Anda di halaman 1dari 17

IMUNOSEROLOGI

“SEJARAH IMUNOLOGI”

Oleh :
EMIL ARIYO SUNARTI
RIZKA RIYANA
YUNDA ASTIRA

KELAS REGULER PEGAWAI TINGKAT II


PRODI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
POLTEKKES KEMENKES BANTEN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Imunoserologi “.
Dalam pembuatan makalah, kami berharap setelah mendengarkan presentasi
kami, teman-teman dapat memahami dan menambah pengetahuan yang lebih baik,
sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa kami masih banyak kekurangan dan juga kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Maka dari itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun
demi menyempurnakan makalah ini.
Demikian makalah kami, kami mengucapkan terima kasih.

TANGERANG, JANUARI 2020

PENYUSUN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur biologis
lainnya yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada organisme untuk
melindungi tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan membunuh patogen.
Sementara itu, respons kolektif dan terkoordinasi dari sistem imun tubuh terhadap
pengenalan zat asing disebut respons imun. Agar dapat berfungsi dengan baik, sistem ini
akan mengidentifikasi berbagai macam pengaruh biologis luar seperti
dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel dan jaringan organisme yang sehat agar tetap berfungsi
secara normal.
Manusia dan vertebrata berahang lainnya memiliki mekanisme pertahanan yang
kompleks, yang dapat dibagi menjadi sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif.
Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan penghalang
permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan komponen seluler. Sistem imun
adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun bawaan dan memerlukan waktu
untuk dapat mengerahkan respons pertahanan yang lebih kuat dan spesifik. Imunitas
adaptif (atau dapatan) membentuk memori imunologis setelah respons awal terhadap
patogen dan membuat perlindungan yang lebih ditingatkan pada pertemuan dengan
patogen yang sama berikutnya. Proses imunitas dapatan ini menjadi dasar dari vaksinasi.
Gangguan pada sistem imun dapat berupa imunodefisiensi, penyakit
autoimun, penyakit inflamasi, dan kanker. Imunodefisiensi dapat terjadi ketika sistem
imun kurang aktif sehingga dapat menimbulkan infeksi berulang dan dapat mengancam
jiwa. Pada manusia, imunodefisiensi dapat disebabkan karena faktor genetik seperti pada
penyakit defisiensi imunitas kombinasi serta kondisi dapatan seperti sindrom defisiensi
imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Sebaliknya, penyakit
autoimun menyebabkan sistem imun menjadi hiperaktif menyerang jaringan normal
seakan-akan jaringan tersebut merupakan benda asing. Di satu sisi, ilmu pengetahuan pun
terus berkembang dan manipulasi dalam kedokteran telah dilakukan. Penggunaan obat
imunosupresif telah berhasil menekan sistem imun yang hiperaktif, dan
penggunaan imunoterapi telah dilakukan untuk pengobatan kanker.
Patogen dapat berevolusi secara cepat dan mudah beradaptasi agar terhindar dari
identifikasi dan penghancuran oleh sistem imun, tetapi mekanisme pertahanan tubuh juga
berevolusi untuk mengenali dan menetralkan patogen. Bahkan
organisme uniseluler seperti bakteri juga memiliki sistem imun sederhana dalam
bentuk enzim yang melindunginya dari infeksi bakteriofag. Mekanisme imun lainnya
terbentuk melalui evolusi pada eukariota kuno tetapi masih ada hingga sekarang seperti
pada tumbuhan dan invertebrata.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Imunologi
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Imunologi
3. Untuk mengetahui gangguan pada imunitas
4. Untuk mengetahui evolusi dan mekanismenya
BAB II
PEMBAHASAN

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem imun.
Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Imunitas pertama kali diketahui saat
terjadi wabah Athena pada 430 SM. Thukidides mencatat bahwa orang yang sembuh dari
penyakit sebelumnya dapat bertahan tanpa terkena penyakit lagi. Lambat laun, diciptakan
istilah "immunity" yang diturunkan dari istilah Latin "immunitas" untuk menggambarkan
resistensi semacam itu. Pada abad ke-10, dokter Iran Al-Razi merupakan orang pertama
yang membedakan antara cacar (smallpox) dan campak (measles) dan juga mencatat
kemungkinan teori pertama tentang imunitas dapatan (acquired immunity). Pada abad ke-
11, dokter dan filsuf Ibnu Sina juga mengusulkan teori lebih lanjut untuk imunitas
dapatan.
Pada sekitar 1000 M, bangsa Tiongkok dilaporkan telah mempraktikkan bentuk
imunisasi ini dengan menghirup bubuk kering yang berasal dari kulit lesi cacar. Pada
awal abad ke-18 muncul minat baru pada imunitas dapatan melalui
penggunaan variolasi sebagai tindakan pencegahan, yaitu dengan memasukkan sebagian
dari lesi penderita cacar ke dalam tubuh orang yang sehat. Praktik variolasi juga makin
umum dilakukan Inggris pada tahun 1720-an karena usaha Mary Wortley Montagu, istri
duta besar Inggris untuk Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang mengamati efek
positifnya dan melakukannya pada anak-anaknya. Pada tahun 1798 Edward
Jenner mempublikasikan hasil vaksinasinya yang pertama, menggunakan nanah dari
penderita cacar sapi (cowpox) dan disuntikkan ke seorang anak bernama James Phipps.
Pengamatan imunitas dapatan berikutnya diteliti oleh Louis Pasteur pada tahun
1880 tentang vaksinasi dan pembuktian teori kuman penyakit. Teori tersebut menyatakan
bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme, dan teori ini merupakan perlawanan
dari teori penyakit saat itu, seperti teori miasma yang menyatakan penyakit disebabkan
oleh uap atau kabut beracun yang diyakini terdiri dari partikel-partikel dari bahan
pembusuk dan dapat diidentifikasi dengan baunya yang busuk. Lebih lanjut, Robert
Koch membuktikan teori kuman ini pada 1891, untuk itu ia diberikan penghargaan
Nobel pada 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari
penyakit infeksi. Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada 1901 dengan
penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.
Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-19 pada
penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul
Ehrlich mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi
antigen-antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan
penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri
imunologi seluler, Elie Metchnikoff.

TOKOH TOKOH IMUNOLOGI

GIROLAMO FRACASTORO
Pada mulanya imunologi merupakan cabang
mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh, terutama
respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun
1546, Girolamo Fracastoro mengajukan teori
kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi
terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit
tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak
dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.

EDWAR JENNER
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa
seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah,
bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox).
Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada
waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang
sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila
tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat
dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai
imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab
penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman
(germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin
rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar
perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang
imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi pada anak.

ROBERT KOCH
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman
penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin
terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin
(1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada
kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini
kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis
penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis
penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh
Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan
kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.
ALEXANDER YERSIN
DAN ROUX
Setelah Roux dan
Yersin menemukan toksin
difteri pada tahun 1885,
Von Behring dan Kitasato
menemukan antitoksin
difteri pada binatang
(1890). Sejak itu dimulailah
pengobatan dengan serum
kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit
infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang
menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh
dari manusia.

CLEMENS VON PIRQUET


Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis
kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak,
Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria
melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat
suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita
panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan
penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul
Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan
menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan
sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa
pencegahan). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat
pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai
istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley
mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan
rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen).
Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada
manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay
fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan
sedikit demi sedikit. Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan
toksin, dengan harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih
dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan
cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan
pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915)
melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak.
Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara
asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan
melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada
tahun 1913, Shick juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang
terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji
diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever,
asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-
imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann
(1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan
dinamakan asma tipe ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat
yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum
penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini
berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang terjadi pada
penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan
reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya
obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang
memakai fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti
pada penyakit sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa
serum penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan
golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan
reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat
dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah
penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi
terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig).
Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang
diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa
masing-masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman
menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan
urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang
dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan
Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang
banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat
menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.

METCHNIKOFF
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah
mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh
faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan
tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit
baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan
sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag
aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964,
Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri
atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan
dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa
fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara
limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit
dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.

GANGGUAN PADA IMUNITAS

Sistem imun merupakan struktur yang luar biasa efektif dalam hal spesifisitas,
indusibilitas, dan adaptasi. Namun, kegagalan pertahanan bisa juga terjadi dan dibagi
menjadi tiga kelompok besar: imunodefisiensi, autoimunitas, dan hipersensitivitas.

Imunodefisiensi

Imunodefisiensi terjadi ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif.
Kemampuan sistem imun untuk merespons patogen berkurang pada anak-anak dan orang
tua, pada kasus orang tua disebabkan oleh imunosenesens. Di negara-negara berkembang,
penyebab melemahnya sistem imun yaitu obesitas, penyalahgunaan alkohol, dan
penggunaan obat. Namun, malnutrisi adalah penyebab paling umum yang menyebabkan
imunodefisiensi di negara berkembang. Diet dengan protein yang tidak mencukupi
dikaitkan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibodi IgA, dan produksi sitokin. Selain itu, ketiadaan timus pada usia dini
melalui mutasi genetik atau pengangkatan melalui operasi mengakibatkan
imunodefisiensi yang parah dan kerentanan tinggi terhadap infeksi.

Imunodefisiensi juga bisa muncul akibat faktor turunan atau perolehan


(didapat). Penyakit granuloma kronis, yaitu penyakit dengan rendahnya
kemampuan fagosit untuk menghancurkan patogen, adalah contoh dari imunodefisiensi
turunan. Sementara itu, AIDS dan beberapa jenis kanker merupakan contoh
imunodefisiensi dapatan.
Autoimunitas

Autoimunitas adalah respons imun terlalu aktif termasuk fungsi imun yang tidak
berfungsi baik sehingga berakhir pada gangguan autoimun. Sistem imun tidak mampu
membedakan dengan tepat antara self dan non-self, sehingga dapat menyerang bagian
dari tubuh. Pada keadaan kondisi yang normal, banyak sel T dan antibodi bereaksi dengan
peptida self. Terdapat sel khusus (terletak di timus dan sumsum tulang) yang menyajikan
limfosit muda dengan antigen self yang dihasilkan pada tubuh dan untuk membunuh sel
yang dianggap antigen self, akhirnya mencegah autoimunitas. Beberapa contoh penyakit
autoimun yaitu artritis rematoid, diabetes melitus tipe 1, penyakit Hashimoto, dan lupus
eritematosus sistemik.

Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan yang dapat merusak


jaringan tubuh sendiri. Hipersensitivitas terbagi menjadi empat kelas (Tipe I – IV)
berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi segera atau reaksi anafilaksis sering dikaitkan
dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh IgE, yang memicu degranulasi sel
mast dan basofil saat IgE berikatan silang dengan antigen. Hipersensitivitas tipe II terjadi
saat antibodi mengikat antigen sel inang dan menandai mereka untuk penghancuran. Jenis
ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan diperantarai oleh antibodi IgG dan IgM.
Kompleks imun (kompleks antara antigen, protein komplemen dan
antibodi IgG dan IgM) terkumpul pada berbagai jaringan yang memicu reaksi
hipersensitivitas tipe III. Hipersensitivitas tipe IV (dikenal juga sebagai hipersensitivitas
diperantarai sel atau hipersensitivitas jenis tertunda) biasanya membutuhkan waktu antara
dua sampai tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai penyakit
autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam dermatitis
kontak (misalnya disebabkan oleh racun tumbuhan jelatang). Reaksi tersebut diperantarai
oleh sel T, monosit, dan makrofag.
EVOLUSI DAN MEKANISME LAINNYA

Evolusi sistem imun

Sistem imun adaptif dengan berbagai komponennya tampaknya muncul


pada vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak menghasilkan limfosit atau
respons humoral berupa antibodi. Namun, banyak spesies yang memanfaatkan
mekanisme-mekanisme yang agaknya merupakan pendahulu imunitas pada vertebrata.
Sistem imun pun dimiliki oleh organisme yang paling sederhana, misalnya bakteri
menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk
melindungi diri dari patogen virus yang disebut bakteriofag.

Prokariota juga memiliki imunitas adaptif melalui sistem yang menggunakan


urutan CRISPR untuk mempertahankan fragmen genom dari bakteriofag yang pernah
ditemui sebelumnya, yang memungkinkan prokariota menghalangi replikasi virus
melalui mekanisme sejenis interferensi RNA. Sistem imun yang bersifat menyerang juga
terdapat pada eukariota uniseluler, tetapi belum banyak penelitian tentang peranan sistem
tersebut dalam pertahanan.

Reseptor pengenal pola merupakan protein yang digunakan oleh hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang terkait dengan patogen. Peptida
antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner respons imun bawaan
yang ditemukan pada semua jenis hewan dan tumbuhan, serta mewakili bentuk utama
imunitas sistemik invertebrata. Sistem komplemen dan fagositik juga digunakan oleh
hampir semua bentuk kehidupan invertebrata. Ribonuklease dan jalur interferensi RNA
digunakan pada semua eukariot; keduanya diyakini memainkan peran pada respons imun
terhadap virus.

Tidak seperti hewan, tumbuhan tidak memiliki sel fagositik, tetapi kebanyakan
respons imun tumbuhan melibatkan sinyal kimia bersifat sistemik yang dikirim ke seluruh
bagian tumbuhan. Sel-sel tumbuhan merespons molekul yang terkait dengan patogen
yang dikenal sebagai pola molekuler terkait patogen (PAMP). Ketika bagian dari
tumbuhan terinfeksi, tumbuhan menghasilkan respons hipersensitif, yaitu sel di tempat
infeksi mengalami apoptosis dengan cepat untuk mencegah penyebaran penyakit ke
bagian lainnya. Resistensi dapatan sistemik merupakan jenis respons pertahanan yang
digunakan oleh tumbuhan agar resisten terhadap penyebab infeksi.
Mekanisme peredaman RNA sangat penting pada sistem respons sistemik ini karena
dapat menghalangi replikasi virus.

