Anda di halaman 1dari 20

14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kepercayaan

2.1.1 Definisi Kepercayaan

‘Percaya’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengakui atau

yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Mendapat imbuhan ke-an,

bermakan anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau

nyata (KBBIoffline v1.3, 2011). Menurut pengertian terminologis, kepercayaan

diistilahkan keyakinan kepada Tuhan di luar agama atau tidak termasuk ke dalam

agama. Kepercayaan ialah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap

sesuatu sebagai kebenaran, yang diyakini, diaplikasi dalam bentuk kelakuan,

pengalaman, yang memengaruhi sifat mental yang meyakininya.

Kepercayaan erat kaitannya dengan religi atau agama, tapi cakupannya lebih

luas. Kepercayaan tidak harus berpokok pada konsep keesaat Tuhan, namun bisa

berhubungan dengan animisme dan dinamisme, taoisme yang menitikberatkan

pada aspek hidup spiritual atau confusianisme, yang lebih menekankan pada aspek

duniawi. Kepercayaan tidak mengharuskan beriman kepada nabi, namun lebih

pada pengkultusan terhadap makhluk gaib atau orang yang dianggap suci atau

memiliki kelebihan dibandingkan manusia biasa. Kepercayaan bisa berupa cerita

anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif, diartikan sebagai imajinasi yang

sederhana untuk menyusun suatu cerita. Kepercayaan disampaikan melalu bahasa

dan mengandung pesan-pesan yang dapat diketahui lewat proses penceritaannya

(Susrama, 2011:8). Pesan-pesan yang disampaikan melalui kepercayaan, dapat

14
15

diketahui lewat pengucapannya, namun gejala kebahasaan yang terdapat dalam

kepercayaan berbeda dengan gejala kebahasaan yang dipelajari dalam linguistik.

Kepercayaan mempunyai karakteristik tertentu, yaitu dengan memunculkan

kekuatan supranatural yang dipercaya oleh masyarakatnya. Kepercayaan biasanya

mempunyai cerita aneh, janggal, tidak logis, dan tidak dapat diterima

kebenarannya, sebab tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.

Cerita-cerita rakyat dapat memberi indikasi kepada fakta sejarah dari suatu

suku bangsa, ada yang diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan, dan bagi

suku bangsa yang telah mengenal tulisan (tulisan tradisional), dapat juga

diturunkan secara tertulis. Apalagi cerita-cerita itu diperoleh melalui wawancara

(yaitu secara lisan), maka bahan cerita-cerita yang mereka peroleh dari para tokoh

masyarakat tersebut. (Koentjaraningrat, 2005:9).

Kepercayaan merupakan sistem keyakinan atau sesuatu hal yang diyakini

keberadaan atau kebenarannya dari suatu kelompok manusia yang berdiri atas

sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci, yang berhubungan

dengan masa lalu (Harsojo, 1998:228). Kepercayaan bagi masyarakat primitif

merupakan sejarah yang bersifat suci atau kudus, yang terjadi pada waktu

permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini.

Penciptaan kepercayaan tidak mengantarkan manusia, pada sebab pertama atau

dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistentsinya. Aktivitas

kepercayaan dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi

pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan tempat tinggalnya.

Kepercayaan juga bisa dimunculkan dalam bentuk folklore atau cerita prosa

rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang punya
16

cerita (Bcao dalam Danandjaya, 2002:50). Kepercayaan dapat dikatakan sebagai

pandangan hidup rakyat, yaitu konsepsi yang dinyatakan tetapi implikasi tentang

tempat mereka di tengah-tengah alam dan tentang seluk beluk dunia mereka

(Haviland terjemah Soekadijo, 1985:229). Adapun kepercayaan terbagi menjadi

beberapa yaitu; kepercayaan tentang makhluk dengan Tuhan; kepercayaan

mengenai kerajaan; kepercayaan budaya; kepercayaan asal-usul pembukaan

negeri; kepercayaan sindiran/alegori.

