Ketika kita merasa sedih seringkali kita menganggap hal itu sebagai depresi. Sebenarnya merasa
sedih adalah hal yang wajar kita rasakan. Hal yang dapat menjadikan seseorang mengalami
depresi adalah rasa sakit psikologis hebat yang berlangsung lama dan mungkin semakin lama
akan bertambah parah. Semua gangguan depresi akan berpengaruh negatif dan menurunkan
kualitas hidup orang yang mengalaminya. Di tahun 2030, Major Depressive Disorder diprediksi
menjadi salah satu penyebab terganggunya fungsi global manusia, setara dengan penyakit
jantung dan HIV/AIDS (Mathers & Loncar, 2016).
Major Depressive Disorder (MDD) lebih banyak terjadi ketika usia remaja dan dewasa awal.
MDD termasuk gangguan mood unipolar. Artinya, untuk didiagnosa mengalami MDD,
seseorang harus mengalami setidaknya satu atau lebih Major Depressive Episode (MDE).
Berbeda dengan gangguan mood bipolar yang penderitanya mengalami baik episode depresi
maupun manik.
Bagaimana Major Depressive Disorder dipahami?
KONTEKS BIOLOGIS
Para peneliti percaya bahwa keturunan memainkan peran penting dalam MDD. Namun, genetis
bukanlah satu-satunya faktor determinan dari MDD, juga bukan faktor determinan yang paling
penting. Faktor-faktor lingkungan, seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh
tekanan, tampaknya memainkan peran yang hampir sama besarnya dibandingkan genetis.
Tampaknya MDD adalah suatu gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh suatu kombinasi
dari faktor-faktor genetis dan lingkungan. Faktor-faktor genetis dapat memainkan peranan yang
lebih besar dalam menjelaskan gangguan bipolar daripada depresi unipolar (Krehbiel, 2000).
Data dari hasil studi fMRI dan PET menunjukan bahwa ada empat bagian otak yang
berhubungan dengan depresi (Koenigs & Grafman, 2009).
1. Amigdala, menghasilkan reaksi emosi yang memicu otak untuk bertindak
2. Orbitofrontal cortex, bertanggung jawab dalam proses kognitif dan pengambilan
keputusan, memberi makna logis terhadap rangsang/stimulus.
3. Dorsolateral prefrontal cortex, regulasi afek, perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pertimbangan sosial
4. Anterior cingulate cortex, deteksi kesalahan, antisipasi tugas-tugas, motivasi dan
mengatur respon emosi
Keempat bagian tersebut bekerja sebagai sebuah sistem dan ketika ada salah satu yang tidak
bekerja dengan baik, peluang berkembangnya depresi meningkat. Depresi adalah gangguan yang
heterogen di mana orang-orang yang didiagnosa sama, tampilan klinisnya mungkin sangat
berbeda.
Selain itu, para klinikus menganggap bahwa depresi disebabkan oleh kurangnya dua
neurotransmitter yaitu norepinephrine dan serotonin. Namun sekarang ditemukan bahwa
penyebabnya bukan kekurangan melainkan disregulasi kedua neurotransmitter tersebut (Moore
& Bona, 2001)
Neuroendokrinologi juga menambahkan mengenai hubungan depresi pada orang dewasa dengan
pemfungsian sumbu HPA (Hypothalamic-pituiary-adrenal) selama 40 tahun terakhir ini (Lopez-
Duran, Kovacs, & George, 2009). Sumbu HPA adalah sistem neuroendokrin yang mengatur
proses-proses tubuh termasuk respon stres sehingga sumbu HPA yang abnormal terlibat dalam
banyak gangguan psikiatri terutama MDD (Pariante & Lightman, 2008). Banyak bukti juga
menunjukan berlebihannya kadar hormon kortisol pada penderita depresi.
KONTEKS PSIKOLOGIS
Dalam teori psikodinamik depresi adalah kemarahan yang diarahkan kepada diri sendiri bukan
terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah itu akibat dari kehilangan orang-orang yang
dikasihi atau ancaman akan kehilangan orang-orang yang dikasihi.
Kemarahan yang menjadikan seseorang depresi adalah rasa berduka yang patologis karena
individu tersebut memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan positif
(cinta) dan negatif (marah, permusuhan) terhadap orang yang telah pergi atau yang ditakutkan
kepergiannya. Perasaan marah tersebut diikuti oleh rasa bersalah sehingga itu mencegah individu
untuk mengarahkan rasa marah secara langsung terhadap suatu objek (orang yang dikasihi).
