Anda di halaman 1dari 8

Resume Workshop Pendidikan Aqil Baligh

Bersama Ust. Adriano Rusfi


Gedung LPMP Semarang, 18 Februari 2017
Oleh Lukman Nur Hakim

Remaja, Sebuah Fenomena

Renungkanlah,
- Kenapa semakin banyak kasus pelecehan seksual pada anak, dan justru pelakunya adalah anak
usia dibawah 18 tahun? Dapatkah mereka disebut anak-anak jika telah mampu melakukan
tindakan seksual? Ketika para pelaku tersebut dihukum ringan karena dianggap sebagai
anak-anak, bagaimana dengan korban yang juga masih anak-anak?

- Kenapa ​bullying terjadi makin massif dan kriminal?
- Kenapa semakin terjadi kemunduran kualitas generasi muda?
Beberapa fakta yang terjadi belakangan ini
- Semua orang panik terhadap pelaku pedofil, dan bahkan pemerintah mengeluarkan UU
tentang kebiri. Apakah menyelesaikan masalah? Ternyata tidak. Secara Psikologi, manusia
memiliki 2 gairah, Eros (Gairah Kehidupan : untuk berhubungan badan, zina, dll) dan Tanatos
(Gairah Kematian : Membunuh, bunuh diri, kejam). Bila seorang pelaku kejahatan dikebiri,
maka akan membunuh Eros daan akan membuat Tanatos semakin kuat. Maka orang yang
dikebiri akan menjadi semakin kejam, sadis, tidak berperasaan, bahkan menjadi psikopat.
- Mulai muncul kegiatan sex masal di pantai di beberapa kota
- Anak perempuan kelas 5 di suatu daerah sudah menganggap biasa bila tubuhnya digerayangi
oleh teman-temannya sendiri
- Di Bandung sudah mulai muncul​ kebiasaan ​Exhebitionis, yaitu menunjukkan kegiatan sex
kepada khalayak, tercatat dengan menggunakan mobil dengan kaca terbuka dan melaju pelan
di tengah malam.
- Transaksi narkoba di tahun 2016 tercatat hampir menyamai APBN Indonesia, 1.300 Triliun!
Dan narkoba memiliki sifat sugestif yang membuat pecandunya dapat tiba-tiba ingin kembali
memakainya walau telah direhabilitas. Efektifitas rehabilitasi sendiri terhadap peredaran
narkoba hanya 6%, sedangkan efek penangkapan bandar maupun pengedar narkoba hanya
2%.
- Belum lagi kenakalan remaja lainnya seperti geng motor, tawuran, sex diluar nikah, ​Married
​ by Accident, dll
Apa yang sebenarnya terjadi? Inilah repotnya ketika Aqil dan Baligh tidak hadir bersamaan, yang saat
ini kita kenal dengan REMAJA.
Istilah remaja mulai muncul sejak era Revolusi Industri dimana para orang tua keluar dari
rumah untuk bekerja dan anak-anaknya dititipkan di sebuah institusi yang bernama Sekolah (Sekolah
sendiri berasal dari bahasa Yunani ​Skhole, scola, atau ​scolae yang berarti kegiatan mengisi waktu
luang). Remaja ini menjadi periode tanggung di mana sudah bukan anak-anak namun belum juga
dikatakan dewasa, yang dalam ilmu psikologi ​ disebut ​Adolescence / Pre Adult. Sebelum revolusi
industri tidak ada yang namanya remaja, dan dalam Islam pun tidak ada istilah remaja. Istilah ini
akhirnya muncul dan dianggap biasa atau diterima karena digembar-gemborkan secara masif dan
global, sehingga kita biasanya ikut menerimanya. Padahal di suku-suku pedalaman (seperti Dayak,
Badui, Anak Dalam, Papua Dalam, Suku Samoa) tidak dikenal istilah remaja. Begitu mereka berumur
12 tahun mereka sudah harus bisa berburu sendiri (mandiri). Dan lebih parahnya lagi, predikat remaja
ini mendapatkan pembenaran baik ilmiah (di ilmu Psikologi), sosial (sudah dianggap wajar oleh
masyrakat), dan bahkan keagamaan (dengan adanya Remaja Masjid, Remaja Islam, dll).

