Anda di halaman 1dari 6

Pemeriksaan EKG dan Radiologi Sindrom Koroner Akut

1. Pendahuluan
Dari kasus pada pemic diketahui bahwa Tn. Budi mengalami nyeri dada kiri
tembus ke belakang seperti ditusuk-tusuk dan tidak menghilang. Pasien merupakan
perokok aktif 2 bungkus per hari. Dari gambaran gejala dan hasil pemeriksaan, hipotesis
kami menyebutkan bahwa pasien mengalami sindrom coroner akut yaitu STEMI (ST
Elevation Myocardial Infarction). Selain itu pasien adalah seorang perokok yang juga
menjadi salah satu faktor resiko dari infark miokard. Untuk memastikan diagnosis yang
sesuai untuk pasien Budi maka akan dibahas mengenai pemeriksaan EKG dan radiologi
pada sindrom koroner akut.

2. Pembahasan
Sindrom koroner akut adalah kondisi terjadinya pengurangan aliran darah ke
jantung secara mendadak. Beberapa gejala yang dapat timbul seperti angina atau nyeri
dada baik ketika beraktivitas ataupun sedang beristirahat dan dapat pula menjalar ke bagian
tubuh lainnya, sesak, keringat berlebihan, mual, muntah, atau bahkan dapat menimbulkan
henti jantung apabila tidak segera ditangani. Keadaan ini dapat terjadi ketika terjadi oklusi
dari arteri yang menyuplai jantung, oklusi atau penyumbatan ini dapat berasal dari
thrombus ataupun plak yang bersifat parsial ataupun total. Sindrom koroner akut dapat
diklasifikasikan berdasarkan adanya cardiac markers yang dilepaskan oleh jantung ke
darah, gejala, dan hasil EKG. Klasifikasi ini penting karena dapat mempengaruhi tata
laksana dan perawatannya pun akan berbeda. Klasifikasi sindrom koroner akut terdiri dari
unstable angina, NSTEMI, dan STEMI. Ketiganya memiliki ciri yang khas baik dalam
pemeriksaan serum darah maupun pada hasil EKG, sehingga selanjutnya akan dibahas
mengenai pemeriksaan EKG dan juga radiologi yang mungkin tergambar pada pasien yang
mengalami sindrom koroner akut beserta perbedaannya dalam hasil pemeriksaan1,2.
A. Pemeriksaan EKG
Elektrokardiografi merupakan studi mengenai kelistrikan jantung yang dapat
menghasilkan elektrokardiogram yaitu grafik rekaman kelistrikan jantung. Pemeriksaan
ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya abnormalitas pada jantung. EKG

1
memiliki 2 lead yaitu lead bipolar yang merekam perbedaan potensial antara 2
elektrode dan juga lead unipolar yang merekam lebih dari 2 elektroda. Lead bipolar
meliputi,
 Lead I, beda potensial antara tangan kanan (RA) yang bermuatan negatif dengan
tangan kiri (LA) yang bermuatan positif
 Lead II, beda potensial antara tangan kanan (RA) bermuatan negatif dengan kaki
kiri (LF) bermuatan positif
 Lead III, beda potensial antara tangan kiri (LA) bermuatan negatif dengan kaki kiri
(LF) bermuatan positif2

Sementara itu, juga terdapat lead unipolar yang terdiri dari,


 Lead unipolar ekstremitas, yaitu aVR, aVL, dan aVF
 Lead unipolar precordial, yaitu V1-V6

Kertas EKG akan menunjukkan 12 lead yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kertas
grafik terdiri atas garis sumbu vertical yang menggambarkan voltase dan sumbu
horizontal yang menggambarkan waktu. Kertas EKG memperlihatkan kotak kecil yang
berukuran 1 mm sementara kotak besar terdiri dari 5 kotak kecil sehingga berukuran 5
mm. Kecepatan yang biasanya digunakan adalah 25 mm/s atau 50 mm/s. Sementara itu
pada garis vertikal, setiap 10 mm pada sumbu tersebut dihitung sebagai 1 mV.2
Amplitudo gelombang diukur dari titik maksimum gelombang menuju garis isoelektrik
atau baseline. Gambaran kertas EKG dapat terlihat pada Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Ukuran Kertas EKG3

2
Interpretasi dari EKG meliputi penilaian morfologi dan interval yang ada pada
gelombang. Pada EKG normal, dapat terlihat gelombang seperti Gambar 2. Kurva
EKG menggambarkan proses kelistrikan yang ada pada atrium dan ventrikel.
Gelombang P menggambarkan depolarisasi atrium, kompleks QRS menggambarkan
depolarisasi ventrikel, serta segmen ST yang menggambarkan repolarisasi ventrikel.
Gelombang P memiliki nilai normal dengan lebarnya ≤0,12 detik, selalu positif pada
lead II dan selalu negatif pada aVR. Pada keadaan normal, interval PR berkisar antara
0,12-0,22 detik. Selanjutnya kompleks QRS memiliki nilai normal dengan lebar 0,04-
0,12 detik, mengandung defleksi negatif dari gelombang Q dengan kedalamannya
kurang dari 1/3 tinggi gelombang R, apabila melebihi 1/3 tinggi gelombang R maka
disebut gelombang Q patologis. Irama EKG yang normal disebut dengan irama sinus,
yaitu ketika denyutnya teratur, frekuensi denyut (HR) 60-100 kali/menit, serta memiliki
interval yang normal pada setiap gelombang.2,3

