TUGAS 1 - Sejarah Imunologi
TUGAS 1 - Sejarah Imunologi
“SEJARAH IMUNOLOGI”
Oleh :
EMIL ARIYO SUNARTI
RIZKA RIYANA
YUNDA ASTIRA
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Imunoserologi “.
Dalam pembuatan makalah, kami berharap setelah mendengarkan presentasi
kami, teman-teman dapat memahami dan menambah pengetahuan yang lebih baik,
sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa kami masih banyak kekurangan dan juga kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Maka dari itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun
demi menyempurnakan makalah ini.
Demikian makalah kami, kami mengucapkan terima kasih.
PENYUSUN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur biologis
lainnya yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada organisme untuk
melindungi tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan membunuh patogen.
Sementara itu, respons kolektif dan terkoordinasi dari sistem imun tubuh terhadap
pengenalan zat asing disebut respons imun. Agar dapat berfungsi dengan baik, sistem ini
akan mengidentifikasi berbagai macam pengaruh biologis luar seperti
dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel dan jaringan organisme yang sehat agar tetap berfungsi
secara normal.
Manusia dan vertebrata berahang lainnya memiliki mekanisme pertahanan yang
kompleks, yang dapat dibagi menjadi sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif.
Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan penghalang
permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan komponen seluler. Sistem imun
adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun bawaan dan memerlukan waktu
untuk dapat mengerahkan respons pertahanan yang lebih kuat dan spesifik. Imunitas
adaptif (atau dapatan) membentuk memori imunologis setelah respons awal terhadap
patogen dan membuat perlindungan yang lebih ditingatkan pada pertemuan dengan
patogen yang sama berikutnya. Proses imunitas dapatan ini menjadi dasar dari vaksinasi.
Gangguan pada sistem imun dapat berupa imunodefisiensi, penyakit
autoimun, penyakit inflamasi, dan kanker. Imunodefisiensi dapat terjadi ketika sistem
imun kurang aktif sehingga dapat menimbulkan infeksi berulang dan dapat mengancam
jiwa. Pada manusia, imunodefisiensi dapat disebabkan karena faktor genetik seperti pada
penyakit defisiensi imunitas kombinasi serta kondisi dapatan seperti sindrom defisiensi
imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Sebaliknya, penyakit
autoimun menyebabkan sistem imun menjadi hiperaktif menyerang jaringan normal
seakan-akan jaringan tersebut merupakan benda asing. Di satu sisi, ilmu pengetahuan pun
terus berkembang dan manipulasi dalam kedokteran telah dilakukan. Penggunaan obat
imunosupresif telah berhasil menekan sistem imun yang hiperaktif, dan
penggunaan imunoterapi telah dilakukan untuk pengobatan kanker.
Patogen dapat berevolusi secara cepat dan mudah beradaptasi agar terhindar dari
identifikasi dan penghancuran oleh sistem imun, tetapi mekanisme pertahanan tubuh juga
berevolusi untuk mengenali dan menetralkan patogen. Bahkan
organisme uniseluler seperti bakteri juga memiliki sistem imun sederhana dalam
bentuk enzim yang melindunginya dari infeksi bakteriofag. Mekanisme imun lainnya
terbentuk melalui evolusi pada eukariota kuno tetapi masih ada hingga sekarang seperti
pada tumbuhan dan invertebrata.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Imunologi
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Imunologi
3. Untuk mengetahui gangguan pada imunitas
4. Untuk mengetahui evolusi dan mekanismenya
BAB II
PEMBAHASAN
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem imun.
Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Imunitas pertama kali diketahui saat
terjadi wabah Athena pada 430 SM. Thukidides mencatat bahwa orang yang sembuh dari
penyakit sebelumnya dapat bertahan tanpa terkena penyakit lagi. Lambat laun, diciptakan
istilah "immunity" yang diturunkan dari istilah Latin "immunitas" untuk menggambarkan
resistensi semacam itu. Pada abad ke-10, dokter Iran Al-Razi merupakan orang pertama
yang membedakan antara cacar (smallpox) dan campak (measles) dan juga mencatat
kemungkinan teori pertama tentang imunitas dapatan (acquired immunity). Pada abad ke-
11, dokter dan filsuf Ibnu Sina juga mengusulkan teori lebih lanjut untuk imunitas
dapatan.
