Anda di halaman 1dari 45

AIR BORNE DISEASES PENYAKIT TUBERCULOSIS (TBC)

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Epidemiologi Penyakit Menular
yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH dan dr. Dhian kartikasari, S.ked

oleh:

Aulia Citra Cahyani 160612613605


Media Alvi Nurhuda 160612613681
Revo Adi Christianto Sudjana 160612613624
Revy Yuniarti Ningrum 160612613602
Sabira Putri Salsabila Hariyanto 160612613629

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
OKTOBER 2017

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Air Borne Diseases Penyakit Tuberculosis (TBC)” dengan tepat
waktu.
Makalah ini disusun guna untuk menyelesaikan tugas matakuliah
Epidemiologi Penyakit Menular. Dimana dalam proses pembuatannya penulis
menemui banyak kendala yang tanpa bantuan dari berbagai pihak tentu saja
makalah ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih dan memberikan penghargaan serta memohon maaf atas kesalahan yang telah
penulis lakukan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini. Adapaun pihak-pihak tersebut adalah:

1. Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH dan dr. Dhian kartikasari, S.ked selaku
dosen matakuliah Epidemilogi Penyakit Menular
2. Orangtua yang telah mendukung baik secara moril maupun materiil
3. Teman-teman yang sudah memberikan pendapat, saran, kritikan atas tugas
yang telah di berikan ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari kekurangan. Untuk
itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah “Air Borne
Diseases Penyakit Tuberculosis (TBC)” ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Malang, 6 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Epidemiologi Penyakit TBC .............................. 3
2.2 Penyebab Penyakit TBC .............................................................. 4
2.3 Perjalanan Penyakit TBC ............................................................. 6
2.4 Tanda dan Gejala Penyakit TBC .................................................. 8
2.5 Diagnosis Penyakit TBC .............................................................. 9
2.6 Penatalaksanaan Penyakit TBC .................................................. 24
2.7 Pencegahan, Penanggulangan, dan Pengendalian
Penyakit TBC ............................................................................. 29
2.8 Kejadian Luar Biasa Penyakit TBC ........................................... 33

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................41

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tuberculosis (TBC) adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman tuberculosis menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ
tubuh lainnya (Depkes, 2008). Penularan penyakit ini melalui perantaraan
ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada
waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap
oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian
menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Kusnindar, 1990). WHO
menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di
Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun
1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan
yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi
pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course
Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000
dengan perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%.

Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus


baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada
dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, Jumlah
kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang
pertahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak
terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya
peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status
gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat
tinggal.

Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka


prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau
sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positip
sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian
akibat TB di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per
hari. Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke
tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar
700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27
per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per
100.000 penduduk di tahun 2012 (WHO, 2013).

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana pengertian dan epidemiologi penyakit TBC?
1.2.2 Apa penyebab penyakit TBC?
1.2.3 Bagaimana perjalanan siklus penyakit TBC?
1.2.4 Bagaimana tanda dan gejala penyakit TBC?
1.2.5 Bagaimana cara diagnosa penyakit TBC?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan penyakit TBC?
1.2.7 Bagaimana cara pencegahan, penanggulangan dan pengendalian
penyakit TBC?
1.2.8 Bagaimana kejadian luar biasa penyakit TBC?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1.3.1 Mengetahui pengertian dan epidemiologi penyakit TBC.
1.3.2 Mengetahui penyebab penyakit TBC.
1.3.3 Mengetahui perjalanan siklus penyakit TBC.
1.3.4 Mengetahui tanda dan gejala penyakit TBC.
1.3.5 Mengetahui cara diagnosa penyakit TBC.
1.3.6 Mengetahui cara penatalaksanaan penyakit TBC.
1.3.7 Mengetahui cara pencegahan, penanggulangan dan pengendalian
penyakit TBC.
1.3.8 Mengetahui kejadian luar biasa penyakit TBC.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TBC


2.1.1 Pengertian Penyakit TBC
Tuberculosis paru (TBC) adalah suatu penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang paru
tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2008).

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan
aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama


menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama
Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001).

Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri
yang tahan asam (Suriadi, 2001).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa


Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang
menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia.

2.1.2 Epidemiologi Penyakit TBC


Menurut pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan
Indonesia, TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun
sebelum masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan
pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir.
WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis. Dalam laporan WHO tahun 2013
diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012. Dimana
1,1 juta orang (13%) di antaranya adalah pasien degan HIV positif.
Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika, pada
tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yag menderita TB
MDR dan 170.000 diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012
diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB
secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak pertahun,

3
atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB
(Kementerian Kesehatan Indonesia).

Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011


angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000
penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positip sebesar 189 per 100.000 penduduk atau
sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB di luar HIV sebesar 27
per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Menurut laporan
WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah
kasus tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar
700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011
sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun
menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun 2012 (WHO, 2013).

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA


positif, pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Beberapa
faktor yang mengakibatkan menularnya penyakit itu adalah
kebiasaan buruk pasien TB paru yang meludah sembarangan
(Anton, 2008; Currie, 2005). Selain itu, kebersihan lingkungan
juga dapat mempengaruhi penyebaran virus. Misalnya, rumah
yang kurang baik dalam pengaturan ventilasi. Kondisi lembab
akibat kurang lancarnya pergantian udara dan sinar matahari dapat
membantu berkembangbiaknya virus (Guy, 2009; Talu, 2006).
Oleh karena itu orang sehat yang serumah dengan penderita TB
paru merupakan kelompok sangat rentan terhadap penularan
penyakit tersebut. Lingkungan rumah, lama kontak serumah dan
perilaku pencegahan baik oleh penderita maupun orang yang
rentan sangat mempengaruhi proses penularan penyakit TB paru.
Karakteristik wilayah pedesaan, menjadi determinan tersendiri
pada kejadian penyakit TB (Fortun, 2005; Mitnick, 2008, Randy,
2011).

