DISUSUN OLEH:
Kelompok 3
Ada berbagai pendapat tentang jiwa yang sehat, yaitu karena tidak
sakit, tidak jatuh sakit akibat stressor, sesuai dengan kapasitasnya dan
selaras dengan lingkungan, dan mampu tumbuh berkembang secara positif
(Notosoedirjo dan Latipun, 2005).
2. Sehat jiwa jika tidak sakit akibat adanya stressor Clausen memberi
batasan yang berbeda dengan klinisi klasik. Orang yang sehat jiwa
adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh akibat
stressor. Meskipun mengalami tekanan, orang tetap sehat. Pengertian
ini menekankan pada kemampuan individual merespon
lingkungannya. Setiap orang mempunyai kerentanan (susceptibility)
yang berbeda terhadap stressor karena factor genetic, proses belajar,
dan budaya. Selain itu terdapat perbedaan intensitas stressor yang
diterima seseorang, sehingga sangat sulit menilai apakah dia tahan
terhadap stressor atau tidak.
2. Adequate self-evaluation
Kemampuan menilai diri sendiri yang cukup mencakup harga
diri yang memadai, memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang
tidak diganggu rasa bersalah berlebihan, dan mampu mengenal
beberapa hal secara social dan personal dapat diterima oleh
masyarakat.
6. Adequate self-knowledge
Mempunyai pengetahuan diri yang cukup tentag motif,
keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan,
perasaan rendah diri, dan sebagainya. Penilaian diri yang realities
terhadap kelebihan dan kekurangan diri.
Keadaan sehat atau sakit jiwa dapat dinilai dari keefektifan fungsi
perilaku, yaitu:
1. Bagaimana prestasi kerja yang ditampilkan, baik prosesnya maupun
hasil.
2. Bagaimana hubungan interpersonal di lingkungan individu berada.
3. Bagaimana individu menggunakan waktu senggangnya. Individu yang
sehat jiwa dapat menggunakan waktunya untuk hal-hal yang produktif
dan positif bagi dirinya dan lingkungannya.
2. Etiologi
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur
kejiwaan, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
terdapat beberapa penyebab dari beragai unsur yang saling
mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu muncul gangguan
kejiwaan.
Menurut maramis (2010) sumber penyebab gangguan jiwa dapat
dibedakan atas :
a. Usia
Pada usia menginjak dewasa,dimana pada usia ini merupakan
usia yang produktif, dimana seseorang dituntut untuk menghadapi
dirinya sendiri secara mandiri, masalah yang dihadapi juga semakin
banyak, bukan hanya masalah dirinya sendiri tetapi juga harus
memikirkan anggota keluarganya.
b. Tidak bekerja
Tidak mempunyai pekerjaan mengakibatkan seseorang tidak
mempunyai penghasilan dan gagal dalam menunjukan aktualisasi
dirinya, sehingga seseorang tidak bekerja tidak mempunyai
kegiatan dan memungkinkan mengalami harga diri rendah yang
berdampak pada gangguan jiwa.
d. Putus obat
Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang
dengan gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup, terkadang
klien merasa bosan, dan kurang pengetahuan akan menghentikan
minum obat dan merasa sudah sembuh.
1. Keturunan
Penyakit dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, salah satunya
adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor gen. Penyakit ini disebut
juga sebagai penyakit herediter atau keturunan. Contoh penyakit ini
antara lain diabetes melitus, albino, dan penyakit wilson.
2. Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan dapat memengaruhi status kesehatan
individu (khususnya) dan masyarakat (umumnya). Beberapa aspek
layanan kesehatan yang dapat memengaruhi status kesehatan adalah
sebagai berikut.
a. Tempat layanan kesehatan
Letak geografis tempat layanan kesehatan dapat
memengaruhi keterjangkauan masyarakat terhadap layanan
kesehatan dan keterjangkauan petugas kesehatan dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, terutama petugas
puskesmas. Jika letak tempat layanan kesehatan jauh dari
pemukiman penduduk, kemungkinan masyarakat akan sulit
menjangkaunya. Terlebih jika sarana transportasi di daerah tersebut
tidak memadai. Kondisi ini tentunya akan menghambat upaya
pertolongan segera saat seseorang menderita sakit. Akibatnya,
kondisi orang tersebut dapat bertambah parah atau bahkan berujung
pada kematian.
c. Biaya kesehatan
Tingginya biaya pengobatan menyebabkan tidak semua orang
mampu memanfaatkan layanan kesehatan. Oleh sebab itu, perlu
suatu program khusus untuk membantu masyarakat miskin
mendapatkan layanan kesehatan.
d. Sistem layanan kesehatan
Sistem layanan kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap
derajat kesehatan individu dan masyarakat. Layanan kesehatan
terdepan bukan semat berfokus pada pengobatan, tetapi juga pada
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Dalam sistem ini, kita
tidak lagi menekankan upaya kuratif, melainkan upaya promotif
dan preventif.
3. Lingkungan
Lingkungan memberi pengaruh besar terhadap status kesehatan
individu. Lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh
luar yang memengaruhi kehidupan dan perkembanan suatu organisme.
Secara umum, lingkungan dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan
fisik dan lingkungan non fisik.
a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar
manusia. Lingkungan fisik ini meliputi banyak hal, seperti cuaca,
musim, keadaan geografis, struktur geologis dan lain-lain.
b. Lingkungan non fisik yaitu lingkungan yang muncul akibat adanya
interaksi antar manusia. Lingkungan non fisik ini meliputi sosial-
budaya, norma,nilai, adat istiadat dan lain-lain.
4. Perilaku
Perilaku merupakan faktor berikutnya yang memengaruhi status
kesehatan. Sehat-sakitnya individu, keluarga atau masyarakat
dipengaruhi oleh perilakunya. Jika perilaku individu, keluarga dan
masyarakat sehat,dapat dipastikan sehat pula hasilnya. Begitu juga
sebaliknya. Perilaku manusia bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendidikan, adat
istiadat, kepercayaan, kebiasaan, sosial ekonomi dan sebagainya.
Rentang sehat sakit diawali dari status kesehatan normal, sehat sekali
dan sejahtera. Dikatakan sehat bukan berarti bebas dari penyakit, akan tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi,
sosial dan spiritual. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi
sehat-sakit seseorang yaitu :
1. Faktor Internal
a. Tahap perkembangan
Artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia
dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan
demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memilki pemahaman
dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
d. Faktor emosi
Faktor emosional juga memengaruhi keyakinan terhadap
kesehatan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami
respons stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung
berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan
dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya.
e. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang
menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang
dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan
kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup. Spiritual
bertindak sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam kehidupan
seseorang. Spiritual akan mempengaruhi cara pandangnya
terhadap kesehata dilihat dari perspektif yang luas.
