Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi Lutut

Stuktur sendi lutut sangat kompleks dengan berbagai macam jaringan di

sekitarnya. Sendi lutut adalah merupakan salah satu sendi besar yang menahan

axial loading cukup berat (Flandry & Hommel 2011). Sendi lutut merupakan sendi

sinovial “hinge type“ dengan pergerakan fleksi, ekstensi, dikombinasikan dengan

pergeseran dan berputar atau rotasi (Ángel et al. 2012). Sebagai sendi sinovial,

sendi lutut memiliki suatu membran sinovium dengan cairan sinovial sebagai suatu

lubrikan yang mengurangi friksi beban kerja dari sendi. Stabilitas sendi lutut

tergantung pada kekuatan dari otot dan tendon di sekeliling sendi lutut, ligamen

yang menghubungkan femur dan tibia, serta otot yang berperan besar dalam

menjaga stabilitas sendi lutut adalah otot quadricep femoris, khususnya serat

inferior dari vastus medial dan lateral (Flandry & Hommel 2011; Bs & Johanson

2009).

Anatomi dari sendi lutut terbagi dalam beberapa struktur jaringan yaitu

komponen tulang, komponen jaringan lunak, dan jaringan saraf serta jaringan

pembuluh darah (Flandry & Hommel 2011).

1. Komponen tulang dari sendi lutut antara lain femur, patella, tibia, dan fibula.

2. Komponen jaringan lunak

3. Sendi lutut adalah sendi yang terdiri dari dua buah sendi condyloid dan satu

buah sendi sellar (artikulasi patellofemoral). Sendi lutut tertutup dalam

5
109

kapsul sendi yang memiliki suatu resesus posterolateral dan posteromedial yang

memanjang ke arah distal permukaan subkondral dari tibial plateu. Condylus femoral

lateral dan medial berartikulasi dengan facet tibial.

a. Kapsul Sendi

Kapsul sendi khusus berisi lapisan fibrous external (kapsul fibrous) dan

membran synovial internal yang melapisi permukaan internal dari celah artikular

yang tidak dilapisi kartilago artikular. Lapisan fibrous menempel ke femur pada

bagian superior, sebelah proksimal dari margin artikular kondilus. Di bagian

inferior lapisan fibrous berlekatan dengan margin dari permukaan artikular tibia

(tibial plateau) kecuali pada tempat di mana tendon popliteus menyilang tulang.

Tendon quadriceps, patella, dan ligamen patellar berperan sebagai kapsul di

bagian anterior.

b. Membran sinovial

Membran sinovial yang tebal melapisi bagian internal dari kapsul fibrous dan

berlekatan ke perifer dari patella dan tepi meniskus. Membran synovial melapisi

dari aspek posterior sendi ke anterior menuju regio intercondylar, menutupi

ligament cruciate dan lapisan lemak infrapatellar.

c. Meniskus (Makris et al. 2011)

Meniskus merupakan suatu diskus fibrokartilago berbentuk bulan sabit yang

berada di antara condylus femur dan tibial plateau. Meniskus bagian medial

berbentuk seperti huruf “C” dan kurang mobile karena terfiksir oleh ligamen

coronary dan kapsul. Sedangkan meniskus lateral berbentuk sirkular dan lebih

mobile sehingga lebih sering mengalami robekan pada cedera ligamen crutiatum

anterior(Mclean et al. 2010).

109
110

Meniskus berguna sebagai shock absorber, membantu stabilitas dan

kongruitas sendi, lubrikasi sendi, nutrisi sendi, dan propioseptif. Meniskus

memiliki tiga lapisan yaitu lapisan superfisial, lapisan permukaan, dan lapisan

dalam. Meniskus membantu konkafitas dari facets, proteksi permukaan

artikular, dan membantu rotasi dari sendi lutut(Mclean et al. 2010)Terdapat tiga

zona pada meniskus yaitu zona red, zona red/white, dan zona white. Sepertiga

bagian perifer dari meniskus memiliki vaskular yang berasal dari perivaskular

plexus sehingga bisa diperbaiki, sedangkan duapertiga bagian dalam dinutrisi

oleh cairan sinovial.

Gambar 2.1 Meniskus lutut


(Makris et al. 2011)

110
111

d. Ligamen (Bowman & Sekiya 2010)

Ligamen memegang peranan dalam mempertahankan stabilitas sendi

lutut. Terdapat limaligamen ekstrakapsular yang memperkuat kapsul sendi yaitu

: ligamen patella, ligamen kolateral fibula, ligamen kolateraltibialis, ligamen

poplitea oblique, dan ligamen poplitea arkuata.

Selain itu terdapat dua ligamen intraartikular dalam sendi lutut yaitu

ligamen cruciatum(Claes et al. 2013). Ligamen crutiatum memiliki peran krusial

terhadap stabilitas anteroposterior sedangkan ligamen kolateral berperan

terhadap stabilitas valgus/varus. Setiap ligamen crutiate memiliki dua buah

bundel. Ligamen crutiate anterior (ACL) memiliki bundle anteromedial dan

posterolateral, sedangkan ligamen cruciatum posterior (PCL) memiliki bundel

anterolateral dan posteromedial. Ligamen cruciatum menghubungkan femur dan

tibia, meyilang di dalam kapsul sendi tapi berada diluar celah artikular. Ligamen

cruciatum melintang satu sama lain secara oblique seperti huruf X.

Selama rotasi medial dari tibia pada femur, ligamen cruciatum berputar

satu sama lain sehingga jumlah rotasi medial terbatas sekitar 10°. Karena

terlepas satu sama lain selama rotasi lateral, hampir 60° rotasi lateral yang

mungkin ketika lutut fleksi >90°. Titik persimpangan dari ligamen cruciatum

berfungsi sebagai poros gerakan berputar di sendi lutut. Ketika sendi lutut fleksi

pada sudut yang benar, tibia tidak dapat ditarik anterior karena dipegang oleh

ACL. Saat fleksi lutut dengan loading, PCL adalah faktor utama untuk

menstabilkan tulang femur

( ketika berjalan menurun) (Helito et al. 2013).

111
112

Gambar 2.2. Ligamen pada sendi lutut


(Makris et al. 2011)

e. Otot dan tendon

Otot dan tendon pada sendi lutut memberikan stabilitas dinamis. Otot pada betis

bawah terdiri dari empat kompartemen yaitu anterior, lateral, posterior

superficial, posterior profundus(Bs & Johanson 2009)

f. Saraf

Saraf dari sendi lutut adalah cabang artikular dari saraf femoral, tibia, dan fibula

communis, serta saraf obturator dan saphena . Tetapi tiga macam saraf yang

penting dalam anatomi sendi lutut yaitu saraf tibial, saraf common peroneal, dan

saraf kutaneous

g. Vaskular

Vaskularisasi daerah lutut berhubungan dengan vaskularisasi daerah cruris.

Arteri yang menyuplai sendi lutut adalah 10 pembuluh darah yang membentuk

anastomosis genicular periarticular di sekitar lutut yaitu : cabang genicular dari

112
113

femoral, poplitea, serta cabang anterior dan posterior rekuren dari arteri rekuren

tibialis anterior dan arteri fibula sirkumfleks.

h. Bursa (Flandry & Hommel 2011)

Terdapat 12 bursa di sekitar sendi lutut karena sebagian tendon berjalan sejajar

dengan tulang. Bursa prepatellar subkutan dan bursa infrapatellar terletak di

permukaan cembung sendi, yang memungkinkan kulit untuk dapat bergerak

bebas selama gerakan lutut. Empat bursa berkomunikasi dengan rongga artikular

sendi lutut yaitu: bursa suprapatellar (di dalam quadriceps distal), bursa

popliteus, bursa anserine, dan bursa gastrocnemius.

2.2 Biomekanik Sendi Lutut (Zaffagnini et al. 2013; Flandry & Hommel 2011)

Biomekanik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang aksi dari suatu gaya

atau tekanan (force) baik internal ataupun eksternal pada suatu benda hidup(Brown

et al. 2014). Dalam melihat biomekanik terdapat banyak unsur yang perlu dipahami

seperti force, kinetik, kinematik, range of movement (ROM), dan lain-lain.

Sendi lutut merupakan suatu sendi yang termasuk kurang stabil. Stabilitas

sendi lutut dijaga oleh struktur-struktur disekitarnya yang membentuk stabilizer

statis dan stabilizer dinamis (Ullrich 2002). Stabilizer dinamis akan mengkompensasi

jika stabilizer statis cedera (misalkan pada cedera ACL). Stabilizer statis dan dinamis

dikelompokkan menjadi bagian medial dan lateral yaitu :

a. Statis (Medial) : ligamen kolateral medial superficial dan profunda,

ligament oblique posterior

b. Statis (Lateral) : ligamen kolateral lateral, iliotibial band (ITB) dan

ligament arcuata

113
114

c. Dinamis (Medial) : semimembranosus, vastus medial, medial gastrocnemius,

dan PES tendon

d. Dinamis (Lateral) : popliteus, biceps femoris, gastrocnemius lateral

Axis anatomis (Anatomical Axis) adalah sudut yang dibentuk oleh

perpotongan garis yang berasal dari pusat lutut ke atas menuju pusat shaft femur dan

garis kebawah dari pusat lutut menuju ke pusat shaft tibia. Pada keadaan normal, axis

anatomis femur dan tibia membentuk sudut valgus 6 ± 2 derajat. Axis mekanik

(Mechanical Axis) ekstremitas bawah didefinisikan sebagai garis yang ditarik pada

radiografi anteroposterior kaki saat berdiri, dari pusat caput femoral ke pusat “dome”

talar. Sumbu mekanik ini biasanya terproyeksi melalui pusat sendi lutut,

digambarkan sebagai "netral". Ketika sumbu mekanik terletak pada sisi lateral pusat

lutut, lutut dalam keselarasan (alignment) valgus mekanik. Dalam keselarasan varus

mekanik, sumbu mekanik ekstremitas terletak pada sisi medial pusat lutut. Axis

anatomis ini tidak dapat menentukan adanya malunion atau abnormalitas lain dari

femur proximal, shaft femur, distal tibial, kaki atau ankle. Sedangkan axis mekanis

dapat menentukan hal tersebut. Sehingga axis mekanikal digunakan sebagai rencana

untuk prosedur rekonstruksi osteoartritis lutut (Moyer et al. 2010). Pasien dengan

alignment yang normal saat berdiri tegak dengan kedua kaki, garis gaya tumpuan

berat dar pusat caput femur melalui pusat sendi lutut dan melalui pusat ankle (Mclean

et al. 2010).

114
115

Gambar 2.3. Axis of lower limb


(Mclean et al. 2010)

Gerakan lutut yang terjadi selama postur berjalan normal adalah fleksi, ekstensi,

abduksi, adduksi, dan rotasi di sekitar sumbu panjang ekstremitas. Fleksi lutut yang

terjadi di sumbu transversal adalah fungsi dari geometri artikular lutut dan kekuatan

tahanan ligamen. Axis fleksi bervariasi secara heliks pada lutut yang normal,

dengan rata-rata 2 mm translasi ke posterior kondilus femoralis medialpada tibia

selama fleksi dan 21 mm translasi dari kondilus femoralis lateral(Schnurr et al.

2011)

Fleksi dan ekstensi adalah gerakan sendi lutut yang utama selain beberapa

rotasi yang terjadi ketika lutut fleksi. Fleksi dari lutut merupakan suatu kombinasi

dari rolling and sliding femur pada tibia dengan rasio yang bervariasi. Ketika kaki

sepenuhnya mengalami ekstensi dengan kaki di atas bidang datar, lutut secara pasif

terkunci karena rotasi medial femur pada tibia. Posisi ini membuat ekstremitas

bawah menjadi penampang solid dan lebih adaptatif dengan tahanan berat. Ketika

115
116

lutut terkunci, otot paha dan otot betis mengalami relaksasi sebentar tanpa membuat

sendi lutut menjadi tidak stabil. Untuk membuka sendi lutut yang terkunci,

popliteus berkontraksi dan memutar femur ke lateral sekitar 5° pada tibial plateau

sehingga fleksi lutut dapat terjadi. Meniskus harus mampu bergerak di tibial

plateau sebagai titik kontak antara femur dan tibia (Nagura et al. 2002)

Selama berjalan normal force (gaya) sekitar 3 kali berat badan akan

ditransmisikan melalui sendi lutut dengan porsi terbesar loading dibebankan ke sisi

medial dari lutut walaupun kedua tibial plateau sesungguhnya mentransmisikan

beban yang diberikan. Dengan adanya aktivitas yang lebih berat seperti naik turun

tangga, beban yang ditransmisikan akan menjadi 4 sampai 5 kali berat

badan(Aramanidis & Rampatzis 2009)

Gambar 2.4 Biomekanik sendi lutut


(Moyer et al. 2010)

Agar tungkai bagian bawah untuk berada dalam kesetimbangan, tiga kekuatan

utama harus berperan: GRF (Ground Reaction Force) (W); ketegangan pada tendon

patela (FP); dan gaya kompresif di tibial plateau dari sendi lutut (Fj). Di sini FP

diasumsikan bekerja pada 2,5 cm dari pusat O lutut. Untuk memenuhi saat

116
117

kesetimbangan sekitar pusat sendi lutut O, momen fleksi (berlawanan) yang

disebabkan oleh gaya reaksi darat + (W) x (7.5) harus sama momen ekstensi (searah

jarum jam) yang disebabkan oleh kekuatan tendon patela - (Fp) x (2,5). Dengan

demikian, besarnya kekuatan tendon patela FP adalah 3 W. Dengan menggunakan

segitiga kekuatan, gaya reaksi sendi Fj ditentukan menjadi 3,5 W. Dengan demikian,

kekuatan yang besar untuk mengangkat berat badan dapat dibuat bahkan saat tungkai

menaiki tangga dengan beban yang diasumsikan mencapai 4 sampai 5 kali berat

badan(Burlakov et al. 2008)

2.3 Biomekanika berlari

2.3.1Gait Cycle (Siklus Langkah)

Gait Cycle merupakan unit dasar pengukuran dalam analisis langkah (gait

analysis). Terdapat dua fase dalam gait cycle, yakni stance phase dan swing phase.

Stance phase merupakan bagian dari siklus gait dimana kaki mengalami kontak

dengan tanah. Fase ini mengambil 62% dari keseluruhan siklus, yang diawali

dengan initial foot strike dan diakhiri dengan toe-off. Swing phase terjadi ketika

kaki berada di udara dan mengambil 38% dari keseluruhan siklus, yang diawali oleh

fase toe-off dan diakhiri oleh foot strike pada sisi ipsilateral yang kedua kalinya.

Satu siklus gait dihitung saat satu kaki kontak dengan tanah berakhir ketika kaki

yang sama kontak lagi dengan tanah(Miller et al. 2015). Setiap fase dari kedua fase

ini dibagi lagi menjadi beberapa komponen yang lebih kecil. Secara klasik,

terminologi yang digunakan membagi Stance phase menjadi empat komponen,

yaitu heel strike, foot flat, midstance dan.push-off atau toe-off. Sedangkan swing

phase dibagi menjadi tiga komponen, yaitu acceleration phase, midswing dan

117
118

deceleration. Mengacu kepada terminologi gait cycle yang baru, gait cycle dapat

dibagi menjadi enam periode, yaitu Initial Contact, Single Limb Support, Second

Double Limb support, Initial Swing, Mid-Swing, dan Terminal Swing(Mummolo &

Mangialardi 2013; Ren et al. 2007).

