Anda di halaman 1dari 14

Apa itu Major Depressive Disorder ?

Ketika kita merasa sedih seringkali kita menganggap hal itu sebagai depresi. Sebenarnya merasa
sedih adalah hal yang wajar kita rasakan. Hal yang dapat menjadikan seseorang mengalami
depresi adalah rasa sakit psikologis hebat yang berlangsung lama dan mungkin semakin lama
akan bertambah parah. Semua gangguan depresi akan berpengaruh negatif dan menurunkan
kualitas hidup orang yang mengalaminya. Di tahun 2030, Major Depressive Disorder diprediksi
menjadi salah satu penyebab terganggunya fungsi global manusia, setara dengan penyakit
jantung dan HIV/AIDS (Mathers & Loncar, 2016).

Major Depressive Disorder (MDD) lebih banyak terjadi ketika usia remaja dan dewasa awal.
MDD termasuk gangguan mood unipolar. Artinya, untuk didiagnosa mengalami MDD,
seseorang harus mengalami setidaknya satu atau lebih Major Depressive Episode (MDE).
Berbeda dengan gangguan mood bipolar yang penderitanya mengalami baik episode depresi
maupun manik.

Terdapat pula ciri-ciri spesifik orang yang mengalami MDD:

1. Perubahan Keadaan Emosional : Perubahan Mood (merasa murung, sedih dan berkabung), cepat
marah dan temperamen
2. Perubahan Motivasi : merasa tidak termotivasi, menurunnya minat terhadap kegiatan sosial,
berkurangnnya minat terhadap seks dan gagal untuk merespon pujian
3. Perubahan pemfungsian dan perilaku : perilaku respon terhadap rangsang motorik yang menjadi
lambat dari biasanya, perubahan pola atau kebiasaan tidur
4. Perubahan kognitif : sulit konsenterasi dan berpikir jernih, berpikir negatif tentang diri sendiri
dan masa depannya, selalu merasa bersalah, harga diri rendah, berpikir untuk mati atau bunuh
diri

Bagaimana Major Depressive Disorder dipahami?


KONTEKS BIOLOGIS

Para peneliti percaya bahwa keturunan memainkan peran penting dalam MDD. Namun, genetis
bukanlah satu-satunya faktor determinan dari MDD, juga bukan faktor determinan yang paling
penting. Faktor-faktor lingkungan, seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh
tekanan, tampaknya memainkan peran yang hampir sama besarnya dibandingkan genetis.
Tampaknya MDD adalah suatu gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh suatu kombinasi
dari faktor-faktor genetis dan lingkungan. Faktor-faktor genetis dapat memainkan peranan yang
lebih besar dalam menjelaskan gangguan bipolar daripada depresi unipolar (Krehbiel, 2000).

Data dari hasil studi fMRI dan PET menunjukan bahwa ada empat bagian otak yang
berhubungan dengan depresi (Koenigs & Grafman, 2009).
1. Amigdala, menghasilkan reaksi emosi yang memicu otak untuk bertindak
2. Orbitofrontal cortex, bertanggung jawab dalam proses kognitif dan pengambilan keputusan,
memberi makna logis terhadap rangsang/stimulus.
3. Dorsolateral prefrontal cortex, regulasi afek, perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pertimbangan sosial
4. Anterior cingulate cortex, deteksi kesalahan, antisipasi tugas-tugas, motivasi dan mengatur
respon emosi

Keempat bagian tersebut bekerja sebagai sebuah sistem dan ketika ada salah satu yang tidak
bekerja dengan baik, peluang berkembangnya depresi meningkat. Depresi adalah gangguan yang
heterogen di mana orang-orang yang didiagnosa sama, tampilan klinisnya mungkin sangat
berbeda.

