PENDAHULUAN
II.1 Baja
II.1.1 Definisi Baja
Baja merupakan paduan dari besi karbon yang mengandung banyak paduan
lain dalam konsentrasi yang tinggi; terdapat ribuan paduan yang mempunyai
komposisi dan juga perlakuan panas yang berbeda-beda.
(Calister, 2011:411)
Baja merupakan salah satu jenis logam yang banyak digunakan dengan unsur
karbon sebagai salah satu dasar campurannya. Di samping itu baja juga mengandung
unsur-unsur lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan
sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat dipengaruhi
oleh presentase karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja karbon
dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan unsur campuran
lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah kekerasan, tahan gores dan
tahan suhu baja. Perbedaan presentase karbon dalam campuran logam baja karbon
menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja.
(Nanulaitta, 2012:986)
II.1.2 Klasifikasi Berdasarkan Paduan
Baja paduan Menurut [Amanto, 1999], baja paduan adalah baja yang dicampur dengan satu
atau lebih unsur campuran seperti nikel, mangan, molybdenum, kromium, vanadium dan
wolfram yang berguna untuk mendapatkan sifat-sifat baja yang diinginkan seperti sifat
kekuatan, kekerasan dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan
sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja
yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya baja paduan dibagi
menjadi tiga macam yaitu baja paduan rendah (low alloy steel), baja paduan menengah
(medium alloy steel), dan baja paduan tinggi (high alloy steel).
(Wardoyo, 2005:238)
Baja karbon rendah dapat diaplikasikan pada komponen bodi mobil, bentuk
struktural (mis., balok-I, saluran dan besi sudut), dan lembaran yang digunakan
pada saluran pipa, bangunan, jembatan, dan kaleng.
(Calister, 2011:411)
2) Baja karbon sedang
Baja karbon sedang mengandung karbon 0,3%C – 0,6%C (medium carbon
steel) dan dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja untuk dikeraskan
sebagian dengan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang
lebih keras serta lebih lebih kuat dibandingkan dengan baja karbon rendah.
(Nanulaitta, 2012:986)
Aplikasi dari baja karbon sedang termasuk roda dan rel kereta api, roda gigi,
crankshafts, dan bagian mesin lainnya dan komponen struktural kekuatan tinggi
yang menuntut kombinasi kekuatan tinggi, ketahanan aus, dan ketangguhan.
(Callister, 2011: 412)
3) Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi mengandung 0,6%C – 1,5%C dan memiliki kekerasan
tinggi namun keuletannya lebih rendah, hampir tidak dapat diketahui jarak
tegangan lumernya terhadap tegangan proporsional pada grafik tegangan
regangan. Berkebalikan dengan baja karbon rendah, pengerasan dengan perlakuan
panas pada baja karbon tinggi tidak memberikan hasil yang optimal dikarenakan
terlalu banyaknya martensit sehingga membuat baja menjadi getas.
(Nanulaitta, 2012:986)
Baja ini digunakan sebagai alat pemotong dan cetakan untuk membentuk dan
membentuk bahan, serta pada pisau, pisau cukur, pisau gergaji besi, pegas, dan
kawat berkekuatan tinggi.
(Callister, 2011: 413)
II.2 Baja AISI 1045
AISI 1045 adalah baja karbon yang mempunyai kandungan karbon sekitar 0,43 - 0,50
dan termasuk golongan baja karbon menengah. Baja spesifikasi ini banyak digunakan sebagai
komponen automotif misalnya untuk komponen roda gigi pada kendaraan bermotor.
Komposisi kimia dari Baja AISI 1045 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Komposisi Baja AISI 1045
(AZoM, 2013: 2)
Struktur yang dihasilkan dari proses pemanasan dan pendinginan yang lambat adalah
fasa ferit dan fasa perlit. Struktur mikro baja karbon medium (AISI 1045) yang dinormalisasi
hasil austenisasi pada temperatur 1095 OC pendinginan diudara. Berikut merupakan gambar
dari struktur mikronya :
Gambar 2.3 Struktur mikro besi cor kelabu dengan perbesaran 500x
b) Besi cor nodular atau Nodular cast iron
Pada gambar dibawah, nodular grafit yang berwarna hitam dikelilingi oleh matriks
-ferit.
