Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

Corpus Alienum pada Telinga Kanan , Rinosinusitis Kronis


dan
Laringopharyngeal Reflux

Disusun Oleh:
Joseph Nelson Leo (112017124)

Pembimbing: dr. Daneswarry, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat
Periode 13 Agustus 2018 – 15 September 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Joseph Nelson Leo

NIM : 112017124

PERIODE : 13 Agustus 2018 - 15 September 2018

JUDUL : Corpus Alienum pada Telinga , Rinosinusitis Kronis dan Laringopharyngeal


reflux

TANGGAL PRESENTASI : 29 Agustus 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

Jakarta, 29 Agustus 2018

Yang Mengesahkan,

dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kasus Benda asing paling banyak berlokasi di telinga (64,4 %), diikuti oleh hidung
(19,5 %) dan orofaring (8,9 %). Benda asing pada telinga, hidung dan tenggorok sering
terjadi pada anak dan 50,1 % pasien berumur 8 tahun kebawah.1
Benda asing pada meatus akustikus eksternus merupakan kasus yang sering terjadi
dan terkadang menjadi kasus yang sulit ditangani. Berbagai jenis benda asing dapat
ditemukan pada meatus akustikus eksternus. Benda asing pada telinga diklasifikasikan
menjadi benda hidup seperti serangga kecil dan benda mati. Benda asing sering terjebak di
dalam liang telinga dikarenakan terdapat dua area sempit secara anatomis didalamnya yaitu
daerah yang menghubungkan bagian kartilago dan bagian tulang, kemudian daerah isthmus
dari bagian tulang.4

Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik dokter umum
maupun dokter spesialis THT. Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus
paranasal dengan gejala berupa sumbat pada hidung, nyeri fasial dan pilek kentall purulen.
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasal yang dipicu oleh terjadinya
peradangan pada hidung atau rhinitis. Sinus paranasal meliputi sinus maksilaris yang
terletak di pipi, sinus etmoidalis yang terletak di antara mata dan hidung, sinus frontalis
yang terletak di bawah dahi, dan sinus sfenoidalis yang terletak di bawah hipofisis.

Laryngo Pharyngeal Reflux merupakan pergerakan asam lambung secara retrograd


menuju faring dan laring serta saluran pencerna. Walaupun penyebab LPR sama dengan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), LPR harus dibedakan dengan GERD. LPR sering
ditemukan dinegara-negara barat dengan angka kejadian 10-15% dan umumnya mengenai
usia diatas 40 tahun (35%). Hal ini berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat barat,
olahraga, genetic dan kebiasaan berobat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi telinga

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, telinga dalam (Gambar 1).

Gambar 1. Anatomi Telinga6`

Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf s dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar dan dua pertiga bagian dalam terdiri dari
tulang, dengan panjang 2,5 cm-3 cm. Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral
dan tulang sejati di bagian medial. Seringkali terdapat penyempitan liang telinga pada
perbatasan antara tulang dan tulang rawan ini. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga
terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit
liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya dijumpai sedikit kelenjar serumen.7

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat obliq terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran
sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propia). Pars flaksida terdiri dari
dua lapisan, yaitu bagian luar yang merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian
dalam yang dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa

4
mempunyai satu lapis tambahan dibagian tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen
dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian
dalam. 7

Membran timpani dibagi dalam empat kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleuus dan garis yang tegak lurus terhadap garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian anterior superior, posterior superior, anterior inferior dan posterior
inferior.7

Tulang pendengaran di dalam telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus


melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekatpada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.7

Telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar adalah membran timpani, batas
depan tuba eustachius, batas bawah vena jugularis, batas belakang Aditus ad antrum, kanalis
fasialis pars vertikalis. Batas atas telinga tengah adalah tegmen timapani atau meningen
sedangkan batas dalamnya adalah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, oval
window, round window dan promontorium. 7

Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba adalah untuk ventilasi, drainase sekret dan proteksi (menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah). Ventilasi merupakan fungsi tuba untuk
menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan tekanan udara
luar. Tuba Eustachius terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga kearah nasofaring dan
sepertiga terdiri atas tulang. Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya
lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa adalah 37,5 mm dan
pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.7,8

Telinga dalam

Telinga dalam terdiri atas koklea dan vestibuler yang terdiri dari kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak

5
lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas, dan skala
timpani di bagian bawah serta skala media atau duktus koklearis di bagian tengah. Skala
vestibuli dan timpani berisis perilimfa dan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut membran vestibuli atau Reissner’s membran, sedangkan dasar skala media disebut
membran basalis. Diatas membran basalis terletak organ corti. Pada skala media terdapat
bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal
terdapat sel rambut dalam, sel rambut luar dn kanalis corti, yang membentuk organ corti.7

Benda Asing Telinga

Defenisi

Benda asing dalam adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh,
yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing di telinga merupakan masalah yang
sering ditemukan oleh dokter THT, dokter anak dan dokter layanan primer terutama di
pelayanan gawat darurat. Benda asing yang ditemukan di liang telinga dapat sangat
bervariasi, baik berupa benda mati atau benda hidup.3,4 Kejadian tersering adalah pada telinga
bagian luar. Jika tidak ditatalaksana dengan baik, maka dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi seperti perforasi membran timpani, gangguan pendengaran dan edema pada liang
telinga.1,3,9

Epidemiologi

Benda asing di telinga merupakan kasus yang sering ditemukan pada instalasi gawat
darurat THT. Insidennya mencapai 11% untuk semua kasus benda asing termasuk di hidung
dan tenggorok. Benda asing di liang telinga paling sering terjadi pada anak usia < 5 tahun,
sedangkan pada dewasa lebih jarang terjadi. Dalam pelayanan darurat THT dari sebuah
rumah sakit tersier di Sao Paulo, terdapat 15.640 kasus dalam periode waktu Februari 2010
sampai Januari 2011. Benda asing menyumbang 827 kunjungan, atau 5,3% dari semua kasus.
Pasien memiliki usia rata-rata 19,8 tahun dan usia rata-rata 8 tahun. Insiden lebih besar
ditemukan pada individu yang berusia < 8 tahun dengan insiden puncak pada usia 3
tahun.1,2,4,9
Dari 827 pasien yang dilibatkan dalam penelitian, 386 adalah perempuan (46,7%) dan
441 adalah laki-laki (53,3%), dengan rasio perempuan dan laki-laki 1,14 : 1,00. Kebanyakan
benda asing (94,8%) terletak di telinga, hidung atau tenggorokan. Lokasi benda asing pada
kelompok pasien sebagian besar berada di telinga (64,4%), diikuti oleh fossae hidung

