Sugito?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan yang

hendak dicapai dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur lakon dari

pertunjukan wayang kulit Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi

Sugito.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat teoretis maupun manfaat

praktis kepada para mahasiswa. Secara teoretis penelitian ini dapat digunakan

sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pewayangan. Secara


7

praktis penelitian ini dapat digunakan mahasiswa lain sebagai referensi penelitian

selanjutnya, serta dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi guru dan

elemen masyarakat.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito belum pernah dikaji

menggunakan teori apapun. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang

mengkaji lakon Semar Mbangun Kayangan, oleh karena itu tidak ada skripsi atau

penelitian yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam skripsi ini.

2.2 Landasan Teoretis

Teori-teori yang berkenaan dengan penelitian ini antara lain mengenai (1)

wayang, (2) strukturalisme, dan (3) struktur lakon yang di dalamnya ada beberapa

unsur yaitu, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan

amanat

2.2.1 Wayang

Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa, maksudnya wayang

merupakan jati diri manusia Jawa, oleh karena itu wayang sangatlah istimewa

bagi orang Jawa. Keistimewaan itu terdapat pada filosofisnya. Filosofi wayang

mampu menjadi tuntunan hidup sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini

dibuktikan dengan tidak sedikitnya nama tempat atau nama orang yang diambil

dari pewayangan. Misalnya, puncak Gunung Muria dinamakan Sapto Arga yang

merupakan tempat pertapaan Yudhistira, nama orang zaman sekarang ada yang

namanya Yudhistira, Arjuna, Bima, dll. Hal itu membuktikan bahwa wayang

sangatlah berarti bagi masyarakat Jawa (Hermawati 2006:1).

8
Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu

dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia

(Jawa : ayang-ayang). Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah

wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar

putih. Pengertian itu telah menunjuk pada boneka dua dimensi, yaitu boneka

wayang kulit (Mulyono 1978:39-40).

Wayang pada Kamus Istilah Drama merupakan boneka tiruan orang yang

terbuat dari patahan kulit atau kayu, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan

untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (seperti di Bali,

Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dhalang.

Orang Jawa pada zaman dahulu sengaja memberi ruang tersendiri untuk

pertunjukan wayang di rumahnya. Ruangan tersebut disebut dengan Pringgitan.

Bagi orang Jawa yang tidak mengerti tentang wayang berarti orang tersebut

tidaklah paham terhadap jati dirinya. Hal itu dimaksudkan bahwa sebagai seorang

manusia Jawa, kita harus memahami kebudayaan Jawa, terutama seni wayang

yang merupakan kesenian terbesar dari budaya Jawa.

Wayang disebut sebagai kesenian terbesar dalam kebudayaan Jawa karena

wayang tidak hanya sebagai tontonan bagi orang Jawa tetapi juga sebagai

tuntunan tingkah laku. Wayang bukan hanya sekadar sarana hiburan, tetapi juga

sebagai sarana komunikasi serta media pendidikan. Di dalam tiap cerita wayang

pasti terkandung makna dan amanat yang bisa diambil oleh penonton, maka dari

itu wayang berfungsi sebagai tuntunan.


Di Tanah Jawa ini wayang yang sangat terkenal dan sering dipertontonkan

yaitu wayang purwa, yaitu wayang yang mengambil tema Mahabarata dan

Ramayana. Mahabarata menceritakan kisah hidup Pandhawa, yaitu putra Pandu

yang terdiri dari Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ramayana

menceritakan tentang kisah hidup Ramawijaya dan Sinta.

Pertunjukan wayang purwa atau wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang

dhalang. Dhalanglah yang menjadi sutradara dalam pertunjukan wayang,

sehingga seorang dhalang harus benar-benar mengerti cerita wayang yang sedang

dimainkannya. Pada Masyarakat Jawa, dhalang dianggap sebagai "wong kang

wasis ngudhal piwulang” maksudnya orang yang pandai menyampaikan ajaran-

ajaran. Jadi, dalam pertunjukan wayang dhalang berperan sebagai seorang filsuf,

seorang guru, seorang seniman, seorang pelawak, seorang orator, dan seorang

komunikator.

2.2.2 Strukturalisme

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah

sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur

pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan,

dan gambaran semua bahan serta bagian yang menjadi komponennya yang secara

bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams 1981 : 68). Struktur karya

sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat

timbale balik, saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama

membentuk satu kesatuan yang utuh. Tiap unsur itu akan menjadi berarti dan

sangat penting setelah ada hubungan dengan unsur yang lain.


Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan

yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang

bersangkutan. Jadi analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat

dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan

hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur intrinsik yang

dimaksud yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting atau latar, serta tema

dan amanat. Dengan demikian analisis struktural bertujuan untuk memaparkan

fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama

menghasikan sebuah satu kesatuan yang utuh.

2.2.3 Struktur Lakon

Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik lebih bersifat batin

daripada fisik. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motif.

Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian.

Lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa. Lakon berasal dari

kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa. Jadi, lakon

wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang.

Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang

ditampilkan (Murtiyoso, dkk 2004: 57).

Mohammad Kanzunnudin dalam bukunya yang berjudul Kamus Istilah

Drama (2003:62) memberikan definisi lakon adalah karangan berbentuk drama

yang ditulis dengan maksud untuk dipentaskan. Pada Kamus Istilah Sastra,

definisi lakon adalah karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud
untuk dipentaskan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

lakon adalah drama.

Jenis lakon berbeda dengan jenis prosa dan puisi dalam hal hakikat, bentuk

pengungkapan, dan teknik penyajiaannya. Hakikat lakon adalah tikaian (konflik).

Hakikat prosa adalah cerita, dan hakikat puisi adalah imajinasi. Lakon, prosa, dan

puisi merupakan bentuk-bentuk pengungkapan sastra. Teknik penyajian lakon

menggunakan cakapan, baik monolog maupun dialog. Prosa menggunakan

kisahan, sedangkan puisi menggunakan citraan.

Di dalam drama ada dua aspek yang sangat penting, yaitu struktur dan

tekstur. Struktur merupakan komponen paling utama dalam drama. Struktur

adalah bangunan yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur tersusun menjadi suatu

kerangka bangunan arsitekstural. Satoto (1985:14) mengatakan bahwa adegan-

adegan di dalam lakon merupakan bangunan unsur-unsur yang tersusun dalam

satu kesatuan. Jadi untuk menganalisis struktur lakon, harus memulai dengan unit

paling dasar yaitu adegan. Unsur-unsur pendukung struktur lakon yaitu alur atau

plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.

2.2.3.1 Alur atau Plot

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Tautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal dan

hubungan kasual (sebab akibat). Pengertian lain tentang alur yaitu rangkaian

peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan

cerita melalui perumitan atau komplikasi ke arah klimaks dan penyelesaian.


Pada Kamus Istilah Drama (2003:4-5), alur diartikan jalinan peristiwa di

dalam naskah drama atau sastra untuk mencapai efek tertentu. Tautannya dapat

diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau

sebab akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin secara

seksama, yang sanggup menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan kea rah

klimaks dan penyelesaian atau tanpa penyelesaian.

Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,

peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Kenny (1966:14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang

ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang

menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

Struktur umum yang membentuk alur dramatik sebuah lakon adalah

introduction atau exposition (perkenalan atau eksposisi), rising action atau

complication (perumitan, penggawatan atau komplikasi), the climax atau turning

point (klimaks atau puncak yang sangat menentukan), falling action atau

unravelling ( leraian atau selesaian), the denouement atau resolution in tragedy

(resolusi), dan yang terakhir the conclusion (kesimpulan akhir).

Alur adalah rangkaian peristiwa yg direka dan dijalin dng saksama dan

menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan penyelesaian

atau jalinan peristiwa dl karya sastra untuk mencapai efek tertentu, pautannya

dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal

atau sebab-akibat (http://www.artikata.com/arti-318576-alur.html).


Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang

disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional dalam karya fiksi. Alur ini

merupakan perpaduan unsur–unsur yang membangun cerita. Alur merupakan

rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan

rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konfflik yang terdapat

di dalamnya (http://pendekarjawa.wordpress.com/2009/05/06/analisis-struktural-

cerkak-%E2%80%9Cbecak%E2%80%9D-karya-budi-susanto.html).

Pendapat lain disampaikan oleh William Henry Hudson (dalam Satoto,

1985:21-22). Menurutnya struktur drama ada enam tahap, yaitu eksposisi, konflik,

komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Berikut ini penjelasan Hudson

mengenai tahap-tahap di atas.

(1) Eksposisi, cerita diperkenalkan agar penonton mendapat gambaran selintas

mengenai drama yang ditontonnya, agar mereka terlibat dalam peristiwa

cerita.

(2) Konflik, pelaku cerita terlibat dalam satu pokok persoalan. Di sini mula

terjadinya insiden akibat timbulnya konflik.

(3) Komplikasi, terjadilah persoalan baru dalam cerita atau disebut juga rising

action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat, maka tahap ini disebut

perumitan atau penggawatan.

(4) Krisis, pada tahap ini persoalan telah mencapai puncaknya (klimaks). Pada

tahap ini harus diimbangi dengan upaya mencari jalan keluar.


(5) Resolusi, pada tahap ini persoalan telah memperoleh peleraian. Tegangan

akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini disebut juga

dengan falling action.

(6) Keputusan, pada tahap ini persoalan telah memperoleh penyelesaiaannya.

Konflik sudah dapat diakhiri.

Jadi jika dilukiskan dengan gambar, alur struktur drama di atas

sebagai berikut:

c e

a b f

a : eksposisi
b : konflik
c : komplikasi
d : krisis
e : resolusi
f : keputusan

Alur dilihat dari segi mutunya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) alur

erat atau ketat yaitu jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam karya sastra.

Kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan, maka keutuhan cerita akan

terganggu. (2) alur longgar yaitu jalinan peristiwa yang tidak padu. Kalau salah

satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya

cerita. Pada alur longgar sering disisipi alur-alur bawahan, maka sering timbul

penyimpangan alur.
Alur dilihat dari segi jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1)

alur tunggal, dan (2) alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu alur, alur

ini digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu

sebagai hero atau pahlawan. Pada alur ganda terdapat lebih dari satu alur atau

terdapat beberapa tokoh yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan

konflik yang dihadapi. Alur ganda terdapat pada lakon wayang.

Alur dilihat dari sisi lain dapat dibedakan menjadi sembilan. Berikut ini

pembagian alur dilihat dari sisi lain.

(1) Alur menanjak (rising plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra

yang semakin menanjak sifatnya.

(2) Alur menurun (falling plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra

yang semakin menurun sifatnya.

(3) Alur maju (progressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya

sastra yang berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari tahap

awal sampai tahap akhir cerita.

(4) Alur mundur (regressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya

sastra yang urutan atau penahapannya bermula dari tahap akhir atau tahap

penyelesaian, baru tahap-tahap peleraian, puncak, perumitan, dan

perkenalan.

(5) Alur lurus (straight plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra

yang penahapannya runtut atau urut, baik sebagai alur maju maupun alur

mundur.
(6) Alur patah (break plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra

yang penahapannya tidak urut atau runtut tetapi patah-patah.

(7) Alur sirkuler (circular plot) atau alur bundar atau alur lingkar, yaitu alur

yang melingkar-lingkar dari suatu cerita.

(8) Alur linier (linear plot), yaitu alur lurus (progressive plot).

(9) Alur episodik (episodic plot) atau nonlinier plot. Jalinan peristiwanya tidak

lurus, tetapi patah-patah. Alur episodik ini merupakan alur kecil. Peristiwa

yang dijalin ke dalam alur episodik ini merupakan episode-episode atau

bagian dari cerita panjang. Misalnya episode-episode dalam Bharatayudha

(termasuk di dalamnya episode “Karna Tandhing”).

Alur dilihat berdasarkan kriteria isi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)

alur peruntungan, (2) alur tokohan, dan (3) alur penikiran. Alur peruntungan

berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan yang

menimpa tokoh utama dari cerita yang bersangkutan. Alur peruntungan dibedakan

menjadi alur gerak, alur sedih, alur tragis, alur penguhukuman, alur sentimental,

dan alur kekaguman. Alur yang kedua alur tokohan, yaitu alur yang menyaran

pada adanya sifat pementingan tokoh, di sini tokoh yang menjadi fokus perhatian.

Alur tokohan dibedakan menjadi alur pendewasaan, alur pembentukan, alur

pengujian, dan alur kemunduran. Alur yang ketiga alur pemikiran, yaitu alur yang

mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan,

berbagai macam obsesi, dan lain-lain hal yang menjadi masalah hidup dan

kehidupan manusia. Alur pemikiran dibedakan menjadi alur pendidikan, alur

pembukaan rahasia, alur afektif, dan alur kekecewaan.


Teknik pengaluran yang biasa digunakan dibagi menjadi dua yaitu, (1)

sorot balik, dan (2) tarik balik. Sorot balik yaitu teknik pengaluran mundur,

pengungkapan peristiwa berjalan surut ke peristiwa-peristiwa yang terjadi

sebelumya. Tarik balik yaitu bentuk teknik pengaluran patah, penyisipan alur

bawaha ke dalam alur utama. Alur bawahan yang disisipkan berupa peristiwa

yang secara kronologis terjadi sebelumnya (Satoto 1985:23).

Menurut Satoto, secara tradisional struktur lakon wayang mempunyai tiga

tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.

(1) Pathet Nem

Pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan yang ditancapkan condong

ke kiri, tahapan pathet sanga ditandai dengan gunungan ditancapkan tegak lurus,

dan pathet manyura ditandai dengan penancapan gunungan condong ke kanan.

Sesuai dengan adegan-adegannya, tahapan pathet nem melambangkan kehidupan

manusia pada masa kanak-kanak. Jejer merupakan adegan pertama dalam

wayang. Pada adegan kedhaton di mana raja yang selesai bersidang diterima

permaisuri untuk bersantap bersama yang diartikan sebagai lambang bayi yang

baru lahir disambut oleh ibunya. Adegan paseban jawi diartikan melambangkan

kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar.

Adegan jaranan yang ditampilkan dengan pasukan binatang diartikan watak

anak, bahwa anak yang belum dewasa wataknya seperti binatang. Adegan perang

ampyak diartikan melambangkan perjalanan hidup seorang anak yang sudah

beranjak dewasa, mulai menghadapi banyak kesulitan dan hambatan. Akhir dari

perang ampyak menunjukkan semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan
baik. Adegan sabrangan dilambangkan sebagai seorang anak yang sudah dewasa

namun masih mempunyai watak-watak yang dominan dalam keangkaramurkaan,

emosional dan nafsu. Adegan terakhir dalam pathet nem adalah perang gagal,

yaitu suatu perang yang belum berakhir dengan kemenangan. Adegan ini

melambangkan tataran hidup yang belum mantap.

(2) Pathet Sanga

Adegan pada pathet sanga terdiri dari gara-gara, adegan pertapaan atau

pandhita, adegan perang kembang, dan adegan sintren. Adegan gara-gara

merupakan adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan ini diartikan

bahwa ketika manusia menginjak dewasa, hidup terasa indah dan menyenangkan.

Adegan pandhita adalah adegan pertemuan antara seorang pendeta di pertapaan

dengan seorang kesatria. Adegan ini melambangkan suatu masa di mana manusia

sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.

Adegan perang kembang adalah adegan perang antara raksasa melawan

seorang kesatria yang diiringi punakawan. Adegan perang kembang

melambangkan suatu tataran di mana manusia sudah mulai mampu dan berani

memenangkan atau mengalahkan nafsu keangkaramurkaan. Adegan sintren adalah

adegan yang menggambarkan seorang kesatria sudah menetapkan pilihannya

dalam menempuh hidup. Adegan tersebut melambangkan tataran di mana manusia

sudah mampu menentukan pilihan hidupnya.

(2) Pathet Manyura

Adegan pada pathet manyura terdiri dari jejer manyura, perang brubuh, dan

tancep kayon. Pada jejer manyura diceritakan bahwa tokoh utama di dalam lakon
sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini

melambangkan tataran kehidupan manusia, di mana manusia setelah berhasil

menentukan pilihan, lalu bertekad untuk menggapai tujuan hidupnya tersebut.

Adegan perang brubuh disebut juga perang ageng karena merupakan perang

yang paling besar, dengan banyak korban yang berjatuhan. Perang ini diakhiri

dengan kemenangan di pihak kesatria. Adegan ini melambangkan bahwa manusia

sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan hambatan guna mencapai tujuan

hidup yang diinginkan. Adegan terakhir adalah tancep kayon sebagai penutup

pada pagelaran wayang tersebut, yaitu kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir

sebagaimana halnya ketika pertunjukan wayang belum dimulai. Adegan tancep

kayon ini melambangkan proses maut, yaitu manusia sudah meninggalkan alam

fana menuju ke alam baka yang kekal dan abadi. Pada akhir pertunjukan wayang

kulit purwa seringkali dimainkan tarian wayang golek wanita yang menyiratkan

suatu anjuran agar para penonton mencari makna atau ajaran dari pagelaran

wayang tersebut. Ada pula yang tidak memainkan boneka kayu, melainkan

menarikan tokoh ksatria pemenang, misal Werkudara. Adegan ini disebut

tayungan.

2.2.3.2 Penokohan

Penokohan yaitu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak

dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh.

Pada penokohan, watak tokoh dapat terungkap melalui (a) tindakan, (b) ujaran

atau ucapannya, (c) pikiran, perasaan, kehendaknya, (d) penampilan fisiknya, dan
(e) apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang

lain.

Pada proses penokohan, ada dua teknik yang digunakan, yaitu:

(1) Teknik analitik, yaitu teknik penampilan tokoh secara langsung melalui

uraian pengarang.

Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan

dengan seoarang yang tak mempunyai kelamin, mempunyai perut yang

besar, dan kepalanya ditutup dengan topi kuncung putih. Pelukisan

tersebut menggambarkan bahwa Semar seorang yang bijaksana dan

mempunyai ilmu banyak.

(2) Teknik dramatik, yaitu teknik penampilan tokoh yang dideskripsikan

pengarang secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifat

dan watak tokoh bisa diketahui melalui cakapan, tingkah laku, pikiran dan

perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar,

dan pelukisan fisik.

Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan

sebagai seorang tokoh yang bijaksana. Hal tersebut dapat dilihat dari

beberapa adegan dalam lakon tersebut, bagaimana Semar menghadapi

orang-orang yang menentang dia. Semar tetap terlihat sabar dalam

menghadapi orang-orang tersebut.

Tokoh dalam seni sastra disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai

pemegang peran watak, baik dalam jenis roman atau jenis lakon. Tokoh

merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam


berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling

banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian

(http://wcatatansingkat.blogspot.com/2011/01/tokoh-dan-penokohan-dalam-

cerpen.html).

Satoto (1985:25) membagi tokoh menurut kejiwaannya menjadi empat,

yaitu:

(1) Tokoh Protagonis, yaitu peran utama yang merupakan pusat atau sentral

cerita.

(2) Tokoh Antagonis, yaitu peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang

tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik).

(3) Tokoh Tritagonis, yaitu peran penengah yang bertugas menjadi pelerai,

pendamai atu pengantar protagonis dan antagonis.

(4) Tokoh Peran Pembantu, yaitu peran yang tidak secara langsung terlibat

dalam konflik (tikaian) yang terjadi tetapi ia diperlukan untuk membantu

menyelesaikan cerita.

Tokoh dilihat dari segi perkembangan wataknya dapat dibedakan menjadi

delapan. Di bawah ini pembagian tokoh menurut wataknya.

(1) Tokoh Andalan, yaitu tokoh yang tidak memegang peranan utama, tetapi

menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh andalan sering dipakai penulis lakon

atau novel atau roman untuk menyampaikan pikiran dan maksud protagonis

untuk menghindari monolog (cakapan seorang diri tentang masa lalu),

solilokui (cakapan seorang diri tentang masa datang), dan sampingan


(cakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton atau publik). Fungsi

utama tokoh andalan adalah memberi gambaran lebih terperinci tentang

protagonis.

(2) Tokoh Bulat, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik jenis lakon maupun roman

atau novel yang diperikan segi-segi wataknya hingga dapat dibedakan dari

tokoh-tokoh yang lain. Tokoh-tokoh bulat dapat mengejutkan pembaca,

pendengar, atau penonton karena kadang-kadang terungkap watak yang tak

terduga.

(3) Tokoh Datar sama dengan tokoh pipih, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik

lakon maupun roman atau novel yang hanya diungkapkan dari satu segi

wataknya. Tokoh semacam ini sifatnya statis, tidak dikembangkan secara

maksimal. Tokoh-tokoh dalam tetater tradisional bentuk wayang pada

umumnya termasuk tokoh datar atau okoh pipih.

(4) Tokoh Durjana, yaitu tokoh jahat dalam cerita. Pada lakon, tokoh durjana

menjadi biang keladi atau pengahasut. Misal pada tokoh wayang Sakuni.

(5) Tokoh Lawan, sama dengan tokoh antagonis.

(6) Tokoh Statis, yaitu tokoh yang dalam lakon maupun roman atau novel

perkembangan lakunya sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak berubah.

(7) Tokoh Tambahan, yaitu tokoh dalam lakon yang tidak mengucapkan sepatah

katapun. Mereka tidak memegang peranan, bahkan tidak penting sebagai

individu.

(8) Tokoh Utama, sama dengan tokoh protagonis.


2.2.3.3 Latar atau Setting

Abrams (1981:175) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas

tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (1965)

mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita)

sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca

secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting

untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan menciptakan suasana

tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan

demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya, di

samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan

pengetahuaannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran,

ketepatan, dan aktualisasi lataryang diceritakan sehingga merasa lebih akrab.

Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang

sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu

mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke

dalam cerita (Nurgiyantoro 2005:217).

Nurgiyantoro (2005:218-222) membagi latar menjadi empat, yaitu (1) latar

fisik, (2) latar spiritual, (3) latar netral, dan (4) latar tipikal.

(1) Latar Fisik, latar yang berupa nama tempat dan waktu terjadinya suatu

peristiwa. Penunjukan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang

bernacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada


pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar

menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus

menceritakan situasi latar.

(2) Latar Spiritual, nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar

spritual berupa tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang

berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya

karya-karya fiksi Indonesia hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik.

Hal ini akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik

yang bersangkutan. adanya deskripsi latar spiritual inilah yang menyebabkan

latar tempat tertentu, misalnya Jawa dapat dibedakan dengan tempat-tempat

lain.

(3) Latar Netral, latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang

menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar

tersebut merupakan sifat umum terhadap hal sejenis, misalnya desa, kota,

hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku di mana saja. Artinya,

jika tempat-tempat tersebut dipindahkan, hal itu tidak akan mempengaruhi

pemplotan dan penokohan.

(4) Latar Tipikal, latar ini memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu,

baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.

Latar dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya

peristiwa. Ada perbedaan yang tidak mudah dilihat antara setting bagian dari teks

dan hubungan yang mendasari suatu lakuan terhadap keadaan sekeliling. Latar

dapat menjadi lebih luas dari sekadar urutan lakuandan tidak tergantung pada arti
dari setiap peristiwa. Perumusannya, latar dipandang sebagai bagian jenis

informasi, evaluation atau penilaian, collateral atau yang mengiringi, di mana

atau where, kapan atau when, while, saat atau waktu dalam masalah apa kejadian

itu ditempatkan. Pada konteks ini latar dibicarakan dalam non-events. Jelasnya,

latar (setting) dalam lakon tidak sama dengan panggung. Panggung merupakan

perwujudan dari setting. Setting mencakup dua aspek penting yaitu, (1) aspek

ruang, dan (2) aspek waktu. Di samping dua aspek tersebut, ada satu aspek lain

yang perlu dipertimbangkan, yaitu (3) aspek suasana.

(1) Aspek Ruang

Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Pada

drama tradisional, tempat terjadinya peristiwa dalam lakon sering

diidentifikasikan dengan tempat dalam realita. Lokasi atau tempat terjadinya

peristiwa dalam lakon dapat di istana, rumah biasa, hutan, gunung, langit,

laut, pantai, tempat peperangan, dan sebagainya. Peristiwa itu juga bisa

terjadi di dunia atau di kahyangan. Jika lokasi terjadinya peristiwa bertempat

di dalam diri manusia itu sendiri, maka akan timbul konflik batin yang sulit

dileraikan. Manusia dalah sumber segala konflik, maka manusia pulalah yang

harus menyelesaikannya.

(2) Aspek Waktu

Aspek waktu dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) waktu cerita dan (b) waktu

penceritaan.

(a) Waktu Cerita, yaitu waktu yang terjadi dalam seluruh cerita atau satu

episode dalam lakon. Misalnya, perang “Bharatayudha” dalam lakon


wayang berlangsung selama 18 hari. Waktu cerita dalam lakon “Banjaran

Karna” berlangsung seusia Karna Basukarna (di dalamnya diceritakan

sejak Karna lahir sampai dengan Adipati Karna gugur di tangan Arjuna,

adiknya sendiri dalam Bharatayudha). Waktu cerita dalam lakon

“Banjaran Bisma” (di dalamnya diceritakan sejak lahirnya Dewabrata,

nama Bisma ketika kecil, hingga Bisma gugur di tangan Srikandi dalam

Bharatayudha).

(b) Waktu Penceritaan, sama dengan masa putar. Hal ini dianalogkan dengan

lakon jenis film yang penyajiannya dengan memutar roll film yang

direkamnya. Cara untuk menghitung waktu penceritaan jenis lakon adalah

dengan menghitung berapa babak, berapa adegan, dan berapa movement

dalam keseluruhan lakon. Lakon wayang kulit yang menggunakan waktu

pentas semalam suntuk mempunyai struktur ruang dan waktu yang

mempunyai fungsi dan maknanya simbolik.

(3) Aspek Suasana

Pada mulanya pagelaran wayang berhubungan dengan kepercayaan.

Kegiatannya merupakan kegiatan gaib yang berhubungan dengan upacara

sakral, magis, religius, dan didaktis. Itu semua adalah fungsi inti dari

pertunjukan wayang yang tetap dipertahankan meskipun terus berkembang

dan mengalami perubahan. Aspek suasana ini didapat dengan penggunaan

kelir, blencong, kothak, kepyak, dan dhalang.


2.2.3.4 Tema dan Amanat

Tema pada Kamus Istilah Drama (2003:109) diartikan sebagai gagasan,

ide, pikiran utama dalam karya drama. Tema tidak sama dengan pokok masalah

atau topik. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum

sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang digunakan oleh pengarang

untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro 2005:70).

Satoto (1985:15) mendeskripsikan tema dalam suatu karya sastra bukan

merupakan pokok persoalannya melainkan lebih bersifat ide sentral (pokok) yang

dapat terungkapkan baik secara langsung maupun tak langsung. Jadi, tema adalah

gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun

tidak.

Amanat dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang

kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung

maupun tak langsung, secara tersurat, tersirat atau simbolis. Mohammad

Kanzunnudin (2003:5) mendeskripsikan amanat sebagai pesan yang ingin

disampaikan oleh pengarang naskah drama atau sastra kepada penonton atau

pembaca.

Lakon bentuk wayang biasanya menggunakan teknik penyampaian pesan

secara simbolis. Wayang merupakan karya seni yang simbolis. Itulah sebabnya,

meski sumber ceritanya sama, tiap-tiap dalang berbeda cara dan hasil

penafsirannya. Masing-masing dalang berbeda dalam pendekatan, garapan, dan

gaya penyajiannya. Tiap dalang memiliki kadar imajinasi atau sanggitnya masing-

masing. Begitu pula publik penikmatnya akan bermacam-macam cara dan hasil
pendekatan atau penafsiran terhadap tema dan amanat dalam lakon wayang yang

dipagelarkan oleh dalang.

Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok

persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Tema dan amanat dalam

seni satra sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jadi tema dan

amanat tidak terlepas dari konteksnya.

2.3 Kerangka Berpikir

2.3.1 Bagan Kerangka Berpikir

CD pertunjukan wayang kulit lakon Semar


Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito

Identifikasi Masalah

Mengumpulkan dan
mentranskripsi data

Mengalisis data dengan


menggunakan teori
strukturalisme dan metode
analisis struktural

Hasil Analisis Data

Simpulan dan Saran


Lakon Semar Mbangun Kayangan yang menceritakan tentang simbol

rakyat menghendaki para pemimpin untuk membangun jiwa. Pada lakon ini pula

terlihat bahwa terkadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat,

memperlakukan rakyat sebagai objek yang bodoh, penguasa cenderung bertangan

besi dan mau menang sendiri. Pada Semar Mbangun Kahyangan ini terlihat pada

akhirnya penguasa yang lalim akan terkoreksi oleh rakyat jelata.

Permasalahan yang akan dikaji pada lakon Semar Mbangun Kayangan

yaitu struktur lakon lakon wayang tersebut. Di dalam struktur lakon terdapat

unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra, yaitu alur, tokoh dan penokohan,

latar, serta tema dan amanat. Struktur lakon wayang yang berupa tiga tahapan

akan dibahas pada bagian alur.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyimak dan

menonton pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan yang

terdapat pada kepingan CD produksi Dunia Hijau Record. Data tersebut berupa

transkrip teks monolog dan dialog antar tokoh dalam lakon Semar Mbangun

Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.

Data yang dihasilkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan

metode analisis struktural sastra, yaitu metode untuk membedah unsur-unsur

karya sastra, terutama unsur-unsur intrinsik dari sebuah karya sastra. Hasil analisis

data berupa pendeskripsian dari unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada lakon

wayang Semar Mbangun Kayangan.

Simpulan dari penelitian ini berisi tentang penjelasan secara ringkas hasil

analisis unsur-unsur intrinsik pada lakon Semar Mbangun Kayangan. Saran dalam
penelitian ini berisi tentang nasihat-nasihat pada elemen masyarakat, guru, dan

mahasiswa lain agar bisa mencontoh atau meniru sikap tegas dan keberanian

Semar dalam menegakkan keadilan, serta diharapkan skripsi ini bisa menjadi

panduan untuk penelitian selanjutnya.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif

merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada unsur-unsur intrinsik.

Masalah mendasar yang diungkapkan dalam pendekatan objektif misalnya citra

bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan

kualitas estetis. Pada fiksi, yang dicari misalnya unsur-unsur plot, tokoh, latar,

kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Pendekatan objektif akan digunakan

untuk mengeksploitasi semaksimal mungkin unsur-unsur intrinsik dari suatu karya

sastra (Ratna 2008:73-74).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

struktural. metode analisis struktural bertujuan untuk mengkaji fungsi dan

keterkaitan antar unsur pembangun dalam karya sastra. Teeuw (1988:135)

menyimpulkan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan

memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan

dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama

menghasilkan makna menyeluruh.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian dalam skripsi ini adalah lakon Semar Mbangun Kayangan

oleh Ki Hadi Sugito. Penelitian ini akan mengkaji unsur-unsur intrinsik dalam

lakon Semar Mbangun Kayangan. Unsur-unsur intrinsik tersebut yaitu alur atau

plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.

32
33

Data dalam penelitian ini berupa penggalan teks cerita beserta dialog yang

diambil dari rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar Mbangun

Kayangan oleh Ki Hadi Sugito. CD lakon wayang ini diproduksi oleh Dunia

Hijau Record yang direkam pada tanggal 6 Agustus 2007 saat Ki Hadi Sugito

mengadakan pagelaran wayang di Wates, Kulonprogo.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik menyimak.

Teknik menyimak yaitu suatu kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan

dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta intepretasi untuk

memperoleh informasi (http://kleang.blogspot.com/2010/02/pengertian-definisi-

dan-fungsi.html). Pada penelitian ini yang disimak bukan merupakan hasil

wawancara melainkan rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar

Mbangun Kayangan yang didhalangi oleh Ki Hadi Sugito. Penggunaan teknik

menyimak ini dikarenakan bahan data berupa rekaman CD yang harus dilihat dan

didengar dengan seksama untuk memperoleh data penelitian. Data dari hasil

menyimak berupa teks atau transkrip yang berisi dialog serta monolog dalam

pertunjukan wayang lakon Semar Mbangun Kayangan. Data tersebut selanjutnya

akan dianalisis secara deskriptif.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik analisis struktural yang

digunakan untuk membedah unsur-unsur dari karya sastra, terutama unsur

intrinsiknya yang terdiri dari alur atau plot, latar atau setting, tokoh dan

penokohan, serta tema dan amanat.


34

Adapun secara rinci langkah kerja yang dilakukan dalam menganalisis data

dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut:

1. Mendengarkan dan menonton rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon

Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.

2. Menstrankripsi monolog dan dialog dalam rekaman ke dalam bentuk teks

atau tulisan.

3. Menganalisis sehingga ditemukan alur, tokoh dan penokohan, latar, serta

tema dan amanat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan.

4. Memaparkan hasil analisis secara deskriptif.


BAB IV

STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN

Lakon wayang Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito

merupakan salah satu jenis lakon wayang dalam dunia pewayangan. Lakon

wayang Semar Mbangun Kayangan akan dianalisis struktur lakon yang meliputi

alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), serta tema dan amanat.

4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar

Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Alur longgar adalah jalinan peristiwa

yang tidak padu, jika salah satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan

mengganggu keutuhan dan jalannya cerita. Pada alur longgar, sering disisipi alur-

alur bawahan. Alur bawahan ini merupakan lakuan tersendiri, tetapi masih ada

hubungannya dengan alur utama. Alur bawahan dalam lakon ini terdapat pada

adegan ke-12 dan ke-21. Adegan ke-12 menceritakan Wisanggeni yang berperang

dengan Jaramaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERPERANG)


JARAMAYA
Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi?
‘Jika kamu berani dengan saya lalu kekuatan yang kamu pakai berasal
dari mana?’
WISANGGENI
Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku
cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha.

35
36

‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Saya pendek
kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’
JARAMAYA
Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora
sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek.
Ora uman patan aku.
‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku
prajurit, menendang, menyepak. Tidak tersisa kesempatan.’
WISANGGENI
Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung
klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.
‘Ayo maju ke sini. Meskipun besar tapi kalau seperti Kakek Jaramaya
hanya duduk-duduk saja. Sesudah makan kenyang, tidur.’
JARAMAYA
Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni.
‘Seenaknya sendiri kamu sama saya. Jangan lari Wisanggeni.’
WISANGGENI
Isa ngoyak aku ya nyata buta digdaya.
‘Bisa mengejarku memang nyata raksasa kuat.’
JARAMAYA
“Candhak, mati.”
‘Terkejar. Mati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Alur bawahan yang kedua terdapat pada adegan ke-21 yang menceritakan

tentang Maling Sukma dan Maling Raga yang berdiskusi bahwa mereka selalu

tidak bisa menang berperang melawan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja.

Seperti kutipan di bawah ini.

(MALING SUKMA MENGELUH KEPADA MALING RAGA)


MALING SUKMA
Dhi.
‘Dik.’
MALING RAGA
Nun.
‘Iya.’
37

MALING SUKMA
Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan.
‘Seperti apapun tetap tidak bisa karena GAthutkaca, Antareja bisa melihat
kita. Kamu maju Dik, kita gantian.’
MALING RAGA
Wuuh, paling ya kalah.
‘Wuuh, paling juga kalah.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Menurut jumlahnya, alur lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur

tunggal. Pada alur tunggal hanyalah terdapat satu alur atau terdapat satu tokoh

yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Pada

lakon Semar Mbangun Kayangan, tokoh yang disorot adalah Ki Semar Badranya.

Ki Semar Badranaya yang ingin memperbaiki jiwa para pandhawa dan

mendapatkan banyak halangan dari orang-orang yang memusuhinya, tetapi

akhirnya tetap Ki Semar Badranaya yang menang dengan berhasil membangun

jiwa para pandhawa. itulah inti dari lakon wayang Semar Mbangun Kayangan.

Dilihat dari segi prosesnya, alur dalam lakon ini termasuk alur menanjak

(rising plot). Tahapan alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi,

krisis, resolusi, dan keputusan. Lakon ini juga menggunakan alur maju

(progressive plot), di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lakon ini

berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari awal sampai akhir. Lakon

Semar Mbangun Kayangan menceritakan awal rencana Ki Semar Badranaya

mbangun kayangan sampai akhirnya berhasil dengan melewati berbagai macam

rintangan. Tahapan yang runtut dan urut ini termasuk dalam alur lurus (linier

plot).
38

4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

Tahap penceritaan yang digunakan dalam lakon Semar Mbangun

Kayangan terdiri dari enam tahap, yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis,

resolusi, dan keputusan.

4.1.2.1 Eksposisi

Pada tahap ini dhalang memperkenalkan cerita kepada penonton.

Pengenalan cerita berupa monolog atau dalam lakon wayang disebut sebagai

janturan. Tahap ini berisi tentang sekilas informasi awal lakon wayang yang

berfungsi sebagai pengenalan cerita sehingga penonton bisa masuk dan terlibat

dalam tiap adegan.

Tahap eksposisi dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dapat diketahui

melalui janturan pada awal adegan pertama. Dalam tahap eksposisi ini

digambarkan keadaan Kraton Ngamarta yang makmur, sejahtera, subur, aman,

dan terkenal di mancanegara.

Seperti dalam kutipan di bawah ini.

Adegan : bagian awal adegan pertama

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

JANTURAN

…Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh
jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi mapan siti ketumpangan
wareh, apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining
tembung murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula
kang sami among tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal
yen negara dadi pikuwat saka guruning negara. Werdining gemah
39

lakuning para sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet
datan wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing
ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan wonten
sambekala…
‘…Di depan sudah diceritakan bahwa wilayah Kerajaan Ngamarta itu
subur dan tentram. Tanahnya tulus semua yang ditanam pasti jadi ditaruh
di tanah dan terkena air, apa yang ditancapkan pasti tumbuh hijau.
Tentram artinya murah yang semua bisa dibeli karena orang-orangnya
pintar dalam mengelola pertanian. Tidak salah jika negara menjadi kuat
saka gurunya negara. Para saudagar berlayar para nahkoda yang datang
mulai malam tidak ada putusnya selalu silih berganti dari wilayah
Kerajaan Ngamarta sehingga sampai mancanegara tidak ada
halangan…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan janturan tersebut menceritakan Kraton Ngamarta yang subur.

Semua tumbuhan yang ditanam pasti tumbuh, semuanya tampak hijau. Semua

barang di Kraton Ngamarta harganya murah sehingga penduduk bisa membelinya.

Banyak saudagar yang berlayar, mulai pagi sampai pagi lagi. Hal itu yang

menyebabkan Kraton Ngamarta terkenal sampai mancanegar. Keadaan yang

seperti itu membuat Kraton Ngamarta menjadi kuat.

4.1.2.2 Konflik

Pada tahap ini mula pertamanya muncul insiden akibat adanya konflik.

Dalam tahap ini pelaku cerita terlibat dalam suatu pokok permasalahan. Konflik

pada lakon ini muncul pada bagian awal adegan ke-2 dan bagian akhir adegan ke-

2. Tahap ini dimulai dengan kedatangan Petruk ke Sitinggil Binartatra yang

membawa berita bahwa pandhawa diminta ke Karang Kapulutan untuk membantu

Ki Semar Badranaya membangun kayangan.


40

Seperti dalam kutipan dialog di bawah ini.

Adegan : 2 bagian awal

Tempat : Sitinggil Binartatra

Pathet : Nem

(PETRUK MENGHADAP PRABU PUNTADEWA UNTUK


MENYAMPAIKAN PESAN AYAHNYA YAITU MEMBOYONG
PANDHAWA KE KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBANTU KI
SEMAR BADRANAYA MEMBANGUN KAYANGAN)
PETRUK
Menawi sampun katampi mbok bilih wonten longgaring penggalih. Ing
palenggahan menika sinuwun sakadang kalebet Ndara Werkudara, Ndara
Janaka, Ndara kembar dipunaturi rawuh wonten Karang Kapulutan
kanthi ngampil pusaka tetiga, sepisan Kalimasada Jamus Kalimasada,
ingkeng angka kalih kagungan Ndalem Tumbak Karawelang, ingkeng
angka kaping tiga kagungan Ndalem Songsong Tunggulnaga awit
minangka kangge sarana bapak anggenipun badhe mbangun kayangan.
‘Jika sudah diterima jika ada kelonggaran pikiran. Di tempat pertemuan
ini sinuwun sekeluarga termasuk Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara
Kembar disuruh datang ke Karang Kapulutan dengan membawa tiga
pusaka, yang pertama jamus kalimasada, yang kedua kepunyaan sinuwun
Tumbak Karawelang, yang ketiga kepunyaan sinuwun Songsong
Tunggulnaga karena sebagai sarana bapak untuk membangun kayangan.’
PRABU PUNTADEWA
Sing bakal dibangun kayangan ngendi tah?
‘Yang akan dibangun kayangan mana?’
PETRUK
Kula mboten ngertos.
‘Saya tidak tahu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Petruk menyampaikan pesan Ki Semar Badranaya kepada Prabu

Puntadewa. Saat Petruk ditanya tentang kayangan yang akan dibangun Ki Semar

Badranaya, Petruk tidak bisa menjawab. Konflik selanjutnya terdapat pada bagian
41

akhir adegan ke-2. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan rasa

marah karena merasa dirinya tidak dianggap oleh Prabu Puntadewa.