2.2 PENYEBAB PENYAKIT TBC


Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora
sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar
ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun (Depkes RI,

4
2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkolosis yaitu tipe human dan tipe
bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita masitis
tuberkolosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di
udara yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).

Penyakit tubekulosis paru adalah kuman Mycobacterium


tubeculosa, yang berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan
lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman
(tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium


tuberculosis. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-
0,6 mikron dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini
mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat). Sifat dari bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini dapat
bertahan terhadap pencucian, warna dengan asam dan alkohol sehinggar
sering disebut dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga
tahan terhadap suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada
kondisi rumah atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai
berbulan-bulan namun bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila
terkena sinar, matahari atau aliran udara (Widoyono, 2011).

M. tuberculosis merupakan kuman berbentuk batang, berukuran


panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri
aerob, pada pewarnaan gram maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan
dengan asam. Oleh karena itu M. tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan
Asam atau BTA. Pada dinding sel M. Tuberculosis lapisan lemak
berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan yang ada
dibawahnya, hal ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga
mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, yaitu suatu
molekul lain dalam dinding sel M. tuberculosis, yang berperan dalam
interaksi antara inang dan patogen, sehingga M. tuberculosis dapat bertahan
hidup di dalam makrofag (Anonim, 2009).

Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga


menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan
mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan
mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana.
Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada

5
media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010).
Suhu optimal untuk tumbuh pada 37º dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada
suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan
terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari
rantai panjang glikoloipid dan phospoglicon yang kaya akan mikolat
(Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan
pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam).
(Herchline, 2013).

2.3 PERJALANAN SIKLUS PENYAKIT TBC


Menurut Depkes RI (2002) riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu
infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus
dan dan menatap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan di paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah
sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes, 2008).

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman


yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkemabngan
kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan emnetap sebagai
kuman persier atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan,
yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu
yang diperlukan mulai terinfeksi samapai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan. Kedua tuberkolosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis
paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efisi pleura (Depkes, 2008).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI,
2007).

 Cara Penularan (Depkes RI, 2007)


 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

6
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, semenatra sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan adri parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.

 Risiko Penularan (Depkes RI, 2007)


 Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberi
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif.
 Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk
yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
 ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
 Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
negatif menjadi positif.

 Risiko menjadi sakit TB (Depkes RI, 2007)


 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
 Dengan ARTI 1% diperkirakan diantara 100.000 pendduk rata-
rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang)
akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya
adalah pasien TB BTA positif.
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan sesorang menjadi
pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya
infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi bruk).
 HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB Infeksi HIV mengakibatkan
faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi

7
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
menagkibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, denagn demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
 Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan (Depkes RI, 2007):
 50% meninggal
 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang
tinggi
 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

2.4 TANDA DAN GEJALA PENYAKIT TBC


Pada penderita tuberkulosis paru apabila sudah terpapar dengan agent
penyebabnya penyakit dapat memperlihatkan tanda dan gejala. Berikut ini
merupakan tanda dan gejala penyakit TB menurut Depkes RI (2009):
a. Batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih.
b. Batuk bercampur darah.
c. Sesak nafas dan nyeri dada.
d. Badan lemah.
e. Nafsu makan berkurang.
f. Berat badan turun.
g. Rasa kurang enak badan (lemas).
h. Demam meriang berkepanjangan.
i. Berkeringat dimalam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.
Adapun masa tunas (masa inkubasi) penyakit tuberkulosis paru adalah
mulai dari terinfeksi sampai pada lesi primer muncul, sedangkan waktunya
berkisar antara 4 -12 minggu untuk tuberkulosis paru. Pada pulmonair
progressif dan extrapulmonair, tuberkulosis biasanya memakan waktu yang
lebih lama, sampai beberapa tahun. Perioda potensi penularan, selama basil
tuberkel ada pada sputum (dahak). Beberapa kasus tanpa pengobatan atau
dengan pengobatan tidak adekuat mungkin akan kambuh dengan sputum positif
selama beberapa tahun. Tingkat atau derajat penularan tergantung kepada
banyaknya basil tuberkulosis dalam sputum, virulensi atas basil dan peluang
adanya pencemaran udara dari batuk, bersin dan berbicara keras secara umum.
Kepekaan untuk terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tua muda, bayi dan balita. Kepekaan
tertinggi pada anak kurang dari tiga tahun terendah pada anak akhir usia 12-13
tahun, dan dapat meningkat lagi pada umur remaja dan awal tua (Depkes RI,
2009).

