Anda di halaman 1dari 11

EYES

Aratte
Summary:
Eren tidak mau menatap Levi.

Notes:
Disc: Shingeki no Kyojin/Attack on Titan belongs to Hajime Isayama. This is only a work of fiction,
solely a not-for-profit fan work.

Ada maksud tertentu di balik penggunaan kata Heicho untuk menyebutkan Levi di beberapa bagian
tertentu dalam fik ini. Jadi dengan sengaja, kata Heicho tidak saya beri italic.

Eren tidak mau menatap mata Levi.

Alasan pertama karena Levi superiornya.

Alasan kedua karena Eren bawahannya.

Alasan ketiga (sebenarnya alasan pertama) karena ulah Levi.

Adalah konsekuensi dari hubungan yang terjalin pada malam setelah Levi menggiatkan skedul
bersih-bersih per dua hari sekali. Tepatnya pukul 9. Saat itu hujan deras. Eren bermimpi buruk,
dibangunkan oleh Levi. Konversasi singkat berlanjut menjadi absurd bagi Eren saat Levi
memintanya untuk membuka pakaian—atau memaksa untuk membuka.

Segalanya terjadi cepat, berantakan dan basah. Jangan menuntut kronologi. Eren tidak sanggup
bercerita.

Sejak malam itu, Levi tidak pernah absen mengunjungi kamar Eren. Alasannya bervariasi; (1)
Inspeksi kebersihan, (2) Menjenguk objek dalam pengawasannya, (3) Tindak pengawasan, (4)
Bersih-bersih—dalam banyak arti.

Sejak malam itu, Eren membalurkan busa sabun batangan ke tubuhnya minimal dua kali setiap
mandi.

Sejak malam itu, kapan pun, di mana pun, Eren menghindari kontak mata dengan Levi.

Suatu malam Levi datang, duduk di sisi ranjang, memintanya untuk tidak bersuara keras. Eren
tergugu, kedua alis bertaut, terdesak dengan punggung menempel pada dinding di sudut tempat tidur.

Levi selalu tenang, tak peduli situasi, jenis sorot mata ketika sedang membelah dua seekor titan. Saat
ini ia sedang –akan- membelah Eren.
Dimulai dengan kecupan ringan pada sudut mata, turun ke pipi, pinggir dagu, kemudian leher. Bibir
Heicho berhenti di sana cukup lama sampai Eren merasakan lehernya berdenyut gila.

Tangan yang kuat mendorong kedua kaki Eren terbuka.

Eren langsung merapatkan kedua kaki. Salahkan refleksnya.

Heicho berdecak sebal. Tubuhnya yang atletis, masih berbalut kemeja putih merongrong ke depan,
memaksa lagi kedua tungkai Eren untuk membuka selebar mungkin. Dalam sekejap jarak terjalin
intim, dan Eren semakin terdesak ke ujung tempat tidur.

Lampu kerosin memberi cukup cahaya agar Heicho bisa melihat. Tatapan yang menelanjangi. Eren
tidak akan terbiasa dengan tatapan intens memenetrasi. Kedua tonjolan mungil di dada Eren
mengeras, menonjol di bawah kaus tipis cokelat muda yang tidak luput dari mata Heicho. Jari-jari
Heicho menggosok pelan, dengan penekanan. Dipermainkan sedemikian rupa sampai Eren
kebingungan, gagal memahami apa fungsi dari putingnya yang terlampau sensitif di bawah tekanan
jari—yang memelintir meremas mencubit memuntir dan menarikinya. Kemudian mulut Heicho, tiba-
tiba mendekat, menangkap salah satu yang membengkak perih, dipermainkan lagi di antara giginya.
Ah. Ah! Eren refleks menutup mulut.

Kemudian Heicho menatapnya, dan Eren melempar wajahnya ke samping.

Beberapa kali Heicho mencoba mengoyak. Entah apakah itu sifat atau ciri khas brutal di medan
perang, terbawa hingga ke tempat tidur. Eren menahan dada Heicho, meminta izin untuk melepas
pakaian dengan cara yang lazim. Sudah berapa banyak kausnya yang sobek?

