PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah sick building syndrome (SBS) mempunyai dua arti yaitu: yang
pertama, SBS adalah kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang
atau sekelompok orang meliputi perasaanperasaan tidak spesifik yang
mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu. Yang
kedua, SBS merupakan suatu kondisi gedung tertentu berkaitan dengan
keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya,
sehingga dikatakan gedung yang sakit¹. Sick Building Syndrome (SBS) tidak
bisa ditentukan penyebab spesifik atau penyakit tetapi dalam penentuannya
dengan mendiagnosis gejala muncul saat berada didalam gedung dan gejala
segera hilang setelah meninggalkan gedung. SBS biasanya disebabkan oleh
kualitas udara didalam ruangan yang buruk². Orang yang menempati
bangunan sakit seringkali mengeluhkan iritasi selaput lendir dan kulit. Reaksi
ini mungkin disebabkan oleh bahanbahan insulasi yang terbuat dari kaca
berserat atau wol mineral. Serat-serat yang semacam itu dapat ditemukan
melekat pada lensa kontak orang yang bekerja dibangunan itu. Serat-serat itu
tidak saja menyebabkan iritasi mata tetapi juga merusak lensa kontak yang
lembut pada mata⁷. Berdasarkan laporan penelitian yang dikutip dari WHO
(1997) bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kualitas udara dalam
suatu ruangan kerja yang dapat menyebabkan problem SBS adalah
kontaminan udara seperti: kontaminan biologis, formaldehid, bahan-bahan
yang mudah menguap, sisa hasil pernafasan, sisa hasil pembakaran dan
partikel-partikel dalam udara. Faktor fisik meliputi : suhu udara, kelembaban,
debu dan kecepatan gerakan udara untuk sirkulasi⁹. Pada tahun 1984, komite
WHO melaporkan bahwa lebih dari 30% gedung yang baru dibangun maupun
yang telah direnovasi memiliki banyak keluhan yang berhubungan dengan
1
Indoor Air Quality (IAQ). Masalah Indoor Air Quality seringkali dipengaruhi
oleh timbulnya kualitas udara dalam ruangan umumnya disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%) adanya sumber
kontaminasi di dalam ruangan (16%) kontaminasi dari luar ruangan (10%),
mikroba (5%), bahan material bangunan (4%), lain-lain (13%)². Hasil survei
Enviromental Protection Agency (EPA), menyatakan bahwa manusia
menghabiskan waktunya 90% di dalam lingkungan konstruksi, baik itu di
dalam bangunan kantor ataupun rumah dengan kualitas udara dalam ruangan
yang kemungkinan telah tercemar oleh polutan yang berasal dari dalam
maupun luar ruangan⁶. Commision of the European Communities (1989)
menyatakan bahwa persentase kasus SBS dan gejala SBS relatif lebih tinggi
pada karyawan yang memiliki ruang udara lebih dari 15 m³. Perbaikan pada
desain gedung dengan pengurangan kepadatan penghuni ruangan dapat
mengurangi gejala SBS sebanyak 20– 50%. Kepadatan penghuni berkaitan
dengan jumlah ruang udara yang disediakan untuk tiap penghuni¹¹.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Bank “X”
dengan sampel 10 karyawan menggunakan kuesioner SBS bahwa terdapat 3
karyawan yang mengalami sick building syndrome (SBS) dengan gejala
dikeluhkan sekitar 33% (dapat dikatakan SBS apabila gejala dikeluhkan 20%-
50% pengguna suatu gedung). Dari hasil pengukuran di 3 ruangan Kantor
Pusat Bank “X” terhadap suhu, kelembaban dan debu didapatkan bahwa rata-
rata suhu disetiap ruangan melebihi baku mutu Permenkes tahun 2002 (18-28
2 ºC) hanya di Divisi Akuntansi suhunya normal (27,9 ºC), untuk pengukuran
