Anda di halaman 1dari 91

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

“ KONSEP SEHAT-SAKIT JIWA“

DISUSUN OLEH:
Kelompok 3

1. Justitia Intan M NPM. 1906428


2. Maharani Indah NPM. 1906428
3. Nisrina Ulfah NPM. 1906428455
4. Paulus Mandiara NPM. 1906428474
5. Rosalina NPM. 1906428505
6. Juju Juariyah NPM. 1906428

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2019 / 2020
BAB I

Editan Bu Juju belum Dimasukin


BAB II

Editan Indah belum dimasukin

C. Rentang Sehat Sakit Jiwa

Townsend (2009) mendefinisikan kondisi sehat jiwa ialah kondisi


dimana individu dapat beradaptasi terhadap stresor internal dan eksternal
yang dibuktikann dengan pikiran, perasaan, dan perilaku yang sesuai dengan
norma budaya lokal. Sedangkan sakit/gangguan jiwa ialah respon
maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang
dibuktikan dengan pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma budaya lokal dan berpengaruh terhadap sosialisasi, pekerjaan
maupun fisik seseorang.

Ada berbagai pendapat tentang jiwa yang sehat, yaitu karena tidak
sakit, tidak jatuh sakit akibat stressor, sesuai dengan kapasitasnya dan
selaras dengan lingkungan, dan mampu tumbuh berkembang secara positif
(Notosoedirjo dan Latipun, 2005).

1. Sehat jiwa karena tidak mengalami gangguan jiwa Kalangan klinisi


klasik menekankan bahwa orang yang sehat jiwa adalah orang yang
tahan terhadap sakit jiwa, dan terbebas dari gangguan jiwa. Orang
yang mengalami neurosa atau psikosa dianggap tidak sehat jiwa.
Vaillant, 1976 dalam Notosoedirjo, 2005 menyatakan bahwa sehat
jiwa itu “ as the presence of successful adjustment or the absence of
psychopatology (dysfunction in psychological, emotional, behavioral,
and social spheres)”. Pengertian diatas bersifat dikotomis, bahwa
orang itu dalam keadaan sehat jika tidak ada sedikitpun gangguan
psikis, dan sakit jika ada gangguan. Dengan kata lain, sehat dan sakit
itu bersifat nominal.

2. Sehat jiwa jika tidak sakit akibat adanya stressor Clausen memberi
batasan yang berbeda dengan klinisi klasik. Orang yang sehat jiwa
adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh akibat
stressor. Meskipun mengalami tekanan, orang tetap sehat. Pengertian
ini menekankan pada kemampuan individual merespon
lingkungannya. Setiap orang mempunyai kerentanan (susceptibility)
yang berbeda terhadap stressor karena factor genetic, proses belajar,
dan budaya. Selain itu terdapat perbedaan intensitas stressor yang
diterima seseorang, sehingga sangat sulit menilai apakah dia tahan
terhadap stressor atau tidak.

3. Sehat jiwa jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan


lingkungan Michael dan Kirk Patrick memandang bahwa individu
yang sehat jiwa jika terbebas dari gejala psikiatris dan berfungsi
optimal dalam lingkungan sosialnya. Seseorang yang sehat jiwanya
jika sesuai dengan kapsitas diri sendiri, dan dapat hidup selaras
dengan lingkungannya.

4. Sehat jiwa karena tumbuh dan berkembang secara positif Frank LK


mengemukakan pengertian kesehatan jiwa lebih komprehensif. Orang
yang sehat jiwa mampu tumbuh, berkembang dan matang dalam
hidupnya, menerima tanggungjawab, menemukan penyesuaian dalam
berpartisipasi memelihara aturan social dan tindakan dalam
budayanya.

The World Health Organization mendefinisikan kesehatan sebagai


kondisi kesehatan fisik, mental, dan sosial yang lengkap, bukan hanya tidak
adanya penyakit atau kelemahan. Definisi ini menekankan kesehatan
sebagai kondisi kesejahteraan yang positif. Orang-orang dalam keadaan
emosional, fisik, dan sosial memenuhi tanggung jawab hidup, berfungsi
secara efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan
interpersonal mereka dan diri mereka sendiri. Tidak ada definisi universal
tentang kesehatan mental. Secara umum, perilaku seseorang dapat
memberikan petunjuk bagi kesehatan mentalnya. Karena setiap orang dapat
memiliki pandangan atau interpretasi perilaku yang berbeda (tergantung
pada nilai-nilai dan kepercayaannya), penentuan kesehatan mental mungkin
sulit. Dalam kebanyakan kasus, kesehatan mental adalah keadaan kesehatan
emosional, psikologis, dan sosial yang dibuktikan dengan memuaskan
hubungan interpersonal, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri
positif, dan stabilitas emosional. Kesehatan mental memiliki banyak
komponen, dan berbagai faktor mempengaruhinya. Faktor-faktor ini
berinteraksi; dengan demikian, kesehatan mental seseorang adalah keadaan
yang dinamis, atau selalu berubah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan mental seseorang dapat dikategorikan sebagai individu,
antarpribadi, dan sosial / budaya. Faktor-faktor individu, atau pribadi,
termasuk susunan biologis seseorang, otonomi dan kemandirian, harga diri,
kapasitas untuk pertumbuhan, vitalitas, kemampuan untuk menemukan
makna dalam hidup, ketahanan atau ketangguhan emosional, rasa memiliki,
orientasi realitas, dan koping atau manajemen stres kemampuan. Faktor
interpersonal, atau hubungan, termasuk komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk membantu orang lain, keintiman, dan keseimbangan
keterpisahan dan keterhubungan. Faktor sosial / budaya, atau lingkungan,
termasuk rasa kebersamaan, akses ke sumber daya yang memadai,
intoleransi terhadap kekerasan, dukungan keanekaragaman di antara orang-
orang, penguasaan lingkungan, dan pandangan dunia yang positif namun
realistis. Seseorang yang sehat mental menurut WHO mempunyai ciri
sebagai berikut:

1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan


2. Memperoleh kepuasan dari usahanya
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4. Saling tolong menolong dan saling memuaskan
5. Menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang
6. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif
7. Mempunyai kasih sayang.

Kriteria Sehat Jiwa menurut M. Jahoda :


1. Sikap positif terhadap diri Menerima diri apa adanya, sadar diri,
obyektif, dan merasa berarti.
2. Tumbuh, kembang dan aktualisasi Berfungsi optimal dan adaptif
3. Integrasi Keseimbangan antara ekspresi dan represi, ego yang kuat
(Stress dan koping) dan mampu menyeimbangkan konflik dan
dorongan.
4. Otonomi Tergantung dan mandiri seimbang, tanggung jawab terhadap
diri sendiri, menghargai otonomi oranglain, persepsi reality, mau
berubah sesuai dengan pengetahuan baru, empati dan menghargai
sikap dan perasaan orang lain.
5. Environment Mastery Mampu untuk sukses, adaptif terhadap
lingkungan, dan dapat mengatasi kesepian, agresi dan frustasi.

Abraham Maslow mengkriteriakan seseorang yang sehat jiwa


memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas, serta menerima diri sendiri,
oranglain, dan lingkungan. Bersikap spontan, sederhana dan wajar (Rasmun,
2001). Manifestasi jiwa yang sehat menurut Maslow dan Mittlement, 1963;
Notosoedirjo, 2005, jika seseorang mampu self-actualization sebagai
puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan. Secara lengkap criteria
sehat jiwa menurut Maslow sebagai berikut :

1. Adequate feeling of security


Rasa aman yang memadai dalam hubungannya dengan
pekerjaan, social, dan keluarganya.

2. Adequate self-evaluation
Kemampuan menilai diri sendiri yang cukup mencakup harga
diri yang memadai, memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang
tidak diganggu rasa bersalah berlebihan, dan mampu mengenal
beberapa hal secara social dan personal dapat diterima oleh
masyarakat.

3. Adequate spontanity and emotionality


Memiliki spontanitas dan perasaan yang cukup dengan orang
lain dengan membentuk ikatan emosional secara kuat, seperti
persahabatan dan cinta, kemampuan memberi ekspresi yang cukup
pada ketidaksukaan tanpa kehilangan control, kemampuan memahami
dan membagi rasa kepada oranglain, kemampuan menyenangi diri
sendiri dan tertawa.

4. Efficient contact with reality


Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas yang mencakup
tiga aspek yaitu dunia fisik, social, dan internal atau diri sendiri. Hal
ini ditandai dengan tiadanya fantasi yang berlebihan, mempunyai
pandangan yang realities dan luas terhadap dunia, disertai kemampuan
menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, dan kemampuan untuk
berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi.

5. Adequate bodily desire and ability to gratify them


Keinginan jasmani yang cukup dan kemampuan untuk
memuaskan, yang ditandai dengan sikap yang sehat terhadap fungsi
jasmani, kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia
fisik seperti makan, tidur, pulih kembali dari kelelahan. Kehidupan
seksual yang wajar tanpa rasa takut dan konflik, kemampuan bekerja,
dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.

6. Adequate self-knowledge
Mempunyai pengetahuan diri yang cukup tentag motif,
keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan,
perasaan rendah diri, dan sebagainya. Penilaian diri yang realities
terhadap kelebihan dan kekurangan diri.

7. Integration and concistency of personality


Memiliki kepribadian yang utuh dan konsisten seperti cukup
baik perkembangan, kepandaian berminat dalam beberapa aktifitas,
memiliki moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan
kelompok, mampu berkonsentrasi, dan tidak adanya konflikkonflik
besar dalam kepribadiannya.
8. Adequate life goal
Memiliki tujuan hidup yang sesuai dan dapat dicapai,
mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan, serta tujuan
itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

9. Ability to learn from experience


Kemampuan untuk belajar dari pengalaman yang berkaitan tidak
hanya dengan pengetahuan dan ketrampilan saja, tetapi juga elastisitas
dan kemauan untuk menerima segala sesuatu yang menyenangkan
maupun menyakitkan.

10. Ability to satisfaction the requirements of the group


Kemampuan memuaskan tuntutan dari kelompok dengan cara
individu tidak terlalu menyerupai anggota kelompok lain yang
dianggap lebih penting, terinformasi dan menerima cara yang berlaku
dalam kelompok, berkemauan dan dapat menghambat dorongan yang
dilarang oleh kelompok, dapat menunjukkan usaha yang mendasar
yang diharapkan oleh kelompok, seperti ambisi, ketepatan,
persahabatan, rasa tanggungjawab, kesetiaan dan sebagainya.

11. Adequate emancipation from the group or culture


Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau
budaya, seperti menganggap sesuatu itu baik dan yang lain jelek,
bergantung dari pandangan kelompok, tidak ada kebutuhan untuk
membujuk, mendorong, atau menyetujui kelompok, dan memiliki
toleransi terhadap perbedaan budaya.

Keadaan sehat atau sakit jiwa dapat dinilai dari keefektifan fungsi
perilaku, yaitu:
1. Bagaimana prestasi kerja yang ditampilkan, baik prosesnya maupun
hasil.
2. Bagaimana hubungan interpersonal di lingkungan individu berada.
3. Bagaimana individu menggunakan waktu senggangnya. Individu yang
sehat jiwa dapat menggunakan waktunya untuk hal-hal yang produktif
dan positif bagi dirinya dan lingkungannya.

Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan


fungsi jiwa dan sanggup menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu
diri. Orang yang sehat jiwa berarti mempunyai kemampuan menyesuaikan
diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Manusia
terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain dan saling mempengaruhi.

A. Konsep Sehat Jiwa


1. Definisi
Kesehatan mental dan penyakit mental sulit untuk diartikan secara
tepat. Orang yang dapat menjalankan perannya dalam masyarakat dan yang
perilakunya sesuai dan adaptif dipandang sebagai orang yang sehat
(Videbeck, 2017). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, kesehatan ialah
kondisi kesehatan fisik, mental, dan sosial yang lengkap, bukan hanya tidak
adanya penyakit atau kelemahan. Diartikan dengan menekankan kesehatan
sebagai kondisi kesejahteraan yang positif. Orang-orang yang dalam
keadaan emosional, fisik, dan sosial memenuhi tanggung jawab hidup,
berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan
hubungan interpersonal mereka dan diri mereka sendiri (Stuart, 2009).
Tidak ada definisi secara universal tentang kesehatan mental. Secara
umum, perilaku seseorang dapat memberikan petunjuk bagi kesehatan
mentalnya. Karena pada setiap orang dapat memiliki pandangan atau
interpretasi perilaku yang berbeda (tergantung pada nilai-nilai dan
kepercayaannya), penentuan kesehatan mental mungkin sulit. Di
kebanyakan kasus, kesehatan mental adalah keadaan kesehatan emosional,
psikologis, dan sosial yang dibuktikan dengan memuaskan hubungan
interpersonal, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri positif, dan
stabilitas emosi (Videbeck, 2017).
Menurut Black dan Andreasen (2011), kesehatan mental sebagai
“keadaan yang relatif daripada absolut. Keberhasilan kinerja fungsi mental
ditunjukkan oleh aktivitas produktif, memenuhi hubungan dengan orang
lain, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan untuk
mengatasi kesulitan ” (Townsend, 2014). Sedangkan Townsend (2012)
memberikan pengertian kesehatan mental sebagai "adaptasi yang berhasil
terhadap stresor dari lingkungan internal atau eksternal, dibuktikan oleh
pikiran, perasaan, dan perilaku yang sesuai usia dan sesuai dengan norma-
norma lokal dan budaya (Townsend & Morgan, 2018).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat merupakan dalam
keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh serta bagian-bagiannya. Bugar
dan nyaman adalah relatif, karena bersifat subjektif sesuai orang yang
mendefinisikan dan merasakan. Jiwa yang sehat sulit untuk dijelaskan
dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa indikator untuk menilai
kesehatan jiwa. Seorang Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat
jiwanya ialah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri
pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan
bahagia (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati, 2015). Michael Kirk Patrick
mendefinisikan orang dengan sehat jiwa merupakan orang yang bebas dari
gejala gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada
padanya. lausen mengatakan bahwa orang dengan sehat jiwa ialah orang
yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai stresor, serta
dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya,
kepercayaan, agama, dan sebagainya.
Menurut WHO ( organisasi kesehatan dunia) pada tahun 2005,
kesehatan mental adalah keadaan psikologis dan kesejahteraan emosional.
Individu yang sehat secara mental:
a. Berusaha mencapai keseimbangan dalam bidang fisik, emosi, sosial,
dan spiritual
b. Mampu mengatasi tekanan normal dalam kehidupan dan berfungsi
secara produktif untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan
masyarakat (mosack, 2011)

Kesehatan mental merupakan keadaan positif di mana seseorang


bertanggung jawab, menunjukkan kesadaran diri, mengarahkan diri sendiri,
bebas dari rasa khawatir, dan dapat mengatasi perasaan ketegangan harian
yang terjadi (Shives, 2012). Orang-orang semacam itu berfungsi baik dalam
masyarakat, diterima dalam suatu kelompok, dan umumnya merasa puas
dengan kehidupannya. Definisi lain mengacu pada kemampuan dalam
memecahkan masalah, memenuhi kapasitas seseorang untuk cinta dan
pekerjaan, mengatasi krisis dan ketegangan tanpa bantuan di luar dukungan
keluarga atau teman, serta mempertahankan keadaan kesejahteraan dengan
menikmati hidup, menetapkan tujuan dan batasan realistis, dan menjadi
mandiri, saling tergantung, atau tergantung pada orang lain ketika
kebutuhan muncul tanpa menghilangkan kemandirian seseorang.

B. Konsep Sakit Jiwa


1. Definisi
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu
atau lebih fungsi penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik,
perilaku, biologik, gaangguan tersebut mempengaruhi hubungan antara
dirinya sendiri dan juga masyarakat (Maramis, 2010). Gangguan jiwa
atau mental illnes adalah keadaan dimana seseorang mengalami
kesulitan mengenai persepsinya tentang kehidupan, hubungan dengan
orang lain, dan sikapnya terhadap dirinya sendiri.
Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang sama halnya
dengan gangguan jasmaniah lainnya, tetapi gangguan jiwa bersifat lebih
kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut hingga
tingkat berat berupa sakit jiwa (Budiono, 2010). Gangguan jiwa adalah
suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia ( UU.RI No.18, 2014).

