Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar IPE - CP


1. Interprofessional Education (IPE)
a. Definisi IPE
Menurut World Health Organization (2010), IPE didefenisikan
sebagai proses pembelajaran dimana dua atau lebih profesi belajar
dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi
dan kualitas outcome pelayanan kesehatan. IPE merupakan pendekatan
proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda
berkolaborasi dalam proses belajar- mengajar dengan tujuan untuk
membina interdisipliner/interaksi interprofessional yang meningkatkan
praktek disiplin masing-masing. Menurut Cochrane Collaboration, IPE
terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa profesi kesehatan yang berbeda
melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan tujuan untuk
meningkatkan kolaborasi interprofessional dan meningkatkan kesehatan
atau kesejahteraan pasien.
b. Tujuan IPE
Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk
lebih mengenal peran profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan
mahasiswa akan mampu untuk berkolaborasi dengan baik dalam
penanganan masalah kesehatan, baik di komunitas, keluarga atau
individu. Penangaanan masalah kesehatan secara interprofessional akan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan
pasien. Tujuan pelaksanaan IPE antara lain:
1) Meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan
kerjasama;
2) Membina kerjasama yang kompeten;
3) Membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien;
4) Meningkatkan kualitas penanganan masalah kesehatan yang
komprehensif. WHO (2010) juga menekankan pentingnya
f
i
n
o
s
p
r
e
t
U
I
l
a penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan outcome
pelayanan kesehatan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa IPE merupakan langkah yang
sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang efektif
antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan
hasil pelayanan kesehatan.

Gambar 1. Konsep dasar IPE-CP


Sumber: Framework for action on interprofessional education &
collaboration practice (WHO, 2010)

c. Domain IPE
Terdapat 4 domain dalam IPE, yaitu norma/nilai etik dalam
profesi, peran dan tanggung jawab masing-masing profesi, komunikasi
antar profesi dan kerjasama tim.

Gambar 2. Domain Inter Proffesional Education


Kompetensi value dan etik antar profesi adalah bekerja bersama
dengan profesi lain untuk mempertahankan iklim saling menghargai dan
berbagi nilai serta etik bersama. Kompetensi peran dan tanggung jawab
adalah : menggunakan pengetahuan tentang peran profesi sendiri dan
peran profesi lain di dalam tim untuk mengkaji dan memberikan
pelayanan yang tepat kepada klien dan populasi. Kompetensi komunikasi
antar profesi adalah : berkomunikasi dengan klien, keluarga klien,
komunitas, dan profesi kesehatan lain dengan cara yang tepat dan
bertanggung jawab untuk mendukung pendekatan tim. Kompetensi untuk
bekerja di dalam tim adalah : mengaplikasikan nilai-nilai membangun
kelompok dan membangun prinsip dinamika kelompok untuk
melaksanakan fungsi tim secara efektif.
d. Aplikasi Konsep Kurikulum IPE.
Kurikulum IPE tidak dapat dipisahkan dari bagian kolaborasi
interprofesional. Interprofessional education dapat meningkatkan
kompetensi tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi. Kompetensi
tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap
kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan
lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada
pasien.
e. Metode Pembelajaran IPE
1) Kuliah klasikal
IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode
pembelajaran berupa kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan
beberapa pengajar dari berbagai disiplin ilmu (team teaching) dan
melibatkan mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan. Kurikulum
yang digunakan adalah kurikulum terintegrasi dari berbagai profesi
kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing keilmuan terhadap suatu
masalah atau materi yang sedang dibahas.
2) Kuliah Tutorial (PBL)
Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi
kelompok kecil yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari
berbagai profesi kesehatan. Mereka membahas suatu masalah suatu
masalah dan mencoba mengindentifikasi dan mencari penyelesaian
dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah modul
terintegrasi. Dosen berupa team teaching dari berbagai profesi dan
bertugas sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut.
3) Kuliah Skills Laboratorium
Skills Laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE
karena dapat mensimulasikan bagaimana penerapan IPE secara lebih
nyata. Dalam pembelajaran skills laboratorium, mahasiswa dapat
mempraktekkan cara berkolaborasi dengan mahasiswa dari berbagai
profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien.
4) Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan
Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di
rumah sakit dan di komunitas. Pada pendidikan profesi mahasiswa
dihadapkan pada situasi nyata di lapangan untuk memberikan
pelayanan kepada pasien nyata. Melalui pendidikan profesi,
mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan mahasiswa
profesi lain dalam kurikulum IPE.