2. Faktor Eksternal
a. Praktik di keluarga
Cara bagaiman keluarga menggunakan pelayanan kesehatan
biasanya memengaruhi cara klien dalam melaksanakan
kesehatannya.
b. Faktor Sosioekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit dan memengaruhi cara seseorang
mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel
psikososial mencakup : stabilitas perkawinan, gaya hidup dan
lingkungan kerja.
2. Pencegahn Sekunder :
Fokus pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah
deteksi dini dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan
gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah menurunkan angka kejadian
gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota masyarakat yang
berisiko/ memperlihatkan tanda- tanda masalah psikososial dan
gangguan jiwa. Aktivitas yang dilakukan pada pencegahan sekunder
seperti menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh
informasi dan berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain,
dan penemuan langsung, melakukan penjaringan kasus.
3. Pencegahan Tersier :
Pencegahan tersier adalah pelayanan keperawatan yang berfokus
pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan
pada pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi
kekacauan/ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan
yaitu anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada tahap
pemulihan. Aktivitas yang dilakukan meliputi program dukungan
sosial, program rehabilitasi, program sosialisasi, dan program
mencegah stigma.
Pelayanan keperawatan holistik adalah pelayanna menyeluruh
pada semua aspek kehidupan manusia yaitu aspek bio-psiko-sosio-
kultural dan spiritual (Keliat, dkk, 2012:4) :
a. Aspek (bio-fisik)
Aspek bio-fisik dikaitkan dengan masalah kesehatan fisik
seperti kehilangan organ tubuh yang dialami anggota
masyarakat akibat bencana yang memerlukan pelayanan dalam
rangka adaptasi mereka terhadap kondisi. fisiknya. Demikian
pula dengan penyakit fisik lain baik yang akut, kronis maupun
terminal yang memberi dampak pada kesehatan jiwa.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis dikaitkan dengan berbagai masalah
psikologis yang dialami masyarakat seperti ketakutan, trauma,
kecemasan maupun kondisi yang lebih berat yang memerlukan
pelayanan agar mereka dapat beradaptasi dengan situasi
tersebut.
c. Aspek sosial
Aspek sosial dengan kehilangan suami/istri/anak, keluarga
dekat, kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan harta benda
yang memerlukan pelayanan dari berbagai sektor terkait agar
mereka mampu mempertahankan kehidupan sosial yang
memuaskan.
d. Aspek kultural
Aspek kultural dikaitkan dengan budaya tolong menolong dan
kekeluargaan yang dapat digunakan sebagai sistem pendukung
sosial dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ditemukan.
e. Aspek spiritual
Aspek spiritual dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan yang
kuat yang dapat diberdayakan sebagai potensi masyarakat dalam
mengatasi berbagai konflik dan masalah kesehatan yang terjadi.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu pencegahan yang dilakukan sebelum
terjadi patogenik, tujuannya adalah untuk mencegah penyakit dan
trauma. Secara umum, pencegahan primer meliputi promosi kesehatan
(Health promotion) dan perlindungan khusus (specific protection).
Promosi kesehatan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain
pendidikan kesehatan, peningkatan gizi yang tepat, dan pemeriksaan
kesehatan berkala. Perlindungan khusus dilakukan melalui upaya
imunisasi, hygiene personal, sanitasi lingkungan, perlindungan bahaya
penyakit kerja, avoidment allergic, dan nutrisi khusus contohnya nutrisi
ibu hamil, nutrisi bayi. Pencegahan primer terdiri atas promosi
kesehatan dan pencegahan khusus.
Pada pelayanan keperawatan jiwa berfokus pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan
pelayanannya adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa,
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan
yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai
dengan kelompok umur yakni anak,remaja, dewasa dan usia lanjut.
Aktivitas pada pencegahan primer yaitu program pendidikan kesehatan,
program stimulasi perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa,
manajemen stress dan persiapan menjadi orang tua (Keliat et al,2012).
Kegiatan yang dilakukan pada pencegahan primer adalah
a. Memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua antara lain
seperti pendidikan orang tua, pendidikan tentang perkembangan
anak sesuai usia, memantau dan menstimulasi perkembangan,
mensosialisasi anak dan lingkungan.
b. Pendidikan kesehatan mengatasi stress seperti stress pekerjaan,
stress perkawinan, stress sekolah dan stress pasca bencana.
c. Program dukungan social diberikan pada anak yatim piatu, individu
yang kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, kehilangan
tempat tinggal, yang semuanya ini mungkin terjadi karena bencana.
d. Program pencegahan penyalahgunaan obat
e. Program pencegahan bunuh diri.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan
pada fase awal; patogenik yang bertujuan untuk mendeteksi dan
melakukan intervensi segera guna menghentikan penyakit pada tahap
ini, mencegah penyebaran penyakit, menurunkan intensitas penyakit
atau mencegah komplikasi serta mempersingkat fase ketidakmampuan.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui upaya diagnosis
dini/penanganan segera, seperti penemuan kasus, survey penapisan,
pemeriksaan selektif.
Pencegahan sekunder terdiri atas diagnosis dini, pengobatan
segera dan pembatasan cacat. Menurut (Keliat et al 2012) focus
pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini
dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa,
tujuannya adalah menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Aktivitas
pada pencegahan sekunder adalah :
a. Menemukan kasus dini mungkin dengan cara memperoleh
informasi dari berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan
lain dan penemuan langsung.
b. Melakukan penjaringan kasus dengan memfasilitasi self help
group berupa kegiatan kelompok yang membahas masalah
masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara
penyelesaiannya.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah atau membatasi
ketidakmampuan serta membantu memulihkan klien yang tidak mampu
agar dapat berfungsi secara optimal. Langkah pencegahan ini antara lain
dilakukan melalui upaya pembatasan ketidakmampuan, langkah yang
diambil adalah pelatihan tentang cara perawatan diri dan penyediaan
fasilitas. Untuk rehabilitasi upaya yang dilakukan antara lain
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kondisi klien yang
direhabilitasi, penempatan klien sesuai dengan keadaanya (selective
places), terapi kerja dan pembentukan kelompok panguyuban khusus
bagi klien yang memiliki kondisi yang sama.
Pencegahan tersier terdiri atas kegiatan rehabilitasi terhadap
korban,anak dan pelaku. Fokus pelayanan keperawatan pada
pencegahan tersier adalah pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta
pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa, dengan
mengurangi kecacatan atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa.
Aktivitas pada pencegahan tersier meliputi :
a. Program pendukung social dengan mengerakkan sumber sumber
dimasyarakat seperti sumber pendidikan, dukungan masyarakat
dan pelayanan terdekat yang terjangkau masyarakat.
b. Program rehabilitasi untuk memberddayakan pasien dan
keluarga hingga mandiri terfokus pada kekuatan dan
kemampuan pasien dan keluarga dengan cara meningkatkan
kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan
menyelesaikan masalah dengan cara tepat.
c. Program sosialisasi membuat tempat pertemuan untuk
sosialisasi, mengembangkan keterampilan hidup dan kegiatan
social dan keagaman.
d. Program mencegah stigma, karena stigma merupakan anggapan
yang keliru dari masyarakat terhadap gangguan jiwa, oleh
karena itu perlu diberikan program mencegah stigma untuk
menghindari isolasi dan deskriminasi terhadap pasien gangguan
jiwa.