Disimpulkan bahwa, kepercayaan merupakan keyakinaan atau sesuatu yang

dianggap benar oleh masyarakat atau kelompok tertentu, bisa berupa suatu cerita

rakyat, sejarah orang suci, yang diyakini dan disucikan oleh masyarakat dan

dijadikan sebagai pedoman hidup atau hukum tak tertulis yang mengatur perilaku

masyarakat. Kepercayaan berasal dari sebuah kepercayaan sekelompok orang

yang dipelihara dan disampaikan secara turun temurun, dianut oleh mereka yang

memang menghayati kepercayaan itu, dan lama-kelamaan menjadi budaya.

Kepercayaan merupakan bagian dari sistem kepercayaan, dalam artian

kepercayaan yang telah menarik perhatian manusia, terutama pada hal-hal yang

berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya.

2.1.2 Wujud Kepercayaan

Kepercayaan berawal dari sebuah tradisi lisan yang berhubungan dengan

ritus-religius. Wujud kepercayaan berwujud simbol-smbol yang mengisahkan

serangkaian peristiwa nyata dan imajiner, mengenai asal-usul dan perubahan

alam, dunia langit, dewa-dewi, kekuatan adikodrati-supernatural, manusia,

kepahlawanan, dan masyarakat. Wujud kepercayaan terletak pada bahasa, sebab


17

penyampaian kepercayaan diketahui lewat penceritannya, seperti halnya pesan

yang disampaikan lewat bahasa yang diketahui lewat pengucapannya (Ahimsa,

2001:80).

Menganalisis wujud kepercayaan dapat melalui cerytheme atau mytheme,

yaitu unit terkecil dari suatu cerita, dapat diibaratkan sebagai simbol atau tanda

sehingga analisis kepercayaan bersifat objektif. Langkah untuk menganalisis

wujud kepercayaan dalam suatu karya sastra, dimulai dengan membaca

keseluruhan cerita, membaginya ke dalam beberapa episode, mencari deskripsi

episode tentang tindakan atau peristiwa. Setelah itu memperhatikan adanya relasi

atau hubungan-hubungan tertentu antara elemen dalam satu cerita. Kemudian,

menyimpulkan dengan menarik hubungan atau relasi antar elemen dalam satu

cerita secara keseluruhan (Ahimsa, 2012:208).

Wujud kepercayaan tercermin dalam novel Tambora, yang di dalam

ceritanya mengandung bagian dari kepercayaan manusia terhadap peristiwa-

peristiwa alamiah diluar jangkauan kekuasaan manusia seperti adanya kelahiran,

kematian, perjalanan jagad raya, menemukan pengalaman dalam dimensi ruang

dan waktu lampau, bencana dan sebagainya. Kepercayaan dalam novel Tambora,

mengisahkan sejarah yakni sejumlah peristiwa yang terjadi di masa lalu dan luar

biasa, akan tetapi pelaku kepercayaan adalah para Dewa atau makhluk gaib,

adalah kodrati yang diyakini mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam segala

hal serta mengisahkan tentang kehidupan masyarakat pada era penjajahan dengan

pemerintahan berbentuk kesultanan, juga masa perkembangan Islam di Sumbawa.

Kepercayaan cerita tentang meletusnya Gunung Tambora mempengaruhi


18

masyarakat secara langsung, membentuk makna penting dalam kehidupan

masyarakat Sumbawa.

2.1.3 Ciri-ciri Kepercayaan

Kepercayaan memiliki beberapa ciri, yaitu cerita tentang asal-usul suatu

kejadian, seperti kejadian makhluk, manusia, tempat, fenomena alam, dan

sebagainya; cerita yang besifat suci atau kudus dan dianggap sebagai kepercayaan

sebagai cerita yang benar-benar berlaku; perwatakan dalam kepercayaan yang

digambarkan dengan dewa-dewi, manusia agung/sakti, binatang, dan lain

sebagainya; latar tempat dan masa cerita tidak dapat dipastikan, bersifat

naratif/cerita; cerita yang dianggap tidak logis namun dipercayai berlaku oleh

masyarakat lama; dan cerita yang terus hidup dan dihormati oleh generasi

pendukung dan sukar untuk dikikis atau dihapuskan.

Kepercayaan bukan hanya berlaku sebagai sebuah kisah mengenai dewa-

dewa dan keajaiban dunia, tetapi melalui kepercayaan manusia dapat juga turut

serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian disekitarnya, serta dapat

menanggapi daya-daya kekuatan alam. Selain itu, kepercayaan dapat pula

memberikan arah atau semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia dalam

bertindak tanduk maupun berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Struktrualisme Levi-Strauss (dalam Ahimsa 2009:71) dipengaruhi dengan

teori komunikasi, yang menganggapnya sebagai dongeng. Namun, bukanlah

sekedar dongeng, melainkan juga sebuah kisah yang memuat berbagai pesan yang

terangkai dalam rangkaian kepercayaan yang dianalisis, antara penyampai pesan

dan penerima pesan.


19

2.1.4 Fungsi Kepercayaan

Fungsi kepercayaan terbagi menjadi tiga macam, yang diuraikan sebagai

berikut:

a. Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan ajaib

Kepercayaan yang cenderung tidak logis namun kehadirannya dianggap

sebagai kebenaran ataupun pembenaran pada masyarakat atau wilayah tertentu.

Kekuatan-kekuatan ajaib atau yang bersifat gaib, mistis, ataupun memiliki daya

magis, disakralkan oleh manusia, sebab dapat dirasakan kekuatan-kekuatan yang

tidak kasat mata, namun kekuatannya dapat dirasakan secara nyata.

b. Memberikan jaminan pada masa kini

Menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang dulu pernah terjadi dengan

sedemikian rupa, sehingga memberikan perlindungan dan jaminan pada masa kini.

c. Menjelaskan tentang alam semesta, cerita mengenai asal-usul bumi dan langit

Kejadian atau peristiwa alam ataupun cerita mengenai asal usul terjadinya

alam raya, langit, bumi, hubungan antara dewa-dewa, serta asal mula kejahatan,

dijelaskan melalui kepercayaan yang berkembang dan menjadi kebudayaan

masyarakat atau wilayah setempat (Van-Peursen, 2010: 37-41).

Fungsi kepercayaan dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi atau

sebagai alat pembenaran untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Kepercayaan

merupakan ungkapan simbolik suatu masyarakat dalam menghadapi konflik-

konflik yang terjadi. Melalui kepercayaan tersebut, masyarakat belajar terhadap

nilai-nilai moral dan budaya yang terdapat di dalamnya. Kepercayaan sebagai

perangkat yang berfungsi sebagai simbol-simbol nasional atau kultural yang


20

membangkitkan kesetiaan yang seragam pada masyarakat, baik secara horizontal

lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas (Anderson, 2008:10).

Fungsi-fungsi kepercayaan dijelaskan untuk memberikan daya kekuatan

kepada manusia untuk mengambil bagian dengan proses alam sekitarnya.

Kepercayaan juga memberikan kesempatan guna menyambung hidupnya dan

menjamin kesuburan segala hal yang bertepatan dengan aneka macam peristiwa.

Kepercayaan juga mmberikan pengetahuan tentang dunia, memberikan dukungan

dengan memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah laku.

Selain itu, kepercayaan juga berfungsi sebagai sistem cara penyampaian pesan

atau menginformasikan berita. Serta, kepercayaan juga dapat digunakan juga

sebagai sarana pendidikan yang paling efektif terutama untuk menanamkan

norma-norma sosial (Herusatoto, 2008:9)

Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut merupakan aktualisasi dari

kepercayaan dan tercermin dalam sebuah karya sasta. Karya sastra yang

merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai kepercayaan kedaerahan

masing-masing. Kebudayaan masyarakat Tambora, Sumbawa, NTB, misalnya

penuh dengan kepercayaansasi atau mekepercayaankan, mensakralisasi atau

mengeramatkan, dan memandang segala sesuatu bersifat miteri atau mistifikasi.