2. Interprofessional Communication
a. Definisi komunikasi interprofesi
Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah
bertukar pikiran, opini, informasi melalui perkataan, tulisan ataupun
tanda-tanda. Komunikasi interprofesi adalah bentuk interaksi untuk
bertukar pikiran, opini dan informasi yang melibatkan dua profesi atau
lebih dalam upaya untuk menjalin kolaborasi interprofesi.
b. Manfaat komunikasi interprofesi
Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya
pemecahan masalah, berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama
(Potter & Perry, 2005). Bila komunikasi tidak efektif terjadi di antara
profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi taruhannya. Beberapa
alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis, salah
mempersepsikan informasi, perintah yang tidak jelas melalui telepon, dan
melewatkan perubahan status atau informasi.
c. Faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesi
Keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :
1) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah
terjadi. Persepsi terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman.
Perbedaan persepsi antar profesi yang berinteraksi akan
menimbulkan kendala dalam komunikasi;
2) Lingkungan yang nyaman membuat seseorang cenderung dapat
berkomunikasi dengan baik. Kebisingan dan kurangnya
kebebasan seseorang dapat membuat kebingunan, ketegangan
atau ketidaknyamanan;
3) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi
interprofesi dapat menjadi sulit ketika lawan bicara kita
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Keadaan seperti ini
akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan menjadi akan
tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh
pendengar.
d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi
Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting
untuk dilakukan karena melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan
komunikasi interprofesi pada situasi yang tidak membahayakan pasien tetapi
tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata. Kebutuhan akan
strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi
berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan
metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkankemampuan
komunikasi dan budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap
akademik (Mitchell, 2010).
Salah satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE.
Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu
mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang
lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah
memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam
penelitiannya yang berjudul “Developing Interprofessional Communication
Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik sebagai
inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan.
Simulasi Tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan
budaya yang menumbuhkan kerja sama tim interprofessional dalam
perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan
kolaborasi interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok
untuk belajar berinteraksi dengan profesi yang lain.
Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat
menggunakan metode tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi
kesehatan. Metode IPE melalui diskusi tutorial tersebut berpusat pada
berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara dokter, tenaga
keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell
(2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In
Learning – An Interprofessional Approach To Improving
Communication”bahwa tutorial sangat efektif untuk memberikan kesadaran
akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan pasien. Selain
itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang lain dapat
melatih mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
interprofesi.
Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi interprofesi kesehatan
yang kami temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan
profesi dokter, perawat, apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan
validasi oleh pakar komunikasi dari Indonesia maupun Eropa (Claramita,
et.al, 2012):
1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi
kesehatan lain, yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak
bahwa setiap profesi kesehatan dibutuhkan untuk saling bekerjasama
demi keselamatan pasien (Patient-safety) dan keselamatan petugas
kesehatan (Provider-safety).
2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi
kesehatan.
3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas
kesehatan yang berbeda profesi dalam
4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan
lain.
5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien
bisa dilakukan antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan
yang berbeda.
6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi
kesehatan yang lain.
7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai
proses pengobatan (termasuk alternatif/ tradisional)
8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan
untuk berbagi informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari
profesi yang berbeda (baik tertulis di medical record, verbal maupun
non-verbal).
9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi
kesehatan sesuai dengan tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.
10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar
profesi kesehatan mengenai masalah kesehatan pasien.
11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari
profesi yang lain dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil hubungan
interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila antar profesi
yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan
menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-
masing, menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota
profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional yang
sama yang timbul karena pendidikan dan pengalaman, adanya keinginan
dan kesadaran untuk berkomunikasi dan negosisasi dalam menjalankan
tugas yang interdependen dalam pencapaian tujuan bersama. Kedua
profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan interpersonal,
menilai dan menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling
melengkapi.
a. Kerjasama tim dalam proses kolaborasi
Proses kolaborasi memiliki ciri-ciri khas, di antaranya adalah
kerjasama, koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling
ketergantungan dan kebersamaan. Menurut Kozier (1997) hal-hal yang dapat
dilakukan dalam penerapan kolaborasi adalah:
1) Kebersamaan dalam perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, tujuan dan pertanggungjawaban,