Selain itu, para klinikus menganggap bahwa depresi disebabkan oleh kurangnya dua
neurotransmitter yaitu norepinephrine dan serotonin. Namun sekarang ditemukan bahwa
penyebabnya bukan kekurangan melainkan disregulasi kedua neurotransmitter tersebut (Moore
& Bona, 2001)

Neuroendokrinologi juga menambahkan mengenai hubungan depresi pada orang dewasa dengan
pemfungsian sumbu HPA (Hypothalamic-pituiary-adrenal) selama 40 tahun terakhir ini (Lopez-
Duran, Kovacs, & George, 2009). Sumbu HPA adalah sistem neuroendokrin yang mengatur
proses-proses tubuh termasuk respon stres sehingga sumbu HPA yang abnormal terlibat dalam
banyak gangguan psikiatri terutama MDD (Pariante & Lightman, 2008). Banyak bukti juga
menunjukan berlebihannya kadar hormon kortisol pada penderita depresi.

KONTEKS PSIKOLOGIS

Dalam teori psikodinamik depresi adalah kemarahan yang diarahkan kepada diri sendiri bukan
terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah itu akibat dari kehilangan orang-orang yang
dikasihi atau ancaman akan kehilangan orang-orang yang dikasihi.

Kemarahan yang menjadikan seseorang depresi adalah rasa berduka yang patologis karena
individu tersebut memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan positif
(cinta) dan negatif (marah, permusuhan) terhadap orang yang telah pergi atau yang ditakutkan
kepergiannya. Perasaan marah tersebut diikuti oleh rasa bersalah sehingga itu mencegah individu
untuk mengarahkan rasa marah secara langsung terhadap suatu objek (orang yang dikasihi).

Freud berhipotesis bahwa seseorang yang kehilangan orang yang dikasihinya atau ditakutkan
kepergiannya pertama kali ia akan mengintroyeksi atau membawa ke dalam diri (suatu
representasi mental) orang yang meninggalkanya lalu setelah itu kemarahan diarahkan kepada
dirinya sendiri (self) sehingga seseorang merasa benci terhadap dirinya sendiri (self-hartred)
yang nantinya akan mengakibatkan depresi.
Depresi juga berhubungan dengan variabel-variabel kognitif individu. Ketika berhadapan dengan
stressor, orang yang pernah gagal memecahkan masalah dan merasa putus asa lebih besar
kemungkinan mengalami depresi. Cara penanggualangan masalah juga ada pengaruhnya, orang
yang menggunakan cara aktif dalam memecahkan masalah lebih kecil kemungkinan terkena
depresi daripada yang menghindari masalah. Depresi juga bisa terjadi karena kurangnya kejadian
menyenangkan atau sebaliknya, terlalu banyak kejadian tidak menyenangkan terjadi

Ketika hidup seseorang yang merasa penuh tekanan, ia akan menarik diri dari dunianya dan
merasa rutinitas dadsar kehidupannya menjadi kacau. Kekacauan ini bisa meningkatkan gejala
depresi dan memnuat orang sulit memecahkan masalah hidupnya secara efektif. Pada saatnya,
hal ini akan menyebabkan masalah-masalah sekunder seperti hubungan sosial dan kesulitan kerja
yang dapat mempertahankan bahkan memperburuk depresi

Beberapa studi menunjukan bahwa kebanyakan episode depresi didahului oleh kejadian hidup
yang berat enam bulan sebelum permulaan episode (Kendler & Gardner, 2010). Kapuci dan
Cramer (2000) menemukan juga bahwa orang lebih mungkin terkena depresi ketika terekspos
pada banyak kejadian hidup yang negatif, tapi hanya jika keyakinan merasa akan kemampuan
menanggulanginya lemah.

Seligman mengembangkan teori learned helplessness dari depresi yang menyatakan bahwa
orang akan menjadi depresi ketika mereka tidak berdaya mengendalikan reinforcement dalam
hidupnya dan merasa bersalah atas ketidakberdayaan tersebut. Jadi, interaksi antara kejadian
hidup negatif, kemampuan menanggulangi dan atribusi mengenai kemampuan coping seseorang
berpengaruh terhadap kemungkinan seseorang mengalami depresi.