8
Gejala Penyakit TB pada Anak
Gejala pada anak lebih susah di diagnosis karena bukan merupakan gejala
khas TB. Pada anak jarang ditemukan gejala TB seperti batuk berdahak seperti
yang diderita pada orang dewasa dan sering sekali salah diagnosis, karena gejala
yang dialami bisa juga merupakan gejala penyakit lain (Koes Irianto, 2014).
Menurut Koes Irianto (2014), gejala TB pada anak bisa ditandai dengan tanda-
tanda berikut:
 Demam lama atau berulang, tetapi tidak terlalu tinggi
 Tidak ada nafsu makan (anoreksia)
 Berat badan tidak kunjung bertambah
 Malnutrisi atau gangguan gizi
 Multi L (Lemah, Letih, Lesu, Lunglai, Lelah, Lambat)
 Batuk lama atau berulang , tetapi tidak berdahak (tetapi sering kali ini
merupakan gejala asma)
 Diare berulang

Gejala TB diatas merupakan gejala khas yang biasa terjadi pada


penderita TB. Namun tidak bisa dijadikan patokan, sebab gejala yang sama
kadang mengindikasikan penyakit lain.

2.5 DIAGNOSIS PENYAKIT TBC


Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan
suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal
dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara
pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes, 2002).

Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru BTA
positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas
kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin,
mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam
waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS) (Depkes,
2002).

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya
(Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).

a. Pemeriksaan Fisik

9
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis
tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (Buku
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
b. Pemeriksaan bakteriologis
a) Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH) (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia).
b) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-
turut atau dengan cara (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia) :
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan
apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji

10
resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas
objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila
lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring
melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan
kertas saring (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia) :
 Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar
terlihat bagian tengahnya
 Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di
bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
 Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan
melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan
dahak
 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di
tempat yang aman, misal di dalam dus
 Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan
dalam kantong plastik kecil
 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara)
dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan
menggunakan lidi
 Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan
tanggal pengambilan dahak
 Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos
ke alamat laboratorium.
c) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan
lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia) :
• Mikroskopik
• biakan
 Pemeriksaan mikroskopik
Mikroskopik biasa pewarnaan Ziehl-Nielsen
pewarnaan Kinyoun Gabbett Mikroskopik fluoresens
pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening).
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan

11
lebih dahulu dengan cara sebagai berikut (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia) :
 Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
 Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak
mencair sempurna
 Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm
 Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-
merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya
menjadi merah
 Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan
HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke
kuning-kuningan
 Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan
(boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi hasil
pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala
bronkhorst atau IUATLD.
Catatan :
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1
kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.
c. Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia) :
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis
pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT
dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan

12
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform) (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia) :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotic
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia) :
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis

13
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat (Buku
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya (Buku
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia).
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan /
spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru
sesuai dengan organ yang terlibat (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama
(Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia).
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan
mudah (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia).
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT
tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi
M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal

14
dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb
38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum
yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna
biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen
pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi
yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel
yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini
pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia).
3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam
lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi
growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah (Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi
paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal
biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar
getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan
biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru. Diagnosis pasti
infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan
paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma

15
dengan perkejuan (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia).
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED)
jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan (Buku Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).
Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita
serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan
biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi
/ tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia).
7. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa.
Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin
kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya
negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi
peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi
atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis) (Buku
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia).

Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis


TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara
konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji
kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta
pemeriksaan histopatologis (Kusuma, 2007).

Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan


ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan.

16
Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau
1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif
(PDPI, 2011).

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2


hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang
dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik
paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya
lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Depkes, 2007).

Gambar Alur Diagnosis TB Paru

Sumber : Depkes (2007)

Menurut Kemenkes RI (2014) Dalam tatalaksana pasien


dilakukan dalam berbagia tahapan guna menegaskan dan
menetapkan pasien TB, sehingga dapat dilakukan tindakan sesuai
keluhan dan gejala pasien TB, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1. Penemuan Pasien

17
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan
pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai daari
penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik
dan laboratoris, menentukan diagnosisi, menentukan,
klasifikasi penyakit serta tipe pasien sehingga dapat dilakukan
pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain.
A. Strategi Penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada
kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan.
Upaya penemuan ecara intensif harus didukung dengan
kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB
dapat ditemukan secara dini. Penjaringan terduga TB
dilakukan di fasilitas kesehatan: didukung deng promosi
secara aktif oleh petugass kesehatan bersama masyarakat.
Tahap awal penjaringan TB dapat dilakukan dengan
menjaring masyarakat yang memiliki gejala:
1. Batuk berdahak selama dua minggu atau lebih,
umumnya batuk disertai dengan darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
2. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, sehingga umumnya terduga perlu diperiksa
lebih lanjut.
B. Pemeriksaan dahak
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk
menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat
terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang,
terduga pasien membawa sebuah pot dahak
untuk menampung dahak pagi pada hari
kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada
pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.

18
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes
pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
2. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi
Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan
untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien
tertentu, misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya.
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk
menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan,
uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh
laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji
pemantapan mutu/QualityAssurance (QA). Hal ini
dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam
menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan
keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan
obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan
pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI
telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke
fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh
provinsi.

19
Alur Diagnosis Dan Tindak Lanjut TB Parupada Pasien Dewasa
(tanpa kecurigaan / bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB resisten obat)
Sumber: Depkes (2014)

2.5.1 Klasifikasi dan tipe Pasien TB


Setelah dilakukan diagnosis pada pasien yang bertujuan
menetapkan sesorang pasien TB sesuai keluhan dan gejala
penyakit, selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasarkan
klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
2. Penetapan panduan pengobata yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian
TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan.
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemampuan dan evaluasi efektifitas program
TB secara tepat baik dalam maupun antar kabupaten/kota
provinsi, nasional dan global.