2. Etiologi
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur
kejiwaan, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
terdapat beberapa penyebab dari beragai unsur yang saling
mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu muncul gangguan
kejiwaan.
Menurut maramis (2010) sumber penyebab gangguan jiwa dapat
dibedakan atas :

a. Faktor Somatik (Somatogenik)


Akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi,dan
nerokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan
organik, serta faktorpranatal dan perinatal.

b. Faktor Psikologik (Psikogenik)


Keterkaitan interaksi ibu dan anak, peranan ayah,persaingan
antara saudara kandung, hubungan dalam keluarga,pkerjaan,
permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat
perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan
mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila
keadaan tersebut kurang baik, maka dapat menyebabkan
kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.

c. Faktor Sosial Budaya


Yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh
anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan
kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh mengenai
keagamaan
Sedangkan menurut Faris (2016) faktor-faktor penyebab gangguan
jiwa adalah :

a. Usia
Pada usia menginjak dewasa,dimana pada usia ini merupakan
usia yang produktif, dimana seseorang dituntut untuk menghadapi
dirinya sendiri secara mandiri, masalah yang dihadapi juga semakin
banyak, bukan hanya masalah dirinya sendiri tetapi juga harus
memikirkan anggota keluarganya.

b. Tidak bekerja
Tidak mempunyai pekerjaan mengakibatkan seseorang tidak
mempunyai penghasilan dan gagal dalam menunjukan aktualisasi
dirinya, sehingga seseorang tidak bekerja tidak mempunyai
kegiatan dan memungkinkan mengalami harga diri rendah yang
berdampak pada gangguan jiwa.

c. Kepribadian yang tertutup


Seseorang yang memiliki kepribadian tertutup cenderung
menyimpan permasalahannya sendiri sehingga masalah yang
dihadapi akan semakin menumpuk. Hal ini yang membuat
seseorang tidak bisa menyelesaikan permasalahan dan enggan
mengungkapkan sehingga menimbulkan depresi dan mengalami
gangguan jiwa.

d. Putus obat
Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang
dengan gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup, terkadang
klien merasa bosan, dan kurang pengetahuan akan menghentikan
minum obat dan merasa sudah sembuh.

e. Pengalaman yang tidak menyenangkan


Pengalaman tidak menyenangkan yang di alami misalnya
adanya aniaya seksual, aniaya fisik, dikucilkan oleh masyarakat
atau kejadian lain akan memicu seseorang mudah mengalami
ganguan jiwa.

f. Konflik dengan teman atau keluarga


Seseorang yang mempunyai konflik dengan keluarga
misalnya karena harta warisan juga dapat membuat seseorang
mengalami gangguan jiwa. Konflik yang tidak terselesaikan dengan
teman atau keluarga akan memicu stressor yang berlebihan.
Apabila seseorang mengalami stressor yang berlebihan namun
mekanisme kopingnya buruk, maka kemungkinan besar sesorang
akan mengalami gangguan jiwa.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Sehat Sakit Jiwa


Menurut Hendrik Bloom, ada 4 faktor yang mempengaruhi sehat-sakit
seseorang yaitu herediter (keturunan), layanan kesehatan, lingkungan dan
perilaku. Dari keempat faktor tersebut, yang mempengaruhi andil besar
dalam derajat kesehatan adalah faktor lingkungan (45%) dan faktor perilaku
(30%). Kedua faktor tersebut sangat berkaitan erat. Lingkungan bisa sehat
jika perilaku masyarakatnya sehat. Kerusakan lingkungan salah satunya
dapat terjadi akibat faktor perilaku manusia. Berikut penjelasan dari
keempat faktor yang mempengaruhi sehat-sakit:

1. Keturunan
Penyakit dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, salah satunya
adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor gen. Penyakit ini disebut
juga sebagai penyakit herediter atau keturunan. Contoh penyakit ini
antara lain diabetes melitus, albino, dan penyakit wilson.

2. Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan dapat memengaruhi status kesehatan
individu (khususnya) dan masyarakat (umumnya). Beberapa aspek
layanan kesehatan yang dapat memengaruhi status kesehatan adalah
sebagai berikut.
a. Tempat layanan kesehatan
Letak geografis tempat layanan kesehatan dapat
memengaruhi keterjangkauan masyarakat terhadap layanan
kesehatan dan keterjangkauan petugas kesehatan dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, terutama petugas
puskesmas. Jika letak tempat layanan kesehatan jauh dari
pemukiman penduduk, kemungkinan masyarakat akan sulit
menjangkaunya. Terlebih jika sarana transportasi di daerah tersebut
tidak memadai. Kondisi ini tentunya akan menghambat upaya
pertolongan segera saat seseorang menderita sakit. Akibatnya,
kondisi orang tersebut dapat bertambah parah atau bahkan berujung
pada kematian.

b. Kualitas petugas kesehatan


Klien merupakan individu yang berada dalam posisi
ketergantungan karena sangat membutuhkan pertolongan dari
petugas kesehatan bagi kesembuhan dirinya. Jika petugas kesehatan
tidak memiliki kompetensi yang berkualitas, bukan kesembuhan
yang akan didapatkan oleh pasien melainkan suatu penderitaan atau
bahkan kematian yang mungkin klien dapatkan. Dengan demikian,
kualitas petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap status
kesehatan individu maupun masyarakat.

c. Biaya kesehatan
Tingginya biaya pengobatan menyebabkan tidak semua orang
mampu memanfaatkan layanan kesehatan. Oleh sebab itu, perlu
suatu program khusus untuk membantu masyarakat miskin
mendapatkan layanan kesehatan.
d. Sistem layanan kesehatan
Sistem layanan kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap
derajat kesehatan individu dan masyarakat. Layanan kesehatan
terdepan bukan semat berfokus pada pengobatan, tetapi juga pada
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Dalam sistem ini, kita
tidak lagi menekankan upaya kuratif, melainkan upaya promotif
dan preventif.

3. Lingkungan
Lingkungan memberi pengaruh besar terhadap status kesehatan
individu. Lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh
luar yang memengaruhi kehidupan dan perkembanan suatu organisme.
Secara umum, lingkungan dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan
fisik dan lingkungan non fisik.
a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar
manusia. Lingkungan fisik ini meliputi banyak hal, seperti cuaca,
musim, keadaan geografis, struktur geologis dan lain-lain.
b. Lingkungan non fisik yaitu lingkungan yang muncul akibat adanya
interaksi antar manusia. Lingkungan non fisik ini meliputi sosial-
budaya, norma,nilai, adat istiadat dan lain-lain.

4. Perilaku
Perilaku merupakan faktor berikutnya yang memengaruhi status
kesehatan. Sehat-sakitnya individu, keluarga atau masyarakat
dipengaruhi oleh perilakunya. Jika perilaku individu, keluarga dan
masyarakat sehat,dapat dipastikan sehat pula hasilnya. Begitu juga
sebaliknya. Perilaku manusia bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendidikan, adat
istiadat, kepercayaan, kebiasaan, sosial ekonomi dan sebagainya.
Rentang sehat sakit diawali dari status kesehatan normal, sehat sekali
dan sejahtera. Dikatakan sehat bukan berarti bebas dari penyakit, akan tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi,
sosial dan spiritual. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi
sehat-sakit seseorang yaitu :

1. Faktor Internal
a. Tahap perkembangan
Artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia
dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan
demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memilki pemahaman
dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b. Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan


Keyakinan seseorang terhadap kesehatan terbentuk oleh
variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan tentang berbagai
fungsi tubuh dan penyakit, latar belakang pendidikan dan
pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk
cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan
menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga
kesehatan dirinya.

c. Persepsi tentang fungsi


Cara seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat
pada keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya.

d. Faktor emosi
Faktor emosional juga memengaruhi keyakinan terhadap
kesehatan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami
respons stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung
berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan
dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya.

e. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang
menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang
dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan
kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup. Spiritual
bertindak sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam kehidupan
seseorang. Spiritual akan mempengaruhi cara pandangnya
terhadap kesehata dilihat dari perspektif yang luas.

2. Faktor Eksternal
a. Praktik di keluarga
Cara bagaiman keluarga menggunakan pelayanan kesehatan
biasanya memengaruhi cara klien dalam melaksanakan
kesehatannya.

b. Faktor Sosioekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit dan memengaruhi cara seseorang
mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel
psikososial mencakup : stabilitas perkawinan, gaya hidup dan
lingkungan kerja.

c. Latar belakang budaya


Latar belakang budaya memengaruhi keyakinan, nilai dan
kebiasaan individu, termasuk sistem pelayanan kesehatan dan
cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
Status sehat-sakit pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menjadi kewajiban bagi seorang tenaga kesehatan terutama perawat untuk
mengkaji lebih dalam, faktor pendukung apa yang paling mempengaruhi
status sehat-sakit pada orang tersebut.

D. Asuhan Keperawatan Komprehensif Sehat Sakit Jiwa (Pencegahan


Primer, Sekunder dan Tersier)

Kesehatan jiwa menurut UU No 3 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa


didefinisikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu berjalan secara selaras dengan keadaan orang lain.
Dari definisi tersebut, dapat juga diartikan bahwa kesehatan jiwa bukan
sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang
dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta
mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain
sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain (Sumiati, dkk, 2009).
Kegiatan asuhan keperawatan difokuskan pada kelompok berikut
(Keliat,dkk, 2010) :
1. Kelompok masyarakat sehat jiwa, berupa penyuluhan (pendidikan
kesehatan) untk kelompok keluarga dan asuhan keperawatan untuk
kelompok masyarakat sehat jiwa.
2. Kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan jiwa
(masalah psikososial), meliputi masalah keperawatan gangguan citra
tubuh, kehilangan dan berduka, ansietas menjelang ajal.
3. Asuhan keperawatan untuk pasien dan keluarga yang mengalami
gangguan jiwa terdiri dari :
a. Asuhan keperawatan untuk pasien anak dengan masalah
perilaku kekerasan dan depresi.
b. Asuhan keperawatan untuk pasien dewasa dengan masalah
keperawatan perilaku kekerasan, halusinasi, waham, isolasi
sosial, harga diri rendah, defisit perawatan diri, risiko bunuh
diri, sindrom pascatrauma, ansietas, penyalahgunaan dan
ketergantungan napza, distres spiritual, hambatan komunikasi
verbal, ketidakefektifan koping keluarga, hambatan proses
keluarga.
c. Asuhan keperawatan untuk pasien lansia dengan masalah
keperawatan demensia dan depresi.

Community Mental Health Nursing (CMHN) merupakan upaya untuk


mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa dengan tujuan pasien yang tidak
tertangani di masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik.
Pelayanan kesehatan jiwa tersebut berupa pelayanan keperawatan yang
komprehensif, holistik, dan paripurna, berfokus pada masyarakat yang sehat
jiwa, rentang terhadap stres dan dalam tahap pemulihan serta pencegahan
kekambuhan.
Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif adalah pelayanan
keperawatan jiwa yang diberikan pada masyarakat pasca bencana dan
konflik, dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam dalam rentang
sehat – sakit yang memerlukan pelayanan keperawatan pada tingkat
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang komprehensif mencakup
3 tingkatan pencegahan, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier
(Keliat, 2012).
1. Pencegahan Primer :
Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan
pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa,
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa.
Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum
mengalami gangguan jiwa. Aktivitas pada pencegahan primer adalah
program pendidikan kesehatan, program stimulasi perkembangan,
program sosialisasi kegiatan jiwa, manajemen stres, dan persiapan
menjadi orang tua.

2. Pencegahn Sekunder :
Fokus pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah
deteksi dini dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan
gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah menurunkan angka kejadian
gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota masyarakat yang
berisiko/ memperlihatkan tanda- tanda masalah psikososial dan
gangguan jiwa. Aktivitas yang dilakukan pada pencegahan sekunder
seperti menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh
informasi dan berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain,
dan penemuan langsung, melakukan penjaringan kasus.

3. Pencegahan Tersier :
Pencegahan tersier adalah pelayanan keperawatan yang berfokus
pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan
pada pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi
kekacauan/ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan
yaitu anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada tahap
pemulihan. Aktivitas yang dilakukan meliputi program dukungan
sosial, program rehabilitasi, program sosialisasi, dan program
mencegah stigma.
Pelayanan keperawatan holistik adalah pelayanna menyeluruh
pada semua aspek kehidupan manusia yaitu aspek bio-psiko-sosio-
kultural dan spiritual (Keliat, dkk, 2012:4) :
a. Aspek (bio-fisik)
Aspek bio-fisik dikaitkan dengan masalah kesehatan fisik
seperti kehilangan organ tubuh yang dialami anggota
masyarakat akibat bencana yang memerlukan pelayanan dalam
rangka adaptasi mereka terhadap kondisi. fisiknya. Demikian
pula dengan penyakit fisik lain baik yang akut, kronis maupun
terminal yang memberi dampak pada kesehatan jiwa.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis dikaitkan dengan berbagai masalah
psikologis yang dialami masyarakat seperti ketakutan, trauma,
kecemasan maupun kondisi yang lebih berat yang memerlukan
pelayanan agar mereka dapat beradaptasi dengan situasi
tersebut.

c. Aspek sosial
Aspek sosial dengan kehilangan suami/istri/anak, keluarga
dekat, kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan harta benda
yang memerlukan pelayanan dari berbagai sektor terkait agar
mereka mampu mempertahankan kehidupan sosial yang
memuaskan.

d. Aspek kultural
Aspek kultural dikaitkan dengan budaya tolong menolong dan
kekeluargaan yang dapat digunakan sebagai sistem pendukung
sosial dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ditemukan.

e. Aspek spiritual
Aspek spiritual dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan yang
kuat yang dapat diberdayakan sebagai potensi masyarakat dalam
mengatasi berbagai konflik dan masalah kesehatan yang terjadi.

4. Evaluasi Asuhan Keperawatan


Evaluasi dilakukan untuk menilai perkembangan kemampuan pasien
dan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah
(Budi, Keliat, dkk, 2012). Kemampuan yang diharapkan adalah :
a. Pada tingkat individu diharapkan pasien mampu:
1) Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sesuai dengan
kemampuannya.
2) Membina hubungan dengan orang lain dilingkungannya
secara bertahap
3) Melakukan cara-cara menyelesaikan masalah yang dialami.

b. Pada tingkatan keluarga diharapkan keluarga mampu:


1) Membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien hingga
pasien mandiri.
2) Mengenal tanda dan gejala dini terjadinya gangguan jiwa.
3) Melakukan perawatan pada anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa atau kekambuhan.
4) Mengidentifikasi perilaku pasien yang membutuhkan
konsultasi segera.
5) Menggunakan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat
seperti tetangga, teman dekat, dan pelayanan kesehatan
terdekat.

Faktor pemberi pelayanan keperawatan memiliki hubungan dalam


peningkatan kesehatan pasien jiwa. Menurut (Bailey, 2014) menjelaskan
bahwa adanya peningkatan dari pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada pasien gangguan jiwa menghasilkan hasil yang baik dan dapat
mengantisipasi kekambuhan pasien.

E. Peran Perawat Pada Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier


Peran perawat dalam konteks sehat atau sakit adalah meningkatkan
kesehatan dan mencegah penyakit. Promosi kesehatan merupakan suatu
upaya mengarahkan sejumlah kegiatan guna membantu klien
mempertahankan dan merahi derajat kesehatan dan tingkat fungsi setinggi
tingginya serta menikmati kenyamanan. Aktivitas keperawatan yang dapat
dilakukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan klien antara lain
pendidikan dan konseling kesehatan. Pencegahan penyakit adalah upaya
mengarahkan sejumlah kegiatan untuk melindungi klien dari ancaman
kesehatan potensial atau dengan kata lain pencegahan penyakit merupakan
upaya mengekang perkembangan penyakit, memperlambat kemajuan
penyakit dan melindungi tubuh dari berlanjutnya pengaruh yang lebih
membahayakan. Tingkat pencegahan penyakit ada 3 tingkat yaitu
pencegahan primer, sekunder dan tersier (Asmadi,2008).