Periode I: Initial Contact / Initial Double Limb Support (0-12% dari gait cycle)

Periode ini diawali dengan foot strike yang pertama dan diakhiri oleh toe-off

pada sisi kontralateral. Center of mass (COM) mulai meningkat sepanjang periode

ini seiring dimulainya pergerakan tungkai bawah. Periode ini ditandai oleh rapid

loading dengan absorpsi beban (shock absorption), terutama yang berasal dari lutut,

dan menyebabkan perlambatan momentum tubuh ke arah depan. Panggul mulai

mengalami fleksi kemudian ekstensi seiring dengan kaki kontralateral menyentuh

tanah. Kontrasnya, lutut mengalami ekstensi penuh dan kemudian fleksi selama

periode ini. Ankle berganti posisi dari netral menjadi plantarfleksi hingga kaki

menjadi datar saat menyentuh tanah.

Periode II: Single Limb Support (12-50% dari gait cycle)

Periode ini diawali dengan toe-off dan diakhiri dengan foot strike pada kaki

sisi kontralateral. Panggul kembali mengalami ekstensi selama periode ini seiring

pergerakan tungkai dari anterior menuju posterior tubuh. Lutut berekstensi

maksimal dan mulai mengalami fleksi. Ankle mengalami dorsofleksi selama

periode ini namun pada akhir periode secara aktif mengalami plantarfleksi.

Periode III: Second Double Limb Support (50-62% dari gait cycle)

118
119

Periode ini disebut juga pre-swing, diawali dari foot strike dan diakhiri

dengan toe-off. COM berada pada nilai terendahnya saat awal periode ini dimana

kedua kaki mengalami kontak dengan tanah sebelum kemudian meningkat lagi saat

tungkai kontralateral berada pada permulaan double limb support. Saat berat badan

ditransfer ke tungkai kontralateral, tungkai sisi ipsilateral mulai berayun ke sisi

depan tubuh yang berakibat fleksi panggul dan lutut. Ankle mengalami plantarfleksi

selama fase ini sebagai persiapan mengangkatnya tungkai.

Periode IV: Initial Swing (62-75% dari gait cycle)

Merupakan permulaan interval dari second single limb support. Diawali saat

kaki mengangkat dari tanah (toe-off) dan berakhir saat kaki yang mengayun

terangkat sepenuhnya dari tanah dan sisi kontralateral sepenuhnya berdiri pada kaki

kontralateral. COM mencapai puncaknya menuju akhir dari periode ini begitu kaki

sisi kontralateral berada pada pertengahan single limb support. Ankle berlanjut ke

plantarfleksi namun mulai mengalami dorsofleksi supaya sepenuhnya dapat

terangkat dari tanah. Fleksi lutut berlanjut secara cepat dan mencapai puncaknya

pada akhir periode ini, yang mana akhirnya mengakibatkan fleksi hip.

Periode V: Mid-Swing (75-85% dari gait cycle)

Periode ini merupakan sepertiga tengah dari swing phase. Dimulai dari foot

clearance dimana kedua kaki bersebelahan dan diakhiri ketika kaki yang berayun

berada di depan tubuh dan tibia berada dalam posisi vertikal. COM berkurang

selama periode ini ketika tungkai kontralateral berada pada pertengahan periode

single limb support. Panggul berlanjut mengalami fleksi, lutut secara cepat mulai

berekstensi sebagai respon terhadap gravitasi. Ankle berlanjut mengalami

dorsifleksi hingga kembali ke posisi netral.

119
120

Periode VI: Terminal Swing (85-100%)

Merupakan periode sepertiga akhir dari swing phase. Dimulai ketika tibia

berada pada posisi vertikal dan diakhiri dengan initial contact (foot strike). COM

mencapai nilai terendah pada akhir dari periode ini seiring dengan dimulainya

double limb support. Ekstensi lutut berlanjut, diiringi fleksi maksimal panggul pada

awal periode ini dan kemudian mengalami ekstensi sebelum periode double limb

support. Ankle tetap berada dalam posisi dorsofleksi hingga mencapai netral.

Gambar 2.5Gait Cycle


(Mummolo & Mangialardi 2013)

Saat berlari, fase toe-off terjadi sebelum 50% dari siklus berakhir. Pada siklus ini

tidak dijumpai periode dimana kedua kaki mengalami kontak dengan tanah secara

bersamaan. Kedua kaki melayang secara bersamaan sepanjang siklus, baik saat

awal dan akhir dari swing phase, yang disebut dengan double float. Durasi toe-off

bergantung dari kecepatan seseorang berlari. Semakin cepat seseorang berlari,

semakin sedikit waktu yang dipakai untuk stance phase. Toe-off terjadi pada 39%

dari siklus berlari. Pada pelari cepat, toe-off hanya terjadi sebanyak 22% dari siklus

(Jordan, John H. Challis, et al. 2007; Jordan, John H Challis, et al. 2007)

120
121

Terlepas dari kecepatan saat berlari, periode acceleration dan deceleration

saat berlari dapat disebut dengan absorption dan propulsion. Fase ini tidak

bertepatan dengan Initial contact dan toe-off, dimana keduanya berada diluar fase.

Saat periode absorption, pusat massa tubuh jatuh pada puncak tertinggi saat double

float. Periode ini dibagi menjadi Initial contact absorption pada swing phase dan

absorption stance phase. Kecepatan pusat massa tubuh juga berkurang

kecepatannya secara horizontal selama periode ini. Setelah stance phase, pusat

massa tubuh didorong ke depan dan ke atas saat propulsion stance phase.

Ekstremitas kemudian menuju ke swing phase setelah toe-off (propulsion swing

phase). Setelah itu, periode absorption dimulai (Moe-nilssen & Helbostad 2004).

Gambar 2.6 Running Gait Cycle


(Jordan, John H. Challis, et al. 2007)

2.3.2 Kinematika

Kinematika merupakan gambaran deskripsi gerakan dan tidak

memperhitungkan kekuatan yang disebabkan oleh gerakan itu. Dapat digambarkan

secara grafik variabel kinematik sebagai fungsi dari persentase total gait cycle atau

waktu. Salah satu yang harus diperhatikan, adalah cara pengukuran sudut seperti

apa yang mewakili gerakan tertentu ketika membaca grafik tersebut. Sebagai

121
122

contoh adalah, sudut pinggul merupakan posisi absolut dari segmen paha yang

relatif terhadap bidang vertikal atau sudut yang dibentuk diantara orientasi paha dan

pelvis (J.L. Astephen 2005)

Gambar 2.7 Kinematika Sendi Lutut


(Modeling et al. 2012)

2.3.3 Kinetika (Dugan & Bhat 2005)

Kinetika dalam berlari termasuk penyerapan beban dan kontrol dari vertical

collapse selama fase penerimaan beban, kontrol keseimbangan dan postur bagian

atas tubuh, dan kontrol perubahan arah terhadap pusat massa tubuh.

2.3.3.1 Pusat dari tekanan

Salah satu metode untuk mengevaluasi aplikasi kekuatan tungkai adalah

penilaian pusat tekanan dan pemetaan distribusi tekanan. Variabilitas yang

signifikan terlihat khususnya antara midfoot dan rearfoot. Pemetaan distribusi

tekanan dapat direpresentasikan secara grafis dalam banyak cara. Tekanan awalnya

difokuskan di margin lateral tumit. Kemudian bergerak, berpindah pada aspek

122
123

medial tumit dan kaki depan di mana dua puncak tekanan yang besarnya hampir

sama dijumpai di bawah metatarsal pertama dan kedua. Tentu saja hal ini dapat

berbeda secara signifikan oleh pemakaian sepatu yang dapat membedakan aplikasi

tekanan untuk struktur anatomi kaki yang berbeda (Tom & Novacheck 1998)

2.3.3.2 Data Raw force plate

Data Raw force plate dapat dianalisa dan digambarkan relatif di laboratorium

analisis koordinat. Tipe analisis ini telah banyak dilaporkan. Beberapa studi

merekomendasikan representasi skematik dari jenis komponen vertical dari ground

reaction force pada pelari dengan rearfootstrike.

2.3.3.3 Sagittal Plane Joint Moments and Powers

Dengan menggabungkan kinematika dengan mengukur ground reaction

force, net joint moment and power dapat dihitung. Metode matematis yang

digunakan untuk perhitungan ini adalah inverse dynamic. Selama berlari, pola ankle

moment sama dengan saat berjalan. Kontak awal adalah dengan tumit. Forefoot

diturunkan ke tanah di bawah kendali kontraksi eksentrik otot tibialis anterior.