20
1. Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan
Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil
pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang
direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara
bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes
cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan
bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria
terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai
pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
 Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil
pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
 Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa
konfirmasi bakteriologis.
 TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
2. Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi
tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut:
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari
penyakit: Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang
belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah

21
menelan OAT namun kurang dari 1 bulan
(˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah
pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28
dosis).
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji
kepekaan obat Pengelompokan pasien disini
berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan
dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan
terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR):
adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien
ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien
dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau
sedang mendapatkan ART
atau

22
 Hasil tes HIV positif pada saat
diagnosis TB
2) Pasien TB dengan HIV negatif adalah
pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya
atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat
diagnosa TB
3) Pasien TB dengan status HIV tidak
diketahui, adalah pasien Tbtanpa ada
bukti pendukung harus disesuaikan
kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.
e. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah
mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
• Infeksi sekunder
• Infeksi jamur
• TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

23
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih
tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan.
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik
(biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologik
meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat
pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik.

2.6 FASILITAS KESEHATAN YANG MENANGANI PENYAKIT TBC DAN


PENATALAKSANAAN PENYAKIT TBC
2.6.1 Fasilitas Kesehatan yang Menangani Penyakit TBC
Menurut Kemenkes RI (2014) Penatalaksanaan dilaksanakan oleh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL).

a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)


FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam

24
FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.
Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-
RM). FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan
pemeriksaan mikroskopis dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas
pemeriksaan mikroskopis yang disebut sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).

b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)


FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan
kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP. Fasilitas
kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama. Untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan terjangkau,
semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerjasama dalam kerangka
jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun
eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.

2.6.2 Tata Laksana Pasien TB


Terapi Non Farmakologi Penyakit TBC (Anonim,2015):
 Sering berjemur dibawah sinar matahari pagi (pukul 6-8 pagi).
 Memperbanyak istirahat (bedrest).
 Diet sehat, dianjurkan mengkonsumsi banyak lemak dan
vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru dan
meningkatkan sistem imun.
 Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat
tinggal.
 Menjaga sirkulasi udara di dalam rumah agar selalu berganti
dengan udara yang baru.
 Berolahraga, seperti jalan santai di pagi hari.
 Mencegah penularan
 Memulihkan kondisi pasien
 Pembedahan untuk mengambil jaringan yang rusak permanen

Terapi Non Farmakologi Penyakit TBC (Paramita,2016)


A. Mengkonsumsi makanan bergizi
Salah satu penyabab munculnya penyakit TBC adalah
kekurangan gizi seperti mineral dan vitamin. Maka dari itu
akan sangat penting bilamana penderita secara rutin
mengkonsumsi makanan bergizi, makanan bergizi tersebut
seperti buah, sayur dan ikan laut. Akan tetapi hindari buah

25
yang banyak mengandung lemak jahat atau gas seperti buah
nangka, buah durian, dondong dan buah nanas.
B. Tinggal di lingkungan sehat
Lingkungan yang sehat akan membantu penderita
penyakit TBC untuk segera sembuh, karena penyakit ini
disebabkan oleh virus sehingga jika penderita berada di
lingkungan yang kotor maka akan menyebabkan virus
tersebut semakin berkembang sehingga akan memperburuk
keadaan.
C. Berolahraga secara rutin
Mungkin hampir semua penyakit dapat ditangani
dengan melakukan olahraga secara rutin, dan begitu juga
untuk penyakit TBC ini. jika penderita bisa olahraga secara
rutin misal jogging atau senam, maka akan membantu
peredaran darah dan metabolisme dalam tubuh menjadi
lancar sehingga virus penyebab TBC tidak akan mampu
berkembang atau duplikasi diri menjadi banyak.
D. Mengurangi makanan bernatrium dan kafein
Penyakit TBC akan semakin parah apabila penderita
masih secara rutin mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung natrium dan kafein, makanan yang banyak
mengandung natrium antara lain seperti junkfood, kerang,
saus instan, alkohol dan masih banyak lagi, sedangkan untuk
makanan yang banyak mengandung kafein seperti kopi,
capuccino, moccaino, rokok dan teh (tidak untuk teh hijau).
Dengan menghindari makanan bernatrium ataupun berkafein
tinggi maka penyembuhan penyakit TBC dapat berjalan
dengan baik.
E. Mengurangi dan berhenti Merokok
TB pada perokok lebih menular daripada penderita
TB yang tidak merokok, kebiasaan merokok juga merupakan
faktor dalam progresivitas tuberkulosis paru dan terjadinya
fibrosis.