kelembaban di 3 ruangan ini semuanya melebihi baku mutu Permenkes tahun
2002 (40-60%), sedangkan untuk pengukuran debu total hanya di Divisi
Perencanaan saja yang debunya normal (0,108 mg/m³) berdasarkan baku mutu
Permenkes 2002 (konsentrasi maksimal 0,15 mg/m³). Kantor Bank “X”
merupakan salah satu contoh gedung perkantoran yang berada di Kota
Pontianak Povinsi Kalimantan Barat. Kantor bank ini memiliki 9 ruangan
2
terdiri dari Divisi Perencanaan, Divisi Umum, Divisi Audit Intern, Divisi
Treasury, Divisi Akuntansi, Divisi Kepatuhan, Divisi Kredit, Divisi
Manejemen Resiko, dan Divisi Sumber Daya Manusia dengan jumlah pekerja
dalam kantor pusat ini yaitu 157 pekerja. Dalam penelitian ini hanya 8
ruangan yang diteliti (Divisi Sumber Daya Manusia tidak diteliti). Dalam
ruangan ini karyawan bekerja dalam waktu yang lama dalam ruangan ber-AC
dan tertutup sehingga dapat mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan
seperti suhu dan kelembaban. Disetiap ruangan rata-rata karyawan bekerja
dengan menggunakan printer laser untuk mencetak dokumen-dokumen dan
terdapat tumpukan kertas sehingga berpotensi menghasilkan debu kemudian
beberapa ruangan dengan luas ruangan yang tidak memenuhi syarat dengan
jumlah pegawai didalam ruangan. Dengan lingkungan kerja seperti ini pekerja
beresiko terhadap pencemaran udara dalam ruangan sehingga dapat
menyebabkan gangguan kesehatan salah satunya sick building syndrome.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa pegawai yang bekerja didalam
ruangan dengan waktu yang cukup lama dapat memicu terjadinya keluhan
Sick Building Syndrome (SBS), hal ini menyebabkan perlunya upaya
pencegahan terjadinya keluhan SBS sehingga dapat meminimalisir keluhan
SBS yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Antara Faktor Lingkungan Kerjadengan Kejadian Sick Building
Syndrome (SBS) di Kantor Bank “X” Provinsi Kalimantan Barat.
3
B. TUJUAN
1. untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kejadian Sick Building
Syndrome
2. untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan kejadian Sick
Building Syndrome
3. untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian Sick
Building Syndrome
4. Ada hubungan antara kadar partikel debu dengan kejadian Sick Building
Syndrome
C. RUMUSAN MASALAH
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
gangguan kesehatan pekerja. Gangguan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu umur, lama kerja, dan status gizi dari masing-masing individu.
Gejala atau keluhan yang diderita oleh pekerja pada umumnya merupakan
penyakit yang tidak spesifik, tetapi dalam jangka waktu tertentu menunjukkan
gejala berkali-kali. Gejala atau keluhan tersebut dirasakan pada saat pekerja
berada di dalam gedung atau ruangan dan menghilang secara wajar setelah
meninggalkan gedung atau ruangan pada akhir minggu atau hari libur. Gejala
dan keluhan tersebut sering dialami pada individu yang memiliki tingkat
stressor yang tinggi sehingga akan mempengaruhi produktivitas kerjanya.
Gejala atau keluhan Sick Building Syndrome dibagi dalam enam kategori,
yaitu :
6
penatalaksanaan Sick Building Syndrome bertujuan untuk membandingkan
kondisi lain yang mempunyai gejala sama15 . World Health Organization
(WHO) telah menentukan beberapa ciri yang umumnya terdapat pada Sick
Building Syndrome yaitu biasanya bangunan tersebut dilengkapi dengan
sistem ventilasi tertutup, menggunakan bahan finishing tekstil di dalam
gedung, gordin, karpet, dan dinding luar tertutup rapat (air tight) .