KONTEKS SOSIOKULTURAL

Peristiwa-peristiwa yang dialami dalam konteks sosial dapat menyebabkan individu mengalami
gangguan depresi mayor. Salah satu penyebabnya adalah tekanan sosiokultural yang hebat yang
dapat memiliki efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam otak.
Selain itu bagaimana kemampuan coping individu juga mempengaruhi bagaimana tekanan dari
sosiokultural dapat diatasi misalnya pada orang yang dapat menerima dukungan emosional dari
orang lain mungkin lebih mampu untuk menghadapi efek-efek dari stres daripada mereka yang
harus menghadapinya sendiri.

Ketidakpuasan pernikahan dapat menjadi penyebab depresi juga. Hidup bersama seseorang yang
selalu negatif, berwatak buruk, dan pesimistis lama kelamaan akan terasa melelahkan. Oleh
karena emosi itu menular, pasangan mungkin akan mulai merasa buruk juga. Interaksi semacam
ini akan menyebabkan adu argumen atau bahkan kepergian pasangan (Joiner & Timmons, 2009;
Whisman, Weinstock, & Tolejko, 2006). Bagaimanapun, MDD lebih banyak diderita oleh wanita
daripada pria karena wanita lebih cenderung berhadapan dengan stresor psikososial yang tidak
dialami pria dan kemauan wanita dalam menanggulanginya juga tidak sekuat pria.
Penelitian juga menunjukkan bahwa status sosioekonomi dan pemaparan terhadap trauma yang
berhubungan dengan rasisme, kehidupan perkotaan, dan masalah finansial, berkorelasi dengan
depresi dan penyakit mental lain (Caron & Liu, 2010; Gottlieb, Waitzkin, & Miranda, 2011;
Kiima & Jenkins, 2010; Rhodes et al., 2010).
Walaupun begitu, tingkat depresi pada orang Asia relatif lebih rendah karena kecenderungan
orang Asia mengacuhkan gejala afeksi dari depresi dan lebih mengandalkan gejala somatis.
Depresi berhubungan juga dengan kecenderungan bunuh diri. Walalupun berkorelasi tinggi,
namun keduanya berdiri masing-masing. Orang dengan depresi tidak selalu melakukan bunuh
diri, begitupun sebaliknya, orang yang bunuh diri belum tentu mengalami depresi. Orang depresi
merasa dirinya merupakan beban bagi orang lain dan berkurangnya rasa dimiliki menyebabkan
putus asa sampai akhirnya bunuh diri. Tingkat terjadinya bunuh diri tertinggi adalah di Cina,
terutama pada wanita pedesaan. Bunuh diri dianggap solusi masalah finansial yang paling masuk
akal.