Diet Pada TB Paru


Pengaturan makan ini bertujuan untuk
 Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan jaringan tubuh.
 Menambah berat badan hingga mencapai berat badan
normal. Usahakan berat badan seimbang dengan tinggi
badan.
Syarat Diet Yang Dianjurkan Untuk Penderita TBC :
a. Tinggi Energi
Energi diberikan 40-45 kkal/kgBB. Oleh karena itu
penderita TBC perlu makan lebih banyak daripada orang

26
sehat (kurang lebih 1,5 x makan orang sehat). Energi 2.505
kcal.
b. Tinggi Protein
Protein diberikan 2-2,5 gram/kgBB. Sebaiknya
sering mengkonsumsi makanan sumber protein yang
berkualitas tinggi seperti putih telur, daging, ayam, ikan dan
susu (laukhewani). Sedangkan tempe, tahu, kacang-
kacangan dan hasil olahannya dapat diberikan sebagai
tambahan, karena jenis ini kualitas proteinnya tidak sebik pada
lauk hewani. Protein 107 gr.
c. Cukup Lemak (84 gr) dan Karbohidrat ( 317 gr).
d. Makanlah secara cukup sumber vitamin
Terutama vitamin C, K dan B Kompleks seperti buah-
buahan dan kacang-kacangan.
e. Makanlah secara cukup sumber mineral
Terutama zat besi dan kalsium seperti hati, susu,
ikan, daging, dsb

Bahan Makanan Yang Diperbolehkan


 Semua sumber karbohidrat diperbolehkan seperti nasi, roti,
mie, makaroni kentang, dsb
 Semua sumber protein diperbolehkan seperti telur, ayam,
daging ikan susu, tempe, tahu, kacang-kacangan, dsb.
 Semua jenis sayuran diperbolehkan.
 Semua jenis buah baik buah segar, buah kaleng, buah kering,
maupun jus buah diperbolehkan
 Minyak goreng, mentega, margarin, santan encer
diperbolehkan, namun penggunaannya perlu dibatasi.
 Susu sangat dianjurkan untuk meningkatkan asupan
kalsium. Madu, sirup, teh, kopi encer diperbolehkan.
 Bumbu tidak tajam seperti bawang merah, bawang putih,
laos, salam, kecap, dsb diperbolehkan. Bumbu yang tajam
seperti cabe dan merica sebaiknya dibatasi
 Sebaiknya hindari makanan yang dapat merangsang batuk
seperti gorengan, minuman dingin (es), makan pedas dan
masam.

Pembagian Makanan Sehari


PEMBERIAN UKURAN RUMAH TANGGA
No. JENIS
PAGI SIANG MALAM
MAKANAN
1. Nasi 1 ½ gelas 1 ¾ gelas 1 ¾ gelas
2. Daging 1 potong 1 potong 1 potong
sedang sedang sedang

27
3. Tempe 1 potong 2 potong 2 potong
sedang sedang sedang
4. Sayuran 1 gelas 1 gelas 1 gelas
5. Minyak ½ sendok 1 sendok 1 sendok
6. Susu segar 1 gelas 1 gelas 1 gelas
7. Roti ayam 1 porsi - -
8. Telur rebus - 1 butir -
Catatan : Jam 10.00 ( susu segar dan roti ayam)
Jam 16.00 (susu segar dan telur rebus)
Jam 21.00 ( susu segar)

2.6.3 Prinsip pengobatan TB


Menurut Kemenkes (2014) Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah
komponen penting dalam pengobatan TB, pengobatan TB merupakan
upaya yang paling efisien pencegahan penyebaran lebih lanjut dari
kuman TB, pengobatan yang adekuat harus sesuai prinsip:
 Pengobatan diberikan dalam bentuk pasuan OAT yang tepat
mengandung minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
 Diberikan dalam dosis yang tepat.
 Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan utnuk mencegah kekambuhan.

Obat Lini Pertama


Sumber: Kemenkes (2014)

28
Kisaran Obat Lini Pertama
Sumber: Kemenkes RI (2014)

OAT yang digunakan dalam TB MR


Sumber: Kemenkes RI (2014)

2.7 PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN, DAN PENGENDALIAN


PENYAKIT TBC
2.7.1 Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Menurut Kemenkes RI (2011) Upaya Pengendalian
Tuberkulosis (TB) dilakukan dengan strategi pengendalian TB yang
dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-
course) sesuai dengan rekomendasi WHO sejak tahun 1995.
Semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program
di banyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh
Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas

29
menjadi “Strategi Stop TB”, mencapai, mengoptimalkan dan
mempertahankan mutu DOTS, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu
DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan
lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai
menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara
bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang di
integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes RI, 2011)

Menurut Kemenkes RI (2014) Upaya pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia memiliki tujuan serta target sebagai
berikut :
A. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB
dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
B. Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah
setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan
penurunan jumlah kasus TB per 100,000 penduduk dari 235
menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB
paru (BTA positif) yang disembuhkan dari 85% menjadi
88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014 akan
menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya. Pada tahun 2015-
2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan
target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan
target Global TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs
(Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian
TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang
lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per
tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target

30
penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar
25% dari angka insidensi tahun 2015.

2.7.2 Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis Di Indonesia


Menurut Kemenkes RI (2014) dalam upaya pengendalian
TB di Indonesia, pemerintah memberlakukan kebijakan-kebijakan,
yaitu:
1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan
azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program,
yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan
strategi DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan
strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB
Strategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan
komitmen daerah terhadap program pengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya
ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan,
kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan
sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB
dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai
Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM),
Klinik Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di
FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat kesulitan yang tidak
dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL
dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit
telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan
kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan
Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).

31
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat
pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses
layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB
diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan
manajemen logistk yang efektif demi menjamin
ketersediaannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang
memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan
kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok
miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan
pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target
strategi global pengendalian TB.

2.7.3 Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010 – 2014


Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri
dari 7 strategi (Kemenkes RI, 2014):
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang
bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah,
masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui
pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta
(PublicPrivate Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap
Standar Internasional Penatalaksanaan TB (International
Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
dan manajemen program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah
terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan
informasi strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun


2015-2019 merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya
dengan beberapa pengembangan strategi baru untuk menghadapi
target dan tantangan yang lebih besar (Kemenkes RI, 2014).

32
2.7.4 Pencegahan Penyakit TB
Berikut ini merupakan upaya pencegahan penyakit TBC
menurut Koes Irianto (2014):
1. Menjaga kebersihan tangan
2. Melakukan etika batuk
3. Tidak sembarangan membuang dahak
4. Menggunakan masker bila menderita batuk
5. Rumah dan tempat bekerja harus mempunyai ventilasi
yang cukup sehingga aliran udara lancar
6. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan tempat bekerja
7. Pola hidup sehat

2.8 KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT TBC


2.8.1 Kejadian Luar Biasa Penyaki TBC
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman
TB (WHO, 2014). Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia
terinfeksi kuman TB (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus
TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia
Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO,
2015). Di Indonesia, prevalensi TB paru dikelompokkan dalam tiga
wilayah, yaitu wilayah Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali
(23%), serta wilayah Indonesia Bagian Timur (44%) (Depkes,
2008).
Penyakit TB paru merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua
kelompok usia serta nomor satu untuk golongan penyakit infeksi.
Korban meninggal akibat TB paru di Indonesia diperkirakan
sebanyak 61.000 kematian tiap tahunnya (Depkes RI, 2011).
Penemuan kasus TB (CDR) di Indonesia selalu mengalami
peningkatan, tercatat sejak tahun 2006 sampai 2010 (kecuali tahun
2007) Indonesia telah mencapai dan mampu mempertahankan target
yaitu capaian nasional tahun 2010 sebesar 78,3% (Kemenkes,
2010).
Berdasarkan Global Tuberculosis Control tahun 2009 (data
tahun 2007), angka prevalensi TB sebesar 244 per 100.000
penduduk (565.614 orang) sedangkan data kematian akibat TB
(CFR) adalah sebesar 39 per 100.000 penduduk (250 orang/hari.
Berdasarkan data Kemenkes (2009), CDR tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi utara (85,2%), diikuti DKI Jakarta (81%) dan

33
Banten sebesar 77,7%. Sedangkan data tahun 2010, menunjukkan
CDR tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 96,2%, diikuti
DKI Jakarta sebesar 79,9% dan Gorontalo sebesar 77,3%

2.8.2 Faktor Resiko


Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Jenis kelamin.
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan
perempuan. Hampir tidak ada perbedaan di antara anak laki
dan perempuan sampai pada umur pubertas (Croft, 2002).
2. Status gizi.
Telah terbukti bahwa malnut risi akan mengurangi
daya tahan tubuh sehingga akan menurunkan resistensi
terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Faktor ini sangat
berperan pada negara- negara miskin dan tidak mengira usia
(Croft, 2002).
3. Sosioekonomi.
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat
yang berasal dari kalangan sosio ekonomi rendah.
Lingkungan yang buruk dan permukiman yang terlampau
padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB
(Croft, 2002).
4. Pendidikan.
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat
mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan
kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang
menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai
pendidikan rendah akan berpeluang untuk mengalami
ketidak sembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding dengan
orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi
(Croft, 2002).
5. Faktor-faktor Toksis.
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan
faktor penting dapat menurunkan daya tahan tubuh (Nelson,
1995)
2.8.3 Surveilans
Surveilans TB adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh
wasor TB di kabupaten/kota, tetapi tidak ditindak lanjuti untuk
menghasilkan informasi sebagai reaksi dari program (Nizar, 2010).
Salah satu komponen penting dalam surveilans ialah pencatatan
data, pelaporan data, pengolahan data, analisis, interpretasi,
pengkajian, dan penyebarluasan informasi untuk dimanfaatkan.

34
Data yang dikumpulkan harus valid supaya mudah untuk diolah dan
dianalisis. Untuk data program TB dapat diperoleh dari pencatatan
di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu
sistem baku (Kemenkes, 2009).
Tujuan adalah suatu pernyataan guna mencapai suatu
kondisi yang spesifik dan terukur yang telah direncanakan bersama
dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan visi dan misi suatu
organisasi yang telah disepakati oleh semua anggota. Tujuan yaitu
arah yang hendak dicapai sehingga perlu sebuah pendekatan
manajemen yang objektif agar semua komponen sumber daya yang
tersedia dapat terkendali dengan efektif dan efisien (Nizar, 2010).
Tujuan surveilans TB menurut Nizar (2010) yaitu:
1. Mengevaluasi intervensi program untuk menilai
kemajuan program dan seberapa jauh pengaruhnya
terhadap status kesehatan masyarakat dengan
membandingkan antara indikator yang telah ditetapkan
dengan capaian program. Indikator yang dimaksud
menurut Dinkes Prov. Jateng (2006) dan Depkes (2009)
adalah sebagai berikut:
a. Proporsi suspek diantara perkiraan suspek
dengan target 70%
b. Konversi BTA negatif, dengan target 80%
c. Kesembuhan dengan target 85%
d. Error rate <5%
e. Angka drop out <10%
2. Memantau perkembangan program (CDC, 2011)
3. Memprediksi letusan karena sistem surveilans mampu
memperkirakan suatu penyakit atau masalah secara
ilmiah dan alami (Nizar, 2010).
2.8.4 Sumber dan jenis data TB
Dalam surveilans TB data yang diperoleh ada tiga jenis yaitu
data primer, sekunder, dan tertier. Data-data tersebut yaitu sebagai
berikut:
1. Data primer didapat melalui penjaringan suspek atau
pemeriksaan pada kelompok berisiko di unit pelayanan
kesehatan atau di masyarakat (Nizar, 2010). Data tersebut
berupa kartu pemeriksaan, catatan medik, daftar tilik yang
telah dirumuskan dalam formulir khusus. Pada program TB
instrumen tersebut biasa disebut form TB-01, TB-02, TB-
03, TB-04, TB-05, TB-06, TB-07 (Dinkes Prov. Jateng,
2006, Depkes, 2009; Nizar, 2010).

35
2. Data sekunder didapat melalui laporan-laporan, seperti form
TB-07, TB-11, dan TB-08 (Dinkes Prov. Jateng, 2006;
Depkes, 2009; Nizar, 2010).
3. Data tertier didapat dari laporan program terkait TB, seperti
laporan tahunan program TB, profil kesehatan, profil
tahunan RS ataupun puskesmas, dan lainnya (Dinkes Prov.
Jateng, 2006, Depkes, 2009)

Pengumpulan dan Pengolahan Data TB Pengumpulan data


TB dikerjakan di tingkat puskesmas/rumah sakit dan ditingkat
kabupaten/kota, sehingga instrumennya terbagi dua. Tahapan-
tahapan dalam mengumpulkan dan mengolah data TB yaitu sebagai
berikut:
1. Instrumen Pengumpulan Data TB Instrumen program P2TB
terdiri dari 13 formulir yang harus diisi semua oleh semua
pelaksana program TB baik di puskesmas maupun oleh wasor
di tingkat kabupaten/kota (Dinkes Prov. Jateng, 2006;
Depkes, 2009). Dari 13 formulir tersebut yang dikerjakan p
ada level puskesmas/rumah sakit menurut Dinkes Prov.
Jateng (2006), Depkes (2009), dan Nizar (2010) adalah
sebagai berikut :
a. TB-01 adalah kartu pengobatan pasien TB yang diisi
oleh petugas TB.
b. TB-02 merupakan kartu identitas pasien.
c. TB-04 merupakan register laboratorium TB yang
diisi oleh petugas laboratorium.
d. TB-05 merupakan formulir permohonan
laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak yang
diisi oleh petugas BP dan kemudian dijawab oleh
petugas laboratorium mengenai hasil laboratorium.
e. TB-06 merupakan daftar tersangka atau suspek yang
diperiksa dahak SPS dan diisi oleh petugas di
poliklinik/BP guna menjaring suspek TB.
f. TB-09 merupakan formulir rujukan/pindah pasien
dan diisi oleh petugas TB
g. TB-10 merupakan formulir hasil akhir pengobatan
dari pasien TB rujukan/pindahan.
Formulir yang digunakan oleh petugas wasor di Dinkes
kabupaten/kota dalam mencatat dan melaporkan menurut
Dinkes Prov. Jateng (2006), Depkes (2009), dan Nizar (2010)
adalah sebagai berikut:
- TB-03 merupakan register TB kabupaten.

36
- TB-07 merupakan laporan triwulan penemuan dan
pengobatan pasien TB.
- TB-08 merupakan laporan triwulan hasil pengobatan TB.
- TB-11 merupakan laporan triwulan hasil konversi dahak
akhir tahap intensif.
- TB-12 merupakan formulir pemeiksaan sediaan untuk uji
silang dan analisis hasil uji silang kabupaten.
- TB-13 berisi laporan OAT.
2. Cara Pengumpulan Data TB
Data program TB dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem surveilans pasif melalui penjaringan di BP puskesmas,
puskesmas pembantu, atau bidan desa (Kemenkes, 2009; Depkes,
2009; Nizar, 2010). Surveilans aktif dilakukan bila petugas
mengunjungi masyarakat ketika melakukan penjaringan
penemuan penderita melalui gerakan di masyarakat yang
diregulasikan dalam peraturan desa (Depkes, 2009; Nizar, 2010).
Pengumpulan data dengan inst rumen di atas merupakan
tugas dan wewenang tiap level pelaksana. Puskesmas/rumah sakit
sebagai bagian dari pengumpulan data untuk mengisi atau
melengkapi daftar isian formulir. Sedangkan wasor
kabupaten/kota yaitu melaksanakan pengendalian keteraturan
peng obatan setiap triwulan, memeriksa kelengkapan dan
kebenaran data yang dikumpulkan oleh puskesmas/rumah sakit,
mengisi formulir TB- 03, memberikan nomor register kabupaten
pada form TB-01, selain itu juga mengevaluasi cakupan program
dan membina petugas untuk meningkatkan kinerja dengan
membahas permasalahan dan hambatan yang dihadapi dengan
metode pemecahan masalah melalui pendekatan sistem yang
benar dan utuh (Nizar, 2010)
Pengumpulan data ini bila dilihat dari sesi surveilans
termasuk dalam surveilans aktif. Akan tetapi, ada juga wasor
kabupaten/kota yang mengerjakannya secara pasif.
Kelemahannya ialah wasor tidak dapat membina petugas
mengenai cakupan program dan ini terjadi apabila luas daerah
binaan lebih dari 20 unit puskesmas (Nizar, 2010).
3. Pengolahan Data TB
Pengolahan data TB di tingkat kabupaten/kota dilakukan
oleh wasor TB. Data yang diolah yaitu data yang bersumber dari
TB -03 dan dikelola sesuai kebutuhan. Untuk memudahkan dalam
pengolahan data, wasor mengembangkan formulir untuk
mengklata menurut orang lengkap dengan jenis kelamin dan

