Anda di halaman 1dari 2

MENYIHIR OBAT HERBAL MENJADI FITOFARMAKA

Obat herbal atau obat bahan alam dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu, jamu,
OHT (Obat Herbal Terstandar), dan Fitofarmaka. Jamu merupakan sediaan alami dengan bahan
baku tanaman obat dalam bentuk sederhana yang khasiatnya hanya didasarkan pada data empiris
saja. OHT memiliki tingkat yang lebih tinggi dari jamu karena telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya dengan uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas) dan bahan bakunya telah
distandarisasi. Sementara Fitofarmaka lebih tinggi lagi tingkatnya karena selain dibuktikan
keamanan dan khasiatnya dengan uji praklinik juga dengan uji klinik (uji toksisitas, uji
eksperimental pada hewan, uji klinik pada manusia sehat dan manusia yang mengalami penyakit
terkait). Jumlah fitofarmaka di Indonesia sendiri hanya ada 5 yaitu Stimuno (Dexa Medica), X-
Gra (Phapros), Tensigard (Phapros), Rheumaneer (Nyonya mener), dan Nodiar (Kimia Farma).
Padahal jumlah OHT (Obat Herbal Terstandar) mencapai 17 dan golongan jamu mencapai
ribuan, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Fitofarmaka jumlahnya sedikit sekali
sementara kekayaan hayati Indonesia sangat melimpah? Alasannya adalah masalah waktu dan
biaya. Untuk menuju fitofarmaka diperlukan dana fantastis mencapai milyaran bahkan trilyunan
dan dapat memakan waktu lima sampai belasan tahun. Satu alasan lagi yaitu belum populernya
fitofarmaka dan masyarakat belum paham makna penggolongan tingkatan-tingkatan ini.

Ada sebagian masyarakat yang percaya akan kekhasiatan dari jamu. Hal ini dapat terjadi
misal dikarenakan oleh pasien yang sakit parah ketika diberi obat dari dokter tidak kunjung
sembuh tetapi setelah mengkonsumsi jamu justru rasa sakitnya hilang yang kemudian membuat
orang tersebut lebih percaya pada khasiat jamu dibanding obat dari dokter. Sebenarnya terdapat
titik kekhawatiran pada penggunaan jamu karena ramuan, cara pembuatan, penggunaan,
pembuktian khasiat, dan keamanan jamu hanya berdasarkan pengetahuan tradisional. Contoh
sederhananya saja adalah pada proses peramuan, terkadang dalam meracik jamu hanya
berdasarkan ukuran genggaman tangan padahal ukuran genggaman tangan masing-masing orang
berbeda-beda. Namun jamu itu sendiri sebenarnya sangat potensial sebagai salah satu obat yang
dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia, karena sumber hayati Indonesia yang memadai
untuk proses pembuatan jamu sekaligus sebagai media untuk melestarikan dan melindungi aset
bangsa Indonesia (jamu) yang turun-temurun dari nenek moyang. Oleh karenanya jamu harus
ditingkatkan menjadi fitofarmaka yang diuji terlebih dahulu dari segi toksisitas, keamanan, dan
mutunya (uji pra klinik dan uji klinik) agar aman dikonsumsi oleh masyarakat dan tidak ada
kekhawatiran dari masyarakat untuk menkonsumsi jamu atau obat herbal lainnya.

Sediaan fitofarmaka merupakan sediaan obat asal tumbuhan yang bukan lagi menjadi
alternatif dalam pengobatan, tetapi menjadi mitra sejajar obat sintetis dalam sistem layanan
kesehatan formal. Sehingga dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk
menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk
menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah. Hal ini
pula lah yang mendorong para peerancang obat herbal untuk meningkatkan grade obat herbal
menjadi fitofarmaka.

Anda mungkin juga menyukai