DND-2006
Terang Bintang
Terang suatu bintang dalam astronomi dinyatakan
dalam satuan magnitudo
Hipparchus (abad ke-2 SM) membagi terang bintang
dalam 6 (enam) kelompok berdasarkan penampakan-
nya dengan mata telanjang,
Bintang paling terang tergolong magnitudo kesatu
Bintang yang lebih lemah tergolong magnitudo
kedua
Dan seterusnya hingga bintang paling lemah yang
masih bisa dilihat dengan mata termasuk
magnitudo ke-6
DND - 2006
Makin terang sebuah bintang, makin kecil
magnitudonya
magnitudo 1 2 3 4 5 6
DND - 2006
Contoh :
Dalam tabel bawah ini terdapat data magnitudo dari lima
buah bintang. Tentukanlah bintang nomor berapa saja
yang bisa diamati di langit malam dengan mata
telanjang? Tentukan juga bintang mana yang paling
terang dan bintang mana yang paling lemah,
jelaskanlah.
No. Magnitudo
1 6,5
2 5,2
3 7,3
4 -2,5
5 2,7
DND - 2006
John Herschel mendapatkan bahwa
kepekaan mata dalam menilai terang
bintang bersifat logaritmik
Bintang yang magnitudonya satu
ternyata 100 kali lebih terang
daripada bintang yang magnitudo-
nya enam
Berdasarkan kenyataan ini, Pogson John Herschel
(1792-1871)
(Norman Robert Pogson) pada tahun
1856 mendefinisikan skala satuan
magnitudo secara lebih tegas
DND - 2006
Tinjau dua bintang :
m1 = magnitudo bintang ke-1
m2 = magnitudo bintang ke-2
E1 = fluks bintang ke-1
E2 = fluks bintang ke-2
Skala Pogson didefinisikan sebagai :
m1 – m2 = - 2,5 log (E1/E2) . . . . . . . . . .(4-1)
-(m1 - m2)
atau E1/E2 = 2,512 . . . . . . . . . . . .(4-2)
DND - 2006
Dengan skala Pogson ini dapat ditunjukkan bahwa
bintang bermagnitudo 1 adalah 100 kali lebih terang
daripada bintang bermagnitudo 6.
Jika m1 = 1 dan m2 = 6, maka dari pers. (4-2),
-(m1 - m2) -(1 - 6) 5
E1/E2 = 2,512 = 2,512 = 2,512 = 100
Jadi : E1 = 100 E2
DND - 2006
Harga tetapan ditentukan dengan mendefinisikan
suatu titik nol.
Awalnya sebagai standar magnitudo digunakan
bintang Polaris yang tampak di semua
Observatorium yang berada di belahan langit
utara. Bintang Polaris ini diberi magnitudo 2 dan
magnitudo bintang lainnya dinyatakan relatif
terhadap magnitudo bintang polaris
Tahun 1911, Pickering mendapatkan bahwa
bintang Polaris, cahayanya berubah-ubah
(bintang variabel) dan Pickering mengusulkan
sebagai standar magnitudo digunakan kelompok
bintang yang ada di sekitar kutub utara (North
Polar Sequence)
DND - 2006
Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah
dengan menggunakan bintang standar yang
berada di sekitar bintang yang di amati karena
perbedaan keadaan atmosfer Bumi tidak terlalu
berpengaruh dalam pengukuran.
Pada saat ini telah banyak bintang standar yang
bisa digunakan untuk menentukan magnitudo
sebuah bintang, baik yang berada di langit
belahan utara, maupun di belahan langit selatan.
DND - 2006
Magnitudo : merupakan ukuran terang bintang yang
kita lihat atau terang semu (ada faktor
jarak dan penyerapan yang harus
diperhitungkan)
magnitudo semu magnitudo
DND - 2006
Dalam tabel di bawah diperlihatkan magnitudo semu
beberapa benda langit, termasuk bintang, planet Bulan
dan Matahari
Nama Nama
Magnitudo Magnitudo
Bintang Bintang
Polaris 2.00 Vega 0.00
Regulus 1.50 Capella 0.00
Pollux 1.16 Sirius -1.42
Aldebaran 1.00 Jupiter -2.50
Bulan
Betelgeuse 0.80 -13.00
Purnama
Procyon 0.50 Matahari -26.70
DND - 2006
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya
sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo
mutlak : magnitudo bintang yang diandaikan diamati
dari jarak 10 pc
Skala Pogson untuk magnitudo mutlak ini adalah,
DND - 2006
Dari pers. (4-3) : m = -2,5 log E + tetapan
Dari pers. (4-7) : M = -2,5 log E’ + tetapan
L
Subtitusikan pers. (4-4) : E=
4 d2
L
dan pers. (4-6) : E’ =
4 102
ke pers (4-8) diperoleh,
m – M = -5 + 5 log d . . . . . . . . (4-9)
modulus jarak d dalam pc
DND - 2006
Contoh :
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan
magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh
materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang
tersebut ?