Remaja, Sebuah Tagedi

Tidak ada remaja dalam pandangan Islam, yang ada adalah Aqil Baligh. Bahkan sejatinya
hanya Baligh saja, karena seharusnya Aqil dan Baligh tiba bersamaan. Aqil adalah kedewasaan mental
(tahu baik dan buruk, bisa mengambil keputusan, sadar konsekuensi dari perbuatan), dan Baligh
adalah kedewasaan fisik (ditandai dengan telah mimpi basah atau menstruasi, nafsu yang
menggebu-gebu, energi yang besar). Kondisi remaja merupakan kondisi di mana sudah Baligh namun
belum Aqil, sudah dewasa secara fisik namun belum dewasa secara mental.
Saat ini (terutama di Indonesia) kondisi Baligh semakin cepat tercapai. Usia rata-rata adalah
sekitar 12 – 14 tahun, dan tercatat yang termuda adalah 7 tahun (untuk anak perempuan) dan 9
tahun (untuk anak laki-laki). Sementara itu, kondisi Aqil semakin jauh ke usia 25 tahun! Ada rentang
waktu belasan tahun yang sangat panjang! Rentang waktu tersebut rentan untuk dikuasai Syetan
karena Nafsu sudah aktif namun akal belum matang. Nafsu terbesar manusia adalah masalah Sex dan
Pembunuhan. Dalam surat Al Isro (QS: 17) ayat 31 menjelaskan tentang pembunuhan, ayat 32 tentang
perzinahan, dan ayat 33 kembali tentang pembunuhan. Ini menunjukan bahwa bila hanya Baligh saja
itu BERBAHAYA! Karena tidak ada mengendalikan nafsu tersebut.
Karena ketidakmatangan mental tersebut, maka akan muncullah generasi yang Galau, bingung
dengan identitas, status, dan posisi sosial, banci sosial, tidak suka berpikir serius, tidak produktif
bahkan konsumtif dan destruktif. Mereka memiliki energi dan agresiffitas tinggi namun tidak memiliki
penyaluran / pengakuan, sehingga mereka membentuk kelompoknya sendiri dan muncullah
geng-gengan, ​peer preassure, bullying, tawuran, sex bebas, kehamilan di luar nikah, dll. Dan dalam
dunia pendidikan, para guru SMP dan SMA tetap memanggil murid didiknya dengan sebutan
“Anak-anak” yang makin mengukuhkan pemikiran mereka bahwa mereka masih anak-anak. Nah, lho..

Duniapun Bingug

Dalam dunia pendidikan hanya punya Paedagogi (pendidikan anak) dan Andragogi (pendidikan
orang dewasa). Dalam hukum pun hanya mengenal anak-anak dan orang dewasa sebagai subjek
hukum. Masa transisi yang panjang tak pernah menyenangkan. Peneluran ilmiah terhadap remaja ini
menunjukkan bahwa:
- Seluruh literatur ilmiah hingga akhir abad ke 19 tidak mengenal terminologi remaja (Hilgaard,
1979; Sarlito, 2001)
- Berubah-ubahnya periode masa remaja (menurut Hurlock) membuktikan bahwa fase ini tidak
ajeg
- Fenomena remaja tidak universal, tidak berlaku pada suku pedalaman
- “The Study of Samoa” oleh Margaret Mead membuktikan bahwa di Samoa tidak ada remaja
- Dan lain-lain

MENDIDIK GENERASI AQIL BALIGH

AQIL – BALIGH
Aqil dan Baligh haruslah satu kesatuan, ketika kematangan fisik tercapai maka saat itu pula
seharusnya kematangan mental juga tiba. Setelah Aqil Baligh maka sang anak sudah sepenuhnya
dewasa. Dalam Islam, masa Aqil Baligh ini berarti sang anak sudah menanggung dosa dan pahalanya
sendiri, dia bertanggung jawab atas dosa dan pahalanya sendiri, kedudukannya sudah sama dengan
orang dewasa lainnya, mandiri, siap memikul beban syariat, dan seyogyanya menjadi bagian dari
solusi bukan malah menjadi masalah.
Baligh bekaitan dengan nutrisi. Ketika kita sibuk bekerja dan sadar bahwa anak terabaikan,
maka kita biasanya menggantikan waktu yang hilang dengan memberikan makanan yang terkadang
berlebihan. Karena terlalu banyak, akhirnya anak over nutrisi sehingga Baligh semakin cepat. Hal ini
ditambah dengan banyaknya makanan yang mengandung hormon-hormon, pengawet, penyedap
rasa, dan bahan tambahan lain. Namun karena kesan kita, tak jarang pendidikan tidak diberikan maka
Aqil semakin mundur. Lagi-lagi kita menyerahkan pendidikan anak kita ke institusi yang bernama
sekolah. Tanpa mengecilkan arti dan peran sekolah, sekolah bukanlah tempat untuk memperoleh
pendidikan. Sekolah adalah tempat untuk mendapatkan pengajaran. Pendidikan (sebagai penular
pembentukan karakter) didapat di rumah, dengan pengaruh dari ayah dan bundanya. Sebuah
komparasi sederhana tentang Aqil dan Baligh terdapat di bawah ini.