F. Upaya Sehat Jiwa (Mekanisme Penanganan Sehat Jiwa
Masalah kesehatan mental adalah salah satu kontributor paling
penting terhadap beban penyakit dan kecacatan di seluruh dunia. Lima dari
10 penyebab utama kecacatan di seluruh dunia adalah masalah kesehatan
mental (WHO,2000). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor
18 tahun 2014 upaya kesehatan jiwa merupakan kegiatan untuk
mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,
keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Upaya promotif dan preventif termasuk dalam program pencegahan
sedangkan upaya pengobatan meliputi upaya kuratif dan rehabilitatif.
Promosi kesehatan mental bertujuan untuk mempromosikan
kesehatan mental yang positif dengan meningkatkan kesejahteraan
psikologis, kompetensi, dan ketahanan serta dengan menciptakan kondisi
dan lingkungan hidup yang mendukung(Brooks, Stuart, & Sundeen, 2013).
Tujuan promosi kesehatan mental adalah untuk meningkatkan kemampuan
individu untuk:
1. Mencapai tugas-tugas yang sesuai dengan perkembangannya.
2. Memperoleh rasa harga diri, penguasaan, kesejahteraan, dan inklusi
sosial.
3. Memperkuat kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan.
a. Aspek neurosis
1) Jenis-jenis Neurosis
a) Cemas (anxiety neurosis atau anxiety state)
Kecemasan adalah keadaan gelisah mental, ketakutan, firasat atau
perasaan tidak berdaya terkait dengan ancaman yang tidak
diktetahui yang akan terjadi atau diantisipasi terhadap diri atau
hubungan yang signifikan. Kecemasan dapat dialami pada tingkat
sadar, bawah sadar atau tidak sadar (Berman et al, 2016).
Level Gambaran
Selama tahap ini orang tersebut wasapada dan
bidang persepsi meningkat. Orang tersebut
melihat, mendengar dan menangkap lebih dari
sebelumnya. Kecemasan ini dapat memotivasi
pembelajaran dan menghasilkan pertumbuhan
dan kreativitas (Stuart, 2013). Kecemasan ini
menghasilkan sedikit rangsangan yang
Ringan meningkatkan persepsi belajar dan kemampuan
produktif. Kebanyakan orang mengalami
kecemasan ringan yang mungkin sebagai
perasaan gelisah yang meminta seseorang untuk
mencari informasi dan mengajukan pertanyaan
(Berman et al, 2016). Mengajar bisa sangat
efektif ketika klien agak cemas (Videbeck,
2011).
Orang tersebut berfokus pada kekhawatiran
langsung, melibatkan penyempitan bidang
persepsi. Orang tersebut melihat, mendengar
dan lebih sedikit menangkap. Memblokir area
Sedang yang dipilih tetapi dapat menangani lebih
banyak jika diarahakan untuk melakukan
sesuatu (Stuart, 2013). Perhatian difokuskan
pada aspek tertentu daripada kegiatan periferal
(Berman et al, 2016).
Berat Penurunan yang signifikan delam bidang
persepsi. Orang tersebut cenderung fokus pada
sesuatu yang spesifik detail dan tidak
memikirkan hal lain. Perilaku ini ditujukan
untuk menghilangkan kecemasan (Stuart, 2013).
Keadaan ini membuat seseorang tidak bisa
berfokus terhadap hal yang terjadi, hanya
berfokus pada satu detail dari situasi yang
menimbulkan kecemasan (Berman et al, 2016).
Ketika kecemasan menjadi parah klien tidak lagi
memperhatikan informasi, kecemasan
cenderung memburuk jika dia dibiarkan sendiri
(Videbeck, 2011).
Hal ini dikaitkan dengan ketakutan dan teror,
karena orang yang mengalami panik tidak dapat
melakukan arahan apapun. Aktivitas mototr
meningkat, kemampuan menurun dalam
berhubungan dengan orang lain, persepsi
terdistorsi, hilangnya rasional, tidak dapat
Panik berkomunikasi atau berfungsi secara efektif.
Kecemasan ini tidak dapat bertahan tanpa batas
waktu, karena itu tidak sesuai dengan
kehidupan. Bila berkepanjangan akan terjadi
kelalahan dan kematian (Stuart, 2013). Persepsi
orang panik bisa dipengaruhi samapai pada
terjadi distorsi peristiwa (Berman et al, 2016).
Sumber : Stuart, G. W. 2013. Principle and practice of Psychiatric
nursing 10th ed. St. Louis : Elsevier
b) Histeria
Histeria mengacu pada beberapa keluhan fisik tanpa basis
organik, biasanya dijelaskan secara dramatis. Orang dengan
histeria biasanya wanita, dianggap jahat atau kerasukan roh jahat.
Paul Bitquet dan Jean Martin mengidentifikasi histeria sebagai
ganggguan sistem saraf. Sigmund Freud bekerja dengan Charcot
mengamati orang dengan histeria membaik dengan hipnosis dan
mengalami kelegaan dari gejala fisik mereka ketika mereka
mengingat kembali ingatan dan mengungkapkan emosi.
Perkembangan ini mendorong Freud untuk mengususlkan bahwa
orang dapat mengubah emosi yang tidak diekspresikan menjadi
gejala fisik, sebuah proses yang sekarang disebut somatisasi
(Videbeck, 2011).
Gangguan Gambaran
Gangguan 1. Banyak gejala fisik.
Somatisasi 2. Dimulai pada usia 30 tahun
3. Berlangsung selama beberapa tahun
4. Terdapat kombinasi (nyeri
gastrointestinal, seksual dan gejala
pseudoneurologis)
1. Defisit yangtidak dapat dijelaskan
2. Fungsi sensorik atau motorik mendadak
Gangguan
tidak berfungsi
Konversi
3. Terdapat gangguan neurologis namun
berhubungan dengan faktor psikologis
1. Gejala fisik primer
2. Tidak hilang dengan analgesik dan
Kelainan Nyeri
sangat dipengaruhi oleh faktor
psikologis
1. Keasyikan dengan ketakutan dimana
seseorang memiliki penyakit serius atau
Hipokondriasis kemauan mendapatkan penyakit serius
2. Gangguan ini salam mengartikan
sensasi tubuh atau fungsi
1. Keasyikan dengan membayangkan cacat
Gangguan
fisik yang berlebihan
Dismorphik Tubuh
2. Merasa gigi bengkok dan tidak menarik
Sumber : diadaptasi dari (menurut APA, 2000 dalam Videbeck, S.