Kemungkinan terjadinya Sick Building Syndrome dapat juga disebabkan oleh
penurunan kualitas udara dalam ruangan, paparan bahan kimia dan debu dari
luar dan dalam ruangan serta kontaminasi mikroorganisme, dekorasi interior,
sistem ventilasi, serta keberadaan jamur dan bakteri14,18 . Pada umumnya ,
ciri dan keluhan spesifik yang terlihat yaitu termasuk iritasi mata dan / atau
iritasi saluran pernafasan, rhinitis atau hidung tersumbat, batuk kering,
tenggorokan kering, kulit gatal, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
kelelahan. dan keluhan sugestif dari sejumlah umum penyakit, yang mudah
menular11. Faktor utama kesamaan gejala adalah tidak adanya gejala ketika
individu tidak di gedung. Sebagian besar pekerja tidak mengalami keluhan
segera setelah meninggalkan bangunan . Sick Building Syndrome merupakan
gejala penyakit yang bisa diidentifikasi dan diketahui penyebabnya berkaitan
dengan kontaminasi udara di dalam gedung . Istilah yang dicadangkan untuk
situasi di mana tanda-tanda dan gejala penyakit didiagnosis adalah identifikasi
keluhan dan dikaitkan langsung ke bangunan yang sudah terkontaminasi
polutan di udara. Gejala SBS antara lain adalah sakit kepala, kehilangan
konsentrasi, tenggorokan kering, iritasi mata dan kulit. Beberapa penyakit
yang berhubungan dengan SBS diantaranya adalah iritasi mata dan hidung,
kulit dan lapisan lendir yang kering, kelelahan mental, sakit kepala, ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut), batuk, bersin-bersin, dan reaksi
hipersensitivitas . Orang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome jika
memiliki keluhan sejumlah kurang lebih 2 atau 3 gejala seperti kelelahan,
hidung gatal, tenggorokan kering, sakit kepala, mata gatal, mata pedih, mata
7
merah, bersin, rasa mual, rasa kantuk, kulit gatal atau kulit kering, dalam
kurun waktu yang bersamaan. Untuk menegakkan diagnosis adanya Sick
Building Syndrome maka berbagai keluhan tersebut harus dirasakan oleh
sekitar 20-50% pengguna suatu gedung .
8
dalam industri, ventilasi ruangan harus dijaga kebersihan dari
kontaminan bahan berbahaya4 . Kegiatan industri jika ventilasi
ruangannya kurang memenuhi syarat maka menjadi penyebab
terjadinya gejala Sick Building Syndrome17 .
c. Kebersihan ruangan Zat-zat dari bahan kimia maupun yang berasal
dari mikroorganisme di ruangan akan mempengaruhi kualitas udara
dalam ruangan11. Sistem ventilasi yang menggunakan saringan
berfungsi umtuk menghalangi zat pencemar dan zat bahaya lainnya
agar tidak masuk ke dalam ruangan17 .
d. Faktor lingkungan dalam ruangan Temperatur dan kelembaban udara
yang tinggi di dalam ruangan akan mempengaruhi keringat para
pekerja sehingga akan menyebabkan hidung dan kerongkongan
mengering serta dapat menyebabkan gatal-gatal dan iritasi kulit dan
mata13. Faktor fisik lingkungan yang lainnya seperti pencahayaan
juga menjadi penyebab terjadinya Sick Building Syndrome .
5. Mekanisme Terjadinya Sick Building Syndrome
Ventilasi yang tidak cukup pada proses pengaturan suhu di dalam ruangan
secara efektif akan mendistribusikan udara pada penghuni dalam gedung
sehingga dapat menjadi pemicu terjadinya Sick building Syndrome13 . Zat-zat
pencemar yang ada di dalam gedung yang bersumber dari perabotan, peralatan,
gas, bau-bauan ataupun partikel debu yang terdapat di udara yang berlebihan
bisa menyebabkan reaksi alergi seperti mata kering, iritasi hidung, tenggorokan
dan kulit, batukbatuk dan sesak nafas14 .
6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Sick Building Syndrome
a. Umur Umur merupakan faktor yang berhubungan dengan Sick Building
Syndrome dimana jika umur seseorang meningkat maka fungsi organ
akan menurun15. Seseorang yang meningkat umurnya akan mudah
terserang penyakit34. Daya tahan tubuh akan mengalami penurunan
sehingga akan mudah terserang Sick Building Syndrome19 .
9
b. Masa Kerja Masa kerja seseorang akan berpengaruh terhadap status
kesehatan seseorang30. Jika seseorang melakukan pekerjaan dalam
waktu yang lama, maka dapat menyebabkan kemampuan dan stamina
menurun sehingga lebih mudah terserang Sick Building Syndrome19 .
c. Status Gizi Status gizi merupakan faktor yang berhubungan dengan Sick
Building Syndrome yang akan mempengaruhi pekerja dalam melakukan
kegiatannya19. Status gizi baik jika Indeks Massa tubuhnya antara 18,5-
25, status gizi kurus jika IMT nya < 18,5, sedangkan seseorang dikatakan
gemuk jika IMT nya >25. Jika status gizi baik maka akan meningkatkan
produktivitas, tetapi jika status gizinya buruk maka akan menurunkan
produktivitas kerjanya .
