Anda di halaman 1dari 6

BAB 4: Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat

Pendapatan pemerintahan pusat pada APBN: penerimaan dalam negeri (penerimaan perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) )dan hibah. Penerimaan perpajakan merupakan penerimaan dari segala
enis pajak (Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintahan pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan (Pasal 1 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Pengelolaan keuangan sektor publik sama dengan pengelolaan APBN, Komponen terbesar pendapatan dalam
APBN adalah penerimaan perpajakan sehingga dalam pengelolaan keuangan sektor publik, khususnya
pengelolaan pendapatan, yang paling utama adalah pengelolaan penerimaan perpajakan.

Tax Ratio: salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat kepatuhan pembayar
pajak dan potensi pajak di suatu negara. yakni perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan PDB suatu
negara. Makin patuh, tax ratio makin tinggi. Pembayar pajak makin patuh atau makin tinggi penerimaan pajak
maka rasio

INTENSIFIKASI DAN EKSTENSIFIKASI

Peningkatan penerimaan perpajakan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi:berkaitan dengan
upaya menambah atau meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan intensifikasi:dilakukan dengan
mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang telah terdaftar (memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak-
NPWP).

Dalam hal intensifikasi terdapat tiga hal yang penting untuk dilaksanakan yaitu:

a. profiling atau pembuatan profil: Masing-masing Wajib Pajak dibuatkan profil untuk memantau
kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak.
b. benchmarking atau pembandingan; Pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak dibandingkan
dengan pembayaran oleh Wajib Pajak lain yang mempunyai profil sama.
c. mapping atau pemetaan. Mapping adalah pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan yang
mengelompokkan Wajib Pajak berdasarkan wilayah, sektor, subjek, jenis, grup Wajib Pajak sesuai
dengan kebutuhan atau keunggulan yang terdapat di wilayah kerja. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan gambaran umum tentang potensi perpajakan dan keunggulan fiskal di masing-masing
wilayah.

Reformasi Pajak Jilid 1

a. pembaruan dan pemutakhiran administrasi perpajakan termasuk di antaranya adalah: perombakan


struktur organisasi DJP; e-filling; e-SPT; e-registration; dan pembentukan call center untuk pelayanan
informasi dan pengaduan;
b. reformasi kebijakan melalui amandemen undang-undang tentang perpajakan;
c. intensifikasi dan ekstensifikasi..

Reformasi Perpajakan Jilid 2

a. pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai;


b. kegiatan mapping, profilling, dan benchmarking yang terotomatisasi;
c. penyempurnaan pelayanan pembayaran dan kegiatan perbaikan yang meliputi aspek bisnis utama (core
business) DJP melalui program yang disebut Project for Indonesian Tax Administration Reform
(PINTAR).

PINTAR merupakan program penyempurnaan sistem administrasi perpajakan untuk mendukung reformasi
administrasi yang dilakukan DJP:

a. sistem administrasi penyempurnaan sistem dan proses bisnis utama, seperti registrasi Wajib Pajak,
pengolahan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT Pajak), pembuatan pengembangan arsitektur sistem
teknologi informasi yang terintegrasi,
b. manajemen sumber daya manusia;
c. kepatuhan perpajakan, salah satunya dengan menerapkan sistem seleksi audit pajak berdasarkan risiko;
d. manajemen perubahan.

Program Penghapusan Sanksi Pajak (Sunset Policy): merupakan fasilitas penghapusan sanksi pajak
penghasilan orang pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati
oleh masyarakat yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP pada tanggal 1 Januari 2008.
Program sunset policy ini hanya berlaku dalam tahun 2008. Ketentuan mengenai sunset policy diatur dalam UU
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan pada Pasal 37A yang berbunyi:

1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum
tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan
dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU ini, dapat diberikan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling
lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak
yang tidak atau kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum diperoleh NPWP dan tidak dilakukan
pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan
yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sunset policy ini salah satunya bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar lebih jujur dalam memenuhi
kewajibannya. Selain itu juga, untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela dan menambah
jumlah Wajib Pajak. Dalam jangka panjang diharapkan kebijakan ini dapat meningkatkan jumlah penerimaan
pajak.

Tax amnesty bisa diartikan sebagai pengampunan sanksi pajak bagi seluruh warga negara agar masyarakat
mau mendaftarkan diri menjadi WP. Kebijakan tax amnesty diterapkan berbeda-beda tergantung dengan
strategi yang diambil oleh pemerintah.

Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional: kegiatan dalam rangka menyempurnakan data atau basis perpajakan
yang lebih baik. Sensus pajak nasional dilaksanakan secara serentak dan berkesinambungan dengan skala
prioritas yaitu di sentra- sentra bisnis atau kawasan ekonomi, gedung-gedung perkantoran (high rise building),
maupun di kawasan pemukiman. Sensus pajak nasional ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru melainkan
merupakan penyempurnaan dari kegiatan yang selama ini telah dijalankan oleh DJP yang disebut dengan
penyisiran (canvassing). Pelaksanaan sensus menjadi amat penting agar kepatuhan masyarakat atau Wajib
Pajak lancar.

Sumber :

Halim, Abdul. 2014. MAnajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika penerimaan dan pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat
BAB 5 : Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan
dipertanggungjawabkan, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga auditor eksternal yang
bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang memengaruhi pendapatan negara dan
merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang (UU). Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian
diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Pemerintah menyadari akan pentingnya PNBP, maka kemudian
dilakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya melalui: UU Nomor 20 Tahun
1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis
dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak,PP Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu,PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata
Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, PP Nomor 29 Tahun 2009
tentang Tata Cara Penentuan Jumlah,Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Terutang.

Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan. PNBP dalam UU Nomor 20 Tahun 1997 dapat dikelompokkan ke dalam: penerimaan
yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA);
penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; penerimaan dari kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan pemerintah; penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan
denda administrasi;penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan penerimaan lainnya yang
diatur dalam undang-undang tersendiri.

Pengelompokan PNBP ini kemudian ditetapkan dalam PP Nomor 22 Tahun 1997 yang telah diubah dengan PP
Nomor 52 Tahun 1998 dengan menjabarkan jenis-jenis PNBP yang berlaku umum di semua departemen dan
lembaga nondepartemen, disebut "PNBP Umum", yaitu: penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin
dan sisa anggaran pembangunan);penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara; penerimaan hasil
penyewaan barang/kekayaan negara; penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro); penerimaan ganti
rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan);dan penerimaan denda
keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah;penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. PNBP yang
berasal dari hasil pungutan kementerian/lembaga (K/L) negara atas jasa yang diberikan sehubungan dengan
tugas pokok dan fungsinya disebut "PNBP Fungsional", yang terdiri dari: penerimaan yang bersumber dari
pengelolaan dana pemerintah;penerimaan dari pemanfaatan SDA; penerimaan dari kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan pemerintah;penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda
administrasi; penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah, dan penerimaan lainnya yang diatur
tersendiri. PNBP memiliki beberapa fungsi, yaitu: Fungsi budgeter, hal ini didasarkan karena PNBP merupakan
sumber

Penerimaan negara yang diperoleh setelah memberikan pelayanan jasa atau menjual barang milik negara oleh
kementerian/lembaga negara kepada masyarakat. Penerimaan ini dapat pula berasal dari pungutan dalam bentuk
iuran, retribusi, sumbangan, atau pungutan.Fungsi regulasi, yaitu PNBP dapat pula berfungsi sebagai sarana
untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam berbagai aspek dalam rangka menggerakkan roda pembangunan.
PNBP yang telah dipungut atau ditagih tersebut wajib dilaporkan secara tertulis oleh pejabat instansi
pemerintah kepada Menteri Keuangan RI dalam bentuk laporan realisasi PNBP triwulan (daftar yang memuat
PNBP yang telah dicapai atau diperoleh dalam periode tertentu) yang disampaikan paling lambat satu bulan
setelah triwulan tersebut berakhir.

Petunjuk pelaksanaan terkait dengan PNBP terutang terdapat dalam PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata
Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan penyetoran penerimaan negara bukan pajak yang terutang, dihitung
dengan menggunakan tarif: spesifik, adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang; advalorem,
adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan satuan nilai (berupa harga patokan, indeks
harga, kurs, pendapatan kotor, atau penjualan bersih) yang digunakan sebagai dasar perhitungan; ketentuan
perundang-undangan. Dalam hal ini penetapan berdasarkan formula, kontrak, putusan pengadilan, dan hasil
lelang. Untuk dapat mengoptimalkan pencapaian target PNBP pemerintah perlu melakukan:

a. langkah-langkah untuk meningkatkan lifting minyak dan efisiensi cost recovery;


b. pengoptimalan penerimaan dividen BUMN melalui langkah-langkah restrukturisasi BUMN yang makin
terarah dan efektif, penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance, dan
peningkatan sinergi antar-BUMN;
c. peningkatan penggalian potensi penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan dan jasa oleh
kementerian/lembaga, dengan melakukan langkah-langkah penertiban dan perbaikan administrasi
PNBP, penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PNBP, serta penyesuaian
tarif dan peninjauan atas cakupan dan fleksibilitas penggunaannya,
d. evaluasi ulang terhadap kontrak kerja eksploitasi SDA yang ada saat ini dan memperkuat peran
kementerian ESDM dalam pengawasan pengelolaan;
e. menggali potensi penerimaan lain seperti dari sektor kehutanan dengan tidak merusak kelestarian hutan
dan lingkungan.
f. pengoptimalan penerimaan dari sektor kelautan dengan mempertimbangkan kesejahteraan melalui
peningkatan ekonomi masyarakat pesisir.
g. pencatatan semua kategori PNBP dan harus masuk ke kas negara, dan
h. pengelolaan PNBP yang transparan dan akuntabel,