Kesemuanya itu merupakan kepercayaan yang dapat ditemukan pada penokohan,

tempat, waktu, dan peristiwa.

Realitas kepercayaan masyarakat Sumbawa, diwujudkan manusia melalu

bentuk kepercayaan terhadap cerita-cerita tertentu, yang dalam novel Tambora

dijabarkan sebagai pertapa sakti, yang sampai sekarang dianggap menjadi bagian

dari penduduk Tambora. Pensakralan terhadap benda-benda tertentu, yang dalam


21

novel ini tergambar melalui kopiah dan tengkorak yang jika disatukan bisa

menembus ruang waktu. Penceritaan sejarah masa lalu, yang dalam novel ini

digambarkan tentang bentuk kesultanan yang masih dianut pada masa lampau,

dengan tiga kesultanan di sekitar Gunung Tambora, yaitu Kesultanan Tambora,

Pekat, dan Sanggar. Juga diceritakan kedahsyatan letusan Gunung Tambora, yang

efeknya bisa dirasakan sampai lintas benua.

2.1.5 Kedudukan Kepercayaan dalam Karya Sastra

Kedudukan kepercayaan dalam karya sastra terletak pada keselarasan

dengan dinamika masyarakat dan kebudayaan. Sebab, pertumbuhan dan

perkembangan kesusastraan tergantung pada sistem sosial dan budaya

masyarakatnya. Wujud kepercayaan yang dituangkan melalui karya sastra, tidak

dipandang sebagai hasil rekayasa imajinasi, melainkan cermin masyarakat,

sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra, dengan

kata lain, kedudukan kepercayaan dalam karya sastra merupakan bentuk cerminan

langsung dari berbagai segi struktur sosial zamannya, yang dapat menghubungkan

sistem kehidupan yang terdapat dalam karya sastra dengan realitas sejarah dan

sistem sosial suatu masyarakat (Damono, 1984:9).

Disimpulkan bahwa, kedudukan kepercayaan dalam karya sastra

menyangkut dan berhubungan dengan kehidupan manusia, bisa dipergunakan

sebagai sarana untuk pemahaman terhadap manusia, sebab dalam karya sastra

termuat persoalan-persoalan yang dihadapi manusia yan dituangkan pengarang

melalui daya kreatifnya. Kehidupan manusia dipenuhi oleh kepercayaan, maka

dalam karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia ditemukan pula


22

kepercayaan tersebut (Junus, 1981:92). Untuk itulah, novel sebagaisalah satu jenis

karya sastra, berdampingan erat dengan kepercayaan sebagai pembentuk struktur

ceritanya.

Novel Tambora karya Agus Sumbogo, menceritakan kehidupan masa

lampau masyarakat Sumbawa, khusunya tentang cerita tentang asal-usul

meletusnya Gunung Tambora. Wujud kepercayaan yang terdapat dalam novel

tersebut, tentang perihal Orang Sakti yang menurut kepercayaan masyarakat

sering menampakkan diri di Gunung Tambora, dari dulu sampai sekarang. Cerita

tentang Kesultanan Tambora, Pekat, dan Sanggar, yang sampai sekarang masih

ditemukan jejak peninggalannya. sehingga muncul berbagai spekulasi, bahwa

terdapat istana kerajhaan yang terpendam dengan beragam kekayaan.

Wujud kepercayaan lainnya yang dapat ditemukan dalam novel Tambora,

yaitu kondisi kehidupan masyarakat Sumbawa, misalnya tentang asal mula nama

Tambora, upacara Heko Rasa, dimana seorang Rato Rasa’ne atau pimpinan

majelis hakim berkeliling negeri sambil membagikan sedikit makanan. Wujud

lainnya adalah kondisi penderitaan masyarakat Sumbawa pada masa penjajahan

Belanda, yang menjadi pekerja paksa pada perkebunan kopi, politik adu domba

yang diterapkan Belanda, sehingga menyebabkan tiga kesultanan Bima menjadi

terprovokasi, dan kisah semangat penyebaran agama Islam yang digambarkan

pengarang melalui Syekh Ahmad.

Penggabungan dan perpaduan antara fakta dan kepercayaan dalam novel

Tambora karya Agus Sumbogo, menjadi karya sastra dalam bentuk novel yang

menarik, sehingga peneliti tertarik untuk menelaah kepercayaan dengan tinjauan


23

antropologi sastra, untuk menemukan wujud kepercayaan yang terdapat dalam

novel tersebut, kemudian meninjaunya dengan antropologi sastra.

2.2 Novel

Novel termasuk dalam fiksi, karangan prosa yang panjang mengandung

rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Secara harfiah, novel memiliki unsur-

unsur pembangun, seperti tema, alur, seting, tokoh, penokohan, dan sarana sastra.

Unsur karya sastra satu dengan unsur lainnya saling berhubungan dan membentuk

satu kesatuan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2007:8).

Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan

dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun digunakan sebagai

sumber untuk menganalisis sistem masyarakat. Sastra dipergunakan sebagai

sumber dalam menganalisis sistem masyarakat. Sebagai salah satu aspek

kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu dari apa

yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah dalam novel

(Nurgiyantoro, 2007:20 (Luxemburg, 1992:26)).

Novel sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif

dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan

nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau

atau kusut. Novel memunyai ciri bergantung pada tokoh, menyajikan lebih dari

satu impresi, menyajikan lebih dari satu efek, menyajikan lebih dari satu emosi

(Tarigan, 1991:164). Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh unsur-

unsur pembangun, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel juga diartikan
24

sebagai suatu karangan berbentuk prosa yang mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat pelaku (Nurgiyantoro, 2010:10).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, disimpulkan bahwa novel

merupakan karya sastra fiksi yang ditulis dalam bentuk naratif yang mengandung

konflik tertentu dalam kisah kehidupan tokoh-tokoh dalam ceritanya, berkaitan

dengan unsur-unsur intrinsik karya fiksi, dengan menceritakan suatu kejadian atau

peristiwa yang luar biasa dari kehidupan orang-orang atau tokoh cerita, yang

terlahir dari konflik atau suatu pertikaian yang menyebabkan peralihan nasib

tokoh tersebut.

Penulis dalam karyanya secara tidak langsung ingin memberikan pesan

kepada pembaca. Pesan ini biasanya berupa nilai-nilai yang disisipkan dalam

sebuah karya sastra tersebut. Salah satu nilai yang menarik dalam karya satra

adalah nilai kebudayaan. Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari

kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan

yang menyiratkan masalah tradisional, konvensi, norma, genre, simbol, dan

kepercayaan. Hal ini terjadi karena sastra dipengaruhi dan memengaruhi

masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120).

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh sebuah unsur yang disebut unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur pembangun novel dijelaskan sebagai berikut:


25

2.2.1 Unsur Intrinsik

Pengertian unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam

cerita. Unsur intrinsik merupakan sebab dari karya sastra hadir sebagai karya

sastra yang secara faktual akan dijumpaik jika orang membaca karya sastra

tersebut (Nurgiyantoro, 2010:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-

unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan

antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau,

sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan

dijumpai. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya,

peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa

atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Unsur-unsur intrinsik meliputi plot/alur cerita, karakter/perwatakan,

tema/pokok pembicaraan, setting/tempat terjadinya cerita, suasana cerita, dan

gaya cerita. Secara umum, unsur-unsur intrinsik yang digunakan dalam karya

sastra dijelaskan sebagai berikut:

a. Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya

sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik yan

menyangkut persamaan atau perbedaan. Tema dipandang sebagai dasar cerita

dalam sebuah karya fiksi yang sebelumnya telah ditentukan oleh pengarang untuk

mengembangkan ceritanya (Nurgiyantoro, 2010:68)


26

b. Alur

Plot atau alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur atau plot

adalah jalinan peristiwa atau kejadian dalam suatu karya sastra untuk mencapai

efek tertentu. Alur merupakan urutan peristiwa atau kejadian dalam suatu cerita

yang dihubungkan secara sebab-akibat. Alur juga dapat diartikan sebagai

peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita yang memiliki penekanan pada hubungan

kausalitas. Alur juga disebut sebagai urutan-urutan kejadian dalam sebuah cerita

(Nurgiyantoro, 2010:13).

c. Tokoh dan penokohan

Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas

moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan

apa yang dilakukan dalam tindakan tokoh cerita (character) adalah orang-orang

yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan

(Nurgiyantoro, 2010:165).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 166). Cara pengarang

menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Pengkajian watak

tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan. Pengkajian tersebut dapat

berupa pemberian nama yang menyiratkan arti, uraian pengarang secara ekspilisit
27

mengenai tokoh, maupun percakapan atau pendapat tokoh-tokoh lain dalam cerita.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan

atau menampilkan tokoh dalam sebuah cerita.

Penokohan menunjuk kepada penempatan tokoh-tokoh tertentu dan watak-

watak tertentu pula dalam sebuah cerita. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh

dalam karya fiksi dibedakan ke dalam dua cara, yaitu pelukisan secara langsung

dan pelukisan secara tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut juga

dengan teknik analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan

memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pelukisan tokoh

secara tidak langsung adalah pengarang mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan

sikap serta tingkah laku tokoh

d. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar adalah segala keterangan, pengacuan,

atau petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya

peristiwa dalam suatu cerita. Latar berfungsi sebagai pemberi kesan realistis

kepada pembaca. Selain itu, latar digunakan untuk menciptakan suasana tertentu

yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2010:214).

e. Amanat

Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang pengarang melalui

cerita. Amanat juga disebut sebagai pesan yang mendasari cerita yang ingin

disampaikan pengarang kepada para pembaca.


28

2.3 Antropologi Sastra

2.3.1 Definisi Antropologi Sastra

Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia

baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya.

Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos

dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.

Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut

Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di

dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya

sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai

pelengkap. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan

sastra dibatasi pada unsure budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai

dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural.

Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku

bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki

tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku

dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri. Pentingnya analisis

unsur kebudayaan dalam karya sastra dikemukakan oleh Sudikan, antropologi

sastra mutlak diperlukan dikarenakan, pertama sebagai perbandingan terhadap

psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan

pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang.

Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan

identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung

aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan


29

tentunya mengacu pada defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki

kecenderungan ke masa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain,

misalnya; mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan

kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan

subkategorinya, seperti; trah, klen dan kasta.

2.3.2 Objek Antropologi Sastra

Antroplogi berhubungan dengan kebudayaan manusia dai segi budaya,

perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Segi-segi tersebut masing-masing

menjadi objek khusus yang dipelajari atau diselidiki oleh ilmu tertentu. Sedangkan

manusia dengan segala seginya tersebut merupakan objek umum yang dipelajari

atau diselidiki berbagai ilmu. Jadi, yang membedakan antropologi sastra dari ilmu

lain yang juga mempelajari masalah manusia, ialah objek khusus yang

diselidikinya. Antropologi sastra yang objek khusus penyelidikannya ialah

manusia di dalam masyarakat, suku bangsa, kebudayaan, dan perilakunya,

bertujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat dan berkebudayaan

untuk membangun masyarakat itu sendiri.

2.3.3 Kegunaan Antropologi Sastra

Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk; 1) melengkapi

analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra, 2)

mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya

sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal, 3)

diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya


30

terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, kepercayaan, pepatah,

motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalm bentuk

sastra, 4) wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini

menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra, 5) mengantisipasi

kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin baru.

Penggabugan antara antropologi dan sastra yaitu dasar kedua disiplin ini,

hakikat dari antropologi adalah fakta empiris sedangkan sastra adalah kreativitas

imajinatif. Karya sastra tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur suatu peristiwa

tertentu. Karya sastra hanyalah refleksi, cermin, representasi menurut pemahaman

teori sastra. Hal ini juga yang menjadi dasar karya sastra tidak dapat diadili atau

dilarang penerbitannya misalnya, dengan tuduhan sebagai mewakili ideologi

tertentu.

2.3.4 Pendekatan dalam Antropologi Sastra

Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arkipetal, yaitu kajian

karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu, yang terpantul

dalam karya sastra klasik dan modern. Peneliti antropologi sastra dapat mengkaji

kedua karya tersebut dalam bentuk paparan etnografi Berikut 3 macam pendekat

utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan antropologi.

2.3.4.1 Pendekatan Holistik

Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka

sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang

sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam


31

keadaan terpisah dari keutuhan tersebut Kebudayaan dipandang secara utuh

(holistik), para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah,

geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi

(simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu

masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus memahami

dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.3.4.2 Pendekatan Komparatif

Kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan

pendekatan yang unik dalam antropologi untuk mempelajari kebudayaan

masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan

antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena 2 alasan

utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada

populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat

diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan

masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-

masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang

hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan

antropologi.

2.3.4.3 Pendekatan Historik

Pengutamaan asal-usul unsur sastra untuk menganalisis kebudayaan

memiliki pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat

penting dalam antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok
32

ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada

asal-usul historik dari unsur-unsur kesusastraan, dan setelah itu tertarik pada

unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.

2.4 Analisis Kepercayaan Pada Novel Tambora Karya Agus Sumbogo

Tinjauan Teori Antropologi Sastra

Telaah tentang wujud kepercayaan dalam novel Tambora, oleh peneliti

dianalisis mengenai rangkaian peristiwa yang terjadi dan dialami oleh tokoh

dalam novel, kemudian dihubungkan dalam pandangan atau sesuatu yang oleh

masyarakat tertentu dianggap benar-benar terjadi sesuai dengan kenyataan. Nilai

dari kebenaran suatu kepercayaan yang ada dalam masyarakat, belum tentu

kebenarannya, sebab kepercayaan hanyalah sebuah cara penuturan atau

penyampaian informasi dari kejadian yang diamati oleh masyarakat. Kebenaran

atau kesalahan dalam kepercayaan bergantung dari keyakinan dan kepercayaan

para pelaku dan meyakini kebenarannya.

Telaah kepercayaan dengan kajian antropologi sastra dengan objek kajian

novel Tambora, oleh peneliti difokuskan pada wujud dan fungsi kepercayaan

dengan analisis untuk memberikan kesadaran pada manusia bahwa alam semesta

ada kekuatan-kekuatan ajaib. Analisis berikutnya, untuk menghadirkan kembali

peristiwa-peristiwa yang dulu pernah terjadi sehingga memberikan perlindungan

dan jaminan pada masa kini. Fungsi kepercayaan selanjutnya, menelaskan tentang

alam semesta atau cerita asal-usul bumi dan langit, dengan pendekatan

antropologi sastra.
33

Penelitian telaah kepercayaan dengan tinjauan antropologi sastra, diperoleh

gambaran tentang cerita suci yang dalam bentuk simbolis mengisahkan tentang

serangkaian peristiwa nyata dan imajiner tentang asal-usul dan perubahan-

perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan adikodrati,

manusia, pahlawan, dan masyarakat. Dengan demikian, kepercayaan

membenarkan berbagai cara tindakan masa sekarang dalam kebudayaan tertentu,

menimbulkan kepercayaan bersama, dan memperkokoh rasa kebersamaan dalam

kelompok.

Pada penelitian ini, telaah kepercayaan dalam novel Tambora ditinjau dari

teori antropologi sastra, diungkapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kepercayaan yang dialami tokoh dalam novel terkait dengan

kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih

dilakukan dalam sebuah cipta sastra, seperti tradisi cerita, adanya

kekuatan gaib, ataupun kepercayaan-kepercayaan tertentu dari ruh atau

barang yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural;

2. Kajian kepercayaan rangkaian peristiwa atau kejadian yang dialami

tokoh dan diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya

masyarakat yang mengitari karya sastra novel Tambora;

3. Kajian kepercayaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel

Tambora, terkait sebagai simbol yang mempunyai makna terkait

dengan pola pikir masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai