UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
I. PENDAHULUAN
1
merumuskan isu pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kapasitas Daya
Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (DDDTLH).
Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. SE.5/Menlhk/PKTL/PLA.3/11/2016 tentang Tata Cara Penentuan Daya dan
Daya Tapung Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa metodologi pentusunan
DDDTLH adalah dengan menggunakan pendekatan jasa ekosistem (ecosystem
services)
Daerah Aliran Sungai (DAS) Mata Allo merupakan sub DAS dari DAS
Saddang, dimana DAS Saddang mencakup beberapa kabupaten diantaranya
Kabupaten Mamasa, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang dan Kabupaten
Pinrang. Hasil penelitian yang dilakukan Ramadhan (2017) mengungkapkan bahwa
pada periode 1990-2016 laju deforestasi yang di akibatkan oleh alih fungsi lahan
terjadi di Kabupaten Tana Toraja seluas 33.122,81 ha Kabupaten Enrekang dengan
luas 13.126,30 dan Kabupaten Pinrang dengan luas 15.613,14 ha, serta Kabupaten
Mamasa yang berada di Provinsi Sulawesi Barat dengan luas 19.724,26 ha.
Sehingga untuk mendukung pembangunan dan perlindungan sumberdaya alam
secara berkelanjutan perlu di adakan pemetaan jasa ekosistem. Hal inilah yang
menjadi landasan dilaksanakannya penelitian “Pemetaan Jasa Ekosistem Daerah
Aliran Sungai Mata Allo”
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem
Ekosistem adalah kompleks dinamis komunitas tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme dan lingkungan tak hidup yang berinteraksi sebagai unit
fungsional (Millenium Ecosystem Assestment, 2005). Ekosistem merupakan sistem
ekologi yang dibentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan kesatuan utuh
dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup (faktor biotik dan faktor
abiotik) yang saling memengaruhi. Penggabungan dari setiap unit biosistem
melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga
aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus
materi antara organisme dan anorganisme (Surakusuma, 2017).
Berdasarkan UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup
yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup (K
ementrian Hukum Dan HAM). Selama Masing-masing komponen yang ada dalam
ekosistem melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan baik maka keseimbangan
dalam ekosistem tersebut akan terjaga.
Dalam suatu ekosistem terdapat komponen-komponen dengan berbagai
macam bentuk sesuai dengan bentangan suatu hamparan dimana ekosistem itu
berada. Komponen fisik dan kimia sebagai tempat berlangsungnya kehidupan atau
lingkungan hidup merupakan komponen abiotik seperti; suhu, air, cahaya matahari,
tanah, dan iklim (Surakusuma, 2017). Komponen biotik terdiri dari semua makhluk
hidup yang berada di dalam suatu ekosistem dan memiliki peran tertentu yaitu
produsen, konsumen dan dekomposer (Saktiyono, 2006)
3
ekosistem (Millenium Ecosystem Assestment 2005). Jasa ekosistem dikategorikan
menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan (provisioning), jasa pengaturan
(regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MA, 2005
dalam Muta’ali, 2015).
Berdasarkan empat kategori ini dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi jasa
ekosistem, yaitu: (Muta’ali, 2015)
a. Jasa penyediaan (provisioning): (1) bahan makanan, (2) air bersih, (3)
serat, bahan bakar dan bahan dasar lainnya (4) materi genetik,(5) bahan
obat dan biokimia, (6) spesies hias.
b. Jasa Pengaturan (regulating): (7) Pengaturan kualitas udara, (8)
Pengaturan iklim, (9) Pencegahan gangguan, (10) Pengaturan air, (11)
Pengolahan limbah, (12) Perlindungan tanah, (13) Penyerbukan, (14)
Pengaturan biologis, (15) Pembentukan tanah.
c. Budaya (cultural): (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan
indentitas budaya, (20) Spiritual dan keagamaan, (21) Pendidikan. 4.
Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma
nutfah
Berdasarkan pengertian dan klasifikasi di atas, terdapat kesamaan substansi
pengertian jasa ekosistem dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup, dimana pengertian jasa penyediaan, budaya lebih mencerminkan konsep
daya dukung lingkungan dan jasa pengaturan memiliki kesamaan susbtansi dengan
daya tampung lingkungan. Sedangkan jasa pendukung bisa bermakna dua yaitu
daya dukung maupun daya tampung lingkungan Secara operasional, kajian ini
menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan pendekatan
konsep jasa ekosistem, dengan pengembangan asumsi dasar sebagai berikut :
(Muta’ali, 2015)
a. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya (lihat jasa
penyediaan, Jasa budaya, dan pendukung)
b. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
4
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya (lihat jasa
pengaturan
Berdasarkan batasan konsep tersebut, upaya mendukung pembangunan
berkelanjutan dalam mengurangi kerusakan lingkungan yang terjadi, akan di ukur
dengan menggunakan tiga penaksiran yaitu bentang lahan (landscape), tipe
vegetasi dan penutupan lahan (landcover) yang selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk melakukan pemetaan jasa ekosistem (Mahmud, 2017).
2.2.1 Geomorfologi
Geomorfologi dapat di defenisikan sebagai ilmu tentang roman muka bumi
beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya termasuk deskripsi, klasifikasi,
genesa, perekembangan dan sejarah muka bumi. Kata geomorfilogi
(Geomorhology) berasal dari Bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos
(earth/bumi), morphos (shape/bentuk), logos (ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari
kata-kata tersebut, maka geomorpologi dapat di artikan sebagai pengetahuan
tentang bentuk-bentuk permukaan bumi (Noor, 2014).
Para ahli geomorfologi mempelajari bentuk-bentuk bentang alam yang di
lihatnya dan mencari tahu mengapa suatu bentang alam terjadi. Disamping itu juga
untuk mengetahui sejarah dan perkembangan suatu bentangan, disamping
memprediksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang
melalui suatu kombinasi antara observasi lapangan, percobaan secara fisik dan
pedoman numerik (Noor, 2014).
Kajian utama geomorfologi yaitu bentuk lahan. Kajian bentuk laban disebut
Juga kajian morfologi yang mempelajari relief secara umum, meliputi aspek bentuk
suatu daerab (morfografi) dan ukuran-ukuran kuantitatif dari suatu daerah
(morfometri). Kajian proses geomorfologi mempelajari proses yang mengakibatkan
perubaban bentuk laban dalam waktu pendek serta proses terbentuknya bentuk
lahan. Kajian yang menekankan pada evolusi bentuk lahan adalah kajian
morfogenesis. Kajian geomorfologi lingkungan adalah kajian yang mempelajari
hubungan antara geomorfologi dengan lingkungan dalam hal ini unsur-unsur
bentang alam yaitu tanah, batuan, dan air (Lihawa, 2009).
Geomorfologi pada kajian daya dukung terdapat kesamaan substansi untuk
mendeskripsikan suatu wilayah untuk menjadikan penaksir, hal ini mencakup
5
kenampakan roman padan permukaan bumi yang tidak lepas dari adanya faktor
endogen dan faktor eksogen pada proses pembentukannya. Pendekatan untuk
memahami geomorfologi dapat melalui bentuk lahan dari perkembangan bumi
(Mahmud, 2017).
2.2.2 Tipe Vegetasi Alami
6
sebagai pengaruh dari aktifitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi.
Sehingga membahas klasifikasi penggunaan/penutupan lahan tidak terlepas dari
makna tentang lahan sebagai sumber daya alam sebagai pemenuhan kebutuhan
masnusia dalam meningkatkan kesejahteraan (Dahri, 2017)
Ekosistem hutan diketahui bukan saja memberikan manfaat yang langsung
bagi kehidupan manusia, melainkan juga memberikan manfaat yang tidak langsung
seperti penghasil jasa lingkungan air, pencegah bahaya banjir, pengurangan
sedimen, dan lain-lain. Untuk mendapatkan nilai jasa lingkungan seperti ini maka
pengelolaan hutan harus dilakukan dengan baik. Fungsi hutan sebagai pengatur tata
air (water regulator), penyimpan karbon (carbon sinked), pemasok oksigen (oxygen
supplier), pelestarian keanekaragaman jenis hayati dan habitat (habitat and
biodiversity protector), dan sebagai obyek pariwisata (tourist object) hanya bisa
didapatkan jika kualitas hutan dapat dijaga dengan baik (Sihombing, 2013)
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dimiliki oleh setiap daerah
Kabupaten dan Kota pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengendali perubahan
tata guna lahan. Namun demikian, proses perencanaan tata ruang wilayah yang
masih beriorentasi pada pertimbangan ekonomi menyebabkan kepentingan-
kepentingan untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang diakomodasi. Padahal,
untuk mewujudakan pembangunan kota yang berkelanjutan, persyaratan penting
yang harus dipenuhi adalah tersedianya ruang-ruang ekonomi dan ruang-ruang
ekologis yang berimbang, dimana intensitas perkembangan ruang-ruang ekonomi
tidak melebihi daya dukung wilayah secara ekologis (Okta, et al., 2006)
7
Kemampuan lingkungan adalah ukuran yang dinilai secara menyeluruh dengan
pengertian merupakan suatu pengenal majemuk lingkungan dan nilai kemampuan
lingkungan berbeda untuk penggunaan yang berbeda. Dalam kaitannya dalam
pemenuhan kebutuhan manusia, maka kemampuan lingkungan terjabarkan menjadi
pengertian daya dukung lingkungan
Untuk menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perlu
beberapa pertimbangan. Adapun pertimbangan tersebut adalah (a) ruang dan
sifatnya, (b) tipe pemanfaatan ruang, (c) ukuran produk lingkungan hidup utama
(udara dan air), (d) penggunaan/penutupan lahan mendukung publik (hutan), (e)
penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi (Muta’ali, 2015).
Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang terjadi selama ini
berkaitan erat dengan tingkat pertambahan penduduk dan pola penyebaran yang
kurang seimbang dengan jumlah dan pola penyebaran sumber daya alam serta daya
dukung lingkungan yang ada (Moniada, 2011). Ida Bagoes Mantra (1986),
mengatakan bahwa penurunan daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh jumlah
penduduk yang terus meningkat sementara luas lahan yang semakin berkurang.
Menurut Lenzen dalam Idewa (2015), Kebutuhan hidup manusia dari
lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung
kehidupan manusia. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung
pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup
secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat
pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut.
1. Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang
yang dapat didukung oleh suatu lingkungan.
2. Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut.
3. Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
tanpa merusak lingkungan tersebut.
4. Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung
oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.
8
5. Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu
kelompok manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan
diatas angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan
sumber daya
Konsep dan perhitungan teknis daya dukung lingkungan yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RTRW sangatlah banyak dan beragam
serta tergantung pada tujuan yang diinginkan seperti untuk daya tampung
demografis, keseimbangan pangan, lahan pertanian, penggunaan lahan,
keseimbangan kebutuhan lahan, kebutuhan air dan sebagainya (Mahmud, 2017).
9
GIS terkadang dipakasi sebagai istilah untuk geograpichal information
sience atau geospatial information studies yang merupakan ilmu studi atau
pekerjaan yang berhubungan dengan Geogfaphic Information System. Dalam artian
sederhana sistem informasi geografis dapat kita simpulkan sebagai gabungan
kartografi/pemetaan, analisis statistic dan teknologi sistem basis data (database)
(Irwansyah, 2013).
2.4.1 Pemetaan
Peta merupakan wahana bagi penyimpanan dan penyajian data kondisi
lingkungan, merupakan sumber informasi bagi para perencana dan pengambilan
keputusan pada tahapan dan tingkatan pembangunan (Bakosurtanal, 2005). Peta
merupakan gambaran sebagian satau seluruh muka bumi dengan semua gejala dan
ketmpakannya dalam bentuk yang lebih kecil sesuai dengan perbandingan skalanya
(Utoyo, 2006).
Proses pembuatan peta memiliki tiga tahapan yang harus dilalui yaitu:
1. Tahap pengumpulan data
Pengumpulan data adalah langkah awal dalam peoses pemetaan.
Keberadaan data diperlukan untuk melakukan analisis evaluasi terkait data suatu
wilayah tertentu. Data yang di petakan dapat berupa data primer atau data sekunder
yang kemudian dikelompokkan menurut jenisnya seperti data kualitatif dan data
kuantitatif (Permatasari, 2007).
2. Tahap penyajian data
Tahapan penyajian data merupakan upaya untuk memasukkan data yang
diperoleh kedalam bentuk simbol yang dapat dipahami oleh pengguna. Penyajian
data pada peta harus dirancang secara baik dan benar agar tujuan pemetaan dapat
tercapai.
3. Tahapan penggunaan peta
Untuk menentukan penggunaan peta maka data yang disajikan dirancang
dengan baik agar dapat digunakan/dibaca dengan mudah. Peta harus dirancang
sesuai dengan kaidah pembuatan peta agar peta dapat dibaca, diinterpretasi dan di
analisis oleh pengguna peta.
10
2.4.2 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut.
Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati,
sebagai hasil liputan atau rekaman dengan menggunakan alat pemantau. Dalam
menginterpretasikan citra terdapat beberapa tahapan, yaitu: (Adil, 2017)
a. Deteksi, adalah pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu
oleh sensor
b. Identifikasi, adalah kegiatan mengenali objek dengan menggunakan data
rujukan
c. Analisis, adalah kegiatan mengumpulkan keterangan lebih lanjut dan lebih
rinci terhadap objek yang diamati
Citra yang telah di interpretasi dilakukan uji akurasi. Uji akurasi interpretasi
citra digunakan untuk mengetahui sejauh mana keakuratan interpretasi citra yang
telah dilakukan. Uji akurasi dilakukan untuk melihat tingkat kesalahan pada proses
identifikasi objek sehingga dapat ditentukan tingkat keakuratan interpretasi pada
citra. Terdapat dua model yang dapat digunakan dalam uji akurasi citra yaitu
overlay accuracy dan kappa (Mulya & Thoriq, 2016).
11
Analisis Pairwise Comparison, menjadi bagian awal dari proses
pelaksanaan metode AHP yang menghasilkan indeks atau bobot suatu variable
dalam proses pengambilan keputusan. Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah
alat yang efektif untuk menangani pengambilan keputusan yang kompleks, dan
dapat membantu pembuat keputusan untuk menetapkan prioritas dan membuat
keputusan yang terbaik. Dengan mengurangi keputusan yang kompleks menjadi
serangkaian perbandingan berpasangan, dan kemudian mensintesiskan hasilnya,
AHP membantu untuk menangkap aspek subjektif dan objektif dari suatu
keputusan. Selain itu, AHP menggabungkan teknik yang berguna untuk memeriksa
konsistensi evaluasi pembuat keputusan, sehingga mengurangi bias dalam proses
pengambilan keputusan (Saaty, 2008)
12
III. METODELOGI PENELITIAN
13
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Receiver GPS, alat
tulis menulis, dan komputer yang dilengkapi dengan software Sistem Informasi
Geografis (GIS).
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, Peta
geomorfologi, Peta vegetasi alami, Peta penutupan lahan (Citra Spot 7 tahun 2018)
dan Peta batas DAS .
14
3.3.2 Mengadakan peta geomorfologi, peta vegetasi dan peta penutupan lahan
Peta geomorfologi diperoleh dari peta Land System yang bersumber dari
RePPProt 1987. Sedangkan peta vegetasi di dapatkan dari Direktorat Pencegahan
Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2017.
Penutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi Citra Spot 7 tahun 2018.
Metode yang digunakan untuk interpretasi Citra Spot 7 tahun 2018 dalam
menentukan kelas penutupan lahan yaitu metode delinasi visual berdasarkan pola
karakteristiknya yaitu rona, warna dan tekstur pada citra tersebut.
3.3.3 Verifikasi hasil interpretasi tutupan lahan dengan metode Ground Check
Verifikasi tutupan lahan dilakukan dengan metode Ground check untuk
menguji keakuratan hasil interpretasi citra penutupan lahan Titik sampel yang telah
dipilih dicatat data koordinatnya untuk kemudian dilakukan pengecekan di
lapangan (ground check).
Untuk menguji keakuratan interpretasi citra yang telah dilakukan
pengecekan maka dilakukan uji akurasi citra atau perbandingan antara hasil
interpretasi citra dengan hasil pengecekan di lapangan (ground check). Perhitungan
akurasi interpretasi citra dilakukan dengan metode confusion matrix, atau matriks
yang berisi hasil presiksi dan data aktual yang di lakukan oleh sistem klasifikasi
(Andono, Sutojo, & Muljono, 2017). Pada confusion matrix, data hasil interpretasi
citra dan data hasil pengecekan lapangan disusun dalam sebuah tabel perbandingan
persentase.
Perhitungan Overall Accuracy digunakan untuk melihat tingkat keakuratan
antara nilai prediksi dan nilai aktual (Andono, Sutojo, & Muljono, 2017).
𝑋
𝑂𝐴 = 𝑁 × 100%
15
Tabel 1. Tabel Confusion Matrix (Susanto, 1994 dalam Aqwan 2015)
16
4 Pengaturan Kualitas Kapasitas ekosistem dalam menyerap aerosol dan
Udara bahan kimia dari atmosfer
5 Pengaturan Iklim Pengaruh ekosistem terhadap iklim lokal
6 Pencegahan dan Unsur pengaturan pada ekosistem termasuk
Perlindungan keberadaan vegetasi dan bentuk lahan yang
Terhadap Bencana berfungsi untuk mencegah terjadinya bencana
Alam
7 Pengaturan Air Kapasitas badan air dalam mengencerkan,
mengurai dan menyerap pencemar
Jasa Budaya
8 Estetika: apresiasi Kualitas estetika dari bentang alam seoerti struktur
pemandangan alam keberagaman , kehijauan dan ketenangan
9 Rekreasi:Peluang Fitur landscap, keunikan alam, atau nilai tertentu
Untuk Kegiatan yang menjadi daya Tarik wisata
Pariwisata dan
Rekreasi
Jasa Pendukung
10 Pendukung Produksi Produksi oksigen, penyediaan habitat spesies
Primer
11 Pendukung Keanekaragaman hayati
biodiversitas
17
asumsi bahwa angka 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (tinggi), dan 5
(sangat tinggi) (Farida, et al., 2018).
Tabel 3. Skoring terhadap jasa ekosistem (Sahid, 2017)
3.3.5 Menghitung Indeks Jasa Ekosistem (IJE) dengan metode Simple Additive
Wighting
Indeks Jasa Ekosistem (IJE) merupakan nilai relatif yang didapatkan dari
nilai KJE per kelas geomorfologi yang dikalikan dengan nilai KJE per tipe vegetasi
alami dan nilai KJE per kelas penutup lahan. Indeks jasa ekosistem memiliki
rentang nilai antara 0 (kecil) sampai 1 (besar). Nilai IJE pada hakekatnya akan
mempresentasikan kemampuan suatu jenis lahan atau geomorfologi dalam
menyediakan beragam jasa ekosistem untuk mendukung perikehidupan makhluk
hidup berdasarkan suatu rentang nilai, yang dapat dilihat pada persamaan berikut:
(Pusat Pengendalian dan Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku, 2015)
18
Keterangan:
IJE :Indeks Jasa Ekosistem
KJEG :Koefisien Jasa Ekosistem Geomorfologi
KJEVG :Koefisisen Jasa Ekosistem Vegetasi Alami
KJELC :Koefisien Jasa Ekosistem Penutupan Lahan
maks :Nilai maksimum dari hasil perkalian dan akar terhadap nilai Koefisien Jasa
Ekosistem Geomorfologi, Vegetasi Alami dan Penutupan Lahan
Setelah nilai IJE diperoleh, maka tahap berikutnya adalah mendeskripsikan
melalui tabel dan peta untuk masing-masing jasa ekosistem. Dalam penelitian
menggunakan rentang kelas yang diperoleh berdasarkan hasil klasifikasi
Geometrical Interval setiap IJE dalam Software GIS. Tiap jasa ekosistem memiliki
rentan kelas yang berbeda, akibat dari nilai minimum dan maksimum yang
bervariasi. Nilai IJE yang didapatkan, akan dipresentasikan kedalam klasifikasi
ordinal sebanyak 5 kelas, mulai sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat
tingggi. Adapun pewarnaan nilai IJE mengacuh pada kelima rentang kelas yaitu
sangat rendah (merah tua), rendah (orange), sedang (kuning), tinggi (hijau muda)
dan sangat tinggi (hujau tua) (Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion
Sumatera, 2015).
3.3.6 Indeks Komposit Jasa Ekosistem (IKJE)
Indeks Komposit Jasa Ekosistem (IKJE) merupakan nilai gabungan dari
KJE yang diperoleh dengan cara melakukan perhitungan rata-rata (mean).
Perhitungan tersebut digunakan untuk mengetahui potensi DDDTLH. Perhitungan
tersebut kemudian dijabarkan melalui nilai jasa ekosistem penting untuk setiap
wilayah (morfologi DAS). Adapun perhitungan nilai IKJE dapat dilihat pada
persamaan berikut: (Pusat Pengendalian Pembangunan ecoregion Sulawesi dan
Maluku, 2015)
(𝑲𝑱𝑬𝒊,𝒂 ×𝑳𝑷𝒂 )+(𝑲𝑱𝑬𝒊,𝒃 ×𝑳𝑷𝒃 )+(𝑲𝑱𝑬𝒊,𝒄 ×𝑳𝑷𝒄 )……..(𝑲𝑱𝑬𝒊,𝒏 ×𝑳𝑷𝒏 )
𝑰𝑲𝑱𝑬𝒂,𝒙 =
𝑳𝑨𝒕𝒐𝒕
Keterangan:
𝐼𝐽𝐾𝐸𝑎,𝑥 : Nilai indeks jasa ekosistem jenis a (misalnya pangan) di wilayah x
(morfologi DAS)
𝐽𝐾𝐸𝑎,𝑥 : Koefisien jasa ekosistem jenis a (misalnya pangan) di poligon x
19
𝐿𝑝𝑎 : Luas poligon a dengan nilai KJE a
𝐿𝐴𝑡𝑜𝑡 : Luas Poligon total
Setelah diperoleh IKJE, maka tahap berikutnya adalah mendeskripsikan
melalui grafik untuk mengetahui fungsi utama jasa ekosistem di DAS Mata Allo.
3.3.7 Analisis data
Penelitian ini tergolong penelitian non-eksperimen dengan melakukan
pengamatan langsung di lapangan dan penilaian pakar. Hasil interpretasi citra
kemudian di cek keakuratannya di lapangan (ground check) kemudian di uji dengan
overall accuracy pada comparison matrix. Hasil penilaian pakar yang didapatkan,
akan diolah untuk mendapatkan nilai IKJE, yang dimana pengolahan data
menggunakan software SIG untuk menghasilkan 10 peta Jasa Ekosistem Daerah
Aliran Sungai Mata Allo.
20
References
Adil, A. (2017). Sistem Informasi Geografis. Yogyakarta: Andi Offest.
Andono, P. N., Sutojo, T., & Muljono. (2017). Pengolahan Citra Digital.
Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Bakosurtanal. (2005). Survei dan Pemetaan Nusantara. Jakarta: Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional.
Budiyanto, E. (2002). Sistem Informasi Geografis Menggunakan ARC VIEW GIS.
Yogyakarta: Andi Offest.
Dahri, M. (2017). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Erosi, Sedimentasi dan
Debit di Daerah Aliran Sungai Tangka. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Dara, M. (2018). Pemetaan Jasa Ekosistem Di Daerah Aliran Sungai Mamasa.
Makassar: Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Direktorat Kehutanan dan Konserfasi Sumberdaya Air. (2010). Kajian Model
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta: Kementrian
Kehutanan.
Farida, M., Aris, N., Suspawati, E., Tepu, M., Nurhasnah, Hairuddin, B., . . .
Ramdhan, R. S. (2018). Daya Dukung Daya Tampung Linhkungan Hidup
Indikatif Ekoregion Sulawesi Berbasis Jasa ekosistem. Makassar: Pusat
Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku.
Irwansyah, E. (2013). Sistem Infoemasi Geografis Prinsip Dasar dan
Pengembangan Aplikasi. Yogyakarta: Digibooks.
Kementrian Hukum dan HAM. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No.
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup.
Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 140.
Kementrian Hukum dan HAM. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62.
Kementrian Kahutanan. (2013). Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Identifikasi
Karakteristik Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Nomor : P. 3/V-SET/2013.
Latifah, S. (2005). Analisis Vegetasi Hutan Alam. Medan: Jurusan kehutanan,
Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
21
Lihawa, F. (2009). Pendekatan Geomorfologi Dalam Survei Kejadian Erosi. Jurnal
Ilmu Pelangi, Volume 2 No. 5.
Mahmud, D. S. (2017). Pemetaan Jasa Ekosistem Daerah Aliran Sungai Mapili.
Makassar: Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin.
Mantra, I. B. (1989). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada Press.
Millenium Ecosystem Assestment. (2005). Ecosystem and Human Well-being:
Syntheis. Washington: DC.
Moniada, V. R. (2011). Analisis Daya Dukung Lahan Pertanian. 2.
Mulya, R., & Thoriq, A. (2016). Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Citra
Landsat 8 Oprational Land Imager (OLI) di Kabupaten Sumedang. Jurnal
Teknotan, 2528-6285.
Muta’ali, L. (2015). Daya Dukung Dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
Ekoregion Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem. Pekanbaru: Pusat
Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera.
Noor, D. (2014). Geomorfologi. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Okta, Didit, Shiddiq, Diar, Ermyanila, & Mia. (2006). Model Perubahan Tutupan
Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 35-51.
Oswaldo, M., Ahmad, S., & Bilqis, A. (2014). Implementasi Metode Pairwise
Comparison pada Uji Kinerja Varian Metode Kecerdasan Buatan pada
Penyelesaian Masalah TSP. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
Paimin, Irfan, B. P., Purwanto, & Dewi, R. I. (2012). SISTEM PERANCANGAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. Bogor, Indonesia: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR).
Permatasari, I. (2007). Aplikasi SIG untuk Penyusunan Basis Data Jaringan Jalan
di Kota Mageang. Semarang: universitas Negeri Semarang.
Putra, I. D. (2015). Analisis Daya Dukung Lahan Berdasarkan Total Nilai Produksi
Pertanian di Kabupaten Bianyar.
Rahayu, S., Indra, S., Bruno, V., Harto, R., & van, M. (2009). Monitoring Air di
Daerah Aliran Sungai. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre.
22
Saaty, T. L. (2008). Decision Making With The Analytic Hierarchy Process. Service
Sience.
Sahid, M. (2017). Pemetaan Indikasi Jasa Ekosistem di Daerah Aliran Sungai
Massupu. Makassar: Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Saktiyono. (2006). IPA Biologi 1 SMP dan MTs untuk Kelas VII. Indonesia:
Erlangga.
Sari, F. (2012). Metode Dalam Pengambilan Keputusan. Yogyakarta: CV BUDI
UTAMA.
Sihombing, B. H. (2013). Analisis Perubahan Tutupan Lahan Areal Konsessi
Tambang PT Kaltim Prima Coal.
Soeprobowati, T. R. (2011). Ekologi Bentang Lahan. Bioma, 46-53.
Sosial, D. B. (2014). Modul Tutorial SWAT: Soil & Water Assestment Toll. Jakarta:
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.
Surakusuma, W. (2017). Sumber Belajar Penunjang PLPG 2017 Mata
Pelajaran/Paket Keahlian Teknik Produksi Hasil Hutan. Kementrian
Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan.
Utoyo, B. (2006). Geografi Membuka Cakrawala Dunia. Bandung: PT Setia Purna
Inves.
23