Tugas Ortodonti PDF
Tugas Ortodonti PDF
PERAWATAN ORTODONTI
Disusun Oleh :
Arum Dewi RH 10611012
Ason Leite 10612096
Dewantari Kris W 10613007
Dian Permata P 10613007
Fransisco Xavier P 10613107
Freedian Natasa ERW 10613052
Latifatul Umami 10613015
Lidia Borges Ximenes 10613111
Linda Agustin E 10613057
Nuno Da Costa DJ 10613114
Ruth Restina Datu 10611060
Samsul Arifin 10613070
Shobibur Rochmah 10613023
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh maloklusi terhadap diagnosa dalam perawatan
ortodonti.
1.4 Hipotesa
Maloklusi berpengaruh terhadap diagnosa dalam perawatan ortodonti.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Maloklusi
Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi
juga bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada
bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan
menggangu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan
untuk melakukan perawatan. Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi
meningkat, peningkatan ini sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang
diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur
dalam kelompok ras atau bisa juga dikatakan Maloklusi merupakan keadaan
yang menyimpang dari oklusi normal (Mavreas, 2008).
2.1.2 Etiologi Maloklusi
Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya
karena adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi proses tumbuh
kembang. Secara garis besar, etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat
digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal (Rahardjo, 2012).
1. Faktor herediter
Menurut Rahardjo (2012), pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam
dua hal, yaitu:
a. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan
maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema
multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai (Rahardjo, 2012).
b. Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah
yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis (Rahardjo, 2012).
3
4
tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di regio
tersebut (Rahardjo, 2012).
c. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi
permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang
terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila
mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu
akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi
yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang
normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada
pilihan lain kecuali dicabut (Rahardjo, 2012).
d. Pengaruh Jaringan Lunak
Tekanan dari otot, bibir, pipi, dan lidah memberi pengaruh yang besar
terhadap letak gigi, Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil
daripada tekanan otot pengunyahan tetapi berlangsung lebih lama.
Menurut penelitian, tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat
mengubah letak gigi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bibir,
pipi, dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam
dapat sangat mempengaruhi letak gigi (Rahardjo, 2012).
e. Kebiasaan Buruk
Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi
cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan
maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Faktor yang paling
berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Beberapa
kebiasan buruk yang dapat menyebabkan maloklusi, yaitu:
- Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai
dampak pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti
sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut
sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-
tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan
7
Gambar Protrusi
2. Intrusi dan Ekstrusi
Intrusi adalah pergerakan gigi menjauhi bidang oklusal. Pergerakan
intrusi membutuhkan kontrol kekuatan yang baik. Ekstrusi adalah
pergerakan gigi mendekati bidang oklusal (Rahardjo, 2009).
3. Crossbite
Crossbite adalah suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi
sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam arah transversal dari gigi geligi
maksila terhadap gigi geligi mandibula yang dapat mengenai seluruh atau
setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja (Rahardjo, 2009).
Gambar Crossbite
Berdasarkan lokasinya crossbite dibagi dua yaitu:
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau
beberapa gigi anterior maksila yang posisinya terletak di sebelah
lingual dari gigi anterior mandibula (Rahardjo, 2009).
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi
posterior mandibula (Rahardjo, 2009).
4. Deepbite
Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal
insisivus maksila terhadap insisal insisivus mandibula dalam arah vertikal
melebihi 2-3 mm. Pada kasus deep bite, gigi posterior sering linguoversi
9
atau miring ke mesial dan insisivus madibula sering berjejal, linguo versi,
dan supra oklusi (Rahardjo, 2009).
Gambar. Deepbite
5. Openbite
Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi
saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik (Rahardjo,
2009).
Gambar. Openbite
Macam-macam openbite menurut lokasinya adalah:
a. Anterior open bite
b. Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang
sempit, gigi depan inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra
oklusi, sedangkan klas II Angle divisi I disebabkan karena kebiasaan
buruk atau keturunan.
c. Posterior openbite pada regio premolar dan molar
d. Kombinasi anterior dan posterior (total openbite) terdapat baik di
anterior, posterior, dapat unilateral atau bilateral (Rahardjo, 2009).
6. Crowded
Crowded adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal.
Penyebab crowded adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada
lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus
alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah
10
lengkungan yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal
yang paling besar dari mahkota gigi geligi (Rahardjo, 2009).
Gambar. Diastema
2.1.4 Klasifikasi Maloklusi
Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun
1899. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan
mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu :
1. Klas I
Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan
normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama
11
maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula.
Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding,
spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering dikategorikan ke
dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan
molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang
bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka (Bhalaji, 2006).
2. Klas II
Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar
dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada
groove buccal molar permanen pertama mandibula (Bhalaji, 2006).
a. Klas II, divisi 1.
Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila
dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat terjadi
pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah
adanya aktivitas otot yang abnormal (Bhalaji, 2006).
b. Klas II, divisi 2.
Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan
molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya insisiv
sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang
lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan overbite yang
dalam pada anterior (Bhalaji, 2006).
3. Klas III
Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal
dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada interdental antara molar
pertama dan molar kedua mandibula (Bhalaji, 2006).
a. True Class III
Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan
genetic yang dapat disebabkan karena :
· Mandibula yang sangat besar.
· Mandibula yang terletak lebih ke depan.
· Maksila yang lebih kecil daripada normal.
12
3. Ekstraksi
Indikasi ekstraksi bila kekurangan ruangan lebih besar dari 4 mm atau
kontra indikasi untuk ekspansi yang biasanya dilakukan pencabutan premolar
pertama. Pada kasus gigi bercampur pencabutan gigi kaninus susu dapat dilakukan
untuk memberi kesempatan agar gigi insisivus yang berjejal tersusun rapi dalam
lengkung gigi. Di samping itu ekstraksi juga dilakukan untuk mendapatkan
keseimbangan antara gigi-gigi kiri dan kanan. Namun bila tempat yang
dibutuhkan untuk gigi permanen belum juga cukup maka dapat digunakan sekrup
ekspansi (Proffit, 1993).
Lebar Kepala
Indeks Sefalik = X 100
Panjang Kepala
16
a. Pola Mesosefalik
Pola ini sering dikaitkan dengan kelas I
oklusi karena pasien ini ditandai dengan
hubungan maksila dan mandibula relatif normal
yang menghasilkan keseimbangan wajah yang
baik (Rahardjo, 2011).
Gambar. Mesosefalik
b. Pola dolichosefalik
Pola ini biasanya dengan wajah panjang
dan otot lemah karena kecendrungan untuk
pertumbuhan vertikal. Oklusi molar sering kelas
I variasi divisi 1 (Rahardjo, 2011).
Gambar. Dolikosefalik
c. Pola Brachisefalik
Wajah pendek dan lebar, mandibula
persegi. Pasien dengan pola brachysefalik sering
dikaitkan dengan kelas II, divisi II maloklusi.
Pertumbuhan mandibula pasien ini ke depan
daripada ke bawah. Akibatnya, pasien biasanya
menunjukan overbite anterior berlebihan dan
dagu yang kuat (Rahardjo, 2011).
Gambar. Brachisefalik
17
2. Simetri Wajah
Asimetri akan mudah dikenali bila dilihat dari depan muka pasien, dapat
dikenali asimetri rahang terhadap muka secara keseluruhan. Penyebab tidak
simetri (Rahardjo, 2011):
- Variasi biologis
- Patologis
- Kelainan kongenital
Lebar Wajah
Indeks Wajah = X 100
Panjang Wajah
4. Tipe Profil
Tujuan pemeriksaan profil (Rahardjo, 2011):
- Menentukan posisi rahang dalam jurusan sagital
- Evaluasi bibir dan letak insisivi
- Evaluasi proporsi wajah dan sudut mandibula
Tipe profil dibagi 3 (Rahardjo, 2011):
- Lurus
- Cembung: mengarah ke maloklusi kelas II
18
kompeten. Bila diperlukan kontraksi otot untuk mencapai kontak bibir atas
dan bawah saat pada saat mandibula dalam keadaan istirahat dinamakan
bibir yang tidak kompeten (Rahardjo, 2011).
Posisi istirahat ditentukan oleh panjang anatomis otot yang bekerja pada
mandibula (Rahardjo, 2011).
Path of closure adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke oklusi
sentrik. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi maksimum
berupa gerakan engsel sederhana melewati freeway space yang besarnya 2-3 mm,
arahnya ke atas dan ke depan. Freeway space = interocclusal clearance adalah
jarak antarklusal pada saat mandibula dalam posisi istirahat (Rahardjo, 2011).
Menurut Rahardjo (2011), ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa
dilihat yaitu deviasi mandibula dan displacement mandibula.
- Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula akan tetapi
ketika gigi mencapai oklusi maksimum mandibula dalam posisi relasi sentrik.
Ini disebut deviasi mandibula.
- Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi oleh karena
adanya halangan oklusal maka didapatkan displacement mandibula.
B. Deviasi Mandibula
Keadaan ini berhubungan dengn posisi kebiasaan mandibula. Bila
mandibula dalam posisi kebiasaan, maka jarak antaroklusal akan bertambah
sedangkan kondili letaknya maju di dalam fosa glenoidales. Arah path of closure
adalah ke atas dan ke belakang akan tetapi bila gigi telah mencapai oklusi
mandibula terletak dalam relasi sentrik (kondili dalam keadaan posisi normal pada
fosa glenoidalis) (Rahardjo, 2011).
C. Displacement Mandibula
Displacement dapat terjadi dalam jurusan sagital dan transversal. Kontak
prematur dapat menyebabkan displacement mandibula untuk mendapatkan
hubungan antartonjol gigi yang maksimum. Dalam jangka panjang displacement
dapat terjadi selama pertumbuhan geligi. Pada beberapa keadaan displacement
terjadi pada fase geligi sulung, kemudian pada saat gigi permanen erupsi gigi
tersebut akan diarahkan oleh kekuatan otot ke letak yang memperparah terjadinya
displacement. Displacement dapat juga terjadi pada usia lanjut karena gigi yang
maju dan tidak terkontrol yang disebabkan hilangnya gigi posterior akibat
pencabutan (Rahardjo, 2011).
22
Kurva Spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang lakrimal
(Lakrimal) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di
empat lokasi yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distooklusal molar
ketiga, daerah kontak mesiooklusal molar pertama dan tepi insisisal. Mungkin
karena sampel yang dipakai berbeda dengan peneliti (Hitchcock, Dale) mencoba
mengukur sesuai dengan yang dilakukan oleh Spee, tetapi tidak memperoleh hasil
yang sama dengan Spee (Rahardjo, 2011).
3. Diastema
Ruang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva di antara gigi-gigi kelihatan.
Adanya diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan keadaan normal,
tetapi adanya diastema pada fase geligi permanen perlu diperiksa lebih lanjut
untuk mengetahui apakah keadaan tersebut suatu keadaan yang tidak normal
(Rahardjo, 2011).
4. Simetri Gigi-gigi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui simetri gigi senama dalam jurusan sagital
maupun transversal dengan cara membandingkan letak gigi permanen senama kiri
dan kanan. Berbagai alat bisa digunakan untuk keperluan pemeriksaan ini,
misalnya suatu transparent ruled grid atau simetroskop yang dapat dibuat sendiri
(Rahardjo, 2011).
Letakkan model studi pada dasamya kemudian simetroskop diletakkan pada
bidang oklusal gigi mulai dari yang paling anterior, bagian simetroskop
menyentuh gigi yang paling labial, garis tengah simetroskop garis berimpit
dengan median model. Kemudian geser simetroskop ke distal sambil mengamati
apakah gigi yang senama terletak pada jarak yang sama baik dalam jurusan sagital
maupun transversal (Rahardjo, 2011).
Sebagai acuan, molar yang lebih distal dianggap lebih stabil karena belum
terjadi pergeseran, atau pun seandainya telah terjadi pergeseran ke jurusan sagital
pergeseran tersebut tidak sebanyak pada molar yang terletak lebih mesial. Dengan
demikian dapat diketahui penyebab adanya perubahan relasi molar pada satu sisi.
Perubahan relasi molar dapat terjadi karena adanya tanggal prematur molar sulung
(Rahardjo, 2011).
27
maloklusi walau dalam tingkatan yang ringan sehingga maloklusi dapat dihindari
atau tidak berkembang (Rahardjo, 2011).
Macam-macam perawatan ortodonti interseptif :
a. Penyesuaian atau koreksi disharmoni oklusal
b. Perawatan crossbite anterior pada mixed dentition
c. Perawatan diastema anterior
d. Perawatan kebiasaan jelek (bad habbit)
e. Latihan otot (myofunctional therapic)
f. Pencabutan seri (serial ectraction) (Rahardjo, 2011).
3. Perawatan Kuratif
Perawatan ini merupakan tingkat perawatan ortodontik untuk menghilangkan
kelainan gigi geligi yang telah berkembang yang telah menyebabkan keluhan
secara estetik maupun fungsi yang melibatkan maloklusi klas I, klas II, dan klas
III (Rahardjo, 2011).
32
BAB III
CONCEPTUAL MAPPING
Maloklusi
Klasifikasi Maloklusi
Prosedur Penegakan
Diagnosa
Analisis Umum Analisis Lokal Analisis Fungsional Analisis Model Analisis Sefalometri
Perawatan ortodonti
32
33
BAB IV
PEMBAHASAN
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed. New Delhi :
Arya (MEDI) Publishing House. 2006