Sumber :

Halim, Abdul. 2014. MAnajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika penerimaan dan pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat
BAB 6 : Manajemen Pinjaman Luar Negeri

PERSPEKTIF UTANG LUAR NEGERI

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada Pasal 23 ayat (1) dan
Pasal 12 ayat (3), Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu pada Pasal 38,
Undang-undang tentang APBN yang ditetapkan setiap tahun antara lain menyebutkan bahwa pemerintah dapat
melakukan perubahan instrumen utang dalam hal terdapat sumber utang yang lebih menguntungkan, dan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah. Definisi: Setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh pemerintah dari pemberi
pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara,
yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Prinsip Utang Luar Negeri: transparan, akuntabel,
efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai iklan politik, dan tidak memiliki muatan yang dapat
mengganggu stabilitas keamanan negara.Penggunaan utang luar negeri: membiayai defisit apbn, membiayai
kegiatan prioritas kementerian/ lembaga, mengelola portofolio uang, diteruspinjamkan kepada pemda, BUMN,
atau dihibahkan kepada pemda.Bentuk Utang LN: pinjaman program atau tunai, dan pinjaman
kegiatan/proyek. Sumber Utang LN: Kreditor multilateral, bilateral, swasta asing, dan lembaga penjamin
kreditor ekspor

PINJAMAN PROGRAM: DEFINISI, TUJUAN, DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN

Definisi pinjaman program: pinjaman yang terkait dengan program yang telah telah disepakati bersama antara
pemberi pinjaman dengan pemerintah pinjaman program ini dikaitkan dengan pemenuhan matriks kebijakan
yang telah disepakati bersama antara pemberi pinjaman dengan pemertintah. Tujuan pinjaman program: untuk
budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan matriks kebijakan di bidang kegiatan untuk
mencapai MDGs (Millennium Development Goals) yaitu meliputi pengentasan kemiskinan, pendidikan,
korupsi, pemberdayaan masyarakat, kebijakan terkait dengan perubahan iklim(climate change), dan
infrastruktur. Kebijakan perencanaan pinjaman program: Mempertimbangkan kemampuan pemerintah
untuk membayar kembali pinjaman tersebut di masa yang akan datang, Mempertimbangkan kemampuan
kementerian/lembaga, pemerintahan daerah (pemda), maupun BUMN pelaksana kegiatan dalam penyerapan
dana pinjaman.Mencapai kemandirian dalam pendanaan pembangunan yaitu dengan cara menurunkan porsi
pinjaman luar negeri dalam pembiayaan APBN.Pendanaan luar negeri sebagai salah satu alternatif sumber
pendanaan pembangunan, perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat meningkatkan kapasitas ekonomi
nasional. Perencanaan pinjaman program melibatkan tiga peran dari pemerintah, yaitu:Kementerian
Keuangan, selaku pemegang otoritas pengelola keuangan negara, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional, selaku koordinator dari para pengguna dana pinjaman program dan sebagai partner dari Kementerian
Keuangan, dan kementerian-kementerian/lembaga atau pemerintahan daerah, selaku calon pengguna dana
pinjaman program.Prosedur pengajuan usulan pinjaman program sebagai berikut.a)Berdasarkan kebutuhan
pinjaman program yang disusun oleh Menteri Keuangan, menteri melakukan koordinasi dengan menteri pada
Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN untuk mengusulkan kebijakan
pemerintah di bidang tertentu yang akan didukung dengan pinjaman program.b)Rencana kebijakan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicantumkan dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan Hibah
Luar Negeri (DRPPHLN).

PELAKSANAAN PINJAMAN PROGRAM

Pinjaman Program World Bank: Pinjaman nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan dan
PNPM mandiri perkotaan, Climate changes development policy Loan, Additional FInancing for the BOS-
Knowledge improvement for transparency and accountability, Local government and decentralization project
7914-ID, infrastructure development polivy loan. Pinjaman Program Asia Development Bank:
Countercyclical Facility Support Program (Loan No. 2563-INO) dan infrastructure Reform Sector Development
Program Subprogram (IRSDP-SP3). Pinjaman Program Jepang (Japon International Cooperation Agency
JICA): The Seventh Development Policy Loon (DPI. 7) dan Climate Change Program Loan (CCPL).Pinjaman
Program Prancis (L'Agence Française de Développement-- AFD).AFD beroperasi di Indonesia dalam
kerangka mandatnya yang berfokus pada perlindungan "Barang Publik Global" yaitu: memerangi perubahan
iklim, terutama dengan meningkatkan efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan, melestarikan
keanekaragaman hayati, dan memerangi penyaldi baru dan menular. Laporan triwiulanan: pelaksanaan
pengadaan barang/jasa; kemajuan fisik kegiatan; realisasi penyerapan, permasalahan dalam pelaksanaan; dan
rencana tindak lanjut penyelesaian masalah.