Seperti pada kutipan dialog di bawah ini.

Adegan : 2 akhir

Tempat : Sitinggil Binartatra

Pathet : Nem

(BATHARA KRESNA MARAH KARENA MERASA DIRINYA


TIDAK DIANGGAP DALAM PERTEMUAN AGUNG DI SITINGGIL
BINARTATRA)
BATHARA KRESNA
Nuwun sewu yayi, gandheng wonten kedadosan kados mekaten,
sakmenika ingkeng raka badhe nyuwun pirsa. Yayi taksih badhe
ngginaaken dhatenging ingkeng raka menapa mboten? Yen pancen
sampun mboten ngginaaken dhatenging raka, mboten perlu kula kempal
wonten Ngamarta.
‘Permisi Yayi, karena ada kejadian seperti ini, sekarang Raka akan
bertanya. Yayi masih menggunakan kedatangan Raka apa tidak? Jika
memang sudah tidak menggunkana kedatangan Raka, tidak perlu saya
kumpul di Ngamarta.’
PRABU PUNTADEWA
Dhuh, Kaka Prabu, banjur kados pundi pun duka sesembahan kula,
banjur kados pundi kaka prabu minangka dadosipun para pandhawa?
Lajeng menapa dhasaripun?
‘Duh, Kaka Prabu, kenapa Kaka Prabu sebagai penasihat kami malah
marah, lalu bagaimana Kaka Prabu sebagai tempat berlindung
pandhawa? Lalu apa dasarnya?’
BATHARA KRESNA
Petruk matur yen Kakang Semar bakal mbangun kayangan. Kayangan
menika ingkang kagungan dewa. Leres Kakang Semar menika titisane
jawata, nanging saksampunipun Kakang Semar medhak dhateng
marcapada, menika sampun kalebet titah sowantah. Yen jawata
marengaken Kakang Semar nggandheng panyuwun mekaten, para
pandhawa supados mbiyantu ngrencangi ngrantos anggenipun badhe
ambabar kesaenanipun Kakang Semar. Kosok wangsulipun yen jawata
mboten marengaken para pandhawa temtu badhe dipunubet dhateng
42

jawata. Pramila saking penulu mekaten kalawau, yen pancen yayi awrat
dhateng aturipun Petruk mboten perlu ngangge Kresna.
‘Petruk ngomong jika Kakang Semar akan membangun kayangan.
Kayangan ini yang punya dewa. Benar Kakang Semar itu titisannya
dewata, tetapi sesudah Kakang Semar turun ke bumi, itu sudah termasuk
kodratnya di bumi. Jika dewata membolehkan Kakang Semar mempunyai
keinginan seperti itu, para pandhawa supaya membantu itu akan
membabarkan kebaikan Kakang Semar. Sebaliknya jika dewata tidak
membolehkan para pandhawa membantu pasti akan dihukum dewata.
Maka dari itu dari perkataan seperti tadi, jika yayi berat terhadap
omongan Petruk tidak perlu menggunakan Kresna.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan dialog di atas memperlihatkan kemarahan Bathara Kresna

karena sikap Prabu Puntadewa yang plin plan dan dinilai membela Petruk. Beliau

merasa dirinya tidak dianggap dan tidak dibutuhkan dalam pertemuan agung di

Sitinggil Binartatra. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan

rasa marah.

4.1.2.3 Komplikasi

Pada tahap ini terjadilah persoalan baru dalam cerita atau disebut juga

rising action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat, maka tahap ini disebut

perumitan atau penggawatan. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan,

komplikasi pertama terjadi pada adegan ke-4, yaitu ketika Bathara Kresna

menghasut Raden Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden

Sentyaki untuk menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya membangun

kayangan dan beliau juga menyuruh mereka untuk mengusir Petruk dari Kraton

Ngamarta.

Seperti pada kutipan dialog di bawah ini.

Adegan :4
43

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

(BATHARA KRESNA MENYURUH RADEN GATHUTKACA,


RADEN ANTAREJA, DAN RADEN SENTYAKI UNTUK MENGUSIR
PETRUK DARI KRATON NGAMARTA)
BATHARA KRESNA
Nembe iki lagi ana pitakonan mengkono, ning Petruk kandheg ora ngerti
karepe Kakang Semar. Lha Petruk tak ngendikani akeh-akeh lagi iki mau
aku diwaneni karo Petruk. Mula Gathutkaca, Antareja, lan Sentyaki, kowe
sing bocah enom bisaa ngrawuhi marang Petruk Kanthong Bolong. Coba
saiki Petruk balikna, elikna supaya Kakang Semar gagal nggon bakal
mbangun kayangan. Yen pancen manut, sukur binagiya. Yen ora manut,
diruda padeksa.
‘Baru kali ini ada pertanyaan seperti itu, tetapi Petruk berhenti tidak tahu
apa yang dimaksud Kakang Semar. Saya berbicara banyak sama Petruk
kok malah baru kali Saya dilawan Petruk. Makanya Gathutkaca, Antareja,
dan Sentyaki, kalian yang masih muda, datangilah Petruk Kanthong
Bolong. Coba sekarang Petruk dipulangkan, ingatkan supaya Kakang
Semar tidak jadi membangun kayangan. Jika dia nurut, syukur banget.
Jika tidak nurut, dianiaya.’
RADEN GATHUTKACA
Nyuwun pangestu.
‘Minta doa restu.’
RADEN ANTAREJA
Nyuwun pangestu. Kula badhe manggihi Petruk Kanthong Bolong.
‘Minta doa restu. Saya akan menemui Petruk Kanthong Bolong.’
RADEN SENTYAKI
Nyuwun pangestu Kaka Prabu.
‘Minta doa restu Kaka Prabu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 2)
Berdasarkan kutipan dialog di atas terjadilah permasalahan baru yaitu

Bathara Kresna menyuruh Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden

Sentyaki mengusir Petruk dari Ngamarta. Jika Petruk tidak mau pergi, mereka

disuruh untuk merudha peksa Petruk.


44

Komplikasi kedua muncul pada adegan ke-8. Dalam adegan ini diceritakan

Bathara Kresna datang ke kayangan melaporkan kepada Bathara Guru tentang

rencana Ki Semar Badranaya membangun kayangan. Tanpa berpikir panjang,

Bathara Guru menyuruh Bathara Kresna untuk menggagalkan rencana Ki Semar

Badranaya.

Seperti pada kutipan berikut ini.

Adegan :8

Tempat : Kayangan Jonggring Sloka

Pathet : Nem

(BATHARA GURU MENYURUH BATHARA KRESNA UNTUK


MEMBAWA KI SEMAR BADRANAYA MENGHADAP
KEPADANYA)
BATHARA GURU
E,e,e. Iya, kulun tampa ngger. Senadyan ta kepiye wae kakang Semar tetep
luput, awit kayangan dudu kuwajibane Kakang Semar. Wis ta, dina iki
kowe kulun utus aja nganti ketara yen dewa bakal paring uninga utawa
ndandani keluputane Kakang Semar sing nganti disekseni para titah.
Becik kita mudhuna ning marcapada, Kakang Semar boyongen mrene.
‘E,e,e. Iya, kulun terima Nak. Meskipun bagaimana Kakang Semar tetap
salah, karena kayangan bukan kewajiban Kakang Semar. Ya sudah, hari
ini kamu kulun perintah jangan sampai terlihat jika dewa akan
memberikan peringatan atau memperbaiki kesalahan Kakang Semar yang
sampai disaksikan para manusia. Lebih baik kamu turun ke bumi, Kakang
Semar bawa ke sini.’
BATHARA KRESNA
Upami mangke ngantos kelampah Kakang Semar mbreguguk ngutha
waton mbegundhang datan para ratu.
‘Seandainya nanti sampai terjadi Kakang Semar tetap melawan kita.’
BATHARA GURU
Dirada kasembadan banjur dirampungi. Awit bakal nyampar mestaka
mlumpate kuwidanganing dewa.
‘Disiksa lalu diselesaikan. Karena akan melanggar aturan dewa.’
45

BATHARA KRESNA
Nyuwun pangestu kulun.
‘Minta doa restu kulun.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Berdasarkan kutipan di atas, Bathara Kresna melaksanakan perintah

Bathara Guru untuk membawa Ki Semar Badranaya ke kayangan menghadap

Bathara Guru. Jika Ki Semar Badranaya tidak mau ikut, Bathara Guru menyuruh

Bathara Kresna untuk menyiksa dan membawanya secara paksa.

Komplikasi yang ke-3 terjadi pada adegan ke-12, ketika Wisanggeni yang

menyamar menjadi seseorang yang bernama Kampret berhadapan dengan

Jaramaya.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 12

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Nem

(WISANGGENI YANG MENYAMAR MENJADI KAMPRET


BERCAKAP-CAKAP TENTANG ISTRI KAMPRET YANG NYIDAM
RUJAK MATA BUTA)
WISANGGENI
Lho ya ana. Anyidame bojoku sing meteng kuwi njaluk rujak mata buta.
Apa kowe isa minangkani pa?
‘Lho, ya ada. Nyidamya istriku yang sedang hamil ingin makan rujak
mata raksasa. Kamu bisa memenuhi?’
JARAMAYA
Mengko tak thethelke buta sing ngantuk-ngantuk, tak coplokane matane,
rujaken.
‘Nanti saya copotkan raksasa yang ngantuk-ngantuk, saya copotkan
matanya, buat rujak.’
WISANGGENI
Sing dijaluk ki ya buta kaya kowe, jenenge ya kayak owe, mripate ya kaya
kowe.
46

‘Yang diminta ya raksasa seperti kamu, namanya ya seperti kamu,


matanya juga seperti kamu.’
JARAMAYA
Ngomong wae njaluk mataku. Ora sewiyah-wiyah Pret. Kowe ya apa kira-
kira karo pandhawa manunggal?
‘Bilang saja minta mata saya. Jangan seenakmu sendiri Pret. Kamu
dengan pandhawa apa kira-kira bersatu?’
WISANGGENI
Mripatmu mengko tak dandani. He, Kaki Jaramaya, sawangen aku sapa.
‘Matamu nanti saya perbaiki. He, Kaki Jaramaya, lihatlah aku siapa.’
JARAMAYA
Walah, tak kira ki dudu kowe. Jarene Kampret.
‘Walah, saya kira bukan kamu. Katanya Kampret.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 5)

Jaramaya tidak mengenali bahwa Kampret adalah malihan dari Raden

Wisanggeni. Ketika dia mengetahuinya, maka marahlah Jaramaya, dan terjadilah

peperangan.

Tahap komplikasi yang keempat terjadi pada bagian awal adegan ke-16.

Pada awal adegan ke-16, Raden Antareja dirasuki oleh Maling Sukma sehingga

beliau menggigit Raden Abimanyu sampai mati. Raden Gathutkaca tidak terima

dan marahlah beliau.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 16 awal

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN GATHUTKACA MARAH KARENA RADEN ANTAREJA


MEMBUNUH RADEN ABIMANYU)
PETRUK
Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara Gathutkaca.
Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo aku wis nglenggana,
ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa Ndara Gathutkaca. Ateges
47

bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara.
Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki.
‘Nah karena Ndara Antareja sampai sini bersama Ndara Gathutkaca.
Meskipun tadi Ndara Gathutkaca dengan saya sudah berbaik hati, tetapi
kenyataanya yang membawa Ndara Antareja adalah Ndara Gathutkaca.
Jadi bahaya yang masuk di Karang Kapulutan itu yang membawa Ndara
Gathutkaca. Dari kaca penglihatanku, tentram ya dari Ndara. Tidak juga
dari Ndara.’
RADEN GATHUTKACA
Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare.
‘Sudah, tidak usah ngomel-ngomel. Kakang Antareja akan kuhajar.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Berdasarkan kutipan di atas Raden Gathutkaca marah dan merasa

menyesal karena membawa Raden Antareja ke Pedhukuhan Karang Kapulutan.

Hal yang membuat beliau sangat marah karena Raden Antareja menggigit Raden

Abimanyu sampai meninggal. Raden Gathutkaca memutuskan untuk menghajar

Raden Antareja.

Tahap komplikasi selanjutnya berlangsung pada bagian akhir adegan ke-

19. Pada adegan tersebut diceritakan bahwa Raden Gathutkaca dan Raden

Antareja mengetahui pelaku yang telah masuk ke dalam raga Raden Antareja,

sehingga membuat beliau membunuh Raden Abimanyu. Mereka berdua

memutuskan untuk membunuh Maling Sukma.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 19 akhir

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA TELAH


MELIHAT BIANG KELADI YANG MEMBUAT MEREKA
BERPERANG)
48

RADEN GATHUTKACA
Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa.
‘Nggak pantas sekali. Aduh Kangmas. Benar-benar ada jin.’
RADEN ANTAREJA
Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi.
‘Wah, kurang ajar. Yang mengadu saudara ya ini. Hajar.’
RADEN GATHUTKACA
Sendika.
‘Siap.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Melalui kutipan dialog di atas memperlihatkan bahwa Raden Gathutkaca

dan Raden Antareja melihat banyak jin di Pedukuhan Karang Kapulutan,

termasuk Maling Sukma yang tadi mengadu mereka. Mereka tidak terima diadu

oleh Maling Sukma, apalagi sampai membuat Raden Abimanyu meninggal.

Mereka berniat menghajar Maling Sukma.

Tahap komplikasi yang keenam yaitu bagian awal adegan ke-24. Pada

bagian tersebut Bathara Kresna datang ke Karang Kapulutan dengan menyamar

menjadi raksasa yang besar bernama Digdya Jajalanang. Kedatangannya ke

Karang Kapulutan untuk menemui Ki Semar Badranaya dan mengajaknya ke

kayangan.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 24 awal

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(BATHARA KRESNA DAN KI SEMAR BADRANAYA PADU)


BATHARA KRESNA
Ming karek kowe manut karo aku.
‘Kamu hanya harus nurut aku.’
49

KI SEMAR BADRANAYA
Ora. Aku ora arep manut. Ora butuh tepung karo buta.
‘Tidak. Aku tidak akan nurut. Tidak butuh kenal raksasa.’
BATHARA KRESNA
Yen ora manut aku arep..
‘Jika tidak nurut aku akan..’
KI SEMAR BADRANAYA
Arep apa?
‘Mau apa?’
BATHARA KRESNA
Tadhah teleng.
‘Terima Pukulanku.’
KI SEMAR BADRANAYA
Jajal mangkata.
‘Coba saja.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Dialog di atas menceritakan Bathara Kresna memaksa Ki Semar

Badranaya untuk ikut ke kayangan menemui Bathara Guru, namun Ki Semar

Badranaya menolak. Hal itu membuat Bathara Kresna marah dan berniat

menganiaya Ki Semar Badranaya.

Tahap komplikasi yang terakhir terjadi pada adegan ke-26, yaitu ketika

Bathara Kresna melapor kepada Bathara Guru tentang kekalahan beliau melawan

Ki Semar Badranaya beserta anak-anaknya.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 26

Tempat : Kayangan Jonggring Sloka

Pathet : Manyura

(BATHARA KRESNA MELAPOR KEPADA BATHARA GURU


TENTANG KEKALAHANNYA MELAWAN KI SEMAR
BADRANAYA)
50

BATHARA KRESNA
Adhuh ketiwasan. Kakang Semar mbreguguk ngutha waton datan wong
agung mboten purun kula boyongdhateng kayangan, kados sampun
mangertos.
‘Aduh, Kakang Semar menantang pada orang besar, tidak mau saya ajak
ke kayangan, seperti sudah tahu.’
BATHARA GURU
Wah, keparat.
‘Wah, keparat.’
BATHARA KENAKA PUTRA
Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten napa-
napa, wong sing jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng
kawontenan.
‘Dhi Guru. Hati-hati Dhi. Kakang Semar itu orang tidak apa-apa, orang
yang jujur. Adhi guru harus bisa melihat keadaan.’
BATHARA GURU
“Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.”
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menceritakan Bathara Guru yang marah saat

mendengar laporan dari Bathara Kresna. Beliau akan menemui Ki Semar

Badranaya dan menghajarnya.

4.1.2.4 Krisis

Dalam tahap ini persoalan telah mencapai puncaknya (klimaks). Pertikaian

atau persoalan yang ada harus diimbangi dengan adanya jalan keluar (resolusi).

Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, krisis dimulai ketika Petruk didatangi

oleh Raden Gathutkaca, Raden Sentyaki, dan Raden Antareja. Mereka ingin

mengusir Petruk dari Ngamarta, dan kalau Petruk tidak mau akan dianiaya. Krisis

yang terjadi pertama kali pada adegan ke-5.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan :5
51

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

(PETRUK DISERANG OLEH RADEN SENTYAKI)


RADEN SENTYAKI
Aku ngemban dhawuh saka Kaka Prabu Dwarawati. Dina iki Petruk
didhawi bali. Malah bapakmu Kakang Semar elikna le bakal mbangun
kayangan.
‘Aku mendapatkan perintah dari Kaka Prabu Dwarawati. Hari ini Petruk
disuruh pulang. Malah bapakmu Kakang Semar ingatkan maksudnya
untuk membangun kayangan.’
PETRUK
Ah, panjenengan niku wong mau mboten ndherek rembugan kok. Kula niki
mpun wong tuwa dudu bocah wingi sore. Saweg keng raka kemawon kula
mboten ajrih dipundukani. Jer duwe dedhasar aku wong bener. Napa
malih Ndara Sentyaki.
‘Ah, anda tadi kan tidak ikut diskusi.Saya ini sudah orang tua bukan anak
baru kemarin. Dengan ayah saja saya tidak takut dimarahi. Dengan
berdasar aku orang benar. Apalagi dengan Ndara Sentyaki.’
RADEN SENTYAKI
Aja gawe muringku. Petruk gelem bali apa ora?
‘Jangan membuatku marah. Petruk mau pulang apa tidak?’
PETRUK
Menawi dereng nampi ngendikanipun Gusti kula nata Ngamarta, kula
dereng badhe wangsul.
‘Jika belum menerima perintah Gusti Raja Ngamarta, Saya belum akan
pulang.’
RADEN SENTYAKI
Kelakon tak pecah sirahmu.
‘Kupecah kepalamu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 2)

Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Sentyaki yang marah

karena Petruk tidak mau mematuhi perintahnya. Akhirnya Raden Sentyaki

menghajar Petruk.

(PETRUK DISERANG OLEH RADEN GATHUTKACA)


RADEN GATHUTKACA
52

Wis saiki ngene apike, kowe baliya. Mengko ganti wektu aku bakal ganti
nekani ana kana, ndherekke Wa Kresna.
‘Ya sudah, sekarang lebih baik kamu pulang. Nanti lain waktu ganti aku
yang datang ke sana, mengantarkan Wa Kresna.’
PETRUK
Ah, mboten sah. Sing perlu pancen kula keparingan dhawuh kula kedah
wangsul ning sageda saking Sinuwun Ngamarta menapa para kadang-
kadangipun. Yen Keng Wa Dwarawati niku kalih kula mpun mboten cocok.
‘Ah, tidak usah. Yang pasti saya harus mendapat perintah pulang dari
Sinuwun Ngamarta atau saudara-saudaranya. Keng Wa Dwarawati itu
dengan saya sudah tidak cocok.’
RADEN GATHUTKACA
Ming kowe gari gelem bali apa ora?
‘Kamu mau pulang apa tidak?’
PETRUK
Upami mboten?
‘Jika Tidak?’
RADEN GATHUTKACA
Kelakon tak pothol gulumu.
‘Kupatahkan lehermu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 3)

Melalui kutipan di atas diketahui bahwa Raden Gathutkaca marah karena

Petruk tidak mematuhi perintahnya untuk pulang ke Pedhukuhan Karang

Kapulutan. Raden Gathutkaca memotong leher Petruk.

(PETRUK DISERANG OLEH RADEN ANTAREJA)


PETRUK
Nembe pinanggih keng rayi Ndara Gathutkaca. Sarenng kula ndongeng
ingkeng werni-werni Ndara Gathutkaca njur ngendika ya wis tak nang
Karang Kapulutan.
‘Baru bertemu Ndara Gathutkaca. Sesudah saya bercerita banyak, Ndara
Gathutkaca lalu berbicara akan ke Karang Kapulutan.’
RADEN ANTAREJA
Merga kena pengaruhmu ya. Sing jenenge Petruk, Gareng, Bagong kuwi
pembujuk elek. Ayo minggat. Ora gelem bali, ngati-ati
‘Karena pengaruhmu ya. Yang namanya Petruk, Gareng, Bagong itu
pembujuk jelek. Tidak mau pulang, hati-hati.’
53

PETRUK
Kula niki badhe mang napakke? Wong kula mboten wonten rembug sulaya
kaliyan njenengan. Panjenengan kalih kula kok lajeng ngendika mekaten
rak ya kleru ta. Mbok nggih disabarke. Dadi satriya niku kedah sing
sabar.
‘Saya ini mau diapakan? Saya tidak ada omongan jelek kepada anda.
Anda dengan saya kok malah berbicara begitu, apa tidak salah. Sabar.
Menjadi satria itu harus sabar.’
RADEN ANTAREJA
Tak ganjar mati kowe.
‘Kubunuh kau.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 3)

Melalui kutipan dialog di atas, Petruk telah membuat Raden Antareja

marah karena Petruk tidak mau disuruh pulang ke Karang Kapulutan dan

menasehati Raden Antareja supaya menjadi kesatria yang penyabar. Raden

Antareja tidak senang mendengarnya dan beliau akan membunuh Petruk.

Tahap krisis kedua dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terjadi pada

adegan ke-9. Pada adegan ini diceritakan Bathari Durga menyuruh anak buahnya

untuk turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna membunuh Ki Semar

Badranaya.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan :9

Tempat : Kayangan Ganda Mayit

Pathet : Nem

(BATHARI DURGA MENYURUH JARAMAYA TURUN KE


PEDHUKUHAN KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBUNUH KI
SEMAR BADRANAYA)
BATHARI DURGA
Dhawuhana karo wadya bala, buta loro sing kok pilih maling sukma
maling raga supaya mlebu ana Karang kapulutan nyendhal mayang
Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar.
54

‘Perintahkan kepada anak buahmu, dua raksasa yang kamu pilih pencuri
jiwa pencuri raga supaya masuk ke Karang Kapulutan membunuh Kakang
Semar atau siapa saja yang akan membela Kakang Semar.’
JARAMAYA
Inggih. Ngestokaken dhawuh Bu.
‘Iya. Melaksanakan tugas Bu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Berdasarkan dialog di atas dapat diketahui bahwa Bathari Durga menyuruh

Jaramaya dan anak buahnya turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna

membunuh Ki Semar Badranaya atau siapapun yang mendukung Ki Semar

Badranaya.

Tahap krisis yang ketiga berlangsung pada bagian akhir adegan ke-12.

Pada adegan ini diceritakan Wisanggeni menyamar menjadi Kampret. Beliau

malih rupa guna mengelabui Jaramaya. Ketika Jaramaya tahu bahwa Kampret

adalah Wisanggeni, maka terjadilah perkelahian.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 12

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Nem

(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERKELAHI)


WISANGGENI
Saiki sambata, tak banda tanganmu, najan ora ana kene papanku. Ning
sing kok rasani pepundhenku, wajib aku mbelani.
‘Sekarang mengeluhlah, aku ika tanganmu, meski tidak di sini tempatku.
Tapi yang kamu omongkan adalah leluhurku, aku wajib membela.’
JARAMAYA
Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi?
‘Jika kamu berani denganku yang akan kamu gunakan sebagai kekuatan
dari mana?’
55

WISANGGENI
Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku
cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha.
‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Aku pendek
kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’
JARAMAYA
Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora
sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek.
Ora uman patan aku.
‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku
satria, menendang, menyepak. Tidak dapat jatah kamu.’
WISANGGENI
Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung
klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.
‘Ayo, maju ke sini. Meskipun besar tapi jika seperti Kaki Jaramaya hanya
duduk-duduk. Sesudah makan kenyang, tidur.’
JARAMAYA
Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni.
‘Seenaknya sendiri denganku. Jangan lari Wisanggeni.”
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Kutipan dialog di atas menceritakan Jaramaya yang telah mengetahui

bahwa Kampret adalah Wisanggeni. Wisanggeni mengejek Jaramaya. Jaramaya

tidak terima dan terjadilah perkelahian.

Tahap krisis yang keempat terjadi pada adegan ke-17. Pada adegan ini

terjadilah perkelahian antara Raden Gathutkaca dan Raden Antareja yang telah

dirasuki oleh Maling Sukma.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 17

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN GATHUTKACA MARAH DENGAN RADEN ANTAREJA,


TERJADILAH PERKELAHIAN)
56

RADEN GATHUTKACA
Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang
Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati
merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.
‘Kakang Antareja jangan seenakmu sendiri. Kakang Antareja sampai
Karang Kapulutan karena Gathutkaca. Ada kejadian Abimanyu meninggal
karena Kakang Antareja. Aku tidak terima.’
RADEN ANTAREJA
Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-apane.
Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya ngono
kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake apa
kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah nggugu
karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca.
‘Yang bodoh itu kamu. Semar itu hanya kosong tidak ada apa-apanya.
Yang namanya Badranaya itu tidak ada apa-apanya. Orang seperti itu kok
dijadikan guru, orangnya blak blak blak. Akan ada kemajuan apa kamu?
Jangan pada percaya sama nasihatnya Semar. Tidak ada apa-apanya
Gathutkaca.’
RADEN GATHUTKACA
Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja
ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa.
‘Meskipun seperti itu tidak di sini tempatnya Kakang Antareja tidak nurut
ilmunya Semar, terserah, tapi jangan mengganggu siapa-siapa.’
RADEN ANTAREJA
Aku ora nrimakake yen para pepundhenku ming karo Semar kok dianggep.
‘Aku tidak terima jika para leluhurku hanya Semar kok dianggap.’
RADEN GATHUTKACA
Ayo nutut banda.
‘Ayo tarung saja.’
RADEN ANTAREJA
Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati.
‘Oo, hajar aku. Siapa yang mati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Gathutkaca marah karena

Raden Antareja membuat kerusuhan di Pedhukuhan Karang Kapulutan. Raden

Antareja tidak terima dengan Raden Gathutkaca yang membela Ki Semar

Badranaya, dan terjadilah perkelahian.


57

Tahap krisis yang kelima terjadi pada adegan ke-20. Adegan ini

menceritakan tentang perkelahian antara Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan

Maling Sukma.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 20

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA BERKELAHI


DENGAN MALING SUKMA)
RADEN GATHUTKACA
Kowe sapa?
‘Kamu siapa?’
MALING SUKMA
Maling sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya aku
mateni Siwa Badranaya.
‘Aku Maling sukma. Jangan menghalangiku. Aku mendapatkan perintah
supaya aku membunuh Siwa Badranaya.’
RADEN ANTAREJA
Ora. Minggata. Pothol sirahmu. Ora urus buta buthak. Kowe gawe
cilakane aku karo adhiku gathutkaca. Tangia, sembur blasahmu.
‘Tidak. Pergilah. Putus kepalamu. Tidak urus raksasa botak. Kamu
membuat celakanya aku dengan adikku Gathutkaca. Bangunlah, kusembur
tubuhmu.’
MALING SUKMA
Mati aku. Antareja, gathutkaca dha tembayatan.
‘Mati aku. Antareja, gathutkaca pada bersekongkol.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Gathutkaca dan Raden

Antareja yang telah bertemu dengan Maling Sukma. Raden Antareja marah

karena Maling Sukma telah membuat beliau dan Raden Gathutkaca celaka.

Terjadilah perkelahian, dan Maling Sukma merasa kewalahan karena Raden

Antareja dan Raden Gathutkaca bersatu.


58

Tahap krisis yang selanjutnya terjadi pada bagian tengah adegan ke-24.

Adegan ini menceritakan tentang Raden Antasena yang mengajari Gareng, Petruk,

dan Bagong cara mengusir Buta Jajalanang yang merupakan malihan dari Bathara

Kresna.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 24 tengah

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN ANTASENA MEMBERIKAN MANTRA PENGUSIR BUTA


KEPADA GARENG, PETRUK, DAN BAGONG)
RADEN ANTASENA
Aku mengko tak ngetutke, kowe dha nyuwaraa nek isa. Teguh rahayu
yuwana slamet. Slamet kersaning dewa.
‘Aku nanti akan mengikuti, kalian bersuaralah kalau bisa. Teguh Selamat
selamat selamat. Selamat karena takdirnya dewa.’
GARENG
Wah, mboten apal kula.
‘Wah, saya tidak hafal.’
RADEN ANTASENA
Kajate ora dadi ngono wae.
‘Keinginannya tidak jadi, gitu saja.’
GARENG
Ha nek niku gampang.
‘Nah kalau itu mudah.’
PETRUK
Kula nggih ngoten niku?
‘Saya juga begitu?’
RADEN ANTASENA
Hoo. Karo Gareng kiblat lor karo kidul.
‘Iya. Gareng juga ngomong kiblat utara kiblat selatan.’
PETRUK
Kajate ora dadi.
‘Keinginannya tidak jadi.’
59

BAGONG
Mangsa dadia. Dadi ra menyang ya ora dadi ya.
‘Jadilah. Jadi tidak berangkat yang tidak jadi ya.’
RADEN ANTASENA
Aku ro kowe bareng. Teguh rahayu slamet. Slamet ngarsaning dewa.
' Aku dengan kamu bersama-sama. Teguh selamat selamat. Selamat
karena takdir dewa.’
BAGONG
Alah, bar mulang kok langsung lunga. Ha ya lali aku. Teguh rahayu
wuyana kuwi adhine slamet. Teguh rahaayu yuwana karo slamet nang
nggone siwa.
‘Alah, habis mengajar langsung pergi. Aku lupa kan. Teguh selamat
wuyana itu adiknya slamet. Teguh selamat selamat dengan slamet ke
tempat Siwa.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Antasena yang

memberikan mantra pengusir raksasa kepada Gareng, Petruk, dan Bagong. Mantra

itu digunakan untuk mengusir raksasa Jajalanang yang merupakan malihan dari

Bathara Kresna.

Tahap krisis yang terakhir terjadi pada bagian awal adegan ke-27. Pada

adegan ini Bathara Guru turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan dan berniat

untuk menghajar Ki Semar Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 27 awal

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(BATHARA GURU MENDATANGI KI SEMAR BADRANAYA)


BATHARA GURU
Kakang Semar ngancu neraka bakal mbangun kayangan.
‘Kakang Semar masuk neraka akan membangun kayangan.’
60

KI SEMAR BADRANAYA
Nek aku ki mbangun kayangan Suralaya sing wis tak dhongkeli nggone
sapa? Agek tak nggo mangan wae sedina telung dina prei. Ha kok nyela-
nyela mbangun kayanganing dewa.
‘Jika aku membangun kayangan Suralaya yang akan aku bangun
punyanya siapa? Buat makan sehari tiga hari libur. Ha kok mau
membangun kayangannya dewa.’
BATHARA GURU
Tembung sing kaya mengkono ora bakal luput. Nyangklak saka
wewanguning kayangan. Ngko tak cekel kakang Semar. Sotke Kalacandra.
‘Kata yang seperti itu tidak bakal salah. Melanggar bangunan kayangan.
Aku hajar Kakang Semar. Kena Kalacandra.’
KI SEMAR BADRANAYA
Ee, lhadalah. Bojling wis slamet. Kowe arep njajal kakangmu, jajalen.
‘Ee, lhadalah. Selamat. Kamu akan mencoba kakangmu, coba saja.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Melalui kutipan dialog di atas dapat diketahui bahwa Bathara Guru telah

turun ke Pedukuhan Karang Kapulutan. Beliau bermaksud membunuh Ki Semar

Badranaya dengan Kalacandra karena Ki Sema Badranaya tidak mau ikut Bathara

Kresna ke kayangan. Ki Semar Badranaya marah karena tidak dihormati oleh

adiknya, dan terjadilah peperangan.

4.1.2.5 Resolusi

Tahap resolusi merupakan tahapan di mana persoalan telah memperoleh

peleraian. Tegangan akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini

disebut juga dengan falling action.

Tahap resolusi yang pertama dalam lakon Semar Mbangun Kayangan

terdapat pada bagian akhir adegan ke-5. Adegan ini menceritakan Petruk yang

berhasil mengalahkan Raden Antareja dan Raden Sentyaki. Hal ini membuat

Raden Antareja mengadu kepada Raden Janaka.


61

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 5 akhir

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

(RADEN ANTAREJA MELAPOR KEPADA RADEN JANAKA


BAHWA PETRUK TELAH BERHASIL MENGALAHKAN BELIAU
DAN RADEN SENTYAKI)
RADEN ANTAREJA
Adhuh ketiwasan Paman.
‘Aduh memalukan Paman.’
RADEN JANAKA
Ana apa Antareja?
‘Ada apa Antareja?’
RADEN ANTAREJA
Kula kadhawuhan Wa Kresna manggihi Petruk. wusana rikala wau
manggihi Petruk sepisan Paman Sentyaki. Ingkeng angka kalih
Gathutkaca. Ewadene Paman Sentyaki kaliyan Gathutkaca sami nandang
kewirangan. Kepeksa kula ingkeng tumandang. Petruk kula para tangan
ngangge menapa mawon mboten didamel raos lan mboten purun males.
Sareng keng putra dhasar kula nyungut, Petruk krasa lara men gek
minggat. Malah piyambakipun ugi gadhah kemandhen kados kula Paman.
‘Saya disuruh Wa Kresna menemui Petruk. Yang menemui Petruk pertama
kali Paman Sentyaki. Yang kedua Gathutkaca. Tetapi Paman Sentyaki dan
gathutkaca pada malu. Terpaksa saya yang bertindak. Petruk saya hajar
memakai apa saja tidak dirasakan dan tidak mau membalas. Saat saya
menyengat, supaya Petruk merasa kesakitan lalu pergi. Malah dia juga
punya sengat seperti punya saya Paman.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 3)

Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Antareja yang merasa malu

karena telah dikalahkan Petruk. Beliau melaporkan kekalahannya kepada Raden

Janaka. Tidak hanya Raden Antareja yang dibuat malu oleh Petruk, Raden

Sentyaki dan Raden Gathutkaca juga dibuat malu oleh Petruk.


62

Tahap resolusi yang kedua terdapat pada adegan ke-10. Pada tahap ini

diceritakan Bathara Kresna yang memutuskan untuk menyamar menjadi Raksasa

guna menghadapi Ki Semar Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 10

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

(BATHARA KRESNA MALIH RUPA MENJADI RAKSASA)


…Sinarta nat semana ingkang sinuwun Dwarawati arsa samudana sirna
wujuding nalendra dadi wujud gandar sagunung gedhene. Manebak
maneklir kacandra sinungan ngabda lawan aneng ngabda lawan…
‘…Pada saat itu Sinuwun Dwarawati menyamar sirna wujudnya raja
menjadi raksasa sebesar gunung. Dicandra membunuh lawan dalam
membunuh lawan…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Kutipan suluk di atas menceritakan Bathara Kresna, Ratu Dwarawati yang

telah malih rupa menjadi raksasa sebesar gunung. Bathara Kresna akan memasuki

wilayah Pedhukuhan Karang Kapulutan dengan wujud raksasa supaya tidak ada

yang mengetahui bahwa raksasa itu adalah dirinya.

Tahap resolusi ketiga dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat

pada adegan ke-13. Adegan ini menceritakan Anoman yang mendapat perintah

dari Wisanggeni untuk menjaga Pedhukuhan Karang Kapulutan karena telah

berhasil mengalahkan Jaramaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 13

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan


63

Pathet : Nem

(WISANGGENI MENYURUH ANOMAN MENJAGA PEDHUKUHAN


KARANG KAPULUTAN)
WISANGGENI
Siwa Anoman.
‘Siwa Anoman.’
ANOMAN
Kula Ngger.
‘Saya Nak.’
WISANGGENI
Ngapa kok njuk tumungkul?
‘Kenapa kok muncul?’
ANOMAN
Sewu kalepatanipun ingkeng bapa nyuwun pangapunten. Mangertos yen
angger Wisanggeni bujung gandarwa, raosing manah kula mboten
narimakaken daya-daya kawontenan menika enggal paripurna. Rejasa
saking taman kekiyatan kula saknalika mlajar.
‘Seribu kesalahan bapak minta maaf. Melihat Nak Wisanggeni dihajar
raksasa, hati saya tidak menerima keadaan itu, ingin segera berakhir.
Oleh karena itu saya menggunakan kekuatan saya.’
WISANGGENI
Oo, nek jane mana ya luput. Tak kandhani Wa. Lupute Siwa Anoman
durung tak aturi pirsa. Ning ya bener, benere Siwa Anoman mbelani karo
aku. Ya gandheng wis tekan mangsane kudu ngono. Saiki tak pasrahke
mangsa bodho Siwa Anoman supaya tansah ngawat-awati pedhukuhan
Karang Kapulutan.
‘Oo, sebenarnya ya salah. Saya beri tahu Wa. Salahnya Siwa Anoman
belum aku beri tahu. Tetapi juga benar, benarnya Siwa Anoman
membelaku. Karena sudah sampai waktunya harus begitu. Sekarang aku
pasrahkan Siwa Anoman supaya mengawasi Pedesaan Karang
Kapulutan.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 5)

Kutipan dialog di atas menceritakan Wisanggeni yang agak kecewa karena

Anoman muncul pada waktu yang salah. Anoman muncul karena tidak tega

melihat Wisanggeni yang hampir dikalahkan oleh Jaramaya. Wisanggeni akhirnya

memutuskan untuk pulang dan menyuruh Anoman menjaga Karang Kapulutan.


64

Tahap resolusi yang keempat terjadi pada bagian akhir adegan ke-18.

Adegan ini menceritakan peperangan Raden Antasena dengan Raden Antareja.

Raden Antasena berhasil mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 18 akhir

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN ANTASENA BERHASIL MENGELUARKAN MALING


SUKMA DARI RAGA RADEN ANTAREJA)
RADEN ANTASENA
Heem.aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga janma.
Nek kowe ra roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga.
‘Iya. Jangan lama-lama bertempat di kakakku. Itu raga, raga manusia.
Jika kamu bukan roh jahat, jangan kau teruskan. Pergi.’
RADEN ANTAREJA
Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga.
‘Tidak peduli. Jika belum membunuh Semar tidak akan pergi.’
RADEN ANTASENA
Tak tandingna aku.
‘Bertandinglah melawanku.’
RADEN ANTAREJA
Aduh Dhimas, pun Kakang wis tobat.
‘Aduh Dhimas, Kakang tobat.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Antasena yang telah berhasil

mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja. Raden Antareja merasa

bersalah karena telah dirasuki oleh Maling Sukma.

Tahap resolusi yang kelima terdapat pada bagian adegan ke-21. Pada

adegan ini mengisahkan tentang Maling Sukma yang berkeluh kesah kepada

Maling Raga karena kekalahannya melawan Raden Gathutkaca dan Raden


65

Antareja. Maling Sukma menyuruh Maling Raga untuk menggatikannya

menyerang anak-anak pandhawa.

Seperti pada kutipan di bawah ini.

Adegan : 21

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(MALING SUKA MENYURUH MALING RAGA UNTUK


MENGGANTIKANNYA MELAWAN ANAK-ANAK PANDHAWA)
MALING SUKMA
Wadhuh, ketanggor wong edan. Wadhuh, Antareja meh arep mati,
ngantem ora tak gawe rasa, Gathutkaca ya ketoke wedi. Bagong tak getak
kayane kontal kok metu meneh. Awakku digebyok-gebyok nganggo
ngangkrang. Aku awake kenceng dicokoti ngangkrang, suwe-suwe kendho.
‘Waduh, terkena orang gila. Waduh, Antareja hampir mati, menghajar
tidak kurasakan, Gathutkaca sepertinya juga takut. Bagong sepertinya tadi
mental kok muncul lagi. Tubuhku diberi Ngangkrang. Tubuhku digigiti
Ngangkrang, lama-lama kendor.’
MALING RAGA
Ha dha ning kene barang.
‘Pada di sini ya.’
MALING SUKMA
Dhi.
‘Dik.’
MALING RAGA
Nun.
‘Iya.’
MALING SUKMA
Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan.
‘Seperti apapun tetap tidak bisa karena Gathutkaca Antareja bisa melihat
kita. Gentian kamu maju dik.’
MALING RAGA
Wuuh, paling ya kalah.
‘Wuuh, paling juga kalah.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
66

Kutipan dialog di atas menceritakan kekalahan Maling Sukma melawan

Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Bagong. Dia menyuruh Maling Raga

untuk menggantikannya menyerang anak-anak pandhawa, tetapi Maling Raga

menolak karena dia tahu dia akan kalah.

Tahap resolusi yang keenam terjadi pada bagian akhir adegan ke-24. Pada

bagian akhir adegan ini diceritakan Raden Antasena bersama Petruk, Gareng, dan

Bagong telah berhasil mengusir Bathara Kresna atau Raksasa Jajalanang dari

Pedhukuhan Karang Kapulutan.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 24 akhir

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(BATHARA KRESNA MENCERITAKAN KEKALAHANNYA


KEPADA RADEN JANAKA)
RADEN JANAKA
Kados pundi Kaka Prabu?
‘Bagaimana Kaka Prabu?’
BATHARA KRESNA
Yayi arep weruh? Ketiwasan Yayi. Ketiwasan. Punakawane dha diulang
karo anakmu Antasena nganti pun kakang kejodheran. Pun kakang tak
matur Sang Hyang Guru mangsa bodho si adhi kang tumandang.
‘Yayi ingin tahu? Memalukan Yayi. Memalukan. Punakawannya pada
diajari anakmu Antasena sampai Kakang kewalahan. Kakang akan
melapor Sang Hyang Guru, sekarang Adhi yang bertindak.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Melalui kutipan dialog di atas diketahui bahwa Bathara Kresna yang

menyamar menjadi raksasa telah dikalahkan oleh Raden Antasena bersama


67

dengan Gareng, Petruk, dan Bagong. Beliau menceritakan apa yang dialaminya

kepada Raden Janaka. Hal itu membuat Bathara Kresna malu.

Tahap resolusi yang terakhir terdapat pada bagian akhir adegan ke-27.

Pada adegan ini diceritakan Prabu Puntadewa memintakan maaf Ki Semar

Badranaya untuk Bathara Guru.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 27 akhir

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(PRABU PUNTADEWA MEMINTAKAN MAAF UNTUK BATHARA


GURU)
KI SEMAR BADRANAYA
Ampun angadhangi Gusti. Kajenge adhi kula Bethara Guru kula ajar. Eee,
karo kakangne kok wani kaya ngono. Kowe dadi ratu ana kayangan kuwi
aku sing nganggonke. Kae biyen aku ya isa tak wenehke kowe ki pira-pira
kok ra maturnuwun. Malah kowe wani karo ku, Hee Guru? Eee, guru ning
mulang arang-arang. Renea nek kon ngidak-idak.
‘Jangan menghalangi Gusti. Biar adik saya Bethara Guru saya hajar.
Dengan kakaknya kokberani seperti itu. Kamu jadi ratu di kayangan itu
aku yang menempatkan. Dulu aku serahkan ke kamu, kamu kok tidak
berterima kasih. Malah berani denganku. Hee Guru? Ee, Guru tetapi
ngajar jarang-jarang. Ke sini kalau ingin aku injak-injak.
PRABU PUNTADEWA
Pukulun, kula nyuwunaken pangapunten kalepatanipun pukulun Bathara
Guru. Kula nyuwunaken pangapunten dhateng kelepatanipun Kaka Prabu
Bethara Kresna. Awit sedaya saged kalimput saged kamendhungan.
‘Pukulun, saya memintakan maaf atas kesalahan Pukulun Bathara Guru.
Saya memintakan maaf atas kesalahan Kaka Prabu Bathara Kresna.
Karena semua itu bisa menjadikan kegelapan.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menceritakan Ki Semar Badranaya yang marah

kepada Bathara Guru karena berbuat lancang kepadanya. Lalu Prabu Puntadewa
68

memintakan maaf atas kesalahan Bathara Guru dan Bathara Kresna kepada Ki

Semar Badranaya.

4.1.2.6 Keputusan

Tahap keputusan merupakan tahap di mana persoalan telah memperoleh

penyelesaiaannya. Pada tahap ini konflik telah berakhir karena telah dicari jalan

keluarnya. Dalam lakon ini tahap keputusan terjadi pada adegan ke-28, yaitu

ketika Sang Hyang Padawenang datang dan marah kepada Bathara Guru. Beliau

menyuruh Bathara Guru dan Bathara Kresna untuk ikut ke kayangan guna

mendapat pelajaran dari Sang Hyang Padawenang.

Seperti kutipan di bawah ini.

Adegan : 28

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(SANG HYANG PADAWENANG MEMAAFKAN BATHARA GURU)


SANG HYANG PADAWENANG
He, Guru.
‘He, Guru.’
BATHARA GURU
Kula Kulun.
‘Saya Kulun.’
SANG HYANG PADAWENANG
Dina iki kita kulun paring pangapura, ning kabeh tingkah laku kita kang
kaya mengkono mau kudu kok ilangi. Ora kena kok baleni.
‘Hari ini kamu kulun beri maaf, tetapi semua tingkah lakumu yang seperti
itu harus kamu hilangkan. Tidak boleh kamu ulangi.’
BATHARA GURU
Nuwun ngestokaken dhawuh.
‘Saya melaksanakan perintah.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
69

Kutipan dialog di atas menceritakan Sang Hyang Padawenang yang telah

memaafkan Bathara Guru dan Menyuruh Bathara Guru untuk tidak mengulangi

lagi perbuatannya. Bathara Guru berjanji kepada Sang Hyang Padawenang untuk

tidak akan mengulangi perbuatannya.

(KI SEMAR BADRANAYA MEMAAFKAN BATHARA KRESNA)


BATHARA KRESNA
Kakang Semar, aku sing nyuwunke pangapura.
‘Kakang Semar, saya minta maaf.’
KI SEMAR BADRANAYA
Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking pukulun
padawenang wau minangka dados kekancingipun Gusti Nata Dwarawati.
‘Sudah. Tidak apa-apa. Semoga sedikit dari Pukulun Padawenang tadi
bisa menjadi kunci bagi Gusti Nata Dwarawati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas mengisahkan Ki Semar Badranaya yang memaafkan

semua yang telah dilakukan oleh Bathara Kresna kepadanya. Ki Semar Badranaya

berharap Bathara Kresna bisa melaksanakan pesan-pesan dari Sang Hyang

Padawenang.

Setelah menguraikan lakon Semar Mbangun Kayangan dalam beberapa

tahap, yaitu tahap eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan

maka dapat digambarkan melalui grafik berikut.


70

24 27
20
9 17 26
5 19
12 21 25
8 10 18
4 5 16 22&23
13

28 6&7 11 14&15
3
1

pathet nem pathet sanga pathet manyura

Keterangan:

1. Tahap Eksposisi atau Pengenalan, terjadi pada janturan pada awal adegan

pertama. Tahap ini memaparkan Kraton Ngamarta yang subur dengan

tanaman yang tampak hijau serta harga sandang pangan yang murah.

Diceritakan juga banyak saudagar yang berlayar mulai pagi sampai pagi lagi.

Adaanya saudagar-saudagar itu yang membuat Kraton Ngamarta terkenal

sampai mancanegara.

2. Tahap Konflik, terjadi pada bagian awal dan bagian adegan ke-2. Pada bagian

awal adegan ke-2 menceritakan tentang Petruk yang membawa kabar bahwa

Prabu Puntadewa beserta adik-adiknya diiringi dengan pusaka Ngamarta

Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Songsong Tunggulnaga.

Konflik yang kedua yaitu ketika Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil

Binartatra dengan perasaan marah karena merasa dirinya tidak dibutuhkan

lagi kehadirannya oleh Prabu Puntadewa.


71

3. Datar, terjadi pada adegan ke-3, yaitu ketika Prabu Puntadewa, Raden

Werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa sedang berdoa bersama-sama

di rumah pusaka.

4. Tahap Komplikasi 1, terjadi pada adegan ke-4, yaitu ketika Bathara Kresna

berhasil menghasut Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden Sentyaki

untuk mengusir Petruk dari Kraton Ngamarta.

5. Tahap Krisis 1, terjadi pada bagian awal adegan ke-5, yaitu ketika Petruk

diserang oleh Raden Sentyaki, Raden Gathutkaca, dan Raden Antareja.

Petruk tidak melawan sama sekali sehingga membuat malu ketiga satria

tersebut.

6. Tahap Resolusi 1, terjadi pada bagian akhir adegan ke-5, ketika Raden

Antareja melaporkan bahwa Petruk telah membuat dirinya, Raden Sentyaki,

dan Raden Gathutkaca malu kepada Raden Janaka.

7. Datar, pada adegan ke-6, yaitu ketika Petruk akhirnya pulang dari Kraton

Ngamarta mengikuti pusaka-pusaka Ngamarta.

8. Datar, pada adegan ke-7, yaitu ketika Raden Sadewa memberikan penjelasan

kepada anak-anak pandhawa bahwa para pandhawa kecuali Raden Janaka

akan pergi ke Karang Kapulutan.

9. Tahap Komplikasi 2, terjadi pada adegan ke-8. Pada adegan ini diceritakan

Bathara Kresna yang telah berhasil menghasut Bathara Guru hingga akhirnya

Bathara Guru menyuruh Bathari Durga menurunkan anak buahnya ke Karang

Kapulutan guna menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya.


72

10. Tahap Krisis 2, terjadi pada adegan ke-9, yaitu ketika Bathari Durga

menyuruh Jaramaya beserta anak buahnya turun ke Karang Kapulutan untuk

membunuh Ki Semar Badranaya. Jaramaya membawa Maling Sukma dan

Maling Raga turun ke Karang Kapulutan.

11. Tahap Resolusi 2, terjadi pada adegan ke-10, yaitu ketika Bathara Kresna

memutuskan untuk datang ke Karang Kapulutan dengan wujud raksasa yang

sebesar gunung. Raden Janaka disuruh malih rupa menjadi harimau.

12. Datar, terjadi pada adegan ke-11. Pada adegan ini Wisanggeni menemui

Anoman di Kendhalisada. Wisanggeni meminta Anoman untuk membantu

melancarkan rencana Ki Semar Badranaya.

13. Tahap Komplikasi 3, terjadi pada bagian awal adegan ke-12, yaitu ketika

Wisanggeni bertemu dengan Jaramaya dan mereka adu omongan. Saat itu

Wisanggeni menyamar menjadi Kampret.

14. Tahap Krisis 3, terjadi pada bagian akhir adegan ke-12, yaitu ketika

Wisanggeni yang sudah berubah menjadi Wisanggeni sejati berkelahi dengan

Jaramaya.

15. Tahap Resolusi 3, terjadi pada adegan ke-13. Pada adegan ini mengisahkan

Anoman telah berhasil menyelamatkan Wisanggeni dari serangan Jaramaya

dan beliau juga berhasil mengalahkan Jaramaya.

16. Datar, terjadi pada adegan ke-14, yaitu ketika Gareng, Petruk, dan Bagong

bernyanyi bersama-sama untuk menghibur diri dan penonton.


73

17. Datar, terjadi pada adegan ke-15, yaitu ketika Prabu Puntadewa tiba di

Karang Kapulutan dan disuruh Ki Semar Badranaya untuk mati di dalam

hidup guna mendapatkan wejangan dari Sang Hyang Padawenang.

18. Tahap Komplikasi 4, terjadi pada bagian awal adegan ke-16. Adegan ini

menceritakan kedatangan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja ke Karang

Kapulutan. Tiba-tiba raga Raden Antareja dimasuki oleh Maling Sukma dan

beliau membunuh Raden Abimanyu.

19. Tahap Krisis 4, terjadi pada adegan ke-17. Adegan ini menceritakan Raden

Gathutkaca yang marah karena Raden Antareja telah membunuh Raden

Abimanyu. Raden Gathutkaca ingin balas dendam kepada Raden Antareja,

terjjadilah peperangan.

20. Tahap Resolusi 4, terjadi pada bagian akhir adegan ke-18. Pada adegan ini

diceritakan Raden Antasena telah berhasil mengeluarkan Maling Sukma dari

raga Raden Antareja.

21. Tahap Komplikasi 5, terjadi pada bagian tengah adegan ke-19, yaitu ketika

Raden Antareja dan Raden Gathutkaca sudah bisa melihat makhluk apa yang

telah merasuki Raden Antareja. Mereka berniat membunuh Maling Sukma.

22. Tahap Krisis 5, terjadi pada adegan ke-20. Terjadi peperangan antara Raden

Antareja dan Raden Gathutkaca melawan Maling Sukma.

23. Tahap Resolusi 5, terjadi pada bagian awal adegan ke-21, yaitu ketika Maling

Sukma mengakui kekalahannya. Dia tidak sanggup lagi untuk melawan

Raden Gathutkaca dan Raden Antareja.


74

24. Datar, terjadi pada adegan ke-22, yaitu ketika Prabu Puntadewa, Raden

werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa mendapatkan wejangan dari

Sang Hyang Padawenang.

25. Datar, terjadi pada adegan ke 23, yaitu ketika Ki Semar Badranaya menyuruh

Prabu Puntadewa beserta adik-adiknya untuk bertapa.

26. Tahap Komplikasi 6, terjadi pada bagian awal adegan ke-24. Ketika Bathara

Kresna datang ke Karang Kapulutan dengan menyamar menjadi raksasa yang

besar bernama Digdya Jajalanang. Kedatangannya ke Karang Kapulutan

untuk menemui Ki Semar Badranaya dan mengajaknya ke kayangan.

27. Tahap Krisis 6, terjadi pada bagian tengah adegan ke-24, yaitu ketika Raden

Antasena yang mengajari Gareng, Petruk, dan Bagong cara mengusir Buta

Jajalanang yang merupakan malihan dari Bathara Kresna.

28. Tahap Resolusi 6, terjadi pada bagian akhir adegan ke-24, yaitu ketika

Bathara Kresna telah berhasil diusir dari Karang Kapulutan oleh Gareng,

Petruk, Bagong, dan Raden Antasena.

29. Datar, terjadi pada adegan ke-25. Ketika Raden Janaka tiba di Karang

Kapulutan dan tiba-tiba beliau meminta maaf kepada Ki Semar Badranaya.

Ki Semar Badranaya lalu menyuruhnya untuk ikut bertapa bersama saudara-

saudaranya.

30. Tahap Komplikasi 7, terjadi pada adegan ke-26. Adegan ini menceritakan

Bathara Kresna yang melaporkan kekalahannya kepada Bathara Guru.

Akhirnya Bathara Guru turun ke Karang Kapulutan untuk menemui Ki Semar

Badranaya.
75

31. Tahap Krisis 7, terjadi pada bagian awal adegan ke-27, yaitu ketika Bathara

Guru tiba di Karang Kapulutan dan menantang Ki Semar Badranaya. Ki

Semar Badranaya marah karena adiknya telah berani berbuat seperti itu.

32. Tahap Resolusi 7, terjadi pada bagian akhir adegan ke-27. Ki Semar

Badranaya yang marah kepada Bathara Guru karena berbuat lancang

kepadanya. Lalu Prabu Puntadewa memintakan maaf atas kesalahan Bathara

Guru dan Bathara Kresna kepada Ki Semar Badranaya.

33. Tahap Keputusan, terjadi pada adegan ke-28. Sang Hyang Padawenang dan

Ki Semar Badranaya telah memaafkan perbuatan Bathara Guru dan Bathara

Kresna.

Lakon Semar Mbangun Kayangan mempunyai grafik yang naik turun dan

pada bagian puncaknya tidak sama ketinggiannya. Hal itu disebabkan tingkatan

masalah yang timbul berbeda-beda sehingga menghasilkan klimaks yang berbeda

pula. Ketika masalah tersebut benar-benar sangat berat dan berpengaruh sekali

dengan tokoh utama, klimaks akan mencapai titik puncak tertinggi. Permasalahan-

permasalahan dalam lakon ini dinaikkan dan diturunkan oleh dhalang sesuai

dengan apa yang diinginkan karena dalam suatu pertunjukan wayang kulit

dhalanglah yang menjadi sutradaranya.

Bagian-bagian dalam pertunjukan wayang dibedakan menjadi tiga, yaitu

pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Pengambilan nama tersebut
76

disesuaikan dengan pathet gamelan yang digunakan untuk mengiringi. Bagian-

bagian pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut.

a. Pathet Lima

Pathet Lima merupakan bagian awal dari suatu pertunjukan wayang.

Pathet ini berlangsung mulai dari pukul 21.00 sampai pukul 24.00. Dalam

pagelaran wayang kulit, pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan

yang condong ke arah kiri. Bagian pathet lima menggambarkan kehidupan

manusia pada masa kanak-kanak yang berarti awal dari kehidupan manusia.

Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan bagian pathet lima terdapat pada

adegan pertama sampai adegan ke-13.

9
5
12
8 10
4 5

2 6&7 11 13
3
1

Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, adegan pada pathet nem

menceritakan tentang rencana Ki Semar Badranaya untuk membangun

kayangan yang disampaikan oleh Petruk kepada Prabu Puntadewa di Sitinggil

Binartatra. Diawali dengan itu muncullah konflik-konflik yang ditimbulkan

oleh Bathara Kresna. Bathara Kresna mengahasut Raden Janaka untuk tidak

mengikuti rencana Ki Semar Badranaya. Beliau juga melapor kepada Bathara

Guru tentang rencana Ki Semar Badranaya tersebut dan sekaligus menghasut

kalau perbuatan Ki Semar Badranaya itu salah. Akhirnya Bathara Guru


77

menyuruh Bathara Kresna untuk membawa Ki Semar Badranaya ke

kayangan. Bathara Guru juga menyuruh Bethari Durga menurunkan anak

buahnya ke Pedhukuhan Karang Kapulutan untuk menggagalkan rencana Ki

Semar Badranaya. Bagian pathet lima ditutup dengan adegan antara

Wisanggeni dengan Anoman. Wisanggeni menyuruh Anoman menjaga

Pedhukuhan Karang Kapulutan karena Anoman telah menyelamatkan dia dari

Jaramaya. Inti dari pathet lima terdapat pada bagian akhir adegan ke-2 yang

menceritakan tentang kebimbangan Prabu Puntadewa menghadapi

permintaan Ki Semar Badranaya dan kemarahan Bathara Kresna yang

melarangnya untuk mengikuti kata-kata Ki Semar Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

(PRABU PUNTADEWA MENCURAHKAN ISI HATINYA


KEPADA ADIK-ADIKNYA)
PRABU PUNTADEWA
Kadangipun Kakang, Dhimas Werkudara lan Dhimas Sadewa.
‘Saudarane Kakang, Dhimas Werkudara dan Dhimas Sadewa.’
RADEN WERKUDARA
Mbarep Kakang apa?
‘Ada apa Kakak tertua?’
RADEN SADEWA
Nuwun wonten paring pangandika dhawuh Kaka Prabu.
‘Mau berbicara apa Kaka Prabu?’
PRABU PUNTADEWA
Rumangsa peteng jagadipun Kakang. Ana kedadeyan kaya mengkono
ing atas. Kaka Prabu kaaturan rawuh supaya bisa ndandani suwasana
kang rusak, gawe kaanan kang peteng, lha kok dadi malah ana
kedadeyan Kaka Prabu ra cocok lan ora bisa jumbuh marang
kekarepane Kakang Semar.
‘Gelap sekali dunia Kakang. Ada kejadian seperti ini. Kaka Prabu
datang supaya bisa memperbaiki suasana yang rusak, membuat
keadaan yang gelap, lha kok malah ada kejadian Kaka Prabu tidak
cocok dan tidak bisa sependapat dengan keinginannya Kakang Semar.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)


78

Kutipan di atas menceritakan tentang inti dari pathet nem, yaitu tataran

hidup manusia yang belum mantap, masih dipenuhi kebimbangan dalam

hidupnya. Hal itu yang terjadi pada Prabu Puntadewa. Prabu Puntadewa merasa

bimbang harus mengambil keputusan apa terhadap keadaan yang sedang

dihadapinya, antara menuruti permintaan Ki Semar Badranaya dan menghadapi

kemarahan Bathara Kresna yang tidak sependapat dengan Ki Semar Badranaya.

b. Pathet Sanga

Pathet sanga merupakan bagian pertengahan dalam pertunjukan

wayang. Pathet ini biasanya berlangsung dari pukul 00.00 sampai pukul

03.00. Dalam pertunjukan wayang pathet sanga ditandai dengan penancapan

gunungan yang tegak lurus. Pathet sanga ini melambangkan masa dewasa.

Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan pathet sanga terdapat pada adegan

ke-14 sampai adegan ke-21.

20

17 19

16 18 21

14 & 15

Bagian pathet sanga dalam lakon Semar Mbangun Kayangan diawali

dengan Gareng, Petruk, dan Bagong yang bernyanyi bersama-sama untuk

menghibur penonton. Nyanyian itu juga digunakan untuk menyambut

bendara mereka yaitu pandhawa. Cerita selanjutnya tentang kedatangan

Prabu Puntadewa, Raden Werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa yang
79

datang ke Pedhukuhan Karang Kapulutan untuk bertemu dengan Ki Semar

Badranaya. Mereka meminta kejelasan tentang yang dimaksud dengan

membangun kayangan. Ki Semar Badranaya menyuruh mereka berempat

tidur dalam mati untuk bisa mengetahui maksud dari membangun kayangan.

Di sela-sela itu juga ada adegan perang antara Raden Antareja dan Raden

Gathutkaca dengan Maling Sukma. Pathet ini diakhiri dengan pertempuran

antara Raden Antasena dan Raden Gathutkaca dengan Maling Sukma. Inti

dari pathet sanga terdapat pada bagian tengah adegan ke-19 yang

menceritakan bahwa Raden Antasena dan Raden Gathutkaca sudah

mengetahui penyebab perkelahian mereka dan Raden Antasena sudah

menyadari semua kesalahannya.

Seperti kutipan di bawah ini.

RADEN GATHUTKACA
Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa.
‘Sangat tidak pantas. Aduh Kangmas. Benar-benar ada jin.’
RADEN ANTAREJA
Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi.
‘Kurang ajar ini. Yang mengadu domba ya ini. Hajar.’
RADEN GATHUTKACA
Sendika.
‘Siap.’
RADEN ANTAREJA
Aku njaluk supaya bisa weruh setan piye Dhimas?
‘Aku minta supaya bisa melihat setan bagaimana Dhimas?’
RADEN ANTASENA
Oiya kowe ora nduwe ya Kang. Nyoh, tak caosi nek mbok menawa
priksa.
‘Oiya kamu tidak punya ya Kang. Ini, kuberi mungkin saja bisa
melihat.’
80

RADEN ANTAREJA
Aku ora trima didu karo sedulur. Kecandhak, antemane buta iku.
‘Aku tidak terima diadu dengan saudara. Aku hajar raksasa itu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Kutipan dialog di atas menunjukkan bahwa Raden Antareja dan Raden

Gathutkaca akan membasmi jin dan setan yang menyebabkan perkelahian

mereka. Saat itu pula Raden Antareja menyadari semua kesalahannya.

c. Pathet Manyura

Pathet manyura berlangsung dari pukul 03.00 sampai pukul 06.00.

Dalam pertunjukan wayang pathet manyura ditandai dengan penancapan

gunungan yang condong miring ke kanan. Pathet ini melambangkan akhir

dari kehidupan manusia. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan pathet

manyura terdapat pada adegan ke-22 sampai dengan adegan ke-28.

27
24

26

25

22 & 23 28

Pathet manyura dalam lakon ini menceritakan tentang para pandhawa

kecuali Raden Janaka yang telah menemukan jalan yang benar dalam

hidupnya setelah mendapatkan banyak wejangan dari Sang Hyang

Padawenang. Pada bagian tengahnya terdapat peperangan hebat antara


81

Bathara Kresna dengan Ki Semar Badranaya dan juga peperangan antara

Bathara Guru dengan Ki Semar Badranaya. Kedua peperangan tersebut

dimenangkan oleh Ki Semar Badranaya. Akhirnya orang-orang yang berniat

jahat kepada Ki Semar Badranaya diberi wejangan oleh Sang Hyang

Padawenang. Bagian akhir dari pathet ini yaitu tancep kayon yang artinya

pertunjukan telah selesai dan melambangkan kematian manusia. Pada pathet

ini ditemukan penjelasan arti kayangan yang dimaksud oleh Ki Semar

Badranaya. Kayangan yang dimaksud Ki Semar Badranaya bukanlah

kayangan tempat tinggal dewa, melainkan jiwa para pandhawa. Jiwa

pandhawa yang bobrok hendak diperbaiki oleh Ki Semar Badranaya. Inti dari

pathet manyura terdapat pada akhir adegan ke-22 yang menceritakan tentang

Prabu Puntadewa dan adik-adiknya yang telah menentukan jalan hidup

mereka dengan berpegang kepada wejangan-wejangan yang diberikan oleh

Sang Hyang Padawenang kepada mereka.

Seperti kutipan di bawah ini.

(PRABU PUNTADEWA, RADEN WERKUDARA, RADEN


NAKULA, DAN RADEN SADEWA TELAH MENGERTI MAKSUD
DARI WEJANGAN-WEJANGAN SANG HYANG PADAWENANG)
SANG HYANG PADAWENANG
Wus kita tampa?
‘Sudah kalian terima?’
PRABU PUNTADEWA
Sampun.
‘Sudah.’
SANG HYANG PADAWENANG
Kabeh iku mau dadi wewarah kang becik. Mbesuk yen wis kumpul
kadang-kadang kita, jer kabeh iku mau sih gampang kena coba.
Citapsara kasebut kena minangka dadi piwulang kang becik marang
kabeh para kadang lan kawula.
82

‘Semua itu akan menjadi ajaran yang baik kelak jika sudah berkumpul
dengan saudara-saudara kalian. Meskipun semua itu masih mudah
terkena cobaan. Citapsara tersebut sebagai ajaran yang baik kepada
semua saudara dan manusia.’
PRABU PUNTADEWA
Matur sewu sembah nuwun.
‘Beribu-ribu terima kasih.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Kutipan dialog di atas menceritakan tentang tujuan hidup selanjutnya

Prabu Puntadewa dan adik-adiknya. Mereka sudah memahami arti keberadaan

mereka yang harus selalu selaras dengan Jimat Kalimasada. Menjalankan tampuk

kepemimpinan dengan berpegang pada arti dari pusaka-pusaka yang mereka

miliki. Bagian ini menggambarkan manusia telah berhasil menentukan pilihan

hidupnya, lalu bertekad menggapai tujuan hidupnya.

4.2 Penokohan

Pada lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat tiga macam tokoh, yaitu

tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh durjana.

4.2.1 Tokoh Protagonis

Tokoh protagonis merupakan peran utama yang merupakan pusat atau

sentral cerita. Pada suatu lakon biasanya hanya ada satu atau dua tokoh yang

menjadi tokoh protagonis utama yang dibantu atau didukung oleh tokoh-tokoh

lain yang juga masuk dalam kategori protagonis. Tokoh protagonis ini merupakan

tokoh yang dianggap baik. Berikut ini tokoh protagonis dalam lakon Semar

Mbangun Kayangan.
83

a. Ki Semar Badranaya

Ki Semar Badranaya merupakan titisan Bathara Ismaya yang turun ke

marcapada untuk menggulawenthah para satriya terutama pandhawa. Beliau

seseorang yang mempunyai watak lembah manah, jujur, dan sederhana.

Dalam lakon ini Ki Semar Badranaya menjadi tokoh utama. Beliau berperan

menjadi seorang rakyat serta seorang guru yang ingin memberikan wejangan

kepada ratunya, yaitu pandhawa. Ki Semar Badranaya membangun mental

kepemimpinan pandhawa supaya mereka tidak hanya memikirkan dirinya

sendiri, tetapi juga mengutamakan rakyat. Beliau mempunyai watak bijaksana

dan pemaaf.

Seperti kutipan di bawah ini.

Ee, mboten kena. Mboten kena. Niku ngibarate wong meguru, bapa
karo anak bareng mboten kena. Kudu salah sawiji. Yen bapakne
bapakne, yen anake ya anake. Sing ora kena bareng sing nampa
wejangan. Mpun, sekecakke sing lenggah, kula tak teng pengkeran.
Sekecakke Den.
‘Ee, tidak bisa. Tidak bisa. Itu ibaratnya orang berguru, bapak dengan
anak tidak boleh. Harus salah satu. Jika bapaknya ya bapaknya, jika
anaknya ya anaknya. Yang tidak bisa yang menerima nasihat.
Sudahlah, dienakkan saja yang duduk, saya mau ke belakang.
Dienakkan Den.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Kutipan dialog di atas menggambarkan watak bijaksana dari Ki Semar

Badranaya. Beliau menjelaskan kepada Raden Antareja dan Raden Gathutkaca

bahwa dalam berguru, orang tua tidak boleh bersamaan dengan anaknya, tidak

pantas atau tidak sopan hukumnya.


84

Seperti kutipan di bawah ini.

Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking Pukulun


Padawenang wau minangka dados kekancinganipun Gusti Nata
Dwarawati.
‘Sudah. Tidak apa-apa. Semoga sedikit dari Pukulun Padawenang tadi
bisa menjadi kunci bagi Gusti Raja Dwarawati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menggambarkan sifat pemaaf dari Ki Semar

Badranaya. Beliau mau memaafkan Bathara Kresna meski Bathara Kresna telah

memusuhi dan berusaha untuk membunuh dirinya.

b. Raden Sadewa

Raden Sadewa merupakan pandhawa yang terakhir, atau sering disebut

ragil. Dalam lakon ini Raden Sadewa mempunyai watak cerdas, teguh

pendirian, dan bijaksana. Raden Sadewa menjelaskan kepada kakak-

kakaknya kecuali Raden Janaka tentang arti kata kayangan yang

dimaksudkan oleh Ki Semar Badranaya. Raden Sadewa membuat ketiga

kakaknya tidak terhasut oleh Bathara Kresna. Raden Sadewa juga mengajak

ketiga kakaknya pergi ke Karang Kapulutan untuk menerima segala wejangan

yang akan diberikan oleh Ki Semar Badranaya. Raden Sadewa juga

menyuruh anak-anak pandhawa untuk ikut ke Karang Kapulutan guna

menjaga dukuh tersebut dari musuh.

Seperti kutipan di bawah ini.

Jalaran kayangan menika mboten namung ngemung kagunganipun


jawata nanging pedhukuhan Karang Kapulutan kelebet dados
kayanganipun Kakang Semar Badranaya. Yen kapundhut dasar pusaka
tetiga, Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, lan Songsong
85

Tunggulnaga ingkeng kula kuwatosi yen ingkeng badhe dipundandosi


menika kayangan raosing manah, klebet saklebeting driya. Kaka Prabu
sakadang badhe dipunprenahaken tingkah lampah ing analisir dhateng
kautaman, badhe dipundandosi dhumateng Kakang Semar, jalaran
pusaka tetiga menika klebet dados sasmita. Kalimasada jujuring para
pandhawa. Tumbak Karawelang lantiping manah kula sakadang.
Songsong Tunggulnaga jejibahanipun Kaka Prabu minangka dados
pangayoming para pandhawa. Yen mangke ngantos menika mboten
dipunleksanani badhe kapitunan.
‘Karena kayangan itu tidak hanya berarti miliknya dewata tetapi
Pedhukuhan Karang Kapulutan termasuk kayangannya Kakang Semar
Badranaya. Jika diambil dasar pusaka tiga, Jamus Kalimasada,
Tumbak Karawelang, dan Payung Tunggulnaga yang saya khawatirkan
yang akan diperbaiki itu adalah rasa hati, termasuk di dalam jiwa.
Kaka Prabu bersama saudara akan dibenarkan tingkah laku yang tidak
sesuai keutamaan, akan diperbaiki oleh Kakang Semar, karena pusaka
tiga itu termasuk tanda. Kalimasada jujurnya pandhawa. Tumbak
Karawelang tajamnya hati saya bersama saudara. Payung
Tunggulnaga kewajiban Kaka Prabu sebagai pengayom para
pandhawa. jika nanti sampai ini tidak dilaksanakan akan mendapatkan
malu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan di atas menggambarkan watak Raden Sadewa yang cerdas. Di

saat para kakaknya tidak bisa berpikir tentang maksud dari keinginan Ki Semar

Badranaya, Raden Sadewa bisa menafsirkan apa yang dimaksud oleh Ki Semar

Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Nuwun sewu keparenga Petruk kadohana medal njawi rumiyin,


mangke dipunrembag ingkang sae-sae kemawon. Yen ngantos menika
mangke kedangon tundhonipun badhe ngucemaken asma Kaka Prabu.
‘Permisi, bolehlah Petruk disuruh keluar dulu, nanti didiskusikan yang
baik-baik. Jika ini sampai berlarut-larut pasti akan membuat jelek
nama Kaka Prabu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
86

Kutipan pembicaraan Raden Sadewa di atas menggambarkan watak

Raden Sadewa yang bijaksana. Beliau tidak ingin nama baik kakaknya menjadi

rusak hanya karena masalah yang tidak dibicarakan dengan baik-baik di arena

pertemuan agung, oleh karena itu beliau member usul supaya Petruk disuruh

keluar dan mereka membahasnya dengan otak dingin.

c. Raden Antasena

Raden Antasena merupakan putra dari Raden Werkudara. Raden

Antasena bisa terbang dan masuk ke dalam tanah. Raden Antasena

mempunyai watak tegas, bijaksana, dan teguh pendirian. Dalam lakon ini

Raden Antasena ikut membantu rencana Ki Semar Badranaya untuk

membangun kayangan, yang tak lain adalah mental para pandhawa. Raden

Antasena membantu melawan siapapun yang berusaha menggagalkan

rencana Ki Semar Badranaya. Kebaikan Raden Antasena dapat dilihat ketika

Raden Antasena membantu Petruk melawan Raden Sentyaki dan Raden

Antareja. Kebaikan selanjutnya ketika Raden Antasena membantu

Mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja. Terakhir ketika

Raden Antasena membantu Gareng, Petruk, dan Bagong melawan Bathara

Kresna.

Seperti kutipan di bawah ini.

(RADEN ANTASENA MENYURUH MALING SUKMA KELUAR


DARI RAGA RADEN ANTAREJA)
RADEN ANTASENA
Heem. Aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga
janma. Nek kowe ra roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga.
‘Iya. Jangan lama-lama bertempat di kakakku. Itu raga, raga manusia.
Jika kamu bukan roh jahat, jangan kau teruskan. Pergilah.’
87

MALING SUKMA
Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga.
‘Tidak peduli. Jika belum membunuh Semar tidak akan pergi.’
RADEN ANTASENA
Tak tandingna aku.
‘Tandinglah denganku.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Kutipan dialog di atas menggambarkan watak tegas dari Raden

Antasena. Raden Antasena tidak rela kakaknya dikendalikan oleh Maling Sukma.

Dia menyuruh Maling Sukma keluar dari raga kakaknya, tetapi karena Maling

Sukma menolak, dihajarlah dia oleh Raden Antasena.

d. Sang Hyang Padawenang

Sang Hyang Padawenang merupakan dewa dari semua dewa. Beliau

mempunyai watak bijaksana. Dalam lakon ini beliaulah yang memberikan

banyak wejangan dan mengartikan semua pusaka milik pandhawa ketika para

pandhawa mati dalam hidup atau sering disebut mati suri. Beliau yang

membantu Ki Semar Badranaya untuk membangun kayangan atau jiwa para

pandhawa. Sang Hyang Padawenang juga seseorang yang membantu Ki

Semar Badranaya untuk mengalahkan Bathara Guru dan Bathara Kresna

dengan cara memberi nasihat dan menyuruh mereka ikut ke kayangan untuk

mendapatkan pelajaran tentang kehidupan.

Seperti kutipan di bawah ini.

Kita dadi pangayoming para pandhawa anggunakna kawicaksanan


pretungan kang premati aja mung waton bisa ngarani aja mung anut
marang hardening kamurkan. Sedaya kalepatan nyuwun pangapunten
kulun.
‘Kamu menjadi pengayom para pandhawa menggunakan
kebijaksanaan hitungan yang teliti jangan hanya bisa menuduh jangan
88

hanya nurut kemurkaanmu. Semua kesalahan minta maaflah pada


Kulun.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menggambarkan watak Sang Hyang Padawenang

yang tegas, bijaksana, dan suka member nasihat. Beliaulah yang membantu

Ki Semar Badranaya menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi di

Pedhukuhan Karang Kapulutan.

e. Bathara Kaneka Putra

Bathara Kenaka Putra merupakan kakak dari Bathara Guru. Dalam

lakon ini beliau berperan sebagai penasihat Bathara Guru saat Bathara Guru

dihasut oleh Bathara Kresna, namun ternyata nasihatnya tidak diterima oleh

Bathara Guru.

Seperti kutipan di bawah ini.

(BATHARA KANEKA PUTRA MENASIHATI BATHARA GURU)


BATHARA KANEKA PUTRA
Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten
napa-napa, wong kang jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng
kawontenan.
‘Dik Guru. Hati-hati Dik. Kakang Semar itu orang tidak apa-apa,
orang yang jujur. Adik Guru harus bisa melihat keadaan.’
BATHARA GURU
Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.
‘Tidak. Seperti apa wajah Kakang Semar.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menunjukkan watak Bathara Kenaka Putra yang

suka memberi nasihat kepada Bathara Guru, tetapi Bathara Guru tidak pernah

mengindahkannya karena beliau sudah terlanjur terkena hasutan Bathara

Kresna.
89

4.2.2 Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis adalah peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang

tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik). Tokoh antagonis

merupakan tokoh yang dianggap jahat. Tokoh antagonis selalu menjadi

penghalang buat tokoh protagonis. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan

terdapat beberapa tokoh antagonis, adalah sebagai berikut:

a. Bathara Kresna

Bathara Kresna adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis Ki Semar

Badranaya. Bathara Kresna merupakan penasehat pandhawa. Dalam lakon ini

Bathara Kresna mempunyai watak gegabah , merasa dirinya paling benar, dan

penghasut. Konflik yang muncul dalam lakon ini timbul karena sikap Bathara

Kresna yang tidak mau berpikir lebih lanjut tentang maksud Ki Semar

Badranaya untuk mendirikan kayangan. Beliau pergi meninggalkan

pertemuan di Sitinggil Binartatra dengan rasa marah karena pandhawa tidak

mau mengikuti apa yang dikatakannya. Akhirnya Bathara Kresna berhasil

menghasut Raden Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antareja, Raden

Sentyaki, dan Bathara Guru untuk melawan Ki Semar Badranaya.

Sepeti kutipan di bawah ini.

Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing


sitinggil binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe
mulyakaken percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun
Kakang Semar badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge
sarana mbiyantu anggenipun Kakang Semar badhe mbangun
kayangan, ateges badhe mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten
dados rembag ingkeng mboten prayogi. Paribasan menika naming
sapala nanging dados perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-
kadang kula Ngamarta wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu
Kakang Semar. Dhuh, pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing
90

para jawata. Yen pancen pukulun nglilani Kakang Semar badhe


mbangun kayangan, ingkeng wayah siyaga badhe nututi para kadang
mbiyantu Kakang Semar. Nanging yen menika Kakang Semar dianggep
lepat, kados pundi caranipun saged paring pengajaran dhateng
ingkeng kalepatinipun titah?
‘Saya tahu sendiri ketika berkumpul di Sitinggil Binartatra di Kraton
Ngamarta membahas tentang maksud memulyakan candi. Tiba-tiba
Petruk anaknya Kakang Semar akan memboyong saudara-saudara
saya sebagai sarana membantu Kakang Semar yang akan membangun
kayangan, artinya memulyakan kayangan. Yang seperti ini menjadi
diskusi yang tidak baik. Peribahasanya itu hanya sedikit menjadi
masalah. Sehingga Petruk pulang, saudara-saudara saya Ngamarta
akan hilang, terlihat jika akan membantu Kakang Semar. Duh,
Pukulun. Padahal kayangan itu kuasanya para dewata…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Penggalan perkataan Bathara Kresna di atas menggambarkan wataknya

sebagai seorang penghasut. Beliau tidak berpikir panjang tentang maksud dari Ki

Semar Badranaya dan sudah melaporkannya kepada Bathara Guru. Beliau juga

merasa bahwa kayangan itu bukanlah kuasanya Ki Semar Badranaya melainkan

para dewa.

b. Bathara Guru

Dalam lakon ini Bathara Guru berperan sebagai penentang Ki Semar

Badranaya. Bathara Guru memiliki watak tidak teguh pendirian dan gegabah.

Hal itu menyebabkan dia mudah dihasut oleh Bathara Kresna. Beliau tidak

mendengarkan nasihat Bathara Kenaka Putra bahwa hal itu harus dipikirkan

lebih lanjut karena Ki Semar Badranaya merupakan seseorang yang jujur dan

beliau juga seorang dewa. Penjelasan Bathara Kenaka Putra tentang arti

kayangan untuk Ki Semar Badranaya juga tidak didengarkan oleh Bathara

Guru. Bathara Guru menyuruh Bethari Durga untuk menurunkan raksasa-

raksasanya ke Karang Kapulutan dan membunuh Ki Semar Badranaya.


91

Seperti kutipan di bawah ini.

(BATHARA GURU MENYURUH BATHARI DURGA UNTUK


MENURUNKAN ANAK BUAHNYA KE KARANG KAPULUTAN)
BATHARA GURU
Durga.
‘Durga.’
BATHARI DURGA
Nuwun Dhawuh.
‘Menerima Perintah.’
BATHARA GURU
Metua njaba, dhawuh marang putra-putra bajul badi yen nganti gagal
Kresna nyuba Kakang Semar, pasrahna bajul badi.
‘Keluarlah, suruh anak-anak buaya badi jika sampai gagal Kresna
mencoba Kakang Semar, pasrahkan bajul badi.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Kutipan dialog di atas menggambarkan watak Bathara Guru yang jahat.

