Theodor Adorno lahir pada 11 September 1903 dan meninggal 6 Agustus 1969 pada umur 65 tahun. Pemilik nama lengkap Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno adalah seorang sosiolog, filsuf, musikolog, dan komponis berkebangsaan Jerman pada abad 20. Dia adalah seorang keturunan yahudi yang diliputi oleh suasana musik. Sejak belia dia sudah belajar musik, kemudian dia belajar sosiologi, filsafat, dan musik di Universitas asalnya. Selama kuliah dia kenal dan akrab dengan Hokheimer. Mereka adalah sahabat dekat yang akhirnya menjalin hubungan kerjasama dalam bidang intelektual. Adorno mendapatkan gelar doktor filsafat dengan mempertahankan disertasinya tentang fenomenologi Husserl. Ia juga selalu aktif dalam menulis tentang sosiologi musik pada artikel di majalah untuk penelitian musik. Ketika tahun 1934, Adorno hijrah dari Inggris ke AS. Bersama dengan Hokheimer dia disana menulis buku tentang “dialektika pencerahan”, tepatnya ada tahun 1947. Kemudian pada 1949 dia ke Jerman untuk mendirikan institut penelitian sosial bersama sahabatnya Hokheimer. Disinilah dia memperoleh gelar profesor. Setelah kepemimpinan Hokheimer di institut ini, Adornolah yang menggantikan posisi Hokheimer sebagai direktur hingga Hokheimer meninggal, yaitu tanggal 06 Agustus 1969. Sebagai seornag penulis, Adorno dikenal sebagai penulis yang sangat luas. karya yang pernah ditulisnya antara lain adalah “Filsafat tentang musik modern” (1949), “pengantar sosiologi musik” (1962), “dialektika negatif (1966)”. Kebanyakan karya Adorno tersebut diterbitkan dalam bahasa Jerman. Karyanya yang paling terkenal adalah “The Authoritarian Personality” (1950).
2. Pemikiran Theodor Ardono
Salah satu sumbangannya terhadap masyarakat modern adalah kritiknya pada masyarakat modern sebagai bentuk penindasan terhadap manusia yang dilakukan kapitalisme salah satunya adalah industri musik yang bergeser dari nilai seni kepada konsumerisme. Salah satu pemikiran Theodor Adorno adalah tentang hubungan antara lingkungan dengan manusia. Adorno menjelaskan bahwa manusia menjadi rakus untuk mengambil sumber daya alam dengan teknologinya. Kondisi ini dinamakan Adorno sebagai "negativitas total". Kondisi ini mencerminkan bahwa alam menguasai manusia. Akibat dari "negativitas total" ini, maka kerusakan lingkungan merupakan akibat yang harus ditanggung oleh manusia itu sendiri. Ia memberikan solusi agar manusia meninggalkan sifat ketamakan.
Negasi Dialektika Pencerahan
Pada umumnya apa yang menjadi pemikiran Adorno memiliki kesamaan dengan tradisi marxisme dan idealisme di Jeman. Namun demikian, tidak selamanya apa yang menjadi pemikiran Adorno semurni seperti apa yang ada pada tradisi marxisme dan idealisme. Adorno mengkritik identitas sebagai basis atas idealisme. Seperti yang telah diketahui bila idealisme pada era Plato dan Hegel lebih menekankan pada realitas dan pengertian atas realitas. Adorno justru melakukan yang sebaliknya. Bagi Adorno, yang terpenting adalah menemukan kontradiksi nonidentitas. Inilah yang dimaksudkan oleh Adorno sebagai dialketika negatif yang menjadi inti sistem. Titik sentral yang dia bidik adalah rasionalitas. Adorno mempertahankan ide tentang pencerahan, karena di dalam pencerahan terdapat sebuah emansipasi atau pembebasan. Namun disini Adorno menambahnya dengan rasionalitas. Adorno memiliki pandangan yang berbeda dari Hegel. Dimana Hegel mengklaim dialketis melalui “negasi dari negasi”. Disini Adorno mengusulkan tentang adanya prinsip “dialektika negatif”. Dimana ia menolak segala bentuk jenis pembenaran atau positivisme. Bagi Adorno, dialektika negatif itu nonindentitas. Meskipun konsep nonidentitas ini penting, Adorno juga mengungkapkan bila tidak ada pemikiran yang dapat mengungkapkan nonidentitas ini. Pemikiran identitas ini hanya bisa memikirkan kontradiksi sebagai sesuatu yang murni. yaitu sebagai identitias yag lain. Lalu bagaimana konteks nonidentitas ini bisa memberikan bekas pada pemikiran. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menggunakan berbagai pembalikan. Adorno mengakui bahwa pada prinsipnya filsafat akan selalu terjebak pada jalan yang sesat. Namun itulah yang membuat filsafat akan terus bergerak kearah yang lebih maju. Oleh karena itulah filsafat adalah dialektika negatif dalam pengetiannya yang paling kuat. Dia adalah nonidentitas yang ingin dikonseptualisasikannya. Dalam mengkonseptualisasikan sesuatu, maka yang dibutuhkan adalah bahasa. Karena bahasa akan setara dengan tampilnya” ketidakbebasan”. Filsafat adalah seperti halnya ketidakmungkinan untuk mengkonseptualisasikan nonidentitas ini. bila bahasa kemudian tidak penting lagi di dalam filsafat, maka bahasa ini akan mirip dengan ilmu. Dengan kritik radikal yang dilancarkan oleh Adorno atas pemikiran masa pencerahan yang dinaungi oleh adanya rasionalitas. Teori-teori kemajuan yang dikembangkan tak lain hanyalah berasal dari pertetangan satu sama lain. sejarah telah dipandang sebagai pembebasan manusia dari cengkeraman alam. Pada saat itulah manusia berusaha untuk membebaskan dari dominasi alam. Akhirnya manusia terbebas dari ketergantungan dengan alam. Jika manusia telah mendapatkan kebebasan dari cengkeraman alam, maka pada hakikatnya manusia telah mendapatkan kebebasan secara penuh. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bahwa proses kemajuan yang diperoleh oleh manusia tak pernah lepas dari kemundurannya. Karena kemajuan yang dilontarkan manusia dengan menghancurkan alam adalah kemajuan yang menuju kemunduran. Dalam hal ini, Adorno melihat bila substansi dialektika yang berkembang adalah penguasaan, sama dengan prinsip rasionalitas. Ketika manusia telah berhasil mentakhlukkan alam dengan rasionalitasnya. Disini Adorno melihat teknologi yang dibuat oleh manusia adalah manifestasi dari rasionalitas. Teknologi digunakan oleh manusia untuk membebaskan manusia dari dominasi alam. Namun pada akhirnya, ternyata manusialah yang akan di dominasi oleh teknologi yang dibuatnya sendiri. Manusia menjadi diperbudak oleh teknologi. Disini terlihat bahwa terjadi sebuah pembalikan dari subyek ke objek. Pembalikan inilah yang menjadi problem bagi Adorno. Hilangnya kebebasan manusia sebagai bentuk pembalikan disebut sebagai negatifitas total. Dalam hal ini Adorno melihat sejarah ternyata hanya untuk mereka yang menang. Sejarah bukanlah untuk mereka yang terkalahkan. Dalam bukunya tentang dilektika negatif. Kesejarahan mereka yang terkalahkan ini akan dirumuskan kedalam keadaan negatif yang membuatnya menderita. Inilah yang dianggap Adorno sebagai malapetaka permanen atas sejarah. Keadaan yang negatif ini kemudian menjadi awal pemikiran manusiawi. Selanjutnya hal itu kemudian dirumuskan kedalam negasi dari keadaan yang awalnya negatif. Hal itu dilakukan untuk mengubah dan mengatasi situasi penderitaan. Tampaknya pada tahap ini pandangan Adorno hampir memiliki kesamaan dengan Marx. Bagi Adorno, bukan kesadaran yang membentuk keadaan, tapi keadaanlah yang membentuk kesadaran.
Adorno dan Kebudayaan Massa
Pernyataan Adorno tentang dialektika pencerahan tersebut tentu perlu mendapatkan perhatian yang lebih dalam lagi. Adorno sangat tertarik dengan musik dan seni avant garde. Adorno tertarik pada hal itu karena ia ingin menentang hogenisasi pada komersialisasi seni (reifikasi). Dimana dalam hal ini seni akan direduksikan kearah hal- hal yang bisa dipertukarkan. Subyektifitas akan direduksikan kearah yang memiliki status “objek”. Dalam hal ini Adorno ingin mengembalikan kembali kemurnian dari subyektifitas seperti yang tampil di dalam obyek seni. Hal itu dilakukan dengan cara melawan pasar dimana nilai itu disamakan dengan harga. Hal ini mirip seperti yang dinyatakan oleh Marx tentang konsep adanya nilai guna yang diubah menjadi nilai tukar bagi para kapitalis. Pada tahap inilah akhirnya yang membuat para pekerja kapitalis menjadi terasing atau teralienasi atas karyanya. Kemudian yang muncul berikutnya adalah fetisisme komoditas. Dimana di tangan kapitalis, komoditas menjadi suatu berhala yang harus disembah atas nilai tukar yang telah tereifikasi. Dalam pemikiran Adorno, kebudayaan massa merupakan produk nyata dari pemikiran pencerahan semu kapitalisme. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kapitalisme pada kebudayaan adalah dengan menjadikan kebudayaan menjadi patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Dalam bahasa Adorno, orang yang seperti ini hanya akan menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “kebudayaan industri”. Yaitu industri kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksi yang dilakukan adalah berdasarkan pada mekanisme kekuasaan sang produser dalam menentukan bentuk, gaya, dan maknanya. Dalam hal ini Adorno menganggap bila kebudayaan industri adalah bentuk pengkomandoan konsumer dalam kepentingan kapitalisme melalui kebudayaan. Adorno menyatakan bila kebudayaan industri merupakan bentuk dehumanisasi melalui kebudayaan. Rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan sebagai perwujudan dari pencerahan yang dikomandoi oleh kapitalis sebenarnya hanyalah berisi kepalsuan yang nantinya akan menghambat aspirasi dan kreatifitas individu. Inilah yang sebenarnya akan menghambat mimpi manusia untuk hidup dalam kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Yang diperoleh dari para konsumer atas konsumsi kebudayaan sebenarnya hanyalah tak lebih dari produk seni yang memberikan kebahagiaan dan kesenangan yang palsu. Apa yang dikonsumsi oleh konsumer atau massa atas berbagai kebebasan untuk memilih produk gaya hidup, sebenarnya hanyalah kebebasan yang berada dalam keterbatasan pilihan. Bagi Adorno, seni seharusnya menolak segala muatan ideologis tertentu. Karena dalam hal ini Adorno sangat menjunjung tinggi kemurnian seni.