6
(19,5%), dan orofaring (8,9%). Lokasi benda asing yang sulit di tentukan adalah sebanyak
2,9% kasus.1

Manifestasi Klinis

Pasien dewasa pada umumnya dapat mengatakan kepada pemeriksa bahwa ada
sesuatu dalam telinganya. Sementara pada anak, berdasarkan usianya, mungkin dapat
mengetahui bahwa ada benda asing dalam telinganya atau muncul dengan keluhan nyeri
telinga atau telinga berair. Pasien mungkin dapat merasakan ketidaknyamanan dan keluhan
mual atau muntah jika ada serangga yang hidup di liang telinga. Gejala lainnya dapat berupa
gangguan pendengaran atau rasa penuh di liang telinga.10
Pada pemeriksaan fisik, temuan dapat bervariasi tergantung benda dan lama waktu
benda tersebut sudah berada di liang telinga. Benda asing yang baru saja masuk ke dalam
telinga biasanya muncul tanpa kelainan selain adanya benda asing tersebut yang terlihat
secara langsung atau dengan otoskopi. Nyeri atau perdarahan dapat terjadi pada benda yang
melukai liang telinga atau jika terjadi ruptur membran timpani akibat usaha pasien yang
memaksakan pengeluaran benda tersebut. Jika sudah terlambat, dapat ditemukan eritema,
pembengkakan dan sekret berbau dalam liang telinga.10
Berdasarkan penelitian oleh Yaroko gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan
adalah nyeri telinga (56,9%) diikuti oleh keluarnya darah (8,6%). Dua gejala tersebut muncul
karena tekanan langsung oleh benda asing atau akibat trauma dalam mengeluarkan benda
asing. Mudahnya terjadi nyeri dan tauma karena secara alamiah liang telinga sempit,
dikelilingi tulang, banyak mengandung vaskular dan sangat sensitif.9

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium ataupun radiologi yang direkomendasikan sebagai pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik adalah alat diagnostik yang utama. Otoskop dapat digunakan sambil
menarik pinna ke arah posterosuperior. Pada pasien yang dicurigai terdapat gangguan
pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni. CT scan dapat dilakukan
untuk menentukan lokasi dan komplikasi akibat benda asing.10,11

7
2.2.6 Penatalaksanaan

Benda asing di liang telinga harus dikeluarkan. Liang telinga luar terdiri dari bagian
tulang rawan dan bagian tulang yang dilapisi oleh lapisan tipis dari kulit dan periosteum.
Bagian tulang sangat sensitif karena kulit hanya memberikan sedikit bantal yang melapisi
periosteum. Dengan demikian, upaya mengeluarkan benda asing dapat sangat menyakitkan.
Selain itu, liang telinga luar menyempit di bagian perhubungan antara bagian tulang rawan
dan bagian tulang. Benda asing dapat menjadi tersangkut di tempat tersebut sehingga
meningkatkan kesulitan pada saat dikeluarkan. Upaya untuk mengeluarkan benda asing dapat
mendorongnya lebih jauh ke dalam liang telinga dan tersangkut di titik yang sempit tersebut.
Selain itu, membran timpani dapat rusak akibat penekanan benda asing yang terlalu dalam
atau akibat peralatan yang digunakan selama proses pengangkatan. Oleh sebab itu, visualisasi
yang adekuat, peralatan yang memadai, pasien yang kooperatif, dan kemampuan dokter
adalah kunci untuk mengangkat benda asing.5,11

Pengeluaran benda asing di telinga merupakan suatu prosedur umum yang dilakukan di
departemen emergensi. Pengeluaran benda asing menjadi terindikasi harus segera dilakukan
tiap ditemukan benda asing yang tampak jelas terlihat pada pemeriksaan liang telinga dan
tidak dtemukan komplikasi lain. Adanya perforasi membran timpani, kontak benda asing
dengan membran timpani, atau visualisasi inkomplit dari liang telinga menjadikan kasus
benda asing ditelinga harus segera dikonsulkan ke departemen emergengi dari THT-KL
untuk pengeluaran benda asing melalui prosedur operasi mikroskopik dan spekulum.12

Pada kasus-kasus tertentu, seperti baterai, konsultasi ke konsul cito ke departemen


THT-KL harus segera dilakukan karena time-sensitive berkaitan dengan nekrosis likuefaksi
dapat menyebabkan perforasi membrane timpani dan komplikasi-komplikasi lain lebih lanjut.
Irigasi pada kasus seperti ini tidak direkomendasikan karena dapat mempercepat proses
nekrosis.12

Tidak ada indikasi khusus pasien dengan benda asing di telinga untuk dirawat inap.
Kadang-kadang, tatalaksana untuk atasi nyeri atau mual diperlukan. Pada pasien dengan
benda asing di telinga berupa serangga memerlukan perhatian khusus. Iritasi serta komplikasi
lain seperti sengatan atau gigitan dapat terjadi jika serangga masih hidup di liang telinga.
Oleh karenanya serangga tersebut harus dimatikan dulu dengan meneteskan mineral oil atau

8
lidokain 2% ke liang telinga. Penggunaan krim EMLA dilaporkan memberikan hasil yang
efektif sama dengan anastesi lokal untuk membunuh serangga di liang telinga.10,13

Pasien dengan benda asing di telinga diharapkan menghindari makan dan minum
selama 8 jam. Beberapa kasus benda asing di telinga memerlukan sedasi untuk mengeluarkan
benda asing tersebut dengan aman. Sedasi lebih aman diberikan jika pasien puasa selama 8-
12 jam.13

Alat-alat yang perlu dipersiapkan untuk tatalaksana benda asing di telinga yaitu:12

- Otoskop (dengan lensa yang removeable)


- Otoskop mikroskopik
- Spekulum telinga
- Lampu kepala
- Forsep Bayonet
- Forsep Aligator
- Right-angle hook
- Spuit
- Angiokateter nomor 20 gauge
- Basin
- Peralatan suction
- Magnet untuk benda asing berupa logam

Untuk tatalaksana, pasien dewasa diposisikan dalam keadaan duduk. Pina ditarik
superior-posterior meluruskan liang telinga untuk visualisasi optimal benda asing. Pada
pasien anak, orang tua memangku anaknya dengan mengapit kedua kakinya dan menahan
tangan serta kepalanya agar pada anak yang tidak koperatif tidak terjadi trauma ketika
pengeluaran benda asing. Pina pada pasien bayi ditarik posterior bahkan inferior untuk
visualisasi liang telinga.12

Anastesi lokal tidak rutin dilakukan dan juga tidak dianjurkan pada kasus tanpa
komplikasi karena bersifat invasif dan innervasi yang kompleks di dalam liang telinga. Lokal
anastesi diperlukan untuk kasus dengan benda asing berupa serangga di telinga untuk
mematikannya.10,12

Teknik-teknik untuk mengeluarkan benda asing di telinga yaitu melalui teknik ekstraksi
mekanis, irigasi, dan suction. Teknik yang digunakan pada pasien dapat variatif pada tiap

9
pasien tergantung dengan jenis benda asing pada pasien, lokasi, serta riwayat kesehatan
telinga pasien. Benda asing organik yang mampu menyerap air, riwayat telinga berair pada
pasien adalah beberapa kontraindikasi dari metode irgasi. Serangga, materi organik, serta
benda asing yang berpotensi rapuh dan pecah menjadi beberapa bagian lebih sering
dikeluarkan dengan metode suction dibandingkan dengan forsep. Serangga yang masih hidup
harus dimatikan terlebih dahulu dengan mineral oil, lidokain 2%, atau krim EMLA.10,12

1. Ekstraksi Mekanis

Pada pasien dengan benda asing yang keras dan bundar di liang telinga dan pasien
kooperatif serta mampu mempertahankan posisinya, benda asing dapat dikeluarkan dengan
ekstraksi mekanis. Pemeriksa telinga dengan otoskop sebelum melakukan tindakan untuk
menilai lokasi benda asing serta untuk menilai liang telinga. Gunakan hook melalui spekulum
telinga dan fiksasi tangan yang melakukan tindakan pada kepala pasien untuk meminimalisir
trauma apabila pasien melakukan gerakan yang tiba-tiba, capai benda asing dengan
melewatkan hook di celah antara benda asing dan liang telinga. Secara gentle, perlahan-lahan
tarik hook untuk mengeluarkan benda asing dari telinga.12,14

Penggunanan forsep Aligator atau forsep Bayonet sangat efektif untuk benda asing di
telinga yang lunak seperti kapas atau kertas. Masukkan forsep melalu otoskop dengan lensa
yang telah dilepas. Usahakan forsep tidak menyentuh dinding liang telinga Setelah mencapai
kapas atau kertas, secara gentle cengkram dengan forsep, tahan selama 10 detik, lalu tarik ke
luar perlahan-lahan. Kadang-kadang modifikasi forsep dengan memberikan beberapa tetes
cyanoacrylate (lem super) memberikan hasil efektif untuk mengeluarkan benda asing yang
lunak, bersih, dan kering. Cyanoacrylate dapat dikeluarkan secara manul setelah 24-48 jam
setelah terjadi deskuamasi epitel liang telinga. Jika lengket dan melekat pada membran
timpani, segera rujuk ke spesialis THT-KL untuk tatalaksana lebih lanjut. Untuk benda asing
yang keras dan besar, penggunaan forsep Aligator tidak dianjurkan karena malah akan
mendorong benda asing semakin dalam.10,12,14

Jika benda asing itu logam, instrument yang kita gunakan dapat dimagnetisasi dahulu.
Hal ini untuk mempermudah menggapai logam tersebut dan stabil ketika dikeluarkan.13

Setiap selesai tindakan nilai kembali liang telinga tersebut dengan otoskop. Penilaian ini
penting untuk mendeteksi adanya komplikasi paska tindakan.12

10
Salah Bena
r

Gambar 2. Ekstraksi mekanis benda asing di telinga.15

2. Irigasi

Irigasi merupakan metode terbaik untuk mengeluarkan benda asing yang tidak teralu
lengket dengan dinding liang telinga. Metode ini juga minimal invasif. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan sebelum melakukan irigasi adalah ada/tidak perforasi pada membran
timpani pasien (keluhan telinga berair), cairan yang digunakan untuk mengirigasi, serta
tindakan irigasi dan posisi pasien. Tindakan irigasi menjadi kontraindikasi pada pasien
dengan riwayat perforasi pada membrane timpani. Cairan yang digunakan dapat berupa air
steril atau saline yang telah dihangatkan sesuai suhu tubuh pasien agar tidak memicu
vertigo.12,13

Tindakan irigasi menggunakan spuit yang telah dihubungkan dengan angioakateter


nomor 20 gauge. Posisikan pasien secara aman dan nyaman. Lindungi lokasi sekitar telinga
dengan benda asing dengan kain agar tetap kering. Tempatkan basin di bawah telinga dengan
benda asing untuk mengumpulkan cairan atau benda asing yang diharapkan keluar. Secara
gentle, posisikan ujung angiokateter tadi pada liang telinga luar (jangan terlalu dalam) dan
injeksikan cairan sampai benda asing tersebut keluar. Setelah keluar evaluasi kembali liang
telinga.12,14

11
Foreign body

Irrigation
bottle

Gambar 3. Ekstraksi benda asing dengan metode irigasi.16

3. Suction

Suction adalah pilihan yang tepat untuk mengekstraksi benda asing di telinga yang
rapuh dan mudah terpecah menjadi beberapa bagian seperti serangga kecil yang telah mati
atau beberapa materi organic. Setelah mesin suction dihidupkan, kateternya dimasukkan
perlahan melalui otoskop dengan lensa removable dan lakukan terus sampai benda asing
tersedot atau jika lebih besar benda asing tersebut melekat pada ujung kateter. Setelah itu
keluarkan kateter dan evaluasi liang telinga, apakah masih ada benda asing atau komplikasi
yang terjadi setelah tindakan tadi.12