Beliau menyuruh Bathari Durga untuk menurunkan anak buahnya ke Karang

Kapulutan guna membantu Kresna memboyong Ki Semar Badranaya ke kayangan

dengan paksaan.

c. Bathari Durga

Bathari Durga adalah adik dari Bathara Guru. Beliau penguasa

Kayangan Ganda Mayit. Beliau ratu dari para raksasa, jim, dan setan. Bathari

Durga masuk dalam tokoh antagonis karena belaiau mendukung usaha

Bathara Kresna dan Bathara Guru untuk menggagalkan rencana Ki Semar

Badranaya membangun kayangan. Bathari Durga menurunkan para raksasa

ke Karang Kapulutan untuk membunuh Ki Semar Badranaya. Kejahatannya

dilihat dari beliau yang menyuruh Jaramaya membunuh Ki Semar Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.


92

Dhawuhana kawo wadya bala, buta loro sing kok pilih Maling Sukma
Maling Raga supaya mlebu ana Karang Kapulutan nyendhal mayang
Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar.
‘Suruhlah kepada anak buahmu, dua raksasa yang kau pilih Maling
Sukma Maling Raga supaya masuk ke Karang Kapulutan membunuh
Kakang Semar atau siapa saja yang membela Kakang Semar.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Penggalan perkataan Bathari Durga di atas menunjukkan bahwa dia

berwatak jahat seperti Bathara Guru. Beliau menyuruh anak buahnya turun ke

Karang Kapulutan untuk membunuh Ki Semar Badranaya.

d. Maling Sukma

Maling Sukma adalah raksasa yang suka memakan jiwa manusia

dengan cara masuk ke dalam raga manusia yang ingin dibunuh. Maling

Sukma disuruh Jaramaya untuk membunuh Ki Semar Badranaya. Pada saat di

Pedhukuhan Karang Kapulutan Maling Sukma masuk ke raga Raden Antareja

dan membuat Raden Antareja membunuh Raden Abimanyu. Maling Sukma

berperang melawan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja, karena mereka

menghalangi niatnya untuk membunuh Ki Semar Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Maling Sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya
aku mateni Siwa Badranaya.
‘Aku Maling Sukma. Jangan menghalangiku. Aku mendapatkan
perintah supaya aku membunuh Siwa Badranaya.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Penggalan perkataan di atas menunjukkan bahwa Maling Sukma berniat

untuk membunuh Ki Semar Badranaya karena perintah dari Jaramaya. Dia tidak

ingin langkahnya dihalangi oleh orang lain.


93

4.2.3 Tokoh Durjana

Tokoh durjana merupakan tokoh yang jahat sekali. Dia biasanya suka

menghasut atau Semar Mbangun Kayangan hanya ada satu tokoh durjana, yaitu

Bathara Kresna. Pada lakon ini Bathara Kresna menjadi penghasut dan provokator

untuk para pandhawa, anak-anak pandhawa, dan Bathara Guru supaya

menghalangi rencana Ki Semar Badranaya untuk membangun kayangan. Bathara

Kresna berhasil menghasut Arjuna, Bathara Guru, Sentyaki, serta anak-anak

pandhawa kecuali Raden Antasena untuk menggagalkan rencana Ki Semar

Badranaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing sitinggil


binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe mulyakaken
percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun Kakang Semar
badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge sarana mbiyantu
anggenipun Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ateges badhe
mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten dados rembag ingkeng
mboten prayogi. Paribasan menika naming sapala nanging dados
perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-kadang kula Ngamarta
wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu Kakang Semar. Dhuh,
pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing para jawata…
‘Saya tahu sendiri ketika berkumpul di Sitinggil Binartatra di Kraton
Ngamarta membahas tentang maksud memulyakan candi. Tiba-tiba Petruk
anaknya Kakang Semar akan memboyong saudara-saudara saya sebagai
sarana membantu Kakang Semar yang akan membangun kayangan,
artinya memulyakan kayangan. Yang seperti ini menjadi diskusi yang tidak
baik. Peribahasanya itu hanya sedikit menjadi masalah. Sehingga Petruk
pulang, saudara-saudara saya Ngamarta terlihat jika akan membantu
Kakang Semar. Duh, Pukulun. Padahal kayangan itu kuasanya para
dewata…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
94

Penggalan perkataan Bathara Kresna di atas menggambarkan wataknya

sebagai seorang penghasut. Beliau tidak berpikir panjang tentang maksud dari Ki

Semar Badranaya dan sudah melaporkannya kepada Bathara Guru. Beliau juga

merasa bahwa kayangan itu bukanlah kuasanya Ki Semar Badranaya melainkan

para dewa.

4.3 Latar

Menurut Satoto, latar mencakup tiga aspek penting, yaitu aspek ruang,

aspek waktu, dan aspek suasana.

4.3.1 Aspek Ruang

Lokasi-lokasi yang terdapat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dapat

dikemukakan sebagai berikut.

a. Kraton Ngamarta

Kraton Ngamarta merupakan kraton yang dipimpin oleh Prabu

Puntadewa. Kraton Ngamarta sering disebut sebagai Kraton

Indraprastha atau Kraton Mrentani. Kraton Ngamarta digambarkan

dengan suatu kerajaan yang terkenal sampai mancanegara dengan

segala kesuksesannya. Tidak hanya pemimpinnya yang terkenal, tetapi

juga kemakmuran rakyatnya. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan

penyebaran latar di Kraton Ngamarta terdapat pada adegan

kedhatonan, yaitu pada adegan pertama. Penyebaran pathet dalam

lakon yang berlatar di Kraton Ngamarta terdapat pada pathet nem.

Seperti kutipan di bawah ini.


95

JANTURAN
…Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku
loh jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi mapan siti
ketumpangan wareh, apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-
royo. Jinawi kekawining tembung murah kang sarwa tinuku
amarga saka saking prigeling kawula kang sami among tani satma
mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal yen negara dadi
pikuwat saka guruning negara. Werdining gemah lakuning para
sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet datan
wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing
ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan wonten
sambekala…
‘…Di depan sudah diceritakan bahwa wilayah Kerajaan Ngamarta
itu subur dan tentram. Tanahnya tulus semua yang ditanam pasti
jadi ditaruh di tanah dan terkena air, apa yang ditancapkan pasti
tumbuh hijau. Tentram artinya murah yang semua bisa dibeli
karena orang-orangnya pintar dalam mengelola pertanian. Tidak
salah jika negara menjadi kuat saka gurunya negara. Para
saudagar berlayar para nahkoda yang datang mulai malam tidak
ada putusnya selalu silih berganti dari wilayah Kerajaan
Ngamarta sehingga sampai mancanegara tidak ada halangan…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan janturan tersebut menceritakan Kraton Ngamarta yang

subur. Semua tumbuhan yang ditanam pasti tumbuh, semuanya tampak

hijau. Semua barang di Kraton Ngamarta harganya murah sehingga

penduduk bisa membelinya. Banyak saudagar yang berlayar, mulai pagi

sampai pagi lagi. Hal itu yang menyebabkan Kraton Ngamarta terkenal

sampai mancanegara. Keadaan yang seperti itu membuat Kraton Ngamarta

menjadi kuat.

b. Sitinggil Binartatra

Sitinggil Binartatra merupakan ruang pertemuan di Kraton Ngamarta.

Ruang tersebut sangat megah dan biasa digunakan Prabu Puntadewa


96

beserta keempat adiknya untuk mengadakan pertemuan dengan

segenap orang penting Ngamarta. Dalam lakon ini Sitinggil Binartatra

masuk dalam adegan kedhatonan dan terdapat pada adegan pertama

sampai adegan ke-2. Penyebaran pathet yang berlatar di Sitinggil

Binartatra terdapat pada pathet nem.

Seperti kutipan di bawah ini.

…wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah.


Pocapa tuking titiwancine sang nata arep sanabda, songsong
kencana, mijil saking kedhaton byar tindho kumelating ratih.
Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga paran
sabda nata ngangseg ngge nyungadep.
‘…sudah berakhir candra sampai sini. Telah sampai waktunya
sang raja akan bersabda, payung kencana, menyatu dari kerajaan
berkilauan sinar lampu. Semua para abdi tanggap dengan tanda
dari raja.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan suluk di atas menceritakan tentang keadaan di Sitinggil

Binartatra ketika sedang diadakan rapat pertemuan dengan petinggi-

petinggi Ngamarta. Ketika raja akan bersabda, payung mulai dibuka dan

lampupun dinyalakan dengan sinar yang berkilauan.

c. Kayangan Jonggring Sloka

Kayangan Jonggring Sloka merupakan kayangan tempat di mana para

dewa tinggal. Kayangan tersebut dikuasai oleh Bathara Guru.

Kayangan Jonggring Sloka sering dipakai oleh para dewa untuk

mengadakan pertemuan. Di kayangan ini Bathara Kresna melapor

kepada Bathara Guru tentang rencana Ki Semar Badranaya untuk

membangun kayangan. Penyebaran latar di Kayangan Jonggring Sloka

terdapat pada adegan ke-8 dan adegan ke-26. Penyebaran pathet di


97

Kayangan Jonggring Sloka terdapat pada pathet nem dan pathet

manyura.

Seperti kutipan di bawah ini.

Ing Kayangan Jonggring Sloka ya Kayanganing Giri Pati. Ingkeng


lenggah ing kono sedaya para jawata. Nanging ampun ngantos
kelentu penampi, dewa menika pada ingkang supados paring
piwulang reh anggewulang kautaman dhateng para titah-titah
ingkeng kelentu keblatipun…
‘Di Kayangan Jonggring Sloka ya Kayangan Giri Pati. Yang
duduk di sama semua para dewata. Tetapi jangan sampai salah
terima, dewa ini merupakan pemberi pedoman supaya memberikan
ajaran keutamaan kepada para manusia yang salah arah…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Kutipan di atas mengungkapkan bahwa Kayangan Jonggring Sloka

adalah tempat tinggal para dewa. Dalam konteks ini dewa adalah pemberi

pedoman kepada manusia yang melakukan kesalahan di dunia.

d. Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pedhukuhan Karang Kapulutan merupakan pedhukuhan yang dipimpin

oleh Ki Semar Badranaya. Pedhukuhan ini terdapat pada wilayah

Kraton Ngamarta. Dalam lakon ini, Pedhukuhan Karang Kapulutan

digunakan sebagai tempat Ki Semar Badranaya medharaken ilmu

kepada pandhawa. Di sini Sang Hyang Padawenang juga medharaken

ilmu pada pandhawa pada adegan ke-22. Di pedhukuhan ini juga

terjadi banyak peperangan, perang antara Wisanggeni dengan

Jaramaya yang terdapat pada adegan ke-12, perang antara Raden

Gathutkaca dan Raden Antareja dengan Maling Sukma yang terdapat

pada adegan ke-20, perang antara Ki Semar Badranaya dengan Bathara


98

Guru pada adegan ke-27. Penyebaran pathet yang berlatar di

Pedhukuhan Karang Kapulutan terdapat pada pathet nem, pathet sanga,

dan pathet manyura.

Seperti kutipan di bawah ini.

(RADEN GATHUTKACA MARAH KARENA RADEN


ANTAREJA MEMBUNUH RADEN ABIMANYU)
PETRUK
Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara
Gathutkaca. Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo
aku wis nglenggana, ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa
Ndara Gathutkaca. Ateges bebaya sing mlebu ana Karang
kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara. Saka kaca panemuku,
tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki.
‘Nah karena Ndara Antareja sampai sini bersama Ndara
Gathutkaca. Meskipun tadi Ndara Gathutkaca dengan saya sudah
berbaik hati, tetapi kenyataanya yang membawa Ndara Antareja
adalah Ndara Gathutkaca. Jadi bahaya yang masuk di Karang
Kapulutan itu yang membawa Ndara Gathutkaca. Dari kaca
penglihatanku, tentram ya dari Ndara. Tidak juga dari Ndara.’
RADEN GATHUTKACA
Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare.
‘Sudah, tidak usah ngomel-ngomel. Kakang Antareja akan
kuhajar.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)

Berdasarkan kutipan di atas Raden Gathutkaca marah dan merasa

menyesal karena membawa Raden Antareja ke Pedhukuhan Karang

Kapulutan. Akhirnya, beliau memutuskan untuk menghajar Raden

Antareja.

e. Pertapaan Kendhalisada

Pertapaan Kendhalisada merupakan pertapaan milik Anoman. Di

pertapaan ini Anoman nggulawenthah murid-muridnya. Di pertapaan


99

miliknya, Anoman terkenal sebagai guru yang bijaksana dan tidak kikir

dalam membagikan ilmu kanuragan serta ilmu kehidupan kepada

murid-muridnya. Dalam lakon ini penyebaran latar ini terdapat pada

adegan ke-11, yaitu ketika Wisanggeni mendatangi Anoman dan

memintanya untuk membantu rencana Ki Semar Badranaya untuk

membangun kayangan dengan cara memerangi orang yang ingin

menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya. Penyebaran pathet yang

berlatar Pertapaan Kendhalisada terdapat pada pathet nem.

Seperti kutipan di bawah ini.

(ANOMAN MENYAMBUT KEDATANGAN WISANGGENI DI


PERTAPAAN KENDHALISADA)
ANOMAN
Wong bawana langgenga, yoganipun ingkeng Bapa ngger. Tilema
sakliyepan mboten badhe nyupena bilih angger Wisanggeni badhe
lenggah wonten ing Kendhalisada. Saksampunipun sakwetawis
anggen lenggah, pun bapa atur pambagya panakrama.
‘Orang agung, sepantasnya Bapak, Nak. Tidur sebentarpun tidak
akan bermimpi karena Nak Wisanggeni akan datang ke
Kendalisada. Sesudah beberapa waktu duduk, Bapak
menghaturkan salam bahagia.’
WISANGGENI
Tak tampa ngendikane Siwa Begawan mbagekke karo aku.
Pangestunipun Siwa Anoman kaya ora kurang siji-sijia menapa.
Sembahku tampanana Pakdhe.
‘Saya terima Siwa Begawan yang sudah menyambut saya.
Pangestu Siwa Anoman seperti tidak kurang apapun. Sujud
sembahku terimalah Pakdhe.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan dialog di atas mengisahkan peristiwa yang terjadi di

Pertapaan Kendalisada. Peristiwa itu ketika Wisanggeni datang ke


100

Pertapaan Kendalisada dan mendapatkan sambutan yang menyenangkan

dari Anoman.

4.3.2 Aspek Waktu

Latar waktu dalam lakon ini tidak diperlihatkan dengan jelas. Pada awal

pertunjukan, dhalang tidak menjelaskan kepada penonton kapan dan pada masa

apa peristiwa itu terjadi. Dalam lakon ini hanya diketahui bahwa peristiwa itu

terjadi saat Semar ingin membangun mental para ratunya yang telah bobrok.

4.3.3 Aspek Suasana

Dalam suatu drama atau pagelaran wayang, aspek suasana juga sangat

berpengaruh. Adanya aspek suasana membuat penonton bisa merasakan apa yang

sedang terjadi dalam tiap adegan. Pada lakon ini terdapat beberapa aspek suasana

yang dikemukakan sebagai berikut.

a. Hikmad

Suasana yang hikmad dapat dirasakan pada saat pertemuan di

Sitinggil Binartatra dimulai. Saat Prabu Puntadewa masuk bersama

dengan keempat adiknya, semua orang yang sudah berkumpul di situ

mulai diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh ratunya. Pada

lakon ini terdapat pada adegan pertama. Penyebaran pathet pada

suasana hikmad terdapat pada pathet nem.

Seperti kutipan di bawah ini.

…wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah.


Pocapa tuking titiwancine sang nata arep sanabda, songsong
kencana, mijil saking kedhaton byar tindho kumelating ratih.
Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga paran
sabda nata ngangseg ngge nyungadep. Kepireng suwara kang
101

ompyan gemuruh ora mantra-mantra para kawus madhong


candrane lir negara keprabon pangramuk saka mancanegara
nggih kanca jagading dhadha maju sag seg sag seg sateguh.
‘…sudah berakhir candra sampai sini. Telah sampai waktunya
sang raja akan bersabda, payung kencana, menyatu dari kerajaan
berkilauan sinar lampu. Semua para abdi tanggap dengan tanda
dari raja. Terdengar suara yang bergemuruh dicandrakan negara
yang terkenal sampai mancanegara, negara tetangga.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

Kutipan di atas menggambarkan suasana di Sitinggil Binartatra

yang hikmad ketika diadakan pertemuan dengan petinggi-petinggi

Ngamarta. Suasana begitu hikmad ketika Prabu Puntadewa mulai bersuara.

Para abdi mulai menempatkan diri dan bersiap mendengarkan apa yang

dikatakan rajanya.

b. Tegang

Suasana tegang dalam lakon ini dapat dirasakan pada adegan ke-2,

yaitu saat Bathara Kresna marah di Sitinggil Binartatra karena beliau

merasa tidak digugu oleh Prabu Puntadewa. Suasana tegang yang

lainnya dirasakan saat terjadi peperangan, yaitu perang antara Raden

Gathutkaca dengan Raden Antareja pada bagian awal adegan ke-17

dan saat perang antara Raden Antareja melawan Raden Antasena pada

bagian akhir adegan ke-18. Penyebaran pathet dengan suasana tegang

terdapat pada pathet nem dan pathet manyura.

Seperti kutipan di bawah ini.

(RADEN GATHUTKACA MARAH DENGAN RADEN


ANTAREJA, TERJADILAH PERKELAHIAN)
102

RADEN GATHUTKACA
Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja
tekang Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan
Abimanyu mati merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.
‘Kakang Antareja jangan seenakmu sendiri. Kakang Antareja
sampai Karang Kapulutan karena Gathutkaca. Ada kejadian
Abimanyu meninggal karena Kakang Antareja. Aku tidak terima.’
RADEN ANTAREJA
Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-
apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha
wong kaya ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba
arep ana undhake apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing
jenenge Badranaya. Ora sah nggugu karo wejangane Semar. Ora
ana apa-apane Gathutkaca.
‘Yang bodoh itu kamu. Semar itu hanya kosong tidak ada apa-
apanya. Yang namanya Badranaya itu tidak ada apa-apanya.
Orang seperti itu kok dijadikan guru, orangnya blak blak blak.
Akan ada kemajuan apa kamu? Jangan pada percaya sama
nasihatnya Semar. Tidak ada apa-apanya Gathutkaca.’
RADEN GATHUTKACA
Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang
Antareja ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja
nganggu sapa-sapa.
‘Meskipun seperti itu tidak di sini tempatnya Kakang Antareja
tidak nurut ilmunya Semar, terserah, tapi jangan mengganggu
siapa-siapa.
RADEN ANTAREJA
Aku ora nrimakake yen para pepundhenku, ming karo Semar kok
dianggep.
‘Aku tidak terima leluhurku, hanya Semar kok dianggap.’
RADEN GATHUTKACA
Ayo nutut banda.
‘Kuhajar kau.’
RADEN ANTAREJA
Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati.
‘Oo, hajar aku. Siapa yang akan mati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
103

Kutipan di atas menggambarkan suasana yang tegang saat terjadi

peperangan antara Raden Gathutkaca dengan Raden Antasena. Peperangan

pada saat itu berlangsung sengit karena Raden Antasena dibantu oleh

Maling Sukma yang berada di raganya.

c. Gembira

Suasana gembira dapat dirasakan saat Gareng, Petruk, dan Bagong

menyanyikan berbagai macam tembang, baik macapat maupun

campursari di Pedhukuhan Karang Kapulutan. Pada saat itu suasana

begitu gayeng, sehingga tidak membuat monoton isi ceritanya.

Suasana tersebut terdapat pada adegan ke-14, dan adegan itu disebut

juga dengan gara-gara. Penyebaran pathet dengan suasana gembira

terletak pada pathet sanga.

Seperti kutipan di bawah ini.

(GARENG DAN BAGONG BERNYANYI BERSAMA)


BAGONG
Ee,, lha gebleg. Gambang suling sing nggenah swarane. Eyoo..
‘Ee,,bodoh. Gambang suling yang benar suaranya. Eyoo..’
GARENG
Apik iki Gong.
‘Bagus ini Gong.’
BAGONG
Nong ning nung.
‘Nong ning nung.’
GARENG
Ek..ok.. Ek..ok..
‘Ek..ok.. Ek..ok..’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 5)
104

Kutipan di atas menggambarkan suasana yang menggembirakan

saat Gareng dan Bagong bernyanyi bersama. Mereka menyanyi untuk

menghibur penonton dan para pandhawa yang baru tiba di rumah Ki

Semar Badranaya.

4.4 Tema dan Amanat

Lakon berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau

rentetan peristiwa. Jadi, lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau

rentetan peristiwa wayang. Peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang ada

dalam suatu lakon dilambangkan dengan monolog, dialog, dan tingkah laku para

tokohnya. Serentetan peristiwa yang terjadi tersebut pastilah mempunyai tema dan

amanat yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan meneliti struktur lakon

dalam lakon ini, maka dapat diketahui tema dan amanat yang ingin disampaikan

Ki Hadi Sugito kepada penonton.

Lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito ini bertemakan

perjalanan menuju kebenaran. Dapat dilihat bahwa perjalanan Ki Semar

Badranaya untuk membangun mental para pandhawa banyak mendapatkan

halangan. Ki Semar Badranaya ingin pandhawa tidak hanya memikirkan dirinya

sendiri, tetapi juga mengutamakan kepentingan rakyatnya. Mental atau jiwa

kepemimpinan pandhawa dilambangkan Ki Semar Badranaya dengan nama

kayangan. Tema dalam lakon ini dapat diketahui secara tersirat melalui adegan-

adegan yang terjadi dalam lakon ini.


105

Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok

persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Jadi amanat pastilah

sejalan dengan tema. Amanat yang dapat diambil dari lakon ini yaitu bagi para

pemimpin untuk mau mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau

menang sendiri, dan tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat

bagi rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam

mempertahankan kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena

kebenaran pasti akan menang.


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut.

Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar

Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Menurut jumlahnya, alur yang

digunakan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur tunggal. Alur ini

menceritakan tentang kisah Ki Semar Badranaya yang ingin memperbaiki jiwa

kepemimpinan para pandhawa. Dilihat dari segi prosesnya, alur yang digunakan

adalah alur menanjak (rising plot). Lakon Semar Mbangun Kayangan juga

menggunakan alur maju dan alur lurus, cerita dalam lakon berurutan. Tahapan

alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan

keputusan.

Pembagian pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki

Hadi Sugito ini masih mengikuti pakeliran tradisional yang tediri dari tiga

tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.

Pada lakon wayang ada tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Lakon

Semar Mbangun Kayangan mempunyai tiga pembagian tokoh yaitu, tokoh

protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh durjana. Tokoh protagonis dalam lakon ini

yaitu Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Raden Antasena, Sang Hyang

Padawenang, dan Bathara Kaneka Putra. Tokoh antagonis dalam lakon ini yaitu

106
107

Bathara Kresna, Bathara Guru, Bathari Durga, dan Maling Sukma. Tokoh durjana

dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna.

Latar dalam lakon ini mencakup tiga aspek yaitu, aspek ruang, aspek

waktu, dan aspek suasana. Aspek ruang atau lokasi kejadian dalam lakon ini

terdapat di Kraton Ngamarta, Sitinggil Binartatra, Kayangan Jonggring Sloka,

Pedhukuhan Karang Kapulutan, dan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu dalam

lakon Semar Mbangun Kayangan tidak dipaparkan dengan jelas sehingga tidak

diketahui peristiwa tersebut terjadi pada masa apa. Aspek suasana dalam lakon

Semar Mbangun Kayangan berupa suasana hikmad, tegang, dan gembira.

Tema yang diangkat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah

perjalanan menuju kebenaran, seperti dikisahkan dalam lakon ini Pandhawa

dengan bimbingan Ki Semar Badranaya akhirnya bisa menemukan kemantapan

hati dan kebenaran tujuan dari keberadaan mereka di muka bumi. Amanat lakon

Semar Mbangun Kayangan ada dua, yaitu bagi para pemimpin untuk mau

mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan

tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat yang kedua yaitu bagi

rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan

kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena kebenaran pasti akan

menang.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap struktur lakon Semar Mbangun

Kayangan, ada beberapa saran yang bisa disampaikan, yaitu sebagai berikut.
108

1. Wayang merupakan budaya terbesar milik masyarakat Jawa, tetapi sekarang

generasi muda sudah tidak menyukai bahkan tidak mengenal wayang.

Hendaknya generasi muda ikut mengembangkan dan melestarikan wayang

supaya wayang tetap hidup di lingkungan masyarakat Jawa sampai kapanpun

karena wayang merupakan budaya asli milik masyarakat Jawa.

2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap lakon wayang ini karena pada

penelitian ini hanya membahas tentang struktur lakon, sedangkan masih

banyak hal yang perlu diteliti dari lakon ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Chafid Ibnu. 2011. Lakon Wayang Golek Sunan Kalijaga. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Bastomi, Suwaji. 1992. Seni Dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Widyatama.

K, Ismunandar. R.M. 1994. Wayang Asal Usul Dan Jenisnya. Semarang: Dahara
Prize.

Kanzunnudin, Mohammad. 2003. Kamus Istilah Drama. Rembang: Adhigama.

Lestari, Dewi Indah. 2010. Struktur Dramatik Lakon Karna Tandhing Oleh Ki
Enthus Susmono. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

MT, Hermawati. 2006. Wayang Koleksi Museum Jawa Tengah. Semarang: Dinas
Pendidikan Dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.

Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta:
Haji Masagung.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Nurlailah. Laelasari. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.

Pamintosih, Retno. 2010. Struktur Dramatik Wayang Krucil Lakon Jaka Sesuruh.
Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Prabu (2010). Dunia Pewayangan Yang Berinduk. Online at http://kabar-


jawa.blogspot.com/2010/04/dalam-dunia-pewayangan-yang-berinduk.html
(accessed 5/03/2011)

Prabu, (2009). Pertunjukan Wayang Sebuah Proses Penciptaan Manusia. Online


at http://wayangprabu.com/2009/04/20/pertunjukan-wayang-sebuah-proses-
penciptaan-manusia.html (accessed 5/03/2011)

Pujiyati, Nurul Badiah. 2009. Struktur Dramatik Wayang Dalam Lakon Banjaran
Sawitri. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

109
110

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa Makna Dan Struktur Dramatiknya.
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan.

Soetarno. 2007. Estetika Pedhalangan. Surakarta: Adji Surakarta.

Sujamto. 1992. Wayang Dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.

Susanto (2009). Analisis Struktural Cerkak. Online at


http://pendekarjawa.wordpress.com/2009/05/06/analisis-struktural-cerkak-
%E2%80%9Cbecak%E2%80%9D-karya-budi-susanto.html (accessed
5/03/2011)

Teeuw. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Girimukti
Pasaka.

Waluyo J, Herman. 2003. Drama Teori Dan Pengajarannya. Yogyakarta:


Hanindita Graha Widia.
NASKAH LAKON SEMAR MBANGUN KAYANGAN
OLEH KI DHALANG HADI SUGITO

Disk 1

Pathet Nem
Jejer Kraton Ngamarta

(Janturan)
Lega donya lila sekaring bawana. Agung den nya paring dana anggeganjar saben
dina. Hong ilahing, hong ilahing awit nomas tu purnama siden. Mastu silantiwan
jagad karana siran tandha kawisisan wibisana sana sinawung langen laba estu
maseh lestantun binantur tutur katula tetela mrih para kirabdya.

Winisuda treh kang dinuma dama winursita upama paramasegara tumying jaman
purwa winarditan pangayun pelambang, angayun pelambang matumpa-tumpa
ingkang rinengga panggung panggeng panggung gung sang murweng tata.
Nenggih ingkang rinuweng gupita inkeng kaeka adi dasa purwa. Eko wilangan
sawiji adi dasa wilangan sepuluh purwa kawitan senadyan tan upaya. praja sewu
sangang atus sadasa satus datan nyata ingkeng kinarya purwaning kandha ing
latri punika anyandra adeging pagelarang agung kraton ngamarta. Yo kraton ing
indraprastha uga sinebat kraton batanakawatca yo negara mrentani. Narman niki
bebuka wurciting kawi pawartaning tumekeng mancanegara.

Yen ing kraton ngamarta pancen punjung pasir loh jinawi gemah ripah tata karta
raharja. Werdine pancen dawa punjung dhuwur upama cinengkala dawaning
kraton tangelamun. Pasemone pancen dawa punjung pocapane, dhuwur
wibawane, dawa jajane, dhuwur kawekasane, padhang obore, dhuwur guguse.
Pasir samudra wukir gunung nyandra tata rengganing kraton kalakan arga
ngananken wana tuwin pasabinan. Ngiringaken pategalan tumekeng tepining
benawi ngayonaken bandar ageng. Senajan ta kathah titah dewa ingkang sinengga
pertiwi binayungan winangun kapiting samudra nanging candraning dhawuh
samudra ing kraton ngindraprastha tetela kathah kawula-kawula kang sami
anggana raras. Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh
jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi, mapan siti ketumpangan wareh
apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining tembung
murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula kang sami among
tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal yen negara dadi pikuwat
saka guruning negara. Werdining gemah lakuning para sudagar layar para
nangkuda ingkeng pantor dalu labet datan wonten pedhote tansah lumintir saking
wewengkon kraton ing ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan
wonten sambekala. Candrane hanglur pepindhaning kerta kang milih tanpa
kendhat. Wonten krukubang kraton ing mrentani kawestara jubel katekan titis yen
saknyataning bumi ngamarta ta jembar, nanging ketingal rupak merga saking

111
112

kathahe panguwasa banjur katon jejel uyel-uyelan. Ewa semana datan wonten
tengah rumangsa kacingkrangan gesahipun mracitani kalamanta agung dananing
nata kathah kawula mancanegari kang sarwa ndherek gesang yen kadulu seka
purwakaning den nya papa sudra. Nanging dat kanggo rasa welas pinaringan bumi
magersari ingkeng datan sepinten jembaring bumi nanging nyatane kinarya
gesang saged merta jati-jati tun mulya tata titi tentrem. Upama ta kinarya among
tetanen kaya bisa nandur debog peputu cindhal kencana kathah kang sami suka
ngingu rajakaya maesa, lembu,kambangan, ayam, uga mendo sakpiturute. Datan
wonten kang cinenthangan datan kang wonten kangge ngandhang.

Yen wengi wangsul ing papan padunungane dhewe-dhewe. Ewadene sepi


lakuning angkar datan wonten ingkang kelangan senajan ta kathah wilangane.
Para kawula ing ngamarta deneh kapitadosanipunpranggene dene manunggal
tekade amayu hayuning negara sakyek saeko praya tan wenten kang wrengkang
marang daling narendra. Ora mokal kathah para satul-satul sekti saking manca
negari sing isoh mundur ing jaman melayu senajan ta. Kathah para wadyabala
nantang wenten wani manjing wonten kukuban kraton ngamarta malah
ngondhangaken yen kraton ngamarta satumara satumati jalma. Gawat kaliwat
wingit kepati-pati kang minangka candrane iwen kang miber ngubengi njungkel
kapisanan luntak ludara sela margarahayu. Para raja maharaja, para ratu maharatu
ingkang sami teluk kang tanpa kerana karembaging pancakara saben kalawanci
atur blebet timah glondhong pengareng-areng, peni-penira raja peni jur bakal dadi.
Tumpraping tata gelar ratu pingsusun wigatos yekti kayungyun marang
kautamaning narendra ingkeng pantes minangka dadi keblating para raja. Punggul
semanten, rerengganing kraton ngamarta kondhang pocapa ing lenggah wonten
bampar kencana. Kalamun kacandra dasanamaning ratu dasa wilang sepuluh,
nama werdine kasih, narendra gung binantara ingkang jejuluk prabu puntadewa ya
prabu darmakusuma, darmaputra, ya darmamangsa, ya prabu yudhistira, pandha
dwija kangku. Senajan ta narendra darbe watak brahmana nyingkur marang
bandha perbaya datan keli jembar ciuting kadonyan. Ingkeng den penggalih
kejaba laku ingkeng utama minangka kanggo dasar ndeyudya, sowan ing
ngayungan pada mbenjang akhir tembe. Nuhoni mangan pusaka ngamarta jamus
kalimasada, ngerti isining pusaka kasebat ateges urip bisa mangerti keblating pati,
tangeh lamun yen ta bakal tumindak angkara murka. Mula senajan ta kathah para
ratu datan wenten kang pada marang narendra ngamarta datan menggalih edining
busana, datan menggalih marang nikmating kamukten. Nakmus semanten
nggadampar kencana leme kasut prangundan. Pinaringan narendra cinawing
agung tirta kasturi larang-larang ganda katuring samikara kang ngawanda
mrataning para kadang lan para kawula kang wenten tri pangan kila.
Mengkeraken para adi bedaya jaka palara-lara ingkang sami ngampil bokor
kencana. Ora mantra-mantra entuk kutipan marcapada pindesanging darma lan
pakehing para widadari.

Rikala seniwaka ingkang sinuwun datan menggalih marang edining keprabon


narendra ingkeg tansah dening penggalih tata titi tentreming para kawur. Kathah
ingkeng nuju wonten pasowanan nanging datan wenten ingkang kepareng ayun.
113

Kejawi ngereng kekalih nunggal rama sanes ibu kekasih raden nakula wil raden
sedewa. Senajan ta kadang nunggal rama sanes ibu natkala lairipun ingkeng rayi
kembar sareng sedanipun ingkeng rama lan ibu. Ora mokal ageng katresnanipun
sang nata kaya dinarengku kadanga pribada senajan ta ingkeng rayi kekalih darbe
penganggep yen ta ingkeng raka nata ngamarta ingkang minangka gumantining
sudarma. Andeg umar telu ambeber poca pisahsah sarekma. Niki pocapa kang
kepareng ayun ingkeng rayi pamadyaning pandhawa ingkeng lenggah wonten
kasatriyan madukara kekasih raden janaka, ya raden pamadya, ya raden arjuna,
kondhang ngala ali danangjaya ya walikiti, ya wijanarka, ya bambang permadi,
kathah kekasihipun. Mula kondhanging raden janaka iku lananging jagad, nanging
ampun ngantos kelentu penampi. Senajan ta lananging jagad, raden janaka mboten
kok merga ditresnani sekathahing para wanodya nanging raden janaka bisa
manjing marang jagad tetiga, ya jagad rame, jagading kadewatan, ya uga bisa
ngrawuhi jagading jim. Natkala semana wus nate minangka senopati ing andeku
nggenku sowan, nglangen dhadha nganglangaken jangga muka yayah konjem-
konjem nyata. Nenggih pocapa kang nembe kewala rawuh pangayoming para
pandhawa, ingkang minangka dados suking para kadang narendra dwarawati ya
narendra dwaraka, prabu sri bathara kresna ya harimurti, ya sasra sungkana, ya
padmanaga. Ingkang sinuwun pirsa kadang werda rawuh gupuh nggih ngacarani
kinurmatan lenggah sajajar wenten singgil binatunaruta. Ingkeng nenggih
kananira jumeneng sentana ngamarta satriya jhodipati ya satriya ngagul
pawenang. Raden Harya Werkudara ya Raden Bratasena ya raden wijasena
dhandhunwacana, senopating kraton ngamarta kondhang pinunjuling kangapak-
apak. Ingkeng dados pangrasaning dewan pangarsa pepatih ing ngamarta, patih
andakawana. Ingkang tinanggenah mranata para narwaja manggaling kraton
ngagelar pindho jaledri duging dharata. Sirep kang wantun sami sambowo-bowo
hamung kapiwarsa pating grendeng pating klesik candraning kaya jatmaka
pikantuk pusaka golek kencana. Ingkeng wenten sakjawining abdi dalem gemblak
geni ingkeng wasan driya jalagra blandhong kanca prabangsa kekancan. Ingkeng
sami kekandhan dhawuhing pating jlenggring.

(Suluk)
Wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah. Pocapa tuking
titiwancine sang nata arep sanabda, songsong kencana, mijil saking kedhaton byar
tindho kumelating ratih. Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga
paran sabda nata ngangseg ngge nyungadep. Kepireng suwara kang ompyan
gemuruh ora mantra-mantra para kawus madhong candrane lir negara keprabon
pangramuk saka mancanegara nggih kanca jagading dhadha maju sag seg sag seg
sateguh.
114

ADEGAN 1
(PERTEMUAN PARA PEMIMPIN NGAMARTA BESERTA PETINGGI
NGAMARTA DI SITINGGIL BINARTATRA)
PP : “Niwang sukma sasmintaningsun, mangke ta kadang kula werdaka Kaka
Prabu. Nyuwun pangapunten ngantos karunden wekdal angger kula
ngacarani rawuh jengandika. Sasampunipun prayogi lenggah sumene ing
penggalih ripat duka ngaturaken pambagya panakrama rawuh jengandika
Kaka Prabu Bathara Kresna.”
BK : “Niwang sukma kang linuwih. Nuwun kula tampi tangan kekalih katedha
kalingga murda. Pangandikanipun yayi ingkang rumentar dhumateng
Raka Para Dwarawati. Upami yayi kelos kadang kula ingkang werda.
Kula cancang puceng weni kasamprangan widangan dhumawah pangkon
ama wahana bawa leksana. Nanging kosok wangsulipun inggih kadang
raka werda kula petelaken wonten dhadha kendel sami-sami. Nampi
pamujinipun yayi winantu karaharjan nir sambekala, yayi prabu.”
PP : “ Suku binagih sewu Kaka Prabu. Kula suwun sekecakna anggenipun
lenggah.”
BK : “ Kados kirang prayogi yayi Samiaji.”
PP : “ Sena, Janaka, lan Kembar ora tak wiji-wiji, aturna sungkem sira kadang
werda ingkang nembe rawuh.”
RW : “ Kula ngestokaken dhawuh kepareng munggel pengandhe dalem, Kaka
Prabu.”
BK : “ Tak lilani yayi.”
PP : “ Ing ngaturaken sembah pangabekti konjuk saandhape pada Kaka
Prabu.”
BK : “ Kaipe dana wikara tak tampa ngaturake sungkem marang pun kakang
pangestunipun kakang tumrapa marang si adhi.”
RW : “ Kula cancang puceng weni. Clidheng kakangku, sembahku
tampanana.”
BK : “ Iya Dhimas Werkudara tak keterke ana dhadha, kendela padha-padha.
Astutinipun kakang tampanana.”
RW : “ Iya, tak uguli.”
RJ : “ Ingkeng rayi ngaturaken pangabekti Kaka Prabu.”
RN, RS : “ Kula ngaturaken mahabekti Kaka Prabu.”
BK : “ Dhimas kembar tak tampa atur sungkem marang kadang werda.
Pangestunipun kakang tumrapa marang jeneng para yayi.”
RN : “ Kula sumedik ana nur cahya. Kepareng minangka jejibahan
saklaminipun Kaka Prabu.”
PP : “ Kakang Patih Andakawana. Ingsun mundhut kabeh para kawula kang
ana pasowanan dhawuhana lerem sakwetara. Ingsun bakal sakrembug
imbal wacana marang Kaka Prabu.”
PA : “ Dhuk, sesembahan marcapada Sinuwun. Lajeng kula sumanggaaken
wonten ngarsa dalem. Keparenga tumuli imbal wacana ngantos
paripurna. Ing ngabdi ndherek midhangetaken lan tansah sumedhung
dhawuh. Mbok dipuntimbali sungkem pangabekti konjuk saandhap
pada.”
115

PP : “ Iya ingsun tampa. Pangestu ingsun tampanana.”