Jawab :
m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m – M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 – 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 d = 100 pc
DND - 2006
Dari rumus Pogson dapat kita tentukan perbedaan
magnitudo mutlak dua bintang yang luminositasnya
masing-masing L1 dan L2, yaitu,
L1
Untuk bintang ke-1 : M1 = -2,5 log + tetapan
4 102
L2
Untuk bintang ke-2 : M2 = -2,5 log + tetapan
4 102
DND - 2006
Soal-soal Latihan
1. Andaikan sebuah bintang yang mirip dengan
Matahari (temperatur dan luminositasnya sama)
berjarak 100 juta kali lebih jauh dari jarak Bumi-
Matahari. Berapa kali lebih terang atau lebih
lemahkah bintang tersebut daripada Matahari?
Berapakah magnitudo semu bintang tersebut?
Apakah bintang ini bisa tampak dengan mata
telanjang atau tidak ? Jelaskan jawabanmu.
2. Bintang A mempunyai magnitudo semu 3,26, dan
bintang B magnitudo semunya 13,26. Bintang
manakah yang lebih terang ? Bagaimanakah
perbandingan energi yang kita terima dari kedua
bintang tersebut?
DND - 2006
3. Jika kedua bintang dalam soal nomor 2 mempunyai
magnitudo mutlak yang sama, bintang manakah yang
lebih dekat? Berapakah perbandingan jarak kedua-
nya?
DND - 2006
6. Tabel di bawah ini memperlihatkan magnitudo mutlak
Matahari dan dua bintang yang lebih terang (bintang
A) dan yang lebih lemah (bintang B) daripada
Matahari.
Objek M
Matahari +5
Bintang A -10
Bintang B +15
a. Berapa kali lebih terangkah bintang A dibanding-
kan dengan bintang B.
b. Jika luminostas Matahari adalah 4 x 1026 watts,
tentukanlah luminositas bintang A dan B.
DND - 2006
Sistem Magnitudo
Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang
ditentukan dengan mata.
Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang
yang berbeda tidak sama
Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di
daerah = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang
diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau
mvis
DND - 2006
Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang
selanjutnya ditentukan secara fotografi.
Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai
kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang
gelombang sekitar 4 500 Å.
Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut
magnitudo fotografi atau mfot
Sebagai contoh kita ambil perbandingan hasil
pengukuran magnitudo visual dengan magnitudo
fotografi untuk bintang Rigel ( Orionis) dan Betelgeuse
( Orionis) yang berada di rasi Orion. Rigel berwarna
biru sedangkan Betelgeuse berwarna merah.
DND - 2006
http://www.solstation.com/x-objects/orion2.jpg
DND - 2006
Perbandingan bintang Rigel dan Betelgeuse.
Rigel (berwarna biru) Betelgeuse (berwarna merah)
DND - 2006
Jadi untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih
kedua magnitudo tersebut, dinamakan indeks warna
(Color Index – CI).
CI = mfot mvis . . . . . . . . . . .(4-11)
DND - 2006
Distribusi energi spektrum bintang Rigel
fot vis
CI = - 0,17
mfot = 2,14
mvis = 0,70
Intensitas
CI = 1,44
mfot - mvis = indeks warna
CI Rigel
Intensitas
CI Betelgeus
DES Rigel
DES Betelgeus
DND - 2006
Karena ada perbedaan antara mvis dan mfot , maka perlu
diadakan pembakuan titik nol kedua magnitudo tersebut.
DND - 2006
Contoh bintang deret utama dengan kelas spektrum A0
adalah bintang Vega.
Berdasarkan definisi indeks warna bintang Vega
adalah nol (CI = 0)
Jadi bintang yang lebih biru atau lebih panas daripada
Vega, misalnya bintang Rigel indeks warnanya akan
negatif.