Mulai timbulnya ankle moment adalah saat ankle mengalami plantar flexion yang

terjadi pada 5 - 10% dari siklus berlari. Sebaliknya, selama berlari tidak terjadi

dorsofleksi saat awal karena kontak awal adalah pada forefoot diikuti dengan

dorsofleksi segera (Lee et al. 2009; Ullock et al. 2009; Dugan & Bhat 2005). Energi

total yang diserap di bagian pergelangan kaki lebih besar dalam berlari cepat.

Periodeabsorbsi diikuti oleh periode generasi baik berjalan, berlari, atau lari cepat.

Daya yang dihasilkan memberikan energi untuk propulsi ke depan. Besarnya

kekuatan generasi ankle secara langsung berhubungan dengan kecepatan pelari

(Lee et al. 2009)

123
124

Pola pada knee moment saat berlari sama dengan berlari cepat. Untuk

mempersiapkan Initial contact, hamstring menjadi dominan di paruh kedua swing

phase yang memproduksi knee flexion momen tdan juga mengontrol ekstensi lutut

yang cepat. Tak lama setelah kontak awal, quadriceps menjadi dominan

memproduksi extensor knee moment (Winby et al. 2009; Lee et al. 2009).Besarnya

puncak saat lutut ekstensi cenderung lebih besar saat berlari dibanding lari cepat.

Hal ini terkait dengan besarnya derajat fleksi lutut yang sesuai dengan beban yang

diperoleh lutut ketika berlari (Winby et al. 2009)

Dalam berlari, fleksi lutut diikuti kontak awal dan kontraksi quadriceps secara

eksentrik. Hal ini dipandang sebagai kekuatan absorbsi dan mencerminkan peran

penting meniscus sebagai shock absorbant. Dalam berlari cepat, plantar flexors

ankle menyerap banyak gaya dari kontak dengan tanah. Oleh karena itu, sedikit

kekuatan diserap di lutut. Dalam berlari dan juga lari cepat, ekstensi lutut terjadi di

paruh kedua stance phase. Otot quadriceps berkontraksi secara konsentris dan

dihasilkan daya propulsi (Winby et al. 2009). Pada swing phase, daya yang

dihasilkan oleh otot yang melintasi lutut sangat sedikit. Sebaliknya otot menyerap

kekuatan untuk mengontrol pergerakan kaki saat swing phase. Kontraksi rektus

femoris secara eksentrik dalam permulaanswing phasedilakukan untuk mencegah

fleksi lutut yang berlebihan. Selama akhir swing phase,hamstring berkontraksi

secara eksentrik untuk mengontrol momentum tibia dan mencegah lutut ekstensi

berlebihan (Lee et al. 2009).

Pola momentum hip sama bentuknya untuk semua gerakan ke depan. Hanya

saja sebelum dan setelah kontak awal didominasi oleh ekstensor hip. Sebaliknya,

fleksor hip dominan di paruh kedua stance phasemelalui paruh pertama swing

124
125

phase. Kedua fleksor dan ekstensor dari hip bertanggung jawab untuk

meningkatkan generasi kekuatan dalam berlari. Puncak fleksi hip terjadi pada paruh

kedua dari swing phase. Setelah puncak fleksi terjadi, ekstensor hip berkontraksi

secara konsentris untuk mengeksekstensikan hip dalam persiapan untuk kontak

awal (Winby et al. 2009). Ekstensor hip terus menghasilkan tenaga melalui paruh

pertama stance phase dan panggul terus berekstensi. Kemudian, fleksor hip menjadi

dominan dan kecepatan tungkai berkurang dan berputar mundur bersiap untuk

memulai swing phase (Lee et al. 2009).

2.3.3.4 Coronal Plane Joint Moments and Powers

Meskipun besaran momen bidang koronal penting, otot-otot dan ligamen

yang menciptakan mereka berfungsi terutama sebagai stabilisator. Oleh karena itu,

daya yang dihasilkan dan diserap jauh lebih sedikit daripada di bidang sagittal.

Selama stance phase, momen hip abductor diproduksi terus menerus terutama oleh

gluteus medius. Adduksi hip terjadi dalam tahap absorbsi karena ground reaction

force jatuh ke sisi medial hip dan momen hip abduksi berkurang dari saat momen

hip adduksi eksternal akibat beban gravitasi dan percepatan (Meardon et al. 2011).

Kontraksi gluteus medius secara eksentrik dilakukan untuk mengontrol gerakan ini.

Selama fase propulsi, kontraksi gluteus medius secara konsentris mengabduksi hip

dan menghasilkan kekuatan (Winby et al. 2009)

2.4 Berlari

125
126

Berlari merupakan salah satu bentuk olahraga yang paling populer, baik

sebagai olahraga rekreasional maupun sebagai olahraga kompetisi karena mudah

dilakukan dimana saja oleh semua kalangan masyarakat. Di Amerika Serikat sekitar

40 juta pelari berlari secara rutin setiap tahunnya, dengan lebih dari 10 juta pelari

berlari sedikitnya 100 hari dalam setahun (Messier et al. 2008). Di Indonesia sendiri

belum ada studi epidemiologi yang mendata jumlah pelari baik secara profesional

maupun pelari rekreasional yang rutin berlari setiap tahunnya.

Walaupun berlari dikaitkan dengan banyak keuntungan dan hal positif guna

menjaga kesehatan, namun aktifitas ini juga berhubungan erat dengan tingginya

risiko cedera, dimana cedera yang terbanyak terjadi adalah cedera akibat berlari

secara berlebihan/overuse injury (Fields et al. 2010).

Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa berlari sebagai aktifitas yang

paling membebani anggota tubuh, terutama ekstremitas bawah untuk menopang

berat badan (weight-bearing activities) Banyak jurnal menyebutkan kejadian cedera

yang terjadi pada pelari dengan insiden pertahunnya sebesar 19.4% - 79.3%,

dimana lutut menjadi bagian tubuh yang paling sering mengalami cedera, dengan

prevalensi sebanyak 15-25% dari keseluruhan kejadian cedera (Ferreira et al. 2012;

Messier et al. 2008; Brunet et al. 1990). Kejadian cedera lebih banyak didapat pada

pelari laki-laki yang berlari sedikitnya 6 hari dalam seminggu dengan jarak tempuh

lebih dari 30 mil setiap minggunya (Van Gent et al. 2007). Di kalangan pelari

marathon, pelari laki-laki dilaporkan cenderung mengalami masalah hamstring dan

tungkai bawah, dimana pada pelari perempuan cenderung mengalami keluhan pada

bagian panggul(Fredericson & Misra 2007).Dari kunjungan pasien di klinik-klinik

olahraga, ditemukan kejadian nyeri lutut pada pelari pada rentang usia 15-35 tahun

126
127

dengan prevalensi sebanyak 19.6% dari seluruh cedera pada pelari perempuan,

sementara hanya 7.4% pada pelari pria (Boling et al. 2010).

Sebuah studi retrospektif pada tahun 2006 yang melibatkan 2886 pelari

dilaporkan bahwa tingkat cedera pada pelari profesional secara keseluruhan

mencapai 46%, dimana melibatkan jaringan lunak/soft tissue injury pada daerah

tungkai bawah/betis, tendon Achilles dan hamstring (McKean et al. 2006). Namun

secara keseluruhan tanpa memperhitungkan jenis kelamin, cedera yang paling

sering dialami pelari yaitu cedera pada daerah lutut, yang mana secara khusus yaitu

cedera pada bagian anterior lutut (patellofemoral pain syndrome), Iliotibial band

fricition syndrome, tibial stress syndrome, plantar fascitis, Achilles tendonitis dan

cedera meniskus (Fredericson and Misra, 2007).