PA : “ Nuwun sanget kapundhi.”
PP : “ Kaka Prabu, kadang kula werda.”
BK : “ Nun wonten paring pangandika ingkang adawi, yayi.”
PP : “ Natkala ari kapengker ingkang rayu utusan gandhek, sekembaran kados
ngeten Kaka Prabu angrawuhi ing pepanggihan wekdal ing palenggahan
punika. Mbok menawi wonten kalepatanipun ingkeng rayi, ing atasipun
kadang taru ingkang anggadhahi watak besukra, sedaya menika wau kula
suwunaken pangapunten wonten ngersaa duka Kaka Prabu.”
BK : “ Sakgluguting kolang-kaling juwawut pinarsasa. Mboten wonten
panggaraita ingkang mekaten. Kadang raos manahipun kakang
kadhawuhan kempal wonten sitinggil binartrata. Ingkeng mekaten pun
kakang badhe kepengin mangertos menapa ta duhkitaning penggalih
tangeh lamun yen tan mengkuku gati pepanggihan ageng ingkang
mekaten.”
PP : “ Kula nuwun inggih yen saking para raka namung sapalananging ugi
andadosaken panggraita ingkeng ageng.”
BK : “ Menapa kepareng yayi medharaken?”
PP : “ Rikala semanten kula sakadang nampi dhawuh saking eyang prabu
matsyapati ingkeng isinipun kabeh putu-putuku pandhawa senajan ta
kaya ngapa muktimu, kaya ngapa peparinging para dewa kang para
tampa, nanging poma-dipoma aja nganti kelimput marang leluhurmu
ingkeng padha, Semar ana percandhen Giri Sarangan. Ing pangajab kula
sakadang kadawan mulyakaken percandhen Giri Sarangan, nanging
ndadosna kawuningan aurating manah menapa menika pancen cobining
ingkeng kuwaos? Dene percandhen sarangan dipunmulyakaken enjing,
sonten risak, dipundandosi sonten enjing sampun dados karang aban.
Ingkang mekaten mbok menawi pancen kula lan kadang sedaya kirang
prihatos. Mbok menawi wonten kalepatan keparenga mboten ketang
namung saklimah Kaka Prabu kula aturi medharaken menapa ta lepat
kula lan menapa ta kekirangan kula sakadang, Kaka Prabu.”
BK : “ Kepareng Kakang badhe medharaken bab menika yayi.”
PP : “ Kula nuwun inggih Kaka Prabu.”
BK : “ Menawi menggah saking raos prihatosipun para pandhawa, menggah
saking raos prihatosipun para pandhawa sampun mboten kekirangan.
Gandheng ingkang Semar wonten percandhen menika, sedaya para
leluhur ingkeng langkung ageng tanwasanipun menapa yayi sampun
kabiyantu dhateng para pepundhen?”
PP : “ Sampun Kaka Prabu.”
BK : “ Sepisan menika angka kalih. Pusaka-pusaka ngamarta menapa wonten
ingkeng mendra?”
PP : “ Yen ngendikanipun rayi kados mboten wonten. Werkudara, pusaka
Jodhipati kepiye?”
W : “ Isih nglumpuk.”
PP : “ Janaka kepiye pusakamu?”
RJ : “ Kados mboten wonten ingkeng gumingsir, Kaka Prabu.”
116

PP : “ Lha menika sedaya taksih kempal, Kaka Prabu.”


BK : “ Ingkeng wujud pusaka menika mboten namung wujud wesi aji ning
senajan ta jalma kalebet dados pusakaning pun para pandhawa. Kaki
Semar Badranaya, senajan ta Kaki Semar setunggalipun titah marcapada
nanging menika pamomongipun ingkang sami semare wonten
percandhen. Upami sedaya para pinisepuh sampun paring pangestu,
nanging yen yayi dereng sarembag kaliyan Kakang Semar menika dereng
sampurna.”
PP : “ Yen Semar menika ingkang kagungan Dhimas Janaka. Kula mboten
saged imbal pengendikan jalaran ingkang saged ngandhani inggih
Dhimas Janaka.
RW : “ Janaka sok sulaya karo Semar.”
BK : “ Apa tau ta Dhimas, cilik nyendhu Kakang Semar, gedhe duka.”
RJ : “ Mboten nate.”
RW : “ Yen lali ora kok bayar.”
RJ : “ Malah dereng dipunlampahi pedamelan sampun nyuwun rumiyin. “
PP : “ Nek ngono Semar ki ya telaten banget.”
RJ : “ Inggih Kaka Prabu.”
RS : “ Kula kepareng rayi munjuk atur.”
PP : “ Piye Sadewa?”
RS : “ Gandheng Kaka Prabu sampun ngendikaken bilih Kakang Semar
ingkeng anjalari randhatipun para pandhawa mulyakaken percandhen,
langkung prayogi tinimbang dados perang cucukan ingkang kathah-
kathah mindhak mboten sae, dipuntimbali kemawon. Ingkeng rayi
mboten kawratan nimbali Kakang Semar Badranaya.”
RW : “ Ra patek percaya. Saiki ala becik, bener luput, sing nduwe kon
mangkat.”
BK : “ Dhimas Arjuna, siyaga tata-tata Kakang Semar ditimbali, dijak
rembugan, mumpung
Iki para kadang padha kumpul.”
RJ : “ Ngestokaken dhawuh kakang Prabu.”
PP : “ Ya coba ta dhimas, enggal timbalana.”

(Suluk)
Sedem jroning pasowanan wadya gung tanpa sabawa.... Kapraban sanelindratama
mangun-mangun kawuningan lir wusing duka cipta....Berbudi mandana
raras....Rikala semana nggen nyuimbal pangandikan dereng ngantos paripurna.
Ingkeng sinuwun wus dhawuh marang Raden Janaka kinen nimbali Ki Lurah
Semar Badranaya ewadene dereng ngantos Raden Janaka lengser anglenggaha
kayut minangka wardi. Yen jaman semono iku ujare cangeketca. Wardi ujare
cangaganten. Senajan ta kecoh dereng manjing bantala ngantenana, durung abang
lathine katungka gegere njaba ngarsa tangkeping wuri. Nenggih pocapa ingkeng
mancat pancawerdi wis nglongok sitinggil. Utusan seka padukuhan Karang
Kapulutan Ki Lurah Kanthong Bolong peper-peper manggih kadi mandi krama.
117

Disk 2

ADEGAN 2
(PETRUK MENGHADAP PRABU PUNTADEWA UNTUK
MENYAMPAIKAN PESAN AYAHNYA YAITU MEMBOYONG
PANDHAWA KE KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBANTU KI SEMAR
BADRANAYA MEMBANGUN KAYANGAN)
P : “ Ing ngarsaning sinuwun. Ha..wo..nok..no..e... nuwun kula tampi mawi
tangan kula kalih pengendika dhawuhipun sinuwun ingkang rumentar
dhateng adidasat kula. Nampi pangestu dalem ingkang winantu
karaharjan nir sambekala. Sembah bekti kula konjuk wonten ngarsa
dalem Gusti Nata Agung.”
PP : “ Iya ya ingsun tampa, Petruk. Pangestu ingsun tampanana.”
P : “ Inggih. Kula pundhi mugi dadosa jejimat, Gusti.”
PP : “ Petruk padha Basuki.”
RN, RS : “ Kowe padha Basuki, Petruk.”
P : “ Oo,inggih. Pangestunipun Ndara Kembar kados wilujeng lampah kula.
Sembah bekti kula konjuk, Den.”
RN : “ Iya Petruk, tak trima.”
RS : “ Iya Petruk, tak tampa.”
BK : “ Hey, Petruk, padha Basuki!”
P : “ Menika kados Gusti Nata Agung Dwarawati.”
BK : “ Iya.”
P : “ Pangestunipun Ndara ndadosaken wilujeng lampah kula. Dangu mboten
nate pinanggih. Sembah pangabekti kula konjuk.”
BK : “ Iya, tak tampa.”
RJ : “ Petruk kowe padha slamet.”
P : “ Inggih, pangestunipun Ndara Janaka wilujeng.”
RJ : “ Kowe kok ra tau sowan napa sebabe?”
P : “ Nganu, wonten pedamelan piyambak, Den.”
RJ : “ Kok banjur nglirwakke karo aku.”
P : “ Dospundi?”
RJ : “ Kok nglirwakke karo Janaka.”
P : “ Ah, mboten nggih. Nggih karana wekdal menika ingkang dipupun
padosi menika pedamelan, Raden. Gandheng Ndra prei, kula pados
pedamelanipun pundi ingkang nimbali kula lampahi.”
RW : “ Petruk padha slamet.”
P : “ Inggih, pangestunipun Ndara Werkudara wilujeng.”
RW : “ Wis mari durung sing edan?”
P : “ Niki malah meh ajeng banget.”
PP : “ Sawise lenggah kanthi prayoga, mbok menawa ana wigati, enggal tuli
matura apa diutus karo Kakang Semar Badranaya? Apa merga saka
tuwing nalarmu pribadi?”
P : “ Saksampunipun tuwing ing penggalih, kepareng adi munjuk atur
wonten ngarsa Kanjeng Dewa Aji mbok menawi wonten ketlangsunipun
atur kula nerak uba sita ingkeng mboten kerana kula jarag, kula nyuwun
118

lumunturing gung pangaksami mawantu-wantu awit kula namung ing


atasipun tiyang alit, derajat pangkat kula.”
PP : “ Ya wis ora dadi apa Petruk.”
P : “ Sowan kula menika estunipun ingkang sepisan ngaturaken sungkem
bekti kula tiyang sakkeluwarga, anak bojo kula. Ingkeng angka kalih
dipunkengken bapak, yen cara piyayi ngoten kula pun utus Kanjeng
Rama. Ning gandheng namung Semar, kula pun kengken bapak
tinanggenah ngaturaken sungkem wonten ngarsa dalem Kanjeng Dewa
Aji.”
PP : “ Ya wis tak tampa Petruk, Nak.”
P : “ Menawi sampun katampi mbok bilih wonten longgaring penggalih. Ing
palenggahan menika sinuwun sakadang kalebet Ndara Werkudara, Ndara
Janaka, Ndara kembar dipunaturi rawuh wonten Karang Kapulutan
kanthi ngampil pusaka tetiga, sepisan Kalimasada Jamus Kalimasada,
ingkeng angka kalih kagungan Ndalem Tumbak Karawelang, ingkeng
angka kaping tiga kagungan Ndalem Songsong Tunggulnaga awit
minangka kangge sarana bapak anggenipun badhe mbangun kayangan.”
PP : “ Sing bakal dibangun kayangan ngendi tah?”
P : “ Kula mboten ngertos.”
PP : “ Kaka Prabu.”
BK : “ Dospundi yayi?”
PP : “ Menika Petruk dipunkengken Kakang Semar. Kula sakadang supados
tedhak wonten Karang Kapulutan jalaran Kakang Semar badhe mbangun
kayangan.”
BK : “ Kepareng pun Kakang kepanggih kaliyan Petruk.”
PP : “ Kula sumanggaaken.”

(Suluk)
Seseking renggana, renanggana digelar ma gaweya gelar wus rowang-
wang...oooo... Lir makutha majur jungkung. Tidhangna sorati mantra, sorati
mantra.

BK : “ Petruk.”
P : “ Nun.”
BK : “ Aku tak takon karo kowe.”
P : “ Inggih. Mundhut pirsa dospundi Gusti?”
BK : “ Kok dadi Kakang Semar matur lantaran saka aturmu marang yayi yen
para kadang diaturi kumpul perlu mbiyantu le bakal mbangun kayangan.
Aku tak takon yen Petruk ngerti sing bakal diucaprasani mring Kakang
Semar kuwi kayangane sapa?”
P : “ Lha kula mboten dhong, niku malahan. Kayangan pundi ingkang badhe
dipun bangun, mboten ngertos. Wong nyatane mboten wonten hubungan
kalih dewa niku.”
BK : “ Lha iki ngene Petruk. Sing dijaga kuwi tembe wurine. Para kadang
bakal nampa sesiku kang abot. Mula dina iki kowe baliya, matura karo
119

Kakang Semar Badranaya, yen bisa endhakna, aja dibacutake nggone


bakal mbangun kayangan.”
P : “ Ngeten Gusti, janipun niki wau kula saking ngriki terus dipunutus
bapak supados sowan wonten Dwarawati. Dene panjenengan
kalenggahan wonten mriki, atur kula wonten ngarsa dalem mboten
wonten bentenipun kaliyan ingkang anggen kula matur wonten ngarsa
dalemipun sinuwun ing Ngamarta. Lha yen niku kantun kersa rawuh
menapa mboten. Yen kersa, sukur. Ngombyohi sediyanipun kakekne.
Ning yen mboten kersa mboten dados menapa. Yen panjenengan dalem
ingkeng sinuwun paring dhawuh wonten ngriki ingkang isinipun ngaten,
kula kepeksa mboten saged nampi jalaran kula wonten ngriki menika
sowan wonten ngarsa dalemipun sinuwun Prabu Puntadewa mboten
wonten Dwarawati. Yen wonten Dwarawati, panjenengan dalem paring
dhawuh dhateng kula, mangkat, bali. Ora ketang nggandhul-nggandhul
truk. Ning gandheng wonten ngriki kula dereng nampa dhawuh, kepeksa
kula mboten saged nampi ngendikanipun sinuwun.”
BK : “ Suwaramu kok nyangklak temen. Aku iki Kresna.”
P : “ Lha inggih, lha. Kula nggih mboten ngarani njenengan Gareng,
mboten.”
BK : “ Kok kowe dadi nampa gunemku kok sepelekke.”
P : “ Mboten kok ateges nyepelekaken, ning urute ngoten lho Gusti.”
BK : “ Aku iki pengayom Ngamarta.”
P : “ Lha kula niki nggih panitiyane Ngamarta. Pada dene panitiya kok sami
sureng. Abot kula kaliyan sampeyan. Kula lak mlebu metu mlebu metu.”
BK : “ Lha kok dadi Petruk wani karo aku. Lagek iki aku diwaneni karo
Petruk.”
RS : “ Kaka Prabu.”
PP : " Apa Sadewa?”
RS : “ Nuwun sewu keparenga Petruk kadohana medal njawi rumiyin, mangke
dipunrembag ingkang sae-sae kemawon. Yen ngantos menika mangke
kedangon tundhonipun badhe ngucemaken asma Kaka Prabu.”
PP : “ Petruk.”
P : “ Wonten dhawuh.”
PP : “ Jengistra, metua njaba dhisik. Sakpungkurmu bakal tak rembug kang
dadi ngendikane Kakang Semar Badranaya.”
P : “ O, inggih. Yen ngoten kepareng pamit medal njawi Sinuwun.”
PP : “ Sing prayitna, ngati-ati.”
P : “ Ndara kembar sekecakaken.”
RN : “ Iya Petruk.”
RS : “ Iya Petruk.”
P : “ Ndara Janaka, Ndara Werkudara, sekecakaken lho ya.”
RJ : “ Iya Petruk.”
RW : “ Iya Petruk.”
P : “ Reka Patih, amit sewu kula langkung.”
PA : “ Iya Petruk.”
120

(BATHARA KRESNA MARAH KARENA MERASA DIRINYA TIDAK


DIANGGAP DALAM PERTEMUAN AGUNG DI SITINGGIL BINARTATRA)
BK : “ Nuwun sewu yayi, gandheng wonten kedadosan kados mekaten,
sakmenika ingkeng raka badhe nyuwun pirsa. Yayi taksih badhe
ngginaaken dhatenging ingkeng raka menapa mboten? Yen pancen
sampun mboten ngginaaken dhatenging raka, mboten perlu kula kempal
wonten Ngamarta.”
PP : “ Dhuh, Kaka Prabu, banjur kados pundi pun duka sesembahan kula,
banjur kados pundi kaka prabu minangka dadosipun para pandhawa?
Lajeng menapa dhasaripun?”
BK : “ Petruk matur yen Kakang Semar bakal mbangun kayangan. Kayangan
menika ingkang kagungan dewa. Leres Kakang Semar menika titisane
jawata, nanging saksampunipun Kakang Semar medhak dhateng
marcapada, menika sampun kalebet titah sowantah. Yen jawata
marengaken Kakang Semar nggandheng panyuwun mekaten, para
pandhawa supados mbiyantu ngrencangi ngrantos anggenipun badhe
ambabar kesaenanipun Kakang Semar. Kosok wangsulipun yen jawata
mboten marengaken para pandhawa temtu badhe dipunubet dhateng
jawata. Pramila saking penulu mekaten kalawau, yen pancen yayi awrat
dhateng aturipun Petruk mboten perlu ngangge Kresna.”
PP : “ Kula sumanggaaken wonten ngarsa duka Kaka Prabu.”
BK : “ Inggih ampun ngendika mekaten. Cetha yen yayi menika taksih
ngginaaken pun kakang, pun kakang nyuwun pamit, Petruk badhe kula
wangsulaken.”
PP : “ Kula suwun ampun ngantos wonten kedadosan klenta klentu.”
BK : “ Mboten yayi. Yayi Arjuna.”
RJ : “ Wonten pun dhawuh.”
BK : “ Pun Kakang dherekaken.”
RJ : “ Sendika. Nyuwun pangestu pun Kaka Prabu.”
PP : “ Sing ngati-ati Janaka.”

(PRABU PUNTADEWA BERKELUH KESAH DENGAN ADIK-ADIKNYA)


PP : “ Kadangipun Kakang, Dhimas Werkudara lan Dhimas Sadewa.”
RW : “ Mbarep Kakang, apa?”
RS : “ Nuwun wonten paring pangandika dhawuh Kaka Prabu.”
PP : “ Rumangsa peteng jagadipun kakang. Ana kedadeyan ingkeng kaya
mengkono ing atas. Kaka Prabu kaaturan rawuh supaya bisa ndandani
suwasana kang rusak, gawe kaanan kang peteng, lha kok dadi malah ana
kedadeyan Kaka Prabu ra cocok lan ora bisa jumbuh marang kekarepane
Kakang Semar.”
RW : “ Yen aku babar pisan ora ngerti. Saiki takona karo sadewa, adhiku. Iki ta
senajan meneng-meneng bocah wis waspada.”
PP : “ Sadewa.”
RS : “ Nuwun paring pangandika.”
PP : “ Yen saka panemumu kepiye yayi?”
121

RS : “ Yen ingkeng yayi nggadhahi atur dereng kantenan yen Kaka Prabu
menika wau leres, dereng kantenan yen Kakang Semar menika lepat.”
PP : “ Kok isa matur kaya mengkono?”
RS :m
PP : “ Kok ya ora mau-mau.”
RS : “ Kula badhe matur ajrih kaliyan Kaka Prabu Dwarawati .”
RW : “ Lha iki.. saiki ngerti yen Ngamarta jane ana bocah pinter ning ora
ketara, durung disekseni wong akeh. Iki bocah pinter tak kandhani.”
RS : “ Yen kula menika estunipun mboten saged menapa-napa Kangmas,
sepinten kasemparahanipun namung kadang tarno ingkeng ragil. Inggih
mangka kula niku mboten nate nyaketi piyantun ingkeng wicaksana,
mboten nate meguru. Benten yen kaliyan Kakang Mas Werkudara,
sakora-orane muride Durna.”
RW : “ Wis, gek terus-teruske.”
PP : “ Saiki mengkene wae Dhimas, amrih prayogane pun Kakang kudu
kepiye?”
RS : “ Sakmenika kula dherekaken kondur kedhaton. Nanging konduripun
Kaka Prabu sakadang nyaketi pesareanipun para pusaka. Yen pusaka
menika mangke nampi ciptaning manah pangengenipun cipta raosing
manah kula sakadang, jengkar saking papan palenggahan papan
pasareanipun ateges pusaka menika mbiyantu Kakang Semar. Wajibibun
para kadang kedah ndherek pusaka menika. Nanging menawi pusaka
menika mboten nampi ciptaning raos kula sakadang, mboten jengkar
saking pasareanipun. Mracihnani yen Kakang Semar ingkang lepat.”
PP : “ Yen mengkono, ayo enggal kondur kedhaton merpeki ana ing papan
gedhong pusaka.”
RS : “ Kula dherekaken kaka prabu.”
RW : “ Iya, tak dherekake.”
PP : “ Kakang Patih Andaka, ayo metua ning njaba mangsa bada budhaling
para wadyabala anjaga negara sing tertib aja nganti ana dom sumurup ing
banyu.”
PA : “ Kula ngestokaken dhawuh kaliyan nyuwun pamit medal njawi
Sinuwun.”
PP : “ Aja kaya bocah cilik.”

(Suluk)
Purna pangandikan sabda pandhita ratu, sebda pancap pandhita temen ratu.
Pangandikaning pandhita, sabdaning nata, kalamun ta wit-witan ana bedane.
Pandhita hangabda tan kena wali-wali yen nalendra, anyabda rata tiyang
saknagari. Yayah tirta Kresna kang ancang seta datan lumebek mangsini. Kondur
kedhaton kadherekaken para kadang, para abdi bedaya. Sinawang saking pinandra
dewa kaliyan widadari.
Ireng-ireng kembang bopong sarimulat. Kembang teratai bangrera yungeyan
lumele rumambat pepuletan. Lir kembang karani sungsang.
122

ADEGAN 3
(PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIK-ADIKNYA TELAH SAMPAI DI
TEMPAT PENYIMPANAN PUSAKA)
PP : “ Kadangipun Kakang, yayi sadewa.”
RS : “ Kula nuwun wonten paring pangandika Kaka Prabu.”
PP : “ Iki ana ngarepan iki papan pesareyane pusaka Ngamarta kang kasebut
ing ngarep mau.”
RS : “ Nuwun ingih, ingkeng rayi sampun mangertos.”
PP : “ Banjur seka pamrayogane si adhi njuk kepiye?”
RW : “ Nganggo cara apa.”
RS : “ Mangga kula aturi sesarengan nyuwun dhumateng ingkeng kuwaos
mugi-mugi pusaka menika mangke saged anggraita menapa ingkeng
dados panuwunipun Kaka Prabu lan panuwunipun ingkeng rayi tetiga.”
PP : “ Banjur matur kepiye?”
RS : “ Nyuwun supados mangertos awon saenipun Kakang Semar lan saged
ngertosi goroh temenipun Kakang Badranaya.”
PP : “ Upamane mengko pun kakang sakadang nyuwung marang jawata yen
katarima pusaka mbanjur jengkar saka pasareyan.”
RS : “ Mekaten.”
PP : “ Menawi ora katarima ateges Kakang Semar ingkeng luput tingkah
lakune.”
RS : “ Kaluhuran Kaka Prabu.”
PP : “ Ayo Dhimas Sena bebareng manekung marang jawata ngagem
kapercayanane dhewe-dhewe.”
RW : “ Iya mbarep kakangku.”
RS : “ Kula dherekaken Kaka Prabu.”

(Suluk)
Nalendra kang ambeg narutama...ooo... lega donya kawisring bawana..ooo....
Angesthi panglengening cipta. Pandhi tan mengkono pocapa. Rikala ingkeng
sinuwun sakadang manekung maring ingkeng maha kuwaos angginaaken
pangacipta, panuwun tinampa marang dausung katarima bisa ngawuni-ngani
tumindake Ki Semar Badranaya. Paripurnaning panganing, paripurnaning cipta,
pusaka saknalika murca saka ing papan padunungan. Jamus pusaka Ngamarta,
Songsong Tunggulnaga, lan Tumbak Karawelang mendra saka papan
panguningan tumuju ing pedhukuhan Karang Kapulutan.
Angesthi dupah silaswara...oooo... Ngengetana risang Puntadewa...ooo.... Doaning
pamujan...eee...

(PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIK-ADIKNYA MELIHAT PERISTIWA


TERBANGNYA PUSAKA-PUSAKA DARI TEMPAT PENYIMPANAN)
PP : “ Adhinipun Kakang, yayi. Ora ngira babar pisan yen bakal kedadeyan
kaya mengkono.”
RW : “ Aku gumun lha kok pusaka banjur oncat temenan. Iki oncate ana
ngendi Ragil?”
123

RS : “ Sangking pandugi kula mboten lepat temtu badhe mlebet wonten


pedhukuhan Karang Kapulutan.”
PP : “ Yen mengkono prayoganipun kakang sakadang...”
RS : “ Kedah rawuh Kaka Prabu.”
PP : “ Mbanjur kakangmu Janaka?”
RS : “ Mbok bilih menika mangke enget, temtunipun kangmas badhe nyusul
wonten Karang Kapulutan.”
PP : “ Oiya. Yen pancen mengkono pun kakang sakadang tumut budhal
sakwise pamit marang mbak ayumu kanjeng ratu.”
RS : “ Mangga Kaka Prabu. Ingkeng rayi badhe medal njawi rumiyin. Mangke
saksampunipun, Kaka Prabu badhe kula tututi.”
RW : “ Karepmu apa kok ndadak metu njaba?”
RS : “ Dhawuh dhateng para putra-putra mbok menawi menika mangke keng
putra Gathutkaca, Antareja kenging pambujukipun Kaka Prabu satemah
tega dhateng para panakawan.”
RW : “ Yen pancen kowe mangsa boronga. Ayo mbarep kakangku tak
dherekake.”
PP : “ Iya yayi. Nakula siyaga tata-tata sakwise pamit marang mbak ayumu
kanjeng ratu.”
RN : “ Mangga Kaka Prabu, kula dherekaken.”

(Suluk)
Menggyat pada suramapangga, tekaping para pandhawa...ooo... Sumaping
pabarisan ronanggana, ronanggana gawe gelar sowang-swang makutha majuru
jungkung..

ADEGAN 4
RG : “ Raka Prabu, ingkeng putra nyadhong dhawuh.”
RA : “ Ingkeng putra njangkar bumi nyadhong dhawuh. Senajan ingkeng rayi
nyungsun pawarta Raka Prabu.”
BK : “ Janaka.”
RJ : “ Kula Kaka Prabu”
BK : “ Para putra-putra padha nyadhong dhawuh.”
RJ : “ Kula sumanggaken wonten ngersa dalem.”
BK : “ Gathutkaca, Antareja, Sentyaki.”
RG : “ Wonten paring pangandika ingkeng prabu.”
RA : “ Wonten paring pangandika ing adhawuh.”
RST : “ Jumateng dhawuh Raka Prabu.”
BK : “ Sumur nyatpala ana pinggir binartatra. Ingkang padha dingendikakke
para pepundhenmu nggone mulyakke percandhen gagal. Esuk
dimulyakke, sore rusak. Sore dimulyakke, esuk ya wis rusak. Bareng ana
paniliti kang permati jebul ingkeng mahanani dadi rusaking kahanan iku
mau Kakang Semar Badranaya. Wusana, Kakang Semar bakal ditimbali
jebul Petruk sowan. Isine Petruk arep mboyong pandhawa. Lha mungguh
karepe Kakang Semar Pandhawa supaya mbiyantu nggone mbangun
kayangan.”
124

RG : “ Ingkeng badhe pun bangun niku kayangang ingkeng pundi?”


RA : “ Lha napa kinten-kinten dewa mboten saged mbangun?”
BK : “ Nembe iki lagi ana pitakonan mengkono, ning Petruk kandheg ora
ngerti karepe Kakang Semar. Lha Petruk tak ngendikani akeh-akeh lagi
iki mau aku diwaneni karo Petruk. Mula Gathutkaca, Antareja, lan
Sentyaki, kowe sing bocah enom bisaa ngrawuhi marang Petruk
Kanthong Bolong. Coba saiki Petruk balikna, elikna supaya Kakang
Semar gagal nggon bakal mbangun kayangan. Yen pancen manut, sukur
binagiya. Yen ora manut, diruda padeksa.”
RG : “ Nyuwun pangestu.”
RA : “ Nyuwun pangestu. Kula badhe manggihi Petruk Kanthong Bolong.”
RST : “Nyuwun pangestu Kaka Prabu.”

(BATHARA KRESNA MENYURUH RADEN JANAKA MENGIKUTI ANAK-


ANAKNYA)
BK : “ Arjuna.”
RJ : “ Kula nuwun paring pangandika.”
BK : “ Pun Kakang rada tegel karo Petruk, nanging ing pengangkah pun
kakang ora sumedya arep misahake antarane Semar karo Janaka. Ing
pengajab pun kakang kepengen ndandani marang tingkah lakuning
Kakang Semar sing analisir seka kautaman.”
RJ : “Kula sumanggaaken Kaka Prabu.”
BK : “Lha mula tak dhawuhi, putra-putramu Gathutkaca, Antareja, lan adhimu
Sentyaki, tututana. Ana mogang-mogang mangsa bolong Dhimas
ingkeng paring pitutur maring Petruk.”
RJ : “Nyuwun pangestu, Kaka Prabu.”
BK : “Sing ngati-ati yayi.”

(Suluk)
Pocapa nat semana Raden Janaka mengker saking pisowananipun. Ingkeng raka
nata Dwarawati, pusaka-pusaka ingkeng wonten ing jumantara, senjata cakra
uninga nututi lakuning para pusaka.

(PETRUK BERTEMU DENGAN RADEN ANTASENA)


P : “Wah, jan kaya ngapa bungah kula. Nembe menika pinanggih ndara
Antasena.”
RAN : “Iya Truk.”
P : “Kok piyambakan mawon.”
RAN : “Kakang Gathutkaca karo Kakang Antareja wis dha menyang.”
P : “Lha sampeyan kok mboten tindak?”
RAN : “Aku arep mrei.”
P : “Oo.. Lak mboten dilereni ta le nyambut gawe?”
RAN : “Ora.”
P : “Sokur. Jane-janing kendel.”
RAN : “Iya. Kowe mau ko endi kok yahene-yahene gak ndang metu.”
125

P : “Nak jane ngoten kula nggih mpun siap-siap lakon sing apik. Ning
ingkang dikersaake lakon ingkeng niki kok. Nggih mpun kula kari
ndherek mawon wong kula ya isa.”
RAN : “Lha jane nek kowe metu sore ngene iki ya krungu aku.”
P : “A..inggih. kula ya ngantek jelehe.”
RAN : “Kowe mau ko ndi?”
P : “Sangking Ngamarta.”
RAN : “Jan ora gara-gara.”
P : “Mboten kok. Teng Ngamarta niku ming tanpa onten rowange jane
dhewe.”
RAN : “Ora karo Gareng?”
P : “Mboten. Gareng sek meriyang niki.”
RAN : “Oo..meriyang..”
P : “Inggih, wong nganu kemala ingkeng nggene nyaur utang.”
RAN : “Iya, kebangeten. Mbok dilekkake. Jumbuh karo dadi Gareng ngono
kuwi rada sing ngati-ati karo dhuwit.”
P : “Hh, watake gareng angger mpun nyekel nggih malah methenthang
methentheng.”
RAN : “Lha Bagong?”
P : “Bagong sing mboten. Sowan teng Ngamarta sebabe bojone ajeng
manak.”
RAN : “Njur kowe dhewe ana apa?”
P : “Dipunkengken bapak mboyong para bendara kula Ngamarta jalaran
bapak badhe mbangun kayangan ngoten. Sageda kerawuhan sinuwun
Prabu Puntadewa sakadang.”
RAN : “Sing arep dibangun kayangan ngendi? Jalaran kayangan kuwi werna-
werna. Suralaya kayangan, mbiyen bapakmu ya nduwe wewenang ing
Suralaya.”
P : “Nanging ora tau hubungan kaliyan dewa kok mbangun kayangan.”
RAN : “Lho, omahe bapakmu kuwi ya kayangan. Aku bisa kandha ngono
jalaran bapakmu kuwi piyayi sepuh. Yen dewa wis padha pirsa, yen kuwi
kerep dilenggahi Kaki Semar. Ateges sing lenggah ana kono dewa
ngejawantah. Andandani omahmu.”
P : “Nek miturut kula mboten. Nek arep ndandani omah kok kayune malah
didoli. Angger negor kayu didol.”
RAN : “Dikumpulke para pandhawa, kuwi mbok menawa sing arep dibangun
kuwi tumprap tembung sing apik bakal mbangun rohani. Ndandani
isining kebatinan antarane para pepundhenku.”
P : “Oo, mbok menawi nggih niku Den. Jalaran bapak ngendikakke kudu
nganggo sarana pusaka telu. Siji kalimasada, loro tunggulnaga, telu
tumbak karawelang.”
RAN : “Lha mula kuwi. Kuwi cocok. Dadi bapakmu kuwi aja kok oso-oso. Yen
katitik seka kahanan bapakmu kuwi...”
P : “Oo, lha inggih mbok menawa. Angerti aku sakniki.”
RAN : “Aku omong apa?”
P : “Aembuh.”
126

RAN : “Wong rung ngerti kok andan clemong.”


P : “Karan nganu mboten ngendika cetha, brengose.”
RAN : “Bapakmu kuwi ompol isi madu.”
P : “Pa merga dirubung semut niku?”
RAN : “Ora. Senajan tata gelar titah marcapada, ning Kaki Semar kuwi sejati
pancen ana sing momor.”
P : “Oo, lha mbok menawa nggih. Wong bapakne niki sakniki napa-napa
mandi..e. ana wong lara mara disuwuk bapak mari. Wong lempoh ra isa
mlaku disuwuk bapak mari. Niku sing sok nginggahke rokoke kalih
wajibe kula. Nek mboten kula, Simbok. Ya rong puluh ewu, ya seket
entuk terus mawon. Dadi bapak niki muk nyuwak nyuwuk thok mboten
lahnapa-napa. “
RAN : “Oo, ngono. Kudu ngalah karo simbokmu. Karang ya ana mbokmu.”
P : “Jane nggih simbok niku tak kon meneng mawon, aku sing arep nemoni
ngoten lho. Bapak nggih mpun mboten udut kok sakniki. Lha sing udut
lak ya anak-anake. Ning bapak niku dhong lagek ana kepentingan
ngoten, sing nyuwuk kula.”
RAN : “Mari?”
P : “Mati.”
RAN : “Ning ngati-ati lho Truk aku tak omong sepisan meneh. Kowe mau
niyate bakal mboyong para pepundhenku nyekseni le bakal mbangun
kayangan Kaki Semar.”
P : “Inggih.”
RAN : “Ning ana piyayi sepuh sing dadi sesepuh ana kana kleru penampa, ana
ora?”
P : “Onten. Onten. Keng nata Dwarawati.”
RAN : “Lha sing ngati-ati. Wa nata Dwarawati gedhe panguwasane ana kraton
Ngamarta.”
P : “Inggih. Nanging piyayi pinter kok ngoten nggih Den.”
RAN : “Ngelingana kowe karo aku ki titah. Sowantah titahe sing maha kuwasa.
Kowe kok ora kudu bener, ora kok kudu wicaksana, bisa wae sok
kelebon pengaruh, kelebon pambujuk, sok lali marang tumindak kabecik.
Wis, saiki ngono kowe sing ngati-ati kowe mengko arep dikroyok wong
akeh.”
P : “Sampeyan ampun clemongan. Sampeyan niku nek ngendika mandi njur
ngawur wae ora dipikir.”
RAN : “Lho kok malah ngonekke ngawur. Merga wa Kresna ora trima kowe le
wangsulan ning kono dianggep luput. Ya sing ngati-ati wae. Kowe
percaya sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh.”
P : “Inggih.”
RAN : “Sapa utang kudu mbayar.”
P : “Inggih. Ning nek kula nggih mboten mesti.”
RAN : “Wis, saiki temonana. Mengko nek ana apa-apa kowe kudu sing ngati-ati
kudu wani.”
P : “Pripun nggih Den?”
RAN : “Wis aja sumelang. Aku ora mbela sapa-sapa, sing bener tak belani.”
127

P : “Oo, inggih. Maturnuwun nggih Den. Untung ketemu Ndara Antasena.


Piyayi siji ki jan ora mikirke apa-apa kok. Sing dipikir mung dolan wae.
Mangka angger dolan kesel kondur. Beda karo Bagong, dolan. Dhuite
entek ya dolan wae. Upamane niki Den, upama nggih niki. Upama niki
mangke kula njur nganti dipilara kula ajeng males.”
RAN : “Aja. Aja kok wales.”
P : “Njur pripun nggih Den?”
RAN : “Kowe wis aja sumelang. Mengko nek kowe lara tak tambani, nek mati
tak uripke.”
P : “Tenane?”
RAN : “Wis aja sumelang. Aku aja nganti ketara tak mlebu ana njeron bumi.
Nek mengko dhasare ana apa-apa kowe njuk ndelokke aku.”
P : “Mawi tandha napa?”
RAN : “Njejak lemah ping telu.”
P : “Oo, nggih.”
RAN : “Ati-ati ya.”
P : “Piyayi siji ki pancen seneng aku. Ketoke karo wong sing bener iki ketok
nek gemati. Lho..?”
RAN : “Ana apa Truk?”
P : “Ndandani sepatu..ek. Njedhul temenanan.

(Suluk)
Pocapa dereng ngantos watara dangu Raden Sentyaki mrepeti Kanthong Bolong.

ADEGAN 5
P : “Matur sembah nuwun pinanggih Ndara Sentyaki. Sugeng Den?”
RST : “Iya waras. Kowe padha slamet.”
P : “Wilujeng. Mbok menawi wonten dhawuh.”
RST : “Aku ngemban dhawuh saka Kaka Prabu Dwarawati. Dina iki Petruk
didhawi bali. Malah bapakmu Kakang Semar elikna le bakal mbangun
kayangan.”
P : “Ah, panjenengan niku wong mau mboten ndherek rembugan kok. Kula
niki mpun wong tuwa dudu bocah wingi sore. Saweg keng raka
kemawon kula mboten ajrih dipundukani. Jer duwe dedhasar aku wong
bener. Napa malih Ndara Sentyaki.”
RST : “Aja gawe muringku. Petruk gelem bali apa ora?”
P : “Menawi dereng nampi ngendikanipun Gusti kula nata Ngamarta, kula
dereng badhe wangsul.”
RST : “Kelakon tak pecah sirahmu.
P : “Dhuer.. Mak prepet ning sirah. Isa sesak ki blangkonku. Aku ngko ra
entuk males, yen males nampa dukane ndara Antasena. Karepmu ah, lara
ya ana sing nambani. Tekade nduwe dokter pribadi. Gus, Sentyaki.
Sampeyan dadi wong mulya terus ora tau ngluruhi.”
RST : “Ora sah kakehan omong.”
P : “ Nggih mpun. Keprandengan kula lakoni.”
RST : “Btt.”
128

P : “Hadhuh, mati aku.”


RST : “Mungsuh karo wong edian. Dipara tangan ora gelem manut, mbareng
nyandhak bangkekane diobat-abitake. Ning untung ora dibanting.
Petruk.”
P : “Nun.”
RST : “Kowe ki yen edan aja banget-banget.”
P : “Kula niki mboten edan.”
RST : “Kowe ki karo aku wis mungsuh. Keneng apa kok nyandhak
bangkekanku ora kok guwang kok ora kok banting?”
P : “Ajeng kula guwang eman-eman. Wong isih dawa. Ajeng kula banting
mesakke Ndara Sentyaki wong momongan kula, mangke nek wonten
napa-napa ndhak kula kelangan. Mpun, kondur ngrika. Keng Sinuwun
Ndara Dwarawati badhe tindak mriki.”
RST : “Kowe ngerti ora nek aku nesu?”
P : “Ha nggih ngerti mawon.”
RST : “Minggat. Gada wesi kuning ajur kowe.”

Disk 3

(PETRUK MENCOBA MEMANGGIL RADEN ANTASENA)


P : “Ha iki, ana wong kapusan. Wong mau janji-janji dhewe, nek ana apa-
apa kowe ngabani karo aku, njejak lemah ping telu. Ha mangka sing tak
wedeni gada wesi kuning iki ngantem aku ajur temenan aku ya. Kelalen
turu yak’e. Ha lehku nusul njuk kepiye? Ha jenenge kok ya aneh temen.
Mbok yen pancen sayah, mbengi nyambut gawe awan mbaldheg kuwi
mbok ya turu ngono lho.”
RAN : “Oo, Petruk. ndandan sepatu pa?”
P : “Hah. Sepatu napa. Sampeyan kok ra. Ngantek jebol meneh sepatuku.”
RAN : “Mau njejak lemah ping telu aku metu, ndandani tungkak sepatu. Ha
saiki arep ngapa kok njejak lemah ping telu?”
P : “Sampeyan wau ngendika napa? Nek kula lara.”
RAN : “Tak tambani. Lara pa?”
P : “Mboten. Nek mati.”
RAN : “Tak uripke. Mati pa?”
P : “Mati kok mlayu-mlayu. Ning niki mangke nek mboten mbok ewangi,
calone mati.”
RAN : “Isih ngko?”
P : “Inggih, lha wong ngko mboyos.”
RAN : “Saiki omong-omongan dhisik.”
P : “Iki piye ta iki. Lha wong isih mengko kok omong-omongan dhisik. Le
matur ngoten niku ngarepake bebaya.”
RAN : “Bebaya apa?”
P : “Wau Ndara Sentyaki mrepepegi kula, Petruk kowe baliya karepe Semar
lerenana aja diteruske. Kula ngeyel. Sampeyan malih kula gugua. Keng
Raka Dwarawati mawon mboten kula gugu. Wusana Ndara Sentyaki
129

muring ngantem kula dhuer. Lara. Njur tangi maneh. Ning


saksampunipun kula tangi kula kelingan aku dipenging males. Wis tak
rewangi lara ya wis ben. Njuk diantemi kula kalih Ndara Sentyaki.
Ampun ngantuk.”
RAN : “Ora.”
P : “Kene omong grememeng, kono theklak thekluk.”
RAN : “Njur saiki?”
P : “Bareng muring, Ndara Sentyaki nggawa gada wesi kuning. Ora minggat
antem gada wesi kuning, modar kowe. Genah mpun nesu tenan ketara
kasar le ngendikan.”
RAN : “Ha mbok dipethukke, mengko nek mati tak uripake.”
P : “Anu mawon Den. Le badhe nambani ngangge napa?”
RAN : “Sungut. Ki mengko angger tak urut tak wedhakke ning awakmu sing
lara mari.”
P : “Niki apike ngeten mawon, sungute kula gawane mawon, dadia napa-
napa kula mangke mpun mboten napa-napa.”
RAN : “Ora kena dithethel dhengkulmu.”
P : “Njuk niki pripun niki?”
RAN : “Aja semelang aja nganti ketok yen aku mbantu kowe. Aku tak manggon
nggonmu.”
P : “Ning ngliwet dhewe. Sakniki-niki napa-napa larang. Golek dhuwit
kangelan usahane ning dinggo ngecakne kaanan angel mboten sepintena.
Luwih-luwih dilereni nyambut gawe, mati kowe.”
RAN : “Aku manggon ning nggonmu ki ora kok manggon ning omahmu. Aku
tak mlebu njerone awakmu.”
P : “Oh, ngriki?”
RAN : “Iya.”
P : “Ngko gek nggrenjel.”
RAN : “Ora. Wis, tata-tata ya.”
P : “Inggih.”
RAN : “Mengko kowe dianten gada ora papa. Tur kowe kanggonan aku isa
mabur. Isa ambles. Mlebu banyu ya isa.”
P : “Wah, iki. Mbok wau-wau. Angger ana Ndara Antasena, tenang aku.
Nyolong blumbange sapa-sapa tak gogohi iwake.”
RAN : “Aja ngrugekke wong liya. Meh nyegur nyolongi gurameh. Wis ngapet
tapeyan.”
P : “Hhh, Prrt. Mbrobos teng ngriki e. Wadhuh, ampun tenan aku iki,
ngungkuli Ndara Gathutkaca. Mantemake gada sampeyan Den.”