10
akan memungkinkan seseorang berada di dalam gedung dalam waktu
yang lama dan rentan terkena Sick Building Syndrome19 .
d. Ventilasi udara yang kurang baik Sistem ventilasi yang kurang baik atau
buruk di dalam ruangan akan menimbulkan gejala-gejala Sick Building
Syndrome21 . Ventilasi yang buruk akan menyebabkan pertukaran udara
dari luar yang masuk ke dalam ruangan akan menjadi buruk juga
e. Kondisi psikis pekerja Kondisi psikis pekerja dan kesehatan pekerja
akan mempengaruhi produktivitas kerja34. Pekerja dengan kapasitas
kerja yang tinggi akan menyebabkan stress pada pekerja yang akan
menyebabkan cepat lelah dan rentan terkena Sick Building Syndrome
11
mikroorganisme dalam ruangan umumnya tidak berbahaya bagi
kesehatan manusia, namun bakteri, virus dan parasit yang kadang
dapat menimbulkan penyakit26,28. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi potensi mikroorganisme yang dapat menimbulkan
penyakit yaitu tempat masuknya mikroorganisme, jumlahnya
cukup banyak, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
dan kemampuan berpindah pada Host yang baru8,24. Hanya 5 %
dari Investigasi penyebab Sick Building Syndrome digedung –
gedung karena konsentrasi mikroorganisme5 . Mikroba seperti
bakteri, fungi dan protozoa masuk melalui sistem ventilasi,
berkembang di dalam gedung, di karpet yang lembab, furnuture
dan genangan air pada sistem ventilasi
12
Syndrome. Ventilasi udara harus dibersihkan secara rutin agar
partikel-partikel yang ada di dalamnya tidak mengendap .
c. Pekerja Jika terdapat penghuni gedung yang merokok, harus
disediakan tempat khusus yang memiliki ventilasi yang cukup Hal
tersebut untuk mencegah perkumpulan asap rokok yang
mempunyai andil cukup besar dalam terjadinya Sick Building
Syndrome.
B. Penilaian Kualitas Udara Dalam Ruang.
1. Kualitas Fisik. Dalam penilaian kualitas fisik udara di dalam ruangan
ditentukan dengan beberapa parameter 9-12:
a. Suhu / Temperatur udara.
b. Kelembaban udara.
c. Kecepatan aliran udara.
d. Kebersihan udara.
e. Bau.
f. Kualitas Ventilasi.
g. Pencahayaan.
h. Kadar Debu / Partikulat ( Respirable Suspended Perticulate ).
a. Suhu / Temperatur Udara.
Suhu udara sangat berperan terhadap kenyamanan kerja. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut, tubuh manusia menghasilkan panas yang
digunakan untuk metabolisme basal dan muskular, namun dari semua energi
yang dihasilkan tubuh hanya 20 % saja dipergunakan dan sisanya akan
dibuang ke lingkungan. Variasi suhu udara tubuh dengan ruangan
memungkinkan terjadinya pelepasan suhu tubuh, sehingga tubuh merasa
nyaman. Sebaliknya suhu ruangan yang tinggi merupakan beban tambahan
bagi seseorang yang sedang bekerja.19 Penilaian suhu udara ruangan
umumnya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu suhu basah dimana pengukuran
dilakukan jika udara mengandung uap air, dan suhu kering bilamana udara
13
sama sekali tidak mengandung uap air. Pembacaannya dilakukan dengan
termometer sensor kering dan sensor basah. Kisaran suhu kering 22º25ºC.
Bagi pekerja dengan beban kerja ringan kisaran suhu dapat lebih luas yaitu
20º-25ºC. Perubahan suhu lebih dari 7ºC secara tiba-tiba dapat menyebabkan
pengerutan saluran darah, sehingga perbedaan suhu dalam dan luar ruangan
sebaiknya kurang dari 7ºC. Itulah sebabnya penetapan suhu udara perlu
memperhitungkan iklim setempat agar perbedaan suhu dapat disesuaikan,
contohnya kota Jakarta berdasarkan data meteorologi memiliki suhu terendah
sebesar 21,7ºC - 26,2ºC ( musim penghujan ) dan suhu tertinggi 27,3ºC - 32ºC
( musim kemarau)
b. Kelembaban udara.