Gambar 2. Gelombang EKG3


Setelah mengetahui gambaran normal pada EKG, selanjutnya akan dibahas
mengenai gambaran EKG pada sindrom koroner akut yang meliputi STEMI, NSTEMI,
dan unstable angina. Pemeriksaan EKG ini harus dijalani sesegera mungkin
sesampainya pasien di ruang gawat darurat dan rekaman EKG dibuat dalam 10 menit
sejak kedatangan pasien, pemeriksaan ini juga harus diulang setiap angina timbul
kembali.4
 STEMI
Gambaran khas dari kasus ini adalah adanya ST elevasi persisten ≥20 menit
yang dinilai melalui titik J. Sebagian besar kasus diikuti dengan depresi

3
segmen ST pada lead yang berlawanan. Gambaran STEMI pada EKG dapat
terlihat pada Gambar 3 di bawah.2,4

Gambar 3. Gambaran EKG pada STEMI5

Berikut terlihat pada Gambar 4 lokasi infark berdasarkan sadapan


EKG dengan ST elevasi. Gambaran elevasi ST merefleksikan lokasi
terjadinya iskemia.

Gambar 4. Lokasi Infark pada STEMI5


 NSTEMI dan unstable angina
Diagnosis dapat mengarah pada NSTEMI atau unstable angina apabila ada
keluhan angina akut namun pada pemeriksaan EKG tidak terdapat elevasi
segmen ST. Gambaran EKG keduanya dapat dikatakan serupa, yang
membedakannya adalah ada atau tidaknya peningkatan marka tubuh pada
darah ketika pemeriksaan laboratorium. Gambaran pada EKG seperti
terlihat pada Gambar 5 meliputi depresi segmen ST dan/atau adanya inversi
gelombang T, atau dapat pula disertai ST elevasi namun tidak persisten <20

4
menit. Depresi segmen ST pada suatu lead tidak menunjukkan lokasi
iskemia.2,4

Gambar 5. Gambaran EKG pada NSTEMI5

B. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang perlu dilakukan segera adalah pemeriksaan foto polos
dada atau thoraks. Hal ini diperlukan untuk menentukan diagnosis banding,
penyakit penyerta, dan juga mengidentifikasi komplikasi. Utamanya adalah untuk
menyingkirkan gangguan pada paru-paru atau pembuluh darah. Pada foto thoraks
ini dapat diukur cardiothoracic ratio (CTR) yaitu rasio diameter maksimal jantung
secara horizontal terhadap diameter thoraks maksimal secara horizontal.
Pengukuran normal dalam kisaran 0,42-0,50. Pada Gambar 6 diperlihatkan
gambaran foto thoraks dengan CTR normal dan abnormal.6

Gambar 6. Gambaran CTR Normal dan Abnormal6

5
3. Penutup
Pada pemicu, interpretasi hasil EKG berupa elevasi segmen ST pada lead II, III,
dan aVF, hal ini menandakan bahwa terjadi STEMI dan infark miokard terjadi pada bagian
inferior karena melibatkan lead II, III, dan aVF. Sementara kondisi lainnya dari EKG
tampak normal yaitu interval PR dan kompleks QRS. Untuk gambaran radiologis,
interpretasi foto thoraks pasien yaitu CTR 50% yang mengindikasikan bahwa ukuran
jantung normal namun berada pada batas atas. Selain itu tidak tampak abnormalitas lain
pada foto thoraks. Oleh karena itu, diagnosis pada pasien tersebut menuju pada STEMI.

Referensi:
1. Birnbaum Y, Wilson J, Fiol M, de Luna A, Eskola M, Nikus K. ECG Diagnosis
and Classification of Acute Coronary Syndromes. Annals of Noninvasive
Electrocardiology. 2013;19(1):4-14.
2. Nikus K, Birnbaum Y, Eskola M, Sclarovsky S, Zhong-qun Z, Pahlm O. Updated
Electrocardiographic Classification of Acute Coronary Syndromes. Current
Cardiology Reviews. 2014;10(3):229-236.
3. Introduction to ECG Interpretation – ECG & ECHO [Internet]. ECG & ECHO.
2020 [cited 19 March 2020]. Available from:
https://ecgwaves.com/lesson/introduction-to-ecg-interpretation-2/
4. PERKI. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut edisi 3. 2015.
5. Classification of Acute Coronary Syndromes (ACS) & Acute Myocardial Infarction
(AMI) – ECG & ECHO [Internet]. ECG & ECHO. 2020 [cited 19 March 2020].
Available from: https://ecgwaves.com/topic/acute-coronary-syndromes-acs-
myocardial-infarction-ami/
6. Evaluating cardiomegaly by radiological cardiothoracic ratio as compared to
conventional echocardiography. Journal of Cardiology & Current Research.
2017;9(2).

Anda mungkin juga menyukai