Pada studi kasus yang menggunakan hamster, didapatkan, bahwa berlari

dengan kecepatan sedang dapat melindungi kartilago dari proses degradasi yang

dapat berujung pada terjadinya osteoarthritis. Namun demikian, berlari secara

berlebihan dengan beban tinggi dapat menyebabkan terkikisnya kartilago, yang

akan memicu terjadinya osteoarthritis (Mohammadreza Bahar B.Sc.PT 2013).

2.5 Runner’s Knee

Runner’s knee merupakan terminologi nonspesifik yang banyak digunakan

untuk menggambarkan cedera umum pada daerah lutut yang dialami pelari. Kondisi

ini disebut juga sebagai sindroma nyeri patellofemoral (patellofemoral pain

syndrome), anterior knee pain, sindrom nyeri peripatellar (peripatellar pain

syndrome), medial retinaculitis,patellar malalignment syndrome, dan

patellofemoral arthralgia (Pretorius et al. 2016). Terminologi “anterior knee pain”

127
128

sendiri sebenarnya mencakup seluruh masalah yang terkait dengan nyeri pada sisi

anterior lutut. Dengan mengekslusikan keluhan nyeri pada anterior lutut yang

disebabkan kelaian intra-artikular, peripatellar tendisitis atau bursitis, plica

syndrome, Sinding Larsen’s disease, Osgood Schlatter’s disease, neuromas, dan

kelainan patologis lainnya yang jarang ditemui, dapat disimpulkan, pasien-pasien

dengan kelainan klinis anterior knee pain dapat didiagnosis dengan Patellofemoral

Pain Syndrome (JN 1982). Terminologi Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS)

dalam hal ini tepat digunakan, mengingat tidak adanya temuan spesifik yang dapat

membedakan apakah nyeri berasal dari struktur dari patella atau femur pada regio

ini (Thomeé et al. 1999).Terkadang kondisi ini disalah artikan sebagai

chondromalacia patella, yang sebenarnya lebih tepat ditujukan setelah adanya

temuan patologis yang lebih spesifik (Pretorius et al. 2016; Petersen et al. 2014)

2.5.1 Gejala Klinis

Runner’s knee banyak dijumpai pada pelari tanpa riwayat cedera langsung

pada lutut sebelumnya, namun secara gradual mengalami keluhan atau perasaan

tidak nyaman pada daerah lutut setelah berlari pada jarak tertentu. Perasaan tidak

nyaman biasanya timbul setelah berlari dengan intensitas berat, misalnya setelah

melakukan interval running, setelah mengikuti perlombaan, berlari dengan jarak

lebih jauh dibanding biasanya, atau berlari melintasi perbukitan (hill running). Hill

running (terutama dengan lintasan menurun) memicu timbulnya nyeri, yang juga

timbul saat menaiki atau menuruni tangga(Pretorius et al. 2016). Nyeri meningkat

secara progresif apabila atlet memaksakan melanjutkan latihan. Setelah kondisi

dirasa memburuk, posisi duduk dengan lutut fleksi lebih dari 90 derajat akan

128
129

menyebabkan rasa tidak nyaman, yang akan menghilang setelah lutut diluruskan

(disebut juga dengan “movie sign“) (Hunter et al. 2014).

2.5.2 Etiopathofisiologi

Postulat biomekanis dasar yang digunakan untuk menjelaskan penyebab

Runner’s Knee yaitu adanya pronasi berlebihan pada sendi subtalar pada

pertengahan stance phase dari siklus berlari, yang menyebabkan internal rotasi pada

tibia dan eksternal rotasi pada femur. Pada lutut, gerakan abnormal ini berakibat

pada tertariknya patella dari alignment normalnya, sehingga menyebabkan cedera

(Zaffagnini et al. 2013). Predisposisi untuk mengalami cedera ini bertambah seiring

dengan overpronasi fungsional pada pelari. Faktor tambahan lainnya juga perlu

untuk dipertimbangkan menjadi penyebab runner’s knee namun masih

membutuhkan penunjang yang perlu dibuktikan secara empirik.

Secara garis besar ada tiga faktor yang memiliki kontribusi besar terhadap

bertambahnya risiko terjadinya Runner’s Knee, yaitu malalignment dari ekstremitas

bawah, dan atau patella, ketidakseimabangan otot-otot ekstremitas bawah, dan

overaktivitas. (Thomeé et al. 1999)

2.5.2.1 Malalignment

2.5.2.1.1 Malalignment dari Ekstremitas Bawah

Malalignment dari ekstremitas bawah diyakini memberi kontribusi besar

terhadap perkembangan Runner’s Knee. Alignment dari ekstremitas bawah dalam

hal ini yaitu anteversi femoral neck, genu valgum, hiperekstensi dari lutut, Q-angle,

tibia varum, dan pronasi berlebihan dari rearfoot (Klingman et al. 1997). Namun

129
130

Fulkerson dan Hungerfold tidak menemukan adanya hubungan langsung antara

derajat Q-angle yang tinggi dan patellofemoral pain (Karlsson et al. 1996; Kannus

& Niittymaki 1994). Tingginya Q-angle mungkin merupakan faktor yang

berkontribusi menyebabkan Runner’s Knee pada orang yang berpotensi mengalami

Runner’s Knee, namun hal ini tetap memerlukan studi klinis lebih lanjut .

2.5.2.1.2 Malalignment dari Patella

Bentuk patella yang tidak simetris, hubungannya dengan permukaan femoral,

konfigurasi trochlea dan hubungan satu dengan yang lainnya sering menjadi

pembahasan penyebab terjadinya Runner’s Knee. Tiga bentuk malalignment dari

patella, yaitu subluksasi tanpa tilting, subluksasi dengan tilting, dan tilting tanpa

subluksasi sering menjadi pembahasan terjadinya Runner’s Knee (Thomeé et al.

1999). Penelitian yang dilakukan oleh Insall et al., menyatakan bahwa abnormalitas

patellar tracking yang dievaluasi dengan pemeriksaan radiografis merupakan

penyebab mayor terjadinya nyeri patellar (JN 1982). Penelitian yang dilakukan oleh

Dilon et al., dengan menggunakan cinematografi berkecepatan tinggi

mengungkapkan ditemukannya perbedaan yang signifikanpada pola gait antara

kelompok sampel wanita usia pertengahan dengan anterior knee pain dibandingkan

dengan kelompok kontrol tanpa keluhan (Dillon et al. 1983). Pada studi lainnya

yang dilakukan oleh Powers et al., (Powers CM, Perry J, Hsu A 1997) kelompok

sampel dengan Runner’s Knee maupun tidak, diminta melakukan pemeriksaan gait

analysis (stride characteristics dan joint motion) selama berjalan di tangga.

Dibandingkan dengan kelompok kontrol, terjadi penurunan kecepatan berjalan

akibat kompensasi dari gait primer pada kelompok sampel dengan anterior knee

130
131

pain dalam fungsinya pada stride length dan ritme berjalan. Namun hal ini tidak

dapat mengekslusikan bahwa sendi patellofemoral yang dinamis mengakibatkan

peningkatan risiko terjadinya overuse sendi tersebut pada beberapa individu.

Kombinasi dari malalignment dan defisit fungsi otot diyakini dapat menjadi

penyebab meningkatnya risiko anterior knee pain. Investigasi lebih lanjut

dibutuhkan untuk memperjelas teori patofisiologi ini.

Gambar 2.8 Hubungan antara permukaan sendi patellofemoral dan patella


(Thomeé et al. 1999)

2.5.2.2 Ketidakseimbangan otot-otot ekstremitas bawah / muscle imbalance

Muscle tightness pada quadriceps atau hamstring telah diyakini menjadi

faktor penting berkaitan dengan gangguan mekanisme ekstensor lutut.

Bagaimanapun, pengukuran range of motion dari sendi panggul, lutut, dan ankle

tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien dengan

anterior knee pain dan individu yang sehat (Thomeé et al. 1999).

Ketidakseimbangan otot yang disertai dengan penurunan kekuatan otot akibat

hipotrofi atau adanya inhibisi pada otot ekstremitas bawah diyakini merupakan

131
132

penyebab potensial anterior knee pain. Namun demikian, belum dapat dibedakan

apakah penurunan kekuatan otot ini merupakan penyebab ataukah sebagai akibat

dari anterior knee pain (Thomee et al. 1995).