Pada sekitar 1000 M, bangsa Tiongkok dilaporkan telah mempraktikkan bentuk
imunisasi ini dengan menghirup bubuk kering yang berasal dari kulit lesi cacar. Pada
awal abad ke-18 muncul minat baru pada imunitas dapatan melalui
penggunaan variolasi sebagai tindakan pencegahan, yaitu dengan memasukkan sebagian
dari lesi penderita cacar ke dalam tubuh orang yang sehat. Praktik variolasi juga makin
umum dilakukan Inggris pada tahun 1720-an karena usaha Mary Wortley Montagu, istri
duta besar Inggris untuk Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang mengamati efek
positifnya dan melakukannya pada anak-anaknya. Pada tahun 1798 Edward
Jenner mempublikasikan hasil vaksinasinya yang pertama, menggunakan nanah dari
penderita cacar sapi (cowpox) dan disuntikkan ke seorang anak bernama James Phipps.
Pengamatan imunitas dapatan berikutnya diteliti oleh Louis Pasteur pada tahun
1880 tentang vaksinasi dan pembuktian teori kuman penyakit. Teori tersebut menyatakan
bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme, dan teori ini merupakan perlawanan
dari teori penyakit saat itu, seperti teori miasma yang menyatakan penyakit disebabkan
oleh uap atau kabut beracun yang diyakini terdiri dari partikel-partikel dari bahan
pembusuk dan dapat diidentifikasi dengan baunya yang busuk. Lebih lanjut, Robert
Koch membuktikan teori kuman ini pada 1891, untuk itu ia diberikan penghargaan
Nobel pada 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari
penyakit infeksi. Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada 1901 dengan
penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.
Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-19 pada
penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul
Ehrlich mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi
antigen-antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan
penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri
imunologi seluler, Elie Metchnikoff.
GIROLAMO FRACASTORO
Pada mulanya imunologi merupakan cabang
mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh, terutama
respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun
1546, Girolamo Fracastoro mengajukan teori
kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi
terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit
tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak
dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.
EDWAR JENNER
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa
seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah,
bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox).
Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada
waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang
sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila
tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat
dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai
imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab
penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman
(germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin
rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar
perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang
imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi pada anak.
ROBERT KOCH
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman
penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin
terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin
(1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada
kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini
kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis
penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis
penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh
Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan
kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.
ALEXANDER YERSIN
DAN ROUX
Setelah Roux dan
Yersin menemukan toksin
difteri pada tahun 1885,
Von Behring dan Kitasato
menemukan antitoksin
difteri pada binatang
(1890). Sejak itu dimulailah
pengobatan dengan serum
kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit
infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang
menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh
dari manusia.
METCHNIKOFF
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah
mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh
faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan
tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit
baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan
sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag
aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964,
Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri
atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan
dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa
fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara
limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit
dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.
Sistem imun merupakan struktur yang luar biasa efektif dalam hal spesifisitas,
indusibilitas, dan adaptasi. Namun, kegagalan pertahanan bisa juga terjadi dan dibagi
menjadi tiga kelompok besar: imunodefisiensi, autoimunitas, dan hipersensitivitas.
Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terjadi ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif.
Kemampuan sistem imun untuk merespons patogen berkurang pada anak-anak dan orang
tua, pada kasus orang tua disebabkan oleh imunosenesens. Di negara-negara berkembang,
penyebab melemahnya sistem imun yaitu obesitas, penyalahgunaan alkohol, dan
penggunaan obat. Namun, malnutrisi adalah penyebab paling umum yang menyebabkan
imunodefisiensi di negara berkembang. Diet dengan protein yang tidak mencukupi
dikaitkan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibodi IgA, dan produksi sitokin. Selain itu, ketiadaan timus pada usia dini
melalui mutasi genetik atau pengangkatan melalui operasi mengakibatkan
imunodefisiensi yang parah dan kerentanan tinggi terhadap infeksi.