L. 2011. Psychiatric-mental health nursing 5th ed. Lippincott
Williams & Wilkins : Philadelphia)
c) Fobik (Phobia)
Phobia adalah perasaan ketakutan berlebih terhadap objek
tertentu. Phobia adalah ketakutan yang terus menerus dan irasional
terhadap objek, aktivitas atau situasi tertentu yang mengarah pada
suatu keharusan untuk menghindarinya (Stuart, 2013). Phobia
adalah ketakutan yang tidak logis, intens dan kuat terhadap objek
tertentu atau situasi sosial yang menyebabkan tekanan ekstrim dan
mengganggu fungsi normal (Videbeck, 2011).
Phobia biasanya bukan hasil dari pengalaman negatif masa lalu.
Faktanya, orang tersebut mungkin tidak pernah melakukan kontak
dengan objek phobia. Orang dengan phobia mengerti bahwa
ketakutan mereka tidak biasa dan tidak rasional dan mereka tidak
berdaya dalam menghadapinya. Orang dengan phobia
mengembangkan kecemasan antisipatif ketika berpikir tentang
kemungkinan menghadpai apa yang ditakutinya, mereka akan
memiliki perilaku menghindar dari apa yang ditakutinya dan
dampaknya tidak akan bertahan lama (Videbeck, 2011).
Katagori Penjelasan
Ketakutan yang tidak normal menjadi
tidak berdaya dalam situasi dimana
pelarian mungkin sulit atau memalukan.
Agoraphobia
Disertai dengan kecemasan panik atau
antisipatif dan akhirnya menghindari
tempat terbuka atau umum (Stuart, 2013).
Phobia Spesifik Ketakutan irasional terhadap objek atau
situasi.
1. Phobia lingkungan alam : takut
petir, air atau fenomena alam
lainnya.
2. Phobia injeksi darah : takut
melihat darah diri sendiri atau
orang lain, trauma injuri atau
prosedur medis infasif seperti
injeksi
3. Phobia situasi : takut pada situasi
spesifik seperti di atas jembatan,
didalam lorong, elevator, ruang
sempit, rumah sakit dan pesawat
terbang.
4. Phobia binatang : takut terhadap
binatang atau seranngga.
5. Phobia spesefik tipe lain : takut
tersesat saat mengendarai jika
tidak membuat keputusan dalam
berkendara.
Kecemasan yang dipicu oleh situasi sosial
atau kinerja tertentu. Ditandai dengan rasa
Phobia Sosial
malu dan kesadaran diri yang meningkat
pada dalam situasi sosial (Stuart, 2013).
Sumber : diadaptasi dari (Videbeck, S. L. 2011. Psychiatric-mental
health nursing 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins :
Philadelphia)
d) Kelainan Obsesif-Komplusif
Obsesif adalah perilaku yang diulang, terus-menerus, ide
yang tidak diinginkan atau implus yang terjadi tanpa sadar dan
yang tampaknya tidak masuk akal. Komplusif adalah perilaku yang
dirasakan orang tersebut didorong untuk tampil. Perilaku berulang
ini terjadi untuk mencegah atau mengurangi kecemasan yang
terkait dengan obsesi seseorang (Stuart, 2013).
b. Aspek Psikosis
Psikosis adalah disintegatif dan melibatkan distorsi realitas yang
signifikan. Dalam situasi konflik ekstrim, orang tersebut mungkin
memutarbalikan realitas, seperti dalam psikosis. Psikosis terdiri dari
karakteristik berikut :
- Perilaku regresi
- Disintegrasi kepribadian
- Penurunan tingkat kesadaran yang signifikan
- Kesulitan dalam berfungsi secara memadai
- Penurunan nilai pemahaman dalam realitas (Stuart, 2013).
1) Jenis-jenis Psikosis
a) Skizofrenia
Penyebab Skizofrenia
- Faktor Presdiposisi
Skizofrenia merupakan penyakit akibat gangguan perkembangan saraf
otak. Ini merupakan dampak interaksi kompleks ribuan gen dan
banyak resiko faktor lingkungan, tidak ada salah satupun penyebab
tersendiri skizofrenia. Skizofrenia merupakan kelainan kompleks
neurobiologi dari sirjuit neurotransmiter otak, defisit pada anatomi
saraf, kelainan listrik saraf dan disregulasi neurosikulasi (Stuart, 2013).
Komponen Gambaran
Genetik Genetik memiliki peran dalam skizofrenia
namun sulit membedakan pengaruh genetik
dan lingkungan. Faktor risiko yang paling
signifikan untuk mengembangkan skizofrenia
adalah tingkat pertama keluarga dengan
skizofrenia. Skizofrenia disebabkan interaksi
berbagi mekanisme yang bersifat biologis,
lingkungan dan pengalaman. Anak-anak yang
memiliki orang tua kandung dengan
skizofrenia dan diadopsi saat lahir oleh
keluarga tanpa gangguan memiliki risiko yang
sama orang tua kandung yang membesarkan
mereka.
Studi menunjukkan anatomi, fungsional dan
kelainan neurokimia dalam hidup dan
postmortem otak penderita skizofrenia.
Korteks prefrontal dan korteks limbik mungkin
tidak pernah sepernuhmya berkembang di
otakl pada orang dengan skizofrenia. Hasil
penelitian neurobiologis yang paling konsisten
adalah penurunan volume dan perubahan pada
sistem neurotransmiter otak.
- Stresor Presipitasi
Komponen Gambaran
Biologis Salah satu penyebab stres adalah gangguan
umpan balik pada otak yang mengatur jumlah
informasi untuk dapat diproses pada waktu
tertentu. Stimulus disaring oleh thalamus dan
dikirim untuk diproses oleh lobus frontal. Jika
terlalu banyak informasi dikirim sekaligus atau
rusak, lobus frontal mengirim pesan kelebihan
ke basal ganglia. Basal ganglia mengirim pesan
ke thalamus untuk memperlambat transmisi ke
lobus frontal. Fungsi lobus frontal yang
menurun merusak kemampuan dari loop
umpan balik. Kurang kemampuan untuk
mengatur basal ganglia ada dan akhirnya pesan
menjadi lambat ditransmisikan turun ke lobus
frontal tidak terjadi.
Stersor biologis lain yang mungkin adalah
mekanisme gerbang abnormal yang dapat
terjadi pada skizofrenia. Gating adalah proses
listrik yang melibatkan eletrolit. Mengacu pada
potensial aksi saraf penghambat dan rangsang
dan umpan balik terjadi dalam sistemsarafyang
terkait.
Model stres diatesis mengusulkan bahwa gejala
skizofrenik berkembang berdasarakan pada
hubungan antara jumlah stres yang dialami
seseorang dan ambang toleransi stres internal.
Penilaian stres Meskipun belum ada oenelitian ilmiah yang
menunjukkan stres itu menyebabkan
skizofrenia, jelas bahwa skizofrenia adalah
ganggguan yang tidak hanya menyebabkan
stres tapidiperburuk oleh stres.
Sumber koping Psikosis adalh penyakit yang membutuhkan
penyesuaian untuk pasien dan keluarga.