Kelembaban udara dihitung dari perbandingan suhu basah dan suhu kering
(persen) dengan demikian kedua ukuran ini saling berkaitan. Kombinasi suhu
dan kelembaban udara yang tepat akan menciptakan kenyamanan ruangan,
sebaliknya kombinasi keduanya dapat pula memperburuk kondisi udara
ruangan. Kelembaban relatif udara yang rendah, yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban
yang tinggi pada suhu tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan
mikroorganisme dan pelepasan folmaldehid dari material bangunan.
Menggunakan AC disarankan agar kelembaban relatif udara besarnya sekitar
65% agar kenyamanan terpenuhi. Selanjutnya berdasarkan surat edaran
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No.SE-01/Men/1978
tentang nilai ambang batas (NAB) yang berlaku untuk lingkungan kerja panas
di Industri adalah kelembaban 65% - 95% dengan kisaran suhu 26ºC - 30ºC.
Untuk lingkungan kerja lainnya tidak ada aturan NAB. Sedangkan menurut
ASHRAE (1981) zona kenyamanan 55% - 74% berada pada kisaran suhu
22ºC - 26ºC dan kelembaban 20% - 70%.
c. Kecepatan Aliran Udara.
14
Kecepatan aliran udara mempengaruhi gerakan udara dan pergantian udara
dalam ruang, besarnya berkisar 0,15 – 1,5 m / dtk (nyaman), kecepatan udara
kurang dari 0,1 m/dtk atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman
karena tidak ada gerakan udara, sebaliknya kecepatan udara terlalu tinggi akan
menyebabkan tarikan dingin dan atau kebisingan di dalam ruangan.
d. Kebersihan udara.
e. Bau. Bau
merupakan faktor kualitas udara yang penting. Bau dapat menjadi petunjuk
keberadaan suatau zat kimia berbahaya seperti Hydrogen Sulfida, Amonia dll.
Selain itu bau juga dihasilkan oleh berbagai proses biologi oleh
mikroorganisme. Kondisi ruangan yang lembab dengan suhu tinggi dan aliran
udara yang tenang biasanya menebarkan bau kurang sedap karena proses
pembusukan oleh mikroorganisme.17
f. Kualitas Ventilasi.
Ventilasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menyebabkan
terjadinya SBS. Luas ventilasi ruangan yang kurang dari 10% menurut
standard WHO atau ventilation rate kurang dari 20 CFM OA memberikan
risiko yang besar untuk terjadinya gejala SBS. Ventilation rate yang baik
untuk suatu gedung atau ruangan adalah 25 -50 CFM OA per penghuni.
Ventilasi yang paling ideal untuk suatu ruangan apabila ventilasi dalam
15
keadaan bersih, luas memenuhi syarat, sering dibuka, adanya cross ventilation
sehingga tidak menyebabkan adanya dead space dalam ruangan.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan pencemaran udara merupakan salah
satu sebab terbesar gejala SBS.
Ventilasi dalam lingkungan kerja ditujukan untuk :
- Mengatur kondisi kenyamanan ruangan.
- Memperbaruhi udara dengan pencemaran udara ruangan pada batas normal
- Menjaga kebersihan udara dari kontaminasi berbahaya.
Ventilasi ruangan secara alami didapatkan dengan jendela terbuka yang
mengalirkan udara luar ke dalam ruangan, namun selama beberapa tahun
terakhir AC ( Air Conditioner ) menjadi salah satu pilihan terbaik. Mekanisme
kerja AC sebagai berikut udara di luar gedung dihisap, didinginkan kemudian
udara yang dingin itu dihembuskan ke dalam ruangan. Terdapat dua jenis AC,
yaitu AC sentral dan AC non sentral. Perbedaan jenis AC non sentral dan AC
sentral terletak pada volume udara segar yang dipergunakan. Biasanya AC
non sentral hanya memiliki gerakan udara masuk ( inlet ), sedangkan outlet
melalui lubang atau pintu yang sedang dibuka. Sistem ventilasi AC non
sentral memungkinkan masuknya zat pencemar dari udara ke dalam ruangan.