Ketika Eren sudah bertelanjang dada, tangan-tangan, dan mulut yang panas, brutal menyergap titik-
titik tertentu yang sejak tadi tersembunyi. Nyaris animalistik. Bunyi-bunyi basah, jilatan rakus. Eren
gagal mengerti kenapa Heicho gemar mempermainkan bagian dadanya. Terkadang meremas. Lebih
dari sekali menggigiti hingga berdarah—hanya beberapa jam sembuh dengan kemampuan titannya,
dan keesokannya, Heicho menancapkan giginya di daerah yang sama.

Bunyi basah dan napas berat mengisi tiap sudut kamar.

Lalu Heicho berkata, "Aku tahu Kau bisa mencapai klimaks hanya dengan stimulasi kuat di dada."
Kemudian ia mencubit kuat-kuat yang kiri, dan mengulum yang kanan ke dalam mulutnya.

Se-sebentar.

Eren tidak mengenal istilah klimaks sampai Levi menyentuhnya. Menginspeksi kepolosan di balik
pakaian. Mengeksplorasi dengan bermacam-macam cara. Tangan Heicho meluncur turun ke bagian
selangkangan, satu jari menekan masuk ke dalam lubang mungil yang masih berlapis celana. Telapak
tangan menangkup kasar, meremas organ dewasa dari luar celana. Eren memekik, menggeliat hebat.
'Jangan di sana,' pintanya. Sesak luar biasa, cairan kental terasa meluapi isi celana. Saliva meluncur
turun dari sudut mulut Eren.
"Kau terlalu mudah bereaksi."

Hanya setelah Heicho puas menjilati dadanya, Eren berani menatap sedikit ke depan, lalu menunduk
ke bagian dadanya. Melihat titik-titik merah di sana-sini, dan perbedaan warna dari dada yang kanan
dengan yang kiri. Entah dengan alasan apa Heicho senang menghisap bagian dada sebelah kanan,
yang saat ini lebih merah dari yang kiri, sangat sensitif dengan sentuhan sekecil apapun.

Kedua kaki Eren direntangkan lebih lebar, diletakkan di atas paha Heicho. Tangan-tangan gesit
menurunkan resleting, melucuti celana, berikut celana dalam—yang sudah lembab, banjir cairan
kental, dan Heicho mengomentari kondisinya membuat paras Eren memanas. Di tahap ini Eren akan
menolak. Menggeleng kepala. Memejamkan mata. Setelah kedua kakinya telanjang di hadapan
Heicho, ia menenggelamkan wajahnya ke sisi lengan, atau menutupi dengan tangan, cara apapun
agar Heicho tidak melihat pipinya yang merona pekat.

Kemudian Heicho menarik tubuh Eren ke arahnya, agar punggung Eren bertemu dengan kasur.
Heicho di atasnya, tidak sabaran melonggarkan dasi cravat-nya sendiri. Dorongan aneh membuat
Eren berinisiatif, dengan tangan gemetaran, membantu Heicho melepas kancing. Dorongan aneh lain
membuat Eren berani menatap Heicho (bukan di mata) tapi di bagian tubuh yang sarat dengan
lekukan-lekukan otot. Jari-jari Eren yang bergetar hebat akan mencoba menelusuri dada dan perut
yang atletis proporsional, mengapresiasi maskulinitas Heicho-nya, iri dan bangga pada saat
bersamaan.

Eren tidak sanggup menatap mata Heicho.

Sesi mengagumi tubuh sempurna berakhir saat Heicho menyergap tubuh Eren, lagi, memeluk erat.
Eren mendesah terkejut. Dada mereka saling menempel. Kulit saling menggesek. Terlalu dekat. Tak
ada jarak antara kedua tubuh. Tangan-tangan Heicho, yang telapaknya bertekstur agak kasar imbas
dari menggunakan senjata berat khas tentara, menggerayangi tiap-tiap bagian telanjang di bawahnya.
Menyusup ke bawah pinggul dan meremas gemas pipi bokong yang padat. Eren bergerak-gerak
gelisah, tangannya mengepal mengoyak sprei.

"Naa, Eren."

Suara berat meluncur keluar dari bibir tipis pada daun telinga. Sepasang mata Heicho, yang gelap,
kelabu panas seperti batuan vulkanis yang meleleh, menjelajah tubuh polos di bawah dominasinya.
Tak satu pun luput dari jangkauan mata.

"Nnh. Hei—cho-"

Heicho menekan-nekan bibir Eren dengan bibirnya. Menggerus pelan bagian bibir bawah yang
kenyal dengan gigi, kemudian menggigit.