37
kelompok usia, menurut waktu dan tempat yang dirinci menurut
sumber data (Nizar, 2010)

38
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
 Tuberculosis paru (TBC) adalah suatu penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis.
Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang paru tetapi juga
dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2008).
 Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008).
 Menurut Depkes RI (2002) riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu
infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan dan menatap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan
cara pembelahan di paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek
primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif (Depkes, 2008).
 Pada penderita tuberkulosis paru apabila sudah terpapar dengan
agent penyebabnya penyakit dapat memperlihatkan tanda dan
gejala. Berikut ini merupakan tanda dan gejala penyakit TB menurut
Depkes RI (2009) :
1. Batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau
lebih.
2. Batuk bercampur darah.
3. Sesak nafas dan nyeri dada.
4. Badan lemah.
5. Nafsu makan berkurang.
6. Berat badan turun.
7. Rasa kurang enak badan (lemas).
8. Demam meriang berkepanjangan.
9. Berkeringat dimalam hari walaupun tidak melakukan
kegiatan.
 Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus

39
inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara
nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011).
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang
sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya
(Amin dan Bahar, 2009).
 Menurut Kemenkes RI (2014) Dalam tatalaksana pasien dilakukan
dalam berbagia tahapan guna menegaskan dan menetapkan pasien
TB, sehingga dapat dilakukan tindakan sesuai keluhan dan gejala
pasien TB, tahapan-tahapan tersebut meliputi: penemuan pasien,
pemeriksaan dahak, pemeriksaan biakan, pemeriksaan uji kepekaan
obat.
 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB
(WHO, 2014). Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia
terinfeksi kuman TB (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus
TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia
Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO,
2015). Di Indonesia, prevalensi TB paru dikelompokkan dalam tiga
wilayah, yaitu wilayah Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali
(23%), serta wilayah Indonesia Bagian Timur (44%) (Depkes,
2008).

40
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. 2007.

Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013. Determinasi penyakit tuberkulosis di daerah


pedesaan. (Online), https://media.neliti.com/media/publications/25407-ID-
determinasi-penyakit-tuberkulosis-di-daerah-pedesaan.pdf diakses pada 28
September 2017

Irianto Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan
Klinis. Bandung : Alfabeta

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :


Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :
Kemenkes RI
KEMENKES RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB);
2010

Kusnindar, 1990. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di


Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, No. 63 hal. 8 –12.

Novanti.2015.(Online).http://lib.unnes.ac.id/20583/1/6411410048-S.pdf
Murti,Bhisma.2010.Surveilans Kesehatan Masyarakat. (Online),
http://lib.unnes.ac.id/20583/1/6411410048-S.pdf. diakses pada 1 Oktober 2017

Muaz, Faiz. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru


Basil Tahan Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang
Tahun 2014. (Online).
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25734/1/FARIS%20M
UAZ.pdf diakses pada 6 Oktober 20117

(Online). http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdfdown. diakses


pada 27 agustus 2017

(Online).
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1309242859_YANFAR.PC%20TB_1.pdf.
diakses pada 27 agustus 2017

(Online). http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-lisakurnia-
6389-2-babii.pdf. diakses pada 27 agustus 2017

(Online). http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=4562 . diakses pada 27


agustus 2017

41
(Online). http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf oleh DHM Kes.
Diakses pada 29 Agustus 2017

(Online). http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf
oleh RA WERDHANI. Diakses pada 29 Agustus 2017

(Online). http://digilib.unila.ac.id/6668/17/BAB%20II.pdf

(Online). http://eprints.undip.ac.id/44615/3/2.pdf oleh E Wahyuningsih - 2014.


Diakses pada 29 Agustus 2017

(Online).
http://erepo.unud.ac.id/11065/3/24c84443f9f66c008cfe2967d4ec91e9.pdf.
Diakses pada 29 Agustus 2017 23.00

(Online). http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-noorainnyg-
5318-2-bab2.pdf. Diakses pada 7 September 2017 20.54

(Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40165/Chapter%20II.pdf;j
sessionid=D82DB3EF2FA0180090398B789F4667F1?sequence=4. Diakses pada
Jumat, 29 September 2017 20.07

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. 2016. Tuberculosis Temukan,


Obati Sampai Sembuh.(Online), file:///C:/Users/ASUS/Downloads/InfoDatin-
2016-TB.pdf diakses pada 28 September 2017

RD,Lestari.2015.(Online).http://eprints.ums.ac.id/34035/26/BAB%202%20NEW.
pdf. diakses pada 1 Oktober 2017.

Unand.(Online), http://scholar.unand.ac.id/3940/2/PENDAHULUAN.pdf. diakses


pada 1 Oktober 2017.

USU.2011.Tuberkulosis.(Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123
456789/21490/Chapter%20II.pdf;jsessionid=6A77309BD09487861C6BC1B8FC
9C6A11?sequence=3. diakses pada 1 Oktober 2017.
(Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40165/Chapter%20II.pdf;j
sessionid=3ECADB46E6ED5C236E3AF6AC9EAA92A7?sequence=4. diakses
pada 6 Oktober 2017

(Online), Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Tuberkulosis.


Diakses pada 6 Oktober 2017

42

Anda mungkin juga menyukai