Pada sistem AC sentral, udara luar dihisap masuk kedalam chiller, mengalami
proses pendinginan, kemudian dihembuskan ke ruangan. Selanjutnya udara di
ruangan yang masih agak dingin dihisap lagi untuk didinginkan kembali
kemudian dihembuskan lagi. Aliran udara demikian disebut udara sirkulasi,
dimana 85% - 100% berupa udara campuran. Bangunan atau gedung yang
menggunakan sistem sirkulasi artifisial umumnya dibuat relatif tertutup untuk
mengurangi penggunaan kalor (efisiensi energi), artinya kurang memiliki
sistem pertukaran udara segar dan bersih yang baik. Jenis AC peruntukan
rumah, gedung dan gedung yang tidak memerlukan pengaturan suhu dan
kelembaban secara tepat, umumnya menggunakan sistem penyegaran udara
tunggal atau sentral.
16
g. Pencahayaan.
Sistem pencahayaan ruangan terdiri dari dua macam yaitu pencahayaan alami
(sinar matahari) dan pencahayaan buatan (lampu). Faktor pencahayaan
penting berkaitan dengan perkembangbiakan mikro organisme dalam ruangan.
Sinar matahari yang mengandung ultra violet dapat membunuh kuman-kuman
sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat.
17
aktivitas lain juga merupakan sumber-sumber partikulat RSP di dalam
ruangan. Pengaruh partikulat RSP terhadap kesehatan tergantung kepada sifat
fisik dan toksik partikulat tersebut, atau kemampuan partikulat dalam
menyerap materi toksik. Partikulat RSP dapat terakumulasi didalam paru-
paru, oleh karenanya efek yang disebabkan oleh partikulat ini bisa sangat
berbahaya walaupun konsentrasinya diudara sangat kecil. Didalam paru-paru,
partikulat RSP dapat menetap lama dan mampu mempengaruhi jaringan-
jaringan disekitarnya.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Suhu udara rata-rata 24,40 C, Kelembaban rata-rata 54,5% dan Intensitas
kebisingan terukur rata-rata 54dB.
2. Umur median (min-max) untuk SBS 28 (23-46 tahun) dan non SBS 38 (23-50
tahun), lama kerja perhari sebagian besar ≤ 8 jam (39,4% pada SBS dan 50%
pada non SBS, masa kerja ≤ 5 tahun pada SBS 30,6 % dan non SBS 25%.
3. Ada hubungan antara umur dengan kejadian SBS dengan p value 0,03, usia
muda lebih besar risikonya untuk terjadinya SBS.
4. Kontrol suhu udara dalam ruangan. kontrol ventilasi, kontrol kelembaban dan
pencahayaan yang tidak baik merupakan faktor risiko terjadinya SBS dengan
RP 4,98; 14,4; 7,385; 9,33.
5. Kontrol kebisingan, Pemeliharaan kebersihah ruanagn, Perbaikan kondisi
gedung, pembersihan filter AC dalam ruangan, penyimpanan reagen dan cara
penyimpanan barang bukti (penutupan) tidak ada hubungan yang bermakna
dengan kejadian SBS.
6. Jumlah kuman dan jamur tidak ada perbedaan pada kasus SBS dan Non SBS.
Jenis jamur yang ditemukan pada 9 ruangan dalam tiga unit adalah
Aspergillus, sedangkan dalam 2 ruangan ditemukan Candida dan Aspergillus.
7. Analisis multivariat menunjukkan umur muda (OR 1,252) dan kontrol
ventilasi yang tidak baik (OR 164,558) merupakan faktor risiko terjadinya
SBS.
B. SARAN
1. Bagi Institusi Kontrol suhu, blood smear, kelembaban, ventilasi dan
pencahayaan harus selalu dipertahankan dalam kondisi maksimum untuk
mengurangi risiko kejadian SBS. Perlu dilakukan spraying dengan desinfectan
secara rutin untuk mengurangi kejadian SBS mengingat dalam penelitian
ditemukan jumlah kuman yang cukup tinggi . Untuk mengurangi jumlah
19
jamur dalam ruang laboratorium perlu dilakukan pembersihan ruangan secara
rutin dan penyimpanan bahan bukti yang berupa bahan organic harus
dilakukan dalam tempat tertutup. Kelembaban dalam ruangan dan ventilasi
secara cross ventilasi harus dipertahankan secara optimal untuk mengurangi
terjadinya dead space sebagai faktor risiko pertumbuhan bateri dan jamur.
2. Bagi Personil Laboratorium Forensik dan Uji Balistik Mabes Polri Perlu
penggunaan masker pada waktu memeriksa bahan kimia atau bahan peledak
mengingat efek toksik yang sangat berbahaya bila kontak dalam jangka waktu
lama dengan bahan kimia toksik dan berbahaya.
20