Ketika sedang melakukan salah satu dari tindakan di atas terjadi komplikasi seperti
benda asing terdorong lebih ke dalam, ada perdarahan, edem, atau nyeri pada telinga semakin
bertambah, maka hentikan tindakan dan segera konsulkan pasien kepada Spesialis THT-KL.
Pengulangan tindakan pada kasus-kasus dengan komplikasi seperti yang disebutkan di atas
cendrung akan menimbulkan infeksi, perforasi, ada comorbid lainnya.12

Tidak ada indikasi pemberian antiobiotik profilak untuk pasien yang diekstraksi benda
asing tanpa komplikasi. Jika ada tanda-tanda infeksi atau abrasi liang telinga pasien dapat

12
diberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid seperti
kortisporin (hidrokortison/neomisin/polimiksin) 5 tetes/hari selama 5-7 hari.10,12

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi berat dapat terjadi di sebanyak 22% dari kasus yang di temukan, dan
morbiditas terkait dengan benda asing oleh karena itu, benda asing harus di tangani secara
benar. Komplikasi yang sering ditemukan adalah laserasi liang telinga, perforasi membran
timpani dan otitis eksterna.1,8

Penanganan yang tidak tepat akan dapat menimbulkan pendarahan, trauma pada liang
telinga, trauma pada membran timpani dan tulang-tulang pendengaran. Hal ini akan
menambah angka kesakitan pada pasien, sehingga akan memerlukan tindakan eksplorasi
dalam general anastesi untuk mengangkat benda asing tersebut. Marques seperti dikutip
Figueiredo menyatakan kurangnya pengalaman dalam manajemen benda asing di telinga
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya komplikasi iatrogenik.5,8

Perforasi membran timpani tanpa kelainan di telinga tengah akan menyebabkan dua
efek berbeda pada pendengaran. Pertama adalah pengurangan luas membran timpani yang
merupakan pusat pengerahan tenaga ke telinga tengah sehingga mengurangi gerakan tulang
pendengaran. Makin besar perforasi makin berkurang permukaan membran sebagai
pengumpul tenaga suara, akhirnya suara hanya ditampung di kuadran posterior sisa membran
timpani tempat tulang-tulang pendengaran atau sisa tulang-tulang pendengaran berada. Efek
kedua terhadap pendengaran oleh perforasi adalah akibat energi suara yang lansung ke
tingkap bulat tanpa dihambat oleh membran timpani. Efek itu akan semakin besar sebanding
dengan besarnya perforasi.5

Tidak semua komplikasi terjadi secara tiba-tiba setelah ekstraksi benda asing. Biasanya
tanda-tanda komplikasi dapat muncul dalam 1 minggu setelah ekstraksi. Edukasi pasien
untuk segera kembali ke dokter jika ada tanda-tanda seperti nyeri pada telinga, kemerahan,
demam, atau ada sekret yang keluar.12,13

13
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior).2 Hidung terhubung dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung
yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan
memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 2

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

14
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 2

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 2

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding

15
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 2

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 2

16
Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada
dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di
anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah
yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang
terkait.2

Perdarahan

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. 2

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada


bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.2

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2

Gambar 4. Vaskularisasi hidung

17
Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina. 2

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 2

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

Gambar 5. Persarafan hidung

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. 2

18
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 2

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid. 2

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom
dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri.2

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:

Fungsi Respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan


dan mekanisme imunologik local. Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi
melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.2

19
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 2

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 2

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.

Fungsi Penghidu

Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus


penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. 1

Gambar 6. Fungsi Penghidu

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis
yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk,
pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 2

20
Fungsi Fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas
suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.2

Fungsi Statik dan Mekanik

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan
nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.2

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Anatomi
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang wajah dan di
sekitar rongga hidung dan mata. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap
dan bagian lateral rongga hidung. Jumlah, bentuk, ukuran dan simetri dapat bervariasi antara
individu. Sinus-sinus ini diberi nama yang sesuai posisi anatominya pada tengkorak manusia
seperti sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus
etmoidalis ini terdiri daripada sel-sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling
berhubungan dan masing-masing kelompok bermuara ke dalam kavum nasi. Seluruh sinus ini
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan
mukus dan bersilia; dan sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi melalui
muara-muaranya.6 Sinus maksilaris dan sinus etmoid telah terbentuk pada saat lahir,
sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian posterior superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

21
Gambar 8. Sinus Paranasal
Fungsi sinus tidak jelas. Diperkirakan bahwa mereka dapat berkontribusi pada
pelembab udara yang terinspirasi, resonansi suara, regulasi tekanan udara intranasal dan juga
mengurangi berat tengkorak.1,6 Permukaan bagian dalam sinus dilapisi oleh epitelium
respiratorius (epitel berlapis kolumnar bersilia).6

Gambar 9. Muara-muara Sinus Paranasal di Kavum Nasi

Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas fossa orbitalis
superior. Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu berbentuk segitiga. Mukus yang
terbentuk mengalir ke rongga hidung melalui saluran frontonasal, yang terbuka pada hiatus
semilunaris di dinding lateral kavum nasi.1,6

Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang etmoid yaitu
sinus ethmoidalis anterior dan posterior.6 Sinus etmoidalis anterior bermuara di meatus nasi
medius dan sinus etmoidalis posterior bermuara di meatus nasi superior. Sinus etmoidalis
terletak di bagian bawah sudut dalam tulang setiap mata dan terdiri dari 6-12 sinus-sinus
kecil.1,6

22
Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang sfenoethmodialis.
Sinus ini ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan bagian superior dan lateralnya
berhubungan ke rongga kranial. Sinus sfenoidalis bermuara di atap rongga hidung melalui
meatus nasi superior. Sinus ini sangat penting secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat
diakses melalui atap hidung melalui tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis,
etmoidalis dan sfenoidalis dipersarafi oleh N. trigeminus cabang oftalmikus.6

Sinus sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini merupakan sinus
paranasal terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang atas dan bermuara di hiatus
semilunaris atau meatus nasi medius. Ini adalah jalur potensial untuk penyebaran infeksi
karena cairan dari sinus frontalis dapat memasuki sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris.
Sinus ini diinervasi oleh N. trigeminus cabang maksilaris. Oleh karena gigi rahang atas juga
dipersarafi oleh saraf ini, dapat timbul sakit gigi pada penderita sinus maksilaris.1,6

Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran pernapasan
bagian atas dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan radang, terutama nyeri dan
pembengkakan mukosa, dan kondisi ini dikenal sebagai sinusitis. Jika semua sinus
terpengaruh, ia disebut sebagai pansinusitis. Kompleks osteomeatal merupakan suatu struktur
kompleks yang terdiri daripada infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksilaris.1,6

Gambar 10. Sinus-sinus Paranasal dan Kompleks Osteomeatal

23
Fisiologi
Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia yang berfungsi
untuk mengeluarkan lendir dari rongga sinus melalui muaranya dan mengalir ke kavum nasi.
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior
muara tuba. Dari ruang hidung lendir masuk ke nasofaring dan ditelan. Oleh sebab itulah,
pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di
rongga hidung. Dengan adanya penyakit itu adalah karena gangguan dari proses dasar ini,
biasanya dengan mengurangi aktivitas siliaris atau obstruksi, yang menimbulkan gejala. Ostia
dari etmoid anterior, sinus frontal dan maksilaris bermuara pada meatus nasi medius,
sehingga apabila timbul peradangan yang terkait dengan hiatus semilunaris atau meatus
medius akan sering melibatkan lebih dari satu sinus.6,7
Lapisan mukus yang terbentuk disamping menangkap dan mengeluarkan partikel
lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri.1 Lisozim yang terdapat
pada lapisan mukus bersifat destruktif terhadap dinding bakteri.1 Fagositosis aktif dalam
membrane hidung merupakan bentuk proteksi dibawah permukaan. Membrane sel pernafasan
juga memberikan imunitas induksi seluler. Sejumlah immunoglobulin dibentuk dalam
mukosa hidung, sebagian dari sel plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut.
Sesuai kebutuhan fisiologik, telah diamati bahwa terdapat IgG, IgA dan IgE di mukosa
hidung.6

Ada beberapa teori mengenai fisiologi sinus paranasal; antara lain adalah fungsi sinus
paranasal yaitu (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai insulator suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara,
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1

Untuk pengaturan kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara terinspirasi.1,6 Namun teori ini masih
diperdebatkan karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total

24
dalam sinus. Dan tambahan lagi, mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan mukosa
sebanyak mukosa hidung.1

Sinus paranasal juga berfungsi untuk penahan panas atau insulator; melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Selain itu, terbentuknya sinus
paranasal ini membantu dalam mengurangi berat tulang kepala dan secara tidak langsung
membantu keseimbangan kepala.6

Fungsi lain dari sinus paranasal ini adalah untuk resonansi udara serta mempengaruhi
kualitas suara dan sebagai peredam tekanan udara; misalnya apabila terjadi perubahan
tekanan yang mendadak sewaktu bersin atau membuang ingus.1,6

Fungsi yang pasti dari sinus paranasal adalah membantu produksi mukus. Mukus
yang diproduksi oleh sinus paranasal memang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara terinspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis.1,6

2.4 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus oroaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan
kebawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal.5

Otot, Perdarahan, dan Persarafan


Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar dan berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot
ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut ‘rafe faring’. Kerja otot konstriktor untuk
mengecilkan lumen faring. Otot-otot longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring.

25
M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.
palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring
dan bekerja sebagai elevator. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. palatofaring
dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu m. levator veli palatine, m. tensor veli palatine, m.
palatoglosus, m. palatofaring dan m. azigos uvula. M. levator veli palatine membentuk
sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan
memperlebar ostium tuba Eustachius dan dipersarafi n.X. M. tensor veli palatine membentuk
tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius dan dipersarafi n.X. M. palatoglosus membentuk arkus anterior
faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. M. palatofaring membentuk arkus posterior
faring. M. azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. 1
Faring mendapat darah dari cabang a. karotis eksterna serta dari cabang a. maksila
interna yakni cabang palatina superior. 1
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus, cabang dari n. glosofaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. vagus berisi serabut simpatis.1

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:

1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.2
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring
yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.2

26
2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.2
 Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan
otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n. vagus.2
 Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.
konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang
dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang
sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2
 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di
dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina ascendens, cabang
tonsil a. maksila eksterna, a. faring ascendens dan a. lingualis dorsal.

27
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Infeksi
dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas
pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.2

3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral
terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika
dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas
posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid
dan di bawahnya terdapat muara esophagus.2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa
orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan
laring pada tindakan laringoskopi langsung.7

28
Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal dan
fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju
lambung.2
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.
salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatine bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m. levator veli palatine
menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.
palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m. konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang
berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula
pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan
gerakan palatum.2

RINOSINUSITIS

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan sinus paranasal, yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung
tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri
pada wajah dan berkurangnya sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis akut gejala
berlangsung ≤ 12 minggu dan rhinosinusitis kronis berlangsung ≥ 12 minggu.11
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih gejala, salah satu
yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari
hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior)

29
disertai ± rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah atau ± berkurang / hilangnya
penciuman dan salah satu dari temuan nasoendoskopi yaitu:11,12
 Polip dan/ atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
 Gambaran tomografi computer (CT scan) : perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.

Patofisiologi Rinosinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Struktur yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium
sinus dapat diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).11
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,
hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi.
Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub
mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler, menembus
epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat cairan transudat di rongga
sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial
dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.11,12
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang berwarna kuning
kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen
juga dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu.
Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus.
Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi bakteri.9

30
Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang terus
berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

Klasifikasi Rinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama serangan.
Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10 cm:
 Ringan = VAS 0-3
 Sedang= VAS > 3-7
 Berat= VAS > 7-10

Gambar 11. Visual Analog Scale

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?” Nilai VAS >5
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis
diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik. Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12
minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit
>12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.

Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu disertai
polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya
harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior) disertai:11
 nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 penurunan/ hilangnya penghidu

31
Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata
gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus
paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan). Berdasarkan EPOS, faktor yang
dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary
impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan
endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal”.

Penatalaksaaan Rhinosinusitis Kronik


Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung. Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat terapi
utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. Kortikosteroid
topikal : beklometason, flutikason, mometason.