Sumber keluarga, seperti pemahaman ornag tua
tentang penyakit, keuangan, ketersediaan
waktu, energi dan kemampuan untuk
memberikan dukungan berkelanjutan
mempengaruhi jalannya penyesuaian
postpsikotik. Proses ini memiliki 3mpat fase
dan mungkin memakan waktu 3 hingga 6
tahun.
Faktor predisposisi
Konstruktif Destruktif
- Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain,
memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah
realitas kekinian, terus mengembangkan cara baru dalam memecahkan
masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif, dan progresif.
Dalam praktek klinis, kebanyakan masalah psikososial dan lingkungan akan diletakkan
pada aksis IV. Namun demikian, jika masalah psikososial dan lingkungan ini merupakan
fokus primer dari perhatian klinis, maka hal tersebut juga harus dimasukkan di aksis I,
dimana kodenya berasal dari bagian “Kondisi-kondisi Lain yang dapat menjadi Fokus
perhatian Klinis”
- Kognisi
- Persepsi
- Emosi
- Perilaku dan gerakan
- Sosialisasi (Stuart, 2013)
1) Perilaku (Behaviour)
a) Kognisi
Kognisi adalah tindakan atau proses mengetahui. Kognisi
melibatkan kesadaran dan penilaian yang memungkinkan otak
untuk memproses informasi dengan cara yang memberikan akurasi,
penyimpanan, dan pengambilan. Orang dengan skizofrenia
seringkali tidak dapat menghasilkan pemikiran logis yang
kompleks atau mengekspresikan kalimat yang masuk akal karena
transmisi neurotransmisi dalam sistem pemrosesan informasi otak
tidak berfungsi. Defisit kognitif ini sering hadir pada pasien yang
berisiko tinggi secara klinis untuk psikosis sebelum timbulnya
penyakit psikotik (Carrion et al, 2011).
Pemrosesan informasi melibatkan pengorganisasian input
sensorik oleh proses otak ke dalam respons perilaku. Input sensorik
dari indera internal dan eksternal disaring sesuai dengan fokus
perhatian dan kemampuan orang tersebut untuk mengingat, belajar,
membedakan, menafsirkan, dan mengatur informasi. Hasilnya
terlihat dalam pemikiran, persepsi, perasaan, perilaku, dan
keterkaitan orang tersebut dengan orang lain (Stuart, 2013).
Orang dengan skizofrenia cenderung melebih-lebihkan atau
meremehkan kemampuan mereka sendiri. Disfungsi otak yang
abnormal selama episode skizofrenia akut membuat sulit bagi
pasien untuk menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan.
Kurangnya wawasan adalah defisit neurologis yang melibatkan
lobus frontal dan prefrontal otak. Ini disebut anosognosia, suatu
kondisi di mana pasien tidak mengenali bahwa ada sesuatu yang
salah atau bahwa ada defisit dalam bentuk apa pun (Amador,
2007). Gejala yang terkait dengan masalah dalam pemrosesan
informasi yang terkait dengan skizofrenia sering disebut defisit
kognitif. Mereka termasuk masalah dengan fungsi kognitif dalam
semua aspek memori, perhatian, bentuk dan organisasi pidato,
pengambilan keputusan, dan konten pemikiran (Stuart, 2013).
b) Memory
e) Pengambilan Keputusan
f) Konten Pemikiran
2) Persepsi
Persepsi adalah identifikasi dan interpretasi suatu stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui penglihatan, suara,
rasa, sentuhan, dan bau. Masalah persepsi sering merupakan gejala
pertama pada banyak penyakit otak. Halusinasi adalah distorsi
persepsi salah yang terjadi pada respons neurobiologis maladaptif.
Pasien benar-benar mengalami distorsi sensorik sebagai nyata dan
merespons sesuai. Namun, dengan halusinasi, tidak ada stimulus
eksternal atau internal yang dapat diidentifikasi (Stuart, 2013).
3) Emosi
Emosi dijelaskan dalam hal suasana hati dan pengaruh.
Suasana hati adalah nada perasaan yang luas dan berkelanjutan
yang dapat dialami selama beberapa jam atau selama bertahun-
tahun dan memengaruhi pandangan dunia seseorang. Affect
mengacu pada perilaku seperti gerakan tangan dan tubuh, ekspresi
wajah, dan nada suara yang dapat diamati ketika seseorang
mengekspresikan dan mengalami perasaan dan emosi. Istilah yang
terkait dengan pengaruh mencakup luas, terbatas, tumpul, datar,
dan tidak pantas. Apa yang dianggap normal sangat bervariasi
antar budaya. Pengaruh luas atau terbatas biasanya dianggap
berada dalam kisaran normal, sedangkan pengaruh tumpul, datar,
atau tidak tepat merupakan gejala dari masalah yang mendasarinya.
Gangguan afek mengacu pada ekspresi emosi, bukan pengalaman
emosi (Stuart, 2013).
Emosi dapat berupa hyperexpressed (terlalu banyak) atau
hypoexpressed (terlalu sedikit). Penderita skizofrenia umumnya
memiliki gejala hipoekspresi. Beberapa pasien merasa bahwa
mereka tidak lagi memiliki perasaan dan bahwa mereka memiliki
kemampuan menurun untuk merasakan keintiman dan kedekatan.
Masalah emosi yang biasanya terlihat pada skizofrenia meliputi:
- Alexitimia: kesulitan menyebutkan dan menggambarkan emosi
- Anhedonia: ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
untuk mengalami kesenangan, kegembiraan, keintiman, dan
kedekatan
- Sikap apatis: kurangnya perasaan, emosi, minat, atau
kepedulian
Selain masalah dengan emosi dan pengaruh, orang dengan
skizofrenia juga dapat memiliki gangguan mood. Diagnosis
gangguan skizoafektif diberikan kepada pasien yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk skizofrenia serta untuk gangguan bipolar
atau depresi berat (Stuart, 2013).
c) Studi neurotransmitter
Penelitian di bidang neurotransmisi telah
menyebabkan hipotesis disregulasi skizofrenia, yang
menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh gangguan
persisten dalam satu atau lebih neurotransmitter atau
neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatik yang
mengakibatkan neurotransmisi neuron yang tidak stabil
atau tidak menentu. Teori ini mengusulkan bahwa daerah
mesolimbik memiliki jalur dopamin yang terlalu aktif,
sedangkan jalur dopamin di daerah mesokortikal prefrontal
bersifat hipoaktif, dan terdapat ketidakseimbangan antara
sistem neurotransmitter dopamin dan serotonin (Stuart,
2013).
Dopamin telah terlibat lebih lama daripada zat
kimia lainnya dalam studi neurotransmitter skizofrenia. Ini
karena telah lama diketahui bahwa obat-obatan yang
mengubah pikiran seperti amfetamin dan kokain
meningkatkan kadar dopamin otak dan menghasilkan
psikosis dan karena sejak awal dipahami bahwa obat-
obatan antipsikotik konvensional mengerahkan efek
terapeutik mereka dengan memblokir reseptor dopamin.