Bintang yang lebih merah atau lebih dingin daripada
Vega, misalnya bintang Betelgeuse indeks warnanya
akan positif
Rigel : mfot = -0,03, mvis = 0,14 CI = 0,17
Betelgeuse : mfot = 2,14, mvis = 0,70 CI = 1,44
DND - 2006
Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat
dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang
gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan
inframerah.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan
mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem
UBV, yaitu
U = magnitudo semu dalam daerah ultraviolet (ef =
3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru (ef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual (ef = 5550 Å)
DND - 2006
1,0
U
B
0,8
V
0,6
Kepekaan
0,4
0,2
0,0
3000 4000 5000 6000
(Å)
DND - 2006
Dalam sistem Johnson – Morgan (sistem UBV)
Indeks warna adalah U-B dan B-V
Untuk bintang panas B-V kecil.
Harga tetapan dalam pers. (4-3)
m = -2,5 log E + tetapan
diambil sedemikian rupa sehingga untuk bintang
deret utama kelas A0 (misalnya bintang Vega)
U=B=V CI = 0
DND - 2006
Contoh :
Tiga bintang diamati magnitudonya dalam visual (V) dan
biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
No. B V
1 8,52 8,82
2 7,45 7,25
3 7,45 6,35
No. B V
1 8,52 8,82
2 7,45 7,25
3 7,45 6,35
DND - 2006
Jawab :
b. Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung
pada jaraknya ke pengamat seperti tampak pada
rumus
L
V = -2,5 log E + tetapan, dan E =
4d2
dimana E adalah terang bintang, L luminositas
bintang dan d adalah jarak bintang ke pengamat.
Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa
tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya
yang jauh.
DND - 2006
Jawab :
c. Makin panas atau makin biru sebuah bintang, indeks
warnanya akan semakin kecil
DND - 2006
Berbagai Sistem Magnitudo
Efektif Lebar Pita
Magnitudo Warna
(Å) (Å)
Sistem UGR U Ultraviolet 3 690
dari Becker G Hijau 4 680 500 – 700
R Merah 6380
Sistem UBV U Ultraviolet 3 500
dari Johnson B Biru 4 350 800 – 1000
dan Morgan
V Kuning 5 550
Sistem u Ultraviolet 3 500
Stromgren v Violet 4 100
(Sistem 200
ubvy) b Biru 4 670
y Hijau 5 470
DND - 2006
Berbagai Sistem Magnitudo
Efektif (Å) Lebar Pita
Magnitudo Warna
(Å)
U Ultraviolet 3 550
V Violet 4 200
Sistem
Stebbins B Biru 4 900
600 - 1500
dan G Hijau 5 700
Withford R Merah 7 200
I inframerah 10 300
DND - 2006
Sistem dengan lebar pita (band width) yang sempit
seperti sistem Stromgren dapat memberikan informasi
yang lebih cermat, tetapi sistem ini memerlukan waktu
pengamatan yang lebih lama.
dalam suatu selang waktu, jumlah cahaya yang
ditangkap detektor lebih sempit
DND - 2006
Diagram Hertzsprung-Russel (H-R)
Pada tahun 1911, seorang astronom
Denmark bernama Eijnar Hertzsprung
membandingkan hubungan antara
magnitudo & indeks warna di dalam
gugus Pleiades dan Hyades.
Ejnar Herztprung
Henry Norris Russel (1873 – 1967)
(1877 – 1957)
DND - 2006
Hasil yang mereka peroleh sekarang dikenal sebagai
diagram Hertzsprung-Russell atau diagram H-R.
Diagram H-R ini menunjukkan hubungan luminositas
(atau besaran lain yang identik, seperti magnitudo
mutlak) dan temperatur efektif (atau besaran lain,
seperti indeks warna (B - V) atau kelas spektrum .
DND - 2006
Diagram H-R
L = 4 R2 sTef 4
http://www.phys-astro.sonoma.edu/BruceMedalists/Russell/index.html
DND - 2006
Dari diagram H-R ini dapat kita lihat bahwa bintang-
bintang berkelompok dalam empat kelompok besar
yaitu,
Bintang Deret Utama (Main Sequence)
Bintang Raksasa (Giants)
Maharaksasa (Supergiants)
Katai Putih (White Dwarf)
Sebagian besar bintang-bintang berada dalam deret
utama.
DND - 2006
Dari diagram dapat kita lihat bahwa bintang yang
mempunyai temperatur sama, tetapi kelompoknya
berbeda akan mempunyai luminositas yang berbeda.