Freud berhipotesis bahwa seseorang yang kehilangan orang yang dikasihinya atau ditakutkan
kepergiannya pertama kali ia akan mengintroyeksi atau membawa ke dalam diri (suatu
representasi mental) orang yang meninggalkanya lalu setelah itu kemarahan diarahkan kepada
dirinya sendiri (self) sehingga seseorang merasa benci terhadap dirinya sendiri (self-hartred)
yang nantinya akan mengakibatkan depresi.
Depresi juga berhubungan dengan variabel-variabel kognitif individu. Ketika berhadapan dengan
stressor, orang yang pernah gagal memecahkan masalah dan merasa putus asa lebih besar
kemungkinan mengalami depresi. Cara penanggualangan masalah juga ada pengaruhnya, orang
yang menggunakan cara aktif dalam memecahkan masalah lebih kecil kemungkinan terkena
depresi daripada yang menghindari masalah. Depresi juga bisa terjadi karena kurangnya kejadian
menyenangkan atau sebaliknya, terlalu banyak kejadian tidak menyenangkan terjadi
Ketika hidup seseorang yang merasa penuh tekanan, ia akan menarik diri dari dunianya dan
merasa rutinitas dadsar kehidupannya menjadi kacau. Kekacauan ini bisa meningkatkan gejala
depresi dan memnuat orang sulit memecahkan masalah hidupnya secara efektif. Pada saatnya,
hal ini akan menyebabkan masalah-masalah sekunder seperti hubungan sosial dan kesulitan kerja
yang dapat mempertahankan bahkan memperburuk depresi
Beberapa studi menunjukan bahwa kebanyakan episode depresi didahului oleh kejadian hidup
yang berat enam bulan sebelum permulaan episode (Kendler & Gardner, 2010). Kapuci dan
Cramer (2000) menemukan juga bahwa orang lebih mungkin terkena depresi ketika terekspos
pada banyak kejadian hidup yang negatif, tapi hanya jika keyakinan merasa akan kemampuan
menanggulanginya lemah.
KONTEKS SOSIOKULTURAL
Peristiwa-peristiwa yang dialami dalam konteks sosial dapat menyebabkan individu mengalami
gangguan depresi mayor. Salah satu penyebabnya adalah tekanan sosiokultural yang hebat yang
dapat memiliki efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam otak.
Selain itu bagaimana kemampuan coping individu juga mempengaruhi bagaimana tekanan dari
sosiokultural dapat diatasi misalnya pada orang yang dapat menerima dukungan emosional dari
orang lain mungkin lebih mampu untuk menghadapi efek-efek dari stres daripada mereka yang
harus menghadapinya sendiri.
Ketidakpuasan pernikahan dapat menjadi penyebab depresi juga. Hidup bersama seseorang yang
selalu negatif, berwatak buruk, dan pesimistis lama kelamaan akan terasa melelahkan. Oleh
karena emosi itu menular, pasangan mungkin akan mulai merasa buruk juga. Interaksi semacam
ini akan menyebabkan adu argumen atau bahkan kepergian pasangan (Joiner & Timmons, 2009;
Whisman, Weinstock, & Tolejko, 2006). Bagaimanapun, MDD lebih banyak diderita oleh wanita
daripada pria karena wanita lebih cenderung berhadapan dengan stresor psikososial yang tidak
dialami pria dan kemauan wanita dalam menanggulanginya juga tidak sekuat pria.
Penelitian juga menunjukkan bahwa status sosioekonomi dan pemaparan terhadap trauma yang
berhubungan dengan rasisme, kehidupan perkotaan, dan masalah finansial, berkorelasi dengan
depresi dan penyakit mental lain (Caron & Liu, 2010; Gottlieb, Waitzkin, & Miranda, 2011;
Kiima & Jenkins, 2010; Rhodes et al., 2010).
Walaupun begitu, tingkat depresi pada orang Asia relatif lebih rendah karena kecenderungan
orang Asia mengacuhkan gejala afeksi dari depresi dan lebih mengandalkan gejala somatis.
Depresi berhubungan juga dengan kecenderungan bunuh diri. Walalupun berkorelasi tinggi,
namun keduanya berdiri masing-masing. Orang dengan depresi tidak selalu melakukan bunuh
diri, begitupun sebaliknya, orang yang bunuh diri belum tentu mengalami depresi. Orang depresi
merasa dirinya merupakan beban bagi orang lain dan berkurangnya rasa dimiliki menyebabkan
putus asa sampai akhirnya bunuh diri. Tingkat terjadinya bunuh diri tertinggi adalah di Cina,
terutama pada wanita pedesaan. Bunuh diri dianggap solusi masalah finansial yang paling masuk
akal.