Eren memalingkan matanya ke arah lain.

Kecupannya berpindah ke leher, diselingi gigitan, yang awalnya lembut, lalu menguat, lalu Eren
merintih. Tanpa sadar tangannya memeluk punggung Heicho kuat-kuat, kemudian ia mendesah takut,
'M-Maaf,' dan Heicho membalas 'Tidak apa. Berpegangan padaku.'
Eren melingkarkan lengannya pada punggung Heicho, kaku, pipi semerah tomat.

Bunyi resleting terdengar saat Heicho mendistraksi pikiran Eren dengan ciuman-ciuman. Kedua kaki
Eren direntangkan terbuka, dan dia tiba pada fase di mana seluruh tubuhnya mengalami guncangan
tremor hebat.

"He-Heicho, jangan sekarang." kalimat penolakan terlontar tanpa sengaja.

Heicho tidak pernah menerima kata tidak.

Kalimat penolakannya tertahan dalam tenggorokan Eren yang menyempit, yang kering sampai ia
harus meneguk ludah beberapa kali. Ia tahu Heicho sedang dalam puncak gairah, terbukti dari
anggota badannya yang bengkak, panas , ujungnya bergesekan dengan paha dalam Eren,
meninggalkan jejak cairan lengket. Jari Heicho mengelus pelan bibir bengkak Eren.

Jantung Eren berdegup cepat. Mata setengah terpejam, Eren menjilati jari Heicho. Dari sela jari
hingga ke ujung kuku, melumurinya dengan saliva sebanyak mungkin. Kemudian Eren memutar
badan, kedua lutut tertekuk, pinggul diangkat naik ke arah Heicho. Eren menenggelamkan wajah
merahnya ke dalam bantal sambil membuka lebar bokongnya, memamerkan cincin mungil
kemerahan di tengah. Sehingga Heicho-nya mendapatkan pemandangan terbaik, dan akses termudah.
Bukankah Heicho pernah berkata ia dapat menghujamkan genitalnya sangat dalam dengan posisi
seperti ini?

Tangan-tangan berotot menarik Eren kembali, menggulingkannya ke posisi semula, sehingga mereka
berhadapan. Kontak mata langsung.

"Bocah nakal." Heicho berkata, "Aku ingin melihat wajahmu."

Eren mengalami kesulitan bernapas. Melempar wajah ke samping, menutupi dengan tangan. Hanya
sekilas tatapan Heicho dapat membuatnya meledak.

Di atasnya saat ini, adalah prajurit terkuat manusia yang kekuatannya sebanding dengan seluruh
pasukan. Berkuasa penuh atas dirinya yang lemah, menutup kesempatannya untuk menunjukkan sisi
yang patut dibanggakan sebagai tentara. Kekuatan titannya tidak berarti apa-apa dibanding kekuatan
Heicho. Tubuhnya, telanjang tanpa bisa ditutupi lagi, berlapis peluh gemetaran dan berantakan.

Tangan Heicho kembali meremas-remas bokong yang bulat, dan membuka lebar. Dua jari menembus
cincin otot mungil di bagian tengah. Reaksi tubuh Eren dramatis, berkedut kencang, menjepit jari-jari
yang langsung bergerak maju mundur. Heicho menghujamkan jarinya tidak sabaran sampai seluruh
tubuh Eren terguncang.

Eren memohon agar Heicho memelankan jarinya. Permintaannya tidak digubris. Gerakannya
bereskalasi cepat, menekan-nekan buntalan saraf dari dalam. Dinding dalam Eren berkontraksi
menjepit jari-jari jenjang lebih kuat. Jari dari tangan yang lain bergabung, masing-masing menarik
cincin otot yang sempit, dan merenggangkannya selebar mungkin sehingga ia bisa melihat jalan
masuknya.
"Bagian ini," bisik Heicho tanpa napas, jarinya menggeliat di dalam liang yang sempit. "Tidak peduli
berapa kali pun aku menusuknya, otot-ototmu merapat kembali dan—mungkin Hanji lebih bisa
menerangkan penyebabnya. Tubuhmu meregenerasi dengan cepat dan bahkan mungkin setiap kali
aku menusukmu, Kau merasa seperti untuk pertama kalinya. Apa benar? Well, itu artinya aku harus
bergerak cepat sebelum Kau merapat lagi." Heicho menghela napas, menarik keluar jari-jarinya yang
basah. "Eren." Ditangkupnya pipi Eren, memaksa agar wajah mereka saling berhadapan, menepuk
pelan. "Oi, buka matamu."

Kelopaknya membuka, biji mata hijau zamrud mengerling ke arah lain.

Heicho menggosokkan bagian dirinya, panas berdenyut, di depan pintu otot yang berkerut. "Eren.
Buka dirimu hanya untukku."

Pada fase ini, kedua mata Eren sudah terpejam erat. Napas tertahan. Kedua kakinya mekar, dituntun
dengan sepasang tangan yang menariknya.

Organ Heicho mendobrak masuk, melewati kerutan mungil yang menekan balik intrusi secara
refleks, hampir dengan sekuat tenaga.

Eren berteriak.

Teriakan diredam oleh Heicho, yang menangkup wajah dan mencuri napas. Bibir meraup milik Eren.
Lidah menyusuri rongga mulut hangat yang terbuka lebar. Membasahi langit-langit mulut dan bagian
terlunak di belakang deretan gigi. Liur membanjiri dagu Eren di tengah-tengah pertautan lidah.

Eren kalang kabut.

Heicho mendorong pinggulnya maju, tiap-tiap senti yang membuahkan rintihan perih yang tertahan.
Sensasi penuh sesak diisi oleh benda padat. Dinding ototnya meremas-remas Heicho di luar kendali.
Sesak. Heicho masih terus melumat isi mulutnya, melakukan penetrasi atas dan bawah sekaligus.

"Mmf! Nnnh!"

Mata Eren membelalak saat Heicho menarik diri. Menyebabkan otot-ototnya berkontraksi panik,
menjepit benda asing dari dalam. Eren menggeleng kuat-kuat, sudah bisa menebak yang terjadi
berikutnya. Ia berpegangan pada Heicho.

Organ gemuk kembali menghujam masuk, lebih kencang. Sekujur tubuhnya meremang,
menggelinjang heboh. Ujung dari benda tumpul menumbuk tepat saraf prostat yang membengkak.

Eren melepaskan bibirnya dari Heicho, memeluk pria itu dan menjerit.

Heicho menangkap bibirnya lagi, mendesah pelan, 'Shh.' Dengan wajah tenang yang mengkilap
karena keringat, dan sorot mata yang melembut sesaat. Heicho mungkin sudah masuk sepenuhnya
karena Eren merasakan tekanan di balik pusar. Ia menoleh ke bawah, ke bagian perutnya yang
sekarang agak menonjol.
Tidak ada aba-aba ketika Heicho menghentakkan pinggulnya,mendorong hingga batas terdalam yang
sanggup dijangkaunya. Memaksa Eren untuk menerima penuh. Menggetarkan badan ranjang.
Mendorong tubuh Eren dalam geraknya dan menciptakan kerutan panjang terlekuk di atas sprei.

Ahhn! Ah! Ah!

Gerakan konstan dan cepat memenuhi area terdalam Eren. Keluar masuk. Menyempit. Menggerus
dinding sensitif tanpa ampun. Tarikan napas Eren tak teratur. Geletar-geletar ganjil timbul dari perut
bawahnya sekali lagi merayap di bawah kulit, menegakkan bulu-bulu halus leher belakangnya yang
sensitif. Kedua tonjolan mungil di dadanya perlahan mengeras, dan Eren menggeliat gelisah,
berusaha melepaskan diri, yang berakhir sia-sia dengan invansi yang berlangsung lebih cepat.

Sebagaimana pekerjaannya di lapangan, Heicho tidak pernah setengah-setengah menyentuh Eren.


Mungkin karena remajanya bukan manusia biasa, dapat memulihkan diri, Heicho terkadang menguji
sampai sejauh mana daya tahan Eren sanggup memaklumi kekasarannya. Eren akan berteriak sakit,
lalu mendesah-desah ketika tubuhnya bereaksi mengubah rasa sakit menjadi nikmat, dan siklus itu
akan berulang-ulang sampai keduanya mencapai titik tertinggi.

Suara kecipak cairan dari area di mana keduanya menyatu menggelitik indera tajam Eren.

"Ahhn. Terlalu—terlalu cepat, Heicho, ku-kumohon."

Heicho mengabaikannya, menyaksikan setiap perubahan ekspresi sang remaja.

Frustasi, Eren menyeka air mata yang tumpah dan menutupi wajahnya.

Heicho menarik tangan Eren, menggosokkan ibu jarinya di sudut mata hijau cemerlang. "Kenapa?"

"Jangan lihat, kumohon," desahnya.

Jemari Heicho membelai-belai paha kanan Eren, seolah menenangkan, sekaligus menekan.
Panggulnya bergerak dalam irama lambat, memungkinkan Eren lebih fokus mendengar kalimat
Heicho selanjutnya: "Tak ada bagian dirimu yang belum terjamah oleh mataku, Eren."

Kening Eren berkerut dalam, menjatuhkan pipinya yang basah ke samping.

Sebelah kaki Eren direngkuh oleh Heicho, ditopang pada bahunya. Kecupan lembut melumat kulit
lunak di belakang lutut Eren, membuat remaja itu mendesah tertahan. Kemudian tubuh Eren
dihempaskan hingga ia tertelungkup.

Tercekat hebat. Eren menggigil. Jemari kaki mengepal. Kali ini gesekan dengan permukaan kasur
ikut mendera dada Eren dan dua sembulan mungil di sana. Pedih. Kedua matanya terbelalak.
Hantaman panggul Heicho menggetarkan kedua lengkung bokong Eren di tiap sentakan. Tangan-
tangan rakus meraup organ pribadi Eren, meremas dengan kasar dan menyeragamkan gerak
penetrasi.
"Akkhhh!"

"Posisi ini yang Kau harapkan? Agar aku tidak bisa melihat wajahmu?" bisik Heicho di telinganya,
menggigit pelan di sana. "Bocah nakal. Kau hanya lebih suka disetubuhi dari belakang."

Eren menjawab dengan isakan, gelengan kepala, mencengkeram tangan Heicho yang sedang
mempermainkan organ dewasanya. Tungkai-tungkai Eren bergetar hebat, ia terjatuh ke ranjang.
Heicho memeluk pinggulnya dari belakang, tidak berhenti menghubungkan kedua tubuh mereka.
Kening dan kedua siku tangan menjadi tumpuan, bersama dengan kedua lutut yang diguncang oleh
getaran. Menunduk, Eren melihat di antara kedua kakinya; Kedua pahanya yang tremor berlumur
peluh, dengan sepasang kaki berotot kokoh menempel di belakang mereka. Tangan mengepal bagai
tinju meremas tidak berhenti kelakian-lakiannya, menyakiti, memaksanya menuju pelepasan, lalu
menahan untuk klimaks. Rintihan Eren menguat, nyaris terdengar seperti memohon.

Heicho membenamkan wajah di tengkuk Eren, bernapas berat, menyusuri ujung-ujung rambut
cokelat dengan hidung, menghirup sebanyak-banyaknya wewangian natural yang dikobarkan tubuh
itu. "Wewangian apa yang Kau pakai di belakang sini," tanya Heicho, suara menyelisik helaian
rambut, meliuk dengan sensual.

Eren mulai kesulitan berbicara. Heicho jelas merasakannya, luar dan dalam, degupan dan gelatar dan
remasan. Berat tubuh Heicho menggoyahkan salah satu pilar penopang, gemetaran, Eren jatuh tanpa
topangan siku tangannya.

Heicho menusuk masuk, menggerus dinding-dinding sensitif yang merespons balik secara natural
dengan remasan, dengan target yang tidak pernah meleset sejak ia melesak masuk. Sesak. Panas.
Eren yang jatuh dengan dada menggesek sprei, pinggul di udara, disambut oleh penyanderanya.
'Jangan di sana.' Ia memohon. Eren menarik napas panjang berharap bisa menghentikan geletarnya,
menunda tekanan yang meledak-ledak.

Heicho menumpukan bobot tubuhnya ke depan, mengayunkan sebelah tangan bebasnya ke wilayah
dada Eren. Dada yang datar, tapi kulit yang lunak dan lembut memberi kepuasan dalam remasan.
Dua sisi dada, dua tonjolan mungil. Semua diraup dalam remasan bergilir.

"H-Heicho." Kelopak mata Eren mulai jatuh, wajah merona pekat dengan hembusan napas hangat
dari bibirnya yang dipantulkan kasur. Serangan stimulasi pada kedua putingnya yang mengeras perih.
Heicho dengan jari-jari panjangnya memainkan tubuhnya sedemikian rupa yang membuat Eren
merespon dengan geliat, dan pinggulnya yang menghentak mundur. Helaian basah rambut cokelatnya
memercikkan air saat ia menggeleng, menepis sensasi panas dan mengenyahkannya.

Kecupan menjalar turun, dari helaian rambut menuju tengkuk, lalu menelusuri jalinan tulang
belakang Eren. Semuanya begitu cepat. Kini Eren terduduk lemas di atas pangkuan Heicho
sementara Heicho masih menancap di dalam tubuhnya. Seketika terbenam, penuh, tanpa celah,
sekujur tubuh Eren menggigil dipaksa menerima bagian diri Heicho sedalam mungkin. Kepala lemah
Eren bersandar pada Heicho. Sementara Heicho sedang menggenggam anggota tubuh Eren. Bunyi
basah berkeriak dari gesekan kulit hangat telapak tangan. Kabut panas berdesir menyelubungi
seluruh kulit luarnya. Tubuh Eren bergetar dalam belenggu, dan ia mendesiskan nama.
"Levi."

Eren meronta lemah beberapa saat, berfokus pada organnya yang memancarkan denyut sampai
puncak kepala. Bunyi berkeriak seperti air yang diremas antara daging dan kulit bergema serentak
dengan getaran pegas. Cairan kentalnya melumuri tangan-tangan panas Heicho, membentuk untaian
benang ketika Heicho menarik tangannya, dan berbisik, "Oke, menjijikkan." Walau tak ada nada jijik
dalam suaranya.

Tubuh Eren kembali digulingkan, punggung sejajar kasur, tak ada halangan bagi Heicho melihat
kondisi terlemah remaja dalam dekapannya.

Tak ada jeda bagi Eren untuk menarik napas. Heicho kembali menyatukan tubuh keduanya.

Dalam fase ini, Eren hanya sanggup membuka mulut dan berteriak lemah. Otot-otot pipinya tertarik
ketika mulutnya membuka, dengan saliva menetes dari sisi bibir penuhnya. Bobot berat di antara
kedua kakinya masih terasa, jauh lebih pekat, berayun dengan pergerakan Heicho, yang sangat cepat
dan cekatan sebagaimana ketika ia bermain dengan manuver tiga dimensional.

Mata Eren nanar, bertemu kontak dengan mata gelap Heicho pada akhirnya. Hanya sebuah kontak
mata yang membuat seluruh tubuhnya membeku, dan tekanan-tekanan berkumpul pada perut
bawahnya. Begitu intens hingga Eren merasakan aliran darah berdesir di kepala belakangnya.
Tubuhnya bagai selongsong kosong, ia tidak bisa memerintahkan sistem untuk berhenti menerima
rangsangan, sel-sel yang menggila, menggelinjang, denyutan di seluruh tubuh yang tidak kenal lelah,
dan terus meregenerasi.

Dorongan terkuat untuk kembali melepaskan klimaksnya.

Bernapas berat, kedua mata Heicho terpejam, menciptakan lengkungan dengan bayangan kelabu
yang pekat. Pemandangan paling magis bagi Eren.

Membubuhkan kecupan demi kecupan di wajah Eren. Merentangkan kedua kaki Eren begitu lebar,
begitu vulgar, sang kapten memberikan sentakan terkuat yang membawa Eren terdorong hingga ke
ujung ranjang. Berderit keras, bunyi yang tercipta dari ranjang kayu mewakili tiap hentakan. Heicho
kemudian menjatuhkan tubuhnya ke depan. Fitur tubuhnya seolah menajam dalam fase puncak
ketegangannya, memaksa ulir-ulir urat timbul membingkai lekuk otot sempurna. Kekuatan fisiknya
terhimpun untuk satu buah momentum.

Eren memejamkan mata, merintih lirih.

Luapan cairan pekat mengisi dinding dalamnya.

Levi menyatukan bibirnya dengan Eren untuk mengakhiri segalanya. Mengulum keseluruhan bibir
sang manusia harapan, dengan rakus, dengan geliatan lidah. Memeluk erat tubuh yang ditindihnya.

