1. Pengertian
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis
pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan
percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani,
2001).
Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Brain Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009).
2. Klasifikasi
Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow (SKG).
a. Ringan
b. Sedang
2. Kontusio
5. Kejang.
c. Berat
2. Koma
3. Fraktur depresi kranium
Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi cedera kepala menurut
SKG :
a. Minor
b. Sedang
2. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Berat
Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari :
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala
terbuka yaitu :
1. Komosio
2. Konkusio
c. Perdarahan
Gejalanya :
Gejalanya :
d. Koma
1. Akut
d. Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat
2. Subakut
3. Kronis
a. Ringan
d. Lethargi
f. Disfagia
Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu terdiri dari :
Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%,
hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen
media dan pada umumnya berasal dari arteria.
Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :
Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda yaitu :
1. Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera.
4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.
1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah
cedera awal
2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat
kedalam ruang subdural
3. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma
5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian
6. Hemiparesis
Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri dari
yaitu :
b. Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS)
3. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :
b. Jatuh
c. Peluru
b. Jatuh
4. Patofisiologi
Hiperkapnea
Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah :
b. Kebingungan
d. Pucat
j. Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila
fraktur tulang temporal.
2. Hiperventilasi
3. Apnea
a. Disritmia
b. Fibrilasi
c. Takikardia
1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :
1. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
2. Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah
konjungtiva
6. Laserasi
Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera
kepala adalah :
b. Nausea
a. Kecemasan
b. Iritabilitas
d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial
f. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera
atau secara lambat
6. Komplikasi
b. Perdarahan
c. Kejang
d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap
bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma .
d. X-Ray
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (Mufti, 2009).
Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu terdiri dari :
c. Sinar X
d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
e. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak
h. Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang
8. Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan :
a. Dexamethason/kalmethason
ringannya trauma.
d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%
e. Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole
f. Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya
cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan
h. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam
pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila
kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP)
Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera kepala
(Head Injury) adalah :
c. Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal
e. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi.
c. Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak,
pneumothorak tensif, hemopneuthorak
d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%
e. Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat
(PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh anestesi.
dada
d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
f. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA)
a. Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3
kali bila masih kejang.
b. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-
lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
5. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala
1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2. Konkusio
4. Muntah
5. Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea
cairan CSS).
6. Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1. Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi
anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7.
2. Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat :
cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis,
b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah
(glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3. Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:
b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20
kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea
harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-
6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
Anatomi kepala
a. otak
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang untuk
membungkusnya. Tanpan perlindungan ini, otak yang lembut (yang membantu kita seperti adanya)
akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu neuron yang rusak tidak dapat
lagi di perbaiki.
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak dan serebellum. Batang
otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang
tengkorak, yaitu tulang frontal, parietal, temporal, dan oksipital.
Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian fosa (fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal
serebral bagian hemisfer), bagian fosa tengah (berisi lobus parietal, temporal dan oksipital), dan bagian
fosa posterior (berisi batang otak dan medulla).
b. Serebelum
Serebelum berfungsi dalam fungsi keseimbangan. Secara terus menerus menerima input dari otot,
tendon, sendi dan organ vestibular (keseimbangan) dalam bentuk proprioceptive input (kepekaan
terhadap posisi tubuh yang satu dari yang lainnya). Mengintegrasikan kontraksi otot satu dengan yang
lain, mengatur tonus otot.
c. Serebrum
Serebrum adalah bagian otak terbesar dari otak yang terdiri atas dua hemisfer serebri (hemisphere
serebri) yang terdiri dari korteks yang merupakan substansi abu-abu (gray metter), substansi putih dan
ganglia basalis.
Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan area kontrol motorik terhadap gerakan yang disadari termasuk yang
berkaitan dengan bicara. Selain control motorik lobus frontalis juga berperan dalam kontrol ekspresi
emosi dan perilaku, moral.
Lobus parietalis
Lobus parietalis berperan dalam sensasi umum, selera. Area 1,2,3 (integrasi sensasi secara umum)
5,7,40 (aspresiasi terhadap tekstur, berat, mengenlai bantuk benda yang dipegang). Area 40 memiliki
peran penting dalam body image/gambaran diri. Area 43 (selera dalam hal pengecapan).
Lobus temporalis
Lobus temporalis merupakan pusat pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori. Bagian anterior
lobus ini berperan dalam emosi, halusinasi, memori jangka pendek dari beberapa menit s.d beberapa
minggu atau bulan.
Lobus oksiptalis
Lobus oksipitalis merupakan pusat penglihatan, pengaturan ekspresi.
Insula
Insula berperan dalam pengaturan aktivitas gastrointestinal dan organ visceral lainnya.
Limbik
Limbik berperan dalam pengaturan emosi, perilaku, memori jangka panjang dan penciuman.
d. Batang otak
Memiliki fungsi yang sangat penting termasuk traktus yang sangat panjang esenden. Jaringan dari
badan sel danserabutnya dari formatio retikularis terdapat disini, yang sangat berperan sangat penting
dalam mempertahankan hidup. Seluruh syaraf kranial kecuali olfaktorius dan optikus keluar daari
batang otak.
e. Diencephalon
Talamus
Merupakan pusat prosesing dan relay semua input sensoris kecuali penciuman.Talamus memiliki 4
area utama yaitu sistem sensoris , motoris, aktifitas neoropsikologius dan ekspresi korteks
nserebri.Talamus berkaitan dengan proses berpikir , kreatifitas interpretasi dan pemahaman bahasa
lisan dan tulisan dan genai objek dengan cara menyentuh.
Hipotalamus
Terletak di bawah talamus berdekatan dengan hipofisis mengatur banyak pungsi tubuh untuk
keseimbangan. Merupakan pusat pengaturan dan koordinassi tertinggi dari sistem syaraf
otonom,pengaturan suhu, dan pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
f. Meningen
Meningen atau lapisan pembungkus otak merupakan bagian terluar dari otak. Meningin memiliki
beberapa lapisan yaitu Durameter, Arachnoid dan Piameter.
a) Durameter
Durameter adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medula spinalis. Durameter merupakan
serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak elastis. Funsinya untuk melindungi otak,
menutup sinus sinus vena (yang terdiri atas lapiran durameter dan lapisan endotelial saja tanpa
jaringan vaskuler), membentuk periosteum tabula internal. Bila dura robek dan tidak di perbaiki dengan
sempurna dan di buat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura
adalah sebagai pelindung.
b) Arachnoid
Arachnoid merupakan membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai sarang laba-
laba. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri aliran darah.
c) Piameter
Piameter adalah membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang menutupi otak
dan meluas ke setiap lapisan daerah otak. Membran yang halus dan memiliki banyak pembuluh darah
halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam semua sulkus dan
membungkus semua girus kedua lapisan yang lain hanya menjebatani sulkus.
g. Cairan serebrospinal (CSS)
• Seluruh ruang yang melingkupi otak dan medula spinalis memiliki volume kira-kira 1600-1700 mililiter;
dan sekitar 150 mililier dari volume ini ditempati oleh cairan serebrospinal, dan sisanya oleh otak dan
medula
Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall, hal : 978
• Sairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan bening dan mempunyai berat jenis 1,007. CSS
diproduksai di dalam ventrikel dan bersirkulasi di sekitar otak dan medula spinalis melalui sistem
ventrikular.
Asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Fransisca B. Batticaca hal. 10
• Cairan Serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang mengelilingi otak dan medula spinalis. CSS
bersirkulasi di ruang subaraknoid, dan memberikan perlindungan kepada otak terhadap getaran fisik.
Patofisiologi Elizabeth J. Corwin, hal 224
2.2 Definisi cedera kepala
Yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, percepatan atau perlambatan (acelerasi-deccelerasi) yang merupakan perubahan bentuk.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam. (Asuhan keperawatan pada klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan, Fransisca B. Batticaca, hal. 96)
Cedera Kepala meliputi trauma kulit kepala dan otak
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus melalui durameter) atau tertutup (trauma tumpul),
tanpa penetrasi melalui dura. (KMB Vol 3, Hal 2210 & Patofisiologi Corwin hal 244)
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar. Sebagian masalah merupakan akibat
langsungdari cedera dan banyaklainya terjadi sekunder akibat cedera.cedera kepala juga dapat
menimbulkan gangguan mental dan fisik. (Silvia : 1172)
2.3 Klasifikasi cedera kepala
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian
tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia dibagian dalam.
Didalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior, terletak diantara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk sebuah
kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula
spinalis terhenti setinggi dibawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi
saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan
otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan
dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks
serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan
darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997).
C. Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya.
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
E. Patofisiologi
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan
cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi
merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada
bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-
posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar
pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan
gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif,
reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya
menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena
pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya.
Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya
perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung”
(bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat
menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat
dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang
bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi
kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan
yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling
berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya
proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak.
Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang
bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena
kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Arif Mansjoer, dkk, 2000)
a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-
mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat,
Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi
4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak
mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita
kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena
kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2
perawatan)
c. Temperatur badan: demam (temperatur> 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus
diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab
(antibiotik) diberikan bila perlu.
d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan
dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8
jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala
terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis
penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial
tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%
i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-
3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea.
Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh
lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:
1. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan edema
serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya tidak teratur
sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal
miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke
work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah
jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
2. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan
dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri
kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan
sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan
pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak,
terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein
eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan
edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata.
Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana
ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan
terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada saluran
pernapasan.