PREVENSI
1. Prevensi Primer
Salah satu cara untuk mereduksi masalah akibat MDD adalah dengan meminimalisir arus
terjadinya kasus MDD baru melalui pencegahan. Penyuluhan-penyuluhan mengenai gambaran
diri positif dapat menjadi salah satu usaha pencegahan MDD, terutama pada remaja yang berada
pada usia rentan timbulnya depresi. Kemudian dapat dilakukan juga penguatan faktor-faktor
protektif seperti lingkungan sosial, kognitif, atau kemampuan problem-solving seseorang.
Penting juga untuk lebih sadar akan gejala yang terjadi. Ketika gejala MDD mulai dirasa muncul
pada individu, cobalah untuk meredakan gejala tersebut (Kim van Zoonen, dkk. 2014).
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga pola tidur yang baik, mencari kegiatan yang
menyenangkan, berbicara pada orang yang mengerti perasaan kita, mencari lingkungan yang
sehat di mana terdapat orang-orang yang peduli dan berpikiran positif dan menghindari konsumsi
minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang karena mengandung depresan.
2. Prevensi Sekunder
Ketika seseorang didiagnosis MDD, hal pertama yang dokter lakukan adalah memberi resep obat
antidepresan. Biasanya dokter memberi obat antidepresan. Mungkin hanya satu jenis, mungkin
juga dikombinasikan. Pengobatan ini dimaksudkan untuk meredakan gejala-gejala psikologis
dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan neurotransmitter. Pada dasarnya, obat-obat sebagai
bentuk usaha melawan proses terjadinya psikopatologi secara biologis. Antidepresan yang
mungkin diberikan misalnya bupropion, MAOI (monoamine oxidase inhibitor), TCA
(antidepresan trisiklik), T3 (L-triiodotironin), litium karbonat, serta stimulan-stimulan seperti
Dexedrine dan Ritalin.
Selain dengan obat-obatan, terapi psikologis juga dapat dilakukan. Terapi Kognitif-Keperilakuan
(Cognitive-Behavioral Therapy) dari Aaron T. Beck adalah yang paling dikenal. Terapi ini akan
mengajarkan individu untuk melawan rasa atau pemikiran negatif terhadap dirinya. Klien akan
diajarkan untuk bagaimana melihat suatu pola depresi dan hal-hal apa saja yang akan memicu
gangguan depresi lebih parah. Kemudian klien akan juga diajarkan bagaimana pemecahan suatu
masalah yang memicu gangguan depresi. CBT biasanya dilakukan sebanyak 15-20 sesi. Selain
CBT, terapi dengan pendekatan psikoanalisis juga dapat digunakan yaitu dengan mencoba
memberikan insight pada individu mengenai peristiwa kehilangan pada masa kanak-kanak dan
hubungannya dengan ketidakmampuan serta sikap menyalahkan diri sendiri di masa dewasa.
3. Prevensi Tersier
Setelah individu terbebas dari episode depresi, upaya-upaya yang rehabilitatif harus dilakukan.
Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya lagi episode depresi
sehingga kesehatan mental individu dapat kembali ke kondisi normal. Biasanya, pemberian obat
dan terapi psikologis yang sudah dijelaskan di atas tetap dilakukan. Selain itu, ada juga
Psikoterapi Interpersonal (IPT) yang dikembangkan oleh Myrna Weissman dan Gerald Klerman
yang berfokus pada pemecahan masalah interpersonal ketika mengalami MDD dan belajar
membentuk pola hubungan interpersonal yang baru dan penting. Penelitian menunjukkan, terapi-
terapi psikologis lebih dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya kembali episode depresi
MENKES: PERSIAPKAN RISKESDAS 2018 SECARA MATANG
DIPUBLIKASIKAN PADA : SENIN, 29 JANUARI 2018 00:00:00, DIBACA : 113.537
KALI
Bekasi, 29 Januari 2018
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah salah satu riset skala nasional
yang berbasis komunitas dan telah dilaksanakan secara berkala oleh Badan
Litbangkes Kemenkes RI, yaitu di tahun 2007, 2010 dan 2013. Hasil
Riskesdas telah banyak dimanfaatkan baik itu untuk tujuan perencanaan,
maupun pemantauan dan evaluasi program pembangunan kesehatan baik di
tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
''Kita kaji daya ungkit apa yang kita (punya) dan perlu lakukan agar kita bisa
lebih cepat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan'', imbuh Menkes.
Dalam kegiatan yang dihadiri pula oleh Kepala Badan Litbangkes Kemenkes
RI, Siswanto, dan Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, M.
Sairi Hasbullah, tersebut, Menkes berharap agar keluaran awal dari
Riskesdas 2018 akan mampu menilai tren perubahan derajat kesehatan
masyarakat, penilaian perubahan capaian indikator derajat kesehatan,
penilaian perubahan besaran faktor risiko terhadap derajat kesehatan dan
penilaian perubahan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM),
baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
Menkes juga berpesan bahwa peran dari Kepala Daerah, para Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinkes Kab/Kota sangat penting dan menentukan
keberhasilan Riskesdas 2018. Menkes meminta daerah untuk mengawal
pelaksanaan riset ini dengan menjaga kualitas data di lapangan, mulai dari
perekrutan tenaga lapangan hingga penggerakan masyarakat, terutama di
wilayah yang telah ditetapkan menjadi sampel.
urvei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI12) merupakan SDKI yang
ketujuh mengenai kondisi demografi dan kesehatan di Indonesia. Survei pertama
adalah Survei Prevalensi Kontrasepsi Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987,
kedua sampai kelima adalah SDKI 1991, SDKI1994, SDKI 1997, SDKI 2002-2003, dan
SDKI2007. SDKI12 adalah suatu survei yang dirancang untuk menyajikan informasi
mengenai tingkat kelahiran, kematian, keluarga berencana dan kesehatan. Cakupan
SDKI12 kali ini agak berbeda dengan SDKI07, yaitu mencakup semua wanita usia
subur (WUS) umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54 tahun, dan remaja pria belum
kawin umur 15-24 tahun. Remaja wanita sudah tercakup dalam WUS. Oleh sebab itu,
ada perubahan didalam rancangan kuesioner untuk wanita, yang sebelumnya hanya
mencakup wanita pernah kawin.
Pelaksanaan SDKI12 akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2012
di 33 provinsi. Kerangka sampel yang digunakan untuk pemilihan blok sensus adalah
daftar blok sensus pada PSU (Primary Sampling Unit) terpilih yang dilengkapi dengan
informasi jumlah rumah tangga hasil listing Sensus Penduduk 2010. Sampel SDKI 2012
dirancang untuk menghasilkan estimasi karakteristik penting dari wanita usia subur
umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54 tahun serta remaja pria belum kawin umur
15-24 tahun tingkat nasional.
kegiatan SDKI Tahun 2012 (SDKI12) diselenggarakan BPS bekerja sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian
Kesehatan (Kemenkes). Secara teknis, BPS juga dibantu oleh United States Agency for
International Development (USAID) melalui proyek Demographic and Health Surveys
yang dilaksanakan oleh ICF yang berkantor pusat di Calverton, Maryland, Amerika
Serikat. Sebagian besar materi pertanyaan yang dicakup dalam SDKI12 masih
mengadopsi materi pertanyaan SDKI Tahun 2007, sedangkan sebagian lagi merupakan
pertanyaan baru yang dipilih secara ketat melalui proses uji coba.
2. Mengumpulkan informasi tentang kesehatan ibu dan anak, seperti perawatan ibu
hamil, imunisasi, pemberian ASI, pengetahuan tentang AIDS/IMS lainnya, dan kematian
ibu.
4. Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku pria berstatus kawin
berkaitan dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS, dan IMS lainnya.
5. Mengumpulkan data untuk memantau peran serta pria dalam program KB.
6. Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku remaja yang belum
kawin berkaitan dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS dan IMS lainnya.
UNIT ANALISIS
Kegiatan SDKI12 mencakup pencacahan terhadap rumah tangga dan tiga daftar
pertanyaan individu, yaitu:
1. Wanita Usia Subur (WUS), ditanyakan kepada semua responden wanita yang
berusia 15-49 tahun.
2. Pria Kawin (PK), ditanyakan kepada responden pria berstatus kawin/hidup bersama
yang berusia 15-54 tahun.
3. Remaja Pria (RP), ditanyakan kepada responden remaja pria berstatus belum kawin
yang berusia 15-24 tahun.
Secara garis besar SDGs 2045 berjalan dengan memperhatikan aspek penting yang
dilewati sebelumnya yakni MDGs 2030 dimana diharapkan kaum millennial mampu
berperan banyak dalam memajukan perekonomian dunia dengan tetap memperhatikan
aspek penting termasuk alam dan menggunakan sumber daya yang ada secara
maksimal yakni technology agar tidak tertinggal jauh dengan negara yang sudah lebih
maju.
Lihat Juga : Berkolaborasi Berdayakan Desa bersama Kampung Marketer
Berikut ini adalah 17 tujuan SGDs