Sebagai contoh, bintang A adalah bintang deret
utama dan bintang B adalah bintang
Maharaksasa, maka luminositas bintang A lebih
kecil daripada bintang B. Dari hubungan L = 4
R2sTef 4 dapat diketahui bahwa radius bintang B
lebih besar daripada radius bintang A.
DND - 2006
Magnitudo Bolometrik
Berbagai magnitudo yang telah kita bicarakan belum
bisa menggambarkan sebaran energi pada spektrum
bintang, karena magnitudo ini hanya diukur pada λ
tertentu saja.
Untuk itu didefinisikan magnitudo bolometrik (mbol)
yaitu magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh λ.
Rumus Pogson untuk magnitudo semu bolometrik
dituliskan sebagai,
mbol = -2,5 log Ebol + Cbol . . . . . . . . . (4-14)
L
Fluks bolometrik E = tetapan
4d2
DND - 2006
Magnitudo mutlak bolometrik diberi simbol Mbol
Magnitudo mutlak bolometrik mempunyai arti penting
karena kita dapat memperoleh informasi mengenai
energi total yang dipancarkan suatu bintang per detik
(luminositas) yaitu dari rumus,
DND - 2006
Magnitudo bolometrik sukar ditentukan karena
beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus
atmosfer Bumi.
Bintang yang panas sebagian besar energinya
dipancarkan pada panjang gelombang ultraviolet,
sedangkan bintang yang dingin, sebagian besar
energinya dipancarkan pada panjang gelombang
inframerah. Keduannya tidak dapat menembus
atmosfer Bumi.
Magnitudo bolometrik bintang-bintang panas dan
dingin ini ditentukan secara teori, atau penentuannya
dilakukan di luar atmosfer Bumi.
DND - 2006
Cara lain adalah cara tidak langsung, yaitu dengan
memberikan koreksi pada magnitudo visualnya.
Magnitudo visual adalah, V = -2,5 log EV + CV
Magnitudo bolometrik adalah, mbol = -2,5 log Ebol + Cbol
Dari dua persamaan ini diperoleh,
V - mbol = -2,5 log EV / Ebol + C
DND - 2006
Koreksi bolometrik dapat juga dituliskan sebagai,
mv – mbol = BC . . . . . . . . . . . . . . (4-17)
DND - 2006
Untuk bintang yang sangat panas atau sangat dingin,
sebagian besar energinya dipancarkan pada
daerah ultraviolet atau inframerah, hanya sebagian
kecil saja dipancarkan pada daerah visual.
koreksi bolometriknya besar
Untuk bintang yang temperaturnya sedang, seperti
Matahari,
sebagian besar energinya dipancarkan dalam
daerah visual hingga perbedaan antara mbol dan V
kecil.
koreksi bolometriknya mencapai harga terkecil.
Koreksi bolometrik bergantung pada warna bintang !
DND - 2006
Hubungan antara BC dengan B-V
2,00
R . . . . . . (4-20)
R =
d
Radius sudut bintang
d
Subtitusikan pers. (4-20) ke pers. (4-19) diperoleh,
E = 2 s Tef4 . . . . . . . . . . . . (4-21)
DND - 2006
R
d
R
= 2 . . . . . . . . . . . . . . (4-22)
Garis tengah sudut
DND - 2006
Dengan menggunakan rumus Pogson, didapatkan,
akan diperoleh,
log Tef = log Tef 0,1 (mbol - mbol) + 0,5 (log log )
. . . . . . . . . (4-27)
DND - 2006
Untuk Matahari diketahui,
Tef = 5785 K, mbol = 26,79 dan = 1920”
Jika harga-harga ini dimasukan ke pers. (4-27) :
log Tef = log Tef - 0,1(mbol mbol ) + 0,5 (log log )
akan diperoleh,
log Tef = 2,73 – 0,10 mbol – 0,50 log . . (4-28)
dinyatakan dalam
detik busur
Jadi jika δ dan mbol dapat ditentukan maka Tef dapat dicari.
DND - 2006
Jika Tef sudah dapat ditentukan, maka dengan menggu-
nakan pers. (2-29) :
L = 4 R2 sTef 4
ditentukan dari δ
dapat dicari
DND - 2006
Contoh:
1. Vega adalah bintang deret utama kelas A0 dengan Mv
= 0,58. Tentukanlah Mbol dan Luminositasnya.