PERMASALAHAN PINJAMAN PROGRAM

1. Permasalahan biaya-biaya pinjaman: kurang kritisnya para negosiator pemerintah terhadap isi
perjanjian penarikan pinjnman program. Oleh karena negosiator pemerintah yang masih kurang
bargaining power mengakibatkan pihak kreditur dapat memaksakan berbagai macam biaya tambahan
untuk mendapatkan pinjaman tersebut, adalah sebagai berikut: Commitment fee: biaya yang dikenakan
karena dana pinjaman tersebut tidak segera dicairkan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan waktu
dalam perjanjian. Commitment fee seharusnya bisa dinegosiasikan dari jumlah maupun skema
pembayaraninya. Terlebih dengan tren kurang optimalnya penyerapan anggaran yang mengakibatkan
pemerintah harus membayar sejumlah uang meski belum ada penarikan (disbursement) dana pinjaman.
Tied loan (pinjaman mengikat) Pada jenis pinjaman ini, mayoritas negara kreditur mensyaratkan agar
Indonesia menggunakan barang dan jasa dari negara kreditur Biaya bunga Sejak tahun 2009, Indonesia
kemungkinan besar tidak akan mendapat lagi alokasi pinjaman lunak (soft loan) dari dua lembaga donor
internasional, yaitu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia karena kondisi perekonomian Indonesia
yang makin baik dan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah. Biaya di muka (up-
front ſee) Biaya ini ditarik ketika perjanjian pinjaman berlaku efektif. Sebagai contoh, World Bank
menetapkan ſee sebesar 1% dari nilai pinjaman, sedangkan ADB adalah sekitar 0,5%. Biaya inilah yang
harusnya diperjuangkan untuk turun, karena dalam jumlah besar up front fee jumlahnya sangat kentara.
2. Risiko depresiasi: Risiko nilai tukar merupakan komponen biaya yang mestinya sangat perlu
diperhitungkan dalam memperoleh pinjaman. Tingkat depresiasi rupiah sangat bergantung pada jenis
valuta yang dijadikan denominasi. Pinjaman pemerintah tidak hanya berdenominasi rupiah, tapi juga
dalam mata uang asing seperti euro, dolar, yen, dan poundsterling.
3. Penyerapan pinjaman yang belum optimal. Faktor penyebab rendahnya penyerapan pinjaman ini
antara lain karena: Adanya perbedaan ketentuan antara satu pemberi pinjaman dengan pemberi
pinjaman lain, dan juga antara kreditur dan peminjam terhadap mekanisme pelaksanaan kegiatan,
Kurangnya persiapan pengelola proyek untuk mengimplementasikan kegiatan,Keterlambatan atau
bahkan belum ada alokasi dana pendamping dalam proses penyusunan awal APBN sehingga harus
diusulkan kembali untuk diakomodasikan dalam APBN-P atau bahkan APBN tahun selanjutnya,Pilihan
kreditur yang tidak banyak. Kreditur pinjaman program selama ini hanya terdiri dari World Bank, ADB,
JICA, dan ADF. Pilihan kreditur yang tidak banyak ini membuat pinjaman program kurang fleksibel
dan bergantung pada keempat kreditur tersebut, Pengawasan dan koordinasi pelaksanaan kegiatan
belum optimal.

SOLUSI PINJAMAN PROGRAM

Mengupayakan kesamaan ketentuan mekanisme pelaksanaan proyek diantara para kreditur;mengupayakan


kesamaan ketentuan antara kreditur, peminjam, dan pelaksana kegiatan; menuntut kepada kreditur agar
menurunkan atau menghilangkan berbagai macam biaya pinjaman; mengupayakan kesesuaian perencanaan dan
pelaksanaan penyediaan dana pendamping, dana pinjaman, dan jadwal pelaksanaan kegiatan; dan
mengoptimalkan sistem pengawasan internal (SPI) pelaksanaan kegiatan dan peningkatan koordinasi di antara
Kementerian Keuangan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan pelaksana pinjaman
program.

Sumber :

Halim, Abdul. 2014. MAnajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika penerimaan dan pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai