Anda di halaman 1dari 11

Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian

masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban
manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada
masa itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan
dan memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu kemudian dimakan.

Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia beranjak pada
tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi berburu dan meramu,
melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang
dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.

Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi.
Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di
masyarakat. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya
berbeda akan menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang berbeda.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola makan dan gaya hidup
masyarakat menjadi semakin modern. Hal tersebut juga merubah stuktur sosial dan
kebudayaan masyarakat. Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan pola konsumsi,
produksi, dan distribusi pangan.

Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Hal
ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang
membutuhkan kerja keras. Padahal, dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap
santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi.

Refleksi Pola Pangan

Secara sederhana pola makan yang benar dapat kita terjemahkan sebagai upaya untuk
mengatur agar tubuh kita terdiri dari sepertiga padatan (berupa makanan), seperti cairan
dansepertiganya adalah ruangan kosong untuk udara. Prinsip sepertiga padatan,sepertiga
cairan dan sepertiga ruang kosong tersebut mengajarkan kepada kita suatu pola
keseimbangan tubuh melakukan metabolisme secara wajar.

Dewasa ini berbagai penyakit akibat infeksi dan gizi kurang telah berhasil di tekan berkat
kemajuan ilmu kesehatan,teknologi pangan dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
meningkatnya kemakmuran masyarakat Indonesia yang disertai gaya hidup santai (sedentary
life style) dan perubahan pola makan, menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit akibat
gizi lebih,dan penyakit degenaratif (seperti jantung,diabetes,kanker,osteoporosit,dll).

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari apa yang kita makan sehari-
hari, status gizi dikatakan baik apabila pola makan kita seimbang, artinya banyak dan jenis
makanan yang nkita maakan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Apabila yang dimakan
melebihi kebutuhan tubuh maka tubuh akan kegemukan, sebaliknya bila yang dimakan
kurang dari yang dibutuhkan maka tubuh akan kurus dan sakit-sakitan. Kedua keadaan
tersebut sama tidak baiknya sehingga disebut gizi salah.

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendapatan,
pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi
pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang jadi konsumtif dalam pola
makanya sehari-hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih
didasarkan kepada pertimbangan selera ketimbang gizi.

Dewasa ini meningkatnya arus globalisasi, termasuk globalisasi pola konsumsi makanan,
tidak dapat dibendung, kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis
siap santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain, telah
meningkatkan tajam terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi
menengah keatas dikota-kota besar, dipihak lain, kecintaan masyarakat terhadap makanan
tradisional Indonesia mulai menurun.

Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakaat, pengaruh promosi melalui iklan,


serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya
kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah keatas. Kebutuhan
psikogenik (semata-mata timbul karena faktor psikogenik) ini ditandai dengan pemilihan
bahan-baahan mkanan yang terlalu mewah, padat kalori dan protein, serta berharga
mahaal,yang sesungguhnya tidak diperlukan tubuh untuk hidup sehat.

The National Academy of Sciences menyatakan, faktor makanan bertanggung jawab atas
60% kasus kanker pada wanita dan 40% pada pria. Beberapa cara untuk mencegah kanker
yang dapat disarankan adalah ; menghindari obesitas; mengurangi berlemak; meningkatkan
makanan berserat, meningkatkan konsumsi anti oksidan berupa vitamin A, C, dan E,
menghindari penggunaan alkohol, serta membatasi makanan yang diawetkan dengan garam,
asap dan nitrat.
Makanan Sebagai Identitas Kelompok

Nasi adalah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa. Semantara jagung
menjadi komoditas makanan utama masyarakat Madura. Bagi orang barat mereka tidak
membutuhkan nasi setelah mengkonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam
budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya
utama sebuah masyarakat, oleh karena itu tidak menghjerankan bila orang sunda, kendati
sudah makan roti kadang kala masih berkata belum makan kerena dirinya belum makan nasi.

Karena ada kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak di antara
masyarakat kota yang sudah mulai pidah ketradisi vegetarian. Kacang diidentikan sebagai
makan yang biasa menemani orang menonton sepak bola, merokok menjadi teman untuk
menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi inilah lebih merupakan
sebuah persepsi budaya tandingan (counter-culture) terhadap budaya dominan.

Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun menjadi bagian
dari budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi perempuan. Terakhir, makanan
sebagai makanan khusus untuk kelompok tertentu. Makanan sub kultural misalnya daging
babi bagi kalangan nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi Cina di
hari imlek, coklat menjadi icon budaya dalam menunjukan rasa cinta dan kasih.

Bardasarkan telaahan ini, makanan mengandung makna sebagai :

a) Identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan
utama masyarakat.

b) Budaya tandingan (counter culture), yaitu menghindari arus utama akibat adanya
kesangsian atau ketidak sepakatan dengan budaya arus utama, dan

c) Makanan sebagai identitas budaya bagi suatu kelompok tertentu (sub culture)
Makanan sebagai keunggulan etnik

Bila orang mendengar kata gudeg, maka akan terbayang kota Yogyakarta, mendengar kata
Pizza Hut akan terbayang Italia, mendengar kata dodol dan jeruk terbayang kota Garut, tetapi
bila mendengar jeruk bangkok atau ayam bangkok sudah tentu akan terbayang Bangkok-
Thailand.

Contoh tersebut menunjukan bahwa makanan merupakan unsur budaya yang membawa
makna budaya komunitasnya. Di dalam makanan itu, orang tidak hanya mengkonsumsi
material makananya melainkan mengkonsumsi kreatifitas dan keagungan budaya. Tidak ada
yang heran bila ada orang yang makan tahu sumedang terasa hampa makna bila tahu itu
dibeli di luar Sumedang dan dirinya pun tidak pergi ke Sumedang. Begitu pula sebaliknya,
masyarakat akan memiliki kebanggaan tertentu bila mengkonsumsi moci yang dibeli asli dari
Cianjur.

Makanan adalah icon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan itu dikenal
publik semakin tinggi apresiasinya masyarakat daerah itu, semakin luas distribusi wilayah
pasar dari makanan tersebut, menunjukan kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat.

Perubahan Produksi Pangan

Secara tradisional, makanan diperoleh melalui pertanian. Dengan meningkatnya perhatian


dalam agribisnis atas perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki pasokan makanan
dunia melalui paten pada makanan yang dimodifikasi secara genetis, telah terjadi tren yang
sedang berkembang menuju pertanian berkelanjutan praktek. Pendekatan ini, sebagian
didorong oleh permintaan konsumen, mendorong keanekaragaman hayati , daerah
kemandirian dan pertanian organik metode.

Peralatan yang digunakan dalam proses produksi pangan secara tradisional adalah alat yang
sederhana. Contohnya adalah kompor tungku, pemanggang yang menggunakan bara api,
piring yang terbuat dari tanah, dan sebagainya. Sedangkan produksi secara modern
menggunakan teknologi yang canggih. Kelebihan menggunakan teknologi adalah dapat
mempermudah dan mempecepat proses produksi pangan. Contohnya adalah oven, kompor
listrik, mikrowave, dan sebagainya.

Dalam budaya populer, produksi massal produksi pangan, khususnya daging seperti ayam
dan daging sapi, mendapat kecaman dari berbagai dokumenter mendokumentasikan
pembunuhan massal dan perlakuan buruk terhadap binatang, terutama pada perusahaan-
perusahaan besar. Produksi serealia pun dilakukan secara massal dan menggunakan peralatan
modern.

Produksi pangan yang dilakukan secara modern dapat mempermudah proses produksi. Hal
tersebut juga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan. Contohnya adalah jika
produksi pangan dilakukan secara tradisional maka masyarakat akan saling bekerja sama dan
saling bergotong-royong, dan dapat meningkatkan hubungan sosial antar masyarakat.
Sedangkan produksi pangan yang dilakukan secara modern menggunakan alat-alat canggih
dapat meregangkan hubungan antar masyarakat. Karena dalam proses produksi hanya
dibutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang relatif sedikit.

Perubahan Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda, yaitu perbedaan pola
konsumsi pada masa pra-ASI, balita, anak-anak, remaja, dewasa, ibu hamil, dan lanjut usia.

Pada masa sebelum adanya pengetahuan masyarakat tentang gizi, para orang tua mengambil
peran penting dalam memperhatikan kebutuhan gizi keluarganya. Pengetahuan orang tua
yang minim dapat mempengaruhi status gizi keluarganya.

Sebelum adanya panduan tentang gizi, makanan pra-ASI yang dikonsumsi bayi dibawah 6
bulan adalah madu, air tajin, pisang, air kelapa, dan kopi. Masyarakat belum mengetahui
bahwa bayi berumur dibawah 6 bulan tidak boleh diberi makanan lain kecuali ASI. Setelah
adanya panduan ilmu gizi yang menyebar di masyarakat, pemberian makanan pra-ASI yang
salah semakin berkurang.

Pada kalangan anak-anak dan remaja, pola konsumsi makanan dipengaruhi oleh budaya
masyarakat yang menganggap bahwa makanan memiliki pantangan atau tabu untuk dimakan.
Contohnya bagi anak-anak dan balita dilarang memakan makanan yang asam, pedas, anyir,
karena dapat mengakibatkan perut menjadi panas bahkan sakit perut. Di era globalisasi, pola
konsumsi anak-anak dan remaja beralih ke makanan cepat saji (fast food), snack, dan
konsumsi gula yang berlebihan. Hal tersebut dapat memperburuk status gizi dan kesehatan.

Masyarakat beralih pada tempat-tempat yang menjual makanan cepat saji, yaitu restoran,
cafe, pizza hut, dan outlet-outlet lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap makanan tertentu
dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan pada setiap kalangan. Perubahan pola konsumsi
pangan tersebut dapat menjadikan status gizi lebih baik ataupun menjadi semakin buruk.
Perubahan Distribusi Pangan

Secara sederhana, proses distribusi pangan hanya menggunakan alat transportasi sederhana,
yaitu gerobak sapi, angkutan umum, truk, dan sebagainya. Di era modern, peralatan yang
digunakan adalah teknologi canggih yang dapat mempermudah proses distribusi pangan.
Bahkan, proses distribusi dapat melibatkan hubungan kerja antar negara. Alat transportasi
yang digunakan pun semakin modern, seperti pesawat, helikopter, paket kilat, dan
sebagainya.

Pemasaran Makanan menyatukan produsen dan konsumen. Ini adalah rangkaian kegiatan
yang membawa makanan dari petani ke piring. Pemasaran bahkan produk makanan tunggal
dapat menjadi proses rumit yang melibatkan banyak produsen dan perusahaan. Sebagai
contoh, lima puluh enam perusahaan yang terlibat dalam pembuatan satu dapat dari mie sup
ayam. Usaha ini meliputi tidak hanya ayam dan prosesor sayuran tetapi juga perusahaan-
perusahaan yang mengangkut bahan dan orang-orang yang mencetak label dan pembuatan
kaleng. Sistem pemasaran pangan adalah tidak langsung terbesar langsung dan non-
pemerintah majikan di Amerika Serikat.

Di era pra-modern, penjualan makanan surplus berlangsung seminggu sekali saat petani
mengambil barang-barang mereka pada hari pasar, ke pasar desa setempat. Berikut makanan
dijual ke grosir untuk dijual di toko-toko lokal mereka untuk membeli oleh konsumen lokal.
Dengan terjadinya industrialisasi, dan pengembangan industri pengolahan makanan, yang
lebih luas makanan dapat dijual dan didistribusikan di jauh lokasi. Biasanya toko-toko
kelontong awal akan kontra didasarkan toko di mana pembeli kepada toko-penjaga apa yang
mereka inginkan, sehingga toko-penjaga bisa mendapatkannya untuk mereka.

Pada abad ke-20 supermarket lahir. Supermarket membawa mereka self service pendekatan
untuk belanja menggunakan shopping cart, dan mampu menawarkan makanan berkualitas
dengan biaya yang lebih rendah melalui skala ekonomi dan mengurangi biaya staf. Di bagian
akhir abad ke-20, ini telah lebih jauh merevolusi oleh perkembangan luas gudang berukuran,
luar kota supermarket-, menjual berbagai macam makanan dari seluruh dunia.

Tidak seperti pengolahan makanan, ritel makanan adalah pasar lapis dua di mana sejumlah
kecil sangat besar perusahaan mengendalikan sebagian besar supermarket. Raksasa
supermarket menggunakan daya beli yang besar atas petani dan prosesor, dan pengaruh yang
kuat atas konsumen. Namun demikian, kurang dari sepuluh persen dari belanja konsumen
pada makanan pergi ke petani, dengan persentase lebih besar akan iklan , transportasi, dan
perusahaan menengah.
Perubahan status gizi di Indonesia dapat terjadi karena adanya pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan pola produksi, konsumsi, dan distribusi pangan juga
dapat mempengaruhi terjadinya perubahan status gizi di Indonesia.

Pada era sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan, pola pangan masyarakat masih
dipengaruhi oleh persepsi yang berkembang di masyarakat. Setiap masyarakat memiliki
persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat
dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

Di era globalisasi dan semakin berkembangnya mobilitas membuat pola pangan masyarakat
menjadi berubah. Perubahan pola pangan tersebut dipengaruhi oleh gaya hidup dan
lingkungan sekitar. Semakin menjamurnya restoran, cafe, pizzahut, KFC, dan tempat makan
cepat saji lain membuat masyarakat semakin sering mengonsumsi makanan cepat saji.
Makanan cepat saji yang mengandung banyak lemak dan kolesterol dapat memperburuk
status gizi dan resiko terhadap penyakit semakin tinggi.

Perubahan sosial dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tidak hanya mengubah
pola pangan tetapi juga dapat mengubah status gizi, resiko terhadap penyakit, dan gaya hidup
tidak sehat yang semakin merugikan.

Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang mengonsumsi, memproduksi, dan
mendistribusikan pangan harus pintar dalam menjaga asupan makanan yang masuk ke dalam
tubuh, menjaga status gizi dan melakukan gaya hidup sehat disertai dengan aktifitas fisik
secara teratur.
Enam Megatren
yang Mendorong
Perubahan Gizi
dan Pola Makan
di Asia
 Urbanisasi menjadi salah satu penyebab rendahnya nutrisi di
seluruh Asia
 Asupan kalori harian per kapita meningkat menjadi 3.060 dan 2.700
di Asia Timur dan Selatan pada 2015, disebabkan meningkatnya
impor makanan dan ledakan di industri makanan olahan Asia
 90% pasokan global beras masih dikonsumsi di Asia, konsumsi
gandum juga meningkat menjadi 23,4 juta ton pada 2016–2017
 Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak positif terhadap tingkat
nutrisi-Di Asia Selatan, prevalensi orang dewasa yang kekurangan
berat hampir tidak berkurang meskipun kinerja ekonomi membaik
 Kurangnya kualitas kesadaran gizi tercatat di Asia selain
ketidaksetaraan struktural gender
 Iklan makanan yang tumbuh di Asia dan media sosial berkontribusi
pada pola konsumsi
 

June 3, 2019: Cargill bersama dengan Economist Intelligence Unit (EIU)


merilis laporan berjudul '‘Food for Thought-Eating Better’, merupakan
laporan terakhir dalam seri penelitian lima bagian. Laporan ini menyoroti
dua sisi dari perkembangan gizi di Asia, melalui penelitian perubahan diet
di seluruh wilayah dan merangkumnya dalam enam megatren,
yakni Quality not Quantity (Kualitas bukan Kuantitas), Urbanisation and
Income (Urbanisasi dan Pendapatan), Obesity & Micro Nutrients (Obesitas
dan Nutrisi Mikro), Diverging Outcomes (Hasil yang Menyimpang), Low
Nutritional Awareness (Kesadaran Gizi yang Rendah), dan Advertising and
Social Media (Iklan dan Sosial Media).

Kualitas bukan Kuantitas: Kebutuhan untuk beralih dari makanan 'lebih'


menjadi makanan 'lebih baik' akan menjadi prinsip untuk beberapa tahun
mendatang. Peningkatan dalam pendapatan per kapita dan grafik asupan
kalori menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam jumlah makanan yang
dikonsumsi, dengan sebagian besar negara mengonsumsi lebih dari 2.500
kalori per kapita setiap hari.

Akibatnya, pertumbuhan asupan kalori cenderung moderat, komposisi


diet mengalami perubahan dengan cepat dengan meningkatnya konsumsi
protein, terutama daging dan ikan.  Di sisi lain, sektor makanan kemasan
Asia juga telah mengalami pertumbuhan 4% pada 2017, sekaligus
menyoroti peningkatan konsumsi makanan olahan dan tidak
meninggalkan persyaratan kebutuhan gizi konsumen.

Urbanisasi dan kenaikan pendapatan menyebabkan perubahan


nutrisi yang signifikan: Peningkatan cepat jumlah masyarakat yang
pindah ke daerah perkotaan dan kenaikan pendapatan di antara
konsumen, telah menghasilkan peningkatan belanja konsumen, terutama
untuk makanan. Urbanisasi dan pertumbuhan pendapatan mendorong
perubahan gizi menciptakan ekonomi skala yang cukup, mendorong
pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan supermarket. Hal ini juga
diyakini mendorong gaya hidup masyarakat menjadi kurang bergerak dan
mengonsumsi makanan yang lebih enak.

Obesitas dan mikronutrien: Terjadi peningkatan kasus obesitas pada


masyarakat di sejumlah negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand
dan Pakistan pada hari ini, dikarenakan meningkatnya konsumsi minuman
manis dan makanan olahan. Di sisi lain, urbanisasi ternyata memiliki
korelasi langsung dengan obesitas. Pasalnya selama migrasi ke kota, diet
cenderung tidak lagi dilakukan, sekaligus mengonfirmasikan terjadinya
perubahan nutrisi ketika pindah ke daerah perkotaan.

Masyarakat di negara kurang berkembang dengan Gross National Income


(GNI) per kapita yang lebih rendah, malah lebih rentan terhadap
konsekuensi kesehatan negatif dari urbanisasi. Sementara asupan kalori
meningkat, kualitas makanan tidak. Hal ini menyebabkan defisiensi
mikronutrien atau “kelaparan tersembunyi” - orang-orang kelebihan berat
badan atau terlihat sehat tetapi kehilangan nutrisi penting, menciptakan
salah satu tren yang lebih mengkhawatirkan di wilayah ini.

Status Gizi yang menyimpang: Perkembangan gizi yang tidak merata


berasal dari meningkatnya ketidaksetaraan di Asia. Meskipun terdapat
pertumbuhan PDB yang signifikan di kawasan ini, kekurangan gizi masih
menjadi keprihatinan yang signifikan di Asia, bahkan ketika obesitas
tumbuh. Tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di
kalangan ibu juga memengaruhi status gizi. Tingkat kemiskinan juga
sangat rentan terhadap status gizi yang berlebihan, bisa dilihat dari
kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkat di antara segmen
masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.

Kesadaran gizi yang rendah- Kesadaran tentang kekurangan gizi dan


kelebihan gizi pada sejumlah negara dan tingkat pendapatan ternyata
relatif rendah di wilayah tersebut. Itulah sebabnya ada kebutuhan
meningkatkan kesadaran konsumen secara menyeluruh. Khususnya di
kalangan ibu, karena ibu adalah sumber nutrisi pertama untuk anak
selama "seribu hari pertama" kehidupan. Orang dewasa juga perlu dididik
lebih baik tentang bahayanya obesogenic food dan pentingnya
berolahraga.

Media Sosial & Periklanan membentuk tren makanan: Intensitas iklan


makanan di Asia yang sedang meningkat, cenderung dihambat regulator
yang semakin banyak menerbitkan regulasi. Pemerintah sejumlah negara
seperti, Taiwan, Singapura dan Korea Selatan telah membatasi dan
menahan beberapa jenis iklan. Berdasarkan negara, Singapura dan
Filipina mengalami peningkatkan terbesar dalam mengadopsi pelabelan
GDA sejak 2012, sementara Malaysia dan Thailand di empat besar untuk
tingkat adopsi.

Tidak diragukan lagi, media sosial akan menjadi komunikasi utama antara
konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Selain
itu, menjadi saluran utama untuk periklanan dan meningkatkan
keterlibatan konsumen. Keunggulan media sosial memberikan peluang
bagi perusahaan industri makanan, sekaligus memacu upaya memantau
dan mengatur konsumen melalui wahana ini.

Peluang bagi pemangku kepentingan mengatasi tren di atas masih tetap


ada. Fortifikasi dan reformulasi makanan bisa menjadi alat yang ampuh
untuk mengatasi kekurangan gizi, sebagai cara yang efisien dan hemat
biaya untuk mengurangi bahan obesogenic. Memerlukan lebih banyak
fokus kebijakan pada makanan dengan harga terjangkau dan berkualitas
di lingkungan perkotaan. Itulah sebabnya untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi yang baik, perlu didorong dengan mengaktifkan sistem pangan dan
tidak cukup dengan satu kebijakan saja.

Memerlukan kebijakan tentang kesehatan dan gizi yang bervariasi, mulai


dari advokasi dan tindakan bersama yang memiliki dampa lebih besar,
daripada mengandalkan efek menetes ke bawah dari pertumbuhan
ekonomi. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan dan program untuk
membantu mengatasi hal ini secara efektif. Kesimpulannya, upaya
memperkenalkan hal paling mendasar dari kesehatan manusia, seperti
nutrisi dan kebersihan harus menjadi prioritas.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cargill.co.id/id/2019/six-mega-trends-driving-nutrition_id diakses pada 19 Maret


2020

http://id.wikipedia.org/wiki/produksi-pangan diakses pada 19 Maret 2020

http://tiarameilita.blogspot.com/2011/03/perubahan-sosial-budaya-berkaitan.html diakses
pada 19 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai