TINJAUAN TEORI
c. Domain IPE
Terdapat 4 domain dalam IPE, yaitu norma/nilai etik dalam
profesi, peran dan tanggung jawab masing-masing profesi, komunikasi
antar profesi dan kerjasama tim.
2. Interprofessional Communication
a. Definisi komunikasi interprofesi
Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah
bertukar pikiran, opini, informasi melalui perkataan, tulisan ataupun
tanda-tanda. Komunikasi interprofesi adalah bentuk interaksi untuk
bertukar pikiran, opini dan informasi yang melibatkan dua profesi atau
lebih dalam upaya untuk menjalin kolaborasi interprofesi.
b. Manfaat komunikasi interprofesi
Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya
pemecahan masalah, berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama
(Potter & Perry, 2005). Bila komunikasi tidak efektif terjadi di antara
profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi taruhannya. Beberapa
alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis, salah
mempersepsikan informasi, perintah yang tidak jelas melalui telepon, dan
melewatkan perubahan status atau informasi.
c. Faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesi
Keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :
1) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah
terjadi. Persepsi terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman.
Perbedaan persepsi antar profesi yang berinteraksi akan
menimbulkan kendala dalam komunikasi;
2) Lingkungan yang nyaman membuat seseorang cenderung dapat
berkomunikasi dengan baik. Kebisingan dan kurangnya
kebebasan seseorang dapat membuat kebingunan, ketegangan
atau ketidaknyamanan;
3) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi
interprofesi dapat menjadi sulit ketika lawan bicara kita
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Keadaan seperti ini
akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan menjadi akan
tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh
pendengar.
d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi
Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting
untuk dilakukan karena melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan
komunikasi interprofesi pada situasi yang tidak membahayakan pasien tetapi
tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata. Kebutuhan akan
strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi
berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan
metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkankemampuan
komunikasi dan budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap
akademik (Mitchell, 2010).
Salah satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE.
Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu
mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang
lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah
memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam
penelitiannya yang berjudul “Developing Interprofessional Communication
Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik sebagai
inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan.
Simulasi Tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan
budaya yang menumbuhkan kerja sama tim interprofessional dalam
perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan
kolaborasi interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok
untuk belajar berinteraksi dengan profesi yang lain.
Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat
menggunakan metode tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi
kesehatan. Metode IPE melalui diskusi tutorial tersebut berpusat pada
berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara dokter, tenaga
keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell
(2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In
Learning – An Interprofessional Approach To Improving
Communication”bahwa tutorial sangat efektif untuk memberikan kesadaran
akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan pasien. Selain
itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang lain dapat
melatih mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
interprofesi.
Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi interprofesi kesehatan
yang kami temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan
profesi dokter, perawat, apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan
validasi oleh pakar komunikasi dari Indonesia maupun Eropa (Claramita,
et.al, 2012):
1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi
kesehatan lain, yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak
bahwa setiap profesi kesehatan dibutuhkan untuk saling bekerjasama
demi keselamatan pasien (Patient-safety) dan keselamatan petugas
kesehatan (Provider-safety).
2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi
kesehatan.
3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas
kesehatan yang berbeda profesi dalam
4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan
lain.
5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien
bisa dilakukan antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan
yang berbeda.
6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi
kesehatan yang lain.
7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai
proses pengobatan (termasuk alternatif/ tradisional)
8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan
untuk berbagi informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari
profesi yang berbeda (baik tertulis di medical record, verbal maupun
non-verbal).
9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi
kesehatan sesuai dengan tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.
10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar
profesi kesehatan mengenai masalah kesehatan pasien.
11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari
profesi yang lain dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil hubungan
interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila antar profesi
yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan
menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-
masing, menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota
profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional yang
sama yang timbul karena pendidikan dan pengalaman, adanya keinginan
dan kesadaran untuk berkomunikasi dan negosisasi dalam menjalankan
tugas yang interdependen dalam pencapaian tujuan bersama. Kedua
profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan interpersonal,
menilai dan menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling
melengkapi.
a. Kerjasama tim dalam proses kolaborasi
Proses kolaborasi memiliki ciri-ciri khas, di antaranya adalah
kerjasama, koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling
ketergantungan dan kebersamaan. Menurut Kozier (1997) hal-hal yang dapat
dilakukan dalam penerapan kolaborasi adalah:
1) Kebersamaan dalam perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, tujuan dan pertanggungjawaban,
2) Bekerjasama dalam memberikan pelayanan,
3) Melakukan koordinasi dalam pelayanan,
4) Keterbukaan dalam komunikasi.
Menurut Siegler & Whitney (2000) proses kolaborasi harus
memenuhi 3 kriteria berikut ini:
a) Harus melibatkan tenaga ahli dengan bidang keahlian yang berbeda,
yang dapat bekerjasama timbal balik secara mulus,
b) Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama,
c) Kelompok harus memberikan pelayanan yang keunikannya
dihasilkan dari kombinasi pandangan dan keahlian yang diberikan
oleh setiap anggota tim tersebut.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama tim interprofesi
Menurut Weaver (2008), fungsi kerjasama tim yang efektif
dipengaruhi oleh faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut
merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan maupun menghambat proses
kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan oleh Kerangka berikut.
1) Anteseden (Antecedents)
a) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal
consideration).
Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa
seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja
secara efektif dan efisien. Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang
saling memerlukan dapat menjadi dasar terbentuknya sebuah tim.
Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting
dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim harus
memiliki tipe kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama
yang baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila
masing-masing anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam
profesinya masing-masing, artinya anggota tim dari profesi yang satu
harus seimbang dengan profesi yang lain baik dari segi pengetahuan,
keterampilan, maupun pengalaman yang dimiliki agar dapat saling
berdiskusi secara efektif.
b) Lingkungan fisik (physical environment)
Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat
memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang
baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk
mendiskusikan beberapa ide maupun menyelesaikan masalah yang
mungkin terjadi, sehingga dapat meningkatkan ikatan dan diskusi
penting yang mengarah pada pemahaman dari perspektif yang
berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.
c) Faktor organisasional dan institusional (organizational and
institutional factor)
Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam
mengurangi hambatan untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan
yang diterapkan oleh suatu institusi ataupun kelembagaan kesehatan
harus dapat mendorong terciptanya kerjasama antar profesi
kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum
interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan
kesehatan melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2) Proses
a) Faktor perilaku
Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan
kunci untuk mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi.
Kesadaran untuk bekerjasama dan saling membutuhkan harus
ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak ada arogansi maupun
egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan untuk
meredakan ketegangan di antara profesi yang berbeda, selain itu juga
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien.
b) Faktor interpersonal
Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan
orang lain, dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam
hubungan interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap
profesi harus mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka
dapat berbagi peran sesuai dengan kompetensi masing-masing
profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi yang baik sangat
diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif. Melalui
komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide,
perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi
dapat berjalan dengan baik.
c) Faktor intelektual
Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan kolaborasi interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan
berjalan dengan baik apabila setiap anggota tim mempunyai tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang setara.
3) Outcome and opportunity
Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan
sangat membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan
dengan inovasi pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan
terbentuknya kerjasama yang efektif harus ditekankan pada setiap
anggota tim sehingga dapat tercipta model integratis dalam sistem
pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan
kolaborasi interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan.
c. Upaya meningkatkan kerjasama interprofesi
Kerjasama yang efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi
merupakan kunci penting dalam meningkatkan efektifitas pelayanan
kesehatan dan keselamatan pasien (Burtscher, 2012). Fakta yang terjadi saat
ini, bahwa sulit sekali untuk menyatukan berbagai profesi kesehatan tersebut
kedalam sebuah tim interprofesi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya
kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama yang efektif seperti
kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum tumbuhnya
budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan klinis
pasien.Untuk itulah diperlukan adanya kurikulum yang dapat melatih
mahasiswa tenaga kesehatan untuk berkolaborasi sejak masa akademik agar
mereka terbiasa berkolaborasi dengan profesi lain bahkan sampai ketika
mereka berada didunia kerja (Reeves, 2011).
Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema “Framework
For Action On Interprofessional Education & Collaborative Practice”
menjelaskan bahwa interprofessional education (IPE) merupakan strategi
pembelajaran inovatif yang menekankan pada kerjasama dan kolaborasi
interprofesi dalam melakukan proses perawatan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan pasien. Lebih jauh WHO (2010) menjelaskan bahwa
kerjasama interprofesi merupakan kemampuan yang harus selalu dipelajari
dan dilatih melalui IPE. Kemampuan kerjasama interprofesi yang baik dapat
dilihat dari kemampuan mahasiswa untuk menjadi team leader dan mampu
mengatasi hambatan dalam kerjasama interprofesi.
d. Penerapan kerjasama interprofesi
Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan. Dalam
penerapan kerjasama interprofesi, anggota tim interprofesi mungkin saja
mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman penanganan masalah kesehatan yang berfokus pada
komunikasi dan sikap yang mengacu pada kebutuhan pasien yang merupakan
prioritas utama. Selain itu dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi
dalam menciptakan perawatan yang optimal, yaitu meliputi peran mandiri tiap
profesi dan peran tim interprofesi secara keseluruhan.
C. Stunting
1. Pengertian Stunting
Stunting merupakan suatu keadaan gangguan pertumbuhan pada
anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari
standar usianya. Stunting merupakan suatu kondisi serius yang terjadi saat
seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat dalam
waktu yang lama (kronik).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U)
menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting
menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai
z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD
(severely stunted). (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Sekretariat Wakil Presiden, 2017).
4. Dampak Stunting
a. Mudah sakit (sistem Imun menurun)
b. Kemampuan Kognitif Berkurang
c. Postur Tubuh Tidak maksimal
d. Gangguan Metabolisme dalam tubuh
e. Saat Tua Berisiko Terkena Penyakit yang berhubungan dengan Pola
makan (diabetes, obesitas, penyakit jantung, dll)
f. Fungsi Fungsi Tubuh Tidak Seimbang
g. Mengakibatkan Kerugian Ekonomi
2. Pola Konsumsi
Tantangan pola asuh untuk pencegahan stunting meliputi
perilaku pengasuhan kesehatan, tumbuh kembang dan afeksi.
Kunjungan ANC yang terjadwal sejak awal kehamilan dan
selama kehamilan sangatlah penting untuk memantau kondisi
kesehatan dan tumbuh kembangnya, sehingga dapat mendukung
pertumbuhan janin yang optimal.
Pemantuan kondisi dan kesehatan Bayi baru lahir atau
Kunjungan Neonatal (KN) yang dilakukan pada saat bayi berumur
6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3) sangatlah
penting. Riskesdas 2013: cakupan kunjungan neonatal lengkap
masih sangat rendah: 39,3%, tertinggi di Yogyakarta (58,3%) dan
terendah di Papua Barat (6,8%). Alasan tidak melakukan
pemeriksaan neonatal (kelompok umur 0-5 bulan): bayi tidak sakit
(78,9%), bayi tidak boleh dibawa pergi (8,2%), tempat pelayanan
jauh 11,2%), tidak punya biaya 4,7%).
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan agar anak baduta
sehat tetap sehat dan terhindar dari berbagai penyakit infeksi (Olofin
dkk 2013), agar proses tumbuh kembangnya tidak terganggu. Secara
nasional cakupan imunisasi dasar pada anak baduta Lengkap:
59,2%; Tidak lengkap: 32,1%; Tidak imunisasi: 8,7% (Riskesdas
2013). Keluarga tidak mengijinkan (27,2% / 25,1%) Takut anak
menjadi panas (28,2% / 29,7%) Anak sering sakit (7,5% / 5,7%),
Tidak tahu tempat imunisasi (5,0% / 8,7%) Tempat imunisasi jauh
(21,5% / 22%) dan Sibuk/repot (18,7% / 14,2%)
4. Sosial Budaya
Kehamilan diyakini oleh banyak orang dari berbagai budaya
sebagai suatu kondisi khusus yang penuh bahaya. Bahaya bagi ibu
hamil dan janinnya dan dianggap dapat terjadi dalam berbagai
situasi, baik dari alam nyata maupun gaib (Swasono 1998:7). Untuk
melindungi ibu dan janinnya berbagai masyaakat di dunia
diharuskan mematuhi larangan-larangan tertentu yang harus dipatuhi
oleh ibu hamil dan ibu masa nifas. Pantang makanan adalah bahan
makanan atau masakan yang tidak boleh dimakan oleh para
individu dalam masyarakat karena alasan yang bersifat budaya.
Adat makanan ditemui di banyak masyarakat di dunia,
termasuk di Indonesia, misalnya dikalangan wanita Sunda
(Penelitian Anggorodi dan Sukandi 1998), perempuan di Kepulauan
Sangihe dan Talaud (Ulaen 1998), perempuan di Badaneira,
Kabupaten Maluku Tengah (Penelitian Swasono dan Soselisa 1998),
dan perempuan di Rawa Bogo, Bekasi (Penelitian Soerachman,
Sulistiawati, dan Purwanto 2016). Makanan atau sumber gizi yang
dipantang oleh ibu hamil dan ibu nifas diantaranya: ikan dan telor,
cumi dll
5. Ekonomi Keluarga
Di daerah nelayan di Jayapura menunjukan balita yang
mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang memiliki
resiko 4x lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan
anak balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan
cukup
6. Pelayanan Kesehatan
Hampir 90 persen ibu hamil memilih bidan untuk
memeriksakan kehamilannya (Riskesdas 2013). Diharapkan dapat
mengedukasi ibu hamil untuk mempraktikkan pola asuh dan pola
konsumsi yang baik dan benar. Bidan merupakan salah satu sasaran
dalam upaya perubahan perilaku
DAFTAR PUSTAKA