Dopamin penting dalam respons terhadap stres dan
memiliki banyak koneksi ke sistem limbik. Korteks
prefrontal memiliki beberapa reseptor dopamin sendiri,
tetapi dapat mengatur dopamin di sirkuit lain di otak. Juga,
dopamin hadir pada tingkat tinggi di otak selama masa
remaja akhir, ketika skizofrenia biasanya pertama kali
muncul (Stuart, 2013).
Dopamin ditemukan di tiga bagian otak:
d) Perkembangan saraf.
Juga diyakini bahwa berbagai penyimpangan otak
struktural, fungsional, dan kimiawi yang terlihat pada
skizofrenia biasanya terjadi jauh sebelum gejala muncul,
mungkin dari tahun-tahun awal kehidupan, dan mungkin
sebelum kelahiran. Tidak jelas apakah perubahan-
perubahan ini disebabkan oleh cacat pemrograman genetik
atau cedera lingkungan atau keduanya, menciptakan
kerentanan yang tetap aktif sampai peristiwa perkembangan
selanjutnya terjadi. Beberapa anak dengan skizofrenia
menunjukkan kelainan halus yang melibatkan perhatian,
koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor, dan
respons emosional jauh sebelum mereka menunjukkan
gejala skizofrenia (Schiffman et al, 2004). Perbedaan anak
usia dini lainnya termasuk rasa malu yang berlebihan,
hiperaktif, mengompol, agresivitas, konsentrasi dan
koordinasi yang buruk, amukan, kompulsi cuci tangan,
kebalikan dari bicara bayi, dan keterlambatan belajar
berjalan dan berbicara (Stuart, 2013).
e) Teori Virus dan Infeksi
Pencarian untuk "virus skizofrenia" telah
berlangsung (Moreno et al, 2011). Bukti menunjukkan
bahwa paparan pralahir terhadap virus influenza, khususnya
selama trimester pertama, dapat menjadi salah satu faktor
dalam etiologi skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak
pada orang lain (Brown dan Derkits, 2010).
Teori ini didukung oleh fakta bahwa lebih banyak
orang dengan skizofrenia dilahirkan pada musim dingin
atau awal musim semi dan di daerah perkotaan,
menunjukkan potensi dampak musim dan tempat lahir pada
risiko skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi di
tempat-tempat ramai dan di musim dingin dan awal musim
semi; infeksi virus dapat terjadi dalam rahim atau pada
anak usia dini pada beberapa orang yang rentan. Juga telah
ditemukan bahwa wanita dengan tingkat antibodi
toksoplasma yang tinggi memiliki risiko yang secara
signifikan lebih tinggi terkena gangguan spektrum
skizofrenia (Pedersen et al, 2011).
8) Stres Pemicu
a) Biologis
Salah satu penyebab stres adalah gangguan dalam loop
umpan balik otak yang mengatur jumlah informasi yang dapat
diproses pada waktu tertentu. Pemrosesan informasi normal
terjadi dalam serangkaian aktivitas saraf yang telah ditentukan.
Stimulus visual dan auditori awalnya disaring dan disaring oleh
thalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus frontal. Jika
terlalu banyak informasi dikirim sekaligus atau jika informasi
itu salah, lobus frontal mengirim pesan berlebihan ke ganglia
basal. Ganglia basal pada gilirannya mengirim pesan ke
thalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.
Fungsi lobus frontal yang menurun merusak kemampuan loop
umpan balik ini untuk bekerja. Kurang kemampuan untuk
mengatur ganglia otak tersedia, dan akhirnya pesan untuk
memperlambat transmisi ke lobus frontal tidak pernah terjadi.
Hasilnya adalah pemrosesan informasi yang berlebihan dan
respons neurobiologis yang diuraikan di awal bab ini. Stresor
biologis lain yang mungkin adalah mekanisme gerbang
abnormal yang dapat terjadi pada skizofrenia. Gating adalah
proses listrik yang melibatkan elektrolit. Ini mengacu pada
potensial aksi saraf penghambat dan rangsang dan umpan balik
yang terjadi dalam sistem saraf yang terkait dengan transmisi
saraf lengkap. Penurunan gerbang ditunjukkan oleh
ketidakmampuan seseorang untuk secara selektif menghadiri
rangsangan (Alsene dan Backshi, 2011).
b) Pemicu Gejala
Stresor tertentu sering mendahului episode baru penyakit.
Kata pemicu digunakan untuk menggambarkan stresor ini.
Pasien dengan skizofrenia dapat belajar mengenali pemicu
yang sangat reaktif terhadap mereka, dan mereka dapat diajari
untuk menghindarinya, jika mungkin, dan menghubungi
penyedia perawatan kesehatan mental mereka untuk bantuan
jika mereka tidak bias (Stuart, 2013).
c) Penilaian Stres
Model Diatesis Stres. Stres Diathesis Model mengusulkan
bahwa gejala skizofrenik berkembang berdasarkan hubungan
antara jumlah stres yang dialami seseorang dan ambang
toleransi stres internal (Stuart, 2013).
d) Sumber Koping
Psikosis adalah penyakit yang menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang membutuhkan penyesuaian untuk pasien
dan keluarga. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang
tua tentang penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi,
dan kemampuan untuk memberikan dukungan berkelanjutan,
memengaruhi jalannya penyesuaian pascakotik. Proses
penyesuaian postpsikotik terdiri dari empat fase dan mungkin
memakan waktu 3 hingga 6 tahun (Moller dan Zauszniewsky,
2011):
1) Disonansi kognitif (psikosis aktif): Ini melibatkan mencapai
kemanjuran farmakologis untuk mengurangi gejala dan
menstabilkan psikosis aktif dengan menyortir kenyataan
dari ketidaknyamanan setelah episode pertama. Itu bisa
memakan waktu 6 hingga 12 bulan.
e) Mekanisme Koping
1) Dalam fase aktif psikosis, pasien menggunakan beberapa
mekanisme pertahanan tidak sadar dalam upaya untuk
melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang
disebabkan oleh penyakit mereka.
2) Regresi berkaitan dengan masalah pemrosesan informasi
dan pengeluaran energi dalam jumlah besar dalam upaya
mengelola kecemasan, sehingga hanya menyisakan sedikit
untuk kegiatan sehari-hari.
3) Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi yang
membingungkan dengan memberikan tanggung jawab
kepada seseorang atau sesuatu.
4) Penarikan terkait dengan masalah membangun kepercayaan
dan keasyikan dengan pengalaman internal.
5) Penyangkalan sering digunakan oleh pasien dan keluarga.
Ini sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali
seseorang menerima informasi yang menyebabkan
ketakutan dan kecemasan (Saks, 2009).
b. Diagnosa
1) Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan mempertimbangkan tingkat fungsional,
stresor, dan sistem pendukung pasien dan harus diprioritaskan sesuai
dengan tahap penyakit pasien (krisis, akut, pemeliharaan, atau
promosi kesehatan). Diagnosis keperawatan NANDA Internasional
(NANDA-I) utama meliputi gangguan komunikasi verbal, gangguan
interaksi sosial, dan risiko gangguan identitas pribadi (Stuart, 2013).