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu pencegahan yang dilakukan sebelum
terjadi patogenik, tujuannya adalah untuk mencegah penyakit dan
trauma. Secara umum, pencegahan primer meliputi promosi kesehatan
(Health promotion) dan perlindungan khusus (specific protection).
Promosi kesehatan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain
pendidikan kesehatan, peningkatan gizi yang tepat, dan pemeriksaan
kesehatan berkala. Perlindungan khusus dilakukan melalui upaya
imunisasi, hygiene personal, sanitasi lingkungan, perlindungan bahaya
penyakit kerja, avoidment allergic, dan nutrisi khusus contohnya nutrisi
ibu hamil, nutrisi bayi. Pencegahan primer terdiri atas promosi
kesehatan dan pencegahan khusus.
Pada pelayanan keperawatan jiwa berfokus pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan
pelayanannya adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa,
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan
yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai
dengan kelompok umur yakni anak,remaja, dewasa dan usia lanjut.
Aktivitas pada pencegahan primer yaitu program pendidikan kesehatan,
program stimulasi perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa,
manajemen stress dan persiapan menjadi orang tua (Keliat et al,2012).
Kegiatan yang dilakukan pada pencegahan primer adalah
a. Memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua antara lain
seperti pendidikan orang tua, pendidikan tentang perkembangan
anak sesuai usia, memantau dan menstimulasi perkembangan,
mensosialisasi anak dan lingkungan.
b. Pendidikan kesehatan mengatasi stress seperti stress pekerjaan,
stress perkawinan, stress sekolah dan stress pasca bencana.
c. Program dukungan social diberikan pada anak yatim piatu, individu
yang kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, kehilangan
tempat tinggal, yang semuanya ini mungkin terjadi karena bencana.
d. Program pencegahan penyalahgunaan obat
e. Program pencegahan bunuh diri.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan
pada fase awal; patogenik yang bertujuan untuk mendeteksi dan
melakukan intervensi segera guna menghentikan penyakit pada tahap
ini, mencegah penyebaran penyakit, menurunkan intensitas penyakit
atau mencegah komplikasi serta mempersingkat fase ketidakmampuan.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui upaya diagnosis
dini/penanganan segera, seperti penemuan kasus, survey penapisan,
pemeriksaan selektif.
Pencegahan sekunder terdiri atas diagnosis dini, pengobatan
segera dan pembatasan cacat. Menurut (Keliat et al 2012) focus
pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini
dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa,
tujuannya adalah menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Aktivitas
pada pencegahan sekunder adalah :
a. Menemukan kasus dini mungkin dengan cara memperoleh
informasi dari berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan
lain dan penemuan langsung.
b. Melakukan penjaringan kasus dengan memfasilitasi self help
group berupa kegiatan kelompok yang membahas masalah
masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara
penyelesaiannya.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah atau membatasi
ketidakmampuan serta membantu memulihkan klien yang tidak mampu
agar dapat berfungsi secara optimal. Langkah pencegahan ini antara lain
dilakukan melalui upaya pembatasan ketidakmampuan, langkah yang
diambil adalah pelatihan tentang cara perawatan diri dan penyediaan
fasilitas. Untuk rehabilitasi upaya yang dilakukan antara lain
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kondisi klien yang
direhabilitasi, penempatan klien sesuai dengan keadaanya (selective
places), terapi kerja dan pembentukan kelompok panguyuban khusus
bagi klien yang memiliki kondisi yang sama.
Pencegahan tersier terdiri atas kegiatan rehabilitasi terhadap
korban,anak dan pelaku. Fokus pelayanan keperawatan pada
pencegahan tersier adalah pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta
pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa, dengan
mengurangi kecacatan atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa.
Aktivitas pada pencegahan tersier meliputi :
a. Program pendukung social dengan mengerakkan sumber sumber
dimasyarakat seperti sumber pendidikan, dukungan masyarakat
dan pelayanan terdekat yang terjangkau masyarakat.
b. Program rehabilitasi untuk memberddayakan pasien dan
keluarga hingga mandiri terfokus pada kekuatan dan
kemampuan pasien dan keluarga dengan cara meningkatkan
kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan
menyelesaikan masalah dengan cara tepat.
c. Program sosialisasi membuat tempat pertemuan untuk
sosialisasi, mengembangkan keterampilan hidup dan kegiatan
social dan keagaman.
d. Program mencegah stigma, karena stigma merupakan anggapan
yang keliru dari masyarakat terhadap gangguan jiwa, oleh
karena itu perlu diberikan program mencegah stigma untuk
menghindari isolasi dan deskriminasi terhadap pasien gangguan
jiwa.
F. Upaya Sehat Jiwa (Mekanisme Penanganan Sehat Jiwa
Masalah kesehatan mental adalah salah satu kontributor paling
penting terhadap beban penyakit dan kecacatan di seluruh dunia. Lima dari
10 penyebab utama kecacatan di seluruh dunia adalah masalah kesehatan
mental (WHO,2000). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor
18 tahun 2014 upaya kesehatan jiwa merupakan kegiatan untuk
mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,
keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Upaya promotif dan preventif termasuk dalam program pencegahan
sedangkan upaya pengobatan meliputi upaya kuratif dan rehabilitatif.
Promosi kesehatan mental bertujuan untuk mempromosikan
kesehatan mental yang positif dengan meningkatkan kesejahteraan
psikologis, kompetensi, dan ketahanan serta dengan menciptakan kondisi
dan lingkungan hidup yang mendukung(Brooks, Stuart, & Sundeen, 2013).
Tujuan promosi kesehatan mental adalah untuk meningkatkan kemampuan
individu untuk:
1. Mencapai tugas-tugas yang sesuai dengan perkembangannya.
2. Memperoleh rasa harga diri, penguasaan, kesejahteraan, dan inklusi
sosial.
3. Memperkuat kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan.

Peran perawat dalam promosi kesehatan mental dengan cara


mengedukasi mengenai tentang kesehatan jiwa dengan cara menghilangkan
stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari
masyarakat, meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap
kesehatan jiwa dan meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap
kesehatan jiwa.

Pencegahan penyakit mental bertujuan mengurangi gejala dan


akhirnya gangguan mental(Brooks et al., 2013). Tujuan dari pencegahan
penyakit mental adalah untuk mengurangi:
1. Insidensi, prevalensi, dan kekambuhan gangguan mental.
2. Waktu yang dihabiskan dengan gejala-gejala.
3. Faktor risiko untuk mengembangkan penyakit mental.
4. Dampak penyakit pada orang yang terkena dampak, keluarga mereka,
dan masyarakat.

Upaya preventif menurut Undang-Undang Republik Indonesia


nomor 18 tahun 2014 pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan suatu kegiatan
untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Upaya
preventif kesehatan jiwa ditujukan untuk:

1. Mencegah terjadinya masalah kejiwaan.


2. Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa.
3. Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat
secara umum atau perorangan.
4. Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.

Peran perawat dalam program preventif kesehatan mental dengan


cara memberikan informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa serta menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.

Upaya kuratif menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor


18 tahun 2014 pasal 4 ayat (1) huruf c merupakan kegiatan pemberian
pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara
wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Upaya kuratif
kesehatan jiwa ditujukan untuk:

1. Penyembuhan atau pemulihan.


2. Pengurangan penderitaan.
3. Pengendalian disabilitas.
4. Pengendalian gejala penyakit.

Upaya rehabilitatif menurut Undang-Undang Republik Indonesia


nomor 18 tahun 2014 pasal 25 merupakan kegiatan dan serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
1. Mencegah atau mengendalikan disabilitas.
2. Memulihkan fungsi sosial.
3. Memulihkan fungsi okupasional
4. Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat.

Peran perawat dalam program rehabilitatif kesehatan mental dengan


cara memberikan perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional,
pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik,
bimbingan sosial dan konseling psikososial.

Pedoman kesehatan mental dan dukungan psikososial harus dibawah


pengawasan spesialis kesehatan mental seperti perawat psikiatris, psikolog
atau psikiater (WHO,2019) dengan cara:

1. Memperkuat dukungan sosial dan swadaya masyarakat dengan


melibatkan orang dengan gangguan mental secara kolaboratif terlibat
dalam kegiatan seperti bantuan darurat atau mempelajari keterampilan
baru.
2. Psikologis untuk orang-orang yang mengalami kesehatan jiwa.
3. Perawatan kesehatan mental mencakup kondisi prioritas (depresi,
gangguan psikotik, epilepsi, alkohol dan penyalahgunaan zat) harus
disediakan di setiap fasilitas perawatan kesehatan oleh staf kesehatan
umum yang terlatih dan diawasi.
4. Intervensi psikologis (intervensi penyelesaian masalah, terapi
interpersonal kelompok, intervensi berdasarkan prinsip-prinsip terapi
kognitif-perilaku).
5. Melindungi dan mempromosikan hak-hak orang dengan kondisi
kesehatan mental yang parah dan cacat psikososial sangat penting
dalam keadaan darurat kemanusiaan. Ini termasuk mengunjungi,
memantau, dan mendukung orang-orang di fasilitas kejiwaan dan
rumah tempat tinggal.
6. Mekanisme rujukan perlu dibangun antara spesialis kesehatan mental,
penyedia layanan kesehatan umum, dukungan berbasis masyarakat
dan layanan lainnya (sekolah, layanan sosial dan layanan bantuan
darurat seperti yang menyediakan makanan, air dan perumahan /
tempat tinggal).

Undang-Undang No.18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa,


penanganan sehat jiwa merupakan upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Keempat upaya tersebut harus memperhatikan empat aspek
yaitu fisik, mental, social dan spiritual guna mencapai individu sehat jiwa.
D. Proses terjadinya gangguan jiwa

1. Definisi, Penyebab, Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan


secara umum serta merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Kesehatan jiwa membuat perkembangan fisik, intelektual dan emosional
seseorang berkembang optimal selaras dengan perkembangan orang lain (UU No
36, 2009).
WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami
gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa dan 25%
penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu dalan
rentang hidupnya yan biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun.
Menurut Riskesdas (2007) di Indonesia sendiri sebanyak 1 juta orang atau
sekitar 0,46% dari total pendududk Indonesia menderita skizofrenia. Sedangkan
yang mengalami gangguan mental emosiona (cemas dan depresi) adalah 11,6%
atau sekitar 19 juta penduduk.
a). Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang
ditunjukkan pada individu yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas
kehidupan dan disfungsi. Hal tersebut mencerminkan disfungsi psikologis,
bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial maupun konflik dengan
masyarakat (Stuart, 2013).
Menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa merupakan pola perilaku, sindrom
yang secara klinis bermakna berhubungan dengan penderitaan, distress dan
menimbulkan hendaya pada lebih atau satu fungsi kehidupan manusia.
Dapat disimpulkan gangguan jiwa yaitu sindrom atau pola perilaku yang
secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan
dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia.
b). Penyebab Gangguan Jiwa
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur
kejiwaan, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat
beberapa penyebab dari beragai unsur yang saling mempengaruhi atau
kebetulan terjadi bersamaan, lalu muncul gangguan kejiwaan.
Faktor yang menimbulkan terjadinya gangguan jiwa yaitu, faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi adalah faktor yang
melatarbelakangi seseorang mengalami gangguan jiwa, sedangkan faktor
presipitasi adalah faktor yang mencetuskan terjadinya gangguan jiwa pada
seseorang untuk kali yang pertama.
1) Faktor predisposisi
- Genetik
Sebagian besar gangguan jiwa disebabkan karena faktor keturunan.
Dimana sifat-sifat gangguan jiwa yang akan dialami oleh individu
diturunkan oleh orang tua maupun nenek moyang mereka melalui
gen dan kromosom dalam sel reproduksi.
- Faktor personaliti
Telah diketahui sejak lama bahwa kepribadian individu juga
berperan dalam menyumbang terjadinya gangguan jiwa pada
seseorang. Individu yang memiliki kepribadian yang kuat akan
cenderung dapat mengatasi masalah yang dihadapi, namun individu
yang mengalami ketergantungan terhadap orang lain cenderung
mudah mengalami gangguan jiwa karena kepribadiannya rapuh.
- Periode perkembangan kritis
Keadaan ini juga dapat menyumbang sebagai faktor penyebab
seseorang mengalami gangguan jiwa. Selama individu menjalani
proses ini, seseorang akan belajar untuk mengenali dan mencari
solusi terbaik dalam menghadapi setiap masalah yang datang untuk
dapat diadaptasikan sesuai dengan keadaan yang sehat. Sehingga
apabila seseorang tidak mampu mengatasi beberapa stresor yang ada
pada periode perkembangan kritis ini akan dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan jiwa.
2) Faktor Presipitasi
- Faktor fisik
Faktor yang berasal dari gangguan fisik yang dialami oleh individu
sehingga akhirnya mengalami gangguan jiwa.
- Faktor psikis
Faktor yang berasal dari mental individu yang dialami secara terus
menerus sehingga akhirnya kemampuan individu untuk mengatasi
masalah tidak dapat lagi dipertahankan sehingga individu
mengalami gangguan jiwa.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fajar dan Alimansur tentang


Analisis Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Jiwa Menggunakan Pendekatan
Model Adaptasi Stres Struat Tahun 2016 di RS Marzoeki Mahdi Bogor
didapatkan:

Kesimpulannya Faktor predisposisi terbanyak pada aspek biologis adalah


klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya, pada aspek psikologis
adalah tipe kepribadian dan penyebab pada aspek sosial adalah klien tidak
bekerja, sedangkan faktor presipitasi, penyebab pada aspek biologis
terbanyak adalah putus obat, penyebab pada aspek psikologis terbanyak
adalah pengalaman tidak menyenangkan dan penyebab pada aspek sosial
terbanyak adalah konflik dengan keluarga atau teman.

2. Tanda dan Gejala Ganggguan Jiwa


Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai
berikut :
a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah,
tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.
b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan)
sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting,
membakar rumah, padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan
suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari dalam diri
individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal
ini sering disebut halusinasi, klien bisa mendengar sesuatu, melihat
sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut
orang lain.
c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah
membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun
pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-
acakan.
d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan
(waham kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja,
pengusaha, orang kaya, titisan Bung karno tetapi di lain waktu ia bisa
merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide
ingin mengakhiri hidupnya.
e. Gangguan psikomotor: Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan
yang berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur,
meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang
apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan gerakan
aneh.

Menurut Videbeck (2008), mengatakan bahwa kriteria umum gangguan jiwa


meliputi beberapa hal berikut ini:
a. Ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
b. Hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan.
c. Tidak puas hidup di dunia.
d. Koping yang tidak efektif terhadap peristiwa.
e. Tidak terjadi pertumbuhan kepribadian.
f. Terdapat perilaku yang tidak diharapkan.
2. Penggolongan Gangguan Jiwa Menurut Stuart

Kelainan mental dapat dibedakan berdasarkan aspeknya, yaitu biologis dan


psikologis. Penyakit mental secara luas dapat dibedakan menjadi neurosis
dan psikotik. Neurosis menggambarkan gangguan mental yang ditandai
oleh kecemasan yang melibatkan distorsi realitas dan terkait dengan
kecemasan sedang dan berat (Stuart, 2013).

a. Aspek neurosis

Neurosis menggambarkan gangguan mental yang ditandai oleh


kecemasan yang tidak melibatkan distorsi realitas. Gangguan neurosis
adalah respons kecemasan maladapatif yang terkait dengan tingkat
kecemasan sedang dan berat.
- Sebuah gejala atau kelompok gejala berupa gangguan dalam
mengenali seperti individu tidak dapat menerima dan merasa seperti
orang asing.
- Keadaan realitas yang masih utuh.
- Perilaku tidak melanggar norma sosial utama (meskipun fungsional
mungkin secara signifikan terganggu).
- Gangguan ini bertahan lama atau berulang tanpa ada pengobatan
dan bukan merupakan reaksi jangka pendek terhadap stressor.
- Tidak ada penyebab atau faktor organik yang jelas (Stuart, 2013).