Penurunan kekuatan ekstensor lutut merupakan hal lumrah yang sering

ditemui pada penderita anterior knee pain, dan ragam jenis kelemahannya telah

dilaporkan (Thomee et al. 1995; Kannus & Niittymaki 1994). Bennett dan

Stauber(Bennett & Stauber 1986), Werner (Werner 1995)dan Thomeé et

al.,(Thomee et al. 1995) menyebutkan adanya kelemahan selektif pada kekuatan

otot eksentrik. Aktifitas elektromyogram pada quadriceps menunjukkan gambaran

aktifitas yang lebih tinggi dan kurang efisien pada tungkai yang nyeri ketimbang

tungkai yang tidak nyeri (Calder et al. 2014). Meskipun demikian, Mȍller et al., dan

Thomeé et al., mengemukakan bahwa pasien dengan anterior knee pain memiliki

aktifitas EMG yang lebih rendah dibanding pasien kontrol selama akhir ekstensi

lutut pada posisi duduk(Thomeé et al. 1999). Souza dan Gross mempelajari pasien

dengan anterior knee pain, dan Voight dan Wieder juga mempelajari pasien-pasien

dnegan gangguan mekanisme ekstensor lutut, mengungkapkan bahwa hubungan

abnormal antara pola aktifasi Vastus Medialis (VMO) dan Vastus Lateralis (VL)

dapat mengganggu kedinamisan sendi patellofemoral(Souza 2009).

Banyak latihan terapi anterior knee pain ditekankan pada VMO sebab tarikan

ototnya pada sisi medial patella. Walaupun demikian, Cerny melaporkan bahwa

baik latihan yang secara selektif mengaktifasi VMO maupun patellar taping tidak

dapat memperbaiki VMO:VL rasio jika dibanding dengan latihan serupa (Thomeé

et al. 1999). Powers et al., juga mengungkapkan tidak ditemukannya perbedaaan

132
133

atau terhentinya aktifitas otot-otot vastus pada pasien dengan anterior knee pain

(Davis & Powers 2010).

2.5.2.3 Overaktivitas

Pentingya peranan tingkat aktivitas fisik dan overuse diyakini menjadi

pencetus dalam perkembangan dan penyebab Runner’s Knee. Kejadian Runner’s

Knee lebih dikaitkan dengan peningkatan aktivitas fisik dan overloading ketimbang

malalignment dari sendi patellofemoral (Messier et al. 2005). Fairbank menyatakan

bahwa pelari dengan anterior knee pain secara signifikan lebih terlibat dalam

olahraga kompetitif dibandingakan dengan kelompok kontrol pada usia sebaya

yang diambil dari populasi normal, dan bahwa nyeri yang timbul berkaitan dengan

peningkatan aktivitas fisik (Powers CM, Perry J, Hsu A 1997). Thomeé et al.,

mengungkapkan bahwa seluruh pasien yang mengalami keluhan secara tiba-tiba /

insidious berhubungan dengan adanya peningkatan aktivitas fisik dalam suatu

periode, dan kelompok ini secara signifikan lebih terlibat dalam kegiatan olahraga

kompetitif dibanding kelompok kontrol (Thomeé et al. 1999). Hal ini mendukung

temuan Fairbank bahwa pasien-pasien dengan level aktivitas yang tinggi tidak

mengalami nyeri lebih berat saat melakukan aktivitas ringan (Powers CM, Perry J,

Hsu A 1997).

Secara anatomis, etiopathofisiologi Runner’s Knee dapat dibedakan menjadi

lokal, distal, dan proksimal (Davis & Powers 2010). Faktor lokal merupakan faktor-

faktor yang berkaitan dengan sendi patellofemoral dan struktur di sekitarnya, di

antaranya meliputi tulang subkondral, infrapatellar fat pad, tendon quadriceps,

patellar ligament, synovium, retinakulum medial dan lateral, dan medial dan lateral

133
134

patellar ligament (Biedert & Sanchis-Alfonso 2002). Area kontak patella yang

meningkat seiring dengan bertambahnya fleksi lutut tidak serta merta diimbangi

dengan peningkatan reaksi gaya sendi patellofemoral pada posisi weight-bearing,

sehingga berakibat pada meningkatnya stress pada sendi patellofemoral. Studi

dengan menggunakan kadaver dan model menunjukkan vastus medial oblique

(VMO) berperan penting sebagai medial stabilizer patella (Davis & Powers 2010).

Penyebab Runner’s Knee oleh adanya ganguan struktur pada bagian distal

distal, meliputi posisi eksternal rotasi pada kaki selama stance phase (Davis &

Powers 2010). Pelari dengan Runner’s Knee dilaporkan mengalami peningkatan

eversi rearfoot saat berjalan dan berlari, yang mana akan menimbulkan peningkatan

pada fleksi dan abduksi lutut, yang diasosiasikan dengan bertambahnya beban pada

sendi patellofemoral. Sebuah studi prospektif melaporkan bahwa peningkatan

mobilitas midfoot saat bergerak dari sendi subtalar pada posisi netral menuju static

relaxed stance mungkin dapat mmenimbulkan berkembangnya Runner’s Knee

(Callaghan & Baltzopoulos 1994).

Pada regio proksimal, adanya gangguan pada panggul pada bidang frontal dan

transversal menjadi penyebab terjadinya Runner’s Knee. Penelitian dengan

menggunakan cadaver dan MRI menunjukkan bahwa adanya internal rotasi femur

yang berlebihan memicu patellar tracking ke arah lateral dan meningkatkan stress

sendi patellofemoral (Dye 2005). Studi menemukan adanya kelemahan pada

gerakan abduksi dan eksternal rotasi pada kelompok wanita sehat jika dibandingkan

dengan kelompok laki-laki sehat. Begitu pula pada wanita dengan Runner’s Knee,

menunjukkan adanya kelemahan serupa jika dibandingkan dengan wanita sehat.

Pada kelompok wanita sehat, menunjukkan adanya gerakan hip adduksi yang lebih

134
135

besar saat melakukan aktifitas fungsional jika dibandingkan dengan kelompok pria

sehat, dan begitu pula pada wanita dengan Runner’s Knee, menunjukkan gerakan

adduksi yang lebih besar jika dibanding dengan kelompok wanita sehat(Boling et

al. 2010; Ireland et al. 2003). Hal ini merupakan bukti bahwa pelari yang nantinya

akan mengalami Runner’s Knee mengalami adduksi dan internal rotasi hip yang

lebih besar(Ireland et al. 2003). Ditemukan juga bukti yang menunjukkan adanya

keterlambatan aktifitas gluteus medius relatif terhadap otot-otot vastus selama

melakukan kegiatan menaiki tangga pada individu-individu yang mengalami

Runner’s Knee(Cowan et al. 2009).

Selain faktor-faktor biomekanis yang sudah disebutkan diatas, teradapat pula

factor-faktor genetic yang memang menjadi bawaan dan predisposisi terjadinya

Runner’s Knee. Faktor-faktor genetik yang dapat menyebabkan terjadinya Runenr’s

Knee termasuk diantaranya pronasi dari kaki yang berlebihan, merupakan

kompensasi mekanis dari salah satu hal ini, yaitu tibia vara, forefoot equinus dengan

triceps surae yang tegang, subtalar varus, forefoot varum, atau keduanya, dan torsi

internal femoral (Dye 2005).

Faktor lingkungan yang dapat berperan dalam timbulnya keluhan termasuk

yaitu inklinasi permukaan lari dan pemilihan sepatu lari yang tidak tepat. Ketika

pelari berlari pada permukaan yang tidak rata, kaki pada sisi atas dipaksa untuk

melakukan pronasi secara berlebihan, lutut menjadi valgus, dan menarik patella

keluar dari alignment normalnya (Myer et al. 2010; Besier et al. 2009). Sepatu

dengan lengkung dan material sol yang lembek pada bagian tengahnya secara lemah

menunjang tumit dapat menyebabkan pronasi sendi subtalar secara berlebihan.

Peningkatan jarak tempuh (mileage) secara ekstrim atau berlari dengan lintasan

135
136

berbukit-bukit yang terjal juga dapat menjadi predisposisi terjadinya runner’s knee

(Myer et al. 2010).

Gambar 2.9 Etiologi Runner’s Knee


(Pretorius et al. 2016)

2.5.3 Patologi

Secara histologis perubahan yang terjadi adalah ditemukannya rongga

pseudocystic pada daerah perbatasan diantara tulang dan fibrokartilago yang

mengalami mineralisasi. Sangat penting membedakan runner’s knee dari

chondromalacia patella (Pretorius et al. 2016). Chondromalacia merupakan lesi

intra-artikular yang disebabkan oleh perlunakan patologis permukaan inferior

patella. Gejala yang ditimbulkan berupa lutut seperti terkunci, terdengar bunyi pop,

“giving way“,dan seringkali pada pelari dengan keluhan chondromalacia patella

memiliki riwayat trauma pada daerah lutut, atau pernah mengalami cedera

meniskus (Zaffagnini et al. 2013).

136
137

Pemeriksaan menunjukkan krepitus yang dapat terdengar ketika pasien

melakukan fleksi dan ekstensi pada lututnya, dan palpasi dapat menyebabkan

timbulnya nyeri pada permukaan bawah patella. Saat pemeriksaan yang

mencetuskan nyeri dilakukan pada kompresi, krepitasi dan nyeri pada palpasi,

artikular kartilago akan mengalami abnormalitas(Taylor et al. 2014; Dye 2005).

2.5.4 Diagnostik

Untuk menegakkan diagnostik “Runner’s knee“, pelari setidaknya harus

merasakan nyeri tajam yang terlokalisir pada daerah sepanjang inferomedian,

inferolateral, atau batas inferior dari patella, daerah pada insersi medial atau lateral

dari retinakulum, atau pada origo patellar ligament (Dye 2005).

Keluhan yang dirasakan oleh pelari hendaknya tidak disebabkan oleh adanya

penyakit atau disfungsi lutut atau tulang lainnya, atau khususnya adanya krepitus

pada daerah retropatellar, yang mana mengindikasikan adanya chondromalacia dari

patella. Gejala lainnya yaitu nyeri saat aktivitas menekuk lutut yang berulang,

seperti naik tangga, berlari, loncat dan jongkok. Juga nyeri setelah duduk lama, dan

suara krepitasi saat menaiki tangga ataupun setelah duduk dalam waktu lama.

Kompresi patella dengan femur sebagai penahan dengan lutut fleksi 20º akan

menyebabkan nyeri (Stefanyshyn et al. 1999).

2.6 Matriks Metalloproteinase (MMP)

Pada tahun 1962, MMPs pertama kali diperkenalkan oleh Jerome Gross dan

Charles M. LaPiere ketika mereka sedang mempelajari degenerasi kolagen triple-

helical selama metamorfosis tadpole tail (Mohammadreza Bahar B.Sc.PT 2013).

137
138

MMPs merupakan senyawa zinc dan endopeptida calcium-dependent, yang

disintesis dari pro-MMPs inaktif yang kemudian diaktivasi saat pembelahan oleh

enzim proteinase ekstraseluler (Chu et al. 2015). MMPs terdiri dari tiga domain,

yaitu N-terminal propeptidases, catalytic domain dan C-terminal domain(Liacini et

al. 2002). Enzim MMP memegang peranan penting pada pemecahan matriks

ekstraseluler (ECM), yang juga didapat pada proses remodeling jaringan normal

yang fisiologis seperti perkembangan embrio dan reproduksi (O. Zitka1, J.

Kukacka2, S. Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010). Beberapa

MMPs telah teridentifikasi, namun demikian hanya beberapa tipe tertentu yang

memiliki peranan terhadap proses pemecahan kolagen, diantaranya adalah MMP-

1, MMP-3, dan MMP-13.

Gambar 2.10 Struktur Matrix Metalloproteinase


(O. Zitka1, J. Kukacka2, S. Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010)

Matrix metalloproteinases (MMPs) merupakan famili dari sekurangnya dua

puluh jenis endopeptidase zinc-dependent yang berperan penting dalam berbagai

macam proses proteolitik. Peranannya yang pertama kali dikenali yakni dalam

138
139

pemecahan komponen extracellular matrix (ECM) (Lohmander et al. 2005).

Substrat-substrat lainnya yang dikenal kemudian termasuk diantaranya adalah

proteinase yang lain, faktor kemotaksis, (chemotactic factor), growth factor,

reseptor permukaan sel, dan molekul-molekul adhesi sel (O. Zitka1, J. Kukacka2,

S. Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010). Kerja dari substrat

tersebut yakni membuka jalan kepada metalloproteinase untuk mempengaruhi

berbagai proses kerja sel, diantaranya diferensiasi tingkat seluler, migrasi, proses

signaling, bertahan hidup / survival, hingga apoptosis(Sun et al. 2014). Mengacu

pada spesifisitas dan struktur substrat, MMPs dikategorikan menjadi collagenase

(MMP-1, MMP-8, MMP-13, dan MMP-18), gelatinase (MMP-2 dan MMP-9),

stromelysin (MMP-3, MMP-10 dan MMP-11), membran-type MMPs (MMP-14

atau MTI-MMP, MMP-15 atau MT2-MMP, MMP-16 atau MT3-MMP, MMP-17

atau MT4-MMP, MMP-24 atau MT5-MMP, dan MMP-25 atau MT6-MMP), dan

jenis MMP lainnya(Lakhan & Avramut 2012; O. Zitka1, J. Kukacka2, S.

Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010; Tchetverikov et al. 2005)

139
140

Gambar 2.11 Struktur anggota famili Matrix Metalloproteinase


(O. Zitka1, J. Kukacka2, S. Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010)

Dengan keterlibatan MMP dalam tissue turnover, aktifitasnya dipengaruhi

secara ketat melalui bermacam mekanisme, termasuk di antaranya adalah

transkripsi dan translasi dari gen protease dan aktifasi enzim bentuk proform.

Kebanyakan dari MMPS di translasi sebagai prekursor inaktif yang otomatis

membutuhkan konversi / aktifasi menjadi enzim bentuk aktif dibawah pengaruh

berbagai faktor seperti MMPs jenis lainnya, serine protease atau radikal bebas.

2.6.1 MMP-3

Kelompok gen MMP3 merupakan anggota kluster gen MMP yang terletak di

kromosom 11q22. Enzim ini diperkirakan memiliki berat molekul 42 kilodalton (O.

Zitka1, J. Kukacka2, S. Krizkova1, D. Huska1, V. Adam1, M. Masarik3 2010).

Enzim ini mendegradasi kolagen tipe II, III, IV, V, dan X serta proteoglycans,

140
141

fibronectin, laminin, dan elastin. MMP-3 juga mengaktivasi MMP lainnya, yaitu

MMP-1, MMP-7, dan MMP-9, sehingga menjadikan MMP-3 marker/petanda yang

krusial pada proses remodeling jaringan penunjang (Mamehara et al. 2010; Nerusu

et al. 2007; Wilhelmso et al. 1993).

2.6.2 MMP-3 dan Knee Flexion Moment

Beberapa studi mencoba membandingkan respon fisiologis sel artikular pada

kondisi sendi yang diberi beban dibandingkan dengan sendi yang tidak diberi

beban. Penelitian oleh Bevill et al. dimana dilakukan studi perbandingan efek

mechanical load pada beberapa regio sendi yang berbeda, memberi hasil bahwa

pada sisi yang diberi mechanical load terjadi peningkatan hitung jumlah molekul

kartilago, termasuk diantaranya Coll-II dan MMP-3 jika dibandingkan pada area

tanpa pembebanan sebagai grup kontrol(Bevill et al. 2009). Lin et al. pada studi in

vitro nya menginvestigasi efek mechanical load pada metabolisme chondrocytes

yang menyelimuti tulang subkondral. Mereka melakukan kultur pada osteoblast

dan chondrocytes yang diberi beban, dibandingkan dengan yang tanpa beban, dan

ditemukan peningkatan yang signifikan dari ekspresi gen MMP-3, MMP-1, dan

MMP-13 pada grup yang diberi beban (Lin Y-Y, Tanaka N, Ohkuma S, Iwabuchi

Y, Tanne Y, Kamiya T, Kunimatsu R, Huang Y-C, Yoshioka M, Mitsuyoshi T,

Tanimoto K, Tanaka E 2010).