Autoimunitas adalah respons imun terlalu aktif termasuk fungsi imun yang tidak
berfungsi baik sehingga berakhir pada gangguan autoimun. Sistem imun tidak mampu
membedakan dengan tepat antara self dan non-self, sehingga dapat menyerang bagian
dari tubuh. Pada keadaan kondisi yang normal, banyak sel T dan antibodi bereaksi dengan
peptida self. Terdapat sel khusus (terletak di timus dan sumsum tulang) yang menyajikan
limfosit muda dengan antigen self yang dihasilkan pada tubuh dan untuk membunuh sel
yang dianggap antigen self, akhirnya mencegah autoimunitas. Beberapa contoh penyakit
autoimun yaitu artritis rematoid, diabetes melitus tipe 1, penyakit Hashimoto, dan lupus
eritematosus sistemik.
Hipersensitivitas
Reseptor pengenal pola merupakan protein yang digunakan oleh hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang terkait dengan patogen. Peptida
antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner respons imun bawaan
yang ditemukan pada semua jenis hewan dan tumbuhan, serta mewakili bentuk utama
imunitas sistemik invertebrata. Sistem komplemen dan fagositik juga digunakan oleh
hampir semua bentuk kehidupan invertebrata. Ribonuklease dan jalur interferensi RNA
digunakan pada semua eukariot; keduanya diyakini memainkan peran pada respons imun
terhadap virus.
Tidak seperti hewan, tumbuhan tidak memiliki sel fagositik, tetapi kebanyakan
respons imun tumbuhan melibatkan sinyal kimia bersifat sistemik yang dikirim ke seluruh
bagian tumbuhan. Sel-sel tumbuhan merespons molekul yang terkait dengan patogen
yang dikenal sebagai pola molekuler terkait patogen (PAMP). Ketika bagian dari
tumbuhan terinfeksi, tumbuhan menghasilkan respons hipersensitif, yaitu sel di tempat
infeksi mengalami apoptosis dengan cepat untuk mencegah penyebaran penyakit ke
bagian lainnya. Resistensi dapatan sistemik merupakan jenis respons pertahanan yang
digunakan oleh tumbuhan agar resisten terhadap penyebab infeksi.
Mekanisme peredaman RNA sangat penting pada sistem respons sistemik ini karena
dapat menghalangi replikasi virus.
Evolusi sistem imun adaptif terjadi pada nenek moyang vertebrata berahang.
Banyak molekul klasik pada sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T)
hanya dimiliki vertebrata berahang. Namun, molekul berbeda yang berasal
dari limfosit ditemukan pada vertebrata tak berahang primitif, seperti
ikan lamprey dan remang. Hewan tersebut memiliki sejumlah molekul disebut reseptor
limfosit variabel, mirip reseptor antigen pada vertebrata berahang, yang dihasilkan dari
segelintir gen (satu atau dua). Molekul tersebut dipercaya berikatan pada patogen dengan
cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat spesifisitas yang sama.
Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif
adalah lebih rumit. Pendekatan paling sederhana yaitu dengan cepat
mengubah epitop yang tidak esensial (asam amino dan gula) pada permukaannya,
sementara terus menyembunyikan epitop esensial. Proses ini dinamakan variasi
antigenik. Contohnya yaitu HIV, yang bermutasi dengan cepat, sehingga protein
pada selubung virus yang esensial untuk masuk pada sel target secara terus menerus
berubah. Perubahan tersebut bisa jadi adalah sebab gagalnya vaksin yang diarahkan pada
virus tersebut. Parasit Trypanosoma brucei menggunakan strategi yang serupa, selalu
mengubah protein permukaan sehingga selangkah lebih maju dari respons
antibodi. Strategi lainnya yaitu menutup antigen dari molekul inang untuk menghindari
deteksi oleh sistem imun. Pada HIV, selubung yang menutupi virion dibentuk dari
membran paling luar dari sel inang, membuat sistem imun kesulitan untuk
mengidentifikasikan mereka sebagai benda asing.
BAB III
KESIMPULAN
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan
benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh.
Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-19 pada
penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul
Ehrlich mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi
antigen-antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan
penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri
imunologi seluler, Elie Metchnikoff.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas: Fungsi
dan Kelainan Sistem Imun, Edisi Kelima, ELSEVIER, Halaman 15- 18.