Jawab:
Koreksi Bolometrik Vega adalah, BC = 0,15
Mbol = 4,75
Dari pers. (4-18) : Mv – Mbol = BC
diperoleh, Mbol = 0,58 – 0,15 = 0,43
Dari pers. (4-15) : Mbol – Mbol = -2,5 log L/L
diperoleh,
Mbol – Mbol 0,43 – 4,75
Log L/L = = = 1,73
2,5 2,5
Jadi, L = 53,46 L
DND - 2006
2. Dari hasil pengukuran, diameter sudut bintang Vega
adalah 3,24 x 103 detik busur, parallaksnya adalah p
= 0”,133 dan koreksi bolometriknya BC = 0,15. Jika
diketahui Mv = 0,58 tentukanlah,
a. Temperatur efektifnya
b. Radiusnya
c. Dari nilai yang diperoleh dari butir a dan b,
tentukan-lah Luminositasnya. Bandingkan hasilnya
dengan contoh 1.
Jawab:
δ = 3,24 x 103 detik busur BC = 0,15
= 1,57 x108 radian Mv = 0,58
p = 0,133 detik busur,
DND - 2006
a) p = 1/d d = 1/p = 1/0,133 = 7.52 pc
= 2,32 x 1018 cm
Rumus modulus jarak (pers. 4-9) untuk magnitudo
bolometrik adalah,
mv – Mv = -5 + 5 log d mv = -5 + 5 log 7.52 + 0,58
= – 0,04
Dari pers. (4-17) : mv – mbol = BC mbol = – 0,19
Dari pers. (4-28) : log Tef = 2,726 – 0,1mbol – 0,5 log
diperoleh,
log Tef = 2,726 – 0,1(– 0,19) – 0,5 log (3,24 x 103)
Tef = 9766 K
DND - 2006
R
b) = δ d (1,57 x 10 8) (2,32 x 1019)
d R= =
2 2
= 2
= 1,82 x 1011 cm = 2,62 R
DND - 2006
Soal Latihan :
1. Dari pengamatan diperoleh bahwa magnitudo semu
sebuah bintang adalah mv = 10,4 dan kereksi
bolometriknya BC = 0,8. Jika parallaks bintang
tersebut adalah p = 0”,001, tentukan luminositasnya.
2. Sebuah bintang mempunyai Tef = 8700 K, Mbol = 1,6
dan mbol = 0,8. Tentukanlah jarak, radius dan
luminositas bintang tersebut.
DND - 2006
Soal Latihan :
3. Magnitudo semu visual bintang Aql adalah 0,78,
temperatur efektifnya adalah 8400 K. Jika parallaks
bintang ini adalah 0”,198 dan diameter sudutnya 2,98
x 10-3 detik busur, tentukanlah :
a. Koreksi bolometrik dan magnitudo mutlak bolome-
trik bintang tersebut.
b. Luminositas dan radius bintang.
DND - 2006
Penyerapan (Absorpsi) Cahaya Bintang Oleh
Atmosfer Bumi
Sebelum sampai ke permukaan Bumi, cahaya yang
berasal dari benda-benda langit akan melewati atmosfer
Bumi. Materi yang berada di atmosfer Bumi, akan
menyerap cahaya tersebut sehingga cahaya yang
diterima di Bumi menjadi lebih redup. Oleh karena itu
pengamatan magnitudo bintang dari permukaan Bumi
harus dikoreksi terhadap penyerapan ini.
DND-2006
Perhatikan gambar berikut :
Cahaya bintang merambat melalui atmosfer dan
membentuk sudut terhadap arah zenit. disebut
jarak zenit (sudut zenit pengamat)
Atmosfer Zenit
Pada saat cahaya bin- atas
tang melalui atmosfer
bumi (jarak s), sebagian
cahaya tersebut diserap x s
dan sebagian lagi
disebarkan ke arah lain.
Permukaan
Bumi P (pengamat)
DND-2006
Proses penyerapan ini dinyatakan oleh koefisien
absorpsi yang diukur per cm dan sangat ber-
gantung pada panjang gelombang.