2) Bekerjasama dalam memberikan pelayanan,
3) Melakukan koordinasi dalam pelayanan,
4) Keterbukaan dalam komunikasi.
Menurut Siegler & Whitney (2000) proses kolaborasi harus
memenuhi 3 kriteria berikut ini:
a) Harus melibatkan tenaga ahli dengan bidang keahlian yang berbeda,
yang dapat bekerjasama timbal balik secara mulus,
b) Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama,
c) Kelompok harus memberikan pelayanan yang keunikannya
dihasilkan dari kombinasi pandangan dan keahlian yang diberikan
oleh setiap anggota tim tersebut.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama tim interprofesi
Menurut Weaver (2008), fungsi kerjasama tim yang efektif
dipengaruhi oleh faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut
merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan maupun menghambat proses
kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan oleh Kerangka berikut.
1) Anteseden (Antecedents)
a) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal
consideration).
Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa
seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja
secara efektif dan efisien. Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang
saling memerlukan dapat menjadi dasar terbentuknya sebuah tim.
Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting
dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim harus
memiliki tipe kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama
yang baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila
masing-masing anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam
profesinya masing-masing, artinya anggota tim dari profesi yang satu
harus seimbang dengan profesi yang lain baik dari segi pengetahuan,
keterampilan, maupun pengalaman yang dimiliki agar dapat saling
berdiskusi secara efektif.
b) Lingkungan fisik (physical environment)
Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat
memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang
baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk
mendiskusikan beberapa ide maupun menyelesaikan masalah yang
mungkin terjadi, sehingga dapat meningkatkan ikatan dan diskusi
penting yang mengarah pada pemahaman dari perspektif yang
berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.
c) Faktor organisasional dan institusional (organizational and
institutional factor)
Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam
mengurangi hambatan untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan
yang diterapkan oleh suatu institusi ataupun kelembagaan kesehatan
harus dapat mendorong terciptanya kerjasama antar profesi
kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum
interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan
kesehatan melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2) Proses
a) Faktor perilaku
Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan
kunci untuk mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi.
Kesadaran untuk bekerjasama dan saling membutuhkan harus
ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak ada arogansi maupun
egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan untuk
meredakan ketegangan di antara profesi yang berbeda, selain itu juga
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien.
b) Faktor interpersonal
Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan
orang lain, dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam
hubungan interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap
profesi harus mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka
dapat berbagi peran sesuai dengan kompetensi masing-masing
profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi yang baik sangat
diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif. Melalui
komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide,
perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi
dapat berjalan dengan baik.
c) Faktor intelektual
Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan kolaborasi interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan
berjalan dengan baik apabila setiap anggota tim mempunyai tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang setara.
3) Outcome and opportunity
Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan
sangat membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan
dengan inovasi pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan
terbentuknya kerjasama yang efektif harus ditekankan pada setiap
anggota tim sehingga dapat tercipta model integratis dalam sistem
pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan
kolaborasi interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan.
c. Upaya meningkatkan kerjasama interprofesi
Kerjasama yang efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi
merupakan kunci penting dalam meningkatkan efektifitas pelayanan
kesehatan dan keselamatan pasien (Burtscher, 2012). Fakta yang terjadi saat
ini, bahwa sulit sekali untuk menyatukan berbagai profesi kesehatan tersebut
kedalam sebuah tim interprofesi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya
kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama yang efektif seperti
kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum tumbuhnya
budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan klinis
pasien.Untuk itulah diperlukan adanya kurikulum yang dapat melatih
mahasiswa tenaga kesehatan untuk berkolaborasi sejak masa akademik agar
mereka terbiasa berkolaborasi dengan profesi lain bahkan sampai ketika
mereka berada didunia kerja (Reeves, 2011).
Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema “Framework
For Action On Interprofessional Education & Collaborative Practice”
menjelaskan bahwa interprofessional education (IPE) merupakan strategi
pembelajaran inovatif yang menekankan pada kerjasama dan kolaborasi
interprofesi dalam melakukan proses perawatan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan pasien. Lebih jauh WHO (2010) menjelaskan bahwa
kerjasama interprofesi merupakan kemampuan yang harus selalu dipelajari
dan dilatih melalui IPE. Kemampuan kerjasama interprofesi yang baik dapat
dilihat dari kemampuan mahasiswa untuk menjadi team leader dan mampu
mengatasi hambatan dalam kerjasama interprofesi.
d. Penerapan kerjasama interprofesi
Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan. Dalam
penerapan kerjasama interprofesi, anggota tim interprofesi mungkin saja
mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman penanganan masalah kesehatan yang berfokus pada
komunikasi dan sikap yang mengacu pada kebutuhan pasien yang merupakan
prioritas utama. Selain itu dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi
dalam menciptakan perawatan yang optimal, yaitu meliputi peran mandiri tiap
profesi dan peran tim interprofesi secara keseluruhan.

3. Model Penerapan IPE-CP dalam PKL Terpadu


Implementasi IPE-CP dalam PKL Terpadu Poltekkes Kemenkes
Padang menggunakan model seperti pada Gambar dibawah ini Dapat dilihat
bahwa model yang digunakan mengadopsi langkah-langkah dalam Problem
Solving Cycle dalam intervensi kesehatan masyarakat, yaitu community
diagnosis, penetapan masalah prioritas, perencanaan model intervensi dan
penerapan intervensi serta monitoring dan evaluasi.

Gambar 3. Model IPE-PC


Diganosa komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan dan akar penyebab yang terjadi di level komunitas, keluarga dan
individu. Pada tahapan ini kelompok IPE-CP diharapkan dapat
mengumpulkan data dan informasi baik melalui data sekunder electronic
Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM). Data
demografi penduduk, profil kesehatan, keadaan sosial ekonomi antara lain
dapat diperoleh dari Dinas terkait, Puskesmas dan Pemerintahan Nagari.
Data-data tersebut dapat digunakan untuk melakukan diagnosis di level
Keluarga dan komunitas atau masyarakat Jorong.
Berbasis data sekunder electronic Pencatatan dan Pelaporan Gizi
Berbasis Masyarakat (ePPGBM). Identifikasi keluarga dengan masalah
kesehatan dapat dilakukan dari data sekunder yang tersedia dan atau informasi
dari pemerintahan nagari, jorong atau masyarakat sekitar, dan melakukan
asuhan kesehatan keluarga masing-masing 1 Keluarga setiap mahasiswa
dalam kelompok terhadap yang berisiko mengalami masalah status gizi.
Assesment dilakukan pada keluarga yang berisiko dapat meliputi
data tentang struktur keluarga, karakteristik sosial ekonomi keluarga, prilaku
berisiko dalam keluarga, penyakit yang diderita oleh anggota keluarga dan
data lain yang menunjangdalam pelaksanaan asuhan kesehatan keluarga.
a. Identifikasi dan Prioritas masalah’
Masalah adalah suatu keadaan (terlihat atau tidak terliat) dimana
antara yang diharapkan dengan kenyataan tidak sesuai. Masalah sesuai
dengan tema yaitu balita stunting (sangat pendek dan pendek) yang didapat
dari data ePPGBM. Apabila masalah ini tidak mencukupi jumlah anggota
dalam kelompok maka kriteria ditambah dengan balita gizi buruk, gizi kurang
dan keluarga yang mempunyai anak baduta.
b. Perencanaan Model Intervensi
Model intervensi yang akan dilakukan haruslah direncanakan sesuai
dengan masalah yang sudah ditetapkan baik di tingkat komunitas dan
keluarga. Berbagai model intervensi dapat diselaraskan dengan program
kesehatan yang sedang atau akan dilakukan seperti Program Keluarga Sehat
(KS).
c. Penerapan Intervensi
Penerapan intervensi dilakukan setelah perencanaan dan persiapan
intervensi dilakukan. Penerapan intervensi dimulai dengan musyawarah
masyarakat jorong (MMJ) yang bertujuan untuk memaparkan rencana
intervensi yang sudah dibuat kepada masyarakat kelompok sasaran, unsur
tokoh masyarakat dan pemeritahan jorong. Indikator penerapan rencana
intervensi salah satunya dapat dilihat produk atau output kegiatan yang sudah
dilaksnakan seperti adanya bahan promosi kesehatan (leaflet, poster, modul,
booklet, satauan acara penyuluhan, dll), bangunan fisik (jamban keluarga,
tong sampah, saringan air, taman gizi, toga, produk makanan, dll), perubahan
prilaku masyarakat, keluarga dan individu (Sanitasi lingkungan tempat
tinggal, pola asuh, perawatan kesehatan, konsumsi makanan, dll)

B. Problem Solving Cycle


1. Pengertian Problem Solving Cycle
Siklus Pemecahan masalah proses mental yang melibatkan penemuan
masalah, analisis dan pemecahan masalah. Tujuan utama dari pemecahan
masalah adalah untuk mengatasi kendala dan mencari solusi yang terbaik
dalam menyelasaikan masalah
Problem solving merupakan gabungan dari alat, keterampilan dan
proses. Disebut alat karena dapat membantu dalam memecahkan masalah
mendesak atau mencapai tujuan, disebut skills karena mempelajarinya maka
akan dapat menggunakannya berulang kali, disebut proses karena melibatkan
sejumlah langkah.
Problem Solving cycle merupakan proses yang terdiri dari langkah-
langkah berkesinambungannya terdiri dari analisis situasi, perumusan
masalah secara spesifik, penentuan prioritas masalah, penentuan tujuan,
memilih alternatif terbaik, menguraikan alternatif terbaik menjadi rencana
operasional dan melaksanakan rencana kegiatan serta mengevaluasi hasil
kegiatan.