Gambar 2.4 Struktur mikro besi cor nodular dengan perbesaran 200x
c) Besi cor putih atau White cast iron
Pada gambar dibawah ini, bagian sementit yang berwarna terang dikelilingi oleh
perlit, yang mana terdapat struktur berlapis berupa ferit-sementit.
Gambar 2.5 Struktur mikro besi cor putih dengan perbesaran 400x
d) Besi cor mampu tempa atau malleable cast iron
Grafit gelap yang berbentuk seperti mawar atau daun berada di matriks -ferit.
Gambar 2.6 Struktur mikro besi cor mampu tempa dengan perbesaran 150x
(Callister, 2011: 418)
Karena struktur mikro yang dimiliki oleh tiap jenis besi cor berbeda, maka sifat
mekanik yang dimilikinya pun juga berbeda. Berikut adalah sifat mekanik untuk tiap jenis
besi cor:
1) Besi cor kelabu
Pada jenis besi cor ini, peningkatan sifat mekanik beriringan dengan tensile strength-
nya. Beberapa sifat mekanik yang mengalami peningkatan yaitu :
Semua kekuatan, termasuk kekuatan pada temperatur elevasi
Kemampuan untuk machined hingga selesai sempurna
Modulus elsatisitas
Wear resistance
Tetapi, ada beberapa sifat mekanik yang menurun jika kekuatan tensile bertambah,
yaitu :
Machinability
Resistansi terhadap thermal shock
Kapasitas untuk damping
Kemampuan untuk pengecoran di bagian yang tipis
(ASM Handbook, 1990: 27)
2) Besi cor nodular
Sesuai dengan fakta yang ada, besi cor nodular memiliki mechanical properties yang
mirip dengan baja. Sebagai contoh, besi cor nodular memiliki kekuatan tarik antara
380 dan 480 MPa (55.000 dan 70.000 psi) dan keuletan (sebagai perpanjangan persen)
dari 10% menjadi 20%.
(Callister, 2011: 420)
3) Besi cor putih
Pada jenis besi cor ini karena mengandung banyak fasa sementit, mengakibatkan besi
cor ini keras, brittle, dan juga unmachinable. Sehingga, jenis besi ini memiliki
ductility yang sangat rendah.
(Callister, 2011: 420)
4) Besi cor mampu tempa
Besi cor ini memiliki kemiripan dalam struktur mikro dengan besi cor nodular.
Sehingga, sifat mekaniknya tidak jauh berbeda dengan besi nodular. Jenis besi cor ini
mempunyai kekuatan yang tinggi baik itu tensile strength dan yield strength. Serta
mempunyai ductility yang tinggi.
(Callister, 2011: 420)
Pada diagram fasa, jenis besi cor ini berada pada kadar karbon mulai dari 2% hingga
6,7%. Kemudian, fasa yang terbentuk tiap jenis berbeda. Untuk besi kelau memiliki karbon
fase kaya akan Grafit Lamelar, untuk besi nodular Grafit bulat, untuk besi putih adalah
sementit, dan besi mampu tempa adalah grafit temper.
Gambar 2.7 Diagram fasa Fe-Fe3C
Karena mechanical properties yang berbeda-beda setiap jenisnya, maka aplikasi dari tiap
besis cor juga berbeda. Berikut adalah aplikasi dari tiap besi cor :
1) Besi abu-abu digunakan untuk berbagai jenis suku cadang dalam beragam mesin dan
struktur yang sangat luas. Seperti bagian yang dibuat dari logam dan paduan lain,
bagian yang dimaksudkan untuk diproduksi sebagai besi cor kelabu harus dievaluasi
untuk kondisi penggunaan yang khusus sebelum disetujui untuk diproduksi.
2) Besi cor nodular sering digunakan untuk membuat katup, badan pompa, poros engkol,
roda gigi, dan komponen mesin dan otomotif lainnya.
3) Besi cor putih umum digunakan untuk rol di pabrik rolling. Umumnya, besi putih
digunakan sebagai perantara dalam produksi besi cor lain.
4) Besi cor mudah tempa karena memiliki machinability yang baik, maka jenis besi cor
ini sering digunakan pada batang penghubung, roda gigi transmisi, dan differential
case untuk industri otomotif, dan juga flensa, fiting pipa, dan bagian katup untuk
kereta api, kelautan, dan layanan tugas berat lainnya.
II.7 Metalografi
Metalografi merupakan analisis dari suatu struktur dan komponen fisis suatu logam
atau paduan yang dapat dilihat secara langsung secara visual maupun dengan bantuan
peralatan seperti mikroskop optik, mikroskop elektron, dan difraksi sinar-x. Analisis
metalografi secara kuantitatif merupakan pengujian yang cukup penting dalam proses
fabrikasi suatu logam karena bertujuan untuk menentukan fasa yang terbentuk, kekompakan
struktur, ukuran butir, dan berbagai karakteristik fisis lainnya. Informasi-informasi tersebut
bersifat penting karena dari data itu kita dapat memprediksi kekerasan, ketangguhan, dan
ketahanan suatu logam terhadap suatu proses degradasi, serta dapat menganalisis kerusakan
yang muncul pada permukaannya.
(Thiando, 2018: 205)
Dalam melakukan metalografi, terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan agar
bisa mencapai tujuan dari metalografi itu sendiri, yaitu :
1) Pemotongan (Cutting)
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang
digunakan, yaitu proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan
abrasi, gergaji kawat, dan EDM. Didalam pemotongan, diperlukan media
pendingin untuk mencegah terjadinya deformasi dan panas yang berlebihan.
2) Mounting
Proses ini dilakukan untuk mempermudah penanganan ketika akan melakukan
pengamplasan dan pemolesan akhir jika spesimen atau benda uji memiliki ukuran
yang kecil. Umumnya, mounting menggunakan material plastic sintetik.
3) Pengamplasan (Grinding)
Spesimen uji umumnya memiliki permukaan yang tidak rata, sehingga dibutuhkan
pengamplasan agar nantinya pengamatan struktur mudah dilakukan. Pengamplasan
menggunakan kertas amplas SiC dengan beberapa tingkat kekasaran.
4) Pemolesan (Polishing)
Pemolesan dilakukan agar mendapatkan permukaan sampel yang halus bebas
goresan dan mengkilap. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan memperjelas
objek pengamatan
5) Pengetsaan (Etching)
Pada proses ini, spesimen uji dicelupkan ke larutan etsa dengan tujuan untuk
mengikis batas butir. Setelah pengetsaan dilakukan, benda uji baru bisa diamati
dengan menggunakan alat-alat diatas.
(Juliaptini, 2010: 18)
II.8 Jenis-jenis Etsa
Etsa memiliki banyak jenisnya, etsa yang sama belum tentu bisa dilakukan pada
spesimen yang berbeda, karena tiap spesimen memiliki reaksi yang berbeda-beda. Berikut
adalah etsa-etsa yang dapat digunakan sesuai dengan benda uji percobaan ini:
1) Nital, digunakan untuk kebanyakan Fe, karbon, baja paduan, dan besi cor.
Spesimen uji di-immerse sekitar 60s. Komposisi : 1-10 mL HNO3 + 90-90 mL
ethanol
2) Picral, direkomendasikan untuk struktur yang mengandu ferit dan karbida.
Komposisi : 4g picric acid + 100 mL ethanol.
3) Amyl nital, digunakan dengan cara melapisi spesimen terlebih dahulu dengan
sebuah tutup. Komposisi : 0,5-5 mL HNO3 + 100 mL amyl alcohol
4) Superpicral, digunakan dengan cara di-immerse hingga 1 menit atau lebih.