Intensitas cahaya
bintang pada waktu Atmosfer Zenit
melewati elemen atas
jarak ds akan
berkurang sebesar : dx ds
x s
Permukaan
Bumi P
DND-2006
dE = E ds . . . . . . . . . . . . . . . . (4-29)
Tanda negatif berarti fluks berkurang
dengan bertambahnya jarak
Fluks yang diterima di bumi.
dE = ds E
ln = ds
E E0
s s
E0λ
DND-2006
0 0
E
= exp ds E = E0λ exp ds
E0
s s
. . . . . . . . . (4-30)
0
Definisikan tebal
optis atmosfer bumi τλ = ds . . . . . . . . . (4-31)
sepanjang garis s. s
E = E0λ e τ . . . . . . . . . . . . . (4-32)
fluks yang fluks yang diamati
diamati di bumi di atas atmosfer
DND-2006
Misalkan m0 = magnitudo yang diamati di atas atmosfer
m = magnitudo yang diamati di bumi
Dari rumus Pogson (pers. 4-1) diperoleh,
moλ – mλ = - 2,5 log (Eoλ/Eλ) . . . . . . . . . .(4-33)
Subtitusikan pers. (4-30) : E = Eoλ e τ
ke pers. (4-33) diperoleh, moλ – mλ = - 2,5 log (eτ )
moλ – mλ = - 2,5 τλ log e
atau, mλ – moλ = 1,086 τλ . . . . . . . . . . .(4-34)
Persamaan di atas mengatakan bahwa cahaya bintang
pada waktu melewati atmosfer bumi dilemahkan sebesar
1,0856 τλ
DND-2006
Karena (jarak zenit) selalu berubah dengan
berubahnya waktu pengamatan, maka harga
ekstingsi atmosfer (pengurangan intensitas cahaya
bintang karena diserap dan disebarkan oleh atmosfer
bumi) juga berubah terhadap waktu pengamatan.
Apabila kita menggunakan bintang standar sepanjang
waktu pengamatan, maka ekstingsi dapat ditentukan
sebagai fungsi waktu; hasilnya dapat digunakan pada
bintang yang kita amati.
DND-2006
Menentukan Koefisien Absorpsi
Andaikan atmosfer bumi plan paralel sehingga
pembelokkan cahaya bintang oleh atmosfer bumi
dapat diabaikan. Zenit
sifat-sifat atmosfer Atmosfer A’ B
atas A
bumi hanya ber-
gantung pada ke-
dx ds
tinggian dari per-
x
mukaan bumi (jadi s
koefisien absorpsi
di titik A akan
sama dengan di Permukaan
Bumi P
titik B)
DND-2006
Perhatikan gambar berikut :
ds = sec dx . . . . . . . . . . . . . . . (4-35)
0 0
dx
diperoleh, τλ = λ sec dx = sec λ dx . . . . . . ds
. (4-36)
s s
x s
Pada arah zenit, = 0, jadi pers. (4-36) dapat
dituliskan
menjadi 0
Permukaan
τoλ
= Bumi
s
dx . . . . . . .P. . . . . . (4-37)
DND-2006
Subtitusikan 0
Pers. (4-37)
: τoλ = dx
s 0 τλ = τoλ sec . .(4-38)
ke pers. (4-36) : τλ = sec dx
s
DND-2006
Untuk menentukan τoλ, bintang standard paling sedikit
harus diamati dalam dua posisi. Biasanya sebelum
pengamatan terhadap bintang program dan sesudahnya.
Posisi bintang program
sewaktu diamati
Posisi ke-2 Posisi ke-1
bintang standar bintang standar
Zenit
2 1
P
DND-2006
Misalkan
m1 magnitudo bintang standar pada waktu pengamat-
an pertama (t1), dan 1 jarak zenitnya.
m2 magnitudo bintang standar pada waktu pengamat-
an kedua (t2), dan 2 jarak zenitnya.
Dari pers. (4-39) diperoleh,
mλ1 – mo = 1,086 τoλ sec 1
mλ2 – mo = 1,086 τoλ sec 2
mλ1 – m2 = 1,086 τo (sec 1 – sec 2). . . . . . . . . (4-40)
DND-2006
m1 – m2 . . . . . . . . . . . . (4-41)
atau τ o =
1,086 (sec 1 – sec 2)
DND-2006
Contoh :
1. Sebuah bintang diamati dengan sebuah teropong yang
ada di sebuah observatorium. Pada waktu bintang
tersebut berada jarak zenit 35o, magnitudo semunya
adalah 5,8, sedangkan pada waktu jarak zenitnya 15o,
magnitudo semunya adalah 5,5. Berapakah magnitudo
semu binatang tersebut apabila diamati di luar
atmosfer bumi.
DND-2006