Gambar 4. Problem Solving Cycle


2. Langkah-langkah pemecahan masalah
a. Identifikasi dan Prioritas Masalah
Melihat apa masalah yang terjadi, masalah sendiri merupakan
suatu keadaan (terlihat atau tidak terlihat) dimana antara yang diharapkan
dengan kenyataan tidak sesuai. Atau adanya kesenjangan (gap) antara
harapan dan kenyataan. Kesenjangan tersebut dapat dikemukakan secara
kualitatif dan dapat pula secara kuantitatif.
Penetuan masalah tersebut bisa dikenali berdasarkan data yang
ada dan juga melalui Brainstorming. Kemudian dari sana memahami
masalah secara jelas dan spesifik, sehingga mempermudah penentuan
prioritas masalah,penentuan alternatif dan melakukan pemecahan
masalah
Penentuan prioritas masalah merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh sekelompok orang dengan menggunakan metode tertentu
untuk menentukan urutan masalah dari yang paling penting sampai
masalah yang kurang penting. Penentuan prioritas masalah dapat
menggunakan metode delbeg, metode hanlon, metode delphi, metode
USG, metode pembobotan dan metode rumus.
Langkah penentuan prioritas masalah:
1) Menetapkan kriteria
2) Memberikan bobot masalah
3) Menentukan skoring setiap masalah.
b. Analisis Penyebab Masalah
Analisis penyebab masalah adalah menelah faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap masalah berdasarakan data yang ada, gejala-gejala
yang ditimbulkan, analisis sebab akibat dan terakhir brainstorming.
Setelah menelah faktor-faktor masalah baru menentukan penyebab utama
permasalahan.
c. Penentuan Solusi/ Alternatif
Penetuan solusi/alternatif merupakan cara-cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan (menghilangkan atau mengurangi
masalah) tersebut dengan cara : Mengemukaan ide-ide, kebijakan yang
ada, analogi dan brainstorming. Brainstorming merupakan teknik
mengembangkan ide dalam waktu yang singkat yang digunakan untuk
mengenali adanya masalah, baik yang telah terjadi maupun potensial
yang terjadi, menyusun daftar masalah, menyusun alternatif pemecahan
masalah, menetapkan kriteria untuk monitoring, mengembangkan
kreativitas dan menganggambarkan aspek-aspek yang perlu dianalisis
dari suatu pokok bahasan.
d. Analisis Solusi Terbaik
Analisis solusi terbaik merupakan cara yang digunakan untuk
menelaah atau menganalisis masing-masing alternatif yang sesuai dengan
kriteria. Solusi yang paling tepat dapat dipilih dengan menggunakan 2
cara yaitu teknik skoring dan non skoring. Pada teknik skoring dilakukan
dengan memberikan nilai (skor) terhadap beberapa alternatif solusi yang
menggunakan kriteria. Pada teknik non skoring alternatif solusi
didpatkan melalui diskusi kelompok sehingga teknik ini juga disebut
nominal group technique (NGT).
Kriteria dalam alternatif solusi dengan teknik skoring:
1) Cost Effisien
2) Resources
3) Time
4) Etis
Langkah-langkah implementasi solusi:
Contoh analisis solusi terbaik:
No Skor Solusi
Kriteria
. A B C
1. Biaya 5 7 9
2. Ketersediaan Sumber Daya 8 8 8
3. Ketersediaan Waktu 7 9 10
Keterangan :
 Dari segi biaya, program C paling effisien dibandingkan dengan program
yan lain.
 Dari ketersediaan sumber daya, ketiga program sama
 Dari segi ketersedian waktu, program C yang lebih sesuai
Kesimpulan dari solusi terbaik untk pemcahan masalah adalah program C.
e. Melaksanakan Solusi
Setelah didapatkannya solusi alternatif yang terbaik dilanjutkan
dengan melaksanakan solusi dengan pembuatan POA (Plan of Action)
adalah serangkaian kegiatan nyata untuk menanggulangi atau
memecahkan masalah yang dihadapi. Plan of Action adalah ringkasan
rencana intervensi yang dibuat dalam bentuk matrik yang memuat:
1) Kegiatan
2) Tujuan
3) Sasaran
4) Waktu (jml waktu dan tanggal)
5) Tempat
6) Biaya (besar biaya dan sumbernya)
7) Penanggung Jawab
8) Dokumentasi
Contoh POA
No. Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Tempat Biaya P. Jawab
1. Penyuluh Meningkatkan Ibu 2 jam Kantor Rp. Si..
an Gizi pengetahuan balita tangga wali 50.000 Adam
tentang gizi l6 nagari per
april KK
2020.