32
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan polip
nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:8,13
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible

33
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

Gambar 12. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer.

Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.10 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

1. Komplikasi orbita :
a. Selulitis periorbita
b. Selulitis orbita
c. Abses subperiosteal
d. Abses orbita
2. Komplikasi oseus/tulang :
a. Osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus

34
LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

1. Definisi

Manifestasi dari penyakit reflux gastroesofagus di luar esophagus didefinisikan


sebagai reflux extraesofagus (REE). Istilah reflux laringofaring (REE) adalah REE yang
menimbulkan manifestasi dari penyakit- penyakit oral, faring, laring, dan paru.
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah pergerakan retrograde dari isi lambung asam dan
enzim-enzimnya ke laringofaring. Sehingga perlu diketahui adanya hubungan yang kompleks
antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh penyakit refluks gastroesofagus, karena pasien
REE sering diobati sebagia rhinitis non alergi dengan secret belakang hidung, rinofaringitis
nonspesifik, sinusitis rekuren. Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan
terasa nyeri dan kering, panas di pipi, sensasi ada rasa menyumbat (globulus sensation),
kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.4-5

2. Etiologi

Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut:

 Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya (pepsin) atau keduanya ke
esophagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring dan
laring.
 Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinyaa spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi
pada laring dan faring.5

3. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan


Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan
untuk menegakkan diagnosis.
1. Riwayat Penyakit (Anamnesis)
Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan utama.
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keadaan alergi
dan kebiasaan merokok. Gerakan paradox dari pita suara dan spasme laring juga dapat
dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah
pernafasan dan perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR.

35
Refluks sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang
asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan
pada kasus asma 78%.
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti
terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti
antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan
seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang
dengan keluhan yang tidak pasti.Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan
alkohol ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah,
kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan
merangsang sekresi lambung.
Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu Reflux
Symptom Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif dari gejala LPR saat
penilaian awal dan setelah pengobatan. Ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI)
yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan
sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan
dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit
bernafas atau tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas
di tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR
adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus)
47%. Pasen karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik
56%.Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR. RFS ≥ 7 dianggap memiliki
LPR.4-6
Tabel 4 : Reflux symptom index (RSI)

36
Tabel 5. Reflux Finding Score.

2. Pemeriksaan Fisik4,6
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura posterior,
globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik dan karsinoma
laring.Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi.
Gejala paling bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.

Gambar 13. Hipertrofi komissura Posterior10 Gambar 14. Reflux Laryngitis10

37
Gambar 15 . Antara Penemuan pada LPR9

3. Pemeriksaan Penunjang
- Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya yang digunakan
adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik
dibandingkan laringoskop rigid.8
- Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang
merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener
pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi
pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam
mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya
refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat menentukan
adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak
nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup sehingga
kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat
menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini
disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan supresi asam. 1

38
- Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan awal pada
pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak merupakan
prasyarat untuk memulai terapi medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
- Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia, berat badan
menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk menyingkirkan kelainan traktus
gastrointestinal atas, metaplasia Barret dan komplikasi lain.
- Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang mengalami gejala
lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil terapi.
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang
patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar “barret” dengan
atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
- Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang
diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan lambat.
- Pemeriksaan laringoskopi langsung
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat
melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan
tindakan biopsy.

4. Penatalaksanaan
Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR tidak lepas
dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup, terapi medikomentosa
serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
dengan kondisi kronik yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan
menghasilkan proses penyembuhan yang cepat.10,11

39
Gambar 16. Algoritma penatalaksanaan LPR

1. Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup


Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan aliran
refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi atau hentikan merokok, kurangi
berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak memakai pakaian yang ketat
atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta meninggikan kepala tempat tidur. Pasien
juga harus diingatkan untuk memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan
yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi,
coklat, jus citrus, alkohol, tomat ataupun makanan berlemak. 10,12

2. Terapi Medikamentosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau Proton-
pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat proteksi
sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan
utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan adalah
Omeprazole dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih

40
seperti Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan
selama 6 bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.
Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan antagonis
reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang
sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai adalah
metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi
dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta
mencegah aktivitas pepsin.10

3. Terapi Bedah
Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi mengobati
LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi bedah yang
dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore (parsial).
Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus
bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang
aman dan efektif dalam pengobatan LPR.10

41
BAB III
LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Rabu, 29 Agustus 2018
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Joseph Nelson Leo Tanda tangan


Nim : 112017124

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Daneswarry, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Zaenal Arifin Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMA
Alamat : Jln. Pembangunan II No.12 Status :Menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 27 Agustus 2018 Jam : 11.00 WIB

Keluhan utama
Nyeri Telinga kanan sejak 5 hari lalu

42
Keluhan tambahan
Keluhan disertai hidung tersumbat dan sakit kepala.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang dengan keluhan nyeri telinga kanan sejak ±5 hari lalu disertai hidung
tersumbat dan sakit kepala. Terdapat lendir bening dan encer, tidak ada darah keluar dari
hidung. Sering bersin terutama saat pagi hari dan saat berada diruangan ber-AC atau saat
terpapar debu. Pasien mengatakan pilek sering berulang . Pasien menyangkal adanya cairan
yang keluar berbau tidak enak dan kental dari hidung. Adanya cairan yang menetes di
tenggorokan disangkal.

Pasien juga mengeluh sering sakit kepala, terutama di dahi dan ada nyeri disekitar
pangkal hidung sejak ± 1 tahun lalu. Pasien menyangkal adanya demam dan gangguan
penghidu. Pasien ada riwayat trauma pada hidung 1 tahun yang lalu. Riwayat perdarahan dari
hidung dan keluhan gigi berlubang disangkal. Pasien mengatakan telinga kanannya juga
terasa penuh. Pasien mengatakan tidak ada riwayat trauma telinga, tidak ada riwayat
keluarnya cairan dari telinga, tetapi pendengaran telinga kanan sedikit terganggu. Keluhan
pusing seperti berputar disangkal.

Pasien juga ada keluhan batuk, tenggorokan kering, Tidak ada lendir yang mengalir di
tenggorokan. Pasien menyangkal sering minum alkohol dan pasien mengatakan tidak pernah
merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu


Alergi (+) riwayat maag, asma, trauma (-), kencing manis, darah tinggi, kolesterol,
batuk kronis (+)

Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), anotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
atresia (-), fistula (-), bat’s ear (-), anotia (-), atresia (-), fistula (-),
lop’s ear (-), cryptotia (-), satyr ear bat’s ear (-), lop’s ear (-),
(-) cryptotia (-), satyr ear (-)

43
Tanda Radang, Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-), Nyeri (-), massa (-), hiperemis
Tumor edema (-) (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
telinga
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), hematoma (- Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler ), laserasi (-), abses (-), sikatriks (-), hematoma (-), laserasi (-), abses
massa (-), hiperemis (-), nyeri (-), (-), sikatriks (-), massa (-),
edema (-) hiperemis (-), nyeri (-), edema
(-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri (-), Massa (-), hiperemis (-), odem
edema (-), abses (-) (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang (+) benda asing (+) Lapang (+) benda asing (-)

Membran Timpani Intak (+), suram(-), Reflek cahaya Intak (+), suram (-), Reflek
(+) arah jam 5, hiperemis (-),retraksi cahaya (+) arah jam 7,
(-), buldging (-) hiperemis (-),retraksi (-),
buldging (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Kesan : Tidak ada kelainan tuli sensorineural dan konduktif pada tes penala dengan frekuensi
512 Hz pada kedua telinga pasien.

44
HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), tidak atresia nares anterior (-), tidak
ada deformitas. ada deformitas.

Tanda peradangan Hiperemis (+), nyeri (-), massa Hiperemis (+), nyeri (-), massa
(-) (-),

Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (+), nyeri ketuk Nyeri tekan (+), nyeri ketuk
maxillaris (+), krepitasi (-) (+), krepitasi (-)

Vestibulum Tampak bulu hidung (+), Tampak bulu hidung (+),


laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-), furunkel (-
(-), krusta (-), hiperemis (-), ), krusta (-), hiperemis (-), nyeri
nyeri (-), massa (-), benda asing (-), massa (-), benda asing (-)
(-)

Cavum Nasi Sempit (+) Sekret (+) serosa (- Sempit (+) Sekret (+) serosa
), massa (-), krusta (-), benda (+), massa (-), krusta (-), benda
asing (-), edema (-), pendarahan asing (-), edema (-), pendarahan
aktif (-), clotting (-) aktif (-), clotting (-)

Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (-), edema hiperemis (-), livide (-), edema
(+) (+)

Meatus nasi inferior Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit (-)

Konka Medius Edema (-), atropi (-), hipertrofi Edema (-), atropi (-), hipertrofi
(-), hiperemis (-), livide (-), (-), hiperemis (-), livide (-),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)

Meatus nasi medius Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit (-)

Septum nasi Deviasi (-), spina (-), hematoma Deviasi (-), spina (-), hematoma
(-), abses (-), perforasi (-), crista (-), abses (-), perforasi (-), crista
(-) (-)

45
RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-),
clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-),
ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (-).

LARING
Epiglottis : Tidak dilakukan

Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan

Arytenoids : Tidak dilakukan

Ventricular band : Tidak dilakukan

Pita suara : Tidak dilakukan

Rima glotis : Tidak dilakukan

46
Cincin trachea : Tidak dilakukan

Sinus Piriformis : Tidak dilakukan

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

Reflux Symptom Index

1 Suara serak/ problem suara 1

2 Sering mendehem 3

3 Dahak/ Lendir di tenggorok (PND) 3

4 Kesukaran menelan 1

5 Batuk setelah makan atau berbaring 3

6 Kesukaran bernafas 0

7 Batuk yang mengganggu 3

8 Rasa mengganjal di tenggorok 0

9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam 1

Total Skor RSI : 15

RESUME
Seorang laki-laki 45 tahun datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan nyeri
telinga kanan sejak 5 hari lalu . keluhan disertai hidung tersumbat dan sakit kepala. Terdapat
lendir bening dan encer, tidak ada darah keluar dari hidung. Sering bersin terutama saat pagi
hari dan saat berada diruangan ber-AC atau saat terpapar debu. Pasien mengatakan pilek
sering berulang . Pasien menyangkal adanya cairan yang keluar berbau tidak enak dan kental
dari hidung. Adanya cairan yang menetes di tenggorokan disangkal.

Pasien juga mengeluh sering sakit kepala, terutama di dahi dan ada nyeri disekitar
pangkal hidung. Pasien menyangkal adanya demam dan gangguan penghidu. Pasien ada
riwayat trauma pada hidung 1 tahun yang lalu. Riwayat perdarahan dari hidung dan keluhan
gigi berlubang disangkal. Pasien mengatakan telinga kanannya juga terasa penuh. Pasien

47
mengatakan tidak ada riwayat trauma telinga, tidak ada riwayat keluarnya cairan dari telinga,
tetapi pendengaran telinga kanan sedikit terganggu. Keluhan pusing seperti berputar
disangkal.

Pasien juga ada keluhan batuk, tenggorokan kering, Tidak ada lendir yang mengalir di
tenggorokan. Pasien menyangkal sering minum alkohol dan pasien mengatakan tidak pernah
merokok.
Dari pemeriksaan fisik pada telinga didapatkan benda asing pada liang telinga kanan .
Pada pemeriksaan hidung didapatkan mukosa konka inferior kanan dan kiri Hiperemis dan
edema. Cavum nasi terlihat adanya secret yang bening dan encer.

Working diagnosa (WD)


- Corpus Alienum
Dasar yang mendukung:
 Rasa penuh pada telinga
 Nyeri pada telinga
Pemeriksaan Fisik:
 Ditemukan benda asing pada liang telinga kanan

- Rinosinusitis Kronis
Dasar yang mendukung:
 Hidung tersumbat, pilek berulang
 Sering sakit kepala terutama didahi
Pemeriksaan fisik:
 Cavum nasi: sekret serosa
 Mukosa konka inferior dan konka media tampak Hiperemis dan edem.