AQIL BALIGH
Dewasa mental Dewasa fisik
Pengaruh pendidikan Pengaruh nutrisi
Berkembangnya akal Berkembangnya nafsu
Fungsi tanggung jawab Fungsi reproduksi
Mandiri, tanggung jawab Life and death instinct
Peran Ayah + Bunda Peran Bunda + Ayah

Aqil-Balighkan Anak-anak Kita

Aqil dipengaruhi oleh pendidikan, maka kita harus lebih memperhatikan pendidikan dan
bukan pengajaran semata. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kewajiban pendidikan anak kita
terletak pada kita sebagai orang tua dan bukan di sekolah. Sekolah bukanlah tempat pendidikan,
namun sebagai tempat pengajaran. Pendidikan di dapat di rumah, oleh ayah dan bundanya.
Pendidikan merupakan penentu karakter anak nantinya. Kita bisa mendelegasikan tugas pengajaran,
namun jangan limpahkan tanggung jawab pendidikan. Sinergi antara ayah dan bunda menjadi penting
dimana Ayah merupakan penanggung jawab utama pendidikan, dan Bunda merupakan pelaksana
utama pendidikan. Disadari atau tidak, kendala ekonomi sedikit banyak menghalangi pemenuhan
tugas kita memberikan pendidikan. Maka kita dituntut untuk pintar-pintar mencari nafkah supaya
tugas pendidikan anak tidak terbengkalai. Dan supaya lebih mudah ada baiknya membangun
komunitas yang memiliki visi yang sama.
Adalah aneh jika kita begitu bersemangatnya mendidik mereka dengan sejumlah taklif (beban)
syariat namun kita tidak mendidik mereka untuk menjadi mukallaf (orang yang menanggung beban).
Berikan Hak anak pada anak, supaya dia siap memikul kewajiban atau beban syariat pada saat Aqil
Baligh. Dalam pendidikan anak, berlaku konsep “Indah pada waktunya” dan bukan “lebih cepat lebih
baik”. Pada kenyataannya, kebanyakan orang tua ingin anaknya berakselerasi, serba cepat. Seperti
ingin cepat bisa calistung, ingin cepat mengenalkan sholat, ingin cepat mandiri, ingin cepat masuk
sekolah, dan sebagainya seakan-akan semakin cepat maka hasilnya semakin baik dan melupakan hak
anak.
Anak usia 0-7 tahun merupakan masanya anak memiliki individualitas yang tinggi. Dunianya
hanya berkutat pada dirinya sendiri, maka dari itu kebutuhan untuk dimanjakannya sangat besar.
Kebanyakan orang tua malah memaksakan anak untuk meredam egonya karena takut anaknya akan
tumbuh menjadi anak yang egois, ditambah dengan nilai yang berlaku di masyarakat menempatkan
orang egois pada posisi tidak baik. Padahal ego pada usia ini menjadi penting bagi anak supaya
nantinya memiliki pendirian yang kuat. Bila tidak terpenuhi maka akan membuat anak nantinya tidak
bisa mempertahankan prinsip dirinya, mudah dipengaruhi, tidak bisa memutuskan untuk dirinya
sendiri, tidak bisa mengatakan tidak, mudah dihipnotis, dan lain-lain. Sebuah riset menunjukkan
bahwa Indonesia adalah ​the most suggestable people in the world. Maksudnya adalah masyarakat
Indonesia mudah sekali untuk dipengaruhi pemikirannya bahkan dalam keadaan sadar sekalipun.
Itulah kenapa banyak sekali orang yang menjadi korban hipnotis, menjadi mudah tergoda oleh iklan,
mudah terprovokasi, dan hypnotherapy pun menjadi laku keras. Maka sebaiknya puaskanlah
kemanjaan anak pada rentang usia ini.
Pada usia 7-10 tahun, kebutuhan kemandirian personalnya mulai tumbuh. Waktunya kita
mengajarkan anak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, mulai menutup aurat, dan mulai
mengenalkan konsep sebab akibat. Di usia ini pula anak mulai diperkenalkan untuk sholat. Dan
rentang usia 10 – 12 tahun kebutuhan anak untuk mandiri secara social mulai tumbuh. Di rentang usia
ini anak seharusnya sudah mandiri dan tidak manja, bahkan bila usia 10 tahun belum juga sholat maka
diperbolehkan untuk dipukul.
Bagaimana bila sudah terlanjur terlewati? Bila terlanjur, maka kebutuhan anak pada rentang
usia sebelumnya tetap diberikan sambil kita memenuhi kebutuhan rentang usia yang berjalan.
Misalnya anak sudah berusia 9 tahun namun kebutuhan manjanya masih belum terpenuhi, maka
sambil diajarkan kemandirian kita juga memberikan kemanjaan bagi sang anak. Lebih baik terlambat
daripada tidak sama sekali.