f. Evaluasi : Hasil yang diinginkan selama melakukan solusi dari POA


1) Kriteria struktur
a) Peserta yang datang ditempat penyuluhan
b) Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelum dan
c) saat penyuluhan
2) Kriteria Proses
a) Antusias masyarakat terhadap materi penyuluhan
b) Massyarakat konsentrai mendengarkan penyuluhan
c) Masyarakat mengajukan pertanyaan dan menjawab
pertanyaan secara lengkap dan benar
3) Kriteria hasil
a) Masyarakat mengetahui tentang pemahaman dari
pelaksanaan POA (Plan of Action)

C. Stunting
1. Pengertian Stunting
Stunting merupakan suatu keadaan gangguan pertumbuhan pada
anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari
standar usianya. Stunting merupakan suatu kondisi serius yang terjadi saat
seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat dalam
waktu yang lama (kronik).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U)
menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting
menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai
z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD
(severely stunted). (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Sekretariat Wakil Presiden, 2017).

2. Fakta tentang stunting di Indonesia


Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa data
kemenkes mencatat sebanyak 3 dari 10 orang anak di Indonesia bertubuh
pendek. Sekitar 8 juta orang anak di Indonesia mengalami pertumbuhan yang
tidak maksima. Sehingga prevalensi stunting atau pendek di Indonesia
mencapai 37,2%.
Dari data riskesdas tahun 2013 10,2 % bayi di indonesia lahir dengan
berat badan rendah (<2500 gram), 19,6% balita di indonesia memiliki berat
badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang), 37,2% balita di
indonesia memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usaianya (pendek)
3. Faktor Penyebab Stunting
Selain dari Kurangnya asupan gizi, ada faktor lain yang memengaruhi
terjadiya Stunting antara lain:
a. Pendidikan
b. Pendapatan Keluarga
c. Kebijakan Politik,
d. Ekonomi
e. Ketahanan Pangan
f. Budaya dan norma yang kurang mendukung
g. Kurangnya kualitas pelayanan kesehatan
h. Lingkungan yang kurang baik
Sehingga menimbulkan Kurangnya ketersediaan pangan keluarga,
Buruknya perilaku higienitas pribadi & lingkungan, Kurangnya perilaku
pengasuhan & konsumsi, Kurangnya pengetahuan praktis ttg kebersihan,
kesehatan & gizi mengakibatkan buruknya status infeksi dan menjadi
Stunting.

4. Dampak Stunting
a. Mudah sakit (sistem Imun menurun)
b. Kemampuan Kognitif Berkurang
c. Postur Tubuh Tidak maksimal
d. Gangguan Metabolisme dalam tubuh
e. Saat Tua Berisiko Terkena Penyakit yang berhubungan dengan Pola
makan (diabetes, obesitas, penyakit jantung, dll)
f. Fungsi Fungsi Tubuh Tidak Seimbang
g. Mengakibatkan Kerugian Ekonomi

5. Pencegahan dan Penanggulangan Stunting


Stunting menjadi salah satu dari dimensi pembangunan manusia dan
masyarakat yang menjadi program prioritas nasional dari kabinet kerja
Jokowi Widodo -Jusuf Kalla dalam RPJMN 2015-2019. Dengan demikian,
usaha pemerintah untuk menanggulangi stunting meliputi berbagi sektor,
seperti kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat yang mana banyak
diantaranya kebutuhan dasar yang harus tersedia. Salah satu fokus pemerintah
saat ini adalah pencehagan stunting.
Tujuan dari pentingnya pencegahan stunting adalah (a) agar anak-
anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal;
(b) memiliki kemampuan emosional, sosial dan fisik yang siap untuk belajar;
(c) memiliki kemampuan berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.
Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai
sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut
dengan 1000 hari pertama kehidupan. Oleh karena itu perbaikan gizi
diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama
kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya.
Hal yang perlu diperhatikan keluarga dalam pencegahan dan
penanggulangan stunting adalah :
a. Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil
1) Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila
ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami
Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan
tambahan kepada ibu hamil tersebut.
2) Ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet
selama kehamilan.
3) Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
b. Pemberian makan pada bayi dan anak yang optimal
1) Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu
bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
2) Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja
(ASI Eksklusif).
3) Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahundiberi Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI).
4) Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun
atau lebih.
c. Balita memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal berupa :
1) Penyuluhan gizi seimbang pada ibu/keluarga balita
2) Imunisasi Dasar Lengkap
3) Pemberian kapsul vitamin A
4) Pemberian Taburia
5) PMT pemulihan
6) Obat cacing
d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh
setiap rumah tangga.
Keempat pendekatan tersebut dilakukan oleh sektor kesehatan
dan disebut juga dengan intervensi spesifik. Selain itu ada juga intervensi
yang dilakukan diluar sektor kesehatan yang disebut dengan
pendekatakan (intervensi) sensitif. Adapaun intervensi sensitif tersebut
antara lain :
1) Penyediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga
2) JKN
3) Jaminan Sosial / Asuransi
4) Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi
5) Gender dan Pembangunan
6) Pendidikan Remaja Putri
7) Program Pengentasan Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi
(PKH)
8) Perdagangan dan Peran Dunia Usaha
9) Pelestarian Lingkungan

Ada beberapa tantangan utama dalam perubahan perilaku untuk


pencegahan stunting antara lain:
1. Pola Asuh
Tantangan pola konsumsi untuk pencegahan stunting
meliputi perilaku konsumsi kurang gizi makro, kurang protein
hewani, kurang sayur dan buah, kurang gizi mikro, praktek IMD,
ASI Eksklusif 6 bulan, dan MPASI
Hidangan sehari-hari penduduk Indonesia terbesar dari
konsumsi serealia (257,7 gram/orang/hari), diikuti kelompok ikan
(78,4 gram/orang/hari), kelompok sayur dan olahan (57,1
gram/orang/hari), kacang dan olahan (56,7 gram/orang/hari), daging
dan olahan (42,8 gram/orang/hari) dan kelompok umbi (27,1
gram/orang/hari). Kelompok bahan makanan lainnya dikonsumsi
lebih sedikit, termasuk susu bubuk dan susu cair.
Rerata konsumsi jeroan & olahan, ikan dan olahan, telur dan
olahan, susu bubuk dan olahan, susu cair, minyak dan olahan serta
gula dan konfeksionari penduduk Indonesia adalah sebesar 2,1
gram, 78,4 gram, 19,7 gram, 4,9 gram , 3,6 gram, 37,4 gram dan
15,7 gram per orang per hari. Dari konsumsi kelompok bahan
makanan sumber protein hewani, terlihat yang banyak dikonsumsi
penduduk adalah ikan dan olahan diikuti telur dan olahan,
sedangkan konsumsi susu bubuk dan olahan, susu cair serta jeroan
dan olahan termasuk yang rendah (Sumber: SKMI 2014).
Secara nasional rata-rata total konsumsi sayuran dan buah
penduduk sekitar 108,8 gram. Menurut kelompok umur terlihat rata-
rata konsumsi terkecil pada kelompok umur 0-59 bulan, diikuti
dengan anak sekolah dan remaja.
Dibandingkan dengan anjuran WHO maupun PGS 2014,
rata-rata total konsumsi sayuran dan buah baik nasional, per
kelompok umur maupun menurut provinsi masih lebih rendah dari
400 gram/orang/hari. Berdasarkan proporsi penduduk yang
mengonsumi total sayuran dan buah kurang dari 400
gram/orang/hari masih besar yaitu sekitar 97 persen, proporsinya
hampir sama pada semua kelompok umur.
ASI sebagai sumber zat gizi terlengkap dan terbaik bagi bayi,
dg kolostrum yang sangat dbutuhkan bayi untuk melawan infeksi,
sementara sistem imun tubuhnya masih berkembang, ternyata dari
data RISKESDAS 2013 Dalam Angka, belum diupayakan
kesuksesan pemberiannya kepada bayi. Persentase proses mulai
menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi mulai dari
menyusu kurang dari satu jam setelah bayi lahir (Inisiasi Menyusu
Dini) adalah 34,5 persen, dengan persentase tertinggi di Nusa
Tenggara Barat (52,9%) dan terendah di Papua Barat (21,7%)

2. Pola Konsumsi
Tantangan pola asuh untuk pencegahan stunting meliputi
perilaku pengasuhan kesehatan, tumbuh kembang dan afeksi.
Kunjungan ANC yang terjadwal sejak awal kehamilan dan
selama kehamilan sangatlah penting untuk memantau kondisi
kesehatan dan tumbuh kembangnya, sehingga dapat mendukung
pertumbuhan janin yang optimal.
Pemantuan kondisi dan kesehatan Bayi baru lahir atau
Kunjungan Neonatal (KN) yang dilakukan pada saat bayi berumur
6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3) sangatlah
penting. Riskesdas 2013: cakupan kunjungan neonatal lengkap
masih sangat rendah: 39,3%, tertinggi di Yogyakarta (58,3%) dan
terendah di Papua Barat (6,8%). Alasan tidak melakukan
pemeriksaan neonatal (kelompok umur 0-5 bulan): bayi tidak sakit
(78,9%), bayi tidak boleh dibawa pergi (8,2%), tempat pelayanan
jauh 11,2%), tidak punya biaya 4,7%).
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan agar anak baduta
sehat tetap sehat dan terhindar dari berbagai penyakit infeksi (Olofin
dkk 2013), agar proses tumbuh kembangnya tidak terganggu. Secara
nasional cakupan imunisasi dasar pada anak baduta Lengkap:
59,2%; Tidak lengkap: 32,1%; Tidak imunisasi: 8,7% (Riskesdas
2013). Keluarga tidak mengijinkan (27,2% / 25,1%) Takut anak
menjadi panas (28,2% / 29,7%) Anak sering sakit (7,5% / 5,7%),
Tidak tahu tempat imunisasi (5,0% / 8,7%) Tempat imunisasi jauh
(21,5% / 22%) dan Sibuk/repot (18,7% / 14,2%)

