Anda di halaman 1dari 41

BAB II

KONSEP DASAR TEORITIS

A.     KONSEP DASAR

1.      Pengertian

Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis
pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan
percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).

Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani,
2001).

Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Brain Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009).  

2.      Klasifikasi

1.      Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG)

Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow (SKG).

a.       Ringan

1.      GCS 14-15

2.      Tidak ada kehilangan kesadaran

3.      Nyeri kepala dan pusing

b.      Sedang

1.      GCS  9-13

2.      Kontusio

3.      Amnesia pasca trauma atau muntah

4.      Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS

5.      Kejang.

c.       Berat

1.      GCS 3-8

2.      Koma
3.      Fraktur depresi kranium

4.      Penurunan derajat kesadaran

Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi cedera kepala menurut
SKG :

a.       Minor

1.      SKG 13-15

2.      Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit

3.      Tidak ada kontusio tengkorak

4.      Tidak ada fraktur serebral

5.      Tidak ada hematoma

b.      Sedang

1.      SKG 9-12

2.      Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

3.      Dapat mengalami fraktur tengkorak

c.       Berat

1.      SKG 3-8

2.      Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam

3.      Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2.      Klasifikasi berdasarkan morfologi

Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari :

a.       Trauma kepala terbuka

Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala
terbuka yaitu :

1.      Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)

2.      Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga)

3.      Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

4.      Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung)

5.      Othorrhoe (liquor keluar dari telinga)

b.      Trauma kepala tertutup

1.      Komosio

a.       Cedera kepala ringan


b.      Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali

c.       Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit

d.      Tanpa kerusakan otak permanen

e.       Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah

f.        Disorientasi sementara

g.       Tidak ada gejala sisa

2.      Konkusio

a.       Ada memar otak

b.      Perdarahan kecil lokal/difusi

c.       Perdarahan

Gejalanya :

a.       Gangguan kesadaran lebih lama

b.      Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv

c.       Gejala TIK meningkat

d.      Amnesia lebih nyata

3.      Hematoma epidural

a.       Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter

b.      Lokasi tersering temporal dan frontale

c.       Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus

Gejalanya :

a.       Adanya desak ruang

b.      Penurunan kesadaran ringan saat kejadian

c.       Penurunan kesadaran hebat

d.      Koma

e.       Nyeri kepala hebat

f.        Reflek patologik positif

4.      Hematoma subdural

a.       Perdarahan antara durameter dan arachnoid

b.      Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis

1.      Akut

a.       Gejala 24-48 jam


b.      Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata

c.       Tekanan intrakranial meningkat

d.      Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat

2.      Subakut

a.       Berkembang 7-10 hari

b.      Konkusio agak lambat

c.       Adanya gejala TIK meningkat

d.      Kesadaran menurun

3.      Kronis

a.       Ringan

b.      Perdarahan kecil terkumpul dan meluas

c.       Sakit kepala

d.      Lethargi

e.       Kacau mental, kejang

f.        Disfagia

5.      Hematoma intrakranial

a.       Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih

b.      Selalu diikuti oleh konkusio

Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu terdiri dari :

1.      Hematoma epidural

Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%,
hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen
media dan pada umumnya berasal dari arteria.

Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :

a.       Periode tidak sadar dalam waktu pendek

b.      Peningkatan tekanan intrakranial

2.      Hematoma subdural

Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural.

Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda yaitu :

a.       Hematoma  subdural akut


1.      Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera

2.      Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi

b.      Hematoma subdural subakut

1.      Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera.

2.      Perdarahan vena pada ruang subdural

3.      Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.

4.      Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.

c.       Hematoma subdural kronik

1.      Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah
cedera awal

2.      Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat
kedalam ruang subdural

3.      Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma

4.      Penderita mengeluh sakit kepala

5.      Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian

6.      Hemiparesis

Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri dari
yaitu :

1.      Fraktur tengkorak

a.       Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi

b.      Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS)

2.      Lesi intrakranial

a.       Fokal  : epidural, subdural, intra serebral

b.      Difus    : konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus

3.      Etiologi

Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :

a.       Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil

b.      Jatuh

c.       Kecelakaan saat olahraga

d.      Anak dengan ketergantungan

e.       Cedera akibat kekerasan


Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari :

a.       Benda tajam

b.      Benda tumpul

c.       Peluru

d.      Kecelakaan lalu lintas

Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu  :

a.       Olah raga

b.      Jatuh

c.       Kecelakaan kenderaan bermotor.

4.      Patofisiologi

Menurut Mufti (2009), patofisiologi Head Injury adalah sebagai berikut :

             Cedera kepala                                              TIK : oedem, hematoma

                                                     Respon biologi     Hypoksemia

                                                                                   Kelainan metabolisme

         Cedera otak primer              Cedera otak skunder


 

           Konkusio serebri                  Kerusakan sel otak

Gangguan   autoregulasi                 Rangsangan simpatis                  Stress


 

Aliran darah keotak                         Tekanan vasikuler                        Katekolamin

                                                         Sistemik dan TD             Sekresi asam lambung

                    O2                                     Tekanan pembuluh              mual, muntah

Gangguam metabolisme                        darah pulmonal                       


 

 Asam laktat                              Tekanan hidrostatik   Asupan nutrisi kurang

           Oedem otak                           Kebocoran cairan kapiler         


 

         Gangguan perfusi                             Oedem paru                        Cardiac output

         jaringan serebral

                                                        Difusi O2 terhambat                Gangguan perfusi

                                                                                                           jaringan

                                                          Gangguan pola nafas                   Hipoksemia,                         

                                                                                                            Hiperkapnea

            

5.      Manifestasi Klinis

Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah :

a.       Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih

b.      Kebingungan

c.       Iritabel (perubahan fungsi)

d.      Pucat

e.       Mual dan muntah

f.        Pusing kepala

g.       Terdapat hematoma


h.       Kecemasan

i.         Sukar untuk dibangunkan

j.        Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila
fraktur tulang temporal.

Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu :

a.       Sistem pernafasan

1.      Chyne stokes

2.      Hiperventilasi

3.      Apnea

4.      Edema paru

b.      Sistem kardiovaskuler

1.      Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel

a.       Disritmia

b.      Fibrilasi

c.       Takikardia

2.      Terjadi kontraktilitas ventrikel

3.      Curah jantung menurun

4.      Meningkatkan tahanan ventrikel kiri

c.       Sistem metabolisme

1.      Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen

2.      Stress fisiologis

d.      Sistem gastrointestinal (GI)

1.      Peningkatan asam lambung

2.      Perdarahan lambung

3.      Katekolamin meningkat

Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :

1.      Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur

2.      Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah
konjungtiva

3.      Memar otak

4.      Battle diatas mastoid


5.      Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan
(rinorhoe) dari hidung

6.      Laserasi

7.      Kontusi otak

Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera
kepala adalah :

1.      Tanda dan gejala fisik :

a.       Nyeri kepala

b.      Nausea

2.      Tanda dan gejala kognitif

a.       Gangguan memori

b.      Gangguan perhatian dan berfikir kompleks

3.      Tanda dan gejala emosional/kepribadian

a.       Kecemasan

b.      Iritabilitas

4.      Gambaran klinis secara umum :

a.       Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran

b.      Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal

c.       Respon pupil mungkin lenyap

d.      Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial

e.       Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK

f.        Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera
atau secara lambat

6.      Komplikasi

Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :

a.       Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)

b.      Perdarahan

c.       Kejang

d.      Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap
bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea)

e.       Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis


7.      Pemeriksaan penunjang

a.       CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak

b.      MRI (magnetig resonan imagin)

Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif

c.       Serebral angiography

Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma .

d.      X-Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema),


fragmen tulang

e.       CSF, lumbal fungsi

Jika diduga perdarahan sub arachnoid

f.        Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

g.      Scree toxicologi

Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran

h.       AGDA (analisa gas darah arteri)

Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (Mufti, 2009).

Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu terdiri dari :

a.      Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning)

b.      MRI (Magnetig Resonan Imagin)

c.       Sinar X

d.      BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak

e.       PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak

f.        Fungsi lumbal, CSS

g.       GDA (gas darah arteri)

h.       Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang

8.      Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan :

a.       Dexamethason/kalmethason

Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat

ringannya trauma.

b.      Therapy hiperventilasi

Untuk mengurangi vasodilatasi

c.       Pemberian analgetika

d.      Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%

e.       Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole

f.        Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya
cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikan makanan lunak.

g.       Pembedahan

h.       Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam
pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila
kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP)

i.         Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen

Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera kepala
(Head Injury) adalah :

a.       Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1.      Menilai jalan nafas

a.       Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan

b.      Lepaskan gigi palsu

c.       Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal

d.      Pasang guedel bila dapat ditolerir

e.       Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi.