2) Diagnosis Medis
Diagnosis medis yang terkait dengan respons neurobiologis
maladaptif meliputi skizofrenia, gangguan skizofreniformis, gangguan
skizoafektif, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan psikotik bersama (Stuart, 2013).
c. Identifikasi Hasil
Pasien akan hidup, belajar, dan bekerja pada tingkat kesuksesan
maksimum yang dimungkinkan, sebagaimana ditentukan oleh individu.
Pencegahan kambuh dan intervensi dini adalah komponen kunci dari hasil
yang sukses. Relaps adalah kembalinya gejala yang cukup parah sehingga
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari. Merencanakan intervensi
terapeutik tergantung pada tujuan yang terkait dengan diagnosis dan
tingkat kesehatan. Tujuan jangka pendek mengidentifikasi langkah-
langkah yang akan mengarahkan pasien untuk berhasil mencapai hasil
yang diharapkan (Stuart, 2013).
5. Proses keperawatan dan peran perawat terhadap pasien dengan
gangguan jiwa
Sebagai sebuah profesi tentunya keperawatan memiliki body of
knowledge sendiri. American Nursing Association pada tahun 2010
mendefinisikan keperawatan merupakan suatu profesi yang melindungi,
meningkatkan dan mengoptimalisasikan derajat kesehatan dan
kemampuan klien, mencegah kesakitan dan cedera, menghilangkan
penderitaan melalui pendiagnosaan dan intervensi terhadap respon klien,
memberikan advokasi dalam pelayanan terhadap individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Berman, Snyder & Frandsen, 2016).
Sehat sakit, adaptasi maladaptasi merupakan konsep yang berbeda.
Seseorang yang mengalami sakit baik fisik maupun psikiatri dapat
beradaptasi terhadap keadaan sakitnya. Model keperawatan dapat
menjelaskan respon manusia terhadap stress dan proses serta tindakan
keperawatan yang diharapkan. Model Praktik keperawatan juga
merupakan kerangka bagi perawat untuk melaksanakan asuhannya.
Model adaptasi Stress Stuart menggambarkan tentang asuhan
keperawatan kesehatan jiwa, yang mengintergrasikan aspek biologis,
psikologis, sosial budaya, legal, etik, kebijakan, dan advokasi tentang
asuhan klien ke dalam kerangka yang utuh dalam praktik keperawatan.
Sifat holistik dari praktik keperawatan jiwa adalah memeriksa semua
aspek individu, keluarga, komunitas dan lingkungan. (Stuart 2016).
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang
ditunjukkan oleh individu yang menyebabkan distres, disfungsi, dan
menurunkan kualitas kehidupan (Stuart 2016). Hal ini mencerminkan
disfungsi psikobiologis dan bukan sebagai akibat dari penyimpangan
social atau konflik dengan masyarakat. Tingkat/derajat keparahan dan
persistensi beberapa gangguan jiwa menyebabkan ketegangan dan
memengaruhi individu, keluarga mereka, komunitas dan sistem pelayanan
kesehatan yang lebih luas.
Oleh karena itu, perawat memiliki tanggung jawab yang signifikan
terhadap pasien, keluarga, dan masyarakat untuk mendidik,
mengadvokasi, dan mempromosikan strategi pengobatan yang efektif
untuk penyakit neurobiologis.
1) Perencanaan
Ketika seseorang berada dalam krisis atau tahap penyakit akut,
perawatan sering dilakukan di rumah sakit. Tujuan keseluruhan adalah
untuk membantu pasien mencapai stabilitas sambil membangun fondasi
untuk pemulihan. Karena kompleksnya kebutuhan psikososial pasien
dengan respons neurobiologis maladaptif, maka perencanaan untuk keluar
dimulai sejak pasien masuk perawatan. Semua sumber daya yang ada
pada pasien harus dievaluasi. Sumber daya keluarga sangat penting,
karena keluarga adalah penyedia perawatan untuk sebagian besar pasien
skizofrenia (Möller-Leimkühler dan Wiesheu, 2011). Rencana intervensi
keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Rencana
pemulangan harus didasarkan pada kenyataan sumber daya yang tersedia.
Perawatan pasien dalam fase pemeliharaan terjadi di rumah atau di
lingkungan komunitas lain. Fokus fase ini adalah membantu pemulihan.
Harapan adalah elemen penting dalam proses ini, karena mendapatkan
kembali harapan dapat menjadi titik balik dalam pemulihan seseorang
(Lysaker et al, 2010). Komponen pemulihan adalah belajar
mengidentifikasi pemicu gejala dan gejala awal. Pemulihan yang sukses
juga melibatkan identifikasi teknik manajemen gejala yang mengurangi
potensi kambuh dan menjaga stabilitas.
Perawat memiliki tanggung jawab yang signifikan terhadap pasien,
keluarga, dan masyarakat untuk mendidik, mengadvokasi, dan
mempromosikan strategi pengobatan yang efektif untuk penyakit
neurobiologis. Ketika stabilitas telah tercapai, fase promosi kesehatan
dimulai. Tujuannya adalah untuk bersama-sama mengembangkan dan
menerapkan teknik manajemen gejala yang mencegah kekambuhan dan
mempromosikan pemulihan. Ketika pasien dan keluarga menyadari
bahwa pemulihan dan pencegahan kambuh adalah mungkin, mereka
menjadi diberdayakan dan dapat menikmati kualitas hidup yang
menempatkan pasien daripada penyakit dalam kontrol.
Tahapan terakhir dari model adaptasi Stress Stuart adalah integrasi dari
landasan teoritis, komponen biopsikososial, pola respon dan tindakan
keperawatan berdasarkan tahapan tritmen klien. Apabila pola respon
koping sudah diidentifikasikan, maka perawat dapat menentukan tahapan
tritmen dan mengimplementasikannya. Ada 4 tahapan tritmen yaitu :
- Krisis
- Akut
- Pemeliharaan kesehatan
- Promosi kesehatan.
Tahap tritmen Krisis akut Pemeliharaan Promosi kesehatan
kesehatan
Tujuan Stabilisasi Remisi / pemulihan Tingkat
tritmen meringankan kesejahteraan
optimal
Pengkajian Faktor Gejala dan Status fungsi Kualitas hidup dan
keperawatan resiko respon koping kesejahteraan
Tindakan Pengelolaan Perencanaan Mendorong dan Menginspirasi dan
keperawatan lingkungan tritmen,percont advokasi memvalidasi
ohan,
Pengajaran
Hasil yang Tidak Penurunan Peningkatan Kualitas kehidupan
diharapkan membahaya gejala fungsi yang optimal.
kan diri
sendiri /
orang lain
2) Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien
Tujuan :
a) Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
b) Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c) Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan.
d) Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai
kemampuan.
e) Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
Tindakan Keperawatan
a) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien
- Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan pasien di
rumah, serta adanya keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
- Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali
bertemu dengan pasien penilaian yang negatif.
b) Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat
digunakan.
- Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
- Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
- Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar
yang aktif.
c) Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai
dengan kemampuan.
- Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari.
- Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan
secara mandiri, aktivitas yang memerlukan bantuan minimal
dari keluarga, dan aktivitas yang perlu bantuan penuh dari
keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan contoh
cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan pasien.
Susun bersama pasien dan buat daftar aktivitas atau kegiatan
sehari-hari pasien.
d) Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
- Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan.
- Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa
kegiatan yang akan dilakukan pasien.
- Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan
yang diperlihatkan pasien.
e) Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuannya.
- Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan
yang telah dilatihkan.
- Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan
pasien setiap hari.
- Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
- Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien
dan keluarga.
- Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah
pelaksanaan kegiatan.
- Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan pasien.
f) Tindakan keperawatan pada keluarga
Tujuan
- Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi
kemampuan yang dimiliki.
- Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai
kemampuan.
- Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan latihan yang dilakukan.
- Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan
kemampuan pasien.
Tindakan Keperawatan
- Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien.
- Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan
yang dimiliki.
- Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam
melakukan kegiatan yang sudah dilatihkan pasien dengan
perawat.
- Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan
perilaku pasien.
3) Evaluasi
a) Kemampuan yang diharapkan dari pasien.
- Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki pasien.
- Pasien dapat membuat rencana kegiatan harian.
- Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
b) Kemampuan yang diharapkan dari keluarga.
- Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas.
- Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap
kemampuannya melakukan aktivitas.
4) Peran perawat pada pasien gangguan jiwa
Menurut Stuart ada 3 peran perawat pada pasien dengan gangguan jiwa,
yaitu :
a) Peran sebagai pemberi kesehatan asuhan langsung
- Melakukan triase klien
- Melakukan pengkajian fisik, psikososial dan pengkajian resiko
tinggi serta pengkajian komunitas.
- Management kasus, konsultasi kasus dan mengkoordinasi asuhan
- Management pengobatan, memberikan terapi aktivitas,, konseling,
memberikan kerja kelompok, terapi bermain, terapi lingkungan,
member obat bahkan membuat resep obat.
- Meningkatkan asuhan keperawatan mandiri, memberikan tindak
lanjut pasca perawatan, perencanaan pulang, memberikan asuhan
kesehatan dirumah, dan meningkatkan pemulihan/ rehabilitasi.
- Melakukan tindakan pencegahan gangguan jiwa, promosi
kesehatan jiwa, pencegahan kekambuhan.
b) Peran Perawat dalam kegiatan komunikasi
- Konferensi kasus klinis
- Penyusunan rencana tritmen
- Dokumentasi asuhan keperawatan
- Testimoni forensic
- Hubungan antara agensi
- Telaah sejawat
- Jejaring perawat professional
- Persiapan laporan
- Rapat staff
- Pertemuan tim tritmen
- Laporan verbal tentang asuhan
c) Peran Perawat dalam kegiatan managemen.
- Alokasi pendanaan dan sumber sumber.
- Supervisi klinis, kolaborasi dan partisipasi komite serta negosiasi
kontrak.
- Partisipasi komite, penugasan delegasi, penulisan tentang bantuan
dana, mentorship.
- Pengaturan organisasi, manajemen hasil, pengembangan kebijakan
dan prosedur, perencanaan program dan evaluasi program.
- Kegiatan rekrutmen dan retensi, pendidikan staf dan mahasiswa,
jadual staff dam pengendalian unit.
- Kegiatan peningkatan mutu,perumusan panduan praktik serta
perencanaan strategik.
5)Kemapuan yang diharapkan dari perawat kesehatan jiwa
a) Melakukan pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka budaya
b) Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan
pada klien dan keluarga dengan masalah kesehatan yang kompleks dan
kondisi beresiko
c) Berpartisipasi dalam kegiatan manajemen asuhan, antara lain
pengorganisasian, pengkajian, negosiasi, koordinasi dan pelayanan
terintregasi serta manfaat bagi individu dan keluarga
d) Memberikan pedoman kesehatan untuk individu, keluaga, kelompok,
untuk menuntun sumber komunitas, termasuk pemberi pelayanan yang
tepat, agensi, teknologi, dan system social.
e) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan jiwa serta mengelola
dampak gangguan jiwa melalui pendidikan dan konseling.
f) Memberikan asuhan bagi mereka yang mengalami penyakit fisik
dengan masalah psikologi dan gangguan kesehatan jiwa dengan
masalah fisik
g) Mengelola dan mengkoordinasi system asuhan dengan
mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staff dan pembuat
kebijakan.
Adaptasi Stuart dari asuhan keperawatan jiwa memandang perilaku
manusia dari perspektif holistik. Komponen dari model adaptasi stuart
adalah factor predisposisi, stressor precipitasi, penilaian terhadap
stressor dan sumber koping. Dari respon terhadap stress baik apakah
itu aktual atau potensial merupakan subjek dari diagnose keperawatan
yang akan di tentukan tritmen yang sesuai tahapan tritmen.
Mengetahui konsep dan memahami penerapan kesehatan jiwa
dalam rentang sehat-sakit jiwa merupakan kewajiban yang harus
dikuasai seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa
maupun asuhan keperawatan lainnya, sehingga asuhan keperawatan
yang diberikan bersifat holistik.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Konsep diri adalah merefleksikan pengalaman interaksi sosial, sensasinya
jugadidasarkan bagaimana orang lain memandangnya. Konsep diri sebagai
caramemandang individu terhadap diri secara utuh baik fisik, emosi, intelektual,
sosialdan spiritual. Penting di ingat bahwa konsep diri ini bukan pandangan orang
lain pada kita melainkan pandangan kita sendiri atas diri kita yang diukur dengan
standar penilaian orang lain.
Sedangkan stress dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa
kurang/tidak nyaman, tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai
elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat dinikmati,
selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong untuk maju dalam
kehidupan. Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak
keluhan, dalam keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk kronis,
gangguan fisik maupun mental, kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian.
Penatalaksanaan stres tentunya sesuali sifatnya. Bila ia membebani manfaat
dalam hidup ia selayaknya dinikmati. Bila ia menimbulkan distres, dalam keadaan
akut, tersedia berbagai alternatif untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya
sendiri maupun dampak yang ditimbulkannya. Konsep diri dan stress dapat
mempengaruhi rentang sehat sakit yang akan mengakibbatkan munculnya
gangguan jiwa.
B. Saran
Sebagai seorang perawat perlu memahami apa itu konsep diri, stress dan
koping yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa untuk menghadapi
pasien tersebut sehingga dapat menjalankan asuhan keperawatan seacara optimal
dan meningkatkan rentang sehat mental kepada pasien.
Daftar Pustaka