1) Jenis-jenis Neurosis
a) Cemas (anxiety neurosis atau anxiety state)
Kecemasan adalah keadaan gelisah mental, ketakutan, firasat atau
perasaan tidak berdaya terkait dengan ancaman yang tidak
diktetahui yang akan terjadi atau diantisipasi terhadap diri atau
hubungan yang signifikan. Kecemasan dapat dialami pada tingkat
sadar, bawah sadar atau tidak sadar (Berman et al, 2016).
Level Gambaran
Selama tahap ini orang tersebut wasapada dan
bidang persepsi meningkat. Orang tersebut
melihat, mendengar dan menangkap lebih dari
sebelumnya. Kecemasan ini dapat memotivasi
pembelajaran dan menghasilkan pertumbuhan
dan kreativitas (Stuart, 2013). Kecemasan ini
menghasilkan sedikit rangsangan yang
Ringan meningkatkan persepsi belajar dan kemampuan
produktif. Kebanyakan orang mengalami
kecemasan ringan yang mungkin sebagai
perasaan gelisah yang meminta seseorang untuk
mencari informasi dan mengajukan pertanyaan
(Berman et al, 2016). Mengajar bisa sangat
efektif ketika klien agak cemas (Videbeck,
2011).
Orang tersebut berfokus pada kekhawatiran
langsung, melibatkan penyempitan bidang
persepsi. Orang tersebut melihat, mendengar
dan lebih sedikit menangkap. Memblokir area
Sedang yang dipilih tetapi dapat menangani lebih
banyak jika diarahakan untuk melakukan
sesuatu (Stuart, 2013). Perhatian difokuskan
pada aspek tertentu daripada kegiatan periferal
(Berman et al, 2016).
Berat Penurunan yang signifikan delam bidang
persepsi. Orang tersebut cenderung fokus pada
sesuatu yang spesifik detail dan tidak
memikirkan hal lain. Perilaku ini ditujukan
untuk menghilangkan kecemasan (Stuart, 2013).
Keadaan ini membuat seseorang tidak bisa
berfokus terhadap hal yang terjadi, hanya
berfokus pada satu detail dari situasi yang
menimbulkan kecemasan (Berman et al, 2016).
Ketika kecemasan menjadi parah klien tidak lagi
memperhatikan informasi, kecemasan
cenderung memburuk jika dia dibiarkan sendiri
(Videbeck, 2011).
Hal ini dikaitkan dengan ketakutan dan teror,
karena orang yang mengalami panik tidak dapat
melakukan arahan apapun. Aktivitas mototr
meningkat, kemampuan menurun dalam
berhubungan dengan orang lain, persepsi
terdistorsi, hilangnya rasional, tidak dapat
Panik berkomunikasi atau berfungsi secara efektif.
Kecemasan ini tidak dapat bertahan tanpa batas
waktu, karena itu tidak sesuai dengan
kehidupan. Bila berkepanjangan akan terjadi
kelalahan dan kematian (Stuart, 2013). Persepsi
orang panik bisa dipengaruhi samapai pada
terjadi distorsi peristiwa (Berman et al, 2016).
Sumber : Stuart, G. W. 2013. Principle and practice of Psychiatric
nursing 10th ed. St. Louis : Elsevier
b) Histeria
Histeria mengacu pada beberapa keluhan fisik tanpa basis
organik, biasanya dijelaskan secara dramatis. Orang dengan
histeria biasanya wanita, dianggap jahat atau kerasukan roh jahat.
Paul Bitquet dan Jean Martin mengidentifikasi histeria sebagai
ganggguan sistem saraf. Sigmund Freud bekerja dengan Charcot
mengamati orang dengan histeria membaik dengan hipnosis dan
mengalami kelegaan dari gejala fisik mereka ketika mereka
mengingat kembali ingatan dan mengungkapkan emosi.
Perkembangan ini mendorong Freud untuk mengususlkan bahwa
orang dapat mengubah emosi yang tidak diekspresikan menjadi
gejala fisik, sebuah proses yang sekarang disebut somatisasi
(Videbeck, 2011).

Somatisasi didefinisikan sebagai pemindahan ekspresi mental dan


dinyatakan dengan gejala pada tubuh. Gangguan dapat ditandai
dengan adanya gejala fisik yang menunjukkan kondisi medis tanpa
dasar organik yang dapat dibuktikan. Tiga fitur utama dari
gangguan somatosom adalah:
a) Keluhan fisik menunjukkan penyakit medis utama tetapi
tidak memiliki dasar organik yang dapat dibuktikan.
b) Faktor dan konflik psikologis penting dalam memulai,
memperburuk dan mempertahankan gejala.
c) Gejala atau masalah kesehatan yang diperbesar tidak ada di
bawah kontrol sadar klien. (Menurut Hollified (2005)
dalam (Videbeck, 2011))

Berikut lima gangguan somatoform sebagai berikut.

Gangguan Gambaran
Gangguan 1. Banyak gejala fisik.
Somatisasi 2. Dimulai pada usia 30 tahun
3. Berlangsung selama beberapa tahun
4. Terdapat kombinasi (nyeri
gastrointestinal, seksual dan gejala
pseudoneurologis)
1. Defisit yangtidak dapat dijelaskan
2. Fungsi sensorik atau motorik mendadak
Gangguan
tidak berfungsi
Konversi
3. Terdapat gangguan neurologis namun
berhubungan dengan faktor psikologis
1. Gejala fisik primer
2. Tidak hilang dengan analgesik dan
Kelainan Nyeri
sangat dipengaruhi oleh faktor
psikologis
1. Keasyikan dengan ketakutan dimana
seseorang memiliki penyakit serius atau
Hipokondriasis kemauan mendapatkan penyakit serius
2. Gangguan ini salam mengartikan
sensasi tubuh atau fungsi
1. Keasyikan dengan membayangkan cacat
Gangguan
fisik yang berlebihan
Dismorphik Tubuh
2. Merasa gigi bengkok dan tidak menarik
Sumber : diadaptasi dari (menurut APA, 2000 dalam Videbeck, S.
L. 2011. Psychiatric-mental health nursing 5th ed. Lippincott
Williams & Wilkins : Philadelphia)

c) Fobik (Phobia)
Phobia adalah perasaan ketakutan berlebih terhadap objek
tertentu. Phobia adalah ketakutan yang terus menerus dan irasional
terhadap objek, aktivitas atau situasi tertentu yang mengarah pada
suatu keharusan untuk menghindarinya (Stuart, 2013). Phobia
adalah ketakutan yang tidak logis, intens dan kuat terhadap objek
tertentu atau situasi sosial yang menyebabkan tekanan ekstrim dan
mengganggu fungsi normal (Videbeck, 2011).
Phobia biasanya bukan hasil dari pengalaman negatif masa lalu.
Faktanya, orang tersebut mungkin tidak pernah melakukan kontak
dengan objek phobia. Orang dengan phobia mengerti bahwa
ketakutan mereka tidak biasa dan tidak rasional dan mereka tidak
berdaya dalam menghadapinya. Orang dengan phobia
mengembangkan kecemasan antisipatif ketika berpikir tentang
kemungkinan menghadpai apa yang ditakutinya, mereka akan
memiliki perilaku menghindar dari apa yang ditakutinya dan
dampaknya tidak akan bertahan lama (Videbeck, 2011).

Berikut tiga katagori phobia :

Katagori Penjelasan
Ketakutan yang tidak normal menjadi
tidak berdaya dalam situasi dimana
pelarian mungkin sulit atau memalukan.
Agoraphobia
Disertai dengan kecemasan panik atau
antisipatif dan akhirnya menghindari
tempat terbuka atau umum (Stuart, 2013).
Phobia Spesifik Ketakutan irasional terhadap objek atau
situasi.
1. Phobia lingkungan alam : takut
petir, air atau fenomena alam
lainnya.
2. Phobia injeksi darah : takut
melihat darah diri sendiri atau
orang lain, trauma injuri atau
prosedur medis infasif seperti
injeksi
3. Phobia situasi : takut pada situasi
spesifik seperti di atas jembatan,
didalam lorong, elevator, ruang
sempit, rumah sakit dan pesawat
terbang.
4. Phobia binatang : takut terhadap
binatang atau seranngga.
5. Phobia spesefik tipe lain : takut
tersesat saat mengendarai jika
tidak membuat keputusan dalam
berkendara.
Kecemasan yang dipicu oleh situasi sosial
atau kinerja tertentu. Ditandai dengan rasa
Phobia Sosial
malu dan kesadaran diri yang meningkat
pada dalam situasi sosial (Stuart, 2013).
Sumber : diadaptasi dari (Videbeck, S. L. 2011. Psychiatric-mental
health nursing 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins :
Philadelphia)

d) Kelainan Obsesif-Komplusif
Obsesif adalah perilaku yang diulang, terus-menerus, ide
yang tidak diinginkan atau implus yang terjadi tanpa sadar dan
yang tampaknya tidak masuk akal. Komplusif adalah perilaku yang
dirasakan orang tersebut didorong untuk tampil. Perilaku berulang
ini terjadi untuk mencegah atau mengurangi kecemasan yang
terkait dengan obsesi seseorang (Stuart, 2013).

OCD didiagnosis hanya ketika pikiran, gambar dan implus


membuat penderita untuk memerankan perilaku sampai pada titik
dimana mereka menggangu fungsi pribadi, sosial dan pekerjaan.
Penderita mengerti bahwa hal yang dilakukannya merupakan hal
yang tidak biada dan tidak masuk akal tetapi dipaksa untuk
melakukannya untuk mengurangi kecemsan atau untuk mencegah
pikiran-pikiran buruk. Obsesif-Komplusif adalh sumber masalah
dan memalukan penderita, yang mungkin berusaha keras untuk
mempertahankan rahasia mereka (Videbeck, 2011).
e) Depresi
Depresi merupakan reaksi negaitf yang mucul akibat
peristiwa atau hal yang dialami dan memiliki dampak sangat
negatif. Depresi adalah reaski umum terhadap peristiwa yang
tampak luar biasa atau negatif, hal ini meliputi perasaan sedih,
putus asa dan kehampaan yang ektrim (Berman et al, 2016).

Gejala utama depresi berlangsung setidaknya 2 minggu dimana


orang tersebut mengalami perasaan tertekan atau kehilangan dalam
hampir semua aktivitasnya. Terjadi gejala yang berupa perubahan
nafsu makan atau berat badan, tidur, aktivitas psikomotorik, energi
menurun, perasaan tidak berharga atau bersalah, kesulitan berpikir
atau berkonsentrasi, membuat keputusan berulang tentang
kematian atau ide bunuh diri (Videbeck, 2011).

b. Aspek Psikosis
Psikosis adalah disintegatif dan melibatkan distorsi realitas yang
signifikan. Dalam situasi konflik ekstrim, orang tersebut mungkin
memutarbalikan realitas, seperti dalam psikosis. Psikosis terdiri dari
karakteristik berikut :

- Perilaku regresi
- Disintegrasi kepribadian
- Penurunan tingkat kesadaran yang signifikan
- Kesulitan dalam berfungsi secara memadai
- Penurunan nilai pemahaman dalam realitas (Stuart, 2013).

1) Jenis-jenis Psikosis

Psikosis mengacu pada kondisi mental tidak berada berhubungan


dengan kenyataan. Selama dalam psikosis, penderita tersebut tidak
menyadari bahwa orang lain tidak mengalami hal yang sama. Penderita
bertanya-tanya mengapa orang lain tidak beraksi dengan cara yang
sama (Stuart, 2013). Berikut adalah jenis-jenis psikosis;

a) Skizofrenia

Skizofrenia adalah salah satu ganggguan pada kelompok


psikotik (Stuart, 2013). Skizofrenia menyebabkan pemikiran,
persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh. Skizofrenia tidak
mungkin didefinisikan sebagai penyakit tunggal melainkan sebagai
sindrom atau sebagai proses penyakit dengan berbagai varietas dan
gejala, sangat mirip dengan varietas kanker (Videbeck, 2011).

Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua katagori utama yaitu gejala


atau tanda positif yang meliputi delusi, halusinasi, ketidakteraturan
berfikir, berbicara dan berperilaku. Tanda atau gejala negatif
meliputi kurangnya kemauan, penarikan sosial dan
ketidaknyamanan. Obat-obatan dapat mengendalikan gejala-gejala
positif, tetapi sering kali gejala negatif tetap ada setelah gejala-
gejala positif mereda (Videbeck, 2011).

Jenis Tanda dan Gejala


Penganiayaan (menjadi korban
atau dimata-matai), delusi muluk,
Skizofrenia tipe paranoid terkadang halusinasi, religius
berlebih, memusuhi dan
berperilaku agresif.
Pengaruh yang terlalu tidak tepat
Skizofrenia tipe tidak teratur atau datar, inkoherensi dan
perilaku yang sangat tidak teratur.
Skizofrenia tipe katatonik Ganggguan psikomotor, aktivitas
motorik yang tidak bergerak atau
berlebihan, imobilitas motorik
(katalepsi atau pingsan),
negativisme ekstrim, mutisme,
echolalia dan achopraxia.
Memiliki gejala campuran
Skizofrenia tipe tidak bersama dengan gangguan
berdiferensiasi pemikiran, pengaruh dan
perilaku.
Ditandai dengan satu tipe
Skizofrenia tipe residu sebelumnya, meskipun bukan
gejala saat ini.
Sumber : diadaptasi dari (Videbeck, S. L. 2011. Psychiatric-mental health
nursing 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia)

Penyebab Skizofrenia

- Faktor Presdiposisi
Skizofrenia merupakan penyakit akibat gangguan perkembangan saraf
otak. Ini merupakan dampak interaksi kompleks ribuan gen dan
banyak resiko faktor lingkungan, tidak ada salah satupun penyebab
tersendiri skizofrenia. Skizofrenia merupakan kelainan kompleks
neurobiologi dari sirjuit neurotransmiter otak, defisit pada anatomi
saraf, kelainan listrik saraf dan disregulasi neurosikulasi (Stuart, 2013).

Komponen Gambaran
Genetik Genetik memiliki peran dalam skizofrenia
namun sulit membedakan pengaruh genetik
dan lingkungan. Faktor risiko yang paling
signifikan untuk mengembangkan skizofrenia
adalah tingkat pertama keluarga dengan
skizofrenia. Skizofrenia disebabkan interaksi
berbagi mekanisme yang bersifat biologis,
lingkungan dan pengalaman. Anak-anak yang
memiliki orang tua kandung dengan
skizofrenia dan diadopsi saat lahir oleh
keluarga tanpa gangguan memiliki risiko yang
sama orang tua kandung yang membesarkan
mereka.
Studi menunjukkan anatomi, fungsional dan
kelainan neurokimia dalam hidup dan
postmortem otak penderita skizofrenia.
Korteks prefrontal dan korteks limbik mungkin
tidak pernah sepernuhmya berkembang di
otakl pada orang dengan skizofrenia. Hasil
penelitian neurobiologis yang paling konsisten
adalah penurunan volume dan perubahan pada
sistem neurotransmiter otak.

1. Korteks frontal berimplikasi pada


gejala negatif skizofrenia
Neurobiologi 2. Sistem limbik (lobus temporal)
berimplikasi pada gejala positif
skizofrenia
3. Sistem neurotransmiter khususnya
dopamin, serotonin, glutamat dan lain-
lain
Karena prilaku psikotik mungkin
terkait lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik otak dan
disregulasi sistem neurotransmiter yang
berhubungan dengan derah itu.

Teori virus dan Fakta menunjukkan indikasi paparan prenatal


infeksi terhadap virus influenza, khususnya pada
trimester pertama mungkin menjadi salah satu
faktor dalam etiologi skizofrenia pada
beberapa orang. Teori ini didukung oleh fakta
bahwa lebih banyak orang dengan skizofrenia
dilahirkan di musim dingin atau awal musim
semi dan didaerah perkotaan menunjukkan
dampak potensial musim dan tempat lahir pada
risiko skizofrenia. Telah ditemukan bahwa
wanita dengan antibodi toksoplasma tingkat
tinggi memiliki risiko signifikan lebih tinggi
terkena gangguan skizofrenia.
Sumber : diadaptasi dari (Stuart, G. W. 2013. Principle and practice of
Psychiatric nursing 10th ed. St. Louis : Elsevier)

- Stresor Presipitasi

Komponen Gambaran
Biologis Salah satu penyebab stres adalah gangguan
umpan balik pada otak yang mengatur jumlah
informasi untuk dapat diproses pada waktu
tertentu. Stimulus disaring oleh thalamus dan
dikirim untuk diproses oleh lobus frontal. Jika
terlalu banyak informasi dikirim sekaligus atau
rusak, lobus frontal mengirim pesan kelebihan
ke basal ganglia. Basal ganglia mengirim pesan
ke thalamus untuk memperlambat transmisi ke
lobus frontal. Fungsi lobus frontal yang
menurun merusak kemampuan dari loop
umpan balik. Kurang kemampuan untuk
mengatur basal ganglia ada dan akhirnya pesan
menjadi lambat ditransmisikan turun ke lobus
frontal tidak terjadi.
Stersor biologis lain yang mungkin adalah
mekanisme gerbang abnormal yang dapat
terjadi pada skizofrenia. Gating adalah proses
listrik yang melibatkan eletrolit. Mengacu pada
potensial aksi saraf penghambat dan rangsang
dan umpan balik terjadi dalam sistemsarafyang
terkait.
Model stres diatesis mengusulkan bahwa gejala
skizofrenik berkembang berdasarakan pada
hubungan antara jumlah stres yang dialami
seseorang dan ambang toleransi stres internal.
Penilaian stres Meskipun belum ada oenelitian ilmiah yang
menunjukkan stres itu menyebabkan
skizofrenia, jelas bahwa skizofrenia adalah
ganggguan yang tidak hanya menyebabkan
stres tapidiperburuk oleh stres.
Sumber koping Psikosis adalh penyakit yang membutuhkan
penyesuaian untuk pasien dan keluarga.
Sumber keluarga, seperti pemahaman ornag tua
tentang penyakit, keuangan, ketersediaan
waktu, energi dan kemampuan untuk
memberikan dukungan berkelanjutan
mempengaruhi jalannya penyesuaian
postpsikotik. Proses ini memiliki 3mpat fase
dan mungkin memakan waktu 3 hingga 6
tahun.

1. Disonansi kognitif (Psikosis aktif) :


melibatkan pencapaian kemanjuran
farmakologis untuk mengurangi gejala
dan menstabilkan psikosis aktif, bisa
memakan waktu 6-12 bulan.
2. Mencapai wawasan : wawasan muncul
bersama kemampuan untuk melakukan
pengecekan realitas yang andal,
membuthkan waktu 6-18 bulan
bergantung pada obat dan dukungan
berkelanjutan.
3. Keteguhan kognitif (stabilitas dalam
semua aspek kehidupan) : melanjutkan
kembali hubungan interpersonal normal
dan melibatkan kembali kegiatan sesuai
usaid, memakan waktu 1 hingga 3
tahun.
4. Bergerak menuju pencapaian pekerjaan
atau pendidikan : kemampuan untuk
secara konsisten terlibat dalam dan
menyelesaikan aktivitas sesua dengan
usia dari kehidupan sehari-hari, fase ini
berlangsung setidaknya 2 tahun.
Mekanisme koping Pada fase aktif psikosis, pasien menggunakan
beberapa mekanisme pertahanan tidak sadar
dalam upaya untuk melindungi diri dari
pengalaman menakutkan yang disebabkan
penyakitnya.

1. Regresi : pemrosesan informasi dan


pengeluaran energi dalam jumlah besar
dalam upaya untuk mengelola
kecemasan.
2. Proyeksi : menjelaskan persepsi yang
membingungkan dengan memberikan
tanggung jawab kepada orang lain atau
sesuatu.
3. Withdrawal : masalah membangun
kepercayaan dengan pengalaman
internal.
4. Denial : sering digunakan oleh pasien
dan keluarga, sama seperti penolakan
yang terjadi setiap diberikan informasi
yang menyebabkan ketakutan dan
kecemasan.
Sumber : diadaptasi dari (Stuart, G. W. 2013. Principle and practice of
Psychiatric nursing 10th ed. St. Louis : Elsevier)
3. Proses Terjadinya Gangguan jiwa
a. Proses terjadinya gangguan jiwa menurut struart
Gangguan jiwa adalah perilaku atau psikologis yang ditunjukkan
oleh individu yang menyebabkan distress, disfungsi dan menurunkan
kualitas kehidupan (Stuart, 2013). Model adaptasi stress stuart mengenai
asuhan keperawatan kesehatan jiwa memandang perilaku manusia dari
sudut pandang secara keseluruhan yang terdiri dari aspek biologis,
psikologi dan social budaya dalam asuhan keperawatan. Model ini
pertama kali dikembangkan oleh Gail Stuart pada tahun 1983. Fakta
menunjukkan bahwa banyak pasien mengalami gangguan jiwa karena
kegagalan beradaptasi.
Keperawatan kesehatan jiwa menggunakan model stres adaptasi
dalam mengidentifikasi penyimpangan perilaku. Model ini
mengidentifikasi sehat sakit sebagai hasil berbagai karakteristik individu
yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. Model ini mengintegrasikan
komponen biologis, psikologis, serta sosial dalam pengkajian dan
penyelesaian masalahnya. Apabila masalah disebabkan karena fisik, maka
pengobatan dengan fisik atau kimiawi. Apabila masalah psikologis, maka
harus diselesaikan secara psikologis. Demikian pula jika masalah sosial,
maka lebih sering dapat diselesaikan dengan pendekatan sosial melalui
penguatan psikologis.
Beberapa hal yang harus diamati dalam model stres adaptasi adalah
faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber
koping, dan mekanisme koping yang digunakan. Ada dua kemungkinan
koping terpilih yaitu berada antara adaptif dan maladaptif. Koping ini
bersifat dinamis, bukan statis pada satu titik. Dengan demikian, perilaku
manusia juga selalu dinamis, yakni sesuai berbagai faktor yang
memengaruhi koping terpilih. Mekanisme koping dapat bersifat
konstruktif dan destruktif.
Berikut adalah model pengkajian asuhan keperawatan kesehatan jiwa menurut
stuart:

Faktor predisposisi

Biologis Fisiologis Sosial Budaya


Stressor Presipitasi

Sifat Asal Waktu Jumlah


Penilaian Terhadap Stressor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial


Sumber Koping

Kemampuan Personal Dukungan sosial Modal material Keyakinan positif

Konstruktif Destruktif

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Proses terjadinya gangguan jiwa menurut stuart dimulai dengan suatu


trigger individu menghadapi suatu permasalahan, hal pertama yang menentukan
bagaimana individu tersebut menghadapi suatu masalah adalah faktor
predisposisi, yaitu faktor resiko dan protektif yang mempengaruhi jumlah dan
jenis sumber yang dapat digunakan seseorang untuk mengatasi stress,yang terdiri
dari faktor biologis, fisiologis dan social budaya . Lalu ada stressor presipitasi,
yaitu stimulus yang menantang dan menuntut individu, yang memerlukan energi
tambahan dan mengakibatkan suatu ketegangan dan stress, contohnya : asal
stressor, sifat, waktu dan jumlah. Individu yang menerima stressor dalam jumlah
yang banyak dan terus menerus dapat menimbulkan stress yang lebih sulit diatasi
ketimbang yang hanya menerima beberapa kali.

Penilaian terhadap stressor adalah tahap berikutnya, yaitu bagaimana


stressor itu dimaknai oleh individu, dimulai dari respon kognitif, ketika individu
tidak mampu bertahan dan memiliki sikap negative terhadap suatu masalah maka
akan kesulitan untuk mengatasi stressor. Respon afektif yaitu perasaan yang
muncul, bisa berupa sedih, gembira, takut, marah. Respons fisiologis, adalah
bagaimana stress mempengaruhi berbagai hormone dan neurotrasmiter di otak.
Respon perilaku hasil dari respons emosional dan fisiologis. Ketika individu
memaknai stressor sebagai sesuatu yang negative maka respon yang dihasilkan
akan tidak baik.

Sumber koping meliputi sosial ekonomi, kemampuan dan keterampilan,


teknik pertahanan, dukungan sosial, serta motivasi. Ketika individu menghadapi
masalah, maka sumber koping dapat membantu untuk menentukan apa yang dapat
dilakukan dan apa yang beresiko.

Mekanisme koping adalah segala upaya yang dilakukan untuk mengelola


stress yang dapat bersifat konstrukstif dan destruktif. Mekanisme konstruktif
terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai sinyal peringatan dan individu
menerima sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping
destruktif menghindari kecemasan tanpa menyelasaikan konflik.

Dapat disimpulkan terjadinya gangguan jiwa menurut stuart adalah ketika


suatu individu menerima stressor, maka faktor predisposisi, stresor presipitasi,
penilaian terhadap stresor dan sumber koping mempengaruhi individu tersebut
untuk menentukan mekanisme koping. Saat faktor diatas memberikan respon yang
negatif, makna yang negatif dan sumber koping yang tidak adekuat, maka
mekanisme koping yang terjadi adalah mekanisme koping yang destruktif.
Mekanisme koping yang destruktif yang tidak menyelesaikan konflik tetapi
mematikan peringatan akan kecemasan, yang apabila berkelanjutan maka akan
menyebabkan gangguan jiwa.
b. Proses terjadinya gangguan jiwa menurut Erik erikson
Teori yang disampaikan oleh Erik Erikson yang membahas tentang
perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial.
Menurut Erikson, perkembangan psikologi manusia dihasilkan dari
interaksi antara proses- proses maturasional atau kebutuhan biologis
dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan- kekuatan sosial yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang seperti ini, teori Erikson
menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan
salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Erikson yang
membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan
kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson
mengungkapkan bahwa kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi
antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-
tindakan social. Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah
sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu
tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia.
Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi
perhatian yang lebih kepada ego dari pada id dan superego. Ego berkembang
melalui respon terhadap kekuatan dalam dan kekuatan lingkungan sosial. Ego
bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi) membantu diri menangani
dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif sebagai bentuk
dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan matang
melalui pengalaman sosial dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat rentan ego,
defense yang irasional, efek trauma-anxie-guilt, dan dampak lingkungan yang
membatasi dan tidak peduli terhadap individu. Namun menurutnya ego
memiliki sifat adaptif, kreatif, dan otonom (adaptable, creative, dan autonomy).
Dia memandang lingkungan bukan semata-mata menghambat dan menghukum
(Freud), tetapi juga mendorong dan membantu individu.
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego,
kepercayaan, penghargaan, otonomi, kemauan, kerajinan dan kompetensi,
identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan,
serta integritas. Ego semacam itu disebut juga ego-kreatif, ego yang dapat
menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap
kehidupan. Apabila menemui hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi
bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi
tuan/pengatur id, superego dan dunia luar. Jadi, ego di samping hasil proses
faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks
kultural dan historik. Ego yang sempurna, digambarkan Erikson memiliki tiga
dimensi, faktualitas, universalitas, dan aktualitas :

- Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat


diverifikasi dengan metoda kerja yang sedang berlaku. Ego berisi
kumpulan fakta dan data hasil interaksi dengan lingkungan.
- Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality)
yang menggabungkan hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan
semesta, mirip dengan prinsip realita dari Freud.

- Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain,
memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah
realitas kekinian, terus mengembangkan cara baru dalam memecahkan
masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif, dan progresif.

Menurut Erikson, ego sebagian bersifat tak sadar, mengorganisir dan


mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan
diri masa yang akan datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling
behubungan, yakni body ego (mengacu ke pangalaman orang dengan
tubuh/fisiknya sendiri), ego ideal (gambaran mengenai bagaimana seharusnya
diri, sesuatu yang bersifat ideal), dan ego identity (gambaran mengenai diri dalam
berbagai peran sosial). Ketiga aspek itu umumnya berkembang sangat cepat pada
masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada
semua tahap kehidupan.

Teori ego dari erikson mengatakan bahwa perkembangan kepribadian


mengikuti prinsip epigenetic. Bagi organisme, untuk mencapai penuh dengan
struktur biologis potensialnya, lingkungan harus memberikan stimulus yang
khusus. Menurut erikson, fungsi psikoseksual dari freud juga epigenesis, artinya
psikoseksual untuk berkembang membutuhkan stimulasi khusus dari lingkungan,
dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan social.

c. Ciri khas psikologi ego dari Erikson :

- Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri


dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah
kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang
neurotik.

- Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan


menambahkan konsep epigenetik kepribadian.

- Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin


berasal dari impuls id yang tak sadar, namun motif itu bisa
membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran
sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah,
persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan bebas dari Id,
membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem kerja id.

- Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang.


Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan
perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan masa yang akan
datang.
Tabel perkembangan Erik Erikson

Konflik-konflik ini tidak berlangsung dalam situasi “sekali untuk


selamanya” melainkan berlangsung sebagai proses di sepanjang rangkaian
(kontinum) psikologis. Titik- titik ekstrem dalam kontinum ini tidak ada dalam
kenyataan, namun bagian-bagian dari setiap titik ekstrem itu seringkali bisa
ditemukan pada semua individu dalam tahapan mana pun. Sebagai contoh, tidak
ada anak yang tumbuh dengan rasa percaya (trust) sepenuhnya atau rasa tidak
percaya (distrust) sepenuhnya – masing-masing individu beradaptasi sesuai
dengan apa yang digariskan oleh tuntutan social. Teori Erikson terdiri atas
delapan tahapan semacam itu, yang masing- masingnya terkait dengan krisis yang
harus diselesaikan oleh individu untuk bisa berpindah ke tahapan berikutnya.
Dalam pandangan Erikson, proses pematangan (maturational) bisa jadi merupakan
faktor pendorong munculnya tahapan baru; adapun tuntutan sosial, yang telah ada
sejak manusia dalam kandungan hingga kematian, bertindak sebagai kekuatan
penengah dan pembentuk. teori Erikson menekankan pentingnya kedudukan ego.
Bagi Erikson, ego merupakan struktur penyatu, dan kekuatan ego merupakan lem
yang merekatkan berbagai aspek atau dimensi fungsi-fungsi psikologis.
Pandangan Erikson mengenai ego ini serupa dengan yang ada pada Freud: ego
adalah pelaksana tindakan pencapaian-tujuan realistis dan menjadi penengah
antara dorongan biologis id dan batasan masyarakat berupa superego. Namun sifat
perkembangan yang ada dalam teori Erikson menjadikan ego sebagai struktur
yang paling penting. Melalui ego, manusia mengalami dan menyelesaikan krisis-
krisis perkembangan tertentu. Ketika ego goyah dan tidak bisa menangani suatu
krisis, maka perkembangan pun menjadi terancam. Erikson yakin bahwa
meskipun dorongan biologis memiliki arti yang amat penting, namun tekanan
sosial dan kekuatan lingkungan memiliki dampak yang lebih besar. Pengamatan
terperinci atas kekuatan-kekuatan seperti ini dalam kehidupan individu akan
memperlihatkan apa yang oleh Erikson disebut sebagai psikohistori
(psychohistory) - yakni riwayat kejadian-kejadian sosial yang berinteraksi dengan
proses-proses biologis sehingga menghasilkan perilaku

d. Psikososial dalam Psikosomatis

Dalam diagnosis multiaksial, aksis IV bertujuan untuk melaporkan masalah


psikososial dan lingkungan pasien dapat yang mempengaruhi diagnosis,
penanganan, serta prognosis gangguan mental (aksis I dan II). Masalah
psikososial dan lingkungan dapat berupa pengalaman hidup yang tidak baik,
kesulitan atau defisiensi lingkungan, stres interpersonal ataupun familial,
kurangnya dukungan sosial atau penghasilan pribadi, ataupun masalah lain yang
berkaitan dengan kesulitan seseorang untuk dapat berkembang. Stresor ternyata
dapat pula bersifat positif, misalnya promosi dalam pekerjaan. Hal ini disebut
sebagai stresor jika keberadaanya justru menyebabkan datangnya masalah bagi
seseorang dalam hal kesulitan beradaptasi pada situasi yang baru. Dalam perannya
sebagai inisiator maupun pencetus eksaserbasi terhadap gangguan mental,
masalah psikososial dapat muncul sebagai konsekuensi dari psikopatologis
seseorang, dalam bentuk masalah-masalah yang harus dipertimbangkan dalam
manajemen secara holistic.
Saat seseorang memiliki masalah psikososial dan lingkungan yang
multiple, klinisi harus mencatat sebanyak-banyaknya hal-hal yang dianggap
relevan. Pada umumnya, klinisi hanya perlu mencatat masalah-masalah
lingkungan dan psikososial yang telah ada sejak satu tahun sebelum pemeriksaan.
Namun demikian, jika terdapat masalah psikososial dan lingkungan di luar waktu
tersebut namun memiliki dampak yang nyata terhadap gangguan mental dan
ditetapkan sebagai fokus penanganan, maka hal tersebut juga perlu dicatat.
Sebagai contoh, pengalaman perang yang menyebab gangguan post-traumatik.

Dalam praktek klinis, kebanyakan masalah psikososial dan lingkungan akan diletakkan
pada aksis IV. Namun demikian, jika masalah psikososial dan lingkungan ini merupakan
fokus primer dari perhatian klinis, maka hal tersebut juga harus dimasukkan di aksis I,
dimana kodenya berasal dari bagian “Kondisi-kondisi Lain yang dapat menjadi Fokus
perhatian Klinis”

Kategori masalah psikososial dan lingkungan :

- Masalah dukungan keluarga inti, misalnya : kematian anggota keluarga, masalah


kesehatan di keluarga, perpecahan di keluarga, perpisahan/perceraian, diusir dari
rumah, orang tua yang kawin lagi, kekerasan seksual dan fisik, orang tua yang
overprotective, anak-anak yang ditelantarkan, kurang disiplin, perselisihan antar
saudara sekandung, kelahiran saudara sekandung,
- Masalah terkait lingkungan sosial, misalnya : kehilangan/kematian teman
dekat, kurangnya dukungan sosial, hidup sendiri, kesulitan untuk
menyesuaikan diri, diskriminasi, penyesuaian terhadap perubahan-
perubahan dalam hidup (contohnya : pensiun)

- Masalah Pendidikan, misalnya: buta huruf, masalah akademis, konflik


dengan guru atau teman sekelas, lingkungan sekolah yang kurang
mendukung

- Masalah Pekerjaan, misalnya: pengangguran, ancaman kehilangan


pekerjaan, jadwal kerja yang padat, kondisi kerja yang sulit, ketidakpuasan
dalam pekerjaan, kesempatan dalam bekerja, ketidakharmonisan dengan
atasan atau rekan sekerja.
- Masalah Perumahan, misalnya: tidak punya rumah/tempat tinggal, rumah
yang tidak layak, tetangga yang kurang baik, gangguan dari tetangga
ataupun pemilik tanah/lahan

- Masalah Ekonomi, misalnya: kondisi yang sangat miskin, keuangan yang


tidak memadai, kurangnya jaminan kesejahteraan.

- Masalah Akses ke Pelayananan Kesehatan, misalnya: Pelayanan kesehatan


yang tidak memadai, ketiadaan transportasi ke sarana pelayanan kesehatan,
asuransi kesehatan yang tidak memadai.

- Masalah Interaksi dengan Sistem Hukum/Kriminal, misalnya: dipenjara,


ditahan, didakwa, korban kejahatan.

- Masalah Psikososial dan Lingkungan Lainnya, misalnya: Paparan terhadap


bencana alam, perang, konflik/permusuhan lain, perselisihan dengan mitra
non- keluarga misalnya, konsultan keluarga, pekerja sosial, dokter
keluarga, ketiadaan layanan sosial.
4. Respon Neurobiologis dan Skizofrenia dan Phsycotic Disorders
Menurut Stuart
Kisaran respons neurobiologis mencakup respons adaptif, seperti
pemikiran logis dan persepsi akurat, hingga respons maladaptif, seperti
distorsi pikiran dan halusinasi. Gejala-gejala psikosis berada pada ujung
maladaptif dari respon ini. Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis
yang serius dan persisten. Skizofrenia menghasilkan tanggapan yang
dapat sangat merusak kehidupan individu, keluarga mereka, dan
komunitas (Stuart, 2013).
a. Pengkajian
Skizofrenia adalah salah satu kelompok gangguan psikotik.
Gangguan psikotik lainnya termasuk gangguan skizofreniform,
gangguan skizoafektif, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat,
gangguan psikotik bersama (folie a deux), gangguan psikotik yang
disebabkan oleh kondisi medis umum, dan gangguan psikotik yang
diinduksi zat (American Psychiatric Association, 2000). Salah satu
cara mengkategorikan gejalanya adalah dengan mendaftar gejala
skizofrenia sebagai gejala positif (perilaku normal berlebihan) dan
gejala negatif (perilaku normal berkurang). Perilaku ini diatur dalam
kategori berikut:

- Kognisi
- Persepsi
- Emosi
- Perilaku dan gerakan
- Sosialisasi (Stuart, 2013)
1) Perilaku (Behaviour)
a) Kognisi
Kognisi adalah tindakan atau proses mengetahui. Kognisi
melibatkan kesadaran dan penilaian yang memungkinkan otak
untuk memproses informasi dengan cara yang memberikan akurasi,
penyimpanan, dan pengambilan. Orang dengan skizofrenia
seringkali tidak dapat menghasilkan pemikiran logis yang
kompleks atau mengekspresikan kalimat yang masuk akal karena
transmisi neurotransmisi dalam sistem pemrosesan informasi otak
tidak berfungsi. Defisit kognitif ini sering hadir pada pasien yang
berisiko tinggi secara klinis untuk psikosis sebelum timbulnya
penyakit psikotik (Carrion et al, 2011).
Pemrosesan informasi melibatkan pengorganisasian input
sensorik oleh proses otak ke dalam respons perilaku. Input sensorik
dari indera internal dan eksternal disaring sesuai dengan fokus
perhatian dan kemampuan orang tersebut untuk mengingat, belajar,
membedakan, menafsirkan, dan mengatur informasi. Hasilnya
terlihat dalam pemikiran, persepsi, perasaan, perilaku, dan
keterkaitan orang tersebut dengan orang lain (Stuart, 2013).
Orang dengan skizofrenia cenderung melebih-lebihkan atau
meremehkan kemampuan mereka sendiri. Disfungsi otak yang
abnormal selama episode skizofrenia akut membuat sulit bagi
pasien untuk menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan.
Kurangnya wawasan adalah defisit neurologis yang melibatkan
lobus frontal dan prefrontal otak. Ini disebut anosognosia, suatu
kondisi di mana pasien tidak mengenali bahwa ada sesuatu yang
salah atau bahwa ada defisit dalam bentuk apa pun (Amador,
2007). Gejala yang terkait dengan masalah dalam pemrosesan
informasi yang terkait dengan skizofrenia sering disebut defisit
kognitif. Mereka termasuk masalah dengan fungsi kognitif dalam
semua aspek memori, perhatian, bentuk dan organisasi pidato,
pengambilan keputusan, dan konten pemikiran (Stuart, 2013).
b) Memory

Masalah ingatan yang berhubungan dengan skizofrenia


dapat meliputi pelupa, ketidaktertarikan, kesulitan belajar, dan
kurangnya kepatuhan (Stuart, 2013).
c) Perhatian

Gangguan dalam perhatian adalah umum dalam skizofrenia


dan termasuk kesulitan menyelesaikan tugas, kesulitan
berkonsentrasi pada pekerjaan, dan distraktibilitas (Stuart, 2013).

d) Bentuk dan Organisasi Bicara

Bentuk dan organisasi bicara adalah inti dari komunikasi.


Masalah dalam pemrosesan informasi dapat mengakibatkan
komunikasi yang tidak koheren. Masalah dengan bentuk dan
pengorganisasian wicara (gangguan pikiran formal) dapat meliputi
asosiasi longgar, kata salad, tangensialitas, ketidaklogisan,
keadaan, tekanan bicara, kemiskinan berbicara, gangguan bicara,
dan dentang (Stuart, 2013).

e) Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan berarti mencapai solusi atau


membuat pilihan. Masalah dengan pengambilan keputusan
mempengaruhi wawasan, penilaian, logika, ketegasan,
perencanaan, kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan,
dan pemikiran abstrak. Kurangnya wawasan mungkin merupakan
salah satu masalah terbesar dalam skizofrenia, karena pasien
umumnya tidak percaya bahwa mereka sakit atau berbeda dalam
hal apa pun (Stuart, 2013).

Sayangnya, banyak dokter bingung kurangnya wawasan


dengan penolakan dan memperlakukan orang yang menderita
skizofrenia seolah-olah gejala mereka disengaja dan dalam kontrol
mereka. Ketika pengambilan keputusan termasuk defisit kognitif,
pasien membuat keputusan berdasarkan kesimpulan yang salah
namun tidak dapat memahami bahwa penilaian itu salah (Stuart,
2013).
Beberapa orang dengan skizofrenia tidak dapat mengambil
keputusan. Bagi mereka, hidup paling sulit. Mereka bergulat
dengan keputusan sederhana seperti cangkir kopi mana yang akan
digunakan. Rencana berdasarkan pengambilan keputusan yang
salah tidak berhasil. Gejala ini menciptakan banyak frustrasi yang
dialami oleh pasien dengan skizofrenia (Stuart, 2013).

Kurangnya wawasan mungkin merupakan salah satu


masalah terbesar dalam skizofrenia, karena pasien umumnya tidak
percaya bahwa mereka sakit atau berbeda dalam hal apa pun.
Sayangnya, banyak dokter bingung kurangnya wawasan dengan
penolakan dan memperlakukan orang yang menderita skizofrenia
seolah-olah gejala mereka disengaja dan dalam kontrol mereka.
Ketika pengambilan keputusan termasuk defisit kognitif, pasien
membuat keputusan berdasarkan kesimpulan yang salah namun
tidak dapat memahami bahwa penilaian itu salah. Beberapa orang
dengan skizofrenia tidak dapat mengambil keputusan. Bagi
mereka, hidup paling sulit. Mereka bergulat dengan keputusan
sederhana seperti cangkir kopi mana yang akan digunakan.
Rencana berdasarkan pengambilan keputusan yang salah tidak
berhasil. Gejala ini menyebabkan frustrasi yang dialami oleh
pasien dengan skizofrenia (Stuart, 2013).

f) Konten Pemikiran

Konten pemikiran adalah area terakhir untuk penilaian


fungsi kognitif. Masalah dengan isi pemikiran termasuk adanya
delusi pada orang dengan psikosis. Khayalan adalah keyakinan
pribadi yang didasarkan pada kesimpulan yang salah dari realitas
eksternal. Salah satu fungsi utama pikiran adalah menghasilkan
pikiran. Pikiran memberikan rasa identitas. Pikiran adalah hasil
dari penyaringan dan penyaringan rangsangan internal dan
eksternal dan penggunaan beberapa putaran umpan balik di otak.
Pengetahuan tentang defisit kognitif yang telah dijelaskan
membantu perawat memahami mengapa orang dengan skizofrenia
kadang-kadang memiliki keyakinan yang berbeda dari orang lain.
Ketidakmampuan otak untuk memproses data secara akurat dapat
mengakibatkan delusi paranoid, muluk-muluk, religius, nihilistik,
dan somatik. Delusi dapat menjadi lebih rumit dengan penarikan
pikiran, penyisipan pikiran, pengendalian pikiran, atau penyiaran
pikiran (Stuart, 2013).

2) Persepsi
Persepsi adalah identifikasi dan interpretasi suatu stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui penglihatan, suara,
rasa, sentuhan, dan bau. Masalah persepsi sering merupakan gejala
pertama pada banyak penyakit otak. Halusinasi adalah distorsi
persepsi salah yang terjadi pada respons neurobiologis maladaptif.
Pasien benar-benar mengalami distorsi sensorik sebagai nyata dan
merespons sesuai. Namun, dengan halusinasi, tidak ada stimulus
eksternal atau internal yang dapat diidentifikasi (Stuart, 2013).
3) Emosi
Emosi dijelaskan dalam hal suasana hati dan pengaruh.
Suasana hati adalah nada perasaan yang luas dan berkelanjutan
yang dapat dialami selama beberapa jam atau selama bertahun-
tahun dan memengaruhi pandangan dunia seseorang. Affect
mengacu pada perilaku seperti gerakan tangan dan tubuh, ekspresi
wajah, dan nada suara yang dapat diamati ketika seseorang
mengekspresikan dan mengalami perasaan dan emosi. Istilah yang
terkait dengan pengaruh mencakup luas, terbatas, tumpul, datar,
dan tidak pantas. Apa yang dianggap normal sangat bervariasi
antar budaya. Pengaruh luas atau terbatas biasanya dianggap
berada dalam kisaran normal, sedangkan pengaruh tumpul, datar,
atau tidak tepat merupakan gejala dari masalah yang mendasarinya.
Gangguan afek mengacu pada ekspresi emosi, bukan pengalaman
emosi (Stuart, 2013).
Emosi dapat berupa hyperexpressed (terlalu banyak) atau
hypoexpressed (terlalu sedikit). Penderita skizofrenia umumnya
memiliki gejala hipoekspresi. Beberapa pasien merasa bahwa
mereka tidak lagi memiliki perasaan dan bahwa mereka memiliki
kemampuan menurun untuk merasakan keintiman dan kedekatan.
Masalah emosi yang biasanya terlihat pada skizofrenia meliputi:
- Alexitimia: kesulitan menyebutkan dan menggambarkan emosi
- Anhedonia: ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
untuk mengalami kesenangan, kegembiraan, keintiman, dan
kedekatan
- Sikap apatis: kurangnya perasaan, emosi, minat, atau
kepedulian
Selain masalah dengan emosi dan pengaruh, orang dengan
skizofrenia juga dapat memiliki gangguan mood. Diagnosis
gangguan skizoafektif diberikan kepada pasien yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk skizofrenia serta untuk gangguan bipolar
atau depresi berat (Stuart, 2013).