PREVENSI

1. Prevensi Primer
Salah satu cara untuk mereduksi masalah akibat MDD adalah dengan meminimalisir arus
terjadinya kasus MDD baru melalui pencegahan. Penyuluhan-penyuluhan mengenai gambaran
diri positif dapat menjadi salah satu usaha pencegahan MDD, terutama pada remaja yang berada
pada usia rentan timbulnya depresi. Kemudian dapat dilakukan juga penguatan faktor-faktor
protektif seperti lingkungan sosial, kognitif, atau kemampuan problem-solving seseorang.
Penting juga untuk lebih sadar akan gejala yang terjadi. Ketika gejala MDD mulai dirasa muncul
pada individu, cobalah untuk meredakan gejala tersebut (Kim van Zoonen, dkk. 2014).
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga pola tidur yang baik, mencari kegiatan yang
menyenangkan, berbicara pada orang yang mengerti perasaan kita, mencari lingkungan yang
sehat di mana terdapat orang-orang yang peduli dan berpikiran positif dan menghindari konsumsi
minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang karena mengandung depresan.
2. Prevensi Sekunder
Ketika seseorang didiagnosis MDD, hal pertama yang dokter lakukan adalah memberi resep obat
antidepresan. Biasanya dokter memberi obat antidepresan. Mungkin hanya satu jenis, mungkin
juga dikombinasikan. Pengobatan ini dimaksudkan untuk meredakan gejala-gejala psikologis
dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan neurotransmitter. Pada dasarnya, obat-obat sebagai
bentuk usaha melawan proses terjadinya psikopatologi secara biologis. Antidepresan yang
mungkin diberikan misalnya bupropion, MAOI (monoamine oxidase inhibitor), TCA
(antidepresan trisiklik), T3 (L-triiodotironin), litium karbonat, serta stimulan-stimulan seperti
Dexedrine dan Ritalin.
Selain dengan obat-obatan, terapi psikologis juga dapat dilakukan. Terapi Kognitif-Keperilakuan
(Cognitive-Behavioral Therapy) dari Aaron T. Beck adalah yang paling dikenal. Terapi ini akan
mengajarkan individu untuk melawan rasa atau pemikiran negatif terhadap dirinya. Klien akan
diajarkan untuk bagaimana melihat suatu pola depresi dan hal-hal apa saja yang akan memicu
gangguan depresi lebih parah. Kemudian klien akan juga diajarkan bagaimana pemecahan suatu
masalah yang memicu gangguan depresi. CBT biasanya dilakukan sebanyak 15-20 sesi. Selain
CBT, terapi dengan pendekatan psikoanalisis juga dapat digunakan yaitu dengan mencoba
memberikan insight pada individu mengenai peristiwa kehilangan pada masa kanak-kanak dan
hubungannya dengan ketidakmampuan serta sikap menyalahkan diri sendiri di masa dewasa.
3. Prevensi Tersier
Setelah individu terbebas dari episode depresi, upaya-upaya yang rehabilitatif harus dilakukan.
Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya lagi episode depresi
sehingga kesehatan mental individu dapat kembali ke kondisi normal. Biasanya, pemberian obat
dan terapi psikologis yang sudah dijelaskan di atas tetap dilakukan. Selain itu, ada juga
Psikoterapi Interpersonal (IPT) yang dikembangkan oleh Myrna Weissman dan Gerald Klerman
yang berfokus pada pemecahan masalah interpersonal ketika mengalami MDD dan belajar
membentuk pola hubungan interpersonal yang baru dan penting. Penelitian menunjukkan, terapi-
terapi psikologis lebih dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya kembali episode depresi
MENKES: PERSIAPKAN RISKESDAS 2018 SECARA MATANG
DIPUBLIKASIKAN PADA : SENIN, 29 JANUARI 2018 00:00:00, DIBACA : 113.537 KALI
Bekasi, 29 Januari 2018

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah salah satu riset skala nasional yang
berbasis komunitas dan telah dilaksanakan secara berkala oleh Badan
Litbangkes Kemenkes RI, yaitu di tahun 2007, 2010 dan 2013. Hasil Riskesdas
telah banyak dimanfaatkan baik itu untuk tujuan perencanaan, maupun
pemantauan dan evaluasi program pembangunan kesehatan baik di tingkat
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.

Mengawali sambutannya pada Pertemuan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis)


tingkat pusat dalam rangka persiapan pelaksanaan Riskesdas 2018 tersebut,
Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, mengingatkan bahwa banyaknya
informasi yang akan dihasilkan dari Riskesdas 2018, maka menjelang
pelaksanaannya, perlu persiapan yang sangat matang.

''Mengumpulkan data bukan pekerjaan yang mudah. Rikesdas yg


diintegrasikan dengan Susenas ini luar biasa penting, karena bisa melihat
adanya masalah disparitas (kesenjangan)'', ujar Menkes di salah satu hotel di
kawasan Harapan Indah, Bekasi (29/1).

Menurut Menkes, keberadaan disparitas perlu dipelajari lebih lanjut, sehingga


dapat dilihat kembali intervensi apa yang bisa dilakukan secara khusus,
mungkin tidak dapat disamakan dengan daerah lainnya.

''Kita kaji daya ungkit apa yang kita (punya) dan perlu lakukan agar kita bisa
lebih cepat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan'', imbuh Menkes.