Komposisi : 10g picric acid + 100 mL alocohol
(Voort, 1999: 631)
II.9 Metode pengukuran butir
Perhitungan dalam mengukur butir memiliki beberapa cara, yaitu :
1) Jeffries planimetric methods
Pada metode ini, dimulai dengan menggambar sebuah lingkaran atau sebuah segi
dengan diameter 79,8 mm atau luasan 5000mm2 pada hasil proyeksi yang didapatkan.
Pembesaran dilakukan untuk menyediakan setidaknya 50 butir di dalam area
perhitungan. Suatu hitungan dibuat dari jumlah butiran yang benar-benar berada
dalam area n1 dan jumlah butir yang memotong garis keliling area uji n2. Kemudian
nilai n1 + n2/2 dibagi dengan Jeffries factor (f) untuk perbesaran yang digunakan untuk
memperoleh estimasi jumlah butir per milimeter persegi pada 1X.
(2.1)
Setelah didapatkan nilai NA, nilai rata-rata butir pada luasan A dapat dihitung dengan :
(2.2)
Dan nilai diameter rata-rata butir adalah :
(2.3)
Sehingga, nilai ukuran butir ASTM, G, adalah :
(2.4)
Berikut adalah gambar dalam membuat lingkaran yang dimaksud pada penjelasan
diatas:
(2.5)
Kemudian, untuk mendapatkan nilai G, digunakan rumus :
(2.6)
Berikut adalah gambar dalam membuat lingkaran yang dimaksud pada penjelasan
diatas:
Gambar 2.14 Penentuan lingkaran untuk Tripple-point count metode
3) Heyn Intercept Method
Metode ini dilakukan dengan cara membuat garis uji LT pada gambar diperbesaran
tertentu. Perbesaran ini ditentukan biasanya sampai garis uji memotong 50-150 butir
agar menghasilkan penghitungan yang akurat. Untuk struktur satu fasa, maka jumlah
butir yang terpotong sama dengan jumlah batas butir yang terpotong (NL = PL).
(2.7)
Maka, didapat nilai panjang garis potong rata-rata:
(2.8)
Ujung garis uji sering berhenti di dalam butir, maka butir tersebut akan dihitung
dengan nilai ½, jika melewati triple point, maka dihitung 1 ½. Kemudian, untuk
menghitung nilai G :
(2.9)
Gambar perbesaran yang dimaksud dalam metode ini adalah sebagai berikut :
(2.10)
dimana VV adalah fraksi volume, LT adalah panjang total garis.
Adapun gambar dari perhitungan ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.16 Lingkaran yang digunakan untuk menghitung seperti pada Heyn Intercept
(Voort, 1999: 445)
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang diperlukan pada uji metalografi ini adalah:
1) Spesimen AISI 1045 1 buah
2) Resin secukupnya
3) Larutan etsa secukupnya
4) Pasta poles (Al2O3) atau metal polish secukupnya
5) Alkohol secukupnya
3.3. Standar Uji
Standar pengujian yang digunakan dalam preparasi specimen uji metallography adalah
ASTM E3 dan ASTM E407-07.
3.4. Prosedur Percobaan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Memotong specimen dengan luas permukaan antara ½ s/d 1 in2 atau diameter ¼ s/d
1 in.
2) Mengampelas specimen yang telah diresin dengan kertas amplas yang berjenjang,
dimulai dari grade 80 hingga grade 2000.
3) Benda uji yang telah melewati proses penggerindaan, diteruskan ke proses
pemolesan. Cara pemolesan dengan mesin poles metalografi, benda uji diletakkan di
atas piringan yang berputar, dengan sebelumnya mengoleskan pasta poles pada
permukaan benda uji.
4) Melakukan proses pengetsaan untuk mendapatkan penampakan yang nyata dari
struktur logam melalui mikroskop optik.
5) Mencuci benda uji dengan air hangat atau alkohol untuk menghentikan reaksi yang
terjadi.
6) Mengamati struktur logam dengan mikroskop optik.