Anda di halaman 1dari 4

Eric dan Eliza sudah kembali ke kamar hotel dalam keadaan tubuh keduanya yang basah.

Keduanya terkekeh melihat penampilan mereka yang bisa dibilang kacau dari penampilan
mereka sebelum makan malam berlansung. Jas dan gaun yang digunakan sudah lapuk
begitu juga dengan tubuh mereka yang mulai terasa lebih dingin sejak memasuki kamar.

“Mandilah dengan air hangat,” Eliza mengusap pundak basah Eric yang tertutup jas dan
kemeja. Metanya melirik ke kamar mandi. Menyisaratkan suaminya untuk masuk.

Eric tidak menjawab. Ia justru menahan pelan tangan Eliza dan membawa keduanya
memasuki kamar mandi. Elliza menyerngit bingung ketika dirinya dibawa masuk dengan
pintu yang sudah dikunci oleh Eric. Tanpa berlama-lama Eric membuka jasnya dan
menuntun Eliza untuk membuka kancing kemejanya.

“Lepaskan pakaianku,” suara Eric terdengar serak. Tatapannya yang dalam menyendu.

Pipi Eliza tiba-tiba terasa panas. Ia tidak berkomentar tetapi jemarinya bergerak membuka
kancing kemeja Eric. Satu per satu hingga kancing itu terlepas semua dan kemeja itu
akhirnya tergeletak di lantai. Menampakan tubuh bidang Eric yang putih, keras dan besar.
Tidak lama setelahnya, Eric melepas celananya dan semua yang melekat di tubuhnya. Wajah
Eliza semakin memerah mendapati tubuh polos suaminya berada di hadapannya.

“Rasanya tidak adil jika aku mandi duluan. Kamar mandi hanya satu di kamar hotel ini. Jika
kau menungguku dengan tubuh yang semakin menggigil. Itu bisa membuatmu sakit. Aku
tidak mau itu terjadi ” Bisik Eric sensual, Eliza semakin gugup ketika helaian rambutnya yang
menghalangi wajahnya diselipkan di belakang telinganya oleh Eric. “Kita mandi bersama.
Sekarang giliranku membantumu.”

Perlahan tangan Eric menurunkan resleting gaun Eliza, kemudian menurunkan tali gaun
yang bertengger di bahunya hingga gaun itu meluncur dan mengunduk di lantai. Eliza
menelan ludahnya. Tatapan sensual Eric membuatnya benar-benar tersihir dan pasrah
hingga ia tidak menyadari pakaian dalamnya sudah dilepas oleh Eric. Kini keduanya sudah
telanjang sepenuhnya. Eliza yang menyadari sedang diperhatikan tubuhnya oleh Eric,
langsung memeluk tubuhnya sendiri untuk menutupi bagian tertentu. Mereka memang
pernah melakukannya, tapi dalam keadaan gelap saat itu. Jadi sekarang adalah yang
pertama kali bagi mereka bisa melihat jelas.

Eric tersenyum lembut dan menarik pelan tangan Eliza yang menutupi tubuhnya. Sejenak ia
memandang kagum pada tubuh istrinya. “Jangan mentupinya dariku. Kau sangat cantik.”

“A-aku malu,” Eliza menunduk malu.

“Kenapa malu? Kita suami istri,” Eric mengangkat dagu Eliza dan mengecup bibirnya sekilas.

Setelahnya Eric menuntun Eliza memasuki bilik pancuran. Eric menyalakan pancuran dan
membiarkan air hangat menyiram mereka dari atas. Ia menatap dalam wajah istrinya yang
sembap sehabis menangis tetapi tersipu di saat bersamaan dengan penuh cinta dan gairah.
Dibelainya kembali wajahnya dengan lembut, sedangkan sebelah tangannya menarik
pinggang Eliza mendekat sampai tubuh keduanya benar-benar menempel.
Gerakan tersebut tanpa sadar begitu cepat. Eliza tersentak merasakan sesuatu yang keras
menyentuhnya. Sekujur tubuhnya menjadi kaku ketika berada dalam pelukan Eric. Sekelibat
bayangan masa lalu yang luar biasa menghampirinya. Malam dimana Eric memaksa dan
berteriak padanya.

“Ada apa?” Eric membelai pipi Eliza. Sementara wanita itu terus menghindari tatapannya.

“Sayang?” panggil Eric lembut. Kemudian Eliza menyerah dan menatap Eric ragu dan ada
sedikit ketakutan dari manik bulatnya.

“Ada apa, hmm?” ulang Eric.

“Maaf Eric,” Eliza memundurkan tubuhnya dari pelukan Eric hingga tangkupan tangan di
pipinya terlepas.

Hati Eliza berdenyut sakit menatap netra Eric yang memancarkan kekecewaan. Bukan ini
maksudnya. Ia tidak ingin membuat Eric kecewa dan sedih setelah melalui hari-hari yang
begitu sulit. Hanya saja rasa takut itu masih ada dan terngiang dalam benaknya.

“K-kau… menolakku?” gumam Eric stertahan.

Eliza menggeleng dan kini gilirannya menangkup pipi Eric. “Tidak Eric bukan seperti itu.
Tapi…”

“Kau takut aku akan berbuat kasar padamu?”

Eliza menghembuskan napasnya berat. “Aku ingin percaya padamu. Tapi ingatan tentang
malam kau mabuk itu masih selalu terbayang. Aku minta maaf.”

Eric mengeraskan rahangnya saat Eliza menunduk dan mulai terisak. Bukan Eliza yang harus
meminta maaf. Tapi dirinyalah. Karena ia sendiri yang membuat istrinya tidak nyaman dan
meninggalkan luka yang cukup dalam. Ditariknya punggung Eliza dengan lembut ke arahnya,
kemudian dibawanya Eliza ke dalam pelukan Eric.

“Harusnya aku yang minta maaf. Maaf karenaku kau seperti ini.” Eric mengelus sayang
rambut Eliza yang basah. “Aku ingin menciptakan memori indah bersamamu. Jadi izinkan
aku untuk menebusnya semua kesalahanku dengan menggantinya yang lebih baik, ya?”

Bisikan Eric yang penuh ketulusan membuat Eliza luluh. Air matanya kembali luruh
bersamaan dengan guyuran air dari pancuran. Eliza melingkarkan lengannya pada pinggang
Eric. Ia tahu akan sulit melupakannya, tapi Eliza percaya bahwa Eric sekarang bisa
memegang janjinya.

Kemudian Eric memundurkan kepalanya dan mengangkat dagu Eliza. Tatapan mereka
bertemu kembali.
“Kau percaya padaku?”

Eliza mengangguk. Sekarang ia lebih yakin setelah melihat tatapan tulus Eric.

“Aku mencintaimu, El,”

Hati Eliza begitu berdesir mendengarnya. Ia tersenyum hingga ingin menangis dan tertawa
karena bahagia yang datang bertubi-tubi malam ini. Diangakat tangannya untuk menyentuh
pipi Eric hingga mata laki-laki itu terpejam. Menikmati sentuhan wanitanya.

“Aku juga mencintaimu.” Bisiknya lembut.

Mata Eric terbuka dan mendesahkan nama Eliza sesaat sebelum mencium bibir merah
istrinya. Ciuman itu menjadi lumatan lembut yang semakin lama semakin dalam. Sebelah
tangan Eric digunakan untuk menahan tenguk Eliza, sementara tangan satunya masih
memeluk pinggangnya dengan posesif. Eliza mulai terbuai dan membalas ciuman Eric yang
memambukan. Ia mengalungkan tangannya di leher Eric. Tubuh mereka yang saling
memeluk, menyatu di bawah pancuran air hangat.

Sinar mentari yang mengintip kecil di balik celah gorden itu tidak membuat kedua insan
yang sedang berbagi kehangatan terjaga. Mereka masih setia dengan posisi saling memeluk
dengan tubuh yang sama telanjangnya dibalik selimut yang menutupi sebatas pinggang.
Selang berapa menit setelahnya, baru sang wanita mulai mengerjapkan matanya pelan.
Menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang masih minim dengan keadaan sekitar.

Hal pertama yang terproyeksi dalam pengelihatannya adalah wajah damai suaminya yang
masih terlelap. Begitu dekat dengan wajahnya hingga Eliza bisa merasakan hembusan
napasnua yang halus. Jemari lentik itu dengan gerakan sangat hati-hati membenarkan anak
rambut yang jatuh mengenai kening Eric. Sungguh baginya terasa seperti mimpi setelah
semua yang mereka lakukan semalam. Ingatannya kembali, pernyataan cinta Eric sampai
malam yang begitu membahagiakan itu bertubi-tubi.

“Hei, sayang?”

Panggilan lembut dari Jean sama sekali tidak digubris oleh Rene. Wanita itu masih
memandang kosong kearah televisi yang sengaja diputar Jean untuk menghiburnya, tapi
tatapan Rene terlihat kosong.

Rene masih dalam pelukan Jean. Keduanya telanjang di balik selimut yang membungkus
tubuh mereka. Berkali-kali Jean mencium bahu, leher, pipi dan rambutnya dengan sayang
tapi sekali pun belum ada respon dari wanita itu.

Hingga akhirnya Jean meraih rahang Rene untuk menghadapnya dan memberinya ciuman
yang begitu dalam. Baru setelahnya Rene merespon dengan mendorong tubuh Jean hingga
tautan mereka terlepas. Rene menghela napas panjang sebelum membaringkan tubuhnya
dan membalakangi Jean. Tentu saja Jean tidak berhenti sampai situ, ia ikut berbaring dan
memeluk Rene dari belakang dengan begitu erat. Tubuh bagian belakang Rene sepenuhnya
menempel pada tubuh bagian depan Jean.

Anda mungkin juga menyukai