3. Personal Hygiene dan kesehatan lingkungan (rumah tangga)


Melakukan CTPS atau Cuci Tangan Pakai Sabun merupakan
perilaku efektif mencegah diare pada bayi/balita.
Fakta CTPS: Riset Curtis & Cairncross (2003), CTPS di
waktu-waktu penting dapat mengurangi risiko anak terkena diare
sebesar 42 -44% atau bila diterjemahkan lebih lanjut, CTPS dapat
mencegah 1 juta kematian anak balita per tahunnya. Data dari WHO
2012 infeksi diare mengancam kehidupan 1,87 juta anak balita setiap
tahun di seluruh dunia.
Untuk Indonesia, WHO memperkirakan setiap tahun sekitar
31.200 balita meninggal karena diare. Artinya, lebih dari 31.000
anak di Indonesia tidak dapat merayakan ulang tahun yang ke-5.
Dengan demikian, adalah mandatori untuk memasukkan
faktor kontekstual kedalam program perubahan perilaku untuk
pencegahan stunting: air bersih, jernih, tidak berasa, tidak berbau;
jamban leher angsa, berpintu, berdinding kuat, dan beratap; dengan
tangki septik tidak bocor, dikuras terjadwal, jarak minimal 10 meter
dari sumber air; rumah sehat, cukup ventilasi dan cahaya alami, ada
tempat penyimpanan makanan yang tertutup; ada sistem drainase
rumah tangga sehingga air limbah rumah tangga tidak mengalir ke
permukaaan tanah.

4. Sosial Budaya
Kehamilan diyakini oleh banyak orang dari berbagai budaya
sebagai suatu kondisi khusus yang penuh bahaya. Bahaya bagi ibu
hamil dan janinnya dan dianggap dapat terjadi dalam berbagai
situasi, baik dari alam nyata maupun gaib (Swasono 1998:7). Untuk
melindungi ibu dan janinnya berbagai masyaakat di dunia
diharuskan mematuhi larangan-larangan tertentu yang harus dipatuhi
oleh ibu hamil dan ibu masa nifas. Pantang makanan adalah bahan
makanan atau masakan yang tidak boleh dimakan oleh para
individu dalam masyarakat karena alasan yang bersifat budaya.
Adat makanan ditemui di banyak masyarakat di dunia,
termasuk di Indonesia, misalnya dikalangan wanita Sunda
(Penelitian Anggorodi dan Sukandi 1998), perempuan di Kepulauan
Sangihe dan Talaud (Ulaen 1998), perempuan di Badaneira,
Kabupaten Maluku Tengah (Penelitian Swasono dan Soselisa 1998),
dan perempuan di Rawa Bogo, Bekasi (Penelitian Soerachman,
Sulistiawati, dan Purwanto 2016). Makanan atau sumber gizi yang
dipantang oleh ibu hamil dan ibu nifas diantaranya: ikan dan telor,
cumi dll

5. Ekonomi Keluarga
Di daerah nelayan di Jayapura menunjukan balita yang
mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang memiliki
resiko 4x lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan
anak balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan
cukup

6. Pelayanan Kesehatan
Hampir 90 persen ibu hamil memilih bidan untuk
memeriksakan kehamilannya (Riskesdas 2013). Diharapkan dapat
mengedukasi ibu hamil untuk mempraktikkan pola asuh dan pola
konsumsi yang baik dan benar. Bidan merupakan salah satu sasaran
dalam upaya perubahan perilaku

DAFTAR PUSTAKA

1) Pedoman PKL- Terpadu IPE-CP 2020. Poltekkes Kemenkes RI Padang


2) Anonim, 2020. Komunikasi Perubahan Perlaku Dalam Pencegahan Stunting
Melalui Pola Konsumsi, Pola Asuh, Higienis Pribadi dan Lingkungan.
3) Pang, E. Bersama Perangi Stunting. (Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019).

Anda mungkin juga menyukai