Tidak berlangsung lama. Tidak pernah lama. Levi langsung menarik diri dan bangkit. Matanya tidak
melepaskan Eren sedikit pun.
Eren yang lemah digendong olehnya.

Eren sudah bisa menebak ke arah mana Levi membawanya. Kapten penggila kebersihan tidak pernah
melewatkan kesempatan untuk menyelesaikan segalanya dengan bersih-bersih. Menempatkan Eren
ke dalam bak mandi, Levi mengguyur tubuh remaja itu dengan air.

Levi meminta Eren untuk membuka lebar kedua kakinya, dan jari-jari jenjang bekerja. Menyusup
masuk ke dalam kerutan otot mungil yang memerah, sentakan konstan membuat sejumlah cairan
meletup keluar. Eren mengamati prosesnya dengan letih.

Sepasang mata kelabu terus menatap Eren. Kali ini tidak tajam, tetapi begitu dalam.

"Bahkan sampai detik ini masih tidak mau menatapku, Eren?"

"Ah." Desahan meluncur keluar dari bibir Eren, dan cepat-cepat ia menutup mulut. Eren menutup
kedua kakinya yang terbuka lebar, tangannya menahan pergelangan tangan Levi, mata setengah
terbuka. Pipinya panas membara.

Levi tidak berhenti. Mendekatkan wajah. Menarik fokus Eren kepadanya.

Sambil menenggelamkan tubuhnya ke dalam air bak mandi, Eren menjawab, "Heicho, aku tidak bisa
menatap Anda."

"Sudah kubilang Kau harus membuka diri untukku."

"Aku sudah melakukannya," balas Eren, dengan nada separuh bertanya.

"Bukan membuka kakimu, tolol." Levi memelintir handuk dan memerasnya.

"Maaf."

Levi menghela napas, menggosok punggung remaja titan itu. "Angkat lenganmu."

Eren merintih lirih saat Levi menggosok tubuhnya dari belakang, berlanjut menggosok bagian
dadanya.

Deru nafas Levi berhembus di belakang leher Leher.

"Eren. Kalau latihan adalah apa yang perlu Kau lakukan, maka kita akan melakukannya setiap
malam."

Eren mengerjap bingung. "Sir?"

Levi menggenggam sejumput rambut cokelat di bawah telapak tangan, memutar kepala Eren ke
arahnya.
Kedua mata mereka bertemu.

Sedetik sebelum Eren mengerlingkan matanya dengan paras merona, Levi berbisik:

"Jangan coba-coba mengalihkan matamu dariku, Eren."

"H-Hah?"

"Hanya kepadaku, mata itu hanya boleh kepadaku. Jangan memaksaku untuk—"

"Heicho?"

Levi menarik napas panjang. "Lakukan."

"Hah?"

"Tatap aku sekarang."

Nada ancaman memaksa Eren untuk mendongakkan wajah, dengan segenap usaha, serbuan rasa,
melawan gejolaknya untuk menolak menatap Levi.

Kemudian Eren melihat sepasang mata berwarna kelabu gelap.

Di bawah penerangan minim kamar mandi, ia melihat biasan aneh pada mata Levi. Kelabu yang jika
ia mengeliminasi jarak lebih dekat, maka Eren dapat melihat pancaran warna biru tua. Hanya
sekelibat. Mengingatkan Eren pada bayangan langit biru dunia luar yang pernah ia mimpikan
bersama Armin. Kepakan sayap bebas burung-burung dan siluet gelap mereka di angkasa.

Kemudian ia tersadar, mata Levi yang sesungguhnya memang berwarna kelabu.

Apa yang ia lihat adalah pantulan dari zamrud hijau dengan binaran yang berubah-ubah dari tiap
sudut cahaya, matanya sendiri.

"Apa yang Kau lihat?"

Hidung mereka saling bersentuhan. Napas Levi menyapu bibir Eren yang terbuka perlahan.

"Um." Eren tidak sanggup menjelaskan.

Levi mempertemukan bibir keduanya.

Eren tidak sempat memejamkan mata sedikit pun, sibuk mengamati kedalaman bola mata Levi.

"Aku tidak akan berhenti mengunjungimu setiap malam, sampai Kau terbiasa menatapku."
"E-Eh? Tapi—"

"Jangan menentangku, Eren."

Levi menenggelamkan separuh tubuhnya ke bak mandi.

-End-

Anda mungkin juga menyukai