Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Metalografi merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari metode observasi
dengan tujuan untuk menentukan atau mempelajari hubungan antara struktur, fasa, dan
grainsize dengan sifat atau karakter dan perlakuan yang pernah dialami oleh logam, paduan
dan bahan bahan lainnya. Namun, sebelum bahan tersebut digunakan dalam industri atau
bagian-bagian yang lain, alangkah baiknya kita memahami karakteristik struktural atau
susunan dari logam atau paduannya yang akan digunakan atau ditawarkan pada industri untuk
keperluan lainnya.
Dari hal inilah, orang mulai mencoba untuk melakukan uji metalografi pada suatu
material. Sehingga dengan cara ini dapat diperoleh bahan dengan sifat-sifat yang sesuai
dengan tujuan tertentu untuk memenuhi kebutuhan teknologi modern yang meningkat.Untuk
itu, pengujian metalografi sangat berguna dalam berbagai dunia industri, terutama pada
industri logam dan otomotif. Karena kebutuhan akan logam ini semakin meningkat, maka
banyak industri manufaktur menyuplai bahan logam yang ada di pasaran dan telah melalui
berbagai proses pengujian bahan. Dari pengujian ini material yang digunakan adalah AISI
1045, besi cor malleable, dan SS 304
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada pada percobaan ini yaitu :
1) Bagaimana struktur mikro pada Baja AISI 1045, Besi Cor Maleable, dan Stainless
Steel 304?
2) Bagaimana menentukan persentase fase?
3) Bagaimana menentukan grain size yang terdapat pada fase?

I.3 Tujuan Praktikum


Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah :
1) Menganalisis struktur mikro Baja AISI 1045, Besi Cor Maleable, dan Stainless
Steel 304
2) Menentukan persentase fase
3) Menentukan grain size yang terdapat pada fase?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Baja
II.1.1 Definisi Baja
Baja merupakan paduan dari besi karbon yang mengandung banyak paduan
lain dalam konsentrasi yang tinggi; terdapat ribuan paduan yang mempunyai
komposisi dan juga perlakuan panas yang berbeda-beda.
(Calister, 2011:411)
Baja merupakan salah satu jenis logam yang banyak digunakan dengan unsur
karbon sebagai salah satu dasar campurannya. Di samping itu baja juga mengandung
unsur-unsur lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan
sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat dipengaruhi
oleh presentase karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja karbon
dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan unsur campuran
lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah kekerasan, tahan gores dan
tahan suhu baja. Perbedaan presentase karbon dalam campuran logam baja karbon
menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja.
(Nanulaitta, 2012:986)
II.1.2 Klasifikasi Berdasarkan Paduan
Baja paduan Menurut [Amanto, 1999], baja paduan adalah baja yang dicampur dengan satu
atau lebih unsur campuran seperti nikel, mangan, molybdenum, kromium, vanadium dan
wolfram yang berguna untuk mendapatkan sifat-sifat baja yang diinginkan seperti sifat
kekuatan, kekerasan dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan
sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja
yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya baja paduan dibagi
menjadi tiga macam yaitu baja paduan rendah (low alloy steel), baja paduan menengah
(medium alloy steel), dan baja paduan tinggi (high alloy steel).

2.1.2.1 Baja Paduan Rendah (Low Alloy Steel)


Baja paduan rendah adalah baja paduan yang elemen paduannya kurang dari 2,5% wt
misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. Memiliki kadar karbon sama seperti baja
karbon, tetapi ada sedikit unsur paduan. Dengan ditambahnya unsur paduan, kekuatan dapat
ditingkatkan tanpa mengurangi keuletannya, kekuatan fatik, daya tahan terhadap korosi, aus
dan panas. Aplikasi dari baja ini digunakan pada kapal, jembatan, roda kereta api, ketel uap,
tangki gas, pipa gas.

2.1.2.2 Baja Paduan Menengah (Medium Alloy Steel)


Baja paduan menengah adalah baja paduan yang elemen paduannya 2,5%-10%wt misalnya
unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain.