Peran Ayah

Ayah sebagai penanggung jawab utama pendidikan anak memiliki peran antara lain
1. Man of Vision and Mission. Ayah yang menentukan visi dan misi pendidikan, bagaimana
strateginya, masterplannya, dan lain-lain.
2. Penanggung jawab pendidikan anak. Ayah seharusnya mengajarkan bunda bagaimana cara
mendidik anak. Walau sehari-hari anak lebih banyak bersama bunda dan kita bisa saja
mengatakan urusan pendidikan anak merupakan urusannya bunda, namun di hari akhir nanti
ayahlah yang akan ditanyakan pertanggungjawabannya. Tidak bisa lantas tanggung jawab itu
dilimpahkan ke bunda.
3. Konsultan Pendidikan. Bunda diciptakan memiliki kepintaran, namun seringkali tertutup oleh
rutinitas sehari-hari. Maka bunda perlu konsultan dalam menghadapi tingkah laku anak, yaitu
sang ayah yang tidak ikut dalam kegiatan rutin sehingga bisa melihat permasalahan dari atas /
jauh / helicopter view.
4. Sang Ego dan individualitas. Sudah dari sananya diciptakan laki-laki memiliki sikap cuek,
cenderung egois, individualis. Hal ini diperlukan untuk mensupport ego anak selama di bawah
usia 7 tahun.
5. Pembangun sistem berpikir. Manusia memiliki 4 level fungsi otak, yaitu
a. Otak sebagai gudang informasi. Setiap informasi yang diterima hanya disimpan saja di
memori dan mungkin hilang dengan sendirinya.
b. Otak sebagai perpustakaan. Informasi yang telah disimpan tadi sewaktu-waktu bisa
di-recall.
c. Otak sebagai laboratorium dimana informasi-informasi yang tersedia saling bereaksi.
d. Otak sebagai Production House di mana muncul ide-ide, kreativitas,
pemikiran-pemikiran, dan lain-lain.
Poin c (otak sebagai laboratorium) dan d (otak sebagai production house) sangat dipengaruhi
oleh peran ayah yang memang diciptakan memiliki kemampuan logika yang baik.
6. Penegak profesionalisme. Ayah memiliki nilai-nilai profesionalisme seperti
a. Tepat janji
b. Tepat waktu
c. Tahu hak dan kewajiban
d. Tegas
e. Komitmen
7. Supplier maskulinitas, antara lain dengan keberanian, nyali, suka tantangan, dll
8. The person of Tega, sang raja tega.

Peran Bunda

Bunda memiliki peran antara lain

1. Pelaksana harian pendidikan anak


2. Person of love and sincerity. Bunda menanamkan rasa kasih sayang dan ketulusan pada anak.
Bila bunda tidak berperan dengan baik maka akan menyebabkan anak menjadi kurang empati,
tidak tulus, bahkan bisa mengalami defisit kasih sayang yang bisa meningkatkan
kecenderungan anak menjadi psikopat.
3. Sang harmony dan sinergi. Terlihat saat anak ada konflik biasanya bunda akan menyarankan
untuk menghindari konflik
4. Pemilik moralitas, nurani, firasat, empati
5. Supplier feminimitas
6. Pembangun hati dan rasa
7. Berbasis pengorbanan
8. Sang pembasuh luka setelah anak menjadi korban ketegaan ayahnya
Di Rumah, dibantu Sekolah

Rumah dan sekolah dapat berkolaborasi menjadi adany Co-Parenting dengan perannya
masing-masing.

Rumah
- Penanggung jawab dan pendidik
- Memberikan kehangatan penuh ccinta
- Pengambil keputusan
Sekolah
- Asiseten ahli dan pengajar
- Kawah candradimuka
- Menjadi pemberi Expert Opinion

Di Tengah Realita

Pendidikan Aqil Baligh adalah pendidikan yang tidak melupakan realitas alami. Seyogyanya
anak berada pada kondisi alami masyarakat sekitarnya dan bukan mengungkungnya. Dengan
mengungkungnya dan memberikan lingkungan yang steril maka anak tidak bisa dewasa, tidak bisa
menghadapi kehidupan, tidak jadi mukallaf, dan tidak teruji keimanannya. Di atas realitas alami, kita
didik generasi Islami. Rumah dan sekolah menjadi bagian dari realita kehidupan sesungguhnya, bukan
di simulasi atau laboratorium, dan juga bukanlah merupakan representasi kehidupan.

Pendidikan yang Berani dan Tega

Kunci dari pendidikan Aqil Baligh ini adalah TEGA. Jaman memang sudah berubah, namun
berubah menjadi semakin kerras. Namun celakanya, pendidikan malah berubah menjadi semakin
lembek. Kata-kata seperti “biarlah orang tua saja yang menderita, anak-anak saya jangan” sangatlah
tidak tepat. Kata-kata tersebut memiliki 2 kesalahan:
1. Tidak mendidik anak menjadi tangguh, namun sebaliknya malah membuat anak menjadi
lembek. Kesulitanlah yang membuat kita kuat. Orang tua bisa berada pada titik ini tak lain
karena kesulitan yang orang tua hadapi dulu.
2. Tidak mensyukuri hidup, bahkan menganggap hidup itu penuh penderitaan.
Hal ini makin diperparah jika fasilitas yang diberikan kepada anak terlalu banyak. Tidak ada ceritanya
fasilitas membuahkan kesuksesan. Zaman semakin keras, maka pendidikan seharusnya menjadi
semakin keras juga. Disini perlu kehadiran ayah sebagai Sang Raja Tega, dengan nilai-nilai
profesionalisme, maskulin, ego, ketegasan, keberanian, dan individualisnya.
Masalah tega ini tersirat dalam surat An-Nur (QS: 24) ayat 2 yang menjelaskan tentang
penerapan hukuman bagi pezina. Secara gamblang disebutkan bahwa janganlah rasa belas kasihanmu
mencegahmu menjalankan hukum Allah. Harus TEGA! Ketidaktegaan inilah yang membuat pendidikan
anak menjadi lembek. Tidak tega kalau masih kecil harus ke sekolah sendiri karena takut ada
penculikan dan kejahatan lainnya, tidak tega mengajarkan anak untuk mencari uang sendiri karena
alasan masih kecil dan saya masih mampu membiayai, dll. Biarkan anak merasakan kegagalan,
kesulitan, penderitaan, karena itulah yang akan membuat mereka kuat dan mampu menghadapi
kehidupan. Memang banyak hal yang bisa mengganggu anak kita, baik dari dalam dirinya sendiri
(Nafsu) maupun dari luar dirinya (penculik, orang jahat, syetan). Namun lebih banyak lagi yang
menolong kita (Allah, malaikat, binatang-binatang, ciptaan-Nya yg lain, dll). Modalnya OPTIMIS dan
BAIK SANGKA.
Lebih jauh lagi, bila kita ingin anak kita masuk surga maka biarkan anak menderita. Karena
Allah tidak memasukkan hambanya ke surga jika tidak dicoba dulu dengan cobaan. Hal ini terkandung
dalam Surat Al-Baqarah (QS: 2) ayat 214 yang artinya “ Apakah kamu mengira kamu akan masuk
surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya golongan orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan berbagai macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya “Manakah pertolongan Allah?” ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.
Maka atas dasar apa kita tidak memberikan kesempatan anak kita untuk merasakan gonjang
ganjingnya hidup? Dengan memberikan anak kesempatan untuk menderita, maka sejatinya kita telah
mewariskan jalan sukses bagi sang anak.

Membangun Tanggung Jawab

1. Anak tak selemah yang dibayangkan. Malah sebenarnya anak memiliki daya juang yang luar
biasa. Anak-anak dalam keadaan susah pun bisa menemukan jalannya sendiri untuk tetap
merasa Happy.
2. Kenalkan dengan Consequential Learning, bahwa semua tindakan akan memiliki konsekuensi.
Dan lagi-lagi kita harus tega untuk menerapkan konsekuensi apabila anak melanggar
kesepakatan
3. Sesekali kita perlu “membalas” perlakuan anak, dalam artian biarkan anak merasakan
(sebagian) akibat dari hasil perbuatannya sendiri. Misalkan anak suka memecahkan piring,
maka biarkan anak bingung bagaimana dia akan makan karena piringnya dia pecahkan sendiri.
Dari situ anak akan memahami bahwa memecahkan piring memiliki akibat tidak bisa makan.
4. Berikan anak kebebasan untuk memilih, serahkan amanah dan tanggung jawab atas pilihan
yang dia buat sendiri.

Memecahkan Masalah

Anak harus diajarkan untuk memecahkan masalah. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara
lain:

1. Pahami bahwa anak bukanlah makhluk bodoh, maka mereka pasti bisa mencari jalan keluar
dengan caranya sendiri
2. Jangan sembunyikan masalah dari anak. Anak-anak tahu kalau kita sedang ada masalah
3. Saling berbagi masalah. Bila kita ingin anak kita curhat / sharing tentang dunianya, maka kita
harus terlebih dahulu curhat / sharing kepadanya.
4. Menekan percepatan baligh. Karena baligh berkaitan dengan nutrisi, maka berikanlah anak
makanan yang sehat, yang tidak banyak hormone-hormon, penyedap, pengawet, dll.
Makanan bikinan orang tua (jika memungkinkan) tetap yang terbaik. .
5. Bawa masalah kehidupan ke rumah.
6. Rajinlah berdiskusi, tentang apapun. Bisa jadi anak kita dapat memberikan jalan keluar dari
permasalahan yang sedang kita alami dengan cara yang belum pernah terpikirkan sama sekali
oleh kita.
7. Ajarkan problem solving

Mencari Nafkah

Mencari nafkah menjadi penting terutama bagi anak laki-laki karena laki-laki yang
berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Anak perempuan sebenarnya tidak memiliki kewajiban
untuk mencari nafkah karena hidupnya akan selalu ditanggung, yaitu oleh orangtuanya (sebelum
menikah) dan suaminya nanti (setelah menikah). Anak perempuan lebih diarahkan ke tanggung jawab
tata kelola rumah tangga. Jika perempuan ikut mencari nafkah, hal tersebut tidak akan menambah
rizki keluarganya. Allah memberi kewajiban mencari nafkah pada suami, maka rizki istri dan anak telah
Allah berikan pula pada suami. Bila kemudian istri bekerja, maka sumber rizkinya akan menjadi dua
namun tidak akan menambah jatah rizkinya.
Cara menumbuhkan semangat mencari nafkah antara lain:
1. Ingatkan jauh-jauh hari (idealnya mulai diingatkan pada usia 10 tahun) bahwa saat dia sudah
baligh nanti, anak harus bisa menghidupi diri sendiri.
2. Sekali lagi, TEGA
3. Jangan memenuhi 100% keinginannya
4. Mulai diajarkan bisnis mulai dari rumah
5. Sering-sering kita sharing pekerjaan kita pada ayah, sehingga sedikit banyak anak belajar
mengenai problematika dalam pekerjaan
6. Usaha mencari nafkah bisa dimulai dengan mencari uang jajan sendiri

Latihan Berorganisasi

Ajarkan anak juga untuk berorganisasi, karena berorganisasi adalah berkehidupan itu sendiri. Dalam
organisasi banyak pengalaman yang bisa didapatkan: manajemen, kerjasama, kepemimpinan,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dll. Mulailah dari mengorganisir rumah, menjadi EO
acara keluarga, atau ikut kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)

Anda mungkin juga menyukai