(Suluk)
Ye kata risang pinawarsa gumregut ngagut ing ngayuda, ing ngayuda. Eeeng..

(RADEN SENTYAKI MENCOBA MENGANIAYA PETRUK TETAPI


GAGAL)
RST : “Kowe pancen adol kekendelan. Aku nyekel gada iki, aku nesu temenan.
Lha kok Petruk ora mundur malah maju.”
130

P : “Kula mpun nduwe tekad praya, aja ming lara, mati kula lakoni.
Mantemake gada sampeyan Den.”
RST : “Apa? Ora minggat ateges mati.”
P : “Inggih.”

(Suluk)
Sinarta natkala semana gada wesi kuning den ungkulaken Ki Lurah kanthong
bolong. Awit saka panguwasane Ki Semar Badranaya, gada oncat saka astane
Ndara Sentyaki kondur dhateng ganduri manjalma ana susuhipun .
Ye kata risang Gathutkaca sigra nampak arga suta. Ooong.. Mancat pundhak
ngasta jangga. Eeeng..

(RADEN SENTYAKI BERKELUH KESAH DENGAN RADEN


GATHUTKACA)
RG : “Kula tingali paman kados mundur kewirangan.”
RST : “Adhuh, ngger, ketiwasan Ngger.”
RG : “Wonten menapa paman?”
RST : “Rikala kula ngemban dhawuh saking Keng Wa supados manggihi
Petruk wusana Petruk kula paring pangandikan ingkeng kathah-kathah
mboten dipunanggep. Nyepelekaken dhateng kula. Saking gempuring
manah Petruk kula tantang.”
RG : “Lajeng Petruk ajrih?”
RST : “Mboten. Malah wani kalih kula. Kula mara tangan mboten males,
namung damel wirang. Sareng kula kewirangan, kula nyepeng gada.
Petruk kula antem gada, gada wesi kuning oncat saking tangan kula.
Kados wonten tula sare ingkeng wonten hangganipun Petruk Kanthong
Bolong. Nyuwun bantu Ngger. Mangka Petruk saged mabur.”
RG : “Mabur?”
RST : “Inggih. Nyamber kula sawuju-wuju.”
RG : “Wonten paman nyamber Petruk nggih saged buyer?”
RST : “Mboten. Mung ambune sarunge niku.”
RG : “Lenggah, mangke kula pothole.”

(RADEN GATHUTKACA MENYURUH PETRUK PERGI DARI KRATON


NGAMARTA)
P : “Sembah bekti kula konjuk Ndara.”
RG : “Iya Petruk tak trima. Kowe bekti karo aku?”
P : “Inggih. Suwe ra tau ketemu kangen karo dhuwite aku.”
RG : “Wah, nek omong sok clemongan. Petruk, bapakmu Kakang Semar bakal
mbangun kayangan. Sing arep dibangun kayangan ngendi?”
P : “Kula mboten ngertos amrih prayoginipun panjenengan tindak mrika
mawon. Sing arep kok bangun kayangan ngendi mbah, ngaten mawon?
Mangke dospundi ingkang badhe atur wangsulan.”
RG : “Wis saiki ngene apike, kowe baliya. Mengko ganti wektu aku bakal
ganti nekani ana kana, ndherekke Wa Kresna.”
131

P : “Ah, mboten sah. Sing perlu pancen kula keparingan dhawuh kula kedah
wangsul ning sageda saking Sinuwun Ngamarta menapa para kadang-
kadangipun. Yen Keng Wa Dwarawati niku kalih kula mpun mboten
cocok.”
RG : “Ming kowe gari gelem bali apa ora?”
P : “Upami mboten?”
RG : “Kelakon tak pothol gulumu.”
P : “Ha nek panjenengan tegel kalih kula, mangkata.”
RG : “Mati kowe. Wong edian. Diuntir gulune awake melu mubeng.”
P : “Wong sing mati dipothol niku kurang prigel jane. Nek ngriki diuntir
kene katut ya ora pothol-pothol. Ajenga sewengi mboten badhe pothol-
pothol. Lha kene diuntir kene ora ya pothol ngoten mawon. Nyemelangi
ta.”
RG : “Kowe ra males karo aku?”
P : “Ha mboten. Males niku njur olehe napa? Kula kalih njenengan niku para
piyayi wis dha pirsa. Kae panakawan karo bendarane. Njur kula kalih
penjenengan dha klera kleru apa ora digeguyu wong mbendina dolan
bareng? Didherekke kok padu. Pira-pira Gathutkaca melu nyaur utange
Petruk. Gene kok ya ora. Penjenengan kaliyan kula niku mpun kedanang
kesaean Den. Rikala jaman semanten penjenengan badhe pinanggih Keng
Rayi Pregiwa, lha kula mbelani kaya ngapa. Inggih ta. Penjenengan
diprepegi dicaosi layang nek ora sida dhaup nesu. Awak dibanting-
banting mabur niba bress. Ha ya rapapa wong kanthi wikrama. Sing
remuk malah watu-watu. Njur njenengan muwun. Nggih mboten?
Nembang kinanthi sandhung ta biyen? Ha njur kula matur. Ndara.”
RG : “Apa?”
P : “Sampeyan mpun tau nyolong putri dereng?”
RG : “Urung.”
P : “Sakniki kula ajari nyolong. Ha tenan bareng njenengan kula ajari
nyolong, Ndara Pregiwa dadi bojone njenengan. Kula melu nglakoni
cilaka.”
RG : “Wis aja kok omongke sapa-sapa. Aku isin.”
P : “Ah, mboten sah isin karo kancane kok. Ndara Janaka niku sambat
kaliyan Ki Semar Badranaya mpun bolak balik. Lha wau kula pinanggih
Keng Rayi ragil Ndara Antasena, Bapak kae kompol isi madu. Iya nek
sing dibangun kayangan Suralaya, omahe bapakmu. Yen sing dibangun
rohanine para pandhawa njuk ora pada dileksanani apa ora kapitunan?”
RG : “Ana luputku aku njaluk ngapura Petruk. Aku tak mrepegi Karang
Kapulutan takbantune Kaki Badranaya.”

(RADEN ANTAREJA PERANG DENGAN PETRUK)


RA : “Ana apa kok meneng-meneng wae?”
P : “Wah, nek iki rada pekok iki. Ora kena dilus wong aku ya rung tau. Rung
tau aku ndherekke Ndara Antareja. Aku ming ora seneng le pekok apa-
apa. Woo, ngeplak.”
RA : “Aku wangsulana ana apa kok meneng wae?”
132

P : “Nembe pinanggih keng rayi Ndara Gathutkaca. Sarenng kula ndongeng


ingkeng werni-werni Ndara Gathutkaca njur ngendika ya wis tak nang
Karang Kapulutan.”
RA : “Merga kena pengaruhmu ya. Sing jenenge Petruk, Gareng, Bagong kuwi
pembujuk elek. Ayo minggat. Ora gelem bali, ngati-ati.”
P : “Kula niki badhe mang napakke? Wong kula mboten wonten rembug
sulaya kaliyan njenengan. Panjenengan kalih kula kok lajeng ngendika
mekaten rak ya kleru ta. Mbok nggih disabarke. Dadi satriya niku kedah
sing sabar.”
RA : “Tak ganjar mati kowe.”
P : “Irungku kok ampuh ya. Ndara Antareja nyungut, dhadhaku panas. Ning
aku ngerti wong nduwe wisa ning kene kok. Ha nek irungku ngono ana
apane lho? Mangka anane mung upil ki. Wah, nek ngono ki ora wani
ngesun anakku ki karo mbokne. Ha mesti mati. He Gus, enteni. Ayo
tanding kalih kula.”

(Suluk)
Mulat marang Sang Arjuna. Ismanya kamanungsan, kamanungsan. Ooong..

(RADEN ANTAREJA MEAPORKAN KEKALAHANNYA KEPADA RADEN


JANAKA)
RA : “Adhuh ketiwasan Paman.”
RJ : “Ana apa Antareja?”
RA : “Kula kadhawuhan Wa Kresna manggihi Petruk. wusana rikala wau
manggihi Petruk sepisan Paman Sentyaki. Ingkeng angka kalih
Gathutkaca. Ewadene Paman Sentyaki kaliyan Gathutkaca sami nandang
kewirangan. Kepeksa kula ingkeng tumandang. Petruk kula para tangan
ngangge menapa mawon mboten didamel raos lan mboten purun males.
Sareng keng putra dhasar kula nyungut, Petruk krasa lara men gek
minggat. Malah piyambakipun ugi gadhah kemandhen kados kula
Paman.”
RJ : “Kaya dudu karepe dhewe. Wis sumingkira Antareja . Petruk ora gelem
sumingkir saka Ngamarta ngati-ati. Cemethi Kyai Pamuk rontok
bangkemu.”

ADEGAN 6
(PETRUK PULANG KE KARANG KAPULUTAN MENGIKUTI PUSAKA-
PUSAKA NGAMARTA)
P : “Gus, Antasena.”
RAN : “Ana apa Truk?”
P : “Ha niki nek mboten kleru rak pusaka-pusaka kelimasada, tumbak
karawelang, songsong tunggulnaga.”
RAN : “Ha ya kuwi sing dikersakke bapakmu ta?”
P : “Inggih.”
133

RAN : “Iki disedhiyakke kanggo Kakang Semar kanggo mbantu anggone arep
mbangun kayangan yaiku budine para pandhawa lan bakal medharake
apa sedyane para pandhawa.”
P : “Cocok ngendikane panjenengan kok den.”
RAN : “Ha iya.”
P : “Njuk pripun? Napa niki kula bekta wonten Karang Kapulutan?”
RAN : “Kowe muliha dhisik bareng karo pusaka-pusaka kuwi. Tak tututi kowe.”
P : “Inggih.”

(Suluk)
Para pandhawa mulat nebaring pusaka. Kumlebeting bandira…oooo… Mulat saka
barisan kura. Kendhi biru mangungkung ing gegana. Karang aban wonten
telenging wasata.

ADEGAN 7
(RADEN SADEWA MENGAJAK RADEN SENTYAKI DAN ANAK-
ANAKNYA IKUT KE KARANG KAPULUTAN)
RS : “Antareja.”
RA : “Kula wonten paringan dhawuh.”
RS : “Dhimas Sentyaki.”
RST : “Wonten dhawuh.”
RS : “Kepiye anggonmu methukke petruk?”
RA : “Wah, kula kewirangan. Kula semanten Kakang Mas kula kewirangan.”
RST : “Kok isa kewirangan?”
RA : “Petruk kula dhawuhi wangsul mboten purun. Malah kula gregeten kula
mara tangan. “
RAN : “Iki mau ta Kang?”
RA : “Iya. Lha apa Antasena ora ndhenger?”
RAN : “Ora ndhenger aku. Aku angger ra teka.”
RA : “Lajeng Petruk kula sungut supados wangsul nandang sanget. Jebul
Petruk saged nyungut.”
RAN : “Sungute Petruk ya ampuh ta?”
RA : “Iya pancen ampuh Petruk.”
RAN : “Edan. Ampuh tenan. Aneh temen Petruk. Kok nduwe sungut barang ki
lho.”
RS : “Ngaturaken kawuningan Kangmas.”
RS : “Apa?”
RST : “Kula majeng malah didamel wiring kaliyan Petruk. Malah Petruk saged
ambles saged ngambah aji mantara.”
RAN : “Aneh temen. Ning iki Petruk pancen aneh. Kok dadi wani mabur
barang. Le ajar ki ya yah apa ngono. Ning ngene Kang, aja njur kowe
nduweni rasa kuwatir yen Petruk ki le ampuh seka kadigdayan. Ha, saiki
telitinen, awit kanggo sasmita senajan ta digday sing kaya ngapa yen
kadigdayan kuwi ta sok nggo sesungaran, sok nggo pamer, ora mandi.
Mula dieling-eling aja nganti nduwe watak kang kumingsun, adigang,
adigung, adiguna. Karo sapa wae ki tak suwun supaya sing andhap asor
134

sareh. Ngko nek ketanggon kaya Petruk lak ngisin-isini ta? Antareja kok
kalah karo Petruk. Ya ra Lik.”
RS : “Iya nek ra ngono.”
RAN : “Lha nek cara aku ngono Petruk ya ra nggenah. Angger diomongi sok
ngeyel ngono lho. Tak omongi ora nggugu kok.”
RA : “Lho, jare ora ngerti apa-apa.”
RAN : “Eh, heem ding.”
RA : “Tak piker-pikir kok kaya ana wadi ngono lho.”
RS : “Gathutkaca ngendi?”
RA : “Sampun rumiyin. Nitik saking ginemipun Petruk, badhe mrepegi Karang
kapulutan. ”
RS : “Oo,,ya. Yen ngono tak kandhani ya Antareja. Sejatine Kakang Semar ki
bakal didandani, bakal dimulyakke kuwi rasaning para pandhawa tuwin
para putra-putra padha ngestokake lan nggugu le bakal mbangun
kayangan Kakang Semar, ateges bakal tambah lan wuwuh kawruhmu.”
RA : “Oo,inggih. Yen mekaten kula sakmenika kantun ndherek paman
kemawon.”
RST : “Kula semanten inggih ndherek Kangmas Sadewa.”
RAN : “Pak cilik Sentyaki.”
RST : “Kula.”
RAN : “Kowe ditampa ya ora, ora ditampa ya ora. Kena ngetutke ning during
bisa dadi rombongan.”
RST : “Sababipun menapa?”
RAN : “Awit penemune Kresna karo Petruk ora cocok. Mangka kowe ki adhine
Wa Kresna. Ya nek pancen pikiranmu ki mulung tenan, ndherek Pak
Cilik Sadewa katut karo aku. Ngko nek separo kene, separo kono jajal.
Ngandel ora? Mangka tak kira watake Sentyaki karo aku beda. Separo ki
lho ning kene separo ning kono. Yen mengko akeh kono piye jajal?”
RS : “Mbok ya ra clemongan. Antareja tak nututi Kaka Prabu. Kowe kabeh
padha tata-tata njaga ana saknjabaning angrah Karang Kapulutan.”
RA : “Iya paman.”

Disk 4

Sritinong ing pamiyat. Busaka maneka warna. Rengging kencana abra. Bandira
layu kumitir jintreng pandersing maruta. Sirna kumaraning wiyat mangkyan
kumlebeting dwaja. Srusu brastha kayu kaprapal ron manjrahing sidi. Paripurna
peperangan ing Indraprastha karana saking muntaping para putra-putra nundhung
Ki Lurah Kanthong Bolong kanthi darbe watak ingkang deksura. Nanging Ki
Lurah Kanthong Bolong lembut ing pambudi dipunbiyantu dening Raden
Antasena. Mula sedaya kamurkaning para putra-putra pandhawa mboten wonten
ingkeng dipunlayani lan mboten wonten ingkeng dipuntandingi dening Ki Lurah
Kanthong Bolong, mula sami mundur kewirangan dugi paripurna. Rikala semana
para pusaka tansah tut wuri sedya marang Ki Semar Badranaya. Ing kono
sumedya tumekeng ing Karang kapulutan anyarengi Ki Lurah Kanthong Bolong.
135

Nata Dwarawati tuwin Raden Janaka saknalika sami oncat saking bumi kraton
Ngamarta sowan ing Kayangan Jonggring Slaka. Para putra-putra ndherekaken
Raden Sadewa anyeketi ing pedhukuhan Karang Kapulutan, nrajang tepasing
wana diwasa tepasing dadi, minggah ing arga, tumurun ing jurang curik. Senajan
ta kawontenan wis peteng ndhedhet karana surya manjing bantala, kawontening
wana mawarna-warna suwarane, kutu-kutu langen tlaga. Ing dunung wonten
grumbul-grumbuling jurang kang curem genti ingkeng winursita. Kocapa ingkeng
lenggah ing Kayangan Jonggring Slaka. Sag ingkeng permedi Bathara Guru den
adep ingkeng rayi Batari Durga, sloka raka Sang Hyang Kaneka Putra tuwin para
dewa tridasa watak nawa. Kinurmatan suwara gong saloka nata.

Ing Kayangan Suwalaya, Jonggring Slaka ya Kayanganing Giri Pati. Ingkeng


lenggah ing kono sedaya para jawata. Nanging ampun ngantos kelentu penampi,
dewa menika pada ingkang supados paring piwulang reh anggewulang kautaman
dhateng para titah-titah ingkeng kelentu keblatipun. Awit sanyata dewa taksih
gadhah panggalih angkara, taksih gampil kataman pambujuk. Duk rika semana
mengkerekan gunung jamur dipa. Kinarya analiti marang jagad kang nyalawadi,
ngananaken wana tegal kepanasan ingkang minangka pangonaning satu
klangenaning para dewa, ngiringaken kawah candradimuka, kawah candradimuka
dede neraka jahanam. Puniku kawahipun gunung siula-ulu ingkeng sering tinampa
paring pidana marang para dewa-dewa ingkeng nerak paugeran. Angayonaken
plataran, kwanda aru kang minangka pasebaning para dewa tri dasa watak nawa.
Nenggih kocapa kalenggah wonten dampar watu cundhu manik, retuning para
dewa kang winisis Sang Hyang Guru ya Sang Hyang Girinata ya Sang Hyang
Catur Boja ya Sang Hyang Solewah Randhu Gumbala. Kang naka semanten
lenggah sejajar marang ingkeng rayi Batari Durga ingkeng lenggah ing Kayangan
Pasetran Ganda Mayit ya Kayangan Dandang Mangure. Niki pocapa kang mundhi
ngarsa. Ingkeng raka pepatih ing Suwalaya, lenggah ing suduk pangudal-udal,
Sang Hyang Resi Kaneka Putra mengkeraken ingkeng putra Bathara Penyarikan.
Kocapa katungka marang sinuwun nata Dwarawati, Prabu Kresna.

(Suluk)
Siyang pantara ratri among cipta pukulun. Taliyan kang kaeksi angaturna sang
cunda manik. Sasat rengging ngulun kang sumembah. Sasat sampun prapti.
Mungging asta pukulun sang rama dewaningsun.

ADEGAN 8
(BATHARA GURU SEDANG MENGADAKAN PERTEMUAN DENGAN
SAUDARA DAN ABDI-ABDINYA)
BG : “Wong awja adi sangarep palungguhan kulun. Adi batari.”
BD : “Nuwun wonten pangandika ingkeng dhawuh. Pukulun dhateng miji
ingkeng rayi.”
BG : “Mara ta prayogakna jeneng kita sowan.”
136

BD : “Kula nuwun kados mboten kirang pangabekti. Sungkem pangabekti kula


konjuk saandhap pada.”
BG : “Wus Ulun tampa. Kakang Kaneka.”
BKP : “Hong, siwarsana rayi. Wenten paring pangandika ingkeng dhawuh Dhi.”
BG : “Kadiparan pawarta sakjawil langkah para putra-putra jawata.”
BKP : “Menawi adhi taken bab meniku, engetipun niraka kados mbeten wonten
jawata ingkeng nglirwakaken. Sedaya sami sowan. Netepi dhateng
kuwajiban lan mboten badhe nguciwani penggalih Dhi.”
BG : “Sokur yen ngono. Penyarikan.”
BP : “Nuwun wonten dhawuh Rama Pukulun.”
BG : “Kita prayogakna sowan ana ngarsa uni.”
BP : “Ngestokaken dhawuh sakderenge tumandhap. Ingkeng putra sampun
siyaga wonten pasowanan, kejawi saking menika kepareng ngaturaken
sembah pangabekti konjuk saandhap pada.”
BG : “Wus Ulun tampa. Pangestu Ulun tampanana.”
BP : “Sanget anggen kula mundhi.”
BG : “Kakang Kaneka.”
BKP : “Inggih, adhi.”
BG : “Marmane Kakang rada tebih mbok dipuncaketaken. Ingkeng rayi badhe
nyuwun pirsa. Wonten gara-gara ingkeng minggah dhateng kayangan
ndadosaken bingunipun para dewa ngantos kathah para dewa lan
widadari ingkeng sami kontrang-kantringan. Jalaran wonten kedadosan
mekaten menika kalebet nyalawadi. Kakang, yen pancen Kakang rada
priksa gara-gara puniki saking punapi. Yen pancen wonten kawontenan
ingkeng nyalawadi perlu kaboyong minggah dhateng kayangan
upaminipun wonten sela ingkeng nyalawadi, saged ta minangka
imbuhipun umpak bale marcupundha. Yen wonten wreksa ingkewng
nyalawadi kaboyong minangka imbetipun saka dhomas bale kencana.
Yen tirta imadwija trang menika minangka imbetipun tirta
panggesangan.”
BKP : “Sedaya pangandikanipun adhi guru mboten wirya wenten ingkeng leres.
Wirya wenten ingkeng cocok.”
BG : “Gandheng Kakang Werda menika rakanipun ingkeng rayi mboten
wenten awonipun ingkeng rayi nyuwun pirsa dhateng Kakang.”
BKP : “Lha anggen kulun matur menika manjing wonten pasemon.
Pasemonipun gara-gara ingkeng munggah wonten kayangan estonipun
wonten kedadosan ing marcapada. Dewa ingkeng anawur titah badhe
mbabar kautaman dhumateng sedaya para putra wayahipun lan ingkeng
dipungulawenthah. Ning ugi wonten titah ingkeng pangawak dewa
ingkeng estonipun menika nampi bebenduning jawata, mboten
nrimakaken bab wonten kedadosan mekaten. Lha kalih-kalih matunggal
dereng jumbuh manahipun, dereng saged jumbuh manahipun Dhi, mila
ngantos ndadosaken gara-gara.”
BG : “O, ngajwaladi palungguhan kulun. Lha menapa kinten-kinten
gegambaran mekaten menika ingkeng wayah titah marcapada ingkeng
sowan.”
137

BKP : “Sinten Dhi?”


BG : “Keng wayah kun Bathara Kresna.”
BKP : “Cobi kewala katimbalan. Kados pundi aturipun, nanging adhi guru kula
aturi jumeneng wonten tengah-tengahing kaleresan. Nora kena mban
cindhe mban ciladan.”
BG : “Kresna.”
BK : “Nuwun paring pangandikan kulun.”
BG : “Kita ulun parakaken maju.”
BK : “Nuwun estokaken dhawuh kepareng. Ingkeng wangsalan ampun ngantos
ketaman wos sae.”
BG : “Iya, kulun lilani.”

(Suluk)
Anjrah lir puspitarum. Katiuping samirana amrih pungesthi, punges gandaning
sekar gadhung. Kasiliring samirana. Raras rumeseping driya.

(BATHARA KRESNA MELAPORKAN PERISTIWA YANG TERJADI DI


KRATON NGAMARTA)
BG : “Padha basuki kita sowan.”
BK : “Kula nampi pangestu ingkeng pukulun winantu karaharjan nir
sambekala keparenga wayah pati brapujan kara muluk ngaturaken
sungkem pangabekti kulun.”
BG : “Iya, kulun tampa. Pangestu kulun tampanana.”
BK : “Kapundhi mugi dadosa cahya nur cahya.”
BKP : “Hey, Kresna. Kita padha basuki.”
BK : “Pangestunipun pukulun narada kados widadari. Sembah pangabekti kula
konjuk.”
BKP : “Iya, kulun tampa.”
BG : “Ana wigati punapi kita munggah ing kayangan tanpa kulun timbale
nganti nggeterake kayangan, nggegerke para dewa?”
BK : “Saksampunipun pukulun sampun sumabda mekaten keparenga wayah
pati kula munjuk atur. Sewu kalepatan ingkeng wayah nyuwun gunging
samudra pangaksami.”
BG : “Iya, ora dadi apa.”
BK : “Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing
sitinggil binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe
mulyakaken percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun
Kakang Semar badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge
sarana mbiyantu anggenipun Kakang Semar badhe mbangun kayangan,
ateges badhe mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten dados rembag
ingkeng mboten prayogi. Paribasan menika naming sapala nanging dados
perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-kadang kula Ngamarta
wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu Kakang Semar. Dhuh,
pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing para jawata. Yen pancen
pukulun nglilani Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ingkeng
138

wayah siyaga badhe nututi para kadang mbiyantu Kakang Semar.


Nanging yen menika Kakang Semar dianggep lepat, kados pundi
caranipun saged paring pengajaran dhateng ingkeng kalepatinipun titah?”

(Suluk)
Tukul yayah sinipi kumetut padoning lathi, pardoning lathi. Jaja bangawinga
wingis. Tinaping muka kadulu lir kabeh ranang. Nggeget lathi kerat waja.

(BATHARA GURU MENYURUH BATHARA KRESNA UNTUK MEMBAWA


KI SEMAR BADRANAYA KE KAYANGAN JONGGRING SLOKA)
BG : “E,e,e. Iya, kulun tampa ngger. Senadyan ta kepiye wae kakang Semar
tetep luput, awit kayangan dudu kuwajibane Kakang Semar. Wis ta, dina
iki kowe kulun utus aja nganti ketara yen dewa bakal paring uninga
utawa ndandani keluputane Kakang Semar sing nganti disekseni para
titah. Becik kita mudhuna ning marcapada, Kakang Semar boyongen
mrene.”
BK : “Upami mangke ngantos kelampah Kakang Semar mbreguguk ngutha
waton mbegundhang datan para ratu.”
BG : “Dirada kasembadan banjur dirampungi. Awit bakal nyampar mestaka
mlumpate kuwidanganing dewa.”
BK : “Nyuwun pangestu kulun.”
BG : “Pangestu kulun tampanana.”

BKP : “Mrekencong waru dhoyong e, yak, ya.”


BG : “Tegesipun punapi Kakang?”
BKP : “Ngendikanipun adhi kaliyan pemanggih pikulun mboya saged leres.
Mrekencong kaya waru dhoyong. Mula ciptaning ingkang kuwaos
mboten wonten wit waru kok bener.”
BG : “Inggih.”
BKP : “Kulun sampun matur wonten dewa ingkeng nawur titah badhe ndandosi
rohani utawi badhe ngleresaken tingkah ingkang lepat, ngaten. Kakang
Semar menika dewa. Lajeng wonten titah ingkeng nawurti dewa, titah
marcapada nanging nganggo jeneng bathara kresna ingkeng mboten
ngertos ngantos wonten kedadosan klenta klentu. Wonten ngriku menika,
nanging adhi guru mboten saged menggalih bab atur kula wonten
pasemon. Lha kedadeyan katos mekaten menika. Mila mrekencong waru
dhoyong. Lhadalah.”
BG : “Kakang Nrada.”
BKP : “Inggih adhi guru.”
BG : “Sedaya ngendikanipun Kakang Nrada sampun pukulun tampi. Nanging
senajan ta kados pundi Kresna menika tetep lepat jalaran kumawani
badhe ngucap ngraosi kayangan.”
BKP : “Lha, sing during pana babagan pasemon kayangan menika adhi guru.
Senajan dewa taksih, nuwun sewu lho, taksih rada bodho. Nek bocah
sakniki ngomonge goblok. Kayangan menika dede Suwalaya ngriki, niki
lak kayanganing dewa, merga sing nglenggahi dewa disebut kayangan.
139

Ning yen titah marcapada kayanganipun wonten saklebeting manah,


sumber kayangan niki ing ngriki. Yen paba babagan ngelmu niku teng
ngriki niki. Ee, dewa kok bodho.”
BG : “Sampun ta Kakang Nrada, mboten perlu kathah-kathah. Ingkang wekdal
menika wus Kakang Semar kulun timbali. Yen wonten menapa-napa kok
awon sae lepat, kulun dhadha.”
BKP : “Mangga mawon. Kulun tunggak waru mboya melu-melu.”
BG : “Durga.”
BD : “Nuwun dhawuh.”
BG : “Metua njaba, dhawuh marang putra-putra bajul badi yen nganti gagal
Kresna nyuba Kakang Semar, pasrahna bajul badi.”
BD : “Nyuwun pamit kulun.”

(Suluk)
Putra pandhawa tata gati wisraya. Mingis yung lir mawa parabowo. Netra kaya
soroting surya kembar. Gedrug-gedrug ambengkapna bumi.

ADEGAN 9
(BATHARI DURGA MENYURUH JARAMAYA TURUN KE BUMI)
J : “E. e. e. Lhadalah. Nyadhong dhawuh Bu. Kula tingali wau ibu bethari
alit kok sakniki ageng.”
BD : “Iya,mau mung merga kleru nyandhang. Aku metu merga ngemban
dhawuh njur tiwikrama.”
J : “Oo, ngaten.”
BD : “Kowe, Joromoyo.”
J : “Inggih.”
BD : “Dhawuhana karo wadya bala, buta loro sing kok pilih maling sukma
maling raga supaya mlebu ana Karang kapulutan nyendhal mayang
Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar.”
J : “Inggih. Ngestokaken dhawuh Bu.”
BD : “Nurambadewa.”
N : “Nuwun paring pangandika bu.”
BD : “Budhalna kabeh para wadyabala. Iki malah ana wektu sing apik bisa
nyirnakke para pandhawa bakal dipilih dadi ratu ingkeng pilihan. Sijining
ratu kang minangka tetungguling para ratu.”
N : “Kula sakmenika nyuwun pamit nata para wadyabala.”
BD : “Sing ngati-ati kowe aja sok percadu.”
J : “Nyuwun pamit.”
BD : “Ya, ya, ya.”

(Suluk)
Rindhu ngewur, ngewur awuran tinantaraning prajurit. Gunge guru gangsa. Swara
tetege mbutulna wur telenging metu randha esthi. Rekatak ing rai. Tuwaja layu
sepi.
140

(JARAMAYA MENYURUH MALING SUKMA DAN MALING RAGA


TURUN KE BUMI)
MS : “Nyadhong dhawuh Kakang Joromoyo.”
MR : “Nyadhong dhawuh Kakang Joromoyo.”
J : “He, maling sukma maling raga. Wong loro maling kabeh. Tak timbale
ngemban dhawuh saka ibu bethari, kowe supaya mbanjul mateg dayamu
kumayang jati aja nganti kaweruhan. Kowe didhawi lumawat ing Karang
Kapulutan. Sapa sing mbantu karo Wa Semar, kok pateni. Sokur bisa
nyendhal mayang jiwa Badranaya.”
MS : “Yen mekaten nyuwun pangestu kemawon. Najan mboten siwa Semar
mangke, siswa-siswa ingkeng pokok menika kula pejahi.”
J : “Iya.”
MS : “Ayo dhi, tata-tata. Nyuwun pamit Kakang Joromoyo.”

(Suluk)
Mijil saking kayangan, umyating gegana katon puncaking gunung-gunung.

ADEGAN 10
(BATHARA KRESNA DAN RADEN JANAKA MALIH RUPA MENJADI
RAKSASA DAN HARIMAU)
BK : “Yayi Arjuna.”
RJ : “Kula nuwun wonten dhawuh.”
BK : “Untung kok pun ngendika paring dhawuh marang si adhi, upama ta
nganti kerundhen mlaku bisa klakon pukulun bathara guru duka. Pancen
Kakang Semar luput dhi.”
RJ : “Adhuh. Mboten nginten Kaka Prabu yen Semar kalepatan kalih pukulun
Bathara Guru.”
BK : “Lha yen nganti kedadeyan lak pun kakang dingo parang cucukan. Aja
nganti kebacut-bacut. Ayo padha diprepeki Karang Kapulutan. Sokur
bisa pinanggih para kadang sing nyaketi Kaki Semar, mengko tak
kandanane. Lan pun kakang bakal suka atur marang yayi Puntadewa.”
RJ : “Kula nuwun inggih lajeng dospundi?”
BK : “Dhawuhe pukulun ngene, pinangka pengajaran Kakang Semar pun
kakang lan si adhi supaya tumeka ing Karang Kapulutan mboyong
kakang Badranaya.”
RJ : “Caranipun kados pundi?”
BK : “Lha yen pun kakang karo si adhi nganggo cara kaya ngene genah yen
konangan. Senajan ta mboyong Kakang Semar yen perlu samudana.”
RJ : “Kula dherekaken Kaka Prabu.”

(Suluk)
Sinarta nat semana ingkang sinuwun Dwarawati arsa samudana sirna wujuding
nalendra dadi wujud gandar sagunung gedhene. Manebak maneklir kacandra
sinungan ngabda lawan aneng ngabda lawan. Gero-gero kang pindha mangsa,
kunerpa.
BK : “E, e, e, e. Janaka.”
141

RJ : “Kula Kaka Prabu.”


BK : “Pun kakang nganti awut-awut padha gogrog karebe dhewe.”
RJ : “Inggih Kaka Prabu.”
BK : “Lha wong dasare ngana wong sing padha ngawut-awut ra patek
ngrungokna, kaya ngene iki mesthi ora ketara pun Kakang Kresna,
Dhimas yayi Arjuna ayo diprepeki Karang kapulutan. Tak gaglag
sakkampungmu.”

(Suluk)
Nyata yen pandhita kang wus limpat winangun sawuning samudana.
Mengkulireng kasarjanan.”

ADEGAN 11
(WISANGGENI DATANG KE PERTAPAAN KENDALISADA MENEMUI
ANOMAN)
A : “Wong bawana langgenga, yoganipun ingkeng Bapa ngger. Tilema
sakliyepan mboten badhe nyupena bilih angger Wisanggeni badhe
lenggah wonten ing Kendhalisada. Saksampunipun sakwetawis anggen
lenggah, pun bapa atur pambagya panakrama.”
W : “Tak tampa ngendikane Siwa Begawan mbagekke karo aku.
Pangestunipun Siwa Anoman kaya ora kurang siji-sijia menapa.
Sembahku tampanana Pakdhe.”
A : “Kula tampi kula lebetaken wonten dhadha kendel sami-sami.”
C : “Sungkem pangabekti kula konjuk dhateng ndara Raden Wisanggeni.”
W : “Iya, iya, Cantrik, tak trima. Kowe mbagekake aku.”
C : “Nuwun prayoginipun Ndara Raden Wisagrama.”
A : “Genine ki aja dibasakke. Saksampunipun lenggah ingkang prayogi,
ingkeng bapa badhe nyuwun pirsa menapa wigatosipun Raden.
Panjenenganipun tedhak wonten ing pertapan Kendhalisada?”
W : “Aku tak matur ya Wa, yen ana luputku sing gedhe pangapurana, amarga
kurang pengalaman ora bisa tata krama, ora nduwe unggah ungguh.”
A : “Mboten dados menapa.”
W : “Aku ki krungu kondhange Siwa Anoman. Kondhang tekan ngendi-endi
yen Siwa Anoman kuwi pendhita sing wicaksana tur ya sekti
mandraguna. Anggonku matur sekti mandraguna jalaran rikala semana
mbedhahi kraton Ngalengka ki Siwa Anoman. Aku matur wicaksana
jalaran Siwa seneng mbeber ngelmu kang diparingke marang para putra
siswamu. Lak ya ngana ta Wa?”
A : “Kula mboten pamer. Rikala jaman semanten kula mejahi prabu rahwana
ingkeng saged nabet wonten Gunung Sumawana niku kula. Yen kethek
sanes nggih namung limrah.”
W : “Lha iya wong pancen kethek. Nek Siwa Anoman lak kepetung sari-sari
kethek .”
A : “Kaya apa sari-sari. Lha lajeng babing ngelmu badhe ngersakaken
ngelmu menapa kula badhe nyaosi. Senajan sangkan parisma dumadi
sembyang-sembyang cepaking kuntul anglayang, galih kangkung kula
142

sampun mangertos. Ngelmu sakderengipun winarah, kula sampun


mangertos.”
W : “Sing tak jaluk ya kuwi Wa.”
A : “Panjenengan badhe ngersakaken ngelmu menapa?”
W : “Lha ngene. Gandheng dina iki ing Karang Kapulutan, Negara Ngamarta
kuwi ana goncang sakwetara, gara-gara kang bakal tumeka ana kono
kuwi jan-jane sangkane saka apa? Lan kepiye carane bisa meper gara-
gara meper kamurkaning titah isa ngakurke sedulur kang pisah? Kuwi
nganggo cara apa Wa? Ingkeng cumondhoking wonten Karang
Kapulutan.”
A : “Wadhuh. Malah kula dereng mangertos niku.”
C : “Sing nakokke wae nyalahi ukum ngono.”
A : “Piye ta Cantrik?”
C : “Nek teng rekaman niku Wisanggeni ora ana.”
A : “Mbok menawa ana sedulur sing kepengin bakal pirsa Wisanggeni.”
C : “Oo, lha nggih ngoten niku sing jenenge nyimpang.”
A : “Kula mboten mangertos.”
W : “Lha nek pancen Siwa Anoman ora ngerti, saiki aku tak takon. Nek
pancen ora ngerti kepengen ngerti apa ora?”
A : “Kepengen ngertos.”
W : “Lha yen kepengen ngerti Siwa Anoman kudu meguru karo aku. Gelem
apa ora?”
A : “Ndherek mawon.”
W : “Aja nganggep aku guru kok golek murid ki ora. Ning perlu nyocokke
kawruh nunggalke pangerten.”
A : “Kesinggihan.”
W : “Lha tak kandhani ya Wa. Ning mengko yen aku wis matur Siwa
Anoman kudu gumregut melu cancut taliwanda merga Siwa kuwi
cumondhoke ana pertapan Kendhalisada. Kendhalisada kuwi kukuban
Kraton Ngamarta.”
A : “Sendika.”
W : “Siwa Badranaya kuwi anakal mbabar kawruh, wis aku blaka wae yen
Siwa Semar bakal mbabar kawruh. Ning ana ingkeng kurang pangertine.”
A : “Sinten Ngger?”
W : “Siwa Bathara Kresna. Lha mangka Wa Kresna wadule ing Kayangan
Jonggring Slaka. Watak Sang Hyang Guru banjur dhawuh marang
Bathari Durga. Bathari Durga sing nyebar bajul barat. Aku nyuwun
tulung marang Siwa Anoman gandheng Siwa Anoman mau wis ngendika
kaya mengkono. Ayo tata-tata bajul barat disingkirna. Sing bakal
nganggu Wa Semar, elikna.”
A : “Menawi kula wakil.”
W : “Ora isa wakil.”

(Suluk)
Anoman pracandra seta jujarawun kapimenda.
143

A : “Kaliyan panjenengan ta Ngger.”


W : “Aku mengko mung ndherekke. Nek wis rampung aku nyaosi pirsa
ateges aku wis ngelingke Siwa Anoman tak kon ngerteni lan kepiye
carane wong tanggung jawab.”
A : “Sendika.”
W : “Ayo, tata-tata.”
A : “Cantrik.”
C : “Kula nuwun Panembahan.”
A : “Aja lunga-lunga kowe saka pertapan. Mengko yen ana tamu aturana
pirsa yen aku ora ana. Sokur mengko yen ana tamu sing kudu temandang
ngladeni pamundhute tamu kowe.”
C : “Ah, ndhak ra mandi. Mpun tak trima nengga njenengan.”
A : “Mangga kula dherekaken.”
W : “Siwa Anoman sing ngati-ati.”

(Suluk)
Sigrat sumangkah rising Wisanggeni maya. Ngelingana ing kutrahing kutuma.

W : “Siwa Anoman.”
A : “Kula ngger.”
W : “Sakwise kula karo aku mudhun saka pertapan, kowe weruh apa?”
A : “Mboten sumerep menapa-napa.”
W : “Ngati-ati lho nek katarak.”
A : “Wah, apun sewiyah-wiyah.”
W : “Lha iki kowe nek pengen ngerti. Iki lho kongkonane Bathari Durga,
Kaki Joromoyo sakkancane.”
A : “Wah, keparat. Kula labrake.”
W : “Lho, ngko dhisik. Nek kowe teka-teka nglabrak, konangan. Nek arep
mbantu Siwa Semar, wis tak pethukne, methukke wae kudu samudana.
Aja lunga-lunga ya Wa.”

(Suluk)
Yeksa Kendra sang reksasa manganuk anung kadulu pindha singabarong.
Manebak malir nabda lawan.