Berbeda-bedanya besar beban yang diberikan juga dilaporkan merupakan

salah satu faktor yang memberikan kontribusi didapatkan perbedaan kadar ekspresi

MMP-3. Pada studi terbaru Akamine et al. ditemukan pengaruh bedanya besar

beban pada kerangka / scaffold kolagen, dimana MMP-3 dapat dilepas ke dalam

141
142

jaringan interstitial sebagai akibat dari pemberian beban yang berlebihan pada

kerangka kolagen (Akamine et al. 2012). Studi yang dilakukan oleh Lin et al.

mengungkapkan bahwa siklus beban sebesar 15 KPa dapat meningkatkan ekspresi

MMP-3. Mereka menduga perubahan yang terjadi pada metabolisme kartilago

dapat dipicu oleh osteoblast yang mengalami stres, termasuk disini jika terjadi

pembebanan berlebih pada sendi yang bersangkutan seiring dengan meningkatnya

knee joint load, yang apabila terus berlanjut dapat menyebabkan terjadinya fase

awal dari osteoarthritis (Lin Y-Y, Tanaka N, Ohkuma S, Iwabuchi Y, Tanne Y,

Kamiya T, Kunimatsu R, Huang Y-C, Yoshioka M, Mitsuyoshi T, Tanimoto K,

Tanaka E 2010). Kompresi mekanis yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera

juga dilaporkan dapat meningkatkan kadar mRNA MMP-3 sebanyak 10 kali lipat

pada jaringan artikular kartilago femoropatellar groove sapi dalam 24 jam pertama

setelah stimulasi tersebut diberikan (Patwari et al. 2003).

Cara pemberian beban yang berbeda-beda dapat berakibat pada berbedanya

ekspresi MMP-3. Nicodemus et al. mengemukakan bahwa pemberian beban secara

kontinyu menghasilkan ekspresi MMP-3 yang menurun setengahnya, dimana

pemberian beban secara terus-menerus / intermittent pada sel yang sama berakibat

pada peningkatan ekspresi MMP-3 sebanyak 8 kali lipat (Nicodemus & Bryant

2010). Walaupun demikian, pemberian beban secara intermittent memiliki peranan

penting pada regulasi kadar MMP-3. Pada studi yang dilakukan oleh Zielinska

ditemukan bahwa dynamic compressive load selama 2 jam dengan frekuensi 1

Hertz (Hz) dapat meningkatkan ekspresi MMP-3 dengan perbedaan yang signifikan

jika dibandingkan dengan grup non-dynamic compressive load. Manifestasi ini

142
143

menunjukkan pentingnya cara perlakuan selama aplikasi beban (Mohammadreza

Bahar B.Sc.PT 2013).

Integritas sumber darimana sel tersebut diekstraksi juga menjadi materi

penting yang harus dipertimbangkan. Salter dan Millward melaporkan bahwa

chondrocytes yang diekstrasi dari individu yang sehat secara mengejutkan

menunjukkan penurunan respon kadar MMP-3 terhadap beban, dimana kadar

tersebut tidak berbeda secara signifikan pada sampel yang telah mengalami cedera

sebelumnya (Wright et al. 2000). Studi lain di Massachussets mencoba mengukur

peningkatan ekspresi enzim pendegradasi (enzymatic degradative expression) dan

degradasi yang distimulasi oleh sitokin (cytokine-stimulate degradation) pada

kartilago sapi. Kartilago yang diekstrasi dipaparkan pada kompresi yang berpotensi

cedera, dan agen degradatif pada turnover kartilago, kemudian ekspresi mRNA

MMP-3nya dibandingkan pada kedua grup. Hasil menunjukkan bahwa ekspresi

mRNA MMP-3 meningkat 10 kali lipat pada grup kartilagonya diberikan beban

yang berpotensi cedera, dibandingkan dengan grup kontrol (Patwari et al. 2003).

2.6.3 MMP-3 dan nyeri

Pengaruh MMP-3 terhadap rangsang nyeri belum dipahami peranannya

secara langsung. MMP dapat berperan penting pada proses tercetusnya rangsang

nyeri yang dipicu oleh inflamasi dan lesi saraf melalui jalurnya yang kompleks

terhadap cytokines, chemokines, growth factor dan adhesi molekul terhadap

reseptor nociceceptor yang responsif. Interleukin-1 beta (IL-1ß), TNF, dan nerve

growth factor sebagai contoh, mencetuskan terjadinya potensial aksi melalui kanal

arus sodium dan kalsium pada terminal nociceptor periferal (Parks et al. 2004).

Setelah terjadi kerusakan neural, mediator inflamasi yang sama dilepaskan oleh sel

143
144

imun periferal dan microglia di dalam spinal cord dan berkontribusi terhadap nyeri

neuropati yang diaktifasi oleh neuron nociceptive (Rosenberg 2002)

Berkaitan dengan penelitian yang kami lakukan, setelah terjadi trauma akut pada

daerah lutut, yang disebabkan akibat pembebanan sendi secara abnormal atau berlebihan,

akan memicu terjadinya respon biologis yang didominasi oleh aktifitas katabolisme

(Mamehara et al. 2010). Bersamaan dengan terjadinya trauma akut, flare-flare sitokin

dilepas, menyerupai gambaran yang ditemukan pada proses penyembuhan luka, dan

mengandung tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, IL-6, IL-8, IL-1 receptor

antagonist (IL-1Ra), dan IL-10 (Abramson & Attur 2009). Kerusakan kartilago

ditunjukkan dari pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen setelah tejadinya cedera,

yang dilepas dan mencapai puncaknya pada minggu pertama, namun dapat bertahan selama

beberapa bulan dalam cairan sinovial. Matrix metalloproteinase yang lain seperti MMP-3,

tissue inhibitor of matrix metalloproteinase(TIMP)-1 dan cartilage oligomeric matrix

protein (COMP) juga ditemukan tetap tinggi kadarnya dalam cairan sinovial setelah cedera

(Chu et al. 2015).

Gambar 2.12 Patofisiologi nyeri dan aksi-reaksi tingkat seluler pada sendi synovial
(Lee et al. 2013; Abramson & Attur 2009)

144
145

Pada kondisi dimana beban pada lutut berlebihan, terjadi aktifasi kondrosit dalam

jumlah besar untuk memproduksi protease pendegradasi ECM (MMPs,

aggrecanase), sitokin pro-inflammatory (IL-1), dan growth factor katabolic (FGF-

2). Protein-protein ini dapat disekresi ke dalam cairan synovial dan bekerja pada

synoviocytes. Fragmen-fragmen yang berasal dari degradasi ECM juga muncul

pada cairan synovial dan berfungsi sebagai catabolic inducers (Sun et al.

2014).Pada kondisi dimana terjadi beban berlebihan pada lutut, sebagian kondrosit

mengalami perubahan menjadi hiperftrofik, yang dimanifestasikan pada ekspresi

kolagen tipe X (Chu et al. 2015; Heiderscheit et al. 2011).

Synoviocytes (ditandai dengan keluarnya fibroblast dan macrophage) juga

mengaktifkan sintesis protease dan sitokin yang dapat memberikan efek negatif

pada articular kartilago dan synovium. Perubahan patofisiologis pada synoviocytes

membuka jalan pada munculnya angiogenesis dan innervasi yang berujung pada

timbulnya nyeri.(Abramson & Attur 2009)

145

Anda mungkin juga menyukai