- Laryngopharyngeal Reflux

Dasar yang mendukung:

 Didapatkan Reflux symptoms index (RSI) sebesar 15 (Untuk dicuriga


adanya LPR perlu skor ≥ 13 dan ke atas)

48
Differential Diagnosis
Rhinosinusitis Akut
• Dasar yang mendukung:
Hidung keluar sekret bening Dan terdapat nyeri kepala dan nyeri tekan wajah diantara
kedua mata
• Dasar yang tidak mendukung: keluhan sejak ± 1 tahun yang lalu

Rhinitis Vasomotor

Dasar yang mendukung :


 Bersin – bersin jika terkena udara dingin
 Hidung tersumbat

Dasar yang tidak mendukung :

 Hidung tersumbat yang bergantian dan tidak tergantung posisi pasien


 Rinore tidak mukoid

Penatalaksanaan

Rinosinusitis kronik

MedikaMentosa :
- Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2 dd puff 2
- Dekongestan oral: Pseudoefedrin 30 mg 2 x 1
- Antihistamin: Loratadin 10 mg 1 x 1

Non MedikaMentosa :
 Hindari allergen pencetus
 Menggunakan masker debu terutama saat melakukan pekerjaan yang kontak langsung
dengan debu
 Menjaga kebersihan telinga, hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup

49
Laryngopharyngeal Reflux

Medikamentosa :

 PPI: Omeprazole, Lansoprazole


Dosis sediaan Lansoprazole 30 mg, diminum 2 kali sehari per 12 jam.

Non Medikamentosa :

- Hindari stres
- Penurunan berat badan
- Menghentikan kebiasaan merokok
- Menghindari alkohol
- Membatasi konsumsi coklat, makanan berlemak, buah-buahan asam, minuman
berkarbonasi, makanan pedas, anggur merah, kafein, dan makan terlalu malam
- Mengkonsumsi obat-obatan secara teratur dan tepat waktu (30-60 menit sebelum
makan untuk PPI)

Prognosis

Corpus Alienum

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Rinosinusitis Kronis

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

50
Laryngopharyngeal Reflux

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini,
maka dapat ditegakan diagnosis kerja corpus alienum, rinosinusitis kronis dan
Laryngopharyngeal reflux. Diagnosa tersebut didukung dengan adanya keluhan telinga
kanannya terasa penuh, pendengaran telinga kanan sedikit terganggu dan pada pemeriksaan
fisik liang telinga terdapat benda asing.

Dari anamnesis juga terdapat hidung gatal dan tersumbat, sering bersin jika terkena
udara dingin, mengalami pilek saat pagi hari dengan secret yang bening dan cair. Gejala
tersebut tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik rhinoskopi
anterior ditemukan mukosa konka inferior tampak hiperemis dan edem. Untuk gejala
rinosinusitis ditemukan adanya sakit kepala yang terutama dirasakan di daerah frontal dan
nyeri bila ditekan. Sering bersin terutama saat pagi hari dan saat berada diruangan ber-AC
atau saat terpapar debu. Pasien juga sering pilek berulang.

Dari anamnesis juga diketahui bahwa pasien memiliki penyakit maag dan sering
berulang ketika pasien terlambat makan. Pasien juga memiliki kebiasaan makan makanan
pedas, bersantan, bersoda yang dapat memicu reflux dari asam lambung hingga mengiritasi
laryng dan faring . Pasien juga ada keluhan batuk, tenggorokan kering.

Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah terapi


kortikosteroid topical yaitu fluticasone furoate nasal spray disemprotkan pada hidung 2 kali
sehari, antihistamin dan dekongestan. Antihistamin yang diberikan dalam hal ini adalah
antihistamin generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedatif seperti loratadin 10 mg
diberikan 1 kali sehari selama 5 hari dan dekongestan oral, seperti pseudoefedrin 30 mg 2
kali sehari. Jika terdapat demam dapat diberikan antipiretik, seperti paracetamol 500 mg yang
diminum 3 kali sehari. Untuk Laryngopharyngeal reflux diberikan terapi PPI yaitu
lansoprazole 2 x 30 mg

51
BAB IV

KESIMPULAN

Benda asing pada meatus akustikus eksternus merupakan kasus yang sering terjadi
dan terkadang menjadi kasus yang sulit ditangani. Berbagai jenis benda asing dapat
ditemukan pada meatus akustikus eksternus. Benda asing pada telinga diklasifikasikan
menjadi benda hidup seperti serangga kecil dan benda mati. Benda asing sering terjebak di
dalam liang telinga dikarenakan terdapat dua area sempit secara anatomis didalamnya yaitu
daerah yang menghubungkan bagian kartilago dan bagian tulang, kemudian daerah isthmus
dari bagian tulang. Benda asing pada liang telinga harus segera dikeluarkan. Komplikasi yang
timbul saat benda asing dibiarkan lama di liang telinga dapat berupa otitis eksterna akut,
laserasi pada liang telinga dan perforasi membran timpani.
Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi pada mukosa hidung yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Gejala utama pada hidung yaitu
hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair dan bening. Seringkali gejala
meliputi mata, yaitu berair, kemerahan dan gatal. Rinitis alergi merupakan penyakit yang
umum dan sering dijumpai dan rhinitis alergi yang lama adalah pencetus rhinosinusitis.

Rhinosinusitis merupakan sebagai inflamasi pada mukosa sinus paranasal yang


disertai atau dipicu oleh rinitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran
tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks osteomeatal. Oedem
mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi
terjebak (sinus stasis).
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus
dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang
menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas
pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral,
faring, laring dan paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms
Index/RSI) dan Reflux finding score.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.h.106-12.
2. Damayanti S, Endang M, Retno SW. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.96-100.
3. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
4. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI: Jakarta; 2013. h. 315-319.
5. Falk GL, Vivian SJ. Laryngopharyngeal reflux: diagnosis, treatment and latest
research. Eur Surg - Acta Chir Austriaca. 2016;48(2):74–91.
6. Belafsky P, Rees C. Identifying and managing laryngopharyngeal reflux. Clinical
Review article. Hospital physician. 2007.p. 15-27.
7. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
8. Dhingra PL. Disease of Ear Nose Throat. First Edition. Elsevier. 2007. p. 114-127.
9. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Penerbit
buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
10. Ford C. Evaluation and Management of Laryngipharyngeal Reflux. JAMA. 2005: 294
(12): p. 1534-9.
11. Lund VJ et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps, 2012.
12. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2012.
13. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery
second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-7

53

Anda mungkin juga menyukai