ADEGAN 12
(JARAMAYA BERPERANG DENGAN WISANGGENI)
J : “Saka kadohan mawa Teja, nanging bareng tak prepeki jebul wonge kaya
slontrot. Kok aneh temen ya. Kaya-kaya wong toyan.”
W : “Nek biyen ncen aku seka kana. Embuh kok tekan kene ki.”
J : “Sapa?”
W : “Lha kowe sapa?”
J : “Buta saka ing kayangan, saka ing kayangan Suralaya. Aku Joromoyo.”
W : “Anake sapa?”
J : “Ibu bethari durga. Laha kowe?”
144

W : “Nek aku seka kiwa tengen kene omahku. Jenengku Kampret.


Wadananku Benguk.”
J : “Oo, nduwe wadanan barang.”
W : “Biyen. Nanging bareng dadi wong juwara ya ora.”
J : “Kowe arep ning ngendi Pret?”
W : “Mbantu wong tuwa. Wong tuwaku nduwe kuwajiban apa tak bantu. Apa
ya golek kayu, apa ya golek ramban kanggo makani kewan. Lha kowe
arep ning ngendi buta?”
J : “Yen kowe during ngerti kekarepanku, aku bakal nyaketi pedhukuhan
Karang kapulutan.”
W : “Perlu apa kok mrono-mrono?”
J : “Ngemban dhawuh saka pukulun Bathara Guru supaya aku mateni Siwa
Semar Badranaya yen perlu sakanak muride.”
W : “Lha anak muride ki sapa wae?”
J : “Puntadewa, Werkudara, sakkadange. Putra-putra Gathutkaca, Antareja,
Antasena, Wisanggeni, sakpiturute.”
W : “Kuwi arep kokpangan kabeh?”
J : “Iya.”
W : “Aneng, mbedhudhak wetengmu. Kowe tak kandhani ya, nek mungsuh
karo Gathutkaca, Antareja, nek kayak owe mesthi ora menang mergane
gathutkaca, Antareja ki pengapesane sing nyekel aku.”
J : “Ndhak iya Pret?”
W : “Iya.”
J : “Saiki ngene wae, apik-apikan aten amrih lakuku ya aja nganti ketara.
Kowe wae tak kongkon Pret, patenana Gathutkaca, Antareja, Antasena,
Abimanyu, wisanggeni, sakpiturute.”
W : “O, ya. Aku saguh. Njur nek wis dha mati?”
J : “Kowe melu aku. Tak suwitakke marang putra-putra ing pasetran, Prabu
Wiramba Dewa saksedulur. Mbesuk kowe bakal dadi maju.”
W : “Resi Kampret.”
J : “Iya.”
W : “Tak kandhani ya Joromoyo. Aku saguh wong-wong kuwi mau mati
nganggo tanganku. Ning ora ana rupa tanpa bea. Aku kuwi nduwe bojo.
Bojoku kuwi lagi nyidam.”
J : “Lho ya ana wong seneng karo dhapurmu kuwi?”
W : “Lho ya ana. Anyidame bojoku sing meteng kuwi njaluk rujak mata buta.
Apa kowe isa minangkani pa?”
J : “Mengko tak thethelke buta sing ngantuk-ngantuk, tak coplokane matane,
rujaken.”
W : “Sing dijaluk ki ya buta kayak owe, jenenge ya kayak owe, mripate ya
kaya kowe.”
J : “Ngomong wae njaluk mataku. Ora sewiyah-wiyah Pret. Kowe ya apa
kira-kira karo pandhawa manunggal?”
W : “Mripatmu mengko tak dandani. He, Kaki Joromoyo, sawangen aku
sapa.”
J : “Walah, tak kira ki dudu kowe. Jarene Kampret.”
145

W : “Saiki sambata, tak banda tanganmu, najan ora ana kene papanku. Ning
sing kok rasani pepundhenku, wajib aku mbelani.”
J : “Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko
ngendi?”
W : “Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku
cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha.”
J : “Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora
sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek.
Ora uman patan aku.”
W : “Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung
klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.”
J : “Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni.”
W : “Isa ngoyak aku ya nyata buta digdaya.”
J : “Candhak, mati.”
W : “Theng..theng..theng..kugeruk.. Angger nyendhal, cengker. Cekiker.”
J : “Nek tendon adu arep.”
W : “Watak Wisanggeni aja nganti kok kowe ndemek, isa nglancangi lehku
mlayu wae aku rumangsa kalah.”
J : “Ah. Candhak kowe. Ra sah gameli. Amba jangkahku. Gedhe tanganku.
Okeh tadhaku.”
W : “Oyaka”
J : “Eleh. Ketiging. Lhadalah. Cara-carane mungsuh pitik ngono mungsuh
karo pitik jengger wilah. Wis wareng, jengger wilah. Ora wani tarung,
mloya mlayu.”
W : “Ee, lha kok mbalik. Nek ngglendhengi ati-ati kowe.”
J : “Coba nek tanggon. Padha tanggon ora menang kowe karo aku. Mlayu
ngetiging, angger tubruk luput, tandhing karo jengger wilah.”
W : “Jengger wilah kae nek ngembun.”
J : “Le teka yah apa kae mau?”
W : “Ngoyaka. Buta kaya ngono ora wedi aku.”
J : “Lah, aja mlayu kowe Ni. Ha, ngandel ora lak mati nganggur.”
W : “Aku ki ora mati lho, Kaki. Iki nek cara ndersila geni, perang model
gangsir ngenthir.”
J : “Ha, njur dayane?”
W : “Clenthik. Ngemeka. Slenthik, bengkah dhadhamu.”
J : “E,e. Candhak.”
W : “Theng..theng.. ngapa?”
J : “Ngenthir.”
W : “Gangsir kok semono gedhene.”
J : “Gangsir benggala iki.”
W : “Njur?”
J : “Ngemeka. Slenthik bengkah.”
W : “Ya. Kono wae. Tak mek ngko.”
J : “Ora urus. Jebulane ngidaki kijing ta aku. Pantes sikilku lara. Aja mlayu
Wisanggeni.”
W : “Ayo, nututa mrene.”
146

Disk 5

(Suluk)
Anoman pracandra seta cucarawung kapimenda. Kapimenda. Ooo… Banjur
kocapa semana teka Resi Mancangkara dupi uninga Raden Wisanggeni kabujung
dening reksasa. Senajan ta dereng nampi ngendikanipun Raden Wisanggeni,
saknalika cancut taliwanda den watek aji mahundri. Joromoyo, senajan datan sirna
mlayu, saknalika plajar kapiyandem. Buta tata galena. Kalana katayut takung
maringgut

ADEGAN 13
(WISANGGENI MENYURUH ANOMAN UNTUK MENJAGA KARANG
KAPULUTAN)
J : “E, e, e. Lhadalah. Ora ngerti jebul ditutake karo sing kawakan, Anoman
mateg daya kekuwatan. Sujana aku. Yen luput bisa kelakon dadi
kuwalaya aku. Tak tinggal nyimpang dalan, sakpungkurku ana jayi
kepranggul ana papan sing tak karepake. Aja takon dosa tak kembari
kowe.”
Kacariya langening wanadri tumuwuh kang anut mangsa. Mawantu tumibaning
warih. Megar ingkang sarwa puspita. Ambabar geganda kang ngarung.
Katiyuping samirana bermara kang ngresep sarining kembang. Oooo..
W : “Siwa Anoman.”
A : “Kula Ngger.”
W : “Ngapa kok njuk tumungkul?”
A : “Sewu kalepatanipun ingkeng bapa nyuwun pangapunten. Mangertos yen
angger Wisanggeni bujung gandarwa, raosing manah kula mboten
narimakaken daya-daya kawontenan menika enggal paripurna. Rejasa
saking taman kekiyatan kula saknalika mlajar.”
W : “Oo, nek jane mana ya luput. Tak kandhani Wa. Lupute Siwa Anoman
durung tak aturi pirsa. Ning ya bener, benere Siwa Anoman mbelani karo
aku. Ya gandheng wis tekan mangsane kudu ngono. Saiki tak pasrahke
mangsa bodho Siwa Anoman supaya tansah ngawat-awati pedhukuhan
Karang Kapulutan.”
A : “Lha ngger badhe tindhak pundi?”
W : “Aku bali. Ewadene yen mengko ana apa-apa kok Siwa Anoman ora
keconggah utawa ora geduga mateka aji pampering, tak tekani Wa.”

(Suluk)
Mundur saking ngayuda. Mulat para wadyabala katon gumuruh. Suwarane gundhi
mangungkung ing gegana. Ooo..
A : “Yen pancen sampun mekaten mboten sanes ingkeng bapa badhe
nyendikani angger Wisanggeni anggenipun ngendika.”
W : “Oo, ya sokur, sokur.”
A : “Ngaturaken sugeng.”
W : “Iya. Aku tak mara kayangan. Mengko yen ana apa-apa matur ya Wa.”
A : “Inggih. Sendikaken dhawuh Ngger.”
147

Pathet sanga

(Suluk)
Tumiyup saka jumangkara sang resi mayangkara. Amulat kayun ontran ing
wewengkon pedhukuhan Karang Kapulutan. Dinulu saking katebihan ketingal
bramakarta. Mracihnani kalamun ta saklingkuping pedhukuhan kono. Kataman
ing bebaya. Kataman ing sambekala. Ing pangajab sang tapa Begawan
Mayangkara arsa ndherek mbangun pepadhang kalimputing pepeteng ing
pedhukuhan iku. Angudharu kawontenan ingkang ruwet marmane pendhita kang
gentur tapane nggen clupat cluput gen oleh sandhi bisa nelakaken prabawa ageng
gara-gara kang tanpa upami.

ADEGAN 14
(GARENG, PETRUK, DAN BAGONG BERNYANYI BERSAMA-SAMA
MENYAMBUT KEDATANGAN TUANNYA)
P : “Lingguh. Nek ra kawung aku emoh.”
G : “Teka-teka kok nembang pangkur.”
B : “o..wi..yung..”
G : “Aja nyendhaki Gong. Ngono..ha..e..”
B : “Ngono.”
G : “Pating pecothot.”
P : “Cing..cong..”
B : “Lur kini kilur.”
G : “Dudu nggone. Edipeni.”
P : “Ngono aja ngono.”
B : “Ngono mbok ya men. Waton tanggung jawab.”
G : “Kowe ki ngapa ya.”
P : “Wong urip sabar narima.”
G : “Kudu sabar nrima.”
B : “Aku ora sabar.”
G : “Aku tak takon Gong. Kowe modhel ngendi pangkur kok keri dhewe tiba
dadi jathilan. Ketoke seni cara Solo ya ora ana sing kaya ngono kuwi.
Mbanyumasan ya ora ana sing kaya ngono kuwi. Luwih-luwih nggone
dhewe ya ora ana sing kaya ngono kuwi.”
B : “Mula gawe.”
G : “Kok njur reka-reka wae. Hemm. Mula gawe. Mula gawe.”
B : “Aku ki angger muni ana tembung thing thung thing thung, waduh, aku
kelingan sok dadi encling, waduh. Medem temenanan.”
G : “Sakgeleme dhewe. Medem medem. Ana pangkur apik-apik kok ya
thungkling thungkling thungkling thungkling. Kemerep ora.”
B : “Kowe ya melu njoged kok kayane.”
G : “Aku rak ming katut kowe.”
P : “Ah, malah dha udur.”
G : “Ora ndene kok teka-teka pangkur ngethigling.”
P : “Tembang jawa tembunge. Jawa dadi pasemon. Pangkur minangka
kanggo gawe tuladha gegambaran pandonga lan panuwun muga-muga
148

sakpungkure padha pepanggihan agung ngluwari pangudarasa


sakpiturute bisa lebar tanpa ana tabet. Lha sakpungkure banjur tembange
pangkur. Kasempangna seka bebaya. Kasingkurna seka dening sakliring
trimala.”
G : “Wah, sokur. Yen ngana kowe ki pancen jan kamot pituture. Sok meneh
nek nembang kaya ngono kuwi nek kira-kira ana pitutur sing apik ora sah
ngejak Bagong. Bagong ki dadi pengelek-eleke kabeh.”
B : “Aku ki ra tau dikon Reng. Ning nek krungu menyat. Kowe aja kaya
ngono kuwi kowe.”
G : “A, iya.”
B : “Njuk kepriye Truk, para pepundhenmu Pandhawa?”
P : “Rawuh.”
G : “Dhawi ngruyuk bapak.”
P : “Heem.”
B : “Sokur.”
G : “Saiki bapak gek dadi wong ampuh kok. Ketoke wong kaya ngono ta,
cethuthat cethuthut ning agek diarep-arep, gawa ning Jakarta, gawa ning
Jawa Timur. Merga saka bapak kuwi le pinter ngendhang kuwi. Mangka
asline kendhange kae ora urut jane. Bapak Semar Badrayana kuwi nek
ngendhang ki jane ya mung nirokke jogede awake dhewe iki. Thung
thung thak blang thak blang ta. Ya ta? Tak ndhundhang ndhundhang ta
Gareng. Petruk barang ki katut. Tak ndhundhang ndhundhang Petruk.
Prandek kuna laris Truk. Bapak kae, aku seneng karo nangsibe bapak
kae. Wingenana ki lara bareng aku, bapak kae strook. Aku sakjrone lara
wolung sasi ora mari-mari malah kabarke modar. Ning ya rapapa wong
nyatane awet urip kok ya. Bapak ya awet urip cethuthat cethuthut, ning
malah dhuwite okeh wong kae ki. Ya muga-muga wae. Aku biyen ndelok
le mbangun omah kok apik temen, modhele kaya omah sewan.”
G : “Padhakke omah sewan.”
B : “Lho le gawe lokasine kuwi aku dhewe ya gumun. Kok kaya wong ra
patek pengalaman.”
P : “Kang Gareng karo Bagong tak kandhani ya. Aja nyepelekke karo bapak.
Ndara Antasena wae ngendikake yen bapak kuwi kompol isi madu.”
G : “Ora legie wonge.”
P : “Nek wonge aja kokdilat, mesthi ora legi. Ning sing dianggep madu kuwi
kawruhe bapak sing ana njeroning atine bapak. Ya kuwi unen-unen
bapak bakal mbangun kayangan, merga bapak arep medharake kawruh
diwejangke marang para bendara sing supaya bisa manunggal.”
G : “Oo, ngono.”
P : “Mula pasemone nganggo pusaka telu.”
G : “E, e, e, e. Agek ngerti iki aku. Ning sing sok ngoso-oso bapak ki malah
Bagong iki lho. Kowe kupingmu rungokna Gong. Kowe kudu sing wedi
karo bapak.”
B : “Ya. Ya mengko nek weruh bapak tak tutupane raiku. Aku tak wedi.”
149

G : “Tegese wedi karo bapak ki kudu mbangun miturut apa ucape wong
tuwwa diprentahke kowe kudu Inggih sendika Pak. Ngono. Ora kok njuk
tutupi raimu kuwi.”
P : “Iki gandheng para bendara rawuh Kang. Aku kesel. Mau ing Ngamarta
aku dikruyuk wong okeh nganti ana kedadeyan peperangan.”
G : “Lhoh, kowe ki perang?”
P : “Heem.”
G : “Mungsuh sapa?”
P : “Ndara Sentyaki. Kaya raja karo Sentyaki.”
B : “Kowe ki raja ngana pa? Raja kok bluput.”
P : “Le tandhingan mana Ndara Sentyaki. Ning aku ya dibelani karo Ndara
Antasena.”
G : “Lha kuwi. Kuwi cocok nek karo Truk. Awit le koplak padha.”
P : “Koplak. Koplak. Ayo kowe nggendhing sing apik ora ketang mung
sakdhelok kanggo atur panembrama lan kanggo ngadhem pikir aku le
sayah.”
G : “Tak kinthengi ya.”
P : “Ya. Coba.”
G : “Thinthinge nem nem karo jangga. Iki mau ana titipan karo kersane sing
kagungan dalem supaya aku nggendhing Kutut Manggung.”
B : “Ah. Jane mendele.”
G : “Ora perduli. Ya ben. Wong dikersakke kok. Pathete menyura.”
B : “Pelog apa slendro? Apa pendro?”
G : “Pendro ki apa?”
B : “Pelog slendro muni bareng.”
G ; “Ya tak nitik slendrone dhisik.”
P : “Heem. Ning njaba.”
G : “Mengko kowe peloge ya.”
P : “Ya. Aku mengko peloge.”
G : “Ning nonong. Mbangsur. Mengko warangganane Bu Surtinah.”
B : “Lumempeng lho kuwi. Ning dhaerah Temon kana juwara.”
G : “Juwara?”
B : “Juwara le nyindhen kuwi.”
G : “Sore-sore ya apapak.”

(GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG)


G : “Wah, rada ampuh ki. Mau bengi prei, mulane ampuh.”
B : “Dhasare ditunggoni pacare.”
G : “Sing ngendi?”
B : “O..we..yo.. Wah.. pancen singgetan kuwi nganggo blang gentung
gentung dhung. Ketok-ketoke ya blang gentung gentung jleng jleng.
Kelingan ngomah.”
P : “Senggakan kaya ngono kok ngelingke ngomah.”
B : “Blang gentung meneh.”
P : “Udu. Udu. Kok sing kokapali mung blang gentung gentung.”
G : “Aku nyanyi dhewe lho Gong. Ora kok rusuhi.”
150

B : “Blang gentung. Wah, jan. kaceke bapak ora mrene ya.”


G : “Nek rene?”
B : “Tak kon ngendhang jane. Cengkoke kuwi maul ho tak genti blang
gentung gentung.”
G : “Ya ra wangun iku.”
B : “Wah, jan.. Hm..hmhm..hm.. Hm..hm..hm..hm..”
G : “Ge muni meneh!”

(GARENG NEMBANG SIMPANG LIMA)


G : “Simpang lima ria. Lapangan pancasila. Semarang ngumandhang
pranyata serba guna. Ning nong ning nong.”
P : “Ya aja dadi ati. Saweneh ki wis ana sing lali, arang-arang ditabuh.”
B : “Ngertiku rak simpang lima Wates kae.”
G : “Kowe ki sing ora-ora. Genten kowe Thong. Aku mengko tak melu
nggerong.”
P : “O, inggih. Sampeyan nek gendhing kula mboten gendhingan. Ajeng
nyuwun sinoman kalih Bu Susilo Wardoyo.”
G : “Uler Kambang wae lho.”
P : “Keparengan sing kagungan dalem dikersakke uler kambang.”
B : “Sore. Sore.”
G : “Udu. Ana uler kok ngambang sore-sore ki ngapa?”
P : “Lho, rak apik.”
B : “Dang gentung gentung.”
G : “Isane mung blang gentung gentung. Kuwi mau jenenge tembang uler
kembang.”
P : “Niki nek dingo wong telu isa regeng.”
G : “Carane piye?”
P : “Keneng apa kok sajake.”
G : “Kuwi Bagong.”
P : “Lewa lewa. Nak nung nak nung nak nung nak nung nak nung. Inuk-inuk
lan ora inuk. Cing encang encing kencung cang encung encang encung.
Blang thong thong thong.”
B : “Dang gentung gentung.”
G : “Ora ana uler kambang kok dang gentung gentung.”
B : “Apik temenan kuwi Truk. Regeng.”
P : “Ning kowe isa apa ora?”
B : “Isa. Isa. Isa.”

(GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG GENDHING


BANYUMASAN)
P : “Keneng apa.”
G : “Sajake kok.”
B : “Lewa-lewa. Nang nung nak nung nak nung nak nung nak nung. Nung
nak nung.”
G : “Kowe ki mau mikir apa ora bathukmu? Kuwi mau bageyane Petruk.
Bageyanmu ki incing incing ngono mau. Aku nong neng nong neng
151

nong, kowe tekku. Ha wong iku ulangane bapak Badrayana kok. Aku
sengit karo Bagong ki. Mumpung ning pathet menyura.”
P : “Inggih kula mangke tak nyuwun Eling-eling Mbanyumasan.”
G : “Kono jajal, tak krungu. Wah, ketok apik disuwuk.”
P : “Inggih, Eling-eling Mbanyumasan pancen ngoten suwuke.”
B : “Ah, aku arep nyuwun tulung Mbak Sih.”
G : “Nek ra ngono. Sapa Mbak Sih?”
B : “Nyuwun tulung pangkur.”
G : “Pangkur apa?”
B : “Pangkur macapat.”
G : “Iya. Tibane gendhing..”
B : “Halah. Sakanane.”
G : “Ya aja sakana-anane, nyuwun.”
B : “Ya mengko nek wis rampung agek pangkur.”
G : “Anu wae tibane dolanan dipadhakke pangkur karo caping gunung
ngono.”
B : “Oiya.”

Disk 6

(GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG CAPING GUNUNG)


B : “Aja turu Reng.”
G : “Ora. Sing ngantuk dheweke kok aku sing diomongi.”
B : “Pipa gadhing nek tuku kok larang. Becik nyolong wae.”
G : “Kowe ki ngapa, tambatan kok seko kono.”
B : “Suwek.”
G : “Kanca-kanca wiraswara.”
B : “Ee,, lha gebleg. Gambang suling sing nggenah swarane. Eyoo..”
G : “Apik iki Gong.”
B : “Nong ning nung.”
G : “Ek..ok.. Ek..ok..”
B : “Oeyo.. eyo.. eyo..”
G : “Kudune dijogedi Gong nganggo kendhangan cara jaipong.”
B : “Ning aku kesel.”
G : “Ya wis nek kesel.

(GARENG, PETRUK, DAN BAGONG MEMBICARAKAN PUSAKA-


PUSAKA NGAMARTA YANG DATANG KE KARANG KAPULUTAN)
KSB : “Ee, Nala Petruk, Gareng, Bagong, kowe ndang mrenea. Ki lho
sesembahanmu wis padha lenggah.”
P : “Inggih Pak.”
G : “Inggih Pak.”
B : “Inggih Pak.”
G : “Sik, aku tak takon.”
P : “Takon apa?”
152

G : “Sing teng clorot metu ndhuwurku mau apa?”


P : “Nah, dha ra pengalaman.aku mau tekan ngomah ya bareng kuwi, ning
aku ra medhun kana. Medhun terus tiba pang, pang anjlog terus njebluge
kowe mau. Ki mau pusaka Ngamarta Kang, Jamus Kalimasada, Tumbak
Karawelang, Songsong Tunggulnaga. Sing keri ki mau tumbake. Ngarepe
tumbak senjata cakra.”
B : “Kuwi lak kagungane Sinuwun Dwaraka ta?”
P : “Ha iya.”
B : “Ha kok melu rene.”
P : “Ha yo ben.”
B : “Oo, kangen ro pusakaku kuwi.”
G : “Pusaka kok komplot, ya ra ketemu nalar.”
P : “Ayo Reng padha diseboh Kyai Semar, diadhep para gusti-gustimu
Ngamarta.”
G : “Ayo ta. Siyaga tata-tata. Ayo Gong.”
P : “Alon-alon.”

Punika warnanipun pedhukuhan Karang kapulutan ya Kembang Sore, Karang


Kadhempul, Parang Pinaritis. Senajan ta kono mung mujudake pedhukuhan,
nanging sanyata rikala semana iku ingkang angripta pandhita ingkeng kagentur
tapane swargi Begawan Germani ingkang ambabar Tri Sasana. Tri wilangan telu,
sasana papan. Ingkang sepisan, ambabar pertapan wukir rehtawu ya pertapan
sapta arga ingkang minangka cumondhokipun pandhita ingkang turun saking
Begawan Germani. Ingkeng angka kalih, pesarean Giri Sarangan ingkeng kinarek-
narekaken para pandhita ingkeng turun saking Begawan Germani. Ingkeng angka
tiga, Karang Kapulutan, pedhukuhan ingkang minangka cumondhokipun
pamomong wiji ratu ya Ki Semar Badranaya Boja Gati Nayantaka. Momong putra
tiga kang gombaki kang kuncungi. Pambayun Gareng, panegak Kanthong Bolong,
kang ragil Ki Lurah Bagong. Natkala semanten lenggah mogok-mogok tenggok
melok-melok kaya tembok kerawan para sinuwun bendara Ngamarta, Prabu
Puntadewa kadherekaken rayi tetiga raden Harya Sena ya Raden Werkudara saha
rayi kekalih Raden Nakula Raden Sadewa. Natkala semanten kang datan bisa
pisah sakrikma pinarasasra bebasane Raden Angkawijaya ya Raden Abimanyu,
putra Madukara. Ing kono arep sowan ngacarani bendara ingkang nembe rawuh.
Kepareng lucitaning driya lathi Ki Semar Badranaya.

ADEGAN 15
(KI SEMAR BADRANAYA MENYAMBUT KEDATANGAN PRABU
PUNTADEWA BESERTA ADIKNYA)
KSB : “Ee, anakku Nala Gareng, Petruk, lan Bagong.”
G : “Kula Pak.”
P : “Kula Pak.”
B : “Dalem Pak.”
KSB : “Kowe padha kendela sakuntara. Aku tak manggihi marang
sesembahan.”
G : “Inggih, sendika Pak.”
153

P : “Sendika Pak.”

(Suluk)
Semar rika den prayitna. Eeee… Ooooong… Eeee… Risang mahayekti.
Oooong… Oooong… Sawusnya semedi. Oooong… Oooong… Munggwing
pacrabaan. A..e… Ana mulat wijiling sasangka.. wijiling sasangka… Oooo…
Sangking ardi karahaningtyas alon-alon ngendika… Oooonn.. triwagatra tundhu..

KSB : “Kowe ki meneng sik ta Le, aku tak nemoni bendara.”


B : “Mangga Pak.”
KSB : “Lha kok malah nyuwara Mak O.”
B : “Eman-eman nek ora ditabohi.”
KSB : “Wis kowe meneng-meneng karo mangan. Gusti kula sinuwun ingkang
nembe rawuh, sakderengipun nyuwun pangapunten. Kula ngaturaken
pambagya panakrama rawuhipun Gusti Nata Agung lan para bendara
kula sedaya.”
PP : “Kawula nuwun nampi pangestu Ki Semar kados mboten kirang
setunggal menapa.”
KSB : “Ee, mangke rumiyin ta. Lha kok njenengan kaliyan kula tata krama niku
dospundi?”
PP : “Tumpraping tata gelar panjenenganipun Kaki Semar Badranaya,
nanging mengging batos kula sampun mangertos bilih Kaki Semar
menika estunipun minangka dados tameng.”
KSB : “Inggih, inggih. Mpun. Mpun mboten sah ngendika kathah-kathah.”
RN : “Semanten ugi kula ngaturaken raharja Kaki.”
RS : “Kula semanten ugi ngaturaken raharja Kaki.”
RW : “Aku semana uga nampa pangestumu kaya ora ana alangan Kaki
Dhepol.”
KSB : “Inggih sokur Den.”
G : “Ndara Werkudara nek karo bapak kok muni Kaki Dhepol ngono ya
Truk. Jane karepe ya Kaki Jebol. Kaki Dhepol.”
B : “Nek ora ya Kaki Dhegus.”
G : “Kae lak nyela-nyela. Apa ana wong tuwa disebut Dhegus.”
KSB : “Ee, Ndara Abimanyu.”
RAB : “Kula nuwun wonten paring adhawuh.”
KSB : “Mboten wonten alane penjenengan atur sungkem.”
RAB : “Kepareng nyelani pangandikanipun Kaki.”
KSB : “Inggih. Sumangga.”
RAB : “Wa Prabu kula ngaturaken sembah pangabekti.”
PP : “Iya ya Ngger Abimanyu, tak tampa.”
RAB : “Rama Werkudara semanten ugi ngaturaken pangabekti.”
RW : “Iya Abimanyu, tak trima.”
RAB : “Paman kembar, sungkem kula konjuk, paman.”
RN : “Iya Ngger Abimanyu tak tampa.”
RS : “Iya Ngger Angkawijaya tak tampa.”
KSB : “Nala Gareng, Petruk, Bagong ra sah nyuwara.”
154

G : “Inggih Pak.”
RW : “Ora entuk nyuwara ya.”
KSB : “Mung Petruk sing takdhawuhi natkala semana ndherek kiswara rawuh
marang bendara kabeh. Wis padha rawuh lan pusaka nyata wis mlebu
ning padaringan.”
P : “Inggih Pak.”
KSB : “Ya taktrima ya Le. Pancen kowe ngestokake marang dhawuhe bapak.”
P : “Pangestunipun bapak kula suwun.”
KSB : “Heem. Ee, anakku sing isa tak percaya lagek kowe kok Ngger, Ngger.
Sing pinter minangka kanggo gawe sranane wong tuwa.”
P : “Inggih, pangestunipun bapak.”
KSB : “Sing Gareng mung thengak thenguk.”
G : “Inggih, pangestunipun bapak.”
KSB : “Hush. Thengak thenguk kok pangestunipun bapak.”
B : “Kalih kula Pak, nggih mung thengak thenguk.”
KSB : “Iya ya. Kowe ya kena nyambut gawe Thole Bagong.”
B : “Inggih. Inggih. Inggih. Sok nek bar rekaman kula ndherek nggih Pak.”
KSB : “Heem. Kejawi saking menika Gusti. Natkala semanten Petruk sowan
marang panjenengan supados matur bilih panjenengan kula aturi rawuh
supados abiyantu anggen kula badhe mbangun kayangan.”
PP : “Kula nuwun inggih Kaki. Namung kemawon senadyan ta sampun
wonten minangka dados tuladha para pusaka kasebat. Ewadene kula
sakadang dereng saged ngaturaken lan dereng mangertos menapa ta
werdinipun Kaki Semar badhe mbangun kayangan?”
KSB : “Ha niki. Kuciwani teng ngriki. Janipun ajeng kula tegeske wujudipun
para bendara kula pandhawa. Ning nyatanipun pandhawa niku kudu lima
kok mung ana papat. Ha niki Ndara Janaka teng pundi?”
PP : “Dhimas Janaka waunipun kenging pambujukipun Kaka Prabu
Dwarawati saengga kalimput dhateng kula sakadang.”
KSB : “Ha. Niki ngaten. Sedaya titah marcapada menika kasinungan kesagedan
kasinungan daya menapa kemawon, nanging ngaten menika nek ora
nganggo dhasar setiti ngati-ati niku tumprap wong mlaku sok kejeglong-
jeglong. Kadosdene lampahipun pandhawa ingkang minangka dados tepa
tuladhanipun para ratu nyatanipun Keng Rayi Raden Janaka gampang
kena pambujuk saengga ninggalke kadang. Mangka yen kadang lima kok
ilang siji ateges mpun dudu pandhawa.”
PP : “Kula ngaturaken kalepatan mbok bilih wonten lepatipun Dhimas kula
Janaka sakmenika. Ingkang kula suwun sediyanipun Kaki Semar
Badranaya menapa ta dipunsebataken badhe mbangun kayangan?”
KSB : “Nah, ngaten. Gandheng ajeng matur mangsa kagol omong kula.
Sakmenika panjenengan badhe mangertos isinipun batin kula,
penjenengan sedaya kudu bisa nglakoni mati sakjroning urip.”

Oooong.. Dening utamaning nata berbudi bawa leksana. Oooong.. Lir ingkang
bawa leksana mengkana dennya paring donya ageganjar saben dina. Lir ingkang
berbudi ngerti pangendika. Omm.
155

Cinarta nalika semana wong agung Ngamarta wus pinaringan pangandikan Ki


Semar Badranaya supados anglampahi seda saklebetipun gesang. Wusana ilang
kakedhepaken. Ora ngemongaken tiyang agung Ngamarta, sedaya para titah
marcapada pancen anggayuh utawi anggadhahiniyat kepengin badhe nindakaken
kados dening linang sukma seda saklebetipun gesang mboten lepat. Wonten
ingkeng saged maringi tuladha kados dene contonipun Nata Ngamarta wilang
kakedhepaken. Ing kono maruka wonten ing pedaringanipun Ki Semar Badranaya
sedaya pinanggih nugraha agung.

(Suluk)
Anjrah lir sang puspitarum. Katiyuping samirana amrih. Gandaning sekar
gadhung mangember. Oooong…
ADEGAN 16
(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA SAMPAI DI KARANG
KAPULUTAN)
RG : “Kula Sowan Kaki.”
RA : “Kula sowan Kaki.”
KSB : “Ee.. Ee.. Bareng muni, ketekan dhayoh. Prul-prulan. Ndara Gathutkaca
kaliyan Ndara Antareja.Sami wilujeng Den?”
RG : “Pangestunipun Kaki paring raharja.”
RA : “Pangestunipun Kaki kados mboten wonten alangan.”
RAB : “Kula ngaturaken pangabekti Kang Mas.”
RG : “Iya Dhimas Abimanyu.”
RA : “Iya Dhimas Abimanyu taktampa.”
KSB : “Kok panjenengan sami lenggah ndheku-ndheku dhateng ngajengan
kula.”
RG : “Estonipun kula mangertos piyambak bilih Wa Prabu sakadang sampun
wonten ngarsanipun Kaki anggenipun badhe nampi wejangan. Estonipun
kula menika nggih kadangipun pandhawa, putra kadang pandhawa
atmajanipun Rama Werkudara. Lha penuwun kula, kula kepengin badhe
minututi Wa Prabu lan Rama supados sami-sami mangertos wigatosing
pepanggihan menika.”
RA : “Kula semanten ugi Kaki.kepengin badhe mangertos menapa werdinipun
ingkang kasebat badhe mbangun kayangan.”
KSB : “Ee. Mboten kena. Mboten kena. Niku ngibarate wong meguru, bapa
karo anak bareng mboten kena. Kudu salah sawiji. Yen bapakne bapakne,
yen anake ya anake. Sing ora kena bareng sing nampa wejangan. Mpun,
sekecakke sing lenggah, kula tak teng pengkeran. Sekecakke Den.”
B : “Thak thuk thak thuk. Ambune ra enak.
RG : “Yayi Abimanyu.”
RAB : “Nuwun paring pangandika.”
RG : “Rumangsa kagol pikiripun Kakang. Dhimas ing Karang kapulutan wis
diwejang apa karo mbahe?”
RAB : “Sampun kathah ingkang dipunwedharaken Kaki lan estu damel
padhanging manah kula Kang Mas. Jane pun Kakang kepengen melu-
156

melu. Mbok menawi sampun cekap para pepundhen menika mangke


saged. Kang Mas Gathutkaca lan Kang Mas Antareja nampi wejangan.”

Mulata gegana katon teja kang sinawuran. Tejane katon lir kusuma. Lir kusuma
kawuryan. Ooong…

Pocapa anggenipun imbal wacana semana kandheg jalaran Raden Gathutkaca lan
Raden Antareja rumaos kagol ing penggalih. Nenggih ingkeng wonten jumantara
reksasa jim ingkeng wus darbe kekuwatan aji kumayang jati. Datan wenten janma
kang uninga wusana manjalma malih Raden Antareja. Kapanjalman jim maling
sukma Raden Antareja sakbalika gumregah malik ing brol markata rupa. Paningal
mondhar mandhir nyawang Raden Abimanyu kaya mestadaken singgat betatung.
Jumangkah padha sakala ngidak tangane Raden Angkawijaya. Kacoka
jangganipun. Sirna marahayu.

(RADEN ABIMANYU MENINGGAL)


RG : “Kadangku Yayi. Kowe keneng apa Abimanyu?”
G : “Ndara Antareja kok sok sadis.”
P : “Apa Reng?”
G : “Sadis. Karo Ndara Abimanyu tegele kaya ngono. Gumunku kok Ndara
Antareja latihan nyokot.”
P : “Rikala ana Ngamarta, Ndara Antareja, Ndara Sentyaki kuwi ro aku ora
akur.”
G : “Oo. Heem.”
P : “Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara Gathutkaca.
Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo aku wis nglenggana,
ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa Ndara Gathutkaca. Ateges
bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara.
Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki.”
RG : “Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare.”

(RADEN ABIMANYU DISEMBUHKAN OLEH KI SEMAR BADRANAYA)


G : “Turu ae. Turu ae Ndara.”
B : “Piye Reng kaya ngene iki? Wis, pokoke ngene wae urip ya dipasrahke
bapak, ora ya bapak. Sing marai nekakke tamu okeh ki bapak. Tamu
pirang-pirang ra menehi apa-apa. Pak.”
KSB : “Lhadalah. Gawe kaget.”
B : “Ketiwasan Pak.”
KSB : “Ana apa?”
B : “Ndara antareja mau nyokot Ndara Abimanyu. Saiki Ndara Abimanyu
seda.”
KSB : “Ngko dhisik, agek manembah.”
B : “Manembah ki mengko. Sing pokok kae diurusi.”
KSB : “Ee. Mengko dhisik.”
B : “Mengko dhisik kepiye. Selak piyayine. Ayo. Lha wong ana kedadeyan
kaya ngene mung clumak clumik.”
157

KSB : “Bocah iki nek goblog, lhadalah. Lha wong kowe ki anak Semar, kowe
anak Semar, kowe ya anak Semar. Ha kok sing tiru bapakne kok ora
nana.”
B : “Tiru kowe elek kabeh wong buntek kok.”
KSB : “Ee, wong tuwa dieneng-eneng. Brrt. Wungu.”

(Suluk)
Netra katon lir salira tunggal ciptaning sang abagus sang abagus.

B : “Ngandel ora kowe bapak agek kesinungan. Mung Brrt kok mari. Ya ta?”
G : “Ha ya.”
B : “Padhakne karo gendhing pangkur sing ngendhangi tak dhung plak
dhung plak ya wangun. Nek cara awake dhewe ngerti gendhing ya brrt.”
RAB : “Petruk.”
P : “Nun.”
RAB : “Ana apa iki mau Truk?”
P : “Wah, kepripun. Ndara niki wau dicokot Ndara Antareja wusana nganti
kantaka. Penjenengan ingkang ngusadani bapak. Mergi saking menika
Den, Ndara Gathutkaca njur mboten trima. Niki Karang Kapulutan onten
kedadeyan sedulur karo sedulur. Ndara Gathutkaca karo Ndara Antareja
dha kerengan.”
RAB : “Adhuh. Aku ra seneng yen kedadeyan kaya mengkono. Kowe metua
njaba kono Petruk. Kangmas pisahen nggone panca.”
P : “Inggih. Yo Reng.”
G : “Iya.”

(Suluk)
Oooongg… Oooong.. Ye kata sang Gathutkaca kinen Nampak arga suta, arga
suta. Mulat mengandhap tumingal wadyabala kalamangga tuwin saking jumantara
mir sang napati karna. Ooong..

ADEGAN 17
(RADEN GATHUTKACA BERPERANG DENGAN RADEN ANTAREJA)
RA : “Gathutkaca ana apa kowe rene, He?”
RG : “Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang
Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati
merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.”
RA : “Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-
apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya
ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake
apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah
nggugu karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca.”
RG : “Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja
ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa.”
158

RA : “Aku ora nrimakake yen para pepundhenku, ming karo Semar kok
dianggep.”
RG : “Ayo nutut banda.”
RA : “Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati.”

(PETRUK DAN BAGONG MEMBAHAS PEPERANGAN ANTARA RADEN


ANTAREJA DAN RADEN GATHUTKACA)
P : “Gong, Ndara Antareja lan Ndara Gathutkaca nek disawang seka
kadohan meh padha.”
B : “Ha wong sedulur kok. Ketoke kakak beradik ning ora padha ki lak aku
karo kowe.”
P : “Heem.”
B : “Ha iya ta. Ketoke kakak beradik ning jane dhewe-dhewe. Contone
upamane kaya aku kabeh ya nggantheng. Ha nek kowe karo aku ya kaya
lenga karo banyu.”
P : “Ah dapurmu.”
B : “Semantakna ayo okeh-okehan Reng, lak ya apik aku. Mula anak-
anakane putune bapak kuwi ya sing apik turun Bagong. Ora ngandel,
sawangen, anakku sing jenenge Asri. Huuh,,kae turun Bagong asli. Ha
rak beda beda ta. Coba karo mbokne adoh suk sate, ayu Asri.”
P : “Karo bojomu?”
B : “Ha iya.”
P : “Bojomu anake ayu biyen nyeleweng.”
B : “Cangkemmu.”
P : “Aku gumun banget nek le antem-anteman ora maido, padha. Ning kok
bareng Ndara Antareja kepepet nyokot, aku ra patek percaya.”
B : “Aku malah mesakake singdicokot kuwi Truk. Nek ra isa ngrampungi
kepiye coba?”
P : “Takgolekna Ndara Antasena.”

ADEGAN 18
(PETRUK MENGHADAP RADEN ANTASENA)
RAN : “Petruk mlayu-mlayu.”
P : “Inggih Den.”
RAN : “Piye kaanane Karang Kapulutan?”
P : “Sae.mboten wonten napa-napa. Keng Wa, Keng Rama, Keng Paman
mpun manut lan manunggal. Wigatosipun sampun cocok kados ingkang
dipungendinkaken kaliyan Ndara wonten Ngamarta wau.”
RAN : “Rak tenan ta.”
P : “Lajeng saksampunipun Ndara Sena ndherekaken Keng Wa, lan pirsa
mboten ngerti, pokoke ilang kula kedhepke. Njuk Keng Raka kekalih
rawuh.”
RAN : “Kakang Gathutkaca lan Kakang Antareja?”
P : “Inggih. Dha ndheku-dheku teng ngarepe bapak. Ha bapak semaya sesuk
nek wis rampung. Niki agek nggulawenthah sing tuwa, mboten kena ing
159

atase meguru kok bapa karo anak bareng. Ha bapak mlebet teng
senthong. Ha kok Ndara Antareja niku njangkah, Ndara Abimanyu
dicandhak terus dicokot.”
RAN : “Oo, iki mau. Ha apa wingi?”
P : “Ha nggih niki wau.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Semaput. Ndara Gathutkaca njur nesu. Njur kerengan Ndara Gathutkaca
karo Ndara Antareja.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Ndara Abimanyu sing nguripke bapak.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Anggenipun pancakara niku mboten wonten sing kalah mboten wonten
sing menang wong kula karo Bagong nunggoni. Ndara Antareja niku
nyokot kados buta, Ndara Gathutkaca kantaka. Kula karo Bagong nduwe
penemu nek mboten penjenengan ora isa.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Rampung. Niki kula kalih panjenengan tindak dhateng papan ngrika.
Nek mboten panjenengan mboten mlampah. Saged meper
kamurkaninipun raka kekalih.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Nggih Ndara Antasena kudu nggunakke kepinteran. Kepiye carane.”
RAN : “Ha njur?”
P : “Njar njur njar njur.”

(RADEN ANTASENA DAN PETRUK DATANG KE TEMPAT RADEN


ANTAREJA DAN RADEN GATHUTKACA BERPERANG)
RAN : “Wis tak tiliki le kerengan Truk.”
P : “Njur?”
RAN : “Mulane Kakang Gathutkaca ketemper jalaran Kakang Antareja kae kaya
dudu karepe dhewe.”
P : “Oalah. Njur?”
RAN : “Njur udelmu bodong.”
P : “Nek kepepet njuk udel.”
RAN : “Padune nirokke aku, njar njur njar njur.”
P : “Jajal a taktinggal lunga piye.”
RAN : “Iki nek ora isa ngilangi sing manggon ana Kakang Antareja ora bakal
bisa peper kamurkane. Meh ning ngendi Truk?”
P : “Weruh e. kula sumanggaake Ndara, mangsa bodhoa.”
RAN : “Tak tandangane ya.”
P : “Inggih.”

(RADEN ANTASENA BERPERANG DENGAN RADEN ANTAREJA)


RA : “Iki Antasena rene.”
RAN : “Heem.aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga
janma. Nek kowera roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga.”
RA : “Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga.”
160

RAN : “Tak tandingna aku.”


RA : “Aduh Dhimas, pun Kakang wis tobat.”
RAN : “Kowe ki kok senengane nyuwungke jagad. Petruk.”
P : “Nun.”
RAN : “Kakang Antareja wis mari.”
P : “Ha nggih, sokur.”
RA : “Aku tobat Dhimas.”
RAN : “Wis kana lungguh kono. Kakang Gathutkaca diprepegi njaluk ngapura.”
RA : “Iya. Nang ngendi wonge mau?”
P : “Teng petengan ngrika.”

(PETRUK KESURUPAN)
RAN : “Sing ngati-ati iki akeh lelembut padha nglambrang. Kowe sing ngati-ati
lho Gong.”
B : “Inggih. Mangke kula kalih Petruk tata-tata.”
P : “Ora ana Antasena lho Gong.”
B : “Aku ngerti kok Truk. Kowe kudu sing mawas, iki ana setan mawut.”
P : “Setan kok mawut sing ngejemi sapa?”
B : “Ya kudu digolekke wadhah, ora digolekke wadhah mbebayani.”
P : “Kowe arep nyathek aku kowe, He?”
B : “Kowe ki ngapa Truk?’
P : “Ngapa, ngapa. Minggat. Dudu menungsa kowe. Ayo, lunga, lunga.”
B : “Petruk edan.”

Disk 7

(RADEN ANTASENA MENYEMBUHKAN PETRUK)


RAN : “Kowe ki ngapa?”
B : “Wadhuh, Petruk edan.”
RAN : “Ya nggene?”
B : “Ngantemi kula niki teng penyonyong niki. Petruk mboten nate nyuwara
napa-napa ning niki wau ngonekke kula kok dudu wong kowe, asu
kowe.”
RAN : “Dionekke kaya asu?”
B : “Inggih.”
RAN : “Mangka jane?”
B : “Nggih cocok. Tulung nggih Den, Petruk ditambani nggih Den. Kula
semelang niki mangke nek balik anake nek dha diantemi wong Petruk
wau ora nggenah.”
RAN : “Wis ra urus.”
P : “Ha iki nek ra kleru Raden Antasena ditutke karo kudanil.”
RAN : “Meneng wae lho Gong.”
P : “Ayo. Ayo. Ayo. Ayo maju. Ora gelem menehi panganan aku, tak until
kowe.”
RAN : “Ee, njaluk tak ajar kowe.”
P : “Nyuwun ngapunten nggih Den.”
161

RAN : “Kowe mau ngapa Truk?”


P : “Mumet e rasane. Gek ndelokke mburi kono gething. Wong kok kaya
memedi ngono.”
RAN : “Sing ngati-ati, aku taknemoni Kakang Gathutkaca.”
B : “Mau kowe ngonekke apa karo aku?”
P : “Ora ngonekke apa-apa.”
B : “Ora ngonekke apa-apa piye. Aku kok onekke asu kok.”
P : “Ning aku ra ngonekke Gong, tenan kuwi.”
B : “Apa aku salah krungu? Ngati-ati ki okeh setan mawut, kowe tata-tata tak
kon ngati-ati aja nganti kelebon setan. Kowe baung! Ayo kowe lunga,
aku wis gatel sirahku. Ayo lunga, ngko ndak tak kamplengi. Ee, lunga,
lunga, lunga. Adhuh, adhuh, bingung iki aku. Yung, adhuh. Iki kudune
aku balik Gedhangan. Bingung temenan iki. Yen nggodha dewi Kasemo
cilaka iki.”
P : “Gus Antasena, ketiwasan Gus. Bagong gemblung.”
RAN : “Ndi wonge?”
P : “Ha nika wonge.”
RAN : “Edan pa kowe?”
B : “Oo, mboten kok. Mpun mari. Ha nek kula wau mpun edan Petruk kula
kampleng ning separo kelingan separo ora. Niki wau sing ketok kok
bojone kasemo.”
RAN : “Kakang Gathutkaca kon rene Truk.”
P : “Inggih. Gus, niki lho dikersakaken ingkang rayi.”
RAN : “Kang.”
RG : “Apa Dhimas?”
RAN : “Saiki gunakna kagunganmu sumping suket sulanggana siti. Kuwi nek
disipatke mripat rak isa weruh setan ya Kang.”
RG : “Oo, ya bisa Dhimas.”
RAN : “Lha coba.”
RA : “Mbok coba dititi priksa Yayi.”
RG : “Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa.”
RA : “Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi.”
RG : “Sendika.”
RA : “Aku njaluk supaya bisa weruh setan piye Dhimas?”
RAN : “Oiya kowe ora nduwe ya Kang. Nyoh, tak caosi nek mbok menawa
priksa.”
RA : “Aku ora trima didu karo sedulur. Kecandhak, antemane buta iku.”
P : “Kula paring Gus. Ora trima. Kula wau nggih didu e. nganti Ndara
Antasena tegel kalih kula ta wau.”
RAN : “Hem.”
B : “Kula. Ajeng kula ngge ngantemi buta. Ha wong kok meh didu. Ha
sujana nek ketoken.”
RAN : “Kowe arep njaluk?”
B : “Inggih, ben weruh.”
P : “Nyoh Bagong.”
162

B : “Dhuh kowe ketok peteng. Setane peteng kaya ngono e. wadhuh, nek aku
njuk ra weruh dalan, ning ketok setan tok. Hadhuh. Ndara Antasena
njenengan teng pundi?”
RAN : “Ning kene. Lha kowe ngapa ta?”
B : “Ha mboten weruh e. ha kok le ngleleti ora cocok.”
RAN : “Aku ora ngleleti.”
B : “Adhuh nek ra isa mari le kulak pasir piye.”
RAN : “Kok kapakke ta Truk?”
P : “Kula paring lendhut.”
B : “Wah, jan Petruk ki jan ora weruh temenanan. Mulane kok peteng
ndhedhet wer liweran.”
RAN : “Nyoh. Nyoh.”
B : “Ha ngene weruhe. Apa ana wong mlaku kok miring? Ya dianu kabeh ta
Gus.”
RAN : “Wah, kowe ki jan. mula mata ki aja amba-amba.”
B : “Nah, rak kaya ngene ta. Wa. Wa. Wa.”
P : “Wong buta ning kana wis nggereng kowe kok.”
RAN : “Ngati-ati Truk ditututi Kakang Bagong.”
P : “Inggih.”

(Suluk)
Yirsa Kendra katon lir sang manganak anu. Manebak manelpindha singa anepda
lawan. Ooong..

ADEGAN 20
(MALING SUKMA BERPERANG DENGAN RADEN GTHUTKACA DAN
RADEN ANTAREJA)
MS : “Wah, Gathutkaca nututi aku.”
RG : “Kowe sapa?”
MS : “Maling sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya
aku mateni Siwa Badranaya.”
RA : “Ora. Minggata. Pothol sirahmu. Ora urus buta buthak. Kowe gawe
cilakane aku akro adhiku gathutkaca. Tangia, sembur blasahmu.”
MS : “Mati aku. Antareja, gathutkaca dha tembayatan.”
MS : “Ki ngapa ta klithikan ki? Hah, nguyuhi aku ki lho.”
P : “Ana swara ra ana rupa.”
MS : “Wah, ora urus. Gek gathutkaca karo Antareja ora dha ketok, candhak
bara mangsa e.”

RA : “Aku gek arep perang, aja clila clili.”


B : “Anu kula niki weruj penjenengan ambles ki seneng. Mbok kula diwirid
Den.”
RA : “Men napa?”
B : “Men saged ambles.”
RA : “Ha rak kowe sowan ning njangkar bumi.”
B : “Halah, teng ngriki rak mboten napa-napa Den.”
163

RA : “Isa ambles ning ora jeru.”


B : “Cethek-cethek wis gelem wis.”
RA : “Iki kum-kuman ali-ali diombe.”
B : “He, ana mbeleke ya.”
MS : “Gathutkaca karo Antareja. Satriya loro kok mbotohke aku. Untal malang
sawiji.”
MS : “Kae mau apa ya?”
B : “Ayo, tandhing karo aku. Wakile Ndara Antareja.”
P : “Gong, Gong. Ee, kowe aja ambles Le.”
B : “Sebabe?”
P : “Ora jero malah ngrusakke lemah e. lemah apik-apik njur dha mredhul-
mredhul.”
B : “Aku seneng e.”
P : “Seneng okeh sing rusak po? Ngrusakke teke wong-wong.”
B : “Sesuk nek ngulon?”
P : “Metu kidul. Aja metu ratan gedhe, ngrusakke ratan.”
MS : “Ngrembug apa ya kae ya. Kudune salah siji ana sing tak entekke. Mboh
Antareja mboh Gathutkaca tetep tak candhak.”

(ADEGAN 21)
(MALING SUKMA BERKELUH KESAH DENGAN MALING RAGA)
MS : “Wadhuh, ketanggor wong edan. Wadhuh, Antareja meh arep mati,
ngantem ora tak gawe rasa, Gathutkaca ya ketoke wedi. Bagong tak
getak kayane kontal kok metu meneh. Awakku digebyok-gebyok
nganggo ngangkrang. Aku awake kenceng dicokoti ngangkrang, suwe-
suwe kendho.”
MR : “Ha dha ning kene barang.”
MS : “Dhi.”
MR : “Nun.”
MS : “Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan.”
MR : “Wuuh, paling ya kalah.”
MS : “Ora karu-karuwan.”
MR : “Mpun nek saiki sampeyan kalah ganti jeneng. Ora nganggo jeneng
maling sukma wong nyatane kalahan. Mamilih diparap parlin apa
gimin?”
MS : “Hah, padha wae. Tinggal mundur dha diatur.”

(Suluk)
Miyat miyut lakuning angin sumawur kang ambabar geganda. Kasiliring mandra,
mandra.
RAN : “Buta sing calon mbebayani wis ilang tak kedhepake Kang.”
RG : “Iya Dhimas.”
RAN : “Lha iki aku perlu nyaosi Kakang Gathutkaca. Bebaya kang tumeka ing
Karang Kapulutan ora ming iki lho Kang. Kabeh para putra-putra kudu
164

sing ngati-ati. Lan Petruk semana uga kowe kudu ngubengi tetangga.
Sakjrone ana kedadeyan ngene supaya sampur janur kuning, ing njero
kudu diilan-ilani nganggo dedhasar kang bisa nolak sakliring bebaya
alus.”
P : “Inggih. Kula mpun ngerti Den.”
RAN : “Sokur. Kakang Gathutkaca lan Kakang Antareja kudu ngaso karo
ndelengake kaanan pedhukuhan Karang Kapulutan kang bakal
tinempuh bebaya.”
RG : “Iya Dhimas.”

Jejer Manyura
Natkala semana Raden Gathutkaca saha para putra pandhawa ingkang tansah jaga
rumeksa ing Karang kapulutan ingkeng wonten jumantara Sang Resi Mayangkara.
Kocapa minangka ingkang sinabeting cinarita, natkala semana pepanggihan
wonten saklebeting padaringan. Para pandhawa ngadhep marang Sang Hyang
Padawenang. Wusana imbal wacana alon pangandikanipun. Eeng.. Ooong..

Alon tata lenggah nira. Ooong.. Ingkeng dumunung wonten sasan sepi ya ateges
wonten panepen padaringan Sang Hyang Padawenang ingkeng natkala semanten
mimpin mindho jalatri, esti manah, tansah hangarsa ingkeng wayah para
pandhawa. Ingkeng wayah Prabu Puntadewa, Raden Werkudara utawa Raden
Janaka, Raden Nakula, Raden Sadewa. Nanging kaya ngapa kagete Sang Hyang
pada priksa keng wayah hamung wonten catur tunggal. Cuwaning penggalih Sang
Pada datan bisa sesarengan hanggenipun nampi marang pengendikanipun.
Ewadene marwane iku wus pinaringan sabdane nur cahya kinen ambabar
pangandikan marang para wayah ingkang pantes minangka dadi tuladhaning para
ratu pun satriya mancanegari. Ing kunarso rukmeng daya kepareng luciting driya
kang kawiji dhateng lathi. Eeng.. Ooong..

Sasangka wusrumangsang wayah sumuluh amadhangi puncak ing gunung-


gunung. Sirna kumedhaping kartika kasultan liwang pratandha mijil katandha wus
gagad rahina. Ooong.. Sumiting samirana ambabar ganda kang arum. Ooong..
remu-remu tumawing bawana. Sidheng telenging wanadri. Oooong.. Kukila
munya tetimbangan aneng panging mandira kapiyarsa swaraning mabuk
srigunting. Eng..

ADEGAN 22
(PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIKNYA MENDAPATKAN
WEJANGAN DARI SANG HYANG PADAWENANG)
SHP : “Wong ngajwaladisan palungguhan kulun Puntadewa?”
PP : “Nuwun wonten paring pangandika.”
SHP : “Kita kabeh padha basuki.”
PP : “Kula nampi pangestunipun pukulun kanthi karaharjan.ingkeng wayah
ngaturaken sembah pangabekti konjuk saandhap pada.”
RW : “Aku semana uga, sembahku tampanana.”
165

RN : “Kula ngaturaken pangabekti kulun.”


RS : “Kula ngaturaken pangabekti kulun.”
SHP : “Iya, iya, kulun tampa. Punta.”
PP : “Kula.”
SHP : “Natkala semana kulun dhawuh marang Ismaya supaya mboyong
pandhawa kumpul ana ngarsa kulun ingkang perlu bakal kulun paringi
seserepan ingkang jumbuh marang tanggung jawab kita kabeh.”
PP : “Kula nuwun inggih.”
SHP : “Kita darbe pusaka iku rikala semana seka sapa?”
PP : “Tri sangking Prabu Yudhistira ingkang wujud Jamus Kalimasada malah
keleresan kulun. Inkeng wayah dereng saged mangertos isinipun Jamus
Kalimasada.”
SHP : “Lha Jamus Kalimasada kuwi kudu jumbuh kelawan pandhawa.
Pandhawa kuwi anane lima kok dadi mung papat ateges ora bisa
jumbuh kelawan isine Jamus Kalimasada. Jamus ki kapercayan jati.
Yen wis kena pusaka kuwi wus ora kena pambujuk dening kawruh
liyan, jalaran isine kapercayanan iku mung ana telung perkara, mantep,
mandhep, marep sepisan. Kang angka loro, percaya marang kang nyipta
jagad. Ingkeng angka telu kang jujur iman lahir tuwin batin. Yen liyane
telu iku wis ora nana. Senajan ta kita percaya ning nyatane gampang
kena pambujuk, imanmu gampang dhoyong. Ora ana paedahe nggonmu
nyekel jamus kalimasada. Kelima, wilangan lima. Panenggah kita ana
limang perkara, wektune beda-beda. Ingkang pungkasan, usada. Usada
iku yen kita bakal mangerti tumprape wong loro tetamba, sapa sing
ngusadani. Ning gandheng iku kapercayan kita kudu bisa ngusadani
sakliring tumindak ing angkara murka. Ora mokal yen Puntadewa
tansah nyingkur marang jembaring bumi, ngiwakake marang donya lan
brana ning nengenake marang tingkah laku kang utama patut dadi
kiblating para manungsa. Lha yen panembah lima kok mung ana papat
lak ora genep.”
PP : “Kula nuwun inggih matur sembah nuwun.”
RW : “Aku kepengin ngerti tanceping agem-ageman sing wis diparingake
marang Dewaruci bapakku. Blung mangkara nata.”
SHP : “Kuwi candraning kawula gusti. Senajan ta kita dadi gusti ning ora tresna
marang kawulamu ora paedah. Gusti mangerti marang kawula ana apa-
apane kawula kudu bisa tanggung jawab, ning kawula ya kudu ngerti
marang gusti.”
RW : “Cudhuk kang dipupuk jaroting asem.”
SHP : “Kumpuling rasa. Pangrasaning si Werkudara.”
RW : “Gelang candrakirana.”
SHP : “Candra wus ngarani wujud. Kirana, mubeng. Wujuding urip marcapada
kabeh manut mubenging jagad lan kaanan. Ana kalane bungah ana
kalane susah. Uga ana kalane nampa nugraha. Ning uga ana kalane sing
bisa mrihatinake marang jeneng kita.”
RW : “Kampopoling pintu lajikip.”
166

SHP : “Kiblat papan mapane kang dunung ana wetan, kulon, lor, lan kidul. Yen
jeneng kita bakal mangerti.”
RW : “Emm. Kabeh wis padha kumpul. Aku mangerti marang tandhege
sumping pudhak sinupet.”
SHP : “Anggon kita tansah bekti marang kang mahakuwasa. Mula Gathutkaca,
Puntadewa sakadang iku gambare janma kang cinipta manembah
marang gustine. Mula digambarake Werkudara ngadeg jejeg,
Puntadewa tansah eling marang tanggung jawabing urip.”
RS : “Kulun, menawi ingkeng wayah badhe mangertos sangkan paraning urip
sampurna ing dumadi.”
SHP : “Sangkan paraning urip kita Ngger, tak kandhani. Rikala jaman kita
durung medun ana marcapada isih ana awing-awang uwung-uwung
kang dumunung sawiji cipta. Kita tansah nut lakuning dhawuh,
pinanggih rama lan ibu kita, kita mapan ana sakndhuwure, sakwise dadi
garwaning kita durng ana granane sakpiturute mengko banjur kita
dedunung ana saktelenging kalbu satemah nganakake pinipanca. Kita
titah ana marcapada kang wus darbe nur saengga candra. Nur eka
candra dadi lan ing ati nur nawa candra. Iku ana lakune dhewe-dhewe.
Yeng nganti tak wedharke ana kene nggladrah. Sing baku kaya
mengkono kita kudu dumunung ana marcapada ngerti alam kang
gumilar. Titah marcapada ngerti alam kang gumilar ateges ngerti alam
pitung perkara. Sepisan alam kang gumelar. Angka loro alam bayi. Bayi
iku ora duwe daya apa-apa kajaba mung dayane ana alam pangimpe
nendra. Ingkeng angka papat alam timur. Kang angka lima alaming
diwasa. Kang angka nem alaming sepuh. Kang angka pitu alam
langgeng. Mengkono Nakula lan Sadewa.”
RS : “Matur sembah nuwun Kulun.”
RN : “Nuwun aparingan dhawuh.”
SHP : “Kita majeng mrene kulun paring pusaka minangka piyandel kena kok
tularke lank ok paringke marang kabeh para kawula kang aran
njitapsara ngelmu sejati.”
PP : “Matur sembah nuwun pukulun.”

(Suluk)
Meh rahina semubang iwang aruna kanidi netraning agarepuh. Ooong.. Sabdaning
kukila lir kanigara ring kanigara saketer kidunganingkung, kidunganingkung. Lir
winising pinipancapa tekaping ayam wana. Ooong.

SHP : “Wus kita tampa?”


PP : “Sampun.”
SHP : “Kabeh iku mau dadi wewarah kang becik. Mbesuk yen wis kumpul
kadang-kadang kita, jer kabeh iku mau sih gampang kena coba. Citapsa
kasebut kena minangka dadi piwulang kang becik marang kabeh para
kadang lan kawula.”
PP : “Matur sewu sembah nuwun.”
167

SHP : “Ingkeng pungkasan, kita neng Karang Kapulutan kudu kok genepi catur
dasa dina. Tansah nenepi aneng Karang kapulutan. Aminta tetulungan
marang Ki Semar Badranaya.”
PP : “Nun ngestokaken dhawuh Kulun. Kula kepareng nyuwun pamit.”
RW : “Aku njaluk pamit.”
RS : “Kula nyuwun pamit.”
RN : “Nyuwun panembahing pangestu Kulun.”
SHP : “Sing padha ngati-ati.”

ADEGAN 23
(PRABU PUNTADEWA MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA)
KSB : “Mangke ta Sinuwun.”
PP : “Kula Kaki.”
KSB : “Pripun? Dipundukani kaliyan Pukulun Padawenang?”
PP : “Inggih seklimah kalih klimah pun dukani. Lan estu-estu pandhawa
menika dados gegambaran jumbuh kaliyan isinipun pusaka jimat
kalimasada.”
KSB : “Nek digatekke tapi. Ning nek mboten nggih mboten.”
PP : “Sampun dipuntegesaken.”
RW : “Aku ya wis kalegan bisa ngerti.”
RS : “Semanten ugi kula Kaki sampun mangertos sangkan paraning sampurna
ing dumadi.”
KSB : “Nah, njur ingkang pungkasan ngendika kepripun?”
PP : “Kula supados kandheg wonten ing Karang Kapulutan saklebetipun catur
dasa dinten.”
KSB : “Ha, mpun sakniki lenggah wonten Karang Kapulutan ngriki nggih
dhaharipun dhahar cara dhusun.”
PP : “Mboten dados menapa.”
KSB : “Mpun mangga.”
PP : “Sena.”
RW : “Apa?”
PP : “Ayo lenggah ana panepen.”
RW : “Tak dherekke mbarep kakang.”

G : “Pak.”
KSB : “Hem.”
G : “Sinuwun wau mpun pepanggihan kalih bapak?”
KSB : “Wis.”
G : “Nggih sokur. Njuk bapak sakniki taksih sering semedi mboten?”
KSB : “Lha ya isih lha wong tanggung jawab.”
G : “Nggih sokur saged wilujeng dhateng para putra wayah.”
KSB : “Kene mengko arep ana tamu e.”
G : “Tamu? Nggih mangke kula sing nggawa kembang menyane.”
KSB : “Padahal milik rokoke ta, dhapurmu.”
G : “Lha pancen niku pati urip e.”
168

(Suluk)
Kacarita natkala semana Ki Semar Badranaya wus dhawuh marang putra Nala
Gareng. Kocapa reksasa ingkeng dhateng wonten pedhukuhan Karang Kapulutan.

Sutra dewa kang manganuk anung. Ooong.. Dinulu nir surya kembar. Tutu yayah
lenging gutaka mingis siyung kadulu mawa prabawa. Eeeng..

ADEGAN 24
(BATHARA KRESNA YANG MENYAMAR MENJADI RAKSASA
MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA)
BK : “E. e. e. e. Kowe sing jenenge Tumar.”
KSB : “Buta rada kocak iki. Wong Semar kok Tumar. Buta ngendi kowe, he?”
BK : “Kreyang kabur kanginan tanpa dhongkotan. Jenengku Digdya
Jajalanak.”
KSB : “Oo, lha memper.”
BK : “Semar.”
KSB : “Hem.”
BK : “Aku teka mrene kongkon sing murba lakuku ora sembarangan
manungsa nanging mustikaning dewa pukulun Bathara Guru. Dina iki
kowe ditimbali supaya menyang kayangan bareng karo aku Mar.”
KSB : “Hahaha.. Hehehe.. Lha kok dadi aneh temen kongkon kok kongkon
buta. Guru ki adhiku, anak-anakku okeh nang kana. Sing anakku dhewe
ana sepuluh nang kana. Ha kok kongkonan buta. Kowe buta ngendi
jal?”
BK : “Aku ra nduwe papan.’
KSB : “Lho rak tenan ta. Bojo nduwe ora?”
BK : “Ora.”
KSB : “Kowe aja mungkir. Bojomu ki telu. Ora sah ndadak lewa-lewa. Iya ta?”
BK : “Ora isa.”
KSB : “Ora isa. Ora isa piye?”
BK : “Ming karek kowe manut karo aku.”
KSB : “Ora. Aku ora arep manut. Ora butuh tepung karo buta.”
BK : “Yen ora manut aku arep..”
KSB : “Arep apa?”
BK : “Tadhah teleng.”
KSB : “Jajal mangkata.”

(GARENG MELAPORKAN KEDATANGAN RAKSASA YANG MENEMUI


KI SEMAR BADRANAYA)
P : “Hah, hah, hah. Kowe ki nek mlayu aja banter-banter Reng. Tenagamu
wis sekeh. Sikilmu wis pincang, ya ta. Ambeganmu dhelok-dhelok
kempis-kempis. Ha kok mlayu banter ra jamak ngono lho. Ora-ora
ditinggal.”
G : “Tinggala ya rapapa wong aku nduwe dhuwit.”
P : “Lha ana apa?”
RA : “Tak takonane Truk.”
169

P : “Inggih taken mawon. Ora ngaku blaka tak idak-idak kowe.”


RA : “Ana apa Reng?”
G : “Ngeten nggih Den, kula wau rak sowan keng eyang nggih kakekne
ngaten. Wonten ngriku nembe ngendikan kalih Keng Rama, Keng Wa,
Keng Paman. Sareng Keng Wa, Keng Rama, Keng Paman kasebut
mlebet wonten ing senthong, ha njuk onten buta. Buta niku takon bapak
nggih ngoten nika. Bapak le wangsulan kalih ngentut. Kula kontal
bablas nganti tekan kene.”
RA : “Butane mau ngapa?”
G : “Kowe ditimbali ing kayangan Mar. Butane wau nyeluke Tumar e. ora
tadhah rumangsa, bapak dioyak Den.”
RG : “Kang, taktandangane.”

(Suluk)
Mancat pundhak ngasta jangga. Gunggung gumlundhung, gunggung
gumlundhung rawe rantas malang pinutung-putung. Eeeng..

BK : “Ha, kowe Gathutkaca.”


RG : “Kowe sapa?”
BK : “Jaja Lanang. Aja kowe sing maju, Semar kok ketok. Antemane.”

RAN : “Sembahku konjuk Kaki.”


KSB : “Nggih, kula tampa Den.”
RAN : “Kaya rame-rame.”
KSB : “Ndara Gathutkaca, Ndara Antareja, Ndara Sentyaki arep nyekel buta.
Ning kuwat banget butane gedhene banget. Mangka buta niku diantem
jan mboten nggendut.”
RAN : “Wis, aja semelang. Aku ngerti Kaki.”
KSB : “Ee, sokur Den yen pirsa sami kaliyan kula.”
RAN : “Lenggah kana Kaki.”
KSB : “Eeh, wong tuwa dha diupret-upret.”
RAN : “Reng. Truk. Gong”
P&B : “Inggih.”
RAN : “Iki ana buta sing nyalawadi. Saiki ayo dipethukke.”
G : “Wah, Ndara Gathutkaca, Ndara Antareja mawon kemeng kok. Kula niki
mangke nek mboten dadi silit.”
P : “Pripun carane Gus sing ngalahke?”
RAN : “Aku mengko tak ngetutke, kowe dha nyuwaraa nek isa. Teguh rahayu
yuwana slamet. Slamet kersaning dewa.”
G : “Wah, mboten apal kula.”
RAN : “Kajate ora dadi ngono wae.”
G : “Ha nek niku gampang.”
P : “Kula nggih ngoten niku?”
RAN : “Hoo. Karo Gareng kiblat lor karo kidul.”
P : “Kajate ora dadi.”
B : “Mangsa dadia. Dadi ra menyang ya ora dadi ya.”
170

RAN : “Aku ro kowe bareng. Teguh rahayu slamet. Slamet ngarsaning dewa.”
B : “Alah, bar mulang kok langsung lunga. Ha ya lali aku. Teguh rahayu
wuyana kuwi adhine slamet. Teguh rahaayu yuwana karo slamet nang
nggone siwa.”

Disk 8

(BATHARA KRESNA BERTEMU DENGAN GARENG, PETRUK, BAGONG,


DAN RADEN ANTASENA)
G : “Hah, semono gedhene. Haah.. Iku nek mithing rak ya..”
BK : “Ha iki tak nggo sarapan.”
G : “Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Kajate ora dadi jadahe ora dadi. Kajate
ora dadi kajate ora dadi.”
BK : “Wadhuh, malah yer-yeran sirahe.”
G : “Truk, ayo Truk muni kajate ora dadi. Lunga butane.”
P : “Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Ning nang ning gong.”
BK : “Adhuh mati aku. Punakawane dha edan. Methukke aku dha nyuwara.”
RAN : “Teguh rahayu slamet. Slamet seka kersaning dewa.”
BK : “Lha iki sing mimpin iki.”
RAN : “Le mlaku ya themplek-themplek.”
B : “Wadhuh. Teguh. Teguh. Teguh. Wiyana. Wiyana. Iya ta? Nak nggone
slamet bener ra? Teguh nak nggone slamet karo siwa. Halah mandi e.”

(Suluk)
Kocapa rikala semana gandarwa den bujeng dening punakawan sirna wujuding
buta.
Macan mudhun sangka gunung anut ilining tirta nalusuping wana wasa, wana
wasa. Eeeng..

RJ : “Kados pundi Kaka Prabu?”


BK : “Yayi arep weruh?”
BK : “Ketiwasan Yayi. Ketiwasan. Punakawane dha diulang karo anakmu
Antasena nganti pun kakang kejodheran. Pun kakang tak matur Sang
Hyang Guru mangsa bodho si adhi kang tumandang.”
RJ : “Lenggah kula tandangane.”

ADEGAN 25
(RADEN ANTASENA MELAPOR KEPADA KI SEMAR BADRANAYA)
KSB : “Ee, baguse Ndara Antasena.”
RAN : “Iya Kaki.”
KSB : “Butane mpun mboten wonten?”
RAN : “Wis. Ilang sipate buta. Iki mau sejati badhare Wa Kresna.”
KSB : “Oo, nak ra tenan. Mula kula wau mpun matur arepa buta kae wong kowe
nduwe Negara, bojone ya telu.”
G : “Hoo e, kaya aku e.”
KSB : “Ha mulane kuwi.”
171

G : “Nek aku mau muni ngono kuwi pak. Kajate ora dadi.”
KSB : “Gareng.”
B : “Nek aku mau teguh yuwana slamet, slamet karo siwa. Ngono ya butane
lunga kok pake.”
KSB : “Ya sokur. Kuwi paringane bendaramu Antasena. Nggih mpun ditrimak-
trimakke mawon Den. Niku nek ora ana sing ngajani ora kelakon.”

(Suluk)
Tan nyana teka mangkono kocapa malumpat satu Sumbawa. Ing kono kena
wewalate Sang Hyang Padawenang. Nglumpruk tanpa daya.

(RADEN ARJUNA MEMINTA MAAF KEPADA KI SEMAR BADRANAYA)


RJ : “Adhuh, mati aku. Kaki Semar, aku wis tobat. Njaluk pangapura Kaki.”
RAN : “Kaki.”
KSB : “Hem. Wonten napa Den?”
RAN : “Ya diwelasi ta Kaki. Rak ya priksa ta.”
KSB : “Mpun kajenge riyin.”
G : “Ora ndene macan niki wau lho den, mak klumbruk, brebel, wangi
ambune.”
B : “Nek kuwi entutku kok.”
G : “Omong sak-sake wae.”
KSB : “Ee, sampeyan macan.”
RJ : “Iya.”
KSB : “Sakniki karepe ajeng pripun?”
RJ : “Njaluk ngapura.”
B : “Kula saguh maringi ngapura ning sampeyan tak kon mlaku dalan sing
bener. Aja mingar minger ndhak keblinger.”
RJ : “Iya Bagong.”
G : “Bagong kok ya digugu.”
KSB : “Ha lha nek sampeyan mpun tobat temenan, kula nyuwun keng kuwaos
mugi-mugi ngudanana. Nek pancen rumiyinipun sampeyan manungsa,
balia dadi manungsa. Ning nek pancen asline kewan, mang dadi
kewan.”

(Suluk)
Badar dadi sapala.

RJ : “Aku njaluk pangapura Kaki.”


KSB : “Ha nggih. Mboten dadi napa.”
RAN : “He Pak.”
RJ : “Apa?”
RAN : “Sampeyan aja mung waton ngendika. Senajan ta juwi Kaki Semar
Badranaya ning bapak mesthi bisa mulat sapa ta sejatine. Lha sampeyan
ora melu teka ing Karang Kapulutan karo Wa Prabu. Ora bareng karo
Bapak Werkudara. Sampeyan rugi, hem. Jajal pirsanana sapa kuwi?”
172

(Suluk)
Eeeng.. Mulat sang arjuna wus menyang kamanungsan. Eeeng..

RJ : “Adhuh kulun kula nyuwun pangapunten. Kula nyuwun kados kadang-


kadang kula.”
KSB : “Ha telat. Ning wau Keng Raka Sinuwun Ngamarta sakadang mpun
pinaringan jitapsara, buku ngelmu sejati. Mpun niku mawon, mangke
kena mang cupliki. Sing apik diagem. Mboten bakal kleru lan ora keri
kaliyan Keng Raka.”
RJ : “Kula ajrih yen dipundukani.”
KSB : “Oo, mboten, mboten. Mangke yen didukani kula. He, Den, Keng Rama
diterke.”
RJ : “Nyuwun pangestu kulun. Ayo.”
RAN : “Wis kana ndhisik. Ning ngati-ati.”
RJ : “Iya.”
G : “Karo maratuwane kok wani ya. Aku tau nggetak maratuwa dijaluk e
anake wedok.”
KSB : “Ah, wis ra genah. Kaya ngene iki wulangane Sang Hyang Guru nganti
para momonganku dha wani karo aku. Ee.. Kaya ngapa.”

(Suluk)
Dewa nuntun pangarsa saya sinawang sangking mandrawa. Eeeng.. Ooong..

ADEGAN 26
(BATHARA KRESNA MELAPOR KEPADA BATHARA GURU
BG : “Kresna.”
BK : “Inggih Kulun.”
BG : “Kepiye?”
BK : “Adhuh ketiwasan. Kakang Semar mbreguguk ngutha waton datan wong
agung mboten purun kula boyongdhateng kayangan, kados sampun
mangertos.”
BG : “Wah, keparat.”
BKP : “Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten napa-
napa, wong sing jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng
kawontenan.”
BG : “Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.”

ADEGAN 27
(BATHARA GURU MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA)
BG : “Kakang Semar ngancu neraka bakal mbangun kayangan.”
KSB : “Nek aku ki mbangun kayangan Suralaya sing wis tak dhongkeli nggone
sapa? Agek tak nggo mangan wae sedina telung dina prei. Ha kok
nyela-nyela mbangun kayanganing dewa.”
BG : “Tembung sing kaya mengkono ora bakal luput. Nyangklak saka
wewanguning kayangan. Ngko tak cekel kakang Semar. Sotke
Kalacandra.”
173

KSB : “Ee, lhadalah. Bojling wis slamet. Kowe arep njajal kakangmu, jajalen.”
BG : “Adhuh Kakang, aku tobat. Aku entuk mlayu?”
KSB : “Iya, mlayu tekan telaking ula nek ra tak cekel kowe, aja takon dosa
kowe.”

(PRABU PUNTADEWA MEMINTAKAN MAAF UNTUK BATHARA GURU


DAN BATHARA KRESNA)
PP : “Ampun angadhangi Gusti. Kajenge adhi kula Bethara Guru kula ajar.
Eee, karo kakangne kok wani kaya ngono. Kowe dadi ratu ana
kayangan kuwi aku sing nganggonke. Kae biyen aku ya isa tak wenehke
kowe ki pira-pira kok ra maturnuwun. Malah kowe wani karo ku, Hee
Guru? Eee, guru ning mulang arang-arang. Renea nek kon ngidak-
idak.”
PP : “Pukulun, kula nyuwunaken pangapunten kalepatanipun pukulun Bathara
Guru. Kula nyuwunaken pangapunten dhateng kelepatanipun Kaka
Prabu Bethara Kresna. Awit sedaya saged kalimput saged
kamendhungan.”
KSB : “Sampeyan kalih kula kok muni pukulun.”
PP : “Rikala wau pukulun lenggah wonten panepen ning sakmenika lenggah
wonten penjenenganipun pukulun Bathara Ismaya iya Ki Semar
Badranaya, Pukulun Padawenang.”

(Suluk)
Ooong.. Ireng-ireng kembang bopong, kembang bopong sarimulat. Kembang trate
bang rerayungan, rerayungan. Rumambet bebuletan. Lir kembang karang
sungsang. Ooong.. Eeeng… Ambuka ing gegana.. Ooong.. Eeeng..

ADEGAN 28
(SANG HYANG PADAWENANG MEMBERI MAAF KEPADA BATHARA
GURU)
SHP : “E.e. Bathara Guru.”
BG : “Nuwun wonten dhawuh kulun.”
SHP : “Upama ta ora tetameng pukulun Dharma kusuma, kita bakal kulun
paring pengajaran.”
BK : “Kula nyuwun pangapunten kulun.”
SHP : “Heh, wigatekna Kresna. Jeneng kita iku sing nyekel panguwasa ing
kayangan supaya nyekel marang adil nenepi dharmaning dewa ingkang
patut dadi kiblating para titah. Kresna.”
BK : “Kula.”
SHP : “Kita dadi pangayoming para pandhawa anggunakna kawicaksanan
pretungan kang premati aja mung waton bisa ngarani aja mung anut
marang hardening kamurkan. Sedaya kalepatan nyuwun pangapunten
kulun.”
SHP : “He, Guru.”
BG : “Kula Kulun.”
174

SHP : “Dina iki kita kulun paring pangapura, ning kabeh tingkah laku kita kang
kaya mengkono mau kudu kok ilangi. Ora kena kok baleni.”
BG : “Nuwun ngestokaken dhawuh.”
SHP : “Yen pancen wis siyaga manut, kulun boyong ing kayangan ondar-andir
bawana. Bakal kulun paring pitutur kang becik.”

(Suluk)
Dewa kamanungsan, kamanungsan. Ooong.. Katon mulat ardaning ardi kadulu
wijiling sanggwang surya. Eeeng..

BG : “Kula kantun ndherek.”


SHP : “Munggah kayangan, Narada dijak.”

(BATHARA KRESNA MEMINTA MAAF KEPADA KI SEMAR


BADRANAYA)
BK : “Kakang Semar, aku sing nyuwunke pangapura.”
KSB : “Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking pukulun
padawenang wau minangka dados kekancingipun Gusti Nata
Dwarawati.”
BK : “Iya Kakang.”
PP : “Mangsa bodho tumprepet petengin Karang Kapulutan.”
KSB : “Mpun mangke kula temonane bethari durga.”

(KI SEMAR BADRANAYA MENYURUH BATHARI DURGA UNTUK


MEMBUBARKAN PASUKANNYA)
KSB : “Durga.”
BD : “Kula Kakang.”
KSB : “Kowe ora sah mayeng-mayeng, manut karo aku.”
BD : “Inggih.”
KSB : “Saiki balamu, jim, setan, peri kayangan, klenthek, balungan, candhak,
jrangkong waru dhoyong dhoyong nang pinggir kali.”
BD : “Niku rak wau.”
KSB : “Kowe wis ngerti. Jaken bali ana pasetran. Aja nganti ana jak-jakan ana
kene, luwih-luwih ngganggu anak putuku ing desa kene. Aku sing ora
trima.”
BD : “Inggih,ngestokaken dhawuh. Kepareng kula jak wangsul anak-anak
kula.”

Anda mungkin juga menyukai