2.      Menilai pernafasan

a.       Tentukan pasien bernafas atau tidak

b.      Jika tidak, berikan oksigen melalui masker

c.       Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak,
pneumothorak tensif, hemopneuthorak

d.      Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%
e.       Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat
(PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh anestesi.

3.      Menilai sirkulasi

a.       Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi

b.      Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya

c.       Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau

dada

d.      Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah

e.       Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia

f.        Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA)

g.       Berikan larutan koloid

4.      Obat kejang

a.       Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3
kali bila masih kejang.

b.      Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-
lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

5.      Menilai tingkat keparahan

a.       Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

1.      Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)

2.      Tidak ada kehilangan kesadaran

3.      Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

4.      Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

5.      Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala

b.      Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

1.      Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

2.      Konkusio

3.      Amnesia pasca trauma

4.      Muntah

5.      Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea
cairan CSS).

6.      Kejang
c.       Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

1.      Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)

2.      Penurunan derajat kesadaran secara progresif

3.      Tanda neurologis fokal

4.      Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

b.      Pedoman penatalaksanaan

1.      Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi
anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7.

2.      Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :

a.       Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat :
cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis,

dan larutan ini tidak menambah edema serebri.

b.      Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah
(glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.

3.      Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:       

a.       Elevasi kepala 30o

b.      Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20
kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea
harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.

c.       Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-
6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

d.      Pasang kateter foley

e.       Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
Anatomi kepala
a.       otak

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang untuk
membungkusnya. Tanpan perlindungan ini, otak yang lembut (yang membantu kita seperti adanya)
akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu neuron yang rusak tidak dapat
lagi di perbaiki.
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak dan serebellum. Batang
otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang
tengkorak, yaitu tulang frontal, parietal, temporal, dan oksipital.
 Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian fosa (fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal
serebral bagian hemisfer), bagian fosa tengah (berisi lobus parietal, temporal dan oksipital), dan bagian
fosa posterior (berisi batang otak dan medulla).
b.       Serebelum

Serebelum berfungsi dalam fungsi keseimbangan. Secara terus menerus menerima input dari otot,
tendon, sendi dan organ vestibular (keseimbangan) dalam bentuk proprioceptive input (kepekaan
terhadap posisi tubuh yang satu dari yang lainnya). Mengintegrasikan kontraksi otot satu dengan yang
lain, mengatur tonus otot.

c.       Serebrum
Serebrum adalah bagian otak terbesar dari otak yang terdiri atas dua hemisfer serebri (hemisphere
serebri) yang terdiri dari korteks yang merupakan substansi abu-abu (gray metter), substansi putih dan
ganglia basalis.
         Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan area kontrol motorik terhadap gerakan yang disadari termasuk yang
berkaitan dengan bicara. Selain control motorik lobus frontalis juga berperan dalam kontrol ekspresi
emosi dan perilaku, moral.
         Lobus parietalis
Lobus parietalis berperan dalam sensasi umum, selera. Area 1,2,3 (integrasi sensasi secara umum)
5,7,40 (aspresiasi terhadap tekstur, berat, mengenlai bantuk benda yang dipegang). Area 40 memiliki
peran penting dalam body image/gambaran diri. Area 43 (selera dalam hal pengecapan).
         Lobus temporalis
Lobus temporalis merupakan pusat pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori. Bagian anterior
lobus ini berperan dalam emosi, halusinasi, memori jangka pendek dari beberapa menit s.d beberapa
minggu atau bulan.
         Lobus oksiptalis
Lobus oksipitalis merupakan pusat penglihatan, pengaturan ekspresi.
         Insula
Insula berperan dalam pengaturan aktivitas gastrointestinal dan organ visceral lainnya.
         Limbik
Limbik berperan dalam pengaturan emosi, perilaku, memori jangka panjang dan penciuman.
d.       Batang otak
Memiliki fungsi yang sangat penting termasuk traktus yang sangat panjang esenden. Jaringan dari
badan sel danserabutnya dari formatio retikularis terdapat disini, yang sangat berperan sangat penting
dalam mempertahankan hidup. Seluruh syaraf kranial kecuali olfaktorius dan optikus keluar daari
batang otak.
e.       Diencephalon
         Talamus
Merupakan pusat prosesing dan relay semua input sensoris kecuali penciuman.Talamus memiliki 4
area utama yaitu sistem sensoris , motoris, aktifitas neoropsikologius dan ekspresi korteks
nserebri.Talamus berkaitan dengan proses berpikir , kreatifitas interpretasi dan pemahaman bahasa
lisan dan tulisan  dan genai objek dengan cara menyentuh.
         Hipotalamus
Terletak di bawah talamus berdekatan dengan hipofisis  mengatur banyak pungsi tubuh untuk
keseimbangan. Merupakan pusat pengaturan dan koordinassi tertinggi dari sistem syaraf
otonom,pengaturan suhu, dan pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
f.        Meningen
Meningen atau lapisan pembungkus otak merupakan bagian terluar dari otak. Meningin memiliki
beberapa lapisan yaitu Durameter, Arachnoid dan Piameter.
a)       Durameter

Durameter adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medula spinalis. Durameter merupakan
serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak elastis. Funsinya untuk melindungi otak,
menutup sinus sinus vena (yang terdiri atas lapiran durameter dan lapisan endotelial saja tanpa
jaringan vaskuler), membentuk periosteum tabula internal. Bila dura robek dan tidak di perbaiki dengan
sempurna dan di buat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura
adalah sebagai pelindung.

b)       Arachnoid
Arachnoid merupakan membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai sarang laba-
laba. Membran ini berwarna putih karena  tidak dialiri aliran darah.
c)       Piameter
Piameter adalah membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang menutupi otak
dan meluas ke setiap lapisan daerah otak. Membran yang halus dan memiliki banyak pembuluh darah
halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam semua sulkus dan
membungkus semua girus kedua lapisan yang lain hanya menjebatani sulkus.
g.       Cairan serebrospinal (CSS)
•      Seluruh ruang yang melingkupi otak dan medula spinalis memiliki volume kira-kira 1600-1700 mililiter;
dan sekitar 150 mililier dari volume ini ditempati oleh cairan serebrospinal, dan sisanya oleh otak dan
medula
Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall, hal : 978
•      Sairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan bening dan mempunyai berat jenis 1,007. CSS
diproduksai di dalam ventrikel dan bersirkulasi di sekitar otak dan medula spinalis melalui sistem
ventrikular.
Asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Fransisca B. Batticaca hal. 10
•      Cairan Serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang mengelilingi otak dan medula spinalis. CSS
bersirkulasi di ruang subaraknoid, dan memberikan perlindungan kepada otak terhadap getaran fisik.
Patofisiologi Elizabeth J. Corwin, hal 224
2.2 Definisi cedera kepala
Yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, percepatan atau perlambatan (acelerasi-deccelerasi) yang merupakan perubahan bentuk.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam. (Asuhan keperawatan pada klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan, Fransisca B. Batticaca, hal. 96)
Cedera Kepala meliputi trauma kulit kepala dan otak
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus melalui durameter) atau tertutup (trauma tumpul),
tanpa penetrasi melalui dura. (KMB Vol 3, Hal 2210 & Patofisiologi Corwin hal 244)
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar. Sebagian masalah merupakan akibat
langsungdari cedera dan banyaklainya terjadi sekunder akibat cedera.cedera kepala juga dapat
menimbulkan gangguan mental dan fisik.  (Silvia : 1172)
2.3 Klasifikasi cedera kepala

1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter

•      Trauma tumpul :


- kecepatan tinggi  : (kecelakaan/tabrakan)
- kecepatan rendah : (terjatuh, dipukul)
•      Trauma tembus : luka tembus peluru dll.
2.        Keparahan cedera
•      Ringan: (glasglow coma scale,GCS) 13-15
Pasien dengan riwayat cedera kepala ringan  dan skor CGS 15 seringkali tidak terdiagnosa .paien
biasanya bingung saat kejadian , dan kebingungan terus menerus setelah cedera. Tidak terdapat
neoroligik khas untuk cedera kepala yang lebih berat dan tidak ada fraktur.Sebagian besar pasien
sembuh dari konkusio tanpa gejala sisi yang serius.
•      Sedang : GCS 9-12
Kelemahan pada salah satu tubuh (fraktur) yang di sertai kebingungan bahkan terjadi sampai
koma,gangguan kesadaran,abnormalitas pupil,awitan tiba’’ defisit neorologik,perubahan tanda-tanda
vital gangguan penglihatan dan pendengaran,dispungsi sensorik,kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguam pendengaran.Nilai GCS 9-12  kehilangan kesadaran 30 menit- 24 jam dan dapat mengalami
fraktur tengkorak.
•      Berat : GCS 3-8
Nilai CGS 3-8 hilang kesadaran lebih dari 24 jam meliputi konstusio serebral,laseral, hematoma dan
edema serebral.Anemia dan tiadak dapat mengingat sesaat sebelum dan sesudah kejadian pupil tidak
adekuat , pemeriksaan motorik tidak akual, adanya fraktur tengkorak dan penurunan neorologik
3.       Morfologi
•      Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang
dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT
Scan untuk memperjelas garis frakturnya.

•      Lesi intrakanial


Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi
bersamaan.
2.4 Jenis cedera kepala
1.       Cedera kulit kepala
Luka kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan
abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2.       Fraktur tengkorak
Rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa
kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dampak menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka atau tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak, dan
fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
3.       Cedera otak
Cedera otak serius dapat terjai dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cedera pada
kepala yang maniumbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak.
4.       Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah
periode tidak sadarkan diri selama beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus
frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus
temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi.
5.       Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi.
Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul lebih khas. Pasien terbaring
kehilangan gerakan; denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi
defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan untuk bangun tetapi segera masuk
kembali ke dalam keadaan tidak sadar. Tekanan darah dan suhu subnormal dan gambaran sama
dengan syok.
6.       Hemoragik intrakranial
a.       Hematoma epidural (hematoma ekstradural atau hemoragik)
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan dura.
Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal
tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis menuju bagian tipis tulang temporal; hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak.
b.       Hematoma subdural
Pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh
cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan
yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat
putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural.
c.       Hemoragik intraserebral dan hematoma
Perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana
tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak; cedera tumpul).
(Asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Fransisca B. Batticaca hal.
96-100 & KMB Vol 3 : 2210.
2.5 Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah:
a.       Kecelakaan mobil
b.      Perkelahian
c.       Jatuh
d.      Cedera olahraga
e.       Cedera kepala terbuka : peluru atau pisau
Patofisiologi Elizabeth J. Corwin hal 244
2.6  Gambaran klinis
a.       Pada gegar otak, kesadaran sering kali menurun
b.      Pola napas dapat menjadi abnormal secara progresif
c.       Respon pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi
d.      Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan intrakranial
e.       Muntah dapat terjadi akibat peningkatan intra kranial
f.       Perubahan prilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbixcara dapat terjadi dengan segera
atau secara lambat.
g.      Amnesia yang berhubungan dengan ini biasa terjadi
Patofisiologi J. Corwin hal 264
2.7  Perangkat diagnostik
•      Radiograf
Radiograf dapatmengidentifikasi lokasi fraktur atau perdarahan atau bekuan darah yang terjadi.
•      CT Scan atau MRI dapat dengan tepat menentukan letak dan luas cedera.
•      MRI adalah perangkat yang lebih sensitif dan akurat, dapat mendiagnosis cedera akson difus, namun
mahal dan kurang dapat diakses di sebagian besar fasilitas.
•      Angiografi serebral dapat juga di gunakan dan megambarkan adanya hematom supratentorial,
ekstraserebral, dan intraserebral serta kontuison serebral.
2.8  Penatalaksanaan medis
a.       Gegar otak ringan dan sedang biasanya di terapi dengan observasi dan tirah baring
b.      Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah melalui pembedahan dan evakuasi hematoma
c.       Mungkin di perlukan debridement melalui pembedahan (pengeluaran benda asing dan sel yang mati),
terutama pada cedera kepala terbuka
d.      Dekompresi melalui pengeboran lubang di dalam otak, yang disebut burr hole, mungkin diperlukan
e.       Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanis
f.       Antibiotik diperlukan untuk cedera kepala terbuka guna mencegah infeksi
g.      Metode untuk menurunkan tekanan intra kranial dapat mencakup pemberian diuretik dan obat anti-
imflamasi
Patofisiologi, Elizabeth J. Corwin, hal 246
2.9      Penatalaksanaan Diet
Pasien cedera kepala mengalami malnutrisi akut karena hipermetabolisme yang persisten,
yang mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya kegagalan multi organ (MOF) yang
berhubungan dengan infeksi nosokomial. Pada pasien-pasien dengan stroke ataupun post operasi
otak, fungsi usus halus masih baik, tetapi oleh karena pengaruh sistem neurohormonal, maka sering
terjadi perlambatan pengosongan isi lambung dan colon.
Dukungan nutrisi secara dini pada pasien-pasien stroke dan paska bedah otak melalui jalur
enteral, dapat mencegah katabolisme, mengurangi terjadinya komplikasi dan mengurangi lama
perawatan di Rumah Sakit. Dianjurkan dilakukan pada 48-72 jam pertama  pada pasien-pasien ini.
Keuntungan nutrisi enteral adalah :
         Pemberian dini makanan enteral pada pasien trauma akan meningkatkan outcome pasien
         Cost efective
         Komplikasi dari pemasangan vena sentral berkurang
2.10  Komplikasi
•      Perdarahan di dalam otak (hematoma intraserebral) dapat menyertai cedera kepala tertutup yang berat,
atau lebih sering cedera kepala terbuka.
•      Perubahan prilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada. (patofisiologi
Elizabeth J. Corwin : 246)
•      Kebocoran cairan serebrospinal dpt disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6%
pasien dengan cedera kepala tertutup.
•      Edema serebral dan herniasi
•      Kejang pasca trauma dapat terjadi dalam 24 jam pertama ,minggu pertama atau lanjut setelah satu
minggu.insiden keseluruhan epilepsi pasca trauma lanjut berulang setelah cedera kepala tertutup
adalah 5%,resiko mendekati 20% pada pasien dengan pendarahan intrakanial .
•      Defisit neurologik (afasia, defek memori,& kejang postraumatik atau epilepsi) dan psikologik(emosil labil,
tidak punya malu, prilaku agresif)
•      Fistel karotis-karvenosus ditandai oleh trias gejala : eksolftalmos, kemosis dan bruit orbita dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera.
•      Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tengkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon antidiuretik. (Kapita Selekta kedokteran jilid  2;7, KMB 3; 2215-2216)
BAB I
LATAR BELAKANG
PENDAHULUAN
A.    Pengertian
1.      Cedera Kepala (Head Injury)
Menurut Satya Negara (1998) cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan dikepala
yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
Trauma kepala adalah trauma yang disebabkan oleh kekuatan fisik eksternal yang dapat
menimbulkan atau merubah tingkat kesadaran. Hal tersebut dapat berupa kerusakan atau
gangguan kegiatan sehari-hari (Ignatavicius, Donna D. 1995)
Cedera kepala sedang (Moderat Head Injury) Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturned atau stupor. Gejala
lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.
2.      Epidural Hematoma
Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara lapisan dura
mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma adalah arteri
meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus venosus dura. Perdarahan
ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien dengan epidural hematom akan
mengalami kesadaran menurun yang berlangsung singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid
interval. Interval ini kemudian diikuti dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien
dengan perdarahan epidural membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf.
Epidural hematom akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari
lesi ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak.
3.      Contusio Cerebral (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil atau petechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler. Hal ini bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang akan
menimbulkan edema jaringan otak didaerah sekitarnya. Bila daerah yang mengalami edema
cukup luas akan terjadi peningkatan tekanan intracranial.

4.      Fraktur Cervical


Merupakan fraktur yang terjadi pada tulang vertebra cervical (C1 – C7), penyebab terbesar
fraktur cervical adalah kecelakaan lalu lintas serta kecelakaan saat olah raga. Fraktur cervical
bisa disertai dengan kerusakan medula spinalis (sum-sum tulang belakang) yang dapat
menimbulkan paralysis sebagian atau keseluruhan atau bahkan kematian.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Moderate Head Injury + Epidural
Hematoma minimal a/r Fronto Parietal sinistra + Contusio Cerebral + Fraktur Cervical C1
& C5 ialah terjadinya cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 12, disertai dengan sedikit
akumulasi darah dan gumpalan darah antara lapisan dura mater dan tulang tengkorak yang
biasanya bersumber dari arteri meningea atau sinus venosus dura di area fronto parietal
bagian kiri, juga disertai dengan perdarahan kecil atau petechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapileryang biasanya disertai dengan rusaknya jaringan saraf atau
otak yang akan menimbulkan edema jaringan otak didaerah sekitarnya, serta terjadinya
kerusakan pada tulang vertebra bagian cervical segmen C1 dan C5.

B.     Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak
didalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut
tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit
kepala yang mengandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens
(selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998)
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
a.      Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas
rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis
media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1.      Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis. Lobus ini
terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter termasuk
fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika.
Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area
Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari
emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998)
2        Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco oksipitalis.
Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana selanjutnya
akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan
eksternal. (Satyanegara, 1998)
3        Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan didepan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori.
4        Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari serebrum, lobus oksipitalis sangat
penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
a)      mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b)      pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan memori
c)      pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
b.      Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak.
Batang otak terdiri dari:
1)      Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon:
a)      Vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah.
b)      Respiratori, membantu proses persyarafan.
c)      Mengontrol kegiatan reflek.
d)     Membantu pekerjaan jantung.
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi
susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi
sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi,
pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan
integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman. Thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998)
2)      Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2
disebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 disebelah bawah disebut korpus
quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral dibagian medial. Serat-
serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a)      Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.
b)      Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
3)      Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan
serebelum, terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula oblongota, disini
terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi dari pons varoli
terdiri dari:
a)      Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan
serebelum.
b)      Pusat syaraf nervus trigeminus.
4)      Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis keatas dan bagian atas medula oblongata disebut
kanalis sentralis didaerah tengah bagian ventral medula oblongata. Fungsi medula oblongata
merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
a)      Mengontrol pekerjaan jantung.
b)      Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor).
c)      Pusat pernafasan (respiratory centre).
d)     Mengontrol kegiatan reflek.

Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a.       Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian
tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia dibagian dalam.
Didalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior, terletak diantara kedua hemisfer otak.
b.      Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk sebuah
kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula
spinalis terhenti setinggi dibawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi
saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan
otak yang disebut pungsi lumbal.
c.       Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan
dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks
serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan
darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997).

C.     Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a.       Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya.
b.      Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.

D.    Klasifikasi Cedera Kepala


a.       Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut:
1)      Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami
kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol
atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat
menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
2)      Cedera kepala sedang (moderat HI)
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat
kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma,
konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya
terdapat kejang.
3)      Cedera kepala berat (severe HI)
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma.
Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi
kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
b.      Klasifikasi perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala adalah sebagai
berikut:
1)      Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan
duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini
berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara
duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi
karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas,
disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran
sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala
klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke
sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah
frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya
somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena
proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada
perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
2)      Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi
perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering terjadi
pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
a)      Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis:
sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan
darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan
peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi
ipsilateral pupil.
b)      Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal
untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada
hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut dan subakut
tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
c)      Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya perdarahan kecil
memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin tidak
terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan
terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami
cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.
Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak
secara abnormal dengan sekuela negatif.
3)      Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala
dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera
tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang
menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali
vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan
menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan.

E.     Patofisiologi
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan
cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi
merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada
bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-
posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar
pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan
gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif,
reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya
menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena
pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya.
Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya
perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung”
(bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat
menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat
dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang
bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi
kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan
yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling
berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya
proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak.
Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang
bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena
kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.

F.      Manifestasi Klinis


Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1.     Gangguan kesadaran
2.     Konfusi
3.     Abnormalitas pupil
4.     Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
5.     Perubahan TTV
6.     Gangguan pergerakan
7.     Gangguan penglihatan dan pendengaran
8.     Disfungsi sensori
9.     Kejang otot
10. Sakit kepala
11. Vertigo
12. Kejang
13. Pucat
14. Mual dan muntah
15. Pusing kepala
16. Terdapat hematoma
17. Kecemasan
18. Sukar untuk dibangunkan
19. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Arif Mansjoer, dkk, 2000)
a.       Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-
mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat,
Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi
4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak
mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita
kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena
kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b.      Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2
perawatan)
c.       Temperatur badan: demam (temperatur> 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus
diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab
(antibiotik) diberikan bila perlu.
d.      Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan
dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e.       Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8
jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f.       Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala
terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis
penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial
tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g.      Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h.      Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%
i.        Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-
3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j.        Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k.      Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea.
Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh
lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:
1.      Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan edema
serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya tidak teratur
sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal
miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke
work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah
jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
2.      Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan
dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri
kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan
sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan
pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak,
terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein
eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan
edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata.
Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana
ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan
terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada saluran
pernapasan.

3.      Sistem pencernaan


Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy pada hari
pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah trauma
kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus
gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang
anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas terjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang
mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan
perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual
dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala ditandai
dengan muntah yang seringkali proyektil.
4.      Sistem endokrin dan perkemihan
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi natrium
dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan karena adanya stimulus
terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada
pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis
atau hipotalamus atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus.
Pada keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada pada
darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi. Pada klien dengan
penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine karena lemahnya kontrol otot
spinkter uretra eksterna.
5.      Sistem musculoskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan
penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan
penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi seperti peningkatan spastisitas
dan kontraktur. klien dengan penurunan kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan
tangannya yang tidak terkontrol.
6.      Sistem integument
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila penyembuhan
luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor, kalor dan fungsiolesa dan
bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit selain itu juga dapat terjadi
peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat.
Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
1.      Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal,
pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka
pasien harus diintubasi.
2.      Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak,
beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera
dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter
nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95 %. Jika jalan napas
pasien tidak terlindung bahkan terancam, maka pasien harus segera diintubasi serta
diventilasi oleh ahli anestersi.
3.      Menilai sirkulasi:  otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen atau dada.
Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG
bila tersedia.pasang jalur intravena yang bessar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah
perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan AGD arteri. Berikan larutan koloid.
4.      Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
5.      Menilai tingkat/ klasifikasi keparahan cedera
G.    Pedoman Penatalaksanaan
1.      Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2.      pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
  pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat:
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan
larutan ini tidak menambah edema serebri.
  Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu
3.   Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan
dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera
kepala ringan, sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
  Hematoma epidural
  Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
  Kontusio dan perdarahan jaringan otak
  Edema serebri
  Obliterasi sisterna perimesenfalik
  Pergeseran garis tengah
  Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4.   Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:
  Elevasi kepala 30°
  Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
  Pasang kateter Foley
  Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar,
hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1.      Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
  Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
  Foto servikal jelas normal
  Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2.      Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri
kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3.      Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah
terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seorang yang
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan
otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi
setelah cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga
terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
1.      Mempertahankan oksigenasi adekuat.
2.      Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
3.      Hiperventilasi
4.      Penggunaan steroid
5.      Meninggikan kepala tempat tidur
6.      Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1.      Ventilasi
2.      Pencegahan kejang dengan antikonvulson
3.      Pemeliharaan cairan dan elektrolit
4.      Keseimbangan nutrisi
5.      Mempertahankan jalan nafas.

G.    Komplikasi dari trauma kepal


1.      Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah
otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa
tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang
mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2.      Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera
pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut
karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari
fungsi bahasa.
3.      Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan
pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang
mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4.      Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah
benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda
tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik
atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan
menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus
parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada
pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5.      Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum
dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa
yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya
berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya
cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa
bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia
menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi
secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa
juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia
yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang
berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff
juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6.      Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7.      Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian
sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer,
menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8.      Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu
minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan.
9.      Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari
pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini
memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih
controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis
berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10.  Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK,  Puncak edema terjadi 72 Jam setelah cedera.
Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya
peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus& cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan
perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah /
lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak
posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran,
TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11.  Defisit Neurologis dan PsikologisTanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK
kesadaran, Nyeri kepala hebat, Mual / muntah  proyektil (tanda dari peningkatanTIK).

Anda mungkin juga menyukai