4) Perilaku dan Gerakan


Definisi perilaku dan gerakan "normal" didasarkan pada
budaya, kesesuaian usia, dan penerimaan sosial. Respons
neurobiologis maladaptif menyebabkan perilaku dan gerakan yang
aneh, tidak enak dilihat, membingungkan, sulit dikelola,
disfungsional, dan membingungkan orang lain. Dengan eksplorasi,
banyak perilaku dapat dijelaskan dan gerakan dapat dipahami.
Beberapa masuk akal berdasarkan informasi yang diberikan oleh
pasien atau penyakit neurobiologis pasien (Stuart, 2013).
Perilaku maladaptif dalam skizofrenia termasuk penampilan
yang memburuk, kurangnya kegigihan di tempat kerja atau
sekolah, avolisi, perilaku berulang atau stereotip, agresi, agitasi,
dan negativisme. Kerusakan penampilan meliputi pakaian yang
kusut dan kotor, penampilan tidak rapi dan tidak rapi, perawatan
pribadi yang buruk atau tidak ada, dan kurangnya kebersihan
pribadi. Ini sering merupakan rangkaian gejala pertama yang
terjadi dan merupakan sinyal bagi keluarga bahwa ada sesuatu
yang terjadi pada orang yang mereka cintai (Stuart, 2013).
Gerakan maladaptif yang berhubungan dengan skizofrenia
termasuk katatonia, gerakan mata abnormal, meringis, apraxia /
ekopraksia, gaya berjalan abnormal, tingkah laku, dan efek
samping ekstrapiramidal dari obat-obatan psikotropika. Catatonia
adalah keadaan luar biasa di mana pasien mungkin memerlukan
perawatan fisik lengkap, mirip dengan yang untuk pasien koma,
kadang-kadang dengan ledakan perilaku agresif atau sikap aneh
yang tidak terduga. Gerakan mata yang tidak normal termasuk
kesulitan mengikuti target bergerak, tidak adanya atau menghindari
kontak mata, mata menurun atau berkedip cepat, dan sering
menatap. Ini adalah gejala okulomotor yang umum ditemukan pada
40% hingga 80% orang dengan skizofrenia. Meringis mengacu
pada gerakan wajah abnormal yang berada di luar kendali pasien
dan tidak disebabkan oleh obat-obatan psikotropika (Stuart, 2013).
Apraxia adalah kesulitan melakukan tugas yang terorganisir
dan terencana yang agak rumit, seperti berpakaian. Echopraxia
adalah tiruan tanpa tujuan dari gerakan yang dilakukan oleh orang
lain. Mengejutkan, melangkah dengan sengaja, dan berjalan
dengan jari kaki menyentuh tanah terlebih dahulu adalah ukuran
abnormal yang biasa terjadi pada orang dengan skizofrenia.
Mannerisme melibatkan gerakan yang tampaknya dibuat-buat dan
tidak sesuai dengan situasi, seperti berhenti di tengah kalimat untuk
berputar dua jari di sekitar (Stuart, 2013).
5) Sosialisasi
Sosialisasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan
kooperatif dan saling tergantung dengan orang lain. Perilaku yang
secara langsung menyebabkan masalah ini termasuk
ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara koheren, kehilangan
dorongan dan minat, kemunduran keterampilan sosial, kebersihan
pribadi yang buruk, dan paranoia (Stuart, 2013).
6) Kesehatan fisik
Individu dengan skizofrenia memiliki morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi karena penyakit fisik (Lawrence et al,
2010; Platt et al, 2010; Jeste et al, 2011). Bagian dari masalah
adalah gaya hidup berisiko tinggi dari orang dengan skizofrenia,
yang meliputi hidup menetap, merokok, kebiasaan diet yang tidak
sehat, dan obesitas. Ini dapat menyebabkan diabetes, hipertensi,
dan penyakit arteri koroner (Megna et al, 2011). Antipsikotik
atipikal juga berkontribusi terhadap kondisi medis ini. Selain itu,
ada perbedaan serius dalam perawatan kesehatan untuk pasien
dengan penyakit mental yang parah (Stuart, 2013).
7) Faktor Predisposisi
Skizofrenia adalah gangguan otak perkembangan saraf.
Tidak ada satu hal pun yang menyebabkan skizofrenia. Ini adalah
hasil akhir dari interaksi yang kompleks di antara ribuan gen dan
banyak faktor risiko lingkungan, yang tidak satu pun dengan
sendirinya menyebabkan skizofrenia. Skizofrenia adalah kelainan
neurobiologis kompleks sirkuit neurotransmitter otak, defisit
neuroanatomical, kelainan neuroelektrik, dan disregulasi
neurocirculatory. Ini pada akhirnya menyebabkan otak salah dan
gejala klinis (Gilmore, 2010).
a) Genetika
Genetika berperan dalam skizofrenia tetapi sulit untuk
memisahkan pengaruh genetika dan lingkungan. Tujuan dari
penelitian genetik adalah untuk akhirnya memetakan
kerentanan genetik untuk skizofrenia dan kemudian
mengembangkan intervensi genetik sebagai modalitas
pengobatan. Cacat genetik spesifik yang menyebabkan
skizofrenia belum diidentifikasi, tetapi kemajuan telah dibuat
untuk mengidentifikasi mekanisme dan lokasi gen potensial
(MacDonald dan Schulz, 2009). Faktor risiko paling signifikan
untuk mengembangkan skizofrenia adalah memiliki kerabat
tingkat pertama dengan skizofrenia (Stuart, 2013).
b) Neurobiologi
Studi menunjukkan kelainan anatomi, fungsional,
dan neurokimiawi pada otak orang yang hidup dan
postmortem dengan skizofrenia. Penelitian menunjukkan
bahwa korteks prefrontal dan korteks limbik mungkin tidak
pernah sepenuhnya berkembang pada otak orang dengan
skizofrenia. Dua temuan penelitian neurobiologis yang
paling konsisten dalam skizofrenia adalah penurunan
volume otak dan perubahan banyak sistem
neurotransmitter. Volume otak yang menurun mencakup
penurunan materi abu-abu dan materi putih (akson neuron)
(Arnsten, 2011).
Perhatian khusus telah difokuskan pada hal-hal berikut:
- Korteks frontal, berimplikasi pada gejala negatif
skizofrenia
- Sistem limbik (di lobus temporal), berimplikasi pada
gejala positif skizofrenia
- Sistem neurotransmitter yang menghubungkan daerah-
daerah ini, terutama dopamin dan serotonin, dan yang
lebih baru, glutamate

Oleh karena itu perilaku psikotik mungkin terkait dengan


lesi di daerah frontal, temporal, dan limbik otak dan
disregulasi sistem neurotransmitter yang menghubungkan
daerah-daerah ini. Studi pencitraan. Komputasi tomografi
dan pencitraan resonansi magnetik struktur otak
menunjukkan penurunan volume otak pada orang dengan
skizofrenia. Temuan meliputi:

- Ventrikel lateral dan ketiga yang lebih besar


- Penurunan volume materi abu-abu di hippocampus,
nukleus berekor, talamus, insula, gingrus cingulate
anterior, gyrus frontal inferior, dan otak kecil

- Atrofi di lobus frontal dan struktur limbik (terutama


hippocampus dan amigdala)

- Peningkatan ukuran sulci (celah) di permukaan otak

Temuan ini menunjukkan hilangnya atau


keterbelakangan jaringan otak. Ventrikel yang
membesar telah dikaitkan dengan dua indikator
prognosis yang buruk: usia dini saat onset dan fungsi
premorbid yang buruk (berfungsi sebelum diagnosis
pertama). Pemindaian tomografi emisi positron
biasanya menunjukkan penurunan aliran darah otak ke
lobus frontal selama tugas kognitif spesifik pada
orang dengan skizofrenia. Hipometabolisme frontal
ini dianggap bertanggung jawab atas beberapa
masalah dengan perhatian, perencanaan, dan
pengambilan keputusan. Talamus terletak di pusat
otak, dekat lobus temporal dan hippocampus; ini
mengatur input sensorik dan berfungsi sebagai filter
atau stasiun pemancar antara korteks serebral dan
bagian otak lainnya. Tampaknya lebih kecil dari rata-
rata dan telah mengurangi aktivitas pada beberapa
pasien skizofrenia. Ini mungkin menjelaskan beberapa
masalah dalam penyaringan sensorik dan pemrosesan
informasi pada banyak orang dengan skizofrenia.
Ganglia basal, bagian dari sistem ekstrapiramidal,
bertanggung jawab untuk berbagai aspek gerakan,
seperti penghambatan gerakan yang tidak diinginkan
dan promosi pembelajaran dan perencanaan motorik.
Mereka juga dapat memainkan peran dalam fungsi
kognitif dengan konektivitas mereka yang kaya ke
lobus frontal. Ganglia basal terlalu aktif pada orang
dengan skizofrenia, mungkin menyebabkan kelainan
gerak dan bicara (Stuart, 2013).

c) Studi neurotransmitter
Penelitian di bidang neurotransmisi telah
menyebabkan hipotesis disregulasi skizofrenia, yang
menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh gangguan
persisten dalam satu atau lebih neurotransmitter atau
neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatik yang
mengakibatkan neurotransmisi neuron yang tidak stabil
atau tidak menentu. Teori ini mengusulkan bahwa daerah
mesolimbik memiliki jalur dopamin yang terlalu aktif,
sedangkan jalur dopamin di daerah mesokortikal prefrontal
bersifat hipoaktif, dan terdapat ketidakseimbangan antara
sistem neurotransmitter dopamin dan serotonin (Stuart,
2013).
Dopamin telah terlibat lebih lama daripada zat
kimia lainnya dalam studi neurotransmitter skizofrenia. Ini
karena telah lama diketahui bahwa obat-obatan yang
mengubah pikiran seperti amfetamin dan kokain
meningkatkan kadar dopamin otak dan menghasilkan
psikosis dan karena sejak awal dipahami bahwa obat-
obatan antipsikotik konvensional mengerahkan efek
terapeutik mereka dengan memblokir reseptor dopamin.
Dopamin penting dalam respons terhadap stres dan
memiliki banyak koneksi ke sistem limbik. Korteks
prefrontal memiliki beberapa reseptor dopamin sendiri,
tetapi dapat mengatur dopamin di sirkuit lain di otak. Juga,
dopamin hadir pada tingkat tinggi di otak selama masa
remaja akhir, ketika skizofrenia biasanya pertama kali
muncul (Stuart, 2013).
Dopamin ditemukan di tiga bagian otak:

- Pusat motor Substantia nigra, memengaruhi pergerakan dan


koordinasi

- Otak tengah, melibatkan emosi dan daya ingat

- Koneksi hipotalamik-hipofisis, yang melibatkan respons


emosional dan pola penanggulangan stress

Dopamin memiliki empat jalur utama di otak :

Jalur mesokortikal : menginervasi lobus frontal

- Fungsi: wawasan, penilaian, kesadaran sosial,


penghambatan, dan aktivitas kognitif tingkat tinggi
(penalaran, motivasi, perencanaan, pengambilan keputusan)

- Fungsi abnormal — gejala negatif: perataan atau tumpul


afektif, kemiskinan kemampuan berbicara atau bicara,
pemblokiran, perawatan yang buruk, kurangnya motivasi,
anhedonia, penarikan sosial, cacat kognitif, dan defisit
perhatian

Jalur mesolimbik : menginervasi sistem limbic

- Fungsi: terkait dengan memori, bau, efek visceral


otomatis, dan perilaku emosional

- Fungsi abnormal — gejala positif: halusinasi, delusi,


ucapan tidak teratur, dan perilaku aneh

Jalur Tuberoinfundibular : berasal dari hipotalamus dan


memproyeksikan ke hipofisis

- Fungsi: fungsi endokrin, lapar, haus, metabolisme, kontrol


suhu, pencernaan, gairah seksual, dan ritme sirkadian
- Fungsi abnormal: terlibat dalam beberapa kelainan
endokrin yang terlihat pada skizofrenia dan beberapa efek
samping obat antipsikotik, seperti hiperprolaktinemia.
Jalur Nigrostriatal: berasal dari substantia nigra dan
berakhir di nukleus-putamen kompleks (neostriatum)

- Fungsi: menginervasi motor dan sistem ekstrapiramidal

- Fungsi abnormal: terlibat dalam beberapa efek samping


gerakan obat-obatan antipsikotik, seperti tardive
dyskinesia, akathisia, dan reaksi distonik

Serotonin juga terlibat dalam skizofrenia. Ini memiliki efek


modulasi pada dopamin. Obat antipsikotik atipikal generasi
pertama adalah obat kombinasi serotonin / dopamin,
menjelaskan kemanjurannya yang lebih baik dibandingkan
antipsikotik tipikal. Memblokir serotonin dalam sistem limbik
meningkatkan dopamin frontal dengan efek bersih
memperbaiki gejala negative (Stuart, 2013).

Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama di otak.


Penelitian tentang efek PCP (phencyclidine), obat yang
tampaknya meniru gejala skizofrenia pada sukarelawan
normal, telah menyebabkan pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana glutamat berinteraksi dengan dopamin.
Fungsi kompleks reseptor utama glutamat, N-metil-d-aspartat
(NMDA), terganggu oleh PCP. Sistem komunikasi otak yang
penting ini ditemukan abnormal pada korteks prefrontal dan
thalamus dalam studi postmortem pasien dengan skizofrenia
(Stuart, 2013).

d) Perkembangan saraf.
Juga diyakini bahwa berbagai penyimpangan otak
struktural, fungsional, dan kimiawi yang terlihat pada
skizofrenia biasanya terjadi jauh sebelum gejala muncul,
mungkin dari tahun-tahun awal kehidupan, dan mungkin
sebelum kelahiran. Tidak jelas apakah perubahan-
perubahan ini disebabkan oleh cacat pemrograman genetik
atau cedera lingkungan atau keduanya, menciptakan
kerentanan yang tetap aktif sampai peristiwa perkembangan
selanjutnya terjadi. Beberapa anak dengan skizofrenia
menunjukkan kelainan halus yang melibatkan perhatian,
koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor, dan
respons emosional jauh sebelum mereka menunjukkan
gejala skizofrenia (Schiffman et al, 2004). Perbedaan anak
usia dini lainnya termasuk rasa malu yang berlebihan,
hiperaktif, mengompol, agresivitas, konsentrasi dan
koordinasi yang buruk, amukan, kompulsi cuci tangan,
kebalikan dari bicara bayi, dan keterlambatan belajar
berjalan dan berbicara (Stuart, 2013).
e) Teori Virus dan Infeksi
Pencarian untuk "virus skizofrenia" telah
berlangsung (Moreno et al, 2011). Bukti menunjukkan
bahwa paparan pralahir terhadap virus influenza, khususnya
selama trimester pertama, dapat menjadi salah satu faktor
dalam etiologi skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak
pada orang lain (Brown dan Derkits, 2010).
Teori ini didukung oleh fakta bahwa lebih banyak
orang dengan skizofrenia dilahirkan pada musim dingin
atau awal musim semi dan di daerah perkotaan,
menunjukkan potensi dampak musim dan tempat lahir pada
risiko skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi di
tempat-tempat ramai dan di musim dingin dan awal musim
semi; infeksi virus dapat terjadi dalam rahim atau pada
anak usia dini pada beberapa orang yang rentan. Juga telah
ditemukan bahwa wanita dengan tingkat antibodi
toksoplasma yang tinggi memiliki risiko yang secara
signifikan lebih tinggi terkena gangguan spektrum
skizofrenia (Pedersen et al, 2011).
8) Stres Pemicu
a) Biologis
Salah satu penyebab stres adalah gangguan dalam loop
umpan balik otak yang mengatur jumlah informasi yang dapat
diproses pada waktu tertentu. Pemrosesan informasi normal
terjadi dalam serangkaian aktivitas saraf yang telah ditentukan.
Stimulus visual dan auditori awalnya disaring dan disaring oleh
thalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus frontal. Jika
terlalu banyak informasi dikirim sekaligus atau jika informasi
itu salah, lobus frontal mengirim pesan berlebihan ke ganglia
basal. Ganglia basal pada gilirannya mengirim pesan ke
thalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.
Fungsi lobus frontal yang menurun merusak kemampuan loop
umpan balik ini untuk bekerja. Kurang kemampuan untuk
mengatur ganglia otak tersedia, dan akhirnya pesan untuk
memperlambat transmisi ke lobus frontal tidak pernah terjadi.
Hasilnya adalah pemrosesan informasi yang berlebihan dan
respons neurobiologis yang diuraikan di awal bab ini. Stresor
biologis lain yang mungkin adalah mekanisme gerbang
abnormal yang dapat terjadi pada skizofrenia. Gating adalah
proses listrik yang melibatkan elektrolit. Ini mengacu pada
potensial aksi saraf penghambat dan rangsang dan umpan balik
yang terjadi dalam sistem saraf yang terkait dengan transmisi
saraf lengkap. Penurunan gerbang ditunjukkan oleh
ketidakmampuan seseorang untuk secara selektif menghadiri
rangsangan (Alsene dan Backshi, 2011).
b) Pemicu Gejala
Stresor tertentu sering mendahului episode baru penyakit.
Kata pemicu digunakan untuk menggambarkan stresor ini.
Pasien dengan skizofrenia dapat belajar mengenali pemicu
yang sangat reaktif terhadap mereka, dan mereka dapat diajari
untuk menghindarinya, jika mungkin, dan menghubungi
penyedia perawatan kesehatan mental mereka untuk bantuan
jika mereka tidak bias (Stuart, 2013).
c) Penilaian Stres
Model Diatesis Stres. Stres Diathesis Model mengusulkan
bahwa gejala skizofrenik berkembang berdasarkan hubungan
antara jumlah stres yang dialami seseorang dan ambang
toleransi stres internal (Stuart, 2013).
d) Sumber Koping
Psikosis adalah penyakit yang menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang membutuhkan penyesuaian untuk pasien
dan keluarga. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang
tua tentang penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi,
dan kemampuan untuk memberikan dukungan berkelanjutan,
memengaruhi jalannya penyesuaian pascakotik. Proses
penyesuaian postpsikotik terdiri dari empat fase dan mungkin
memakan waktu 3 hingga 6 tahun (Moller dan Zauszniewsky,
2011):
1) Disonansi kognitif (psikosis aktif): Ini melibatkan mencapai
kemanjuran farmakologis untuk mengurangi gejala dan
menstabilkan psikosis aktif dengan menyortir kenyataan
dari ketidaknyamanan setelah episode pertama. Itu bisa
memakan waktu 6 hingga 12 bulan.