2.1.2.3 Baja Paduan Tinggi (High Alloy Steel)


Baja paduan tinggi adalah baja paduan yang elemen paduannya terdiri lebih dari 10%wt
seperti unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. Contohnya baja tahan karat, baja perkakas
dan baja mangan. Aplikasi baja ini digunakan pada bearing, bejana tekan, baja pegas, cutting
tools, frog rel kereta api.
(Panjaitan, 2014)
2.1.3 Klasifikasi Baja berdasarkan Kadar Karbon
Berdasarkan kadar karbonnya, baja terbagi menjadi :
1) Baja karbon rendah
Baja kabon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam campuran
baja karbon kurang dari 0,3%. Baja ini bukan baja yang keras karena kandungan
karbonnya yang rendah kurang dari 0,3%C. Baja karbon rendah tidak dapat
dikeraskan karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk membentuk struktur
martensit.
(Nanulaitta, 2012:986)
Salah satu contoh komposisi baja karbon rendah yang diproduksi oleh PT.
Krakatau Steel adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Komposisi baja karbon rendah

(Wardoyo, 2005:238)
Baja karbon rendah dapat diaplikasikan pada komponen bodi mobil, bentuk
struktural (mis., balok-I, saluran dan besi sudut), dan lembaran yang digunakan
pada saluran pipa, bangunan, jembatan, dan kaleng.
(Calister, 2011:411)
2) Baja karbon sedang
Baja karbon sedang mengandung karbon 0,3%C – 0,6%C (medium carbon
steel) dan dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja untuk dikeraskan
sebagian dengan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang
lebih keras serta lebih lebih kuat dibandingkan dengan baja karbon rendah.
(Nanulaitta, 2012:986)

Aplikasi dari baja karbon sedang termasuk roda dan rel kereta api, roda gigi,
crankshafts, dan bagian mesin lainnya dan komponen struktural kekuatan tinggi
yang menuntut kombinasi kekuatan tinggi, ketahanan aus, dan ketangguhan.
(Callister, 2011: 412)
3) Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi mengandung 0,6%C – 1,5%C dan memiliki kekerasan
tinggi namun keuletannya lebih rendah, hampir tidak dapat diketahui jarak
tegangan lumernya terhadap tegangan proporsional pada grafik tegangan
regangan. Berkebalikan dengan baja karbon rendah, pengerasan dengan perlakuan
panas pada baja karbon tinggi tidak memberikan hasil yang optimal dikarenakan
terlalu banyaknya martensit sehingga membuat baja menjadi getas.
(Nanulaitta, 2012:986)
Baja ini digunakan sebagai alat pemotong dan cetakan untuk membentuk dan
membentuk bahan, serta pada pisau, pisau cukur, pisau gergaji besi, pegas, dan
kawat berkekuatan tinggi.
(Callister, 2011: 413)
II.2 Baja AISI 1045
AISI 1045 adalah baja karbon yang mempunyai kandungan karbon sekitar 0,43 - 0,50
dan termasuk golongan baja karbon menengah. Baja spesifikasi ini banyak digunakan sebagai
komponen automotif misalnya untuk komponen roda gigi pada kendaraan bermotor.
Komposisi kimia dari Baja AISI 1045 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Komposisi Baja AISI 1045

(Pramono, 2011: 32)


Adapun mechanical properties dari Baja AISI 1045 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Sifat mekanik Baja AISI 1045

(AZoM, 2013: 2)
Struktur yang dihasilkan dari proses pemanasan dan pendinginan yang lambat adalah
fasa ferit dan fasa perlit. Struktur mikro baja karbon medium (AISI 1045) yang dinormalisasi
hasil austenisasi pada temperatur 1095 OC pendinginan diudara. Berikut merupakan gambar
dari struktur mikronya :

Gambar 2.1 Struktur Mikro Baja AISI 1045


Dalam proses pembentukan baja ini akan sangat berkaitan sekali dengan struktur
mikronya. Struktur mikro tiap baja berbeda tergantung komposisi masing-masing. Didalam
proses pendinginan ketika sedang membuat baja, terdapat fasa yang berbeda tergantung pada
komposisinya, dimana hal ini dapat dilihat di diagram fasa. Diagram fasa adalah diagram
yang menampilkan hubungan antara temperatur dengan kadar karbon, dimana terjadi
perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan. Diagram fasa Fe-C merupakan
diagram yang menjadi parameter untuk mengetahui segala jenis fasa yang terjadi didalam
baja, serta untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang terjadi di dalam baja paduan dengan
berbagai jenis perlakuan. Berikut merupakan gambar diagram fasa Fe-Fe3C :

