Buku karangan Henry Dunant mengetuk hati empat orang terkemuka di Swiss,
Jenderal Dufour, Dr. Maunoir, Dr. Appia, dan Hakin Moynier untuk mewujudkan
gagasan Henry Dunant yang pertama pada tahun 1863 dan membentuk komisi yang
dikenal dengan nama Komisi Jenewa. Mereka bersama-sama membentuk Komite
Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC) yang
berkedudukan di Jenewa, Swiss. Kemudian diadakan suatu konferensi yang dihadiri
oleh 16 negara, dan berhasil membentuk badan “Palang Merah Internasional” pada
Oktober 1863.
Untuk mewujudkan gagasan Henry Dunant yang kedua, maka pada tahun 1864
diselenggarakan konverensi di Jenewa yang disebut juga dengan Konvensi Jenewa.
Pada konverensi ini diresmikan lambing pelindung bagi petugas/penolong di medan
perang, yaitu palang berwarna merah di atas kain berwarna putih. Selanjutnya, komite
tersebut memilih anggota sukarelawan. Konvensi Jenewa terdiri dari empat perjanjian
dan pada Konvensi Jenewa IV atau disebut juga Konvensi Palang Merah pada tahun
1959 membahas tentang perlindungan orang sipil pada masa perang (Perjanjian
Jenewa).
Palang Merah sendiri dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan yang anggota-
anggotanya memberi pertolongan dengan sukarela. Palang merah berpedoman pada
Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, yang
disahkan dalam Konferensi Internasional Palang Merah ke-20 di Wina, Austria pada
tahun 1965. Ada pun Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah, yaitu:
2. Kesamaan, tidak berpihak dan tidak membeda-bedakan antara suku, agama, ras,
kepentingan politik, kedudukan, dan etnis.
6. Kesatuan, satu negara hanya dapat berdiri satu organisasi Palang Merah.
Pada mulanya Palang Merah di Indonesia sudah muncul pada tahun 1873 yang
dibangun oleh pemerintah colonial Belanda dengan nama Het Nederland-Indiche rode
Kruis (NIRK) yang kemudian berubah Namanya menjadi Nederlands rode kruiz
Afdelinbg Indie (NERKAI). Namun, Palang Merah bentukan Belanda ini cenderung
hanya menolong orang-orang Belanda padahal banyak rakyat Indonesia juga yang
terluka. Di tengah penderitaan rakyat Indonesia, timbul semangat untuk mendirikan
Palang Merah Indonesia yang dipelopori oleh dr. RCL. Senduk dan Bahder Djohan. Pada
tahun 1940, mereka mengajukan proposal pendirian Palang Merah Indonesia pada
kongres NERKAI tahun 1940, tetapi mendapat penolakan karena Belanda menganggap
Indonesia tidak memiliki rasa kemanusiaan dan dapat mengganggu situasi politik saat
itu. Namun, semangat kedua dokter tersebut tidak padam untuk membentuk Palang
Merah untuk rakyat Indonesia sendiri. Pada saat penjajahan Jepang, proposal kembali
diajukan, namun tetap ditolak.
Karena dalam satu negara hanya boleh memiliki satu perhimpunan Palang
Merah nasional, maka Pemerintah Belanda membubarkan NERKAI dan menyerahkan
asetnya kepada PMI yang diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan pihak Indonesia
diwakili oleh dr. Bahder Djohan. PMI diakui oleh Pemerintah Indonesia pada Keppres
RIS No. 25 tanggal 16 Januaro 1950 dan diperkuat dengan Keppres RIS No. 246 tanggal
29 November 1963. Tugas utama PMI adalah memberikan pertolongan pertama pada
korban bencana alam dan korban perang sesuai dengan isi Konvensi Jenewa 1949.
Akhirnya, secara internasional keberadaan PMI diakui oleh Komite Palang Merah
Internasional (ICRC) pada Juni 1950 dan menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68
oleh Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau yang sekarang
disebut Federasi internasional Pehimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
(IFRC) pada Oktober 1950.
Haris, T., & Sutjianingsih, S. (1994). Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II. Direktorat
Jenderal Kebudayaan.