2) Mencapai wawasan: Awal wawasan terjadi dengan


kemampuan untuk melakukan pengecekan realitas yang
andal. Ini membutuhkan waktu 6 hingga 18 bulan dan
tergantung pada kemanjuran pengobatan dan dukungan
yang berkelanjutan.

3) Keteguhan kognitif (stabilitas dalam semua aspek


kehidupan): Ini termasuk melanjutkan kembali hubungan
interpersonal normal dan melibatkan kembali dalam
kegiatan sesuai usia yang berkaitan dengan sekolah dan
pekerjaan. Fase ini berlangsung 1 hingga 3 tahun.
4) Bergerak menuju pencapaian tujuan pekerjaan atau
pendidikan (biasa): Ini termasuk kemampuan untuk secara
konsisten terlibat dalam dan menyelesaikan aktivitas yang
sesuai dengan usia dari kehidupan sehari-hari yang
mencerminkan tujuan prepsikosis. Fase ini berlangsung
setidaknya 2 tahun.

e) Mekanisme Koping
1) Dalam fase aktif psikosis, pasien menggunakan beberapa
mekanisme pertahanan tidak sadar dalam upaya untuk
melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang
disebabkan oleh penyakit mereka.
2) Regresi berkaitan dengan masalah pemrosesan informasi
dan pengeluaran energi dalam jumlah besar dalam upaya
mengelola kecemasan, sehingga hanya menyisakan sedikit
untuk kegiatan sehari-hari.
3) Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi yang
membingungkan dengan memberikan tanggung jawab
kepada seseorang atau sesuatu.
4) Penarikan terkait dengan masalah membangun kepercayaan
dan keasyikan dengan pengalaman internal.
5) Penyangkalan sering digunakan oleh pasien dan keluarga.
Ini sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali
seseorang menerima informasi yang menyebabkan
ketakutan dan kecemasan (Saks, 2009).

b. Diagnosa
1) Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan mempertimbangkan tingkat fungsional,
stresor, dan sistem pendukung pasien dan harus diprioritaskan sesuai
dengan tahap penyakit pasien (krisis, akut, pemeliharaan, atau
promosi kesehatan). Diagnosis keperawatan NANDA Internasional
(NANDA-I) utama meliputi gangguan komunikasi verbal, gangguan
interaksi sosial, dan risiko gangguan identitas pribadi (Stuart, 2013).
2) Diagnosis Medis
Diagnosis medis yang terkait dengan respons neurobiologis
maladaptif meliputi skizofrenia, gangguan skizofreniformis, gangguan
skizoafektif, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan psikotik bersama (Stuart, 2013).
c. Identifikasi Hasil
Pasien akan hidup, belajar, dan bekerja pada tingkat kesuksesan
maksimum yang dimungkinkan, sebagaimana ditentukan oleh individu.
Pencegahan kambuh dan intervensi dini adalah komponen kunci dari hasil
yang sukses. Relaps adalah kembalinya gejala yang cukup parah sehingga
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari. Merencanakan intervensi
terapeutik tergantung pada tujuan yang terkait dengan diagnosis dan
tingkat kesehatan. Tujuan jangka pendek mengidentifikasi langkah-
langkah yang akan mengarahkan pasien untuk berhasil mencapai hasil
yang diharapkan (Stuart, 2013).
5. Proses keperawatan dan peran perawat terhadap pasien dengan
gangguan jiwa
Sebagai sebuah profesi tentunya keperawatan memiliki body of
knowledge sendiri. American Nursing Association pada tahun 2010
mendefinisikan keperawatan merupakan suatu profesi yang melindungi,
meningkatkan dan mengoptimalisasikan derajat kesehatan dan
kemampuan klien, mencegah kesakitan dan cedera, menghilangkan
penderitaan melalui pendiagnosaan dan intervensi terhadap respon klien,
memberikan advokasi dalam pelayanan terhadap individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Berman, Snyder & Frandsen, 2016).
Sehat sakit, adaptasi maladaptasi merupakan konsep yang berbeda.
Seseorang yang mengalami sakit baik fisik maupun psikiatri dapat
beradaptasi terhadap keadaan sakitnya. Model keperawatan dapat
menjelaskan respon manusia terhadap stress dan proses serta tindakan
keperawatan yang diharapkan. Model Praktik keperawatan juga
merupakan kerangka bagi perawat untuk melaksanakan asuhannya.
Model adaptasi Stress Stuart menggambarkan tentang asuhan
keperawatan kesehatan jiwa, yang mengintergrasikan aspek biologis,
psikologis, sosial budaya, legal, etik, kebijakan, dan advokasi tentang
asuhan klien ke dalam kerangka yang utuh dalam praktik keperawatan.
Sifat holistik dari praktik keperawatan jiwa adalah memeriksa semua
aspek individu, keluarga, komunitas dan lingkungan. (Stuart 2016).
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang
ditunjukkan oleh individu yang menyebabkan distres, disfungsi, dan
menurunkan kualitas kehidupan (Stuart 2016). Hal ini mencerminkan
disfungsi psikobiologis dan bukan sebagai akibat dari penyimpangan
social atau konflik dengan masyarakat. Tingkat/derajat keparahan dan
persistensi beberapa gangguan jiwa menyebabkan ketegangan dan
memengaruhi individu, keluarga mereka, komunitas dan sistem pelayanan
kesehatan yang lebih luas.
Oleh karena itu, perawat memiliki tanggung jawab yang signifikan
terhadap pasien, keluarga, dan masyarakat untuk mendidik,
mengadvokasi, dan mempromosikan strategi pengobatan yang efektif
untuk penyakit neurobiologis.

1) Perencanaan
Ketika seseorang berada dalam krisis atau tahap penyakit akut,
perawatan sering dilakukan di rumah sakit. Tujuan keseluruhan adalah
untuk membantu pasien mencapai stabilitas sambil membangun fondasi
untuk pemulihan. Karena kompleksnya kebutuhan psikososial pasien
dengan respons neurobiologis maladaptif, maka perencanaan untuk keluar
dimulai sejak pasien masuk perawatan. Semua sumber daya yang ada
pada pasien harus dievaluasi. Sumber daya keluarga sangat penting,
karena keluarga adalah penyedia perawatan untuk sebagian besar pasien
skizofrenia (Möller-Leimkühler dan Wiesheu, 2011). Rencana intervensi
keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Rencana
pemulangan harus didasarkan pada kenyataan sumber daya yang tersedia.
Perawatan pasien dalam fase pemeliharaan terjadi di rumah atau di
lingkungan komunitas lain. Fokus fase ini adalah membantu pemulihan.
Harapan adalah elemen penting dalam proses ini, karena mendapatkan
kembali harapan dapat menjadi titik balik dalam pemulihan seseorang
(Lysaker et al, 2010). Komponen pemulihan adalah belajar
mengidentifikasi pemicu gejala dan gejala awal. Pemulihan yang sukses
juga melibatkan identifikasi teknik manajemen gejala yang mengurangi
potensi kambuh dan menjaga stabilitas.
Perawat memiliki tanggung jawab yang signifikan terhadap pasien,
keluarga, dan masyarakat untuk mendidik, mengadvokasi, dan
mempromosikan strategi pengobatan yang efektif untuk penyakit
neurobiologis. Ketika stabilitas telah tercapai, fase promosi kesehatan
dimulai. Tujuannya adalah untuk bersama-sama mengembangkan dan
menerapkan teknik manajemen gejala yang mencegah kekambuhan dan
mempromosikan pemulihan. Ketika pasien dan keluarga menyadari
bahwa pemulihan dan pencegahan kambuh adalah mungkin, mereka
menjadi diberdayakan dan dapat menikmati kualitas hidup yang
menempatkan pasien daripada penyakit dalam kontrol.
Tahapan terakhir dari model adaptasi Stress Stuart adalah integrasi dari
landasan teoritis, komponen biopsikososial, pola respon dan tindakan
keperawatan berdasarkan tahapan tritmen klien. Apabila pola respon
koping sudah diidentifikasikan, maka perawat dapat menentukan tahapan
tritmen dan mengimplementasikannya. Ada 4 tahapan tritmen yaitu :
- Krisis
- Akut
- Pemeliharaan kesehatan
- Promosi kesehatan.
Tahap tritmen Krisis akut Pemeliharaan Promosi kesehatan
kesehatan
Tujuan Stabilisasi Remisi / pemulihan Tingkat
tritmen meringankan kesejahteraan
optimal
Pengkajian Faktor Gejala dan Status fungsi Kualitas hidup dan
keperawatan resiko respon koping kesejahteraan
Tindakan Pengelolaan Perencanaan Mendorong dan Menginspirasi dan
keperawatan lingkungan tritmen,percont advokasi memvalidasi
ohan,
Pengajaran
Hasil yang Tidak Penurunan Peningkatan Kualitas kehidupan
diharapkan membahaya gejala fungsi yang optimal.
kan diri
sendiri /
orang lain

2) Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien
Tujuan :
a) Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
b) Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c) Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan.
d) Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai
kemampuan.
e) Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
Tindakan Keperawatan
a) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien
- Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan pasien di
rumah, serta adanya keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
- Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali
bertemu dengan pasien penilaian yang negatif.
b) Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat
digunakan.
- Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
- Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
- Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar
yang aktif.
c) Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai
dengan kemampuan.
- Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari.
- Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan
secara mandiri, aktivitas yang memerlukan bantuan minimal
dari keluarga, dan aktivitas yang perlu bantuan penuh dari
keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan contoh
cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan pasien.
Susun bersama pasien dan buat daftar aktivitas atau kegiatan
sehari-hari pasien.
d) Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
- Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan.
- Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa
kegiatan yang akan dilakukan pasien.
- Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan
yang diperlihatkan pasien.
e) Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuannya.
- Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan
yang telah dilatihkan.
- Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan
pasien setiap hari.
- Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
- Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien
dan keluarga.
- Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah
pelaksanaan kegiatan.
- Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan pasien.
f) Tindakan keperawatan pada keluarga
Tujuan
- Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi
kemampuan yang dimiliki.
- Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai
kemampuan.
- Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan latihan yang dilakukan.
- Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan
kemampuan pasien.
Tindakan Keperawatan
- Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien.
- Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan
yang dimiliki.
- Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam
melakukan kegiatan yang sudah dilatihkan pasien dengan
perawat.
- Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan
perilaku pasien.
3) Evaluasi
a) Kemampuan yang diharapkan dari pasien.
- Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki pasien.
- Pasien dapat membuat rencana kegiatan harian.
- Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
b) Kemampuan yang diharapkan dari keluarga.
- Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas.
- Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap
kemampuannya melakukan aktivitas.
4) Peran perawat pada pasien gangguan jiwa
Menurut Stuart ada 3 peran perawat pada pasien dengan gangguan jiwa,
yaitu :
a) Peran sebagai pemberi kesehatan asuhan langsung
- Melakukan triase klien
- Melakukan pengkajian fisik, psikososial dan pengkajian resiko
tinggi serta pengkajian komunitas.
- Management kasus, konsultasi kasus dan mengkoordinasi asuhan
- Management pengobatan, memberikan terapi aktivitas,, konseling,
memberikan kerja kelompok, terapi bermain, terapi lingkungan,
member obat bahkan membuat resep obat.
- Meningkatkan asuhan keperawatan mandiri, memberikan tindak
lanjut pasca perawatan, perencanaan pulang, memberikan asuhan
kesehatan dirumah, dan meningkatkan pemulihan/ rehabilitasi.
- Melakukan tindakan pencegahan gangguan jiwa, promosi
kesehatan jiwa, pencegahan kekambuhan.
b) Peran Perawat dalam kegiatan komunikasi
- Konferensi kasus klinis
- Penyusunan rencana tritmen
- Dokumentasi asuhan keperawatan
- Testimoni forensic
- Hubungan antara agensi
- Telaah sejawat
- Jejaring perawat professional
- Persiapan laporan
- Rapat staff
- Pertemuan tim tritmen
- Laporan verbal tentang asuhan
c) Peran Perawat dalam kegiatan managemen.
- Alokasi pendanaan dan sumber sumber.
- Supervisi klinis, kolaborasi dan partisipasi komite serta negosiasi
kontrak.
- Partisipasi komite, penugasan delegasi, penulisan tentang bantuan
dana, mentorship.
- Pengaturan organisasi, manajemen hasil, pengembangan kebijakan
dan prosedur, perencanaan program dan evaluasi program.
- Kegiatan rekrutmen dan retensi, pendidikan staf dan mahasiswa,
jadual staff dam pengendalian unit.
- Kegiatan peningkatan mutu,perumusan panduan praktik serta
perencanaan strategik.
5)Kemapuan yang diharapkan dari perawat kesehatan jiwa
a) Melakukan pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka budaya
b) Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan
pada klien dan keluarga dengan masalah kesehatan yang kompleks dan
kondisi beresiko
c) Berpartisipasi dalam kegiatan manajemen asuhan, antara lain
pengorganisasian, pengkajian, negosiasi, koordinasi dan pelayanan
terintregasi serta manfaat bagi individu dan keluarga
d) Memberikan pedoman kesehatan untuk individu, keluaga, kelompok,
untuk menuntun sumber komunitas, termasuk pemberi pelayanan yang
tepat, agensi, teknologi, dan system social.
e) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan jiwa serta mengelola
dampak gangguan jiwa melalui pendidikan dan konseling.
f) Memberikan asuhan bagi mereka yang mengalami penyakit fisik
dengan masalah psikologi dan gangguan kesehatan jiwa dengan
masalah fisik
g) Mengelola dan mengkoordinasi system asuhan dengan
mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staff dan pembuat
kebijakan.
Adaptasi Stuart dari asuhan keperawatan jiwa memandang perilaku
manusia dari perspektif holistik. Komponen dari model adaptasi stuart
adalah factor predisposisi, stressor precipitasi, penilaian terhadap
stressor dan sumber koping. Dari respon terhadap stress baik apakah
itu aktual atau potensial merupakan subjek dari diagnose keperawatan
yang akan di tentukan tritmen yang sesuai tahapan tritmen.
Mengetahui konsep dan memahami penerapan kesehatan jiwa
dalam rentang sehat-sakit jiwa merupakan kewajiban yang harus
dikuasai seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa
maupun asuhan keperawatan lainnya, sehingga asuhan keperawatan
yang diberikan bersifat holistik.

BAB III
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Konsep diri adalah merefleksikan pengalaman interaksi sosial, sensasinya
jugadidasarkan bagaimana orang lain memandangnya. Konsep diri sebagai
caramemandang individu terhadap diri secara utuh baik fisik, emosi, intelektual,
sosialdan spiritual. Penting di ingat bahwa konsep diri ini bukan pandangan orang
lain pada kita melainkan pandangan kita sendiri atas diri kita yang diukur dengan
standar penilaian orang lain.
Sedangkan stress dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa
kurang/tidak nyaman, tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai
elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat dinikmati,
selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong untuk maju dalam
kehidupan. Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak
keluhan, dalam keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk kronis,
gangguan fisik maupun mental, kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian.
Penatalaksanaan stres tentunya sesuali sifatnya. Bila ia membebani manfaat
dalam hidup ia selayaknya dinikmati. Bila ia menimbulkan distres, dalam keadaan
akut, tersedia berbagai alternatif untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya
sendiri maupun dampak yang ditimbulkannya. Konsep diri dan stress dapat
mempengaruhi rentang sehat sakit yang akan mengakibbatkan munculnya
gangguan jiwa.

B. Saran
Sebagai seorang perawat perlu memahami apa itu konsep diri, stress dan
koping yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa untuk menghadapi
pasien tersebut sehingga dapat menjalankan asuhan keperawatan seacara optimal
dan meningkatkan rentang sehat mental kepada pasien.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai