Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin yang dikenal
dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan
pencegahan dari tetanus.6
Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%.
Klinis tetanus bergantung terhadap pernah atau tidaknya seseorang
mendapatkan vaksin tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang
pernah mendapatkan vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang
tidak cukup divaksinasi atau tidak divaksinasi sama sekali. Angka kematian di
Amerika Serikat 6% bagi mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid
tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka yang tidak divaksinasi. Angka
kematian di Amerika Serikat adalah 18% 2001-2008 dan 11% tahun 1995-
1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada tahun 1947. Angka
kematian yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%) dibandingkan
dengan mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun (8%).12
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk pada anak
usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Di negara
maju kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan
masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Penyakit ini dapat
dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi
dengan angka kematian yang tinggi pula. Oleh karena itu, kasus tetanus akan
dibahas lebih lanjut pada referat ini baik dari klinis penyakit hingga
penatalaksaannya.12

TETANUS Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tetanus


Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri
ini merupakan basil gram positif anaerob, bersifat nonencapsulated dan
berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan.6
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang
disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf
dan otot menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang
berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan
juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang
spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein
yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme
otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot
umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme global, kejang, dan
paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar
serta pada infeksi tali pusat (tetanus neonatorum).7
2.2 Epidemiologi11,13
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus
yang dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940
karena meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus. Selain itu sanitasi
lingkungan yang bersih.
Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti
Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal
ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi

TETANUS Page 2
kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh
karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab
kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini
dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka
angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
2.3 Etiologi11
Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen
(anaerob), kuman gram positif, dan membentuk spora. Spora ini mampu
bertahan hidup terhadap lingkungan panas, antiseptic, dan jaringan tubuh,
sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang ini sering terdapat
dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu atau tanah
yang kotor, dan mengenai luka.

Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran


penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan
ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang
bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan
pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah.
Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik.

Gambar 2.1. Clostridium tetani

TETANUS Page 3
2.4 Patogenesis4

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram


positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu
setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera atau
luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit
ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet
yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma
pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan
luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi
sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin
tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem
saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem Saraf
Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau
eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk
melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan Gamma
Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,
sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter

TETANUS Page 4
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan
yang berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum
gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi
dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous
System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot
masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang
paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak

TETANUS Page 5
hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan
untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol),
sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang
dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan
rasio kematian sangatlah tinggi.

Gambar 2.2. Patogenesis tetanus

TETANUS Page 6
2.5 Manifestasi klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat
1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin
buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman
Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara
terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa
inkubasi makin panjang4.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.
Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus
bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu2 :
a. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi
kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih
berlangsung.
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka
sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah
penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari
otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam
setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena

TETANUS Page 7
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya
kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari
luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya,
sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya
berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan
patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.
Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas,
akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.

Gambar 2.3. Trismus

TETANUS Page 8
Gambar 2.4. Risus Sardonicus

Gambar 2.5. Opistotonus

2.6 Klasifikasi
Secara klinis, tetanus dibedakan atas1 :
Tetanus lokal
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi. Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi tetanus umum, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus
ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara
terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

TETANUS Page 9
Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul


mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai.
Spasme otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan
kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus
yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus
sardonicus yakni spasme otot-otot muka. Kontraksi otot meluas, pada otot-
otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang
menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup
otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama
periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.

Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di
kepala, wajah atau otitis media, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung. Banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.
Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII paling sering
terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah
menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III
dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI,
dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan-bulan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas2:
Grade I: ringan
a. Masa inkubasi lebih dari 14 hari.
b. Periode onset > 6 hari
c. Ttrismus positif tapi tidak berat
d. Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada
e. Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

TETANUS Page 10
Grade II: sedang
a. Masa inkubasi 10-14 hari
b. Periode onset 3 hari atau kurang
c. Trismus dan disfagi ada
d. Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis
tidak ada
Grade III: berat
a. Masa inkubasi < 10 hari
b. Period of onset < 3 hari
c. Trismus dan disfagia berat
d. Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat
banyak dan takikardia.
2.7 Diagnosis12
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat berupa :
1. Gejala klinik
Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus (sardonic smile).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
2.8 Diagnosis Banding1

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari


pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan
pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang
lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan
kesadaran yang tetap normal.
a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana

TETANUS Page 11
adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang
dijumpai trismus.

Gambar 2.6 Diagnosis banding tetanus

2.9 Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan

TETANUS Page 12
pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai
berikut4:
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah penyuntikan ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat
diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan
tindakan terhadap penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Khusus (Obat- obatan)3
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000
Unit/ kgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia
Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama
bila penderita alergi penisilin. Dosis yang diberikan :
a. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis

TETANUS Page 13
b. Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
c. Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5
mg/KgBB tiap 6 jam
2. Anti Tetanus Toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :
a. Toksin bebas dalam darah
b. Toksin bergabung dengan jaringan saraf

Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah.


Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin harus
dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata,
dan harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin
berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin
terjadi syok anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann
(1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 u
yang diberikan setengah lewat i.v. dan setengahnya i.m. pemberian
lewat i.v.diberikan selama 1-2 jam.
3. Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi alergi yang serius.
4. Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT
harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
5. Antikonvulsan

TETANUS Page 14
Tabel 1. Jenis Antikonvulsan9
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan Stupor, Koma
/ 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah:


a. Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka
diberikan dosis 0,5 mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis
optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti
pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan dosis
0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.
b. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus
yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari
dengan bantuan ventilasi mekanik. Dapat pula dipertimbangkan
penggunaan magnesium sulfat, dila ada gangguan saraf otonom.
c. Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m.
Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.
2.10 Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme
otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena
akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan
minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat
obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya
terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskular

TETANUS Page 15
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
4. Komplikasi yang lain :
a. Laserasi lidah akibat kejang
b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
d. Kematian yang dapat terjadi akibat komplikasi, yaitu:
bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks.
2.11 Prognosis5
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya,
sebaliknya makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada
umumnya bila inkubasi < 7 hari tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin buruk.
3. Onset
Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya
dapat buruk.
4. Demam
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya
jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.

TETANUS Page 16
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin buruk.
2.12 Pencegahan
Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus.
Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak
berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT).
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian
dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi yang sudah dewasa
sebaiknya menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar dan
anti tetanus serum untuk profilaksis.9

TETANUS Page 17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di negara maju,
namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia,
insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan dari otot,
terutama otot wajah dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari
kuman Clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka
itu kecil. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, onset,
kejang lokal atau umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomik karena
hal ini yang menyebabkan kematian pada tetanus.
Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama
penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-
akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia,
maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

TETANUS Page 18
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.


Health Technology Assesment Indonesian.
2. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta.
hal 1777-1784
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.
Jakarta.
4. Farrar, Cook T. Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and
Psychiatry. hal 292-301.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2006. Neurologi. Palembang : FK
UNSRI
6. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:
2006, hal 474-476.
7. Mardjono, mahar. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta Dian Rakyat.hal
323-324.
8. Misbach, Jusuf, dkk. 2006. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur
Operasional Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Sarafn
Indonesia (PERDOSSI).
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Editor : Harsono. 2007. Buku
Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
10. Philip, Jevon & Beverley. 2008. Pemantauan Pasien Kritis. Edisi II. Jakarta :
Erlangga.
11. Soedarmo, Garna, dkk. 2008. Tetanus. Buku Ajar Infeksi Tropik. Jakarta :
EGC
12. Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle
Brown,
and Company, Boston, 1978, 387-390.
13. Widiyono. 2008. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasan. Edisi I. Jakarta : Erlangga

TETANUS Page 19

Anda mungkin juga menyukai