Imunitas adaptif alternatif

Evolusi sistem imun adaptif terjadi pada nenek moyang vertebrata berahang.
Banyak molekul klasik pada sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T)
hanya dimiliki vertebrata berahang. Namun, molekul berbeda yang berasal
dari limfosit ditemukan pada vertebrata tak berahang primitif, seperti
ikan lamprey dan remang. Hewan tersebut memiliki sejumlah molekul disebut reseptor
limfosit variabel, mirip reseptor antigen pada vertebrata berahang, yang dihasilkan dari
segelintir gen (satu atau dua). Molekul tersebut dipercaya berikatan pada patogen dengan
cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat spesifisitas yang sama.

Manipulasi oleh patogen

Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari


respons imun. Oleh karena itu, patogen telah mengembangkan beberapa metode yang
menyebabkan mereka dapat menginfeksi inang, sementara patogen menghindari deteksi
dan kehancuran akibat sistem imun. Bakteri sering menembus penghalang fisik dengan
mengeluarkan enzim yang bisa menghancurkan penghalang tersebut, contohnya dengan
menggunakan sistem sekresi tipe II. Selain itu, patogen dapat menggunakan sistem
sekresi tipe III, yaitu mereka dapat memasukan tuba berongga pada sel inang, yang
menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke inang.
Protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk membuat tidak aktif pertahanan
tubuh.

Strategi menghindar digunakan oleh beberapa patogen untuk menghindari sistem


imun bawaan yaitu bersembunyi dalam sel inang (juga disebut patogenesis intraseluler).
Dalam hal ini, patogen menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya dalam sel inang
yang dilindungi dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi, dan sistem komplemen.
Beberapa contoh patogen intraseluler termasuk virus, bakteri Salmonella yang terdapat
pada makanan beracun, dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium
falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium
tuberculosis, hidup di dalam kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem
komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang melemahkan respons imun
atau mengarahkan respons imun ke arah yang salah. Beberapa bakteri
membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun.
Biofilm dapat ditemui pada banyak infeksi, seperti infeksi Pseudomonas
aeruginosa kronis dan Burkholderia cenocepacia, yang merupakan penanda dari
infeksi fibrosis sistik. Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang mengikat pada
antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif, contohnya Streptococcus (protein
G), Staphylococcus aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).

Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif
adalah lebih rumit. Pendekatan paling sederhana yaitu dengan cepat
mengubah epitop yang tidak esensial (asam amino dan gula) pada permukaannya,
sementara terus menyembunyikan epitop esensial. Proses ini dinamakan variasi
antigenik. Contohnya yaitu HIV, yang bermutasi dengan cepat, sehingga protein
pada selubung virus yang esensial untuk masuk pada sel target secara terus menerus
berubah. Perubahan tersebut bisa jadi adalah sebab gagalnya vaksin yang diarahkan pada
virus tersebut. Parasit Trypanosoma brucei menggunakan strategi yang serupa, selalu
mengubah protein permukaan sehingga selangkah lebih maju dari respons
antibodi. Strategi lainnya yaitu menutup antigen dari molekul inang untuk menghindari
deteksi oleh sistem imun. Pada HIV, selubung yang menutupi virion dibentuk dari
membran paling luar dari sel inang, membuat sistem imun kesulitan untuk
mengidentifikasikan mereka sebagai benda asing.
BAB III

KESIMPULAN

Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan
benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh.

Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-19 pada
penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul
Ehrlich mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi
antigen-antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan
penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri
imunologi seluler, Elie Metchnikoff.
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, RK (1997). "Nutrition and the immune system: an


introduction". American Journal of Clinical Nutrition. Vol 66: 460S–463S

Saha S, Bhasin M, Raghava GP. (2005). "Bcipep: a database of B-cell


epitopes". BMC Bioinformatics. 6 (1): 79

Doherty, M; Robertson, M (2004-12). "Some early Trends in


Immunology". Trends in Immunology. 25 (12): 623–631

Miller J (1993). "Self-nonself discrimination and tolerance in T and B


lymphocytes". Immunol Res. 12 (2): 115–30

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas: Fungsi
dan Kelainan Sistem Imun, Edisi Kelima, ELSEVIER, Halaman 15- 18.

Anda mungkin juga menyukai