Dalam kegiatan yang dihadiri pula oleh Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI,
Siswanto, dan Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, M. Sairi
Hasbullah, tersebut, Menkes berharap agar keluaran awal dari Riskesdas 2018
akan mampu menilai tren perubahan derajat kesehatan masyarakat, penilaian
perubahan capaian indikator derajat kesehatan, penilaian perubahan besaran
faktor risiko terhadap derajat kesehatan dan penilaian perubahan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), baik di tingkat kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.

Pada kesempatan tersebut, Menkes menegaskan bahwa pelaksanaan


Riskesdas 2018 merupakan momentum yang tepat untuk memotret kondisi
pembangunan kesehatan Indonesia.
Menkes juga berpesan bahwa peran dari Kepala Daerah, para Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinkes Kab/Kota sangat penting dan menentukan
keberhasilan Riskesdas 2018. Menkes meminta daerah untuk mengawal
pelaksanaan riset ini dengan menjaga kualitas data di lapangan, mulai dari
perekrutan tenaga lapangan hingga penggerakan masyarakat, terutama di
wilayah yang telah ditetapkan menjadi sampel.

Mengenai Riskesdas 2018

Tahun 2018, Kementerian Kesehatan RI melalui Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan kembali mengadakan Riskesdas, yakni survei lima
tahunan yang hasilnya dapat digunakan menilai perkembangan status
kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan
kesehatan.

Tujuan dilaksanakannya Riskesdas 2018, antara lain: a) Menilai status kesehatan


masyarakat dan determinan yang mempengaruhinya; b) Menilai perubahan
indikator status kesehatan masyarakat dan determinan yang
mempengaruhinya; serta c) Menilai perubahan Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) hasil pembangunan kesehatan di
Kabupaten/Kota.

Riskesdas 2018 rencananya akan dilakukan pada bulan April-Mei 2018. Desain
penelitian yang digunakan potong lintang (cross sectional) dengan kerangka
sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret
2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Populasi adalah rumah tangga di
Indonesia di seluruh provinsi dan kabupaten/kota (34 Provinsi, 416 kabupaten
dan 98 kota). Adapun jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 300.000 rumah
tangga yang diperoleh dari 30.000 blok survei (masing-masing blok survei terdiri
dari 10 rumah tangga). Merupakan sebuah kemajuan, karena pada tahun ini
pelaksanaan Riskesdas Kemenkes terintegrasi Susenas BPS.

Adapun metode pengumpulan data Riskesdas 2018 dilakukan melalui metode


wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan. Kegiatan yang dilakukan yaitu: a)
Wawancara indikator kesehatan masyarakat kepada semua angggota
keluarga yang terpilih (sampel); b) Pemeriksaan biomedis; dan c) Pemeriksaan
gigi oleh dokter gigi (bekerjasama dengan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia/PDGI).

Indikator Riskesdas berbasis komunitas dengan unit analisis Rumah Tangga/


Anggota Rumah Tangga. Indikator Riskesdas 2018 merupakan indikator prioritas
(SPM, RPJMN, Renstra, IPKM, PIS-PK, Germas dan program).
Indikator Riskesdas 2018, mencakup: a) Pelayanan Kesehatan meliputi akses
pelayanan kesehatan, JKN, pengobatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan,
pelayanan kesehatan tradisional; b) Perilaku Kesehatan meliputi merokok,
aktivitas fisik, minuman beralkohol, konsumsi makanan, pencegahan penyakit
tular nyamuk, penggunaan helm; c) Lingkungan meliputi penyedian dan
penggunaan air, penggunaan jamban, pembuangan sampah, pembuangan
limbah, rumah sehat, penggunaan bahan bakar; d) Biomedis meliputi
pemeriksaan malaria, HB, glukosa darah, kolesterol,
trigleliserida, antibody (PD3I); serta e) Status kesehatan meliputi penyakit
menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa-defresi-emosi, kesehatan gigi
dan mulut, kesehatan ibu-bayi-balita dan anak remaja, status gizi, cedera dan
disabilitas.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian


Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002,
52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. (myg)

PENGETAHUAN remaja tentang HIV/AIDS berdasarkan hasil Survei Demografi dan


Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 meningkat bila dibandingkan dengan hasil SDKI 2012.
Dari survei yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) itu diketahui 92% dari 9.971
remaja perempuan usia 15 hingga 24 tahun memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS.
Angka itu naik dari hasil SDKI 2012 yang hanya 89%.
Pada remaja laki-laki sebanyak 86% dari 12.612 orang berusia 15-24 tahun telah memiliki
pengetahuan tentang HIV/AIDS, atau naik bila dibandingkan dengan SDKI 2012 yang hanya
85%. Jumlah terbesar remaja yang mengetahui tentang HIV/AIDS ada di perkotaan
sebanyak 94,7% untuk perempuan dan 91% laki-laki, kata Direktur Bina Ketahanan Remaja
BKKBN Eka Sulistia Ediningsih. (Put/H-1)

urvei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI12) merupakan SDKI yang
ketujuh mengenai kondisi demografi dan kesehatan di Indonesia. Survei pertama
adalah Survei Prevalensi Kontrasepsi Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987,
kedua sampai kelima adalah SDKI 1991, SDKI1994, SDKI 1997, SDKI 2002-2003, dan
SDKI2007. SDKI12 adalah suatu survei yang dirancang untuk menyajikan informasi
mengenai tingkat kelahiran, kematian, keluarga berencana dan kesehatan. Cakupan
SDKI12 kali ini agak berbeda dengan SDKI07, yaitu mencakup semua wanita usia
subur (WUS) umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54 tahun, dan remaja pria belum
kawin umur 15-24 tahun. Remaja wanita sudah tercakup dalam WUS. Oleh sebab itu,
ada perubahan didalam rancangan kuesioner untuk wanita, yang sebelumnya hanya
mencakup wanita pernah kawin.

Pelaksanaan SDKI12 akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2012
di 33 provinsi. Kerangka sampel yang digunakan untuk pemilihan blok sensus adalah
daftar blok sensus pada PSU (Primary Sampling Unit) terpilih yang dilengkapi dengan
informasi jumlah rumah tangga hasil listing Sensus Penduduk 2010. Sampel SDKI 2012
dirancang untuk menghasilkan estimasi karakteristik penting dari wanita usia subur
umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54 tahun serta remaja pria belum kawin umur
15-24 tahun tingkat nasional.

kegiatan SDKI Tahun 2012 (SDKI12) diselenggarakan BPS bekerja sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian
Kesehatan (Kemenkes). Secara teknis, BPS juga dibantu oleh United States Agency for
International Development (USAID) melalui proyek Demographic and Health Surveys
yang dilaksanakan oleh ICF yang berkantor pusat di Calverton, Maryland, Amerika
Serikat. Sebagian besar materi pertanyaan yang dicakup dalam SDKI12 masih
mengadopsi materi pertanyaan SDKI Tahun 2007, sedangkan sebagian lagi merupakan
pertanyaan baru yang dipilih secara ketat melalui proses uji coba.

Tujuan Survei SDKI 2012 :

Tujuan umum penyelenggaraan SDKI12 adalah dalam rangka mengumpulkan informasi


mengenai kesehatan ibu dan anak, prevalensi imunisasi, kesehatan reproduksi,
prevalensi KB, serta pengetahuan tentang AIDS dan PMS lainnya.

Tujuan pokok penyelenggaraan SDKI12 secara rinci meliputi:

1. Mengumpulkan data mengenai tingkat fertilitas, mortalitas dan prevalensi KB.

2. Mengumpulkan informasi tentang kesehatan ibu dan anak, seperti perawatan ibu
hamil, imunisasi, pemberian ASI, pengetahuan tentang AIDS/IMS lainnya, dan kematian
ibu.

3. Memenuhi kebutuhan data dasar yang memiliki keterbandingan internasional untuk


penyusunan kebijakan dan program di bidang kependudukan dan kesehatan.

4. Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku pria berstatus kawin
berkaitan dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS, dan IMS lainnya.

5. Mengumpulkan data untuk memantau peran serta pria dalam program KB.

6. Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku remaja yang belum
kawin berkaitan dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS dan IMS lainnya.
7. Mengumpulkan informasi mengenai kesehatan lingkungan tempat tinggal, antara lain
mengenai kondisi rumah, fasilitas air bersih, fasilitas dapur, kepemilikan ternak, dan
keberadaan tempat cuci tangan di rumah tangga.

JENIS DATA
Sampel Non-Probabilitas

UNIT ANALISIS
Kegiatan SDKI12 mencakup pencacahan terhadap rumah tangga dan tiga daftar
pertanyaan individu, yaitu:

1. Wanita Usia Subur (WUS), ditanyakan kepada semua responden wanita yang
berusia 15-49 tahun.

2. Pria Kawin (PK), ditanyakan kepada responden pria berstatus kawin/hidup bersama
yang berusia 15-54 tahun.

3. Remaja Pria (RP), ditanyakan kepada responden remaja pria berstatus belum kawin
yang berusia 15-24 tahun.

Sustainable Development Goals – SDGs 2045 merupakan sebuah program


pembangunan dunia yang mana memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat
dunia dan melestarikan alam dengan terdapat 17 faktor utama sebagaimana
tercapainya 169 target yang telah ditentukan dalam waktu yang telah disepakati. SDGs
2045 erat kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, MDGs (Millennium
Development Goals 2030), dan CSR (Corporate Social Responsibility).

Tujuan SDGs (Sustainable Development Goals 2045)

Secara garis besar SDGs 2045 berjalan dengan memperhatikan aspek penting yang
dilewati sebelumnya yakni MDGs 2030 dimana diharapkan kaum millennial mampu
berperan banyak dalam memajukan perekonomian dunia dengan tetap memperhatikan
aspek penting termasuk alam dan menggunakan sumber daya yang ada secara
maksimal yakni technology agar tidak tertinggal jauh dengan negara yang sudah lebih
maju.
Lihat Juga : Berkolaborasi Berdayakan Desa bersama Kampung Marketer

Berikut ini adalah 17 tujuan SGDs

 No Poverty (Tanpa kemiskinan)


 Zero Hunger (Tanpa kelaparan)
 Good Health and Well-being (Hidup sehat dan sejahtera)
 Quality Education (Pendidikan berkualitas)
 Gender Equality (Kesetaraan gender)
 Clean Water and Sanitation (Air dan sanitasi bersih)
 Affordable and Clean Energy (Energi bersih dan terjangkau)
 Decent Work and Economic Growth (Pekerjaan layak dan pertumbuhan
ekonomi)
 Industri, Innovation and Infrastructure (Industri, inovasi, dan infrastruktur)
 Reduced Inequalities (Berkurangnya kesenjangan)
 Sustainable Cities and Communities (Kota dan komunitas berkelanjutan)
 Responsible Consumption and Production (Konsumsi dan produksi yang
bertanggung jawab)
 Climate Action (Penanganan perubahan iklim)
 Life Below Water (Ekosistem laut)
 Life on Land (Ekosistem darat)
 Peace, Justice and Strong Institutions (Perdamaian, keadilan, dan institusi kuat)
 Partnerships for The Goals (Kemitraan untuk mencapai tujuan)
Implementasi Industry 4.0 dalam SDGs 2045

Beberapa industri telah memiliki pandangan dan juga memulai untuk melakukan
beberapa penerapan dengan menggunakan technology yang mana diharapkan mampu
memberikan kemudahan bagi para penggunanya. Salah satu bidang yang mulai
mendapatkan perhatian penting yakni pada bidang pertanian dan perikanan dimana
keduanya bersaing dalam pengembangan aplikasi yang mampu memangkas rantai
pasok dan menekan adanya pengadaan secara berlebih sehingga negara juga
terbebas dari hal korupsi.
Baca Juga : Mengenal Apa itu Istilah Unicorn dalam Startup

Anda mungkin juga menyukai