Gambar 2.2 Diagram Fasa Fe-Fe3C


II.3 Besi Cor
Besi cor adalah paduan besi dan karbon dengan kandungan karbon berkisar antara 2,0
– 6,67 %, namun yang biasa digunakan untuk berbagai komponen mesin mempunyai
kandungan karbon 2,5 – 4,0 %. Dasar pengklasifikasian besi cor ditentukan oleh struktur
metalografi yang sangat dipengaruhi oleh kandungan karbon dalam paduan. Karbon dapat
berupa sementit (Fe3C) ataupun karbon bebas (grafit). Bentuk, ukuran dan distribusi grafit
akan mempengaruhi sifat mekanik besi cor. Unsur lain berupa silikon, mangan, phosphor dan
belerang juga mempengaruhi struktur metalografi besi cor. Pengelompokan besi cor
berdasarkan struktur mikro khususnya bentuk karbon dibagi dalam empat golongan yaitu:
besi cor putih (white cast iron), besi cor mampu tempa (malleable cast iron), besi cor kelabu
(grey cast iron), besi cor nodular (nodular cast iron). Besi cor yang umum digunakan adalah
Besi cor kelabu.
(Setyana, 2017: 17)
Untuk memperoleh besi tuang terutama besi tuang kelabu, sebagai dasarnya
digunakan besi kasar kelabu. Besi kasar kelabu mempunyai kadar silisium tinggi (0,5 hingga
1,5 %) dan kadar mangan yang rendah. Oleh karena itu pembentukan zat arang bebas
meningkat. Besi tuang kelabu setelah pendinginan mengandung grafit, grafit muncul sebagai
pelat-pelat tipis dalam besi tuang. Pelat-pelat tipis inilah yang kita sebut dengan lamel. Dan
lamel inilah yang sifatnya getas (mudah retak atau pecah).
(Yulianto, 2009: 2)
Struktur mikro yang terdapat dalam tiap jenis besi cor berbeda-beda, tergantung pada
komposisi dan juga pembuatannya. Berikut adalah struktur mikro untuk tiap-tiap jenis besi
cor:
a) Besi cor kelabu atau Grey cast iron
Pada gambar dibawah, terdapat serpihan grafit yang berwarna hitam, tertanam di
dalam matriks -ferit.

Gambar 2.3 Struktur mikro besi cor kelabu dengan perbesaran 500x
b) Besi cor nodular atau Nodular cast iron
Pada gambar dibawah, nodular grafit yang berwarna hitam dikelilingi oleh matriks
-ferit.

Gambar 2.4 Struktur mikro besi cor nodular dengan perbesaran 200x
c) Besi cor putih atau White cast iron
Pada gambar dibawah ini, bagian sementit yang berwarna terang dikelilingi oleh
perlit, yang mana terdapat struktur berlapis berupa ferit-sementit.

Gambar 2.5 Struktur mikro besi cor putih dengan perbesaran 400x
d) Besi cor mampu tempa atau malleable cast iron
Grafit gelap yang berbentuk seperti mawar atau daun berada di matriks -ferit.

Gambar 2.6 Struktur mikro besi cor mampu tempa dengan perbesaran 150x
(Callister, 2011: 418)
Karena struktur mikro yang dimiliki oleh tiap jenis besi cor berbeda, maka sifat
mekanik yang dimilikinya pun juga berbeda. Berikut adalah sifat mekanik untuk tiap jenis
besi cor:
1) Besi cor kelabu
Pada jenis besi cor ini, peningkatan sifat mekanik beriringan dengan tensile strength-
nya. Beberapa sifat mekanik yang mengalami peningkatan yaitu :
 Semua kekuatan, termasuk kekuatan pada temperatur elevasi
 Kemampuan untuk machined hingga selesai sempurna
 Modulus elsatisitas
 Wear resistance
Tetapi, ada beberapa sifat mekanik yang menurun jika kekuatan tensile bertambah,
yaitu :
 Machinability
 Resistansi terhadap thermal shock
 Kapasitas untuk damping
 Kemampuan untuk pengecoran di bagian yang tipis
(ASM Handbook, 1990: 27)
2) Besi cor nodular
Sesuai dengan fakta yang ada, besi cor nodular memiliki mechanical properties yang
mirip dengan baja. Sebagai contoh, besi cor nodular memiliki kekuatan tarik antara
380 dan 480 MPa (55.000 dan 70.000 psi) dan keuletan (sebagai perpanjangan persen)
dari 10% menjadi 20%.
(Callister, 2011: 420)
3) Besi cor putih
Pada jenis besi cor ini karena mengandung banyak fasa sementit, mengakibatkan besi
cor ini keras, brittle, dan juga unmachinable. Sehingga, jenis besi ini memiliki
ductility yang sangat rendah.
(Callister, 2011: 420)
4) Besi cor mampu tempa
Besi cor ini memiliki kemiripan dalam struktur mikro dengan besi cor nodular.
Sehingga, sifat mekaniknya tidak jauh berbeda dengan besi nodular. Jenis besi cor ini
mempunyai kekuatan yang tinggi baik itu tensile strength dan yield strength. Serta
mempunyai ductility yang tinggi.
(Callister, 2011: 420)
Pada diagram fasa, jenis besi cor ini berada pada kadar karbon mulai dari 2% hingga
6,7%. Kemudian, fasa yang terbentuk tiap jenis berbeda. Untuk besi kelau memiliki karbon
fase kaya akan Grafit Lamelar, untuk besi nodular Grafit bulat, untuk besi putih adalah
sementit, dan besi mampu tempa adalah grafit temper.
Gambar 2.7 Diagram fasa Fe-Fe3C

Karena mechanical properties yang berbeda-beda setiap jenisnya, maka aplikasi dari tiap
besis cor juga berbeda. Berikut adalah aplikasi dari tiap besi cor :
1) Besi abu-abu digunakan untuk berbagai jenis suku cadang dalam beragam mesin dan
struktur yang sangat luas. Seperti bagian yang dibuat dari logam dan paduan lain,
bagian yang dimaksudkan untuk diproduksi sebagai besi cor kelabu harus dievaluasi
untuk kondisi penggunaan yang khusus sebelum disetujui untuk diproduksi.
2) Besi cor nodular sering digunakan untuk membuat katup, badan pompa, poros engkol,
roda gigi, dan komponen mesin dan otomotif lainnya.
3) Besi cor putih umum digunakan untuk rol di pabrik rolling. Umumnya, besi putih
digunakan sebagai perantara dalam produksi besi cor lain.
4) Besi cor mudah tempa karena memiliki machinability yang baik, maka jenis besi cor
ini sering digunakan pada batang penghubung, roda gigi transmisi, dan differential
case untuk industri otomotif, dan juga flensa, fiting pipa, dan bagian katup untuk
kereta api, kelautan, dan layanan tugas berat lainnya.

II.6 Pengaruh Unsur Paduan


Baja dan paduan besi lainnya dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar karena
memiliki berbagai sifat mekanik, dapat dibuat dengan relatif mudah, dan ekonomis untuk
diproduksi. Namun, mereka memiliki beberapa batasan yang jelas terutama kepadatan relatif
tinggi, konduktivitas listrik yang relatif rendah, dan kerentanan terhadap korosi di beberapa
lingkungan. Jadi, untuk mendapatkan sifat yang sesuai dengan pengaplikasian maka
ditambahkan unsur paduan agar memiliki kombinasi yang cocok. (Calister, 2010: 434)

II.7 Metalografi
Metalografi merupakan analisis dari suatu struktur dan komponen fisis suatu logam
atau paduan yang dapat dilihat secara langsung secara visual maupun dengan bantuan
peralatan seperti mikroskop optik, mikroskop elektron, dan difraksi sinar-x. Analisis
metalografi secara kuantitatif merupakan pengujian yang cukup penting dalam proses
fabrikasi suatu logam karena bertujuan untuk menentukan fasa yang terbentuk, kekompakan
struktur, ukuran butir, dan berbagai karakteristik fisis lainnya. Informasi-informasi tersebut
bersifat penting karena dari data itu kita dapat memprediksi kekerasan, ketangguhan, dan
ketahanan suatu logam terhadap suatu proses degradasi, serta dapat menganalisis kerusakan
yang muncul pada permukaannya.
(Thiando, 2018: 205)
Dalam melakukan metalografi, terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan agar
bisa mencapai tujuan dari metalografi itu sendiri, yaitu :
1) Pemotongan (Cutting)
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang
digunakan, yaitu proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan
abrasi, gergaji kawat, dan EDM. Didalam pemotongan, diperlukan media
pendingin untuk mencegah terjadinya deformasi dan panas yang berlebihan.
2) Mounting
Proses ini dilakukan untuk mempermudah penanganan ketika akan melakukan
pengamplasan dan pemolesan akhir jika spesimen atau benda uji memiliki ukuran
yang kecil. Umumnya, mounting menggunakan material plastic sintetik.
3) Pengamplasan (Grinding)
Spesimen uji umumnya memiliki permukaan yang tidak rata, sehingga dibutuhkan
pengamplasan agar nantinya pengamatan struktur mudah dilakukan. Pengamplasan
menggunakan kertas amplas SiC dengan beberapa tingkat kekasaran.
4) Pemolesan (Polishing)
Pemolesan dilakukan agar mendapatkan permukaan sampel yang halus bebas
goresan dan mengkilap. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan memperjelas
objek pengamatan
5) Pengetsaan (Etching)
Pada proses ini, spesimen uji dicelupkan ke larutan etsa dengan tujuan untuk
mengikis batas butir. Setelah pengetsaan dilakukan, benda uji baru bisa diamati
dengan menggunakan alat-alat diatas.
(Juliaptini, 2010: 18)
II.8 Jenis-jenis Etsa
Etsa memiliki banyak jenisnya, etsa yang sama belum tentu bisa dilakukan pada
spesimen yang berbeda, karena tiap spesimen memiliki reaksi yang berbeda-beda. Berikut
adalah etsa-etsa yang dapat digunakan sesuai dengan benda uji percobaan ini:
1) Nital, digunakan untuk kebanyakan Fe, karbon, baja paduan, dan besi cor.
Spesimen uji di-immerse sekitar 60s. Komposisi : 1-10 mL HNO3 + 90-90 mL
ethanol
2) Picral, direkomendasikan untuk struktur yang mengandu ferit dan karbida.
Komposisi : 4g picric acid + 100 mL ethanol.
3) Amyl nital, digunakan dengan cara melapisi spesimen terlebih dahulu dengan
sebuah tutup. Komposisi : 0,5-5 mL HNO3 + 100 mL amyl alcohol
4) Superpicral, digunakan dengan cara di-immerse hingga 1 menit atau lebih.
Komposisi : 10g picric acid + 100 mL alocohol
(Voort, 1999: 631)
II.9 Metode pengukuran butir
Perhitungan dalam mengukur butir memiliki beberapa cara, yaitu :
1) Jeffries planimetric methods
Pada metode ini, dimulai dengan menggambar sebuah lingkaran atau sebuah segi
dengan diameter 79,8 mm atau luasan 5000mm2 pada hasil proyeksi yang didapatkan.
Pembesaran dilakukan untuk menyediakan setidaknya 50 butir di dalam area
perhitungan. Suatu hitungan dibuat dari jumlah butiran yang benar-benar berada
dalam area n1 dan jumlah butir yang memotong garis keliling area uji n2. Kemudian
nilai n1 + n2/2 dibagi dengan Jeffries factor (f) untuk perbesaran yang digunakan untuk
memperoleh estimasi jumlah butir per milimeter persegi pada 1X.

(2.1)
Setelah didapatkan nilai NA, nilai rata-rata butir pada luasan A dapat dihitung dengan :

(2.2)
Dan nilai diameter rata-rata butir adalah :
(2.3)
Sehingga, nilai ukuran butir ASTM, G, adalah :

(2.4)
Berikut adalah gambar dalam membuat lingkaran yang dimaksud pada penjelasan
diatas:

Gambar 2.13 Penentuan lingkaran untuk Jeffries metode


2) Triple-point count method
Metode ini dengan cara menghitung jumlah triple point (P) dari batas butir
yang ada didalam area uji dengan perbesaran 1x (AT). Penentuan area uji dapat
menggunakan cara yang sama seperti halnya Jeffries method. Metode ini dirumuskan
dengan :

(2.5)
Kemudian, untuk mendapatkan nilai G, digunakan rumus :

(2.6)
Berikut adalah gambar dalam membuat lingkaran yang dimaksud pada penjelasan
diatas:
Gambar 2.14 Penentuan lingkaran untuk Tripple-point count metode
3) Heyn Intercept Method
Metode ini dilakukan dengan cara membuat garis uji LT pada gambar diperbesaran
tertentu. Perbesaran ini ditentukan biasanya sampai garis uji memotong 50-150 butir
agar menghasilkan penghitungan yang akurat. Untuk struktur satu fasa, maka jumlah
butir yang terpotong sama dengan jumlah batas butir yang terpotong (NL = PL).

(2.7)
Maka, didapat nilai panjang garis potong rata-rata:

(2.8)
Ujung garis uji sering berhenti di dalam butir, maka butir tersebut akan dihitung
dengan nilai ½, jika melewati triple point, maka dihitung 1 ½. Kemudian, untuk
menghitung nilai G :

(2.9)
Gambar perbesaran yang dimaksud dalam metode ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.15 Pembesaran untuk mendapat 50-150 butir


4) Duplex grain structure
Banyak paduan komersial yang mikrostrukturnya memiliki lebih dari satu fasa. Jika
fasa kedua memiliki ukuran yang relatif sama dengan fasa lainnya, maka penggunaan
tabel pembanding dapat digunakan untk mengestimasi besar butir. Jika tidak,
intercept method cocok untuk digunakan. Pertama menentukan fraksi volume dari
matrix dengan point counting dan lineal analysis. Kemudian cari fraksi volume dari
fasa kedua. Kemudian linear test grid digunakan sehingga didapat jumlah butir matrix
Na. Dari sini, didapatkan nilai L3, yang dirumuskan dengan :

(2.10)
dimana VV adalah fraksi volume, LT adalah panjang total garis.
Adapun gambar dari perhitungan ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.16 Lingkaran yang digunakan untuk menghitung seperti pada Heyn Intercept
(Voort, 1999: 445)
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1. Diagram Alir


Berikut adalah diagram alir pada percobaan ini :

Gambar III.1 Diagram Alir Percobaan


3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada uji metalografi ini adalah:
1) Hand grinding dengan kertas gosok ukuran masing-
masing 80, 120, 180, 240, 320, 400, 600, 800, 1000,
1200, 1500, hingga 2000. 1 buah
2) Polisher yang digerakkan oleh mesin listrik. 1 buah
3) Kain woll/bludru 1 buah
4) Mikroskop optis dengan perbesaran sampai 1000x 1 buah
5) Pipa 1 potong

3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang diperlukan pada uji metalografi ini adalah:
1) Spesimen AISI 1045 1 buah
2) Resin secukupnya
3) Larutan etsa secukupnya
4) Pasta poles (Al2O3) atau metal polish secukupnya
5) Alkohol secukupnya
3.3. Standar Uji
Standar pengujian yang digunakan dalam preparasi specimen uji metallography adalah
ASTM E3 dan ASTM E407-07.
3.4. Prosedur Percobaan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Memotong specimen dengan luas permukaan antara ½ s/d 1 in2 atau diameter ¼ s/d
1 in.
2) Mengampelas specimen yang telah diresin dengan kertas amplas yang berjenjang,
dimulai dari grade 80 hingga grade 2000.
3) Benda uji yang telah melewati proses penggerindaan, diteruskan ke proses
pemolesan. Cara pemolesan dengan mesin poles metalografi, benda uji diletakkan di
atas piringan yang berputar, dengan sebelumnya mengoleskan pasta poles pada
permukaan benda uji.
4) Melakukan proses pengetsaan untuk mendapatkan penampakan yang nyata dari
struktur logam melalui mikroskop optik.
5) Mencuci benda uji dengan air hangat atau alkohol untuk menghentikan reaksi yang
terjadi.
6) Mengamati struktur logam dengan